PENDAHULUAN
Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensorik tapi juga adalah sebuah
pengalaman.IASP (The International Association for the Study of Pain) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan
kerusakan jaringan yang jelas atau potensial terjadi, atau yang dikemukakan dalam istilah tertentu
yang digunakan untuk menggambar kerusakan tersebut. Ketidakmampuan seseorang untuk
berkomunikasi tidak menjamin seseorang tidak merasakan nyeri atau tidak memerlukan
manajemen nyeri. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antar individu maupun pada
orang yang sama namun dalam waktu yang berbeda dan dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi
usia, jenis kelamin pendidikan dan budaya. WHO (World Health Organization) membagi nyeri
berdasarkan beberapa klasifikasi. Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibedakan menjadi nyeri
nosiseptif dan neuropatik, berdasarkan durasi nyerinya menjadi nyeri akut dan kronis,
berdasarkan etiologinya menjadi keganasan dan non-keganasan, serta berdasarkan anatominya.
Tatalaksana nyeri ini sangat penting bahkan WHO menempatkannya nyeri sebagai tanda
vita ke-lima setelah tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu. Tatalaksana yang efektif harus
bersifat multimodal sehingga semua faktor yang menyebabkan nyeri dapat diatasi. Selain itu, juga
sebaiknya melibatkan pasien dan keluarganya, dokter, perawat dan semua pihak yang telibat.
Panduan manajemen nyeri ini dibuat dengan tujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas akibat nyeri serta mempercepat lama perawatan dan penyembuhan pasien
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN NYERI
6. Skala OUCHER
Skala OUCHER adalah skala pengukuran nyeri dengan menggunakan kombinasi foto
jepretan muka dengan kombinasi ukuran angka berbentuk vertikal, dari 0 – 100 mm. Biasanya
dipakai untuk anak berusia diatas 6 tahun. Foto jepretan kamera ini terdiri dari enam wajah
yang sensitif (termasuk kulit putih, afrika, amerika, dan hispanik).Skoring dari 0 – 5.
Gambar 3. Skala Oucher
7. Skala VAS (Visual Analog Scale)
Skala ini menggunakan garis mendatar atau tegak lurus yang memiliki ukuran (100 mm)
untuk menggambarkan kualitas nyeri.Ujung akhir dari garis itu adalah penjelasan verbal
terhadap nyeri yang paling hebat.Anak menandai garis tersebut untuk menyatakan besarnya
nyeri yang dirasakan.Peneliti merekomendasikan skala ini untuk anak diatas 8 tahun.
Gambar 4. Skala Analog Visual
9. Skala nyeri anak yang tak bisa berkomunikasi (Noncommunicating Children’s Pain Checklist)
Pengukuran nyeri untuk anak yang tidak bisa berkomunikasi dan variasinya telah dibuat
dan digunakan untuk anak-anak dengan keterbatasan seperti autisme dan kelumpuhan otak
(cerebral palsy), untuk anak dengan keterbatasan kemampuan.Biasanya dipakai untuk anak
umur 3-18 tahun.Digunakan untuk menilai nyeri akut atau nyeri kronis anak dirumah. Cara
menilainya, dilakukan pengamatan terlebih dahulu anak yang hendak dinilai selama dua
jam.Sebagai catatan bahwa item makan/tidur tidak selalu terjadi sela dua jam pengamatan,
untuk itu pengukuran ini berdasarkan pengamatan tingkah laku anak seharian. Skor antara 0
– 1, dalam enam subklas.Panjangnya daftar isian membuat skala ini jarang digunakan di
ruang gawat darurat.
Total nilai 7 atau lebih menunjukkan bahwa anak merasakan nyeri dan nilai 6 atau kurang
tidak nyeri.
Gambar 6.Noncommunicating Children’s Pain Checklist
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadarn maka penilaian nyeri dilakukan
berdasarkan skala pengukuran sebagai berikut:
1. Comfort Scale
Pada pasien dengan penurunan kesadaran baik akibat dari penyakit yang diderita,
mendapat terapi analgetik atau pun sedasi tidak dapat mengeluhkan nyeri yang dialami.
Comfort scale dapat digunakan untuk menilai derajat nyeri pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Skala ini memiliki 8 indikator (6 penilaian perilaku dan 2 penilaian fisiologis), yaitu
kewaspadaan (alertness), ketenangan (calmness/agitation), distres pernafasan (respiratory
distress) atau menangis (crying), pergerakan (physical movement), tonus otot (muscle tone),
tegangan wajah (facial tension), tekanan darah basal (blood pressure) dan denyut jantung
basal (heart rate). Indikator distres pernafasan tidak digunakan pada pasien yang bernafas
spontan, sedangkan indikator menangis tidak digunakan pada pasien dengan ventilasi
mekanik.
Setiap indikator mempunyai nilai antara 1 dan 5. Nilai total antara 8 sampai 40. Nilai 17
sampai 26 menunjukkan kontrol sedasi dan nyeri yang adekuat. Karena pengukuran tekanan
darah dan denyut jantung yang kompleks, skala ini terutama digunakan pada pasien dalam
perawatan intensif.
Prosedur Comfort scale:
1. Penilai memeriksa medical flow chart pasien dan menghitung baseline, batas denyut
jantung dan tekanan arteri rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai denyut jantung dan
tekanan arteri rata-rata terendah selama 24 jam dipakai sebagai baseline, walaupun
pasien diberikan sedasi.
2. Penilaian dimulai dengan periode observasi selama 2 menit dimana penilai dapat
mengamati wajah dan seluruh tubuh pasien serta monitor tanda vital. Dilakukan penilaian
secara cepat gerakan, posisi tubuh, ekspresi wajah, respon terhadap stimulus eksternal,
dan lain-lain berdasarkan Comfort scale.
3. Setiap 15-20 detik, penilai mengobservasi denyut jantung dan tekanan arteri rata-rata dan
menentukan bila terjadi perubahan 15% dari baseline.
4. Sekitar 10 detik sebelum akhir periode observasi, tonus otot dinilai dari respon pasien
terhadap fleksi ekstremitas secara cepat dan lambat (pada siku atau lutut tanpa kateter
intravena, plester, arterial line). Pergelangan tangan atau tumit dapat digunakan bila sendi
lain tidak dapat digunakan.
5. Penilai kemudian mencatat nilai pada setiap skala. Perilaku yang paling ekstrim (distres)
yang didapat selama observasi dinilai pada setiap variabel. Total nilai dari setiap variabel
dijumlahkan.
Tabel 5. Comfort Scale
Kategori Penilaian Nilai Skor
Tidur pulas/nyenyak 1
Tidur kurang nyenyak 2
Kewaspadaan Gelisah 3
Sadar sepenuhnya dan waspada 4
Hiper Alert 5
Tenang 1
Agak cemas 2
Ketenangan Cemas 3
Sangat cemas 4
Panik 5
Tidak ada respirasi spontan dan tidak ada batuk 1
Respirasi spontan dengan sedikit/tidak ada respon terhadap ventilasi 2
Distress
Kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan terhadap ventilasi 3
Pernafasan
Sering batuk, terdapat tahanan/perlawanan terhadap ventilator 4
Melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk terus menerus/tersedak 5
Bernapas dengan tenang, tidak menangis 1
Sering terisak-isak 2
Menangis Merengek 3
Menangis 4
Berteriak 5
Tidak ada pergerakan 1
Kadang-kadang bergerak perlahan 2
Pergerakan Sering bergerak 3
Pergerakan aktif terbatas 4
Pergerakan aktif termasuk kepala dan badan 5
Otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot 1
Penurunan tonus otot 2
Tonus Otot Tonus otot normal 3
Peningkatan tonus otot dan fleksi jari tangan dan kaki 4
Kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari tangan tangan dan kaki 5
Otot relaks sepenuhnya 1
Tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan otot wajah yang nyata 2
Tegangan
Tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata 3
Wajah
Tegangan hampir di seluruh otot wajah 4
Seluruh otot wajah tegang, meringis 5
Tekanan darah di bawah batas normal 1
Tekanan darah berada di batas normal secara konsisten 2
Tekanan
Peningkatan tekanan darah sesekali ≥ 15% diatas batas normal (1-3 kali) 3
Darah Basal
Sering peningkatan tekanan darah ≥ 15% di atas batas normal (>3 kali) 4
Peningkatan tekanan darah terus menerus ≥ 15% 5
Denyut jantung di bawah batas normal 1
Denyut jantung berada di batas normal secara konsisten 2
Denyut
Peningkatan denyut jantung sesekali ≥15% di atas batas normal (1-3 kali) 3
Jantung Basal
Seringnya peningkatan denyut jantung ≥15% di atas batas normal (>3 kali) 4
Peningkatan denyut jantung terus menerus ≥15% 5
Total Score
0 Deep sleep
0 Active sleep
0 Drowsy
0 Quiet awake
1 Active awake
2 Agitated crying
Face
1 Brow bulge
1 Eye squueze
1 Naso-labial furrow
1 Horizontal mouth strecth
1 Taut tongue
Hand
1 Finger splay
1 Fisting
Total Score
II.2 MANAJEMEN NYERI
Nyeri secara umum dibedakan menjadi akut atau kronik. Nyeri akut diartikan sebagai nyeri
yang berlangsung kurang dari 30 hari dan kronis lebih dari 30 hari. Bagaimanapun juga definisi
berdasarkan durasi tersebut tidak mutlak dan tidak terlalu bermakna dalam menentukan strategi
manajemen. Nyeri akut biasanya dikaitkan dengan kerusakan / cedera jaringan yang baru terjadi
dan durasi yang singkat.Nyeri menghilang setelah kerusakan sembuh. Nyeri ini menyebabkan
penderita waspada untuk menghindari kerusakan / cedera lebih lanjut dengan aktivasi sistem
saraf simpatis (vasokonstriksi, nadi cepat, terkadang menjadi agitasi). Nyeri kronis atau nyeri
persisten terjadi lama setelah kerusakan / cedera jaringan sembuh (penyebab nyeri tidak jelas).
Pasien dengan nyeri kronis dapat mengalami perubahan fisiologi dengan gejala: depresi,
withdrawal (menarik diri), anorexia, fatique (lemah), hipersomnolen atau insomnia, irritabilitas
atau ketidakstabilan emosi, kurang inisiatif dan inaktifitas. Perubahan tersebut dapat ringan dan
memerlukan observasi keluarga, kerabat, dan tenaga sosial. Pasien mungkin sepertinya tidak
merasakan nyeri (nadi dan ekspresi wajah tidak menunjukkan rasa sakit). Nyeri kronis ini
cenderung sulit untuk diatasi karena dipengaruhi oleh faktor fisiologi dan psikologi. Manajemen
yang ideal memerlukan multidisiplin, whole-person approach dan waktu yang panjang.
Tabel 9. Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis
Nyeri Akut Nyeri Kronis
Terjadi segera setelah terjadi kerusakan / cedera Terjadi setelahkerusakan / cedera jaringan hilang
jaringan atau sembuh
Dianggap sebagai peringatan kerusakan / cedera Tidak memiliki fungsi proteksi
jaringan; proteksi kerusakan jaringan lebih lanjut
Aktivasi nosiseptos Melibatkan sensitisasi sentral dan kelainan
struktur permanen susunan saraf pusat
Aktivasi sistem saraf simpatis Adaptasi fisiologis
Durasi singkat Durasi lama
Hilang setelah kerusakan jaringan hilang Terjadi lama setelah resolusi kerusakan / cedera
jaringan
Secara langsung berkaitan dengan kerusakan / Tidak berkaitan secara langsung dengan
cedera, kondisi postoperasi, dan proses penyakit kerusakan / cedera jaringan, prosedur operasi,
dan proses penyakit
Respon terhadap terapi Sulit respon terhadap terapi
II.2.1 MANAJEMEN NYERI PEDIATRI
Pada awalnya diyakini bahwa bayi tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan
nyeri sehingga tidak memerlukan obat antinyeri namun sekarang diketahui bahwa struktur
nosiseptif telah berfungsi sejak janin (fetus). Bayi, meskipun memiliki susunan saraf pusat yang
sedang berkembang, juga merasakan nyeri sehingga memerlukan penilaian dan tatalaksana
lebih lanjut. Kenyataan yang ditemukan kemudian ialah bahwa nyeri yang tidak teratasi saat
neonatus telah dikaitkan dengan efek terapi antinyeri yang kurang baik di usia dewasa.
Untuk merespon dan mengatasi rasa nyeri pada bayi dan anak yang belum bisa diajak
berkomunikasi,seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk menangkap segala hal atau
tanda yang berkaitan dengan rasa nyeri berdasarkan hasil pengamatan secara seksama.
Manajemen nyeri pediatri:
1. Pasien berusia <17 tahun
2. Manajemen nyeri pada pasien pediatri dapat dilakukan dengan pendekatan multimodal
menggunakan farmakologi dan nonfarmakologi
3. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatri:
OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan opioid efektif
untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10)
5. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah
6. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian ulang derajat
nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif / nyeri menjadi sedang sampai
berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid kuat
7. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan
8. Rute pemberian obat analgetika adalah sebagai berikut:
Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik, kortikosteroid, anestetika
lokal, OAINS, opioid
Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid
Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan epidural): Anestetika
oral, Opioid
Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan
Topikal: Anestetika lokal
Infiltrasi: Anestetika lokal
Subkutan: Anestetika lokal, Opioid
Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid
9. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan
Opioid
a. Mual dan muntah: memberikan anti emetik
b. Konstipasi: memberikan stimulant buang air besar, menghindari laksatif yang
mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas
c. Pruritus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain atau dapat juga
menggunakan antihistamin.
d. Mioklonus: mempertimbangkan untuk mengganti opioid atau memberikan
benzodiazepin
e. Depresi pernapasan: memberikan nalokson ( campur 0,4 mg nalokson dengan NaCl
0,9 % sehingga total volume mencapai 10ml).Berikan 0,02 mg ( 0,5 ml) bolus setiap
menit hingga kecepatan pernapasan meningkat.Dapat diulang jika pasien mendapat
terapi opioid jangka panjang
OAINS
a. Gangguan gastrointestinal: memberikan AH2 antagonis atau PPI (proton pump
inhibitor)
b. Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang
tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet
10. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi nonfarmakologi berupa:
a. Heat / cold pack
b. Melakukan reposisi, immbolisasi
c. Latihan relaksasi seperti menarik napas, bernapas dengan irama / pola teratur, dan atau
meditasi pernapasan yang menenangkan
d. Distraksi / pengalih perhatian
e. Analgesia neuraksial
f. Blok perifer
11. Melakukan penilaian talaksana
Gambar 8. Algoritme Manajemen Nyeri Akut
Gambar 9. Algoritme Pemberian Opioid Intermitten Intravena Untuk Nyeri Akut
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi ( aktivitas tidak terganggu )
Tidak dapat ditoleransi ( tetapi masih dapat menggunakan telepon,menonton
3
TV, atau membaca )
Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat menggunakan telepon, menonton tv, atau
4
membaca
5 Tidak dapt ditoleransi ( dan tidak dapt berbicara karena nyeri )
7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nonseptif untuk
menginduksi pelepasan opoid endogen
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur.
c. Blok saraf atau radiasi tumor.
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif : terapi relaksasi, umpan balik
positif,hypnosis.
e. Fisioterapi dan okupasi.
8. Inervensi farmakologi ( tekanan pada keamanan pasien )
a. Non-opoid: OAINS, p aracetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisiklik, amitriptilin,
ansiolitik.
b. Opoid :
Resiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut ( jangka pendek).
Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah konstipasi
(preparat senna, sorbitol)
Berikan opoid jangka pendek.
Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesikbyang lebih baik daupada
pemberian intermiten.
Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikan dengan berlahan
Jika efek analgesia mesih kurang adekuat, dapat menaikkan opoid sebesar 50-100%
dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
OAINS dan amfetamin : meningkatkan toleransi opoid dan resolusi nyeri
Notriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapntin, tramadol, mexiletiline,:
efektif untuk nyeri neuropatik
Antikonvulsan :untuk neuralgia trigeminal.
Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1-3x100mg sehari dan dapat ditingkatkan
menjadi 300 mg/hari.
9. Resiko efek samping OAINS meningkatk pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal
meningkat hampir dua kali lipat pada pasien >65 tahun
10. Semua fase farmakokinetikdipengaruhi oleh penuaan, termasuk aborsi,distribusi,
metabolisme, dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering tidak
teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan
15. Efek samping penggunaan opoid yang paling sering dialami konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antidepresant,dasn sedasi secara rutin harian)
17. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah,lalu dinaikkan perlahan
hingga tercapai dosis yang diinginkan.
OAINS efektif untuk nyeri ringan (VAS 1-3) sampai sedang (VAS 4-6) dan opioid efektif
untuk nyeri sedang (VAS 4-6) sampai berat (VAS 7-10)
6. Untuk nyeri ringan sampai sedang mulai dengan OAINS / opioid lemah
7. Melakukan evaluasi nyeri yang dialami pasien dengan melakukan penilaian ulang derajat
nyeri dan memantau hasil pemberian obat, jika kurang efektif / nyeri menjadi sedang sampai
berat, analgetika ditingkatkan menjadi opioid kuat
8. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan
9. Rute pemberian obat analgetika adalah sebagai berikut:
Oral: Antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, ansiolitik, kortikosteroid, anestetika
lokal, OAINS, opioid
Intravena: Antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid
Neuraksial (analgesia spinal, epidural, serta kombinasi spinal dan epidural): Anestetika
oral, Opioid
Rektal (suppositoria): OAINS, Opioid, Antikonvulsan
Topikal: Anestetika lokal
Infiltrasi: Anestetika lokal
Subkutan: Anestetika lokal, Opioid
Transdermal: Anestetika Lokal, Opioid
10. Menilai dan memberikan tatalaksana efek samping pengobatan
11. Bila diperlukan dapat dikombinasikan atau diganti dengan terapi nonfarmakologi
12. Melakukan pelilaian lain:
a. Masalah pekerjaan dan disabilitas
b. Psikologi (apakah pasien mengalami masalah psikiatri seperti depresi, cemas, riwayat
penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan, atau gangguan tidur)
c. Spiritual
d. Faktor yang mempengaruhi dan hambatan
13. Melakukan penilaian talaksana
Gambar 10. Algoritme Manajemen Nyeri Kronik
BAB III
FARMAKOLOGI OBAT ANALGETIKA
Kombinasi obat-obatan penghilang nyeri sering dipakai untuk memberi rasa nyaman
kepada pasien. Obat-obat penghilang nyeri dapat diklasifikasikan menjadi Obat Anti Inflamasi
Non Steroid (OAINS), opioid, dan obat adjuvant.
OAINS adalah obat penghambat sintesis asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan
tromboksan poten melalui jalur cyclooxygenase (COX). Prostaglandin ini tidak berperan sebagai
mediator nyeri yang penting, melainkan efek hiperalgesia dengan merangsang nosiseptor perifer
mengeluarkan berbagai mediator nyeri seperti somatostatin, bradikinin dan histamin. Jadi,
OAINS memperbaiki hiperalgesia atau nyeri sekunder, terutama nyeri karena peradangan.
Ada dua COX yang diidentifikasi, suatu isoenzim yang dapat disensitasi (COX-2) dan enzin
konstitutif (COX-1). COX-1 dicetuskan oleh banyak jaringan pada kondisi fisiologis, sedangkan
COX-2 dimediasi oleh mediator radang pada kondisi patologis. COX-2 tidak memiliki efek
protektif pada jaringan dan berperan pada invasi tumor, angiogenesis dan metastasis. Suatu
subklas OAINS telah diperkenalkan yaitu selektif penghambat COX-2 yang dikembangkan untuk
mengurangi efek samping OAINS, terutama efek gastrointestinal. Obat ini tidak mempengaruhi
efek samping terhadap ginjal dan pada pemakaian lama akan meningkatkan resiko infark
jantung dan stroke.
OAINS memiliki efek terhadap berikut:
1. Terhadap gastrointestinal : OAINS menghambat prostaglandin sehingga menghambat
produksi mukus protektif di gaster. Pemakaian lama bisa memicu lesi mukosa dan tukak
lambung. Gejala lain berupa gasritis, nyeri perut, mual muntah, diare, perdarahan usus,
2. Terhadap hemostasis: menyebabkan gangguan trombosit. Waktu perdarahan memanjang
pada pemakaian obat OAINS yang lama. Obat COX-2 tidak berpengaruh pada disfungsi
trombosit. Ada yang meneliti bahwa obat OAINS meningkatkan jumlah perdarahan pasien
yang menjalani operasi.
3. Terhadap renal: obat OAINS akan menurunkan GFR, menyebabkan pelepasan renin dan
menganggu fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal bisa berupa retensi natrium dan air,
hiperkalemia, hipertensi, nekrosis papiler, dan sindroma nefrotik. Obat COX2 juga memiliki
efek yang sama terhadap ginjal.
4. Terhadap kardiovaskuler: protektif efek, menghambat lepasnya plug aterosklerosis.
5. Interaksi obat: dosis walfarin perlu dikurangi, dosis OAINS perlu dikurangi pada pasien
hipoalbuminemia berat. OAINS mengurangi efek obat diuretik (furosemid), ACE inhibitor.
6. Lain-lain: OAINS kadang menimbulkan reaksi alergi imunologi (rendah), menghambat
perbaikan kartilago tulang rawan, gangguan hati, asma, rinitis, edema laring, hipotensi
bahkan syok.
Obat OAINS digolongkan menjadi dua golongan yaitu obat penghambat COX nonspesifik
(COX1 dan COX2, seperti ibuprofen, naproxen, aspirin, acetaminofen, ketorolac) dan obat
penghambat selektif (COX2 seperti celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib). Semua
golongan OAINS memiliki efek ceiling dan peningkatan dosis hanya akan meningkatkan resiko
efek samping dan keracunan.
Penggunaan obat profilaksis gatrointestinal diantaranya analog prostaglandin seperti
misoprostol, penghambat sel parietal/ penghasil asam lambung seperti omeprazole, antagonis
histamin seperti ranitidin, simetidin, dapat mengurangi mengurangi gejala gastrointestinal akibat
obat OAINS.
INDOMETASIN
Merupakan derivat metil indol yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi.
Ini merupakan obat penghambat COX yang paling poten. Digunakan untuk pengobatan
spondilitis ankilosing, artritis, dismenorrea, Efek antiinflamasinya setara dengan kolkisin. Obat
ini tidak tepat diberikan untuk mengobati gout artritis kronis dan hiperurikemia.
Efek samping berupa gangguan gastrointestinal, nyeri kepala bagian depan yang kuat,
menghambat aggregasi trombosit, reaksi alergi, kenaikan enzim hati, gangguan fungsi ginjal.
Bisa juga menimbulkan neutropeni, trombositopeni bahkan anemia aplastik (jarang terjadi).
DIKLOFENAK
Biasa digunakan untuk mengobati nyeri sendi terutama rhematoid artritis, osteoartritis
dan arthritis gout. Dimetabolisme di hati melalui proses glukoronidase, hidroksilasi dan
konyugasi dengan sulfat dan dieksresikan lewat empedu dan urine. Eliminasi cepat hingga 90%
dalam waktu 3-4 jam. Efek samping sama seperti golongan OAINS lainnya seperti iritasi
lambung, gangguan trombosit, gangguan hati dan ginjal.
KETOROLAK
Merupakan obat analgesik poten dengan antiinflamasi sedang. Dipakai untuk analgetik
pasca operasi baik tunggal maupun kombinasi dengan opioid. Ketorolac memperkuat efek
antinosiseptif opioid. Ketorolac 30 mg im setara dengan 10 mg morfin atau 100 mg meperidine.
Keunggulan keterolac adalah tidak menimbulkan depresi pernafasan dan kardiovaskuler, tidak
menyebabkan spasme sistem bilier.
Setelah pemberian im, konsentrasi puncak dicapai dalam 45-60 menit, waktu paruh
sekitar 4-5 jam. 99% berikatan dengan protein plasma, dimetabolisme dengan konyugasi dihati
dan dikeluarkan di ginjal. Efek samping berupa menghambat produksi tromboksan trombosit,
menghambat aggregasi platelet yang bersifat reversibel, bisa memperpanjang masa
perdarahan, alergi, bronkospasme pada kasus alergi, gangguan ginjal bila aliran darah ginjal
menurun, iritasi lambung, mual, ngantuk dan edema perifer.
ASETAMINOFEN (PARASETAMOL)
Digunakan luas sebagai obat penghilang nyeri dan penurun demam terutama untuk
anak-anak. Obat ini bukan lah obat OAINS sejati karena efek antiinflamasi nya rendah (tidak
signifikan). Menyebabkan penghambatan sedang sintesis prostaglandin di perifer dan
penghambatan kuat sintesis prostaglandin di pusat sehingga menimbulkan efek analgetik dan
antipiretik. Obat ini tidak mengganggu aggregasi trombosit, tidak menimbulkan iritasi lambung.
Diabsopsi dengan baik lewat usus, sedikit berikatan dengan protein plasma. Obat ini
mengalami proses konyugasi dan hidroksilasi di hati dan dieksresikan di ginjal. Dosis 325-650
mg setiap 4-6 jam oral. Efek samping berupa analgesi mencetuskan nefropati, nekrosis hati
bahkan kematian (4-15 gram), hemolisis (pada pasien dengan gangguan defisiensi G6PD) dan
gangguan ginjal.
40 mg/kg (PR); 20
mg/kg (PR) setiap 6 jam
Diklofenac >1 tahun 1 mg/kg BB (PO), setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati pada
8 jam pasien dengan ganguan
hepar/renal, riwayat perdarahan
gastrointestinal atau hipertensi
Ibuprofen >6 bulan 10-15 g/kgBB (PO), Efek antiinflamasi. Hati-hati pada
setiap 6 jam pasien dengan ganguan
hepar/renal, riwayat perdarahan
gastrointestinal atau hipertensi
Ketorolak >6 bulan 0,25-0,5 mg/kg (IM, IV) Efek antiinflamasi. Hati-hati pada
setiap 6 jam pasien dengan ganguan
hepar/renal, riwayat perdarahan
gastrointestinal atau hipertensi
III.2 OPIOID
Golongan opioid adalah obat utama dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat
ini digunakan sebagai obat utama nyeri akut maupun nyeri kanker, bahkan untuk nyeri kronis
(kontroversi). Obat ini satu-satunya obat tanpa ceiling effect. Definisi golongan opioid adalah
substansi atau bahan yang menyerupai kerja morfin, baik alamiah maupun sintesis. Sedang
pengertian endorfin adalah peptida opioid endogen, dimana di dalam tubuh berupa endorfin,
enkefalin dan dinorfin. Opioid endogen ini memiliki prekursor biologis inaktif yang menjadi aktif
setelah dipecah oleh enzim. Contoh prekursor seperti proopiomelanocortin, yang merupakan
bagian rangkaian dari hormon ACTH dan MSH, sehingga tergambar hubungan antara opioid
endogen dengan sistem hormon.
Opioid dapat dibedakan menjadi:
1. Berdasarkan bahan:
Alamiah: morfin, papaverin, kodein, tebain
Semisintetis: heroin, hidromorfon, hidrokodon, buprenorfin, oksikodon
Sintetis: turunan morfin (seperti levofanol, butorfanol), turunan difenilpropilamin (seperti
metadon), turunan benzomorfin (seperti pentazosin) dan turunan fenilpiperidine (seperti
meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil)
2. Berdasarkan kerja obat:
Agonis: obat yang berikatan dan menstimulasi reseptor hingga batas maksimal. Contoh
morfin, kodein, hidromorfon, oksikodon, heroin, meperidine, methadon, fentanyl.
Antagonis:obat yang berikatan dengan reseptor namun gagal menstimulasi nya. Contoh
nalokson, naltrekson.
Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun tidak dapat menstimulasi
reseptor hingga ambang maksimal contoh buprenorfin, pentazosin.
Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan berbagai subtipe reseptor dan
menghasilkan stimulasi bubtipe reseptor yang berbeda-beda (bisa agonis atau
antagonis). Contoh nalbufine
Reseptor yang menjadi target obat opioid yaitu:
1. Reseptor µ (mu) : Obat morfin dan sejenis morfin banyak berikatan dengan reseptor ini dan
sebagian besar tersebar di periaquaductal gray matter (otak) dan substansia gelatinosa
(saraf spinalis). Rangsangan pada reseptor ini menimbulkan efek analgetik, euforia, depresi
pernapasan, mual muntah, penurunan gerakan dan peristaltik gastrointestinal. Reseptor µ
ada dua macam yaitu µ1 dan µ2. Reseptor µ1 bila diduduki akan memberikan manfaat
analgetik yang poten tanpa menimbulkan depresi pernapasan.
2. Reseptor ơ (sigma): aktivasi reseptor ơ menimbulkan analgesi, efek depresi pernapasan
sedikit dibanding reseptor µ, efek disforia dan halusinasi dibanding euforia.
3. Reseptor δ (delta) dan ķ (kappa): aktivasi ini akan menimbulkan efek analgesia (δ dan ķ),
sedasi dan miosis (ķ)
4. Reseptor menyerupai reseptor opioid (ORL) / orphan reseptor: reseptor ini memiliki
kemiripan dengan reseptor opioid klasik namun tidak memiliki kemiripan farmakologis. Efek
farmakologi yang tampak sangat beragam berupa antinosisepsi, pronosisepsi/ hiperalgesia,
allodinia, bahkan tanpa efek sama sekali.
Opioid bekerja pada presinaptik dan postsinaptik dengan reaksi fosforilasi pada protein G,
menimbulkan gangguan konduksi kanal ion. Hal ini mengakibatkan penghambatan pelepasan
neurotransmitter, termasuk substansi P dan glutamat. Postsinaptik, mereka menghambat
hantaran saraf dengan membuka kanal kalium sehingga terjadi hiperpolarisasi. Tidak semua
mekanisme nosisepsi dimediasi oleh reseptor opioid. Reseptor NMDA sensitif glutamat berperan
dalam transmisi sinyal pada saraf spinal bagian dorsalis. Norepinefrin, serotonin, dan kanal
natrium juga berperan pada penghantaran nosisepsi. Sebagai contoh metadon, meperidin, dan
tramadol menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin. Metadon, meperidin, dan opioid lain
antagonis jalur NMDA. Meperidin menghambat kanal natrium dan memiliki efek anestesi lokal.
Efek obat opioid pada tubuh yaitu:
1. Sistem saraf pusat:
1. Secara selektif menghilangkan nyeri atau mengganggu sensasi nyeri (nyeri masih
terasa namun pasien merasa lebih nyaman), kadang menimbulkan euforia, disforia,
tanpa kehilangan kesadaran (dosis rendah). Pada dosis tinggi bisa terjadi kehilangan
kesadaran dan mengantuk.
2. Menekan pusat respirasi pada batang otak sehingga bisa menimbulkan bradypneu
bahkan apneu, menekan respon CO2. Depresi pernapasan terjadi tergantung pada
dosis obat dalam darah, pemakaian obat lain bersamaan, dan derajat nyeri dan
stimulasi. Nalokson dipakai untuk mengembalikan keadaan ini.
3. Sering menimbulkan mual muntah. Hal ini disebabkan opioid langsung menstimulasi
pusat kemo reseptor (chemoreceptor trigger zone/crtz) yang berada di medulla
keempat area postrema. Efek mual ini diperberat dengan gerakan karena opioid
meningkatkan sensitivitas vestibuler. Untuk menghilangkan gejala ini bisa dengan
mengurangi dosis opioid, antidopaminergik (droperidol, compazine,
metoclopramide), antikolinergik (scopolamin), atau antagonis serotonin
(ondansentron).
4. Opioid menekan pusat batuk sehingga sering menimbulkan batuk. Perlu diketahui
bahwa tidak ada hubungan antara penekanan respirasi dengan penekanan batuk,
dan dapat dikurangi dengan pemberian obat antitusif seperti dekstrometorphan.
5. Reseptor µ dan ơ akan menyebabkan kontriksi pupil melalui perangsangan pada
nukleus Edinger Westphal (parasimpatis) pada nervus occulomotorius.
6. Pada percobaan binatang, dosis tinggi opioid dapat menimbulkan kejang. Hal ini
terjadi akibat perangsangan sel piramid hippokampus, terjadi penghambatan
pelepasan GABA pada sinaptik. Pada manusia jarang terjadi karena dibutuhkan
dosis yang sangat tinggi untuk menimbulkan kejang. Meperidine paling sering
menimbulkan kejang dibanding morfin. Pemberian nalokson dapat membantu dalam
pengobatan kejang ini.
7. Opioid juga menurunkan temperatur tubuh dengan cara mengganggu keseimbangan
mekanisme regulasi panas hipothalamus. Gejala nya adalah menggigil (shivering),
dan sering terjadi pada kombinasi anestesi inhalasi dengan opioid tinggi.
2. Neuroendokrin
Opioid dosis tinggi menghambat pelepasan hormon stressor seperti glukokortikoid,
katekolamin, menekan respon imun, menekan hipotalamus melepas hormon LH, FSH,
ACTH, GH dan F-endorfin. Hal ini menyebabkan rendahnya kadar kortisol dan testosteron,
Pada wanita bisa mengganggu menstruasi.
3. Gastrointestinal
1. Menurunkan motilitas lambung, memperlama masa pengosongan lambung dan
meningkatkan resiko refluk esofagus, memperlambat hantaran isi lambung ke usus
halus. Opioid juga mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi
somatostatin pankreas.
2. Mengganggu sekresi bilier, pankreas dan usus, dan memperlambat pencernaan
makanan, absopsi air lebih banyak sehingga konsistensi BAB lebih padat.
3. Gerakan peristaltik usus besar menurun, absorpsi air lebih banyak sehingga BAB lebih
padat, sering menimbulkan sembelit dan sering membutuhkan pelancar BAB.
4. Opioid sering menimbulkan kontraksi pada spingter oddi sehingga tekanan duktus
biliaris meningkat, namun jarang menimbulkan gejala klinis. Untuk melawan efek
tersebut bisa diberikan nalokson. Atropin dan nitrogliserin kadang bisa melawan efek
tersebut.
4. Kardiovaskuler
Menimbulkan pelepasan histamin dan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah. Pada
dosis tinggi akan mengurangi respon simpatis, dan menyebabkan efek parasimpatis lebih
dominan. Denyut nadi lebih melambat karena stimulasi pusat vagal, terutama dosis tinggi.
Efek terhadap jantung berupa mengurangi komsumsi oksigen miokard, mengurangi
tekanan LVED dan kerja jantung. Dosis tinggi akan menurunkan volume darah dan
menimbulkan hipotensi.
5. Toleransi, dependensi dan addiksi
Toleransi ditandai dengan adanya peningkatan dosis untuk mendapatkan efek analgesi
yang sama, merupakan suatu bentuk dari takifilaksis. Mengganti jenis obat opioid dapat
mengurangi efek toleransi. Menghentikan opioid harus perlahan untuk menghindari efek
ketergantungan. Addiksi atau kecanduan biasanya ditandai dengan perubahan perilaku dan
keinginan mencari obat tersebut. Efek ini jarang terjadi pada pengobatan nyeri akut atau
nyeri kanker, namun bisa terjadi pada terapi nyeri kronis bukan keganasan.
6. Lainnya
Pemberian cepat opioid dapat meningkatkan tonus otot, terutama pada dinding dada
dan abdomen (fentanil, alfentanil, sufentanil). Mekanisme terjadi nya rigiditas belum
jelas namun dapat dihilangkan dengan pemberian pelemas otot atau antagonis opioid.
Frekuensi dan tonus otot ureter mungkin akan meningkat, terjadi penghambatan reflek
ingin BAK, peningkatan tonus otot spingter uri, volume kandung kemih dan retensi urine
bisa saja terjadi. Gejala ini akan hilang seiring dengan waktu.
Pada dosis terapi terjadi dilatasi pembuluh darah kulit akibat pelepasan histamin.
Pelepasan ini juga berakibat urtika kadang kemerahan. Nalokson tidak menghilangkan
efek histamin namun menghilangkan gatal.
MORFIN
Morfin merupakan obat standard untuk pembanding obat opioid. Obat ini banyak dipakai
karena baik dan murah. 33% terikat pada plasma protein dan sangat hidrofilik, kemampuan
penetrasi jaringan rendah. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu singkat pada
pemberian intravena, sedang kadar puncak di otak dan saraf dicapai dalam 15-30 menit, dengan
waktu paruh dalam plasma 2-3 jam. Dimetabolisme di hati menghasilkan metabolit morfin-6-
glukoronid dan morfin-3-glukoronid yang lebih poten dan masa kerja yang lebih lama. Metabolit
ini dieksresi di ginjal sehingga pada kasus gangguan ginjal kerja morfin lebih lama. Berbeda
pada pasien gangguan hati, tidak begitu berdampak pada metabolisme morfin karena
glukoronidase jarang terganggu. Penambahan morfin 1-4 mg untuk epidural, 0,1-0,4 mg untuk
intratekal dapat memperpanjang durasi analgesia hingga 12-24 jam.
KODEIN
Kodein kurang poten dibanding morfin, namun potensi tinggi via oral. 10 persen kodein
diubah menjadi morfin dan menimbulkan efek analgesia. Efek utamanya adalah anti batuk,
dengan waktu paruh 2-4 jam. Sediaan sering dikombinasi dengan parasetamol atau aspirin.
MEPERIDINE
Obat ini terikat tinggi dengan plasma protein (sekitar 70%). Dosis parenteral dan oral
hampir sama. Efek analgetik sudah terlihat setelah 15 menit apabila diberikan secara oral, dan
kadar puncak dicapai dalam dua jam. Secara intravena mulai bekerja setelah 10 menit dan
mencapai puncak dalam satu jam dan memiliki durasi sekitar 2-4 jam. Dosis awal sekitar 50-100
mg.
Obat ini memiliki efek vagolitik, dan satu-satunya obat opioid yang menimbulkan
takikardi. Metabolit inaktif berupa normeperidine dan memiliki waktu paruh 15-20 jam dan
dieliminasi di hati dan ginjal. Efek memanjang pada pasien dengan gangguan hati, ginjal, pasien
berusia lanjut. Efek toksik metabolit nya berupa tremor, kejang otot, pupil dilatasi, hiperreflek dan
kejang umum. Memiliki efek lokal anestesi ringan dan jarang dipakai untuk penggunaan jangka
pendek.
FENTANIL
Merupakan golongan fenilpiperidine, memiliki kekuatan 50-80 kali dari morfin. Dapat
digunakan sebagai analgetik (2-10 ug/kg) atau sebagai anestesi (20-100 ug/kg). Waktu mulai
kerja obat sangat cepat, waktu puncak didapat dalam 20-30 menit (im) dan beberapa menit (iv).
Obat ini dapat diberikan juga secara intratekal, epidural, membran mukosa, atau kulit. Beberapa
derivat fentanyl (sufentanyl, alfentanyl, remifentanyl) digunakan untuk anestesi bukan untuk
managemen nyeri.
TRAMADOL
Obat opioid sintetis bekerja sentral dan bersifat analgetik dengan cara kerja yang agak
berbeda. Memiliki aktivitas yang lemah terhadap reseptor ķ, reseptor ơ dan δ tapi 20 kali
terhadap reseptor µ. Memiliki efek analgetik non opioid melalui penghambatan pengambilan
norepinefrin dan serotonin. Potensi addiksi rendah, depressi pernapasan juga rendah. Dosis nya
25 – 100 mg setiap 4-6 jam per oral, dengan dosis maksimum 400 mg per hari. Efek samping
berupa kelemahan dan vertigo.
REMIFENTANIL
Obat opioid sintesis dan agonis µ, dan mempunyai ikatan ester. Karena memiliki ikatan
ester maka obat ini bisa di hidrolisis di darah dan esterase jaringan non spesifik. Ini merupakan
opioid kerja sangat singkat pertama dari golongan opioid. Obat ini hanya digunakan untuk nyeri
akut.
NALOKSON
Merupakan obat antagonis opioid dengan afinitas yang paling kuat terhadap reseptor µ.
Obat ini dipakai untuk melawan efek agonis reseptor µ.
Efek perbaikan pernapasan, sedasi dan penurunan tekanan darah akibat opioid akan
terlihat dalam 1-2 menit setelah pemberian obat. Waktu kerja obat sekitar 1-4 jam dan waktu
paruh sekitar 1 jam. Pada pemakaian yang banyak dapat menimbulkan mual, muntah, takikardi,
berkeringat, hipertensi, tremor, kejang dan henti jantung. Ada juga yang melaporkan terjadi
hipotensi, ventrikular takikardi, fibrilasi dan edema paru. Untuk menghindari hal tersebut
disarankan menggunakan dosis kecil berulang, secara titrasi. Caranya dengan mengencerkan
0,4 mg (per ampul) nalokson menjadi 10 cc dan diberikan 1-2 cc setiap 1-2 menit. Nalokson
harus diberikan via parenteral karena apabila dengan oral, hampir seluruhnya dimetabolisme
oleh hati sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
Tabel 16Sediaan Kombinasi NSAID dan OpioidUntuk Nyeri Moderat
Obat Generik Obat Paten Sediaan (mg)
Asetaminofen / Kodein Tylenol (300/15)
Tylenol (300/30)
Tylenol (300/60)
Asetaminofen / Hidrokodon Hycopap (500/5)
Lorcet HD (500/5)
Lorcet Plus (650/7,5)
Lorcet (650/10)
Lortab (500/2,5)
Lortab Elixir (500/7,5 per 15 ml)
Maxidone (750/10)
Norco (325/5)
(325/7,5)
(325/10)
Vicodin (500/5)
Vicodin ES (750/7,5)
Vicodin HP (660/10)
Zydone (400/5)
(400/7,5)
(400/10)
Asetaminofen/Oksikodon Endocet (325/5)
(325/7,5)
(325/10)
(500/7,5)
(650/10)
Percocet (325/2,5)
(325/5)
(325/7,5)
(325/10)
(500/7,5)
(650/10)
Roxicet (325/5)
(500/5)
Roxicet eliksir (325/5 per 5 ml)
Tylox (500/5)
Asetaminofen/Tramadol Ultracet (325/37,5)
Ibuprofen/Hidrokodon Vicoprofen (200/7,5)
Tramadol Ultram (50)
Tablet di atas diberikan 1-2, PO, tiap 4-6 jam sebanyak yang diinginkan.
ANTI KEJANG
Obat anti kejang sudah dipakai untuk managemen nyeri sejak tahun 1960, segera
setelah diperkenalkannya pengobatan epilepsi. Obat ini dipakai untuk gangguan nyeri neuropati
seperti nyeri trigeminal atau nyeri seperti disayat atau nyeri luka bakar.
Obat yang sering dipakai diantarnya karbamazepin, oxcarbamazepin, topiramate,
levetiracetam, pregabalin, zonisamide, gabapentin, dan lamotrigine. Indikasi penggunaan obat
anti epilepsi adalah nyeri trigeminal, glossofaringeal, dan post herpes; nyeri sekunder akibat
kanker, nyeri sentral, nyeri post trauma, porfiria, neuropati diabetikum, nyeri migrain, nyeri perifer
sekunder karena penyakit seperti DM, HIV, dan keracunan.
Karbamazepin adalah obat yang menghambat uptake norepinefrin, mencegah
perubahan pada saraf, memblokade kanal natrium. Obat ini diserap perlahan via oral,
konsentrasi puncak diperoleh dalam waktu 2-8 jam, waktu paruh 10-20 jam (rata-rata 14 jam),
berikatan sedang dengan protein, dimetabolisme di hati, dieksresikan di ginjal.
Dosis nya dimulai 200 mg per hari (biasanya 800-1200 mg perhari) maksimal 1,5 g
perhari. Efek samping adalah sedasi, mual, diplopia, vertigo. Kadang ditemukan kelainan darah
seperti anemia aplastik, agranulositosis, pansitopeni, dan trombositopenia; kuning (jaundice),
oliguri, hipertensi, dan gagal jantung kiri akut.
Gabapentin adalah obat yang meningkatkan total GABA di dalam otak (dengan
mekanisme yang belum jelas) dan berikatan dengan kanal kalsium. Obat ini sangat sedikit terikat
dengan plasma protein (<3%), dieksresikan di ginjal dalam bentuk yang tidak berubah, waktu
paruh 5-7 jam. Dosis dimulai dosis 300 mg 1-3 kali sehari. Efek samping berupa mengantuk,
lemah, ataksia, lesu, konsentrasi terganggu, gangguan pencernaan, nistagmus. Obat ini sering
dipakai sebagai terapi lini pertama untuk managemen nyeri pada nyeri postherpes, neuropati
diabetikum, multipel sklerosis dan nyeri pinggang.
Pregabalin adalah analog dari GABA. Ini merupakan S-enansiomer dari 3-isobutil GABA
tikus. Cara kerja nya tidak diketahui secara jelas, namun menggantikan posisi gabapentin pada
tempat ikatannya, dan meningkatkan konsentrasi GABA saraf. 90% obat diserap melalui usus,
dengan waktu paruh 5,8 jam dan tidak terpengaruh oleh makanan. Obat tidak diubah dan
dikeluarkan utuh melalui ginjal. Dosis obat 150-600 mg per hari dalam 2-3 dosis terbagi.
Toleransi obat ini baik, kadang dapat menimbulkan mengantuk, gelisah dan sakit kepala. Obat
ini biasanya dipakai untuk neuropati perifer diabetikum, neuralgia post herpes, fibromialgia dan
gangguan kecemasan.
OBAT ANESTESI LOKAL
Penggunaan anestesi lokal sebagai tambahan analgesik jarang dipergunakan.
Mekanisme kerja obat ini adalah menstabilkan membran saraf sebagai hasil dari blokade kanal
natrium, terjadi hambatan natrium masuk ke dalam sel saraf (masuknya natrium secara cepat
ke dalam sel saraf diduga bertanggung jawab terhadap inisiasi dan propagasi depolarisasi sel
saraf yang mencetuskan sensasi nyeri).
Lidokain intravena diketahui dapat digunakan untuk mengobati nyeri neuropati, berupa
nyeri seperti diiris; nyeri neuropati karena herpes zoster, nyeri pinggang, neuropati diabetikum
dan nyeri neuropati lainnya. Dosis lidokain 1-2 mg/kgbbb.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid merupakan adjuvan analgetik yang penting, baik diberikan sendiri atau
dikombinasikan opioid. Efek yang terlihat berupa pengurangan reaksi radang, mengurangi
eksitabilitas saraf, mengurangi nyeri.
Obat yang sering dipakai berupa prednison (100 mg per hari), metilprednisolon (100 mg
per hari), atau prednisolone (7,5 mg per hari). Pemakaian jangka lama dapat menimbulkan efek
samping berupa osteoporosis, infeksi, tukak lambung, cushing, dan gejala psikis. Kombinasi
obat ini dengan analgetik golongan OAINS tidak direkomendasikan.
ANTISPASMODIK
Antispasmodik yang sering dipakai untuk mengobati nyeri kronis adalah baclofen,
siklobenzaprine, tizanidine, yang sering digunakan untuk mengobati nyeri simpatik. Mekanisme
kerjanya mirip seperti klonidin.
Baclofen, suatu agonis GABA-B yang digunakan untuk mengobati nyeri spastik, nyeri
neuropatik dan nyeri seperti diiris. Efek samping pemakaian berupa lesu, lemah, vertigo,
hipotensi ortostatik, sakit kepala, hipotoni, gangguan mental, sulit tidur, kemerahan, sering BAK.
Dosis tiga kali sehari 5 mg, maksimal 80 mg per hari.
Siklobenzaprine adalah obat untuk menghilangkan spasme otot setempat tanpa
mengganggu fungsi otot secara keseluruhan. Obat ini tidak efektif untuk spasme otot karena
penyakit saraf pusat. Digunakan untuk menghilangkan spasme otot akibat dari nyeri, kekakuan,
keterbatasan gerak, dan keterbatasan aktivitas. Mirip dengan antidepresan trisiklik dengan efek
samping yang mirip pula (lemah, mulut kering, pusing, takikardi, hipertensi, sinkope). Obat ini
tidak boleh dikombinasikan dengan penghambat MAO. Kontaindikasi berupa aritmia jantung,
hipertiroid, dan obstruksi urin. Dosis 10 mg tiga kali sehari, atau 20-40 mg perhari dalam dua
dosis terbagi.
Tizanidine bekerja dengan menurunkan transmisi simpatis, mengurangi efek
perangsangan motor neuron. Diabsorpsi hampir sepenuhnya lewat oral, waktu paruh sekitar 2,5
jam denga durasi 3-5 jam. Digunakan untuk mengurangi nyeri simpatis seperti nyeri seperti
disayat, terbakar, disetrum. Efek samping obat berupa kelemahan, ngantuk, dan kelelahan.
Dosis 2 mg dua kali sehari maksimal 8 mg setiap 6 – 8 jam sekali.
KLONIDIN
Merupakan agonis adrenoreseptor pada batang otak, menurunkan rangsangan simpatis
dari sistem saraf pusat sehingga menurunkan resistensi perifer, denyut nadi dan tekanan darah.
Biasanya diberikan dalam bentuk sediaan oral atau tempel kulit (didaerah bebas rambut di
lengan atas atau dada). Efek samping obat berupa mulut kering, kelemahan, kelelahan, sakit
kepala, letargi dan mengantuk.
OBAT TOPIKAL
Gangguan nyeri yang biasa diobati secara topikal berupa polineuropati perifer dan nyeri
kronis. Ada tiga kategori obat yang sering dipakai preparat capsaisin, anestesi lokal dan OAINS.
Lidokain tempel kulit bisa dipakai untuk polineuropati perifer dan nyeri otot luar dengan hasil
yang baik. Diberikan 2-3 kali sehari, dapat bekerja maksimal 12 jam. Sediaan lain berupa
campuran obat-obat dalam bentuk kream atau salep. Misalnya campuran ketoprofen 100 mg/cc
dan bupivakain 50 mg/cc dan ketamin 50 mg/cc. Kombinasi ini akan memberikan manfaat yang
lebih besar, namun tetap perlu berhati-hati, penggunaan yang terlalu sering dan terlalu luas bisa
menimbulkan efek samping.
Tabel 20. Panduan Adjuvant Analgetika
Obat Dosis Dosis maksimal perhari
Antidepresan Trisiklik
Amitriptilin 10-15 mg, PO, qhs 150 mg
Nortriptilin 10-150 mg, PO, qhs 150 mg
Desipramin 10-150 mg, PO, qhs 150 mg
SNRIs
Duloxetine 60 mg/d, PO 60 mg
Venlafaxine 37,5-75 mg, PO, bid – tid 375 mg
Antikonvulsan
Gabapentin 100-1200 mg, PO, tid (juga 3600 mg
tersedia dalam 50 mg/ml eliksir)
Pregabalin 25-200 mg, PO, tid 600 mg
Karbamazepin 200-800 mg, PO, bid 1600 mg
Okskarbazepin 150-600 mg, PO, bid 2400 mg
Lamotrigin 25-200 mg, PO, bid 400 mg
Asam valproat 10-15 mg/kg/d (juga tersedia 60 mg/kg/d
dalam 250 mg/5 ml eliksir)
Topiramat 25-200 mg, PO, bid 400 mg
Sodium Channel Blockers
Lidokain parenteral 1 mg/kg/jam infus Harus monitor kadar serum;
Target 3-5 mg/L
Lidokain 5% patch 1-3 patches q12-24h Not applicable
Mexiletine 150-250 mg, PO, qd – tid 10 mg/kg/hari
Antagonis Reseptor NMDA
Dekstrometorfan 20-90 mg tid (tersedia juga 120 mg
dalam 30 mg/5 ml atau 10 mg/5
ml eliksir)
Ketamin Mulai dengan 0,1 mg/kg/jam Titrasi sampai efek yang
infus dinginkannya atau apabila ada
efek samping
α2 –agonis
Klonidin 0,1-0,3 mg, PO, tid 2,4 mg
0,1-0,3 mg/24 jam patch tiap
minggu
Kortikosteroid
Deksametason 2-20 mg/hari, PO, SC, IV (Juga Bervariasi
tersedia dalam 4 mg/ml eliksir)
Prednison 5-60 mg/hari, PO Bervariasi