Fraktur Tulang Wajah
Fraktur Tulang Wajah
Pendahuluan
Fraktur tulang wajah sering dijumpai terutama pada cedera olahraga,
kecelakaan lalu lintas ataupun berkelahi. Pada kecelakaan lalu lintas, tujuh dari
sepuluh penderita mengalami cedera wajah, kebanyakan berupa luka tajam dan
memar. Fraktur terutama mengenai mandibula, 1/3 medial tulang wajah, tulang
hidung, orbita dan zygoma. Fraktur tulang wajah jarang menimbulkan masalah
kecuali pada fraktur sepertiga medial wajah dimana rahang bagian atas terpisah
dengan tulang tengkorak dan fraktur mandibular multipel. Kedua fraktur ini dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas atas, kadangkala diperlukan intubasi endotrakeal
ataupun krikotiroidotomi untuk melancarkan jalan nafas. Pada banyak kasus,
penundaan penanganan selama beberapa hari tidak menyebabkan efek samping yang
berbahaya.1
1
Tulang-tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium dan
bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi yang
tidak bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena
menyatu dengan kranium melalui artikulasio temporomandibularis yang mobil.
Tulang wajah terdiri atas:
- os zygomaticum (2 buah)
- maksila (2 buah)
- os nasale (2 buah)
- os lacrimale (2 buah)
- os vomer (1 buah)
- os palatinum (2 buah)
- konka nasalis inferior (2 buah)
- os mandibula (1 buah)
2
superior dibentuk oleh os frontale, lateral oleh os zygomatikum, inferior oleh maksila
dan medila oleh procesus maksilaris dan os frontale.
Kedua os nasales membentuk batang hidung. Tepi bawahnya bersama
maksila membentuk apertura nasalis anterior. Cavum nasi dibagi dibagi dua oleh
septum nasale bertulang yang sebagian besar dibentuk oleh vomer. Konka superior
dan media dari os ethmoidale pada setiap sisi, menonjol ke dalam cavum nasi;
sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri.
Kedua maksila membentuk rahang atas, pars anterior palatum durum,
sebagian dinding lateral rongga hidung dan sebagian dasar orbita. Os zygomatikum
membentuk tonjolan pipi dan bagian dari dinding lateral serta dasar orbita. Di
medial, berartikulasi dengan maksila dan di lateral dengan prosesus zygomatikus
ossis temporalis membentuk arkus zygomatikus. Os zygomatikum ditembus oleh dua
foramen untuk n. Zygomatikofasialis dan zygomatikotemporalis. Mandibula terdiri
atas, corpus horisontal dan dua ramus vertikal. Korpus menyatu dengan ramus pada
angulus mandibula. Foramen mentale bermuara pada permukaan anterior korpus
mandibula, di bawah gigi premolar kedua.
Klasifikasi7
Secara garis besar, fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan garis
frakturnya, hubungan antar fragmen tulang, jumlah fragmennya dan hubungan
dengan dunia luar.
Berdasarkan garis frakturnya, dibagi menjadi:
Transversal; tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Disebabkan oleh
tekanan tegak lurus pada tulang
Diagonal/ oblik; disebabkan tekanan dengan arah sejajar sumbu panjang tulang
Longitudinal; bentuknya sesuai dengan sumbu panjang tulang
Spiral; disebabkan tenaga yang berputar
Berdasarkan hubungan satu fragmen patahan dengan yang lain dibedakan menjadi:
Dislokasi; berpindahnya ujung tulang yang patah sehingga tidak sejajar sumbu
panjang tulang
3
Angulasi; fragmen distal membentuk sudut terhadap fragmen proksimal
Pemendekan; adanya tumpang tindih dari ujung fragmen tulang
Rotasi
4
yang dicampur dengan epinefrin 1:1000. Tampon kapas yang berisi obat
anestesi lokal dipasang masing-masing 3 buah pada setiap lubang hidung.
Tampon pertama diletakkan pada meatus superior persis di bawah tulang
hidung, tampon kedua diletakkan diantara konka media dan septum dan
bagian distal dari tampon terletak dekat foramen sfenopalatina. Tampon
ketiga diletakkan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon
dipertahankan selama 10 menit.
5
c. Fraktur Tulang Nasoetmoid
Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat
akan menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, prosessus maksila dan
prosessus nasalis frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua
bola mata akan terdorong ke belakang menyebabkan terjadinya fraktur
nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan nasoorbita. Fraktur ini dapat
menimbulkan sekuele di belakang hari.
Komplikasi neurologik: - robeknya duramater
- keluarnya cairan serebrospinal
- pneumosefalus
- laserasi otak
- avulsi dari nervus olfaktorius
- hematoma epidural atau subdural
- kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
Komplikasi pada mata: - telekantus traumatika
- hematoma pada mata
- kerusakan nervus optikus
- epifora, ptosis
- kerusakan bola mata
Komplikasi pada hidung:
- perubahan bentuk hidung
- obstruksi rongga hidung yang disebabkan fraktur dislokasi atau hematoma
pada septum
- gangguan penciuman (hipoosmia atau anosmia)
- epistaksis posterior yang hebat disebabkan robeknya arteri ethmoidalis
- kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontalis
atau mukokel
6
Fraktur nasoethmoid seringkali tidak dapat diperbaiki hanya dengan reduksi
sederhana secara terbuka disertai pemasangan tampon hidung atau fiksasi dari
luar. Tindakan reduksi pada kondisi seperti ini memerlukan penanganan yang
lebih hati-hati dan teliti untuk mengembalikan tulang-tulang yang patah pada
posisi semula dan mengikatnya dengan kawat baja.
7
maksila yang membentuk penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke arah
lateral.
8
Penanggulangan Fraktur Zygoma:
Reduksi tidak langsung (Keen dan Goldwaite)
Reduksi tidak langsung melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayatan
kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator
dimasukkan di belakang tuberositas dan fraktur dikembalikan kepada
tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil
baik.
Reduksi terbuka
Tulang zygoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari
Kirschner, harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka menggunakan
kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zygoma dapat dipakai
sebagai tanda untuk melakukan insisi. Adanya fraktur pada rima orbita
inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di
bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur dis ekitar tulang orbita
tersebut. Tindakan ini harus dikerjakan hati-hati karena dapat merusak
bola mata.
9
Gejala-gejala:
1. enophtalmus/ exophtalmus
2. hematoma
3. diplopia
4. asimetri muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow-out fracture dari dasar orbita.
Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir
orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zygoma.
5. gangguan saraf sensoris
Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan
erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul
kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis, berupa
anestesia pipi karena cedera n.infraorbitalis atau anestesia dahi karena cedera
n.supraorbitalis. Bila timbul anestesia dalam waktu lama harus dilakukan
eksplorasi dan dekompresi nervus infraorbitalis.
10
IV. Fraktur Tulang Maksila ( Mid facial fracture)
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuannya untuk
memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan
memperoleh kontur muka yang cocok. Fraktur maksila pada umumnya bilateral.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan jalan nafas sehingga mungkin
dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur
maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri
maksilari interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.
Gejala klinis pada fraktur maksila:
- Perdarahan yang keluar dari telinga, terutama pada fraktur condilus atau basis
kranii
- Perdarahan yang keluar dari hidung atau dari mulut, terutama pada middle
third fracture
- Gejala neurologis berupa pasien menjadi apatis, sakit kepala yang hebat,
ingin muntah-muntah
- Pupil melebar dengan refleks cahaya negatif
- Mata tertutup karena hematom
Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan bila terlambat penanganan atau
kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya
kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus
diperiksa dan dilakukan fiksasi. Fiksasi dan imobilisasi berlangsung selama enam
hingga delapan minggu. Imobilisasi dilakukan pada kranium atau kepala (cranio
maxilla fixation), atau bisa juga pada arkus zygomatikus, dasar tulang mata,
dasar tulang hidung, atau pinggir hidung.
Fiksasi pada fraktur maksila:
1. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi
2. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan
pemasangan kawat baja atau mini plate
3. Fiksasi dengan pin
11
Waktu yang diperlukan untuk proses penyembuhan kira-kira 4 minggu. Setelah
itu dilakukan latihan otot-otot mulut untuk gerakan membuka dan menutup
mulut.
12
dirasakan dengan palpasi. Garis fraktur yang mengarah vertikal, membagi
muka menjadi dua bagian.
Gejala-gejala yang mungkin timbul:
Pembengkakan pada muka dan bibir atas
Ekimosis
Mukosa bibir, mulut dan hidung rusak
Oklusi gigi terganggu dan pasien tidak dapat mengunyah
Bila rahang atas tergeser ke belakang dapat terjadi gigitan terbalik
Bila rahang atas tergeser ke atas tampak muka menjadi pendek dan terjadi
open bite
Ada perdarahan pada sinus maksilaris dan keluar melalui hidung, dapat
menyumbat jalan pernapasan
13
Gejala-gejala yang mungkin timbul:
o Tampak hidung masuk atau melesak ke dalam
o Perdarahan melalui hidung lebih banyak karena foramen infraorbitalis
terlibat dan arteri infraorbitalis terluka
o Keluarnya cairan serebrospinal bila lamina cribiformis patah
14
o Perdarahan mengalir ke palatum, faring dan hidung.
o Hematoma kacamata (brill hematoma) karena konjungtiva terisi darah
dan pembengkakan bola mata karena ekimosis
o Bila n. Facialis kena, timbul facial paralysis
o Akibat dari brill’s hematoma dapat terjadi penekanan saraf-saraf optik
dan motorik dari mata dapat mengakibatkan kebutaan, diplopia dan
paralisa bola mata.
15
otot akan menarik fragmen tulang ke arah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur
bagian lateral tulang akan tertarik ke arah kranial.
Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan riwayat
kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan adanya gejala:
1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi
mandibula
2. Rasa sakit yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior
3. Anestesia pada satu garis bibir bawah, pada gusi atau pada gigi akibat
kerusakan n. mandibularis
4. Maloklusi
5. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
6. Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah. Dll
7. Gangguan jalan nafas
16
Bila gangguan ini terjadi pada anak-anak dapat menimbulkan cacat pada muka
yang disebut bird-face, dimana pertumbuhan tulang rahang bawah jauh tertinggal
dibandingkan tulang rahang atas.
Gejala fraktur condyle:
Sakit pada tragus atau di depan tragus terutama pada waktu membuka dan
atau menutup mulut
Sering timbul trismus
Gejala khasnya “open bite” (gigitan terbuka) disebabkan bagian tulang
rahang bawah yang fraktur bergeser ke depan.
Pada fraktur unilateral, saat membuka mulut ada deviasi atau pergeseran ke
arah yang fraktur
Pada fraktur bilateral, tidak ada deviasi tetapi ditemukan open bite frontal dan
cross bite pada daerah gigi molar
Diagnosa ditegakkan melalui gejala klinis dan foto rontgen AP dan lateral.
Terapi fraktur condyle:
a) Fraktur condyle intracapsuler; dengan Inter-maxillary wiring
b) Fraktur condyle extracapsuler; dengan open reduction, insisi di depan
tragus
c) Bila condyle lepas, lakukan interosseus wiring
d) Bila condyle hancur, diganti dengan prothesa condyle dari metal
17
Dingman mengklasifikasikan fraktur mandibula secara simpel dan praktis
menjadi tujuh regio yaitu: badan mandibula, simfisis, angulus mandibula, ramus
mandibula, prosesus koronoid, prosesus kondilus, dan prosesus alveolaris.
Penanggulangan fraktur ini tergantung pada lokasi fraktur, luasnya fraktur dan
keluhan yang diderita. Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan foto polos posisi anteroposterior, lateral,
Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Fraktur pada bagian tulang yang menyangga
gigi dapat difiksasi dengan kawat interdental untuk menjamin pulihnya oklusi
dengan baik.
Penggunaan mini atau mikroplate semakin populer sejak tahun 1970 an karena
tidak menimbulkan kalus. Mini plate dipasang dengan menggunakan skrup,
bersifat lebih stabil, tidak memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu
lama, mudah dikerjakan. Kekurangannya sulit didapat dan harganya mahal.
Gejala Klinis
Secara garis besar, patah tulang wajah akan menimbulkan gejala:
- Nyeri tekan lokal
- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas n. Supraorbitalis, n. Infraorbitalis, n. Mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung
18
Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosa pada fraktur tulang wajah, diperlukan:
1. Anamnesis
Anamnesis penting artinya untuk mengetahui riwayat kelainan atau trauma
sebelumnya. Mekanisme trauma perlu diketahui untuk mengetahui bagian tubuh
yang kemungkinan mengalami perlukaan. Lokasi nyeri untuk mencari
kemungkinan adanya kerusakan pada organ bagian dalam.
2. Pemeriksaan klinik
Jika ada trauma wajah, kontur dari tulang wajah harus dipalpasi dengan hati-hati
sebelum terjadi edema. Palpasi harus dilakukan secara serentak (kanan kiri
bersama-sama), seksama (hati-hati), dan sistematis. Perlekatan otot ekstraokular
bisa terlepas oleh fraktur dinding orbital, oleh karena itu gerakan mata harus
diperiksa dan tanyakan bila timbul diplopia. Juga ditanyakan apakah pasien
merasa gigitannya normal dan mulut harus diperiksa untuk melihat gigi yang
lepas atau oklusi gigi. Gangguan oklusi merupakan tanda yang umum dan sensitif
dari fraktur rahang. Gerakan mandibular harus diperiksa untuk menyingkirkan
fraktur atau dislokasi condilus mandibula.
19
3. Plain Radiografi
Jika diduga ada fraktur wajah, X-Ray dilakukan dengan membandingkan kontur
sisi sebelahnya. Opasitas dan level cairan pada sinus maksilaris menunjukkan
adanya hematoma. Foto rontgen yang sering digunakan adalah proyeksi Waters
sehingga bayangan bagian wajah tidak terganggu atau disamarkan oleh struktur
tulang dasar tengkorak dan tulang servikal.
Pemeriksaan penunjang
Selain plain radiografi, pemeriksaan yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis adalah:2
1) CT Scan
Dapat melihat fragmen tulang yang terpisah, adanya perdarahan dan fraktur basis
kranii dengan lebih jelas.
2) MRI
Tidak digunakan sebagai alat primer untuk mendeteksi fraktur fasial.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi:
- Perdarahan sekunder; karena pengikatan atau penjahitan vena/ arteri yang putus
tidak baik
- Infeksi; karena kurang steril dalam bekerja atau adanya gigi gangren pada garis
fraktur atau oral higiene penderita yang buruk
- Trismus; karena fiksasi dan imobilisasi menyebabkan otot mulut menjadi kaku
- Malunion; waktu dilakukan reposisi, oklusi gigi tidak diperhatikan atau penderita
banyak bergerak, alat fiksasi dan imobilisasi kendor
- Delayed union; penyebabnya reposisi, fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik,
daya penyembuhan penderita yang tidak baik, dan kondisi penderita tidak baik/
menderita penyakit kronis
- Ununion; penyebabnya reposisi tidak baik, fiksasi dan imobilisasi tidak baik,
kondisi penderita tidak baik, ada oto atau fragmen tulang yang terjepit di antara
dua fragmen fraktur tulang, space atau jarak terlalu jauh antara dua fragmen
tulang, atau perawatan fraktur tulang terlalu lama ditangguhkan.
20
Penatalaksanaan8
Pertama-tama perhatikan A (Airway), B (Breathing), C (Circulation), D
(Disability), E (Exposure), F (Facility). Jika terdapat patah tulang dengan atau
tanpa perdarahan, jalan nafas bagian atas mudah tersumbat akibat dislokasi,
udem, atau perdarahan. Harus selalu diingat bahaya aspirasi atau regurgitasi
lambung.
Periksa ada/ tidak cedera pada saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan
saluran liur.
Kontrol fraktur atau fragmen fraktur dengan tindakan reposisi atau reduksi,
fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Reposisi bisa secara tertutup, pada fraktur
rahang yang baru terjadi dan tidak ada interlocking dari bagian-bagian tulang
yang patah. Sedangkan reposisi terbuka dilakukan bila ada interlock yang hebat
pada bagian-bagian tulang yang patah. Imobilisasi dengan menggunakan fiksasi
ekstraoral (head bandage, head cap, pin), intraoral (wiring, splint, arch bar)
ataupun fiksasi internal (wiring, plat dan sekrup). Yang sering digunakan adalah
mini plate.
Head Cap
21
Bila fraktur rahang dilakukan preliminary Measures yaitu:
- Pada gigi patah atau rusak, sisa akar harus dicabut
- Pengambilan patahan tulang-tulang kecil yang lepas atau berserakan
- Kebersihan mulut penderita harus diperhatikan
- Pencabutan gigi yang berada pada garis fraktur
- Jaringan yang luka didesinfeksi dulu dengan larutan antiseptik
- Penjahitan jaringan lunak yang rusak
VI. Diskusi
VII. Kesimpulan
Insiden fraktur tulang wajah paling banyak terjadi antara usia 19 – 39 tahun.
Angka kejadian pada laki-laki daripada perempuan oleh karena kecelakaan,
minuman keras dan perkelahian. Fraktur mandibula menempati urutan pertama
dari seluruh fraktur tulang wajah (44,2 – 67,6 %). Diikuti berturut-turut oleh
fraktur zygoma dan maksila.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Burkitt HG, Quick CRG. Head and Maxillofacial Injuries. Dalam Essential
Surgery Problems, Diagnosis and Management. Spanyol: Churchill
Livingstone, 2002
2. Snell RS. Kepala dan Leher. Dalam Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Bagian 3. Edisi 3. Jakarta: EGC, 1997: 83-89
3. De Palma, AF. Fractures and Dislocations of the Ribs. Dalam The
management of fractures and dislocations an atlas. Volume 1, 2nd edition.
USA: WB Saunders, 1970: 460-470
4. Munir M, Widiarni D, M. Thamrin. Trauma Muka dan Leher. Dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima.
Jakarta: FKUI, 2001:161-169
5. Sjamjuhidajat R, de Jong W. Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC,1997
6. Sjamjuhidajat R, de Jong W. Kepala dan Leher. Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: EGC,1997
7. www. Learningradiology. com
8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Fraktur. Dalam Kapita
Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius, 2000
9. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal
System. Third edition. USA: Williams & Wilkins, 1999: 608
10. N. Tanaka et al 1994, Hill et al 1984, Shepard 1989, Thorn et al 1986
23