Anda di halaman 1dari 24

STUDI PENGARUH BEBERAPA VARIABEL DALAM

PROSES BIODESULFURISASI BATUBARA


MENGGUNAKAN BAKTERI MIXOTROF

TUGAS

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Nilai


Mata Kuliah MG 5021-Topik Khusus Kelas 01 (Pengolahan Bahan Galian)

Oleh :
ARSYAD BAKHTIAR
NIM: 22518004

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK METALURGI


FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

COVER ……………………………………………………………………………………….1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………..2
2.1 Batubara dan Konsep Clean Coal Technology……………………………………3
2.2 Tipe Sulfur dalam Batubara ………………………………………………………4
2.3 Bakteri Biodesulfurisasi …………………………………………………………..6
2.4 Mekanisme Biodesulfurisasi Sulfur Anorganik …………………………………..8
2.5 Mekanisme Biodesulfurisasi Sulfur Organik……………………………………...9
2.5.1. Jalur Pemecahan C-C Oksidatif (Jalur Kodama) ………………………….10
2.5.2. Jalur 4S (Jalur Sulfur Spesifik) ……………………………………………11
2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Biodesulfurisasi ………………..13
2.6.1 Kualitas Batubara …………………………………………………………...14
2.6.2 Ukuran Partikel ……………………………………………………………..14
2.6.3 Temperatur ………………………………………………………………….14
2.6.4 pH …………………………………………………………………………...15
2.6.5 Konsentrasi Oksigen Terlarut dan Karbon Diooksida ………………………15
2.6.6 Densitas Slurry ……………………………………………………………....15
2.6.8 Konsentrasi Ion Fe(II)/Fe(III) ………………………………………………16
2.6.9 Konsentrasi Senyawa Toksik ………………………………………………..16
2.6.10 Waktu Tinggal ……………………………………………………………..16
2.7 Perkembangan Penelitian terkait Biodesulfurisasi Batu bara .…………………...17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..19

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara dan Konsep Clean Coal Technology


Batubara merupakan bahan bakar padat organik yang berasal dari batuan sedimen yang
terbentuk dari sisa bermacam-macam tumbuhan purba dan menjadi padat disebabkan karena
tertimbun lapisan diatasnya. Pembatubaraan (coalication) terjadi karena adanya tekanan dan
temperature yang tinggi dan berlangsung dalam selan waktu yang sangat lama. Perbedaan
sifat batubara disebabkan adanya perbedaan sumber materialnya (jenis tumbuhan purba),
lingkungan sewaktu pengendapan, keadaan, kondisi, derajat perubahan, jumlah dan distribusi
pengotornya (Sudarsono, 2003). Berdasarkan proses geokimia yang terjadi batubara terbagi
menjadi lignit, sub-bituminus, bituminus, dan antrasit.

Karakteristik dari batubara dapat dihubungkan dengan peringkat, tipe, dan grade (kualitas)
dari batubara. Ketiga hal diatas memiliki hubungan yang tidak saling terkait. Peringkat
menunjukkan tingkat kematangan atau derajat metamorfosa batubara; tipe menunjukkan
bahan organik pembentuk batubara; dan grade (kualitas) berhubungan dengan pengotor
batubara (Suprapto, 2011). Pemanfaatan batubara sendiri erat kaitannya dengan kualitas dari
batubara tersebut. Terdapat beberapa parameter penentu kualitas batubara yaitu kadar abu
(ash content), titik leleh abu (ash fusion temperature), kelembaban/lengas (moisture), kadar
belerang (sulfur content), dan kadar zat terbang (volatile matter).

Konsumsi batubara semakin meningkat seiring berjalannya waktu (Dritrienko dkk., 2018).
Konsumsi batubara tinggi disebabkan karena batubara dirasa paling efektif untuk pembakaran
dalam skala besar. Konsumsi yang tinggi ini menyebabkan semakin banyak pula variasi
batubara yang digunakan sehingga diperlukan teknologi batu bara bersih (clean coal
technology) dalam penerapannya.

Konsep teknologi batu bara bersih umumnya difokuskan pada pengurangan emisi polutan-
polutan konvensional yaitu SOx, NOx, dan partikulat. Terdapat tiga kelompok teknologi yang

3
terdiri atas Pre combustion, During combustion, dan Post combustion. Pre combustion
merupakan pengurangan emisi yang dilakukan sebelum proses pembakaran batubara, seperti
pencucian, blending, flotasi, dan konversi (pencairan dan gasifikasi). During combustion
merupakan pengurangan emisi pembakaran delakukan selama proses pembakaran, seperti
teknologi fluidized bed combustion. Post Combustion merupakan pengurangan emisi yang
dilakukan dengan menagkap polutan (SOx, NOx, partikulat) setelah pembakaran atau
memisahkan polutan dari gas buang yang keluar dari cerobong, seperti flue gas
desulfurization untuk Sox, denitrifikasi untuk NOx, dan bag filter dan electrostatic
precipitator untuk partukulat (Suprapto, 2011).

2.2. Tipe Sulfur dalam Batubara


Sulfur dalam batubara dibagi menjadi dua bentuk yaitu sulfur anorganik dan sulfur organik.
Kadar sulfur dalam batubara berkisar pada rentang 0,1% sampai dengan 7%. Sulfur anorganik
dalam batubara terdiri dari mineral sulfida dan sulfat. Mineral sulfida diantaranya pirit (FeS2),
sfalerit (ZnS), galena (PbS), dan arsenopirit (FeAsS). Sedangkan untuk mineral sulfat
diantaranya barit (BaSO4), gipsum (CaSO4.H2O), gipsum anhidrit (CaSO4), dan sejumlah besi
sulfat (Calkin, 1994). Pirit sangat mendominasi kandungan sulfur anorganik di batubara.
Partikel pirit dalam bentuk kristal tersebar dalam batubara namun tidak terikat (Klein dkk.,
1994). Gambar 1 menunjukkan pirit yang terdapat di dalam batubara.

Gambar 1. Pirit yang tersebar di dalam batubara


4
Sementara itu, sulfur organik dalam batubara berikatan secara kovalen menjadi struktur yang
kompleks dan besar sehingga sulit dihilangkan secara fisik maupun kimia apabila
dibandingkan dengan sulfur anorganik. Sulfur organik dapat dikelompokkan menjadi empat
macam bentuk diantaranya :
1. Alifatik atau aromatik thiols (mercaptanes, thiophenols)
2. Alifatik, aromatik atau campuran (thioethers)
3. Alifatik, aromatik, atau campuran disulfida (dithioethers)
4. Senyawa heterosiklik (dibenzothiophenes).
Gambar 2 menunjukkan kandungan sulfur organik yang terdapat didalam batubara (Shennan,
1996).

Gambar 2. Jenis sulfur organik yang terdapat di dalam batu bara (Shennan, 1996)

5
Adapun untuk sulfur organik yang paling sering digunakan adalah senyawa dibenzothiophene
(DBT). DBT merupakan sebuah senyawa organosulfur, telah umum digunakan dalam model
desulfurisasi karena banyak ditemukan pada bahan bakar fosil. DBT memiliki titik didih yang
tinggi dan tahan panas untuk digunakan dalam metode penghilangan sulfur konvensional
(Soleimani dkk., 2007). Secara struktur, DBT memiliki dua cincin benzena yang tergabung
pada cincin tiophene di tengahnya. Massa molar DBT adalah 184,26 g/mol dan dapat
dioksidasi menjadi DBT sulphone, yang lebih tidak stabil dibanding DBT. Karena sangat
beracun, menghirup DBT dapat menyebabkan gangguan paru-paru pada manusia. DBT juga
menyebabkan peradangan pada kulit jika menyentuhnya secara langsung. Selain berbahaya
bagi manusia, DBT juga membahayakan kehidupan di air.

2.3. Bakteri Biodesulfurisasi


Beberapa mikroorganisme telah diujikan pada proses biodesulfurisasi batubara. Bakteri
pengoksidasi sulfur akan mendesulfurisasi sulfur pada batubara menjadi sulfida hidrogen.
Namun, dalam beberapa studi menunjukkan tidak terjadi pengurangan kandungan sulfur
secara signifikan. Bakteri mesoacidophilic, chemolithotropic memiliki peranan yang sangat
penting pada proses depiritisasi pada batubara. Thiobacillus ferrooxidans, T. thiooxidans, dan
Leptospirillum ferrooxidans merupakan bakteri yang sering digunakan dalam proses
desulfurisasi batubara. Semua jenis spesies Thiobacillus memperoleh energi dari proses
oksidasi sulfur. Berbeda dengan jenis spesies lainnya, T. ferrooxidans memanfaatkan ion
ferrous sebagai donor elektron (Nemati dkk., 1998).

Pada proses industri, penggunaan L. ferrooxidans lebih dominan dibandingkan dengan T.


ferrooxidans pada proses pengurangan sulfur anorganik. Hal ini disebabkan oleh nilai afinitas
Fe2+ yang lebih besar, dan Fe3+ memiliki sedikit sensitivitas terhadap penghambatan pada
aerasi L.ferrooxidans. Kondisi pH yang optimum untuk pertumbuhan T. ferrooxidans yaitu
pada rentang nilai 1,8-2,5. Sedangkan L. ferrooxidans dapat tumbuh pada kondisi yang lebih
asam yaitu pada pH 1,2. Selain itu, T. ferrooxidans lebih mampu bertahan pada kondisi suhu
yang rendah dibanding L. ferrooxidans. Sedangkan L. ferrooxidans. lebih mampu bertahan
pada kondisi suhu yang tinggi (Rawlings dkk., 1999). Beberapa strain T. ferrooxidans mampu
mengoksidasi pirit pada suhue di bawah 10˚C (Norris, 1990), sedangkan L. ferrooxidans

6
mampu mengoksidasi pirit pada suhu 45˚C (batas atas) dan 20˚C (batas bawah) (Sand dkk.
1993).

Bakteri mesoacidophilic merupakan bakteri yang memiliki kemampuan yang baik dalam
mengurangi kandungan sulfur anorganik. Namun, bakteri ini memiliki performa kurang baik
dalam mendesulfurisasi sulfur organik. Schippers dkk. (1999) menjelaskan bahwa bakteri
thermoacidophilic seperti Sulfolobus acidocaldarius, Sulfolobus brierleyi, Metallosphaera
sedula, dan Thiobacillus caldus mampu mendesulfurisasi sulfur organik dengan baik. Jenis-
jenis bakteri ini dapat tumbuh pada rentang suhu 40-90 ˚C , dan pada rentang pH 1-5,8
(Karavaiko dan Lobyreva, 1994). Bakteri thermoacidophilic memiliki tingkat
biodepyritisation yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri mesoacidophilic.
Pseudomonas sp merupakan salah satu bakteri yang juga dapat digunakan untuk proses
desulfurisasi sulfur organik. Pseudomonas putida memiliki kemampuan yang baik dalam
proses desulfurisasi baik sulfur organik maupun anorganik. Namun, beberapa studi terkait
penggunaan Pseudomonas sp pada proses desulfurisasi menunjukkan hasil yang berbeda-
beda. Hal ini menunjukkan strain Pseudomonas sp dalam proses desulfurisasi batubara
belum dikarakterisasi dengan baik.

Kemampuan pengurangan kandungan sulfur baik sulfur organik maupun sulfur anorganik
juga dimiliki oleh Rhodococcus sp, yaitu bakteri yang bersifat aerobik, mesophilic,
chemoorganotropicm, dan grampositive (Warhurst dan Fewson, 1994). Sejumlah penelitian
terkait penggunaan spesies DBT-desulphurising Rhodococcus dalam proses desulfurisasi telah
dilakukan diantaranya. Rhodochrous erythropolis IGTS8 (Kayser dkk., 1993), R. erythropolis
D-1 (Izumi dkk., 1994), Rhodococcus sp. SY1 (Omori dkk., 1995), R. erythropolis H-2
(Ohshiro dkk., 1996), R. erythropolis N-36 (Wang dan Krawiec, 1996). Rhodochrous
erythropolis IGTS8 merupakan strain yang paling banyak digunakan dalam penilitian.

Dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa bakteri yang memiliki kemampuan
paling baik dalam proses desulfurisasi batubara yaitu Rhodococcus sp, dimana bakteri ini
mampu mengurangi kandungan sulfur dari berbagai model senyawa. Namun, jenis bakteri ini
tidak semuanya dapat digunakan untuk semua jenis senyawa sulfur.

7
2.4 Mekanisme Biodesulfurisasi Sulfur Anorganik
Mekanisme biodesulfurisasi batubara anorganik menggunakan proses biooksidasi. Istilah
biooksidasi digunakan apabila unsur yang dilarutkan adalah unsur pengotor seperti besi dan
sulfur. Biooksidasi menggunakan bakteri yang mampu mengoksidasi mineral sulfida untuk
sumber energinya. Bakteri bertindak sebagai katalis dalam proses. Terdapat dua mekanisme
biooksidasi yaitu mekanisme langsung (direct mechanism) yang melibatkan interaksi/kontak
fisik sel bakteri dengan permukaan mineral dan mekanisme tidak langsung (indirect
mechanism) dimana bakteri mengoksidasi ion ferrous (Fe2+) menjadi ion ferri (Fe3+) dan ion
ferri selanjutnya digunakan sebagai oksidator untuk melarutkan mineral sulfide.

Reaksi direct mechacism pada mineral sulfida, sebagai contoh pirit dapat ditunjukkan
Persamaan 2.1

FeS2 + 3,5O2 + H2O  Fe2+ + 2H+ + 2SO42- (2.1)

Sementara itu, untuk reaksi tidak langsung (indirect mechanism) pada mineral sulfida
ditunjukkan pada Persamaan 2.2 dan 2.3.

2Fe2+ + 0,5O2 + 2H+  2Fe3+ + H2O (2.2)


MS + 2Fe3+  M2+ + S + 2Fe2+ (2.3)

Spesi sulfur dapat terbentuk pada kedua mekanisme tersebut. Pembentukan sulfur elemental
dapat mempasivasi permukaan mineral sulfide dan menghambat laju proses oksidasi. Oleh
karena itu, oksidasi sulfur oleh bakteri berperan penting untuk meningkatkan efisiensi proses
dan mengurangi kebutuhan reagen H2SO4 untuk mensuplai kebutuhan proton dalam oksidasi
ion Fe2+ dan mineral sulfide. Reaksi oksidasi sulfur elemental menjasi sulfat ditunjukkan pada
Persamaan 2.4.

S + 3/2O2 + H2O  2H+ + 2SO42- (2.4)

8
Indirect mechanism dibagi menjadi dua jenis yaitu mekanisme thiosulfat dan mekanisme
polisulfida. Mekanisme thiosulfat menjelaskan mekanisme reaksi oksidasi mineral-mineral
sulfide yang tidak larut dalam asam (acid-insoluble) seperti FeS2, MoS2, dan WS2 oleh Fe3+.
Pita valensi (valensi band) dalam FeS2, MoS2, dan WS2 hanya berasal dari atom logam saja
sehingga pita valensi ini tidak berkontribusi dalam ikatan kimia antara spesi logam dan sulfur
di dalam mineral (Crundwell, 1988; Tribusct, 1981). Oleh karena itu, pemutusan ikatan kimia
di dalam FeS2, MoS2, dan WS2 hanya dapat dilakukan oleh oksidator seperti ion Fe3+. Sulfur
dalam bentuk sulfide akan dioksidasi menjadi produk antara (intermediate) yaitu thiosulfat
yang nantinya akan dioksidasi menjadi ion sulfat oleh bakteri pengoksidasi sulfur. Berikut
adalah reaksi yang berlangsung dalam mekanisme thiosulfate:

FeS2 + 6Fe3+ + 3H2O  S2O32- + 7Fe2+ + 6H+ (2.5)


S2O32- + 8Fe3+ + 5H2O  2SO42- + 8Fe2+ +10H+ (2.6)

Mekanisme oksidasi mineral sulfida yang larut dalam asam dijelaskan dengan mekanisme
polisulfida. Mineral-mineral selain FeS2, MoS2, dan WS2 memiliki ikatan valensi berasal dari
orbital atom logam dan sulfur. Oleh karena itu, pemutusan ikatan kimia dapat dilakukan oleh
proton (H+) dan/atau ion Fe3+ dengan produk antara berupa polisulfida. Oksidasi kimia tanpa
bantuan bakteri akan menghasilkan produk akhir berupa sulfur elemental (Schippers dan
Sand, 1999). Sulfur elemental dapat dioksidasi lebih lanjut menjadi ion sulfat oleh bakteri
pengoksidasi sulfur. Reaksi kimia dalam mekanisme polisulfida ditunjukkan pada Persamaan
2.7 sampai dengan 2.9.

ZnS + Fe3+ + H+  M2+ + 0,5H2Sn + Fe2+ (n 2) (2.7)

0,5H2Sn + Fe3+  0,125S8 + Fe2+ + H+ (2.8)


0,125S8 + 1,5O2 + H2O  SO42- + 2H+ (2.9)

2.5. Mekanisme Biodesulfurisasi Sulfur Organik


Mekanisme biodesulfurisasi sulfur organik batubara menggunakan mekanisme penguraian
DBT yang telah banyak diteliti. Dari banyak hal yang telah diteliti tersebut, mikroba
memegang peranan yang penting dalam setiap langkah reaksi penguraian DBT.

9
2.5.1. Jalur Pemecahan C-C Oksidatif (Jalur Kodama)
Penguraian DBT oleh Pseudomonas jijani dan Pseudomonas abikonesi telah diteliti oleh
Kodama (1970), sehingga jalur mekanisme tersebut dinamai Jalur Kodama. Jalur ini terdiri
atas reaksi pemecahan oksidatif terhadap cincin DBT untuk membentuk senyawa intermediet
tertentu. Reaksi-reaksi tersebut dibagi menjadi 3 tahap utama, yaitu hidroksilasi, pemecahan
cincin, dan hidrolisis yang akhirnya menghasilkan 3-hidroksi-2-formil benzothiophene
(HFBT). HFBT tersebut dapat diurai lebih lanjut menjadi benzothiophene 2,3-dion oleh
mikroba tertentu (Kropp dkk., 1997). Penguraian HFBT diketahui menghasilkan karbon
dioksida (Bressler dkk., 2001). Jalur Kodama secara umum ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme Jalur Kodama (Gupta dkk., 2005)

10
Penguraian DBT berkaitan dengan keberadaan sebuah plasmid 55 MDa pada bakteri yang
diteliti oleh Kodama. Dengan kata lain, Jalur Kodama telah ditentukan secara genetik.
Fragmen DNA sepanjang 9,8 kb dari Pseudomonas C18 yang mengkodekan gen desulfurisasi
telah diperbanyak dan diketahui urutannya (Gupta dkk., 2005). Pada bakteri Pseudomonas
putida, DBT terlebih dahulu dimetabolisme pada Jalur Kodama lalu digantikan oleh jalur
DBT sulphone (Mormile dkk., 1989). Spesies jamur seperti Cunninghamella elegans (Asha
dkk., 2009) dan Pleurotus ostreatus (Bezalel dkk., 1996) juga mengoksidasi DBT menjadi
DBT suphone dan DBT sulfoksida, demikian pula pada bakteri Rhizobium meliloti
(Frassinetti, 1998) dan Beijerinckia sp. (Laborde, 1977). Di sisi lain, penguraian DBT-alkil
yang diteliti pada Pseudomonas BT1, W1, dan F, serta kultur campuran bakteri pengurai
minyak bumi (Kropp dkk., 1997), menunjukkan adanya Jalur Kodama dengan produk akhir
berupa HFBT-alkil. Penelitian ini menunjukkan bahwa enzim pada Jalur Kodama cenderung
memecah cincin homosiklik tak tersubstitusi daripada cincin homosiklik teralkilasi. Setelah
itu, beberapa spesies mikroba lainnya diketahui juga mengikuti Jalur Kodama dalam
penguraian DBT (Young, dkk., 2006). Penelitian untuk mengetahui urutan gen yang terlibat
telah dilakukan pada Burkholderia fungorum dan Pseudomonas putida (Soleimani dkk.,
2007). Beberapa mekanisme penecahan C-C lainnya seperti Jalur 4S telah diamati pada
Brevibacterium sp. DO dan Arthrobacter spesies K3b (Afferden dkk., 1990).

2.5.2. Jalur 4S (Jalur Sulfur Spesifik)


Mekanisme Jalur 4S pada penguraian DBT pertamakali diajukan oleh Kilbane pada 1989
(Kilbane dkk., 1989) dan diteliti oleh Gallagher dkk. pada 1993 menggunakan bakteri
Rhodococcus rhodochrous IGTS8 (Gallagher dkk., 1993). Gambar 4 menunjukkan Jalur 4S
dan senyawa intermediet yang terbentuk selama reaksi penguraian DBT.

Mekanisme ini diawali dengan transformasi DBT menjadi DBT sulfoksida (DBTO), diikuti
dengan konversi DBTO menjadi DBT sulphone (DBTO2), sulphinate, dan hidroksibifenil.
Keseluruhan mekanisme diatur oleh 4 enzim, yaitu DBT monoksigenase (DszC), DBT 5,5-
dioksida monoksigenase (DszA0, desulphinase (DszB), dan flavin reduktase (DszD) (Kilbane
dkk., 2006). Konversi DBT menjadi DBT sulfoksida dilanjutkan dengan pembentukan DBT
sulphone diatur oleh enzim DszC. Selanjutnya, DBT suphone diubah menjadi DBT sulphinate
oleh DszA dengan bantuan FMNH2 sebagai kosubstrat dan berlangsung 5-10 kali lebih cepat

11
dibanding reaksi sebelumnya. Akhirnya DszB menyerang gugus nukleofilik sulfur sulphinate
pada DBT sulphinate untuk menghasilkan 2-hidroksifenil (2-HBP). Molekul oksigen
diperlukan pada setiap reaksi enzimatik tersebut. DszA dan DszC menggunakan FMNH2
dalam aktivitasnya, yang diperoleh dari FMN:NADPH oksidoreduktase (DszD) (Gupta dkk.,
2005). Penelitian terbaru oleh Li dkk. (2009) menunjukkan penggunaan FMNH2 maupun
FADH2 sebagai substrat pada DBT monooksigenase (DszC) yang dihasilkan dari bakteri
desulfurisasi Mycobacterium goodie X7B.

Karena Jalur 4S adalah Jalur Sulfur Spesifik, maka mekanisme reaksi yang terjadi tidak
mempengaruhi rangka karbon dan nilai kalori dari bahan bakar yang tersisa. Beberapa
mikroorganisme yang menggunakan Jalur 4S untuk desulfurisasi antara lain Rhodococcus sp.
strain P32C1, Pseudomonas delafieldii, Klebsiella spp., Gordonia sp. strain CYKS1,
Nocardia spp., Xanthomonas spp., Rhodococcus erythropolis, Agrobacterium sp. strain
MC501, Mycobacterium spp.,dan bakteri termofilik Paenibacillus (Borzenkova dkk., 2013).
Bacillus subtilis memiliki kemampuan untuk mendesulfurisasi DBT teralkilasi seperti 2,8-
dimetil DBT dan 4,6-dimetil DBT (Kirimura dkk., 2001). Belakangan diketahui bahwa
hidroksifenil (HBP) bersifat racun bagi Gordonia alkalivorans dan R. erythropolis (Alves
dkk., 2011). Selain itu, peningkatan densitas sel akan mengurangi efisiensi R. rhodochrous
IGTS8 dan beberapa mikroorganisme desulfurisasi (Tangaromsuk dkk., 2008). Di sisi lain,
Mycobacterium phlei GTIS10 memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap 2-HBP dan
efisiensi desulfurisasi yang lebih tinggi dibanding R. erythropolis IGTS8 (Kayser dkk., 2002).
Mycobacterium X7B memiliki kemampuan untuk mengurai lebih lanjut 2-HBP menjadi 2-
metoksibifenil yang lebih tidak beracun.

12
Gambar 4. Jalur 4S pada penguraian DBT (Gupta dkk., 2005)

2.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Biodesulfurisasi


Jumlah populasi bakteri di dalam reaktor biodesufurisasi batubara sebanding dengan laju
oksidasi sulfur anorganik dan organik pada batubara. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan bakteri dan unjuk kerja proses bioksidasi sulfur anorganik meliputi kualitas
batubara, ukuran partikel, temperatur, pH, oksigen terlarut, karbon dioksida, ketersediaan
nutrisi, konsentrasi ion Fe(II)/Fe(III), konsentrasi senyawa toksik, waktu tinggal, dan densitas.

13
2.6.1 Kualitas Batubara
Dilakukan dengan uji proksimat dan uji ultimat. Uji proksimat batubara meliputi uji kadar
lengas (moisture), kadar abu (ash), kadar zat terbang (volatile matter), karbon tertambat (fixed
carbon). Sedangkan uji ultimat digunakan untuk menentukan unsur-unsur pembentuk
batubara seperti C,H, O, N, S, P. Kedua uji ini akan menentukan kualitas batubara yang
nantinya akan berpengaruh pada batubara yang umpan yang akan diproses dengan
biooksidasi. Kualitas batubara rendah misal apabila kandungan sulfur dalam batubara tinggi
yang mengakibatkan semakin besar pula sulfur yang akan dioksidasi batu bara yang dapat
mengakibatkan nutrisi untuk bakteri semakin banyak.

2.6.2 Ukuran Partikel


Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaan partikel yang dapat teroksidasi
dan semakin cepat laju oksidasi unsur anorganik. Nemati dkk (2000) melaporkan bahwa
pengecilan ukuran diameter partikel dari 202 µm menjadi 42,5 µm meningkatkan laju
bioleaching dari 0,05 kg/m3.jam menjadi 0,098 kg/m3.jam tanpa adanya perubahan kinetika
pertumbuhan dan aktivitas bakteri. Namun demikian, pengecilan ukuran partikel ke ukuran
kurang dari 25 µm berdampak negative terhadap laju oksidasi. Keberadaan partikel halus di
dalam slurry menurunkan konsentrasi bakteri secara signifikan. Struktur sel bakteri dapat
rusak karena tumbukan antara partikel halus dengan sel bakteri dalam slurry. Tantangan
dalam pengolahan batubara adalah mengolah batubara pada ukuran yang digunakan dalam
skala industri yaitu 1-5 cm.

2.6.3 Temperatur
Bakteri tumbuh dan hidup pada temperature tertentu. Bakteri yang umumnya digunakan
dalam proses bioksidasi adalah bakteri mesofil yang tumbuh dan berkembang baik pada
temperatur 30-45 C. Namun, beberapa jenis bakteri termofil juga ditemukan dalam proses

biooksidasi komersial terutama dalam heap. Kenaikan dan penurunan temperatur terjadi
karena:
1. Reaksi oksidasi unsur anorganik bersifat eksoterm,
2. Peningkatan panas akibat proses agitasi,
3. Kehilangan panas karena terserap oleh slurry yang masuk ke reaktor,

14
4. Kehilangan panas karena konveksi dan radiasi,
5. Kehilangan panas akibat injeksi udara ke dalam slurry.

2.6.4 pH
Bakteri yang digunakan dalam proses biooksidasi adalah bakteri asidofilik yang tumbuh pada
pH kurang dari dua. Perubahan nilai pH selama proses sangat dipengaruhi oleh komposisi dari
batubara. Salah satu penelitian menunjukkan penurunan nilai pH kurang dari 1,0
menyebabkan penurunan laju oksidasi unsur anorganik batubara. Hal ini akibat munculnya
efek foaming di dalam bioreaktor. Peningkatan pH lebih dari 1,8 juga akan menurunkan laju
biooksidasi akibat pengendapan garam metal misalnya jarosite pada permukaan batubara.
Pengaturan nilai pH dilakukan dengan penambahan H2SO4 untuk menurunkan pH dan
lime/limestone untuk menaikkan pH.

2.6.5 Konsentrasi Oksigen Terlarut dan Karbon Diooksida


Oksigen bentindak sebagai penerima elektron (electron acceptor) dalam biooksidasi. Tipikal
kebutuhan oksigen bervariasi antara 1,8 sampai 2,6 kg O2/kg sulfide yang teroksidasi
tergantung pada komposisi kandungan sulfur yang ada dalam umpan (van Aswegen dkk,
2007). Selain digunakan dalam proses oksidasi sulfur, oksigen juga digunakan dalam
metabolism bakteri. Pada konsentrasi oksigen yang rendah, pertumbuhan bakteri akan
terhambat. Oksigen disuplai dengan menghembuskan udara ke dalam slurry.

Karbon dioksida merupakan sumber karbon anorganik bagi bakteri kemolitotrof dan mixotrof.
Suplai karbon dioksida diperoleh dari dekomposisi mineral karbonat dan dari uadara yang
dihembuskan ke dalam slurry. Kekurangan karbon dioksida dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dan menurunkan laju oksidasi sulfur pada batubara.

2.6.6 Densitas Slurry


Dalam proses oksidasi, densitas slurry merupakan fungsi dari persen padatan dan jumlah
biomassa bakteri. Umumnya proses biooksidasi komersial beroperasi pada densitas slurry
20%, Pengoperasian biooksidasi pada densitar slurry yang lebih tinggi dilakukan jika
kandungan sulfur pada batubara lebih rendah daripada parameter yang ditentukan. Namun,
pertumbuhandan aktivitas bakteri pada densitas slurry yang tinggi cenderung lebih lambat

15
karena perpindahan massa gas oksigen dan karbon dioksida dari fasa gas ke liquid yang
menurun (Langhans dkk.,1995).

2.6.7 Ketersediaan Nutrisi


Selain sulfur dan karbon, bakteri membutuhkan elemen lain seperti nitrogen, fosfor, dan
kalium untuk pertumbuhan dan produksi sel baru. Elemen-elemen tersebut terkandung dalam
batubara dengan konsentrasi yang rendah. Kekurangan nitrogen dapat diatasi dengan
menghembuskan udara seperti halnya oksigen dan karbon dioksida. Tuivinen dkk (1971)
melaporkan bahwa kandungan aminium 0,2 mM mencukupi kebutuhan nitrogen pada bakteri
Acidithiobacillus ferroxidans. Elemen lainnya selain karbon dan nitrogen tidak dapat
diperoleh dari udara. Suplai fosfor, kalium, dan elemen lainnya dilakukan dengan
menambahkangaram logam ke dalam larutan biooksidasi.

2.6.8 Konsentrasi Ion Fe(II)/Fe(III)


Konsentrasi ion Fe(II) dan Fe(III) digunakan untuk menentukan aktivitas bakteri dalam proses
biooksidasi. Bakteri aktif dalam rasio ion Fe(II)/Fe(III) yang rendah sehingga didapatkan nilai
potensial 950-980 mV. Sebaliknya, bakteri akan tidak aktif pada raio ion Fe (II)/Fe(III) yang
tinggi.

2.6.9 Konsentrasi Senyawa Toksik


Pertumbuhan sel bakteri dapat terhambat akibat adanya senyawa-senyawa toksik selama
proses biooksidasi. Senyawa toksik ini berasal dari reagen kimia yang digunakan atau
dihasilkan selama proses biooksidasi. Beberapa reagen bersifat toksik terhadap sel bakteri
seperti reagen flotasi, slokulan, dan thiocyanate pada konsentrasi tertentu (Dew dkk., 1997).

2.6.10 Waktu Tinggal


Dalam proses biooksidasi batubara, oksidasi sulfur bertujuan agar kandungan sulfur dalam
batubara berkurang. Bakteri akan mengoksidasi sulfur pada batubara dengan waktu tinggal
dala bioreactor tertentu. Waktu tinggal yang semakin lama akan meningkatkan jumlah
pengurangan sulfur pada barubara hingga didapatkan waktu tinggal optimum.

16
2.9. Perkembangan Penelitian terkait Biodesulfurisasi Batubara
Perkembangan terkait biodesulfurisasi batubara saat ini berada pada tahan diperlukannya
operasi dengan skala besar (large-scale operation). Sebagian besar operasi yang dilakukan
dengan tangki reaktor stirrer menghasilkan hamper 90% pengurangan pirit didalam batubara.
Tangki reaktor stirrer dan reaktor packed-bed yang cocok dan dapat meningkatkan efisiensi
sedang diteliti. Namun, dengan metode ini ditemui biaya pengadukan (stirring) yang tinggi
sehingga menjadi kendala untuk diterapkan dalam skala industri. Hal ini dapat diatasi dengan
menggantikan pengaduk (stir) dengan reaktor air-lift sehingga dapat mengurangi biaya total
operasi (Monticello, 2000).

Packed-column leaching digunakan untuk mengurangi sulfur dari batubara semi-antrasit


dengan didapatkan pengurangan sulphur 24% selama waktu inkubasi 125 hari. Dari jumlah
total sulfur terdapat 43% sulphur piritik yang berkurang dengan penggunaan metode ini (Cara
dkk., 2006). Penelitian selanjutnya terkait penggunaan reaktor jenis kolom dilakukan oleh
Yang dkk (2012). Penelitian Yang dkk (2012) menggunakan reaktor kolom dengan tinggi 50
cm dan diameter 650 mm. Bakteri yang digunakan adalah tiga jenis bakteri asidofilik yaitu A.
ferroxidans, A. thiooxidans, dan Leptospirillum ferroxidans dengan perbandingan 1:1:1.
Setelah dilakukan inkubasi selama 18 hari didapatkan besar desulfurisasi 28,66% (lebih besar
dari Cara dkk., 2006). Yang dkk (2012) menjelaskan untuk proses biodesulfurisasi yang lebih
efisien maka ion Fe2+ didalam larutan perlu diatur dan besar konsentrasi Leptospirillum
ferroxidans dikurangi agar mencegah terbentuknya jarosite. Reaktor bubble column
digunakan oleh Prabhu dan Bharath (2012) untuk mengurangi sulfur pada lignit menggunakan
A. ferrooxidans. Metode ini dapat mengurangi 77% total sulphur yang ada dalam batubara.
Kandungan mineral batubara dianalisis menggunakan SEM-EDS dan XRD untuk menentukan
jumlah matriks sulfur. Bagian dari penelitian ini, juga dilakukan pada skala pilot dengan
biooksidasi batubara dari Tabas dengan bakteri A. ferrooxidans. Pada skala pilot ini
dihasilkan pengurangan total sulfur 20% dengan pengurangan sulphur piritik 45% selama 14
hari (Farahnaz dan Reza, 2010). Penelitian terbaru oleh Pathak dkk (2013) dilakukan pada
batubara US dengan konsentrasi besi dan sulphur tinggi menggunakan bakteri A.
ferrooxidans. Penelitian menggunakan tangki reaktor stirrer 8 liter dengan densitas slurry
dijaga 1% (w/v). Lingkungan aerobik dijaga dengan penyemburan udara dan temperature
dijaga 35⁰C. Pada penelitian ini didapatkan pengurangan sulphur piritik 67% dan total pirit

17
90%. Selanjutnya Pathak dkk (2013) meneliti dengan penambahan volume tangki reaktor
strirrer yang lebih besar yaitu 10 liter dengan densitas slurry 10% (w/v). Metode ini
didapatkan pengurangan jumlah sulfur piritik 21% dan total sulphur 64%. Hal ini
menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan Pathak dkk cocok untuk biodesulfurisasi
piritik pada batubara.

Heap leaching digunakan untuk batubara antrasit dari Pabrik S.A Hullera Vasco-Leonesa
dengan mengasilkan desulfurisasi total sulfur 23% dan sulfur piritik 39% (Cara dkk, 2005).
Saat ini penelitian terkait heap leaching dengan menggunakan mikroba dalam pengolahan
mineral mulai diterapkan scale-up. Namun masih ditemui adanya keterbatasan laporan
mengenai biodesulfurisasi batubara dalam skala besar dan analisis biaya yang diperlukan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Afferden van, M., Schacht, S., Klein, J., dan Trüper, H.G. (1990): Degradation of
dibenzothiophene by Brevibacterium sp. DO, Arch. Microbiol., 153, 324–328

Alves, L., dan Paixa˜o, S.M. (2011): Toxicity evaluation of 2-hydroxybiphenyl and other
compounds involved in studies of fossil fuels biodesulphurisation, Bioresour. Technol.,102,
9162–9166.

Asha, S., dan Vidyavathi, M. (2009): Cunninghamella - A microbial model for drug
metabolism studies - A review, Biotechnol. Adv., 27, 16–29.

Bezalel, L., Hadar, Y., Fu, P.P., Freeman, J.P., dan Cerniglia, C.E. (1996): Initial oxidation
products in the metabolism of pyrene, anthracene, fluorine, and dibenzothiophene by the
white rot fungus Pleurotus ostreatus, Appl. Environ. Microbiol., 62, 2554–2559.

Bressler, D.C., dan Fedorak, P.M., (2001): Purification, stability and mineralization of 3-
hydroxy-2-formylbenzothiophene, a metabolite of dibenzothiophene, Appl.
Environ.Microbiol., 67, 821–826.

Borzenkova, N.V., Veselova, I.A., dan Shekhovtsova, T.N. (2013): Biochemical methods of
crude hydrocarbon desulfurization, Biol. Bull. Rev., 3, 296–311.

Cara, J., Vargas, M., Moran, A., Gomez, E., Martınez, O., dan Frutos, F.J.G. (2006):
Biodesulphurization of a coal by packed-column leaching. Simultaneous thermogravimetric
and mass spectrometric analyses, Fuel, 85, 1756–1762.

Chalkins, W.H. (1994): The chemical forms of sulfur in coal: a review. Fuel, 73 (4), 475-484.

Dew, D.W., (1995): Comparison of performance for continuous biooxidation of refractory


gold ore flotation concentrates, Vargas T, Jerez CA, Wiertz JV, Toledo H. eds,
Biohidrometallurgical Processing, 239-251.

Dmitrienko, M.A., dkk., (2018): Major gas emmisions from combustion of slurry fuels based
on coal, coal waste, and coal derivates, Journal of Cleaner Production, 177, 284-301.

19
Escobedo, G.T., dkk., (2016): Bio-collector alternative for the recovery of organic matter in
flotation processes. Fuel, 176, 165-172.

Farahnaz, E., dan Reza, E.M. (2010): Biodesulfurization of Tabas coal in pilot plant scale,
Iran. J. Chem. Chem. Eng., 29, 75–78.

Frassinetti, S., Setti, L., Corti, A., Farrinelli, P., Monteveechi, P., dan Vallini, G., (1998):
Biodegradation of dibenzothiophene by a nodulating isolate of Rhizobium meliloti, Can. J.
Microbiol., 44, 289–297.

Gallagher, J.R., Olson, E.S., dan Stanley, D.C. (1993): Microbial desulfurization of
dibenzothiophene: a sulfur specific pathway, FEMS Microbiol. Lett., 107,
31–36.

Gupta, N., Roychoudhury, P.K., dan Deb, J.K. (2005): Biotechnology of desulfurization of
diesel: prospects and challenges, Appl. Microbiol. Biotechnol., 66, 356–366.

Hu, T., dkk., (2018): Biodesulfurization of coal using Rhodococcus erythropolis SX-12 and
Acidithiobacillus ferroxidans GF: A two-step approach. Energy Science & Engineering.

Izumi, Y., Ohshiro, T., Ogino, H., Hine,Y., dan Shimao, M. (1994): Selective
desulfurization of dibenzothiopheneby Rhodococcus erythropolis strain D-1. Applied and
Environmental Microbiology, 60, 223-226.

Karavaiko,G., dan Lobyreva,L.B. (1994): An overview of the bacteria and archaea


involved in removal of inorganic and organic sulfur compounds from coal. Fuel
Processing Technology, 40, 167-182.

Kayser, K.J., Bielaga-Jones,B.A., Jackowski, K., Odusan, O., dan Kilbane J.J. (1993):
Utilization of organosulphur compounds by axenic and mixed cultures of
Rhodococcus rhodochrous IGTS8. Journal of General Microbiology, 139, 3123-3129.

Kayser, K.J., Cleveland, L., Park, H.S., Kwak, J.H., Kolhathar, A., dan Kilbane II, J.J. (2002):
Isolation and characterization of a moderate thermophile Mycobacterium phlei GTIS10,
capable of dibenzothiophene desulfurization, Appl. Microbiol. Biotechnol., 59, 737–745.

20
Kilbane, J.J. (1989): Desulfurization of coal: the microbial solution, Trends Biotechnol., 97,
97–101.

Kilbane II, J.J. (2006): Microbial biocatalyst developments to upgrade fossil fuels, Curr.
Opin. Biotechnol., 17, 305–314.

Kirimura, K., Furuya, T., Nishii, Y., Ishii, Y., Kino, K., dan Usami, S. (2001):
Biodesulfurization of dibenzothiophene and its derivatives through the selective cleavage of
CS bonds by a moderately thermophilic bacterium Bacillus subtilis WU-S2B, J. Biosci.
Bioeng., 91, 262–266.

Klein, J. (1998): Technological and economic aspects of coal biodesulfurisation.


Biodegradation,9, 293-300.

Kodama, K., Nakatini, S., Umehara, K., Shimizu, K., Minoda, Y., dan Yamada, K. (1970):
Microbial conversion of petro-sulfur compounds. Part III. Isolation and identification of
products from dibenzothiophene, Agric. Biol. Chem., 34, 1320-1324.

Kropp, K.G., Andersson, J.T., dan Fedorak, J.T. (1997): Bacterial transformations of three
dimethyl dibenzothiophenes by pure and mixed bacterial cultures, Environ. Sci. Technol., 31,
1547–1554.

Laborde, A.L., dan Gibson, D.T. (1977): Metabolism of dibenzothiophene by a Beijerinckia


species, Appl. Environ. Microbiol., 34, 783–790.

Langhans, D., Lord, A., Lampshire, D., Burbank, A., dan Baglin, E. (1995): Biooxidation of
an arsenic bearing refractory gold ore, Minerals Engineering, 8, 147-158.

Li, J.C., Feng, J.H., Li, Q., Ma, C.Q., Yu, B., Gao, C., Wu, G., dan Xu, P. (2009): Both
FMNH2 and FADH2 can be utilized by the dibenzothiophene monooxygenase from a
desulfurizing bacterium Mycobacterium goodii X7B, Bioresour. Technol., 100, 2594–2599.

Milan, A.D., dkk., (2017): Biodesulfurization of a Coarse-Grained High Sulfur Coal in a Full-
Scale Packed-bed Bioreactor. Solid State Phenomena, 262, 207-210.

Mishra, S., dkk., (2016): biodegradation of dibenzothiophene and its application in the
production of clean coal. Fuel Processing Technology.

21
Monticello, D.J. (2000): Biodesulfurization and the upgrading of petroleum distillates, Curr.
Opin. Biotechnol, 11, 540–546.

Mormile, M.R., dan Atlas, M.R. (1989): Biotransformation of dibenzothiophene to


dibenzothiophene sulfone by Pseudomonas putida, Can. J. Microbiol., 35, 603–605.

Nemati, M., Harrison, S.T.L., Hansford, G.S., dan Webb, C. (1998): Biological
oxidation of ferrous sulphate by Thiobacillus ferrooxidans: a review on the kinetic
aspects. Biochemical Engineering Journal, 1, 171-190.

Nemati, M., Lowenadler, J., Harrison, S.T.L. (2000): Particle size effect in bioleaching of
pyrite by acidophilic thermophile Sulfolobus metallicus (BC), Applied Microbiology
Biotechnology, 53, 173-179.

Norris, P.R. (1990): Acidophilic bacteria and their activity in mineral sulphide
oxidation. In Microbial mineral recovery, edited by Ehrlich, H.L. & Brierley, C.L.
McGraw-Hill, New York, 3-27.

Ohshiro,T., Hirata, T., dan Izumi, Y. (1996): Desulfurization of dibenzothiophene


derivatives by whole cells of Rhodococcus erythropolis H-2. FEMS Microbiology
Letters, 142, (1), 65-70.

Omori, T., Saiki, Y., Kasuga, K., dan Kodama, K. (1995): Desulfurization of alkyl and
aromatic sulfides and sulfonates by dibenzothiophene desulphurising Rhodococcus sp. strain
SY1. BioscienceBiotechnology and Biochemistry, 59, 1195-1198.

Pathak, A., Kim, D.J., Srichandan, H., dan Kim, B.G. (2013): Depyritization of US coal using
iron oxidizing bacteria: batch stirred reactor study, Int. J. Chem. Mol. Nucl. Mat. Metallurg.
Engineer, 7, 839–842.

Prabhu, S.V., dan Bharath, G. (2012): Column biodesulpherization of bitiminous coal by


Acidithiobacillus ferroxidans isolate, Int. J. Future Biotechnol., 1,1–8.

Prayueyong, P. (2000): Biodesulphurisation of coal. Thesis. Cranfield University. Intitute of


Bioscience and Technology.

22
Rawlings, D.E., Tributsch, H., dan Hansford, G.S. (1999): Reasons why
`Leptospirillum'-like species rather than Thiobacillus ferrooxidans are the dominant iron-
oxidizing bacteria in many commercial processes for the biooxidation of pyrite and related
ores. Microbiology, 145, 5-13.

Sand,W., Gerke, T., Hallmann, R., Rhode, K., Sobokte, B., dan Wentzien, S. (1993): In situ
bioleaching of metal sulfides: the importance of Leptospirillum ferrooxidans. In
Biohydrometallurgical Technologies, vol I, edited by Torma, A.E., Wey, J.E. &
Lakshmanan,V.I., TMS Press, Warrendale, PA, 15-27.

Schippers,A., dan Sand, W. (1999): Bacterial leaching of metal sulfides proceeds by two
indirect mechanisms via thiosulfate or via polysulfides and sulfur. Applied and Environmental
Microbiology, 65, (1), 319-321.

Shennan, J.L. (1996): Microbial attack on sulphur-containing hydrocarbons: Implication for


the biodesulphurisation of oils and coals. Journal of Chemical Technology and
Biotechnology, 67 (2), 109-123.

Soleimani, M., Bassi, A., dan Margaritis, A. (2007): Biodesulfurization of refractory organic
sulfur compounds in fossil fuels, Biotechnol. Adv., 25, 570–596.

Sudarsono, A.S. (2003): Pengantar preparasi dan pencucian batubara, Institut Teknologi
Bandung, Bandung-Indonesia.

Suprapto, S. (2011): Batubara, dari fosil menjelma energi, Badan Litbang ESDM, pp. 2-3, 13-
14.

Tangaromsuk, J., Borole, A.P., Kruatrachue, M., dan Pokethitiyook, P. (2008): An integrated
biodesulfurization process, including inoculum preparation, desulfurization and sulfate
removal in a single step, for removing sulfur from oils, J. Chem. Technol. Biotechnol., 83,
1375–1380.

Tuovien, O.H., Niemela, S.I., dan Gyllenberg, H.G. (1971): Effect of mineral nutrients and
organic substances on the development of Thiobacillus ferrooxidans, Biotechnology and
Bioengineering, 13, 517-527.

van Aswegen, P.C., van Niekerk, J., Olivier, W. (2007): The BIOX TM process for the
treatment of refractory gold concentrates, Biomining, Springer-Verlag Berlin Heideberg, 1-33.

23
Wang, P., dan Krawiec, S. (1996): Kinetic analyses of desulfurization of
dibenzothiophene by Rhodococcus erythropolis in batch and fed-batch cultures.
Applied and Environmental Microbiology, 62, 3066-3068.

Yang, Y., Ren, G.M.,Wang, X., dan Yang, L. (2012): Experimental research on coal
biodesulfurization by mixed culture column leaching, Adv. Mater. Res., 512, 2500–2504.

Ye, J., dkk., (2018): Biodesulfurization of high fat coal with indegonous and exotic
microorganisms. Journal of Cleaner Production, 197, 562-570.

Young, R.F., Cheng, S.M., dan Fedorak, P.M., (2006): Aerobic biodegradation of 2,2-
dithiodibenzoic acid produced from dibenzothiophene metabolites, Appl. Environ. Microbiol.,
72, 491–496.

24

Anda mungkin juga menyukai