Chapter II PDF
Chapter II PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Shabu
Shabu atau metamfetamin adalah sejenis obat psikostimulan yang bersifat
sangat adiktif dan bekerja secara aktif dalam sistem saraf pusat. Shabu memiliki
efek paling kuat dibandingkan jenis obat stimulan lainnya seperti amfetamin, kokain,
21
efedrin, dan methylphenidate. Shabu pertama kali disintesa di Jepang pada tahun
1893 dan mulai dikembangkan untuk keperluan medis seperti untuk pengobatan
asma, narcolepsy, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan obesitas
21,23
dengan penggunaan terbatas. Penyalahgunaan shabu pertama kali berkembang
setelah akhir perang dunia kedua (1945-1956) di Jepang. Pada awalnya shabu
digunakan oleh para tentara Jepang untuk melawan rasa lapar, kantuk dan rasa takut
ketika di medan perang akan tetapi pasca perang, shabu diproduksi secara ilegal dan
penyalagunaan menyebar ke Amerika Serikat, Asia, Australia dan belahan dunia
lainnya. 2,13,21
a b c d
e f g h
8
Gambar 1. Shabu jenis powder (a,b,c,d,g) dan jenis kristal (e,f,h) .
Shabu berbentuk tablet atau pil biasanya dikonsumsi secara oral. Berdasarkan
penelitian, shabu berbentuk kristal merupakan shabu yang paling sering dikonsumsi
karena dapat digunakan dengan berbagai cara yaitu dihisap, disuntikan intravena
dengan mencampurkan shabu sedian cairan, atau dengan mencampurkan dengan
ganja lalu dibakar seperti rokok. 22
2.2 Farmakologi
Shabu termasuk obat simpatomimetik amin, dengan struktur dasar
feniletilamin yang memiliki sebuah cincin benzen dengan dua rantai karbon (α dan β)
dan sebuah gugus amino seperti tertera pada Gambar 3(i). Baik shabu maupun
amfetamin (Gambar 3.ii), keduanya memiliki gugus metil pada salah satu lengan
karbon feniletilamin, yang membedakan keduanya adalah shabu memiliki gugus
metil tambahan yang terikat pada gugus amino (Gambar 3.iii). Tambahan gugus metil
tersebut menyebabkan shabu sangat mudah larut dalam lemak sehingga mudah
menembus sawar otak dan memberikan efek sentral yang kuat. Selain itu, shabu
memiliki subsitusi gugus metil pada atom karbon-α yang menyebabkan shabu dapat
menghambat oksidasi amin simpatomimetik oleh enzim monoamine oksidasi (MAO).
(i)
( ii )
α
β
( iii )
Gambar 3. Struktur kimia dari feniletilamin dan stereoisomers
dari amfetamin dan metamfetamin. 23
Shabu memiliki rumus kimia C10H15N dengan berat molekul 149,24 a.m.u.
6,23-25
Pada umumnya shabu bersifat asam karena mengandung asam sulfat, asam
fosfat, asam formic, dan asam klorida.6,23,25
2.2.1 Farmakokinetik
Farmakokinetik shabu merupakan aspek farmakologis yang meliputi aspek
absorbsi, penyerapan, distribusi, perubahan kimiawi, penyimpanan dan pengeluaran
shabu dari dalam tubuh. 25
1. Absorbsi
Shabu sangat efisien diserap di saluran cerna, nasofaring, cabang
trakheobronkus dan vagina. Proses penyerapan shabu oleh tubuh berhubungan
dengan cara menyalahgunakan shabu tersebut. Penggunaan intravena akan langsung
mencapai otak dalam hitungan detik, sedangkan dengan cara ditelan setidaknya shabu
memerlukan waktu lebih lama untuk memberikan efek karena melalui proses
pencernaan. Penggunaan shabu secara intravena memberikan efek yang begitu besar
karena memiliki bioavaibilitas mencapai 100% (Tabel 1). Penggunaan dengan cara
dihirup pertama kali dikondensasikan di paru-paru dan secara cepat diabsorbsi ke
dalam pembuluh darah. Shabu mencapai kadar puncak dalam plasma sekitar 20 menit
dan diperkirakan memiliki bioavaibilitas dalam tubuh sebesar 67–90,3 %. 23,26
2. Distribusi
Shabu didistribusikan hampir ke seluruh tubuh. Dalam suatu studi melaporkan
setiap dosis 0,25 mg/kg maka volume yang didistribusikan dalam tubuh mencapai
3,73 ± 0,94 L/kg. Shabu memiliki berat molekul yang kecil dan bersifat sangat
lipofilik sehingga mampu melewati jaringan lemak seperti sawar otak dan kelenjar
saliva. Selain itu, shabu diduga dapat mengalami perpindahan dari ibu kepada
janinnya. 23
3. Metabolisme
Shabu mengalami degradasi luas dalam liver dengan melibatkan sistem
sitokrom isoenzim (CYP2D6). Shabu dimetabolisme menghasilkan sejumlah
metabolit, beberapa diantaranya masih memiliki efek farmakologi dan sisanya akan
disekresikan melalui urin. Metabolisme shabu di hati dapat melalui beberapa cara
yaitu jalur aromatik hidroksilasi dan beta hidroksilasi seperti tertera pada Gambar 3.
Jalur aromatik hidroksilasi merupakan jalur utama dalam proses penguraian shabu
dalam liver. Pada proses ini akan dihasilkan fenolik amin yang kemudian akan mudah
diekskresi melalui urin atau terlebih dahulu berkonjugasi dengan sulfat. Enzim
aromatik hidroksilasi (Gambar 4.i) dan N-demethilation (Gambar 4.ii) mengubah
shabu (metamfetamin) menjadi 4-hidroksimetamfetamin dan amfetamin. Sedangkan
proses beta hidroksilasi dipengaruhi oleh aktivitas enzim β-hidroksilasi yang
memiliki kemampuan merobah 4-OH amfetamin menjadi 4-OH norefedrin.
2.2.2 Farmakodinamik
Farmakodinamik shabu merupakan aspek farmakologis yang meliputi cara
25
kerja shabu dan efek shabu terhadap berbagai fungsi organ. Shabu termasuk obat
simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung, yang artinya shabu dapat
menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan katekolamin endogen yang
tersimpan dalam ujung saraf adrenergik.6,26 Katekolamin merupakan golongan
neurotransmitter yang memiliki satu cincin benzen, dua gugus etil dan satu gugus
amino, contohnya neurotransmitter golongan ini adalah dopamine, serotonin, dan
norefineprin. Shabu memiliki kesamaan struktur dengan katekolamin endogen
6,24,26
tersebut sehingga mampu memfasilitasi peningkatan pelepasan katekolamin
Mekanisme kerja shabu diilustrasikan pada Gambar 5. Pertama, shabu penetrasi
masuk ke ujung saraf presinaps dengan cara difusi pasif melewati membran lipid
(Gambar 5.i) atau melalui tempat ikatan transporter-neurotransmiter pada membran
tersebut (Gambar 5.ii). Setelah berada dalam sitosol, shabu menghambat fungsi kerja
vesicular monoamine transporter (VMAT2) menyebabkan redistribusi katekolamin
dari vesikel ke dalam sitosol memungkinkan meningkatnya konsentrasi katekolamin
dalam sitosol (Gambar 5.iii).
Kedua, shabu turut serta mengganggu kesetimbangan pH dalam sitosol
akibatnya mempercepat akumulasi molekul-molekul katekolamin ke dalam vesikel
sehingga proses pembentukan katekolamin lebih cepat. Ketiga, shabu mampu
meningkatkan aktivitas enzim tirosin hidroksilase menyebabkan proses reaksi dari
tirosin menjadi L-3,4-dihydroxylphenylalanine (L-DOPA) dan kemudian proses L-
DOPA menjadi dopamin menjadi lebih cepat (Gambar 5.iv). Pada keadaan normal,
setelah katekolamin berada pada celah sinaps, maka katekolamin akan berikatan
dengan reseptor masing-masing di ujung saraf postsinaps baru kemudian katekolamin
tersebut di re-uptake dan dimetabolisme oleh tubuh. Keadaan berbeda ketika
seseorang menggunakan shabu, shabu diketahui memiliki kemampuan untuk
meningkatkan aktivitas katekolamin di celah sinaps dengan cara menghalangi proses
re-uptake oleh saraf presinaps (Gambar 5.iv) dan dengan cara mengubah enzim
monoamin oksidase (MAO) menjadi enzim mandelat yang bersifat tidak aktif.21-25
paranoid, hilangnya percaya diri, putus asa dan kecemasan yang berlebihan.6,23,28,29
Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling terkena dampak dari
penyalahgunaan shabu. Penyalahgunaan shabu jangka panjang menunjukkan
perobahan yang nyata pada beberapa bagian otak, meskipun terdapat juga perobahan
yang bersifat reversibel. Sebuah studi neuroimaging menunjukkan pemulihan pada
bagian tersebut setidaknya memerlukan waktu 2 tahun bahkan lebih, sedangkan pada
bagian lainnya menyebabkan kerusakan permanen memicu terjadinya stroke, edema
serebral, perdarahan otak, dan psikosis.7,8,24,26
kesulitan dalam bernafas. Pada keadaan yang sangat kronis, kesulitan bernafas ini
dapat mengancam jiwa. 6,23
Tabel 3. Efek Klinis Penyalahgunaan Shabu Berdasarkan Tingkat Keparahannya. 15
7
periodontal) sampai 77 bulan (masalah TMJ). Selain itu, cara menyalahgunakan
shabu diketahui berpengaruh terhadap tingkat keparahan yang terjadi pada rongga
7,26
mulut. Menyalahgunakan shabu melalui intravena memberikan dampak paling
signifikan terhadap kerusakan rongga mulut bila dibandingkan dengan cara dihisap
dan dihirup secara intranasal. Dengan prevalensi intravena 47,7%, dihisap 28,9% dan
7
dihirup 21,9%. Efek berbahaya intravena dihubungkan dengan bioavaibilitas yang
mencapai 100 %, sehingga menimbulkan efek kecanduan yang lebih tinggi. Hal
tersebut memicu penyalahguna dalam pengaruh shabu berkepanjangan sehingga
7
mengacuhkan kebersihan rongga mulut. Berbeda dengan intravena, shabu yang
dikonsumsi secara dihisap dan dihirup diketahui memberikan efek lokal yang lebih
10,27
berbahaya terhadap rongga mulut. Shabu yang mengandung bahan toksik dan
korosif seperti litium, asam sulfur, eter dan fosfor, akan mudah terakumulasi dan
14,27
mengiritasi jaringan keras dan jaringan lunak pada rongga mulut. Beberapa
pengaruh shabu terhadap rongga mulut :
1. Xerostomia
Xerostomia merupakan gejala yang paling sering ditemukan dalam kasus
penyalahgunaan shabu.7,10,23,25 Xerostomia merupakan efek akut dalam
penyalahgunaan shabu, yang diduga karena rangsangan reseptor α-adrenergik pada
pembuluh darah kelenjar saliva.15 Xerostomia merupakan sensasi subjektif dari
20,29
kekeringan mulut yang disebabkan berkurangnya aliran saliva. Produksi saliva
yang berkurang selalu disertai dengan perobahan dalam komposisi saliva yang
mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya
24% pecandu shabu mengeluhkan kesulitan dalam mengunyah dan menelan
makanan, 35% memerlukan bantuan air minum untuk membantu proses penelanan,
dan 10% kesukaran dalam berbicara. 7,10,11
2. Karies
Karies yang terjadi pada pecandu shabu sangat khas, sehingga dikenal dengan
istilah meth mouth. Meth mouth ditandai dengan kerusakan yang parah pada
permukaan gigi dan melibatkan lebih dari satu gigi. Pada umumnya karies terjadi di
daerah bukal gigi posterior kemudian diikuti karies di daerah interproksimal gigi
anterior sebelum pada akhirnya merusak semua bagian mahkota seperti terlihat pada
7,8,11,15 11
Gambar 7. Rata-rata skor DMFT pada shabu cukup tinggi yaitu 28,6.
Penelitian Shetty dkk. pada tahun 2010 di Los Angles menunjukkan 30,9% pecandu
shabu memiliki lesi karies dan 60% kehilangan gigi akibat karies. 7 Karies tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penurunan laju aliran saliva, OHIS yang
buruk, diet karbohidrat yang tinggi, dan disebabkan iritasi langsung bahan kimiawi
shabu. 7,8,11,27
3. Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal pada pecandu shabu disebabkan oleh penumpukan plak
dan kalkulus akibat minimnya tindakan membersihkan rongga mulut. Penelitian
Carolyn pada tahun 2012 di San Fransisco menunjukkan 53% pecandu shabu hampir
tidak pernah membersihkan rongga mulut, dan hanya 30% yang mengaku
membersihkan rongga mulut 2 kali sehari. 82% diantaranya mengaku tidak pernah
datang ke dokter gigi dalam kurun waktu beberapa tahun sehingga tidak
mengherankan bila 88% pecandu shabu memiliki skor OHIS yang tidak terlalu baik.
Penelitian Ravenel pada tahun 2012 di South Carolina juga menunjukkan pada 92%
pecandu shabu memiliki penumpukan plak dan kalkulus yang meluas dan 89,2%
diantaranya mengalami infeksi gingiva (Gambar 7). 11,17 Keadaan tersebut diperparah
oleh suplai darah yang cenderung menurun akibat kontriksi kapiler-kapiler.7,8
mulut terasa kering. Disamping itu, bahan toksik seperti litium dan klorida akan larut
dalam cairan rongga mulut, lalu terakumulasi di dalamnya dan kemudian
menyebabkan iritasi jaringan lunak. Selain efek lokal, shabu juga memicu lemahnya
sistem pertahanan rongga mulut yang disebabkan oleh penurunan suplai darah ke
jaringan. 8,27
2.4 Saliva
2.4.1 Fisiologi Saliva
Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri berbagai komponen yang kompleks,
tidak berwarna, yang disekresikan dari kelenjar saliva mayor dan minor untuk
mempertahankan homestatis rongga mulut.30,31 Setiap hari kelenjar saliva manusia
menghasilkan hampir 1500 mL saliva yang terdiri dari 99 % air, unsur organik dan
unsur anorganik. Unsur Organik saliva terdiri dari urea, asam urea, glukosa bebas,
asam amino bebas, laktat dan asam-asam lemak serta makromolekul ditemukan
dalam saliva seperti protein, amilase, peroksidase, tiosianat, lisozim, lipid, IgA, IgM
dan IgG. Sedangkan unsur anorganik yang utama adalah elektrolit seperti sodium,
21,30,31
potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat dan fosfat. Dalam jumlah
normal berbagai unsur tersebut memiliki fungsi masing-masing dan memungkinkan
31
saliva dapat bekerja sebagai cairan yang multifungsional. Saliva memiliki peranan
yang sangat penting dalam memelihara dan menjaga kesehatan rongga mulut baik itu
jaringan keras maupun jaringan lunak. Beberapa fungsi saliva diantaranya sebagai
lubrikasi dan pelidung jaringan lunak rongga mulut, menjaga kestimbangan pH
rongga mulut dan integrasi enamel gigi, menghambat pertumbuhan bakteri, berperan
dalam proses pencernaan dan sensasi pengecapan. 21,30,31
perobahan hormonal, kebersihan rongga mulut dan medikasi tertentu seperti shabu.
33,35,37
Apabila ion bikarbonat (HCO3- ) berkontak dengan ion asam (H+), asam karbonat
yang lemah terbentuk (H2CO3). Ini dengan cepatnya berdisosiasi membentuk
karbondioksida (CO2) dan air (H2O). 28,30,38 Tetapi hal tersebut tidak berjalan dengan
normal pada keadaan hiposalivasi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Flanigan
dkk. yang menunjukkan 71% pecandu shabu memiliki kapasitas buffer yang rendah.
16
Penelitian tersebut didukung oleh temuan Ravenel dkk di South Carolina.pada
tahun 2012 yaitu diketahui 71% kapasitas buffer pecandu shabu dikategorikan rendah
yaitu sekitar 6-9 dan 7% diantaranya sangat rendah yaitu 0-5. 17
Secara lokal shabu dapat mempengaruhi kesetimbangan rongga mulut melalui
14
kandungan shabu yang berbahaya. Ketika shabu dikonsumsi secara dihisap dan
dihirup, maka kandungan Fosfat, sulfat, klorida dan asam muriatik akan mengendap
di rongga mulut termasuk di cairan sulkus gingiva dan genangan saliva lainnya. 14,17
Penelitian Grobler dkk pada tahun 2011 di Cape Town terhadap 29 sampel kristal
shabu ( crystal-meth) yang diambil secara random dari berbagai pasar gelap
menunjukkan bahwa nilai median pH kristal shabu setelah dilarutkan dalam cairan
adalah sebesar 4,86. 30% sampel memiliki pH dibawah 4,5 dan 58,6% sampel berada
pada rentang pH 4,0 – 5,0. Derajat keasaman tersebut dibawah pH kritis (pH < 5,5)
sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan struktur gigi. 41
Hasil penelitian Navaro dkk pada tahun 2009 di Amerika Serikat menemukan
bahwa MDMA (3,4-Methylenedioxy-N- Methamphetamine) terbukti menurunkan pH
saliva meskipun tidak begitu signifikan. MDMA atau dikenal ekstasi memiliki
struktur yang mirip dengan shabu. MDMA yang terdeteksi dalam saliva
menyebabkan penurunan nilai pH dari 7,4 menjadi 6,9. 12
Administration (FDA) dari tahun 2004 hingga 2012 yaitu terdapat 544 pecandu shabu
yang mengalami penurunan kadar kalsium dalam darah. 43
Peningkatan pelepasan
senyawa katekolamin ↑↑↑
Kandungan berbahaya
Shabu
• Waktu penggunaan
Pecandu shabu shabu terakhir < 9
Laki-laki bulan