Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.Makalah ini saya susun sebagai tugas dari mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul “ Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia”.
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dra. Harcici, M.Pd selaku dosen mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya
terselesaikan tugas makalah ini.
Demikianlah tugas ini saya susun semoga bermanfaat dan dapat memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami
dan khususnya untuk pembaca. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan
segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif dan membangun sangat kami harapkan
dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu
mendatang.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------------------------ ii
A. Kesimpulan --------------------------------------------------------------------------------------- 13
B. Saran ----------------------------------------------------------------------------------------------- 13
Secara umum berdasarkan konfigurasi lay out antara kapal yang satu dengan yang lain, operasi ship
to ship transfer / offloading dapat dibedakan menjadi dua kategori utama sbb;
1. Operasi tandem offloading – dimana antara kapal yang satu dengan yang lain terletak dalam
satu garis lurus berposisi depan-belakang (dimana haluan kapal yang satu tepat menghadap buritan
kapal yang lain), di claim sebagai konfigurasi yang lebih aman (safe) namun demikian kurang banyak
digunakan (kurang umum).
2. Operasi double-bank transfer – adalah konfigurasi dimana antara kapal yang satu dengan yang
lain terletak sejajar saling bersebelahan (sisi portside kapal yang satu berdekatan dengan sisi
starboard kapal yang lain), konfigurasi ini yang umum disebut sebagai konfigurasi ship to ship, dan
lebih banyak digunakan.
Adapun operasi double-bank transfer sendiri lebih jauh lagi secara umum dibedakan ke dalam
beberapa jenis double-bank yakni sbb;
a. Double-banked adrift – adalah konfigurasi operasi ship to ship transfer yang dilakukan pada
saat kedua kapal free float (atau hanyut) biasanya kebanyakan dilakukan di sepanjang alur
channel/sungai ketika traffic tidak padat.
b. Double-banked anchor – adalah konfigurasi operasi ship to ship transfer yang dilakukan pada
saat salah satu kapal sedang lego jangkar (anchored).
c. Double-banked moored at Gasport jetty – adalah konfigurasi operasi ship to ship transfer yang
dilakukan pada saat salah satu kapal terikat sandar di jetty terminal.
d. Double-banked moored at STL Buoy – adalah konfigurasi operasi ship to ship transfer yang
dilakukan pada saat salah satu kapal terikat pada mooring buoy (umumnya berbentuk Tower York)
Berikut terlihat pada Figure.1 di bawah ini perbedaan schematic secara umum antara konfigurasi
Tandem Offloading dengan Operasi ship to ship transfer (double-banked)
Figure.1 Perbedaan konfigurasi tandem dengan double-banked
Skema konfigurasi sebelah kiri pada Figure.1 di atas adalah mengacu pada skema konfigurasi double-
banked sedangkan konfigurasi sebelah kanan mengacu kepada skema konfigurasi tandem
offloading.
Yang pertama dan paling utama hrus diperhatikan pada setiap operasi transfer cargo LNG adalah
kondisi dinamis tekanan dan temperature dari cargo dalam tangki containment baik pada kapal yang
mentransfer maupun kapal yang menerima cargo. Kondisi tekanan jenuh vapour LNG pada saat
transfer harus dijaga pada level serendah mungkin untuk mencegah kenaikan tekanan yang
significant (hanya diperbolehkan sampai batas tertentu yang bisa diterima) dari tanki cargo kapal
penerima.
Dari sini terlihat bahwa kondisi pemuatan atau transfer akan sama sekali berbeda antara kapal yang
menerima cargo LNG dari kilang LNG Liquefaction plant (biasa disebut “cold LNG”) dengan kapal
yang menerima transfer cargo LNG dari kapal LNGC lain dan atau infrastructure FSU/FSRU (biasa
disebut “warm LNG”). Sayangnya sebagian atau banyak orang tidak menyadari hal ini, kebanyakan
dari mereka akan menganggap hal tersebut sama saja, padahal kenyataannya tidak sama sekali, dan
hal ini sangat menentukan jenis teknologi tangki / containment apa dari kapal penerima transfer
cargo LNG yang paling compatible satu sama lainnya.
Hal ini perlu untuk selalu diingat supaya keputusan investasi tidak dibuat berdasarkan pertimbangan
yang gegabah yang bisa berakibat fatal pada akhirnya.
1. Adanya Protocol, Manual & SOP (Standard operating Procedures) yang sudah di approved oleh
pihak Classification Society dan sertifikasi kelaikan “fit for purpose”oleh standard industry dan
international, juga secara umum telah di assess dan bisa diterima oleh major P&I clubs.
2. Adanya standard thoughrough Risk Assessment Study yang mencakup semua aspek dan
potensi hazard sepanjang operasional STS lengkap dengan rencana mitigasi masing-masing.
3. Adanya Study Kompatibilitas diantara dua kapal, ini adalah salah satu bagian yang paling
menentukan dari keseluruhan Risk Assessment Study, study ini mencakup (tapi tidak terbatas pada)
hal-hal dan aspek sebagai berikut di bawah ini;
- Susunan manifold dari kedua kapal – mencakup issue-issue penempatan (exact location), jarak
spacing diantara pipa outlets, ketinggian posisi center line pipa dari air laut, dll
- Penempatan Hose support saddles dan Design Paramter dari Cryogenic transfer hoses
- Design parameter mencakup jumlah dan size & diameter minimum dari Yokohama fenders, dll
- Kompatibilitas dari ESD (Emergency Shut Down) system (termasuk quick release couplings)
pada kedua kapal i.e berbasis pneumatic,optic cables, etc
- Communication system and platform diantara kedua kapal i.e VHF Radio, PA, dll
4. Semua peralatan pendukung operasional STS haruslah memiliki Type Approval dari
Classification Society, dan sertifikasi kelaikan “fit for purpose”oleh standard industry dan
international (API, ASME, ISO, dll), juga secara umum telah di assess dan bisa diterima oleh major
P&I clubs.
Adapun peralatan-peralatan pendukung yang dimaksud adalah mencakup (tapi tidak terbatas pada)
peralatan sbb;
- Flexible Cryogenic transfer hoses, support saddles, lifting bracket, etc
Design parameter yang perlu diperhatikan dalam pemilihan cryogenic hoses adalah custom designed
hose saddles yang mampu mendistribusi beban berat hoses merata pada manifold, dan dengan
minimum bending radius untuk memastikan bentuk catenerary yang sempurna yang memungkinkan
unimpeded flows sepanjang transfer operation.
- Yokohama fenders
- Mooring system and arrangements, i.e. mooring wires dan dyneema mooring lines
5. Sea-state (kondisi perairan pelayaran) adalah salah satu faktor yang paling critical dalam setiap
pelaksanaan operasional STS cargo transfer, dimana kondisi pelayaran yang rough dalam arti
ketinggian gelombang dan periodical gelombang yang tinggi dapat menyebabkan cargo sloshing
yang pada akhirnya meningkatkan resiko kerusakan cargo containment system. Untuk itu perubahan
kondisi meteorogical di daerah pelayaran setempat akan selalu dimonitor setiap saat, jika kondisi
perairan diperkirakan akan memburuk maka operasi STS akan segera dihentikan sebelum kondisi
benar-benar memburuk.
6. Adanya / tersedianya peralatan rambu navigasi penunjang yang cukup untuk menjamin
keselamatan pelayaran /traffict pada saat pelaksanaan operasional STS transfer.
Rangkaian tahapan-tahapan standard proses STS LNG transfer mulai dari tahap persiapan sampai
dengan recovery akan tergambar secara jelas dalam time log terlampir di bawah ini;
Hour
Steps
Evident
1.0
1.0
Approach Maneuvering
1.5
1.0
2.5
Hoses connection
2.0
0.5
ESD Testing
26
2.0
2.0
Hose disconnection
1.0
0.5
Separation maneuver
1.0
Fenders Recovery
42.0
Berikut ini adalah list dari beberapa reference umum yang mengatur pelaksanaan Operasional STS
LNG transfer;
1. Classification society - Code for existing ships carrying liquefied gases in bulk
5. Code for construction and equipment of ship carrying liquefied gases in bulk (IMO resolution a
328) and IMO res a 329
6. IGC/GC code for construction and equipment of ships carrying gases in bulk
7. MSC 93/May 2014 – Amendments to MARPOL Annex I.Ch.4 applied for IGC/GC Code.
8. U.S. Maritime Transport Security Act of 2002, Promotes delivery of CNG to offshore gas ports
10. OCIMF Recommendations for manifolds for refrigerated liquefied natural gas (LNG), mooring
equipment guidelines, ICS, STS Transfer Guide (Liquefied gasses)
11. ISGOTT (International Safety Guide for Oil Tanker & Terminals)
13. US NFPA 56 b – for safety and fire protection; 59A, BS EN 1473, dan CFR 49 part 193
KESIMPULAN
Setidaknya sekarang kita faham bahwa aktifitas / kegiatan STS LNG transfer bukanlah suatu aktifitas
sederhana yang bisa dilaksanakan secara serampangan (asal-asalan) sambil lalu, faktanya
dibutuhkan suatu persiapan yang matang dan study yang mendalam dan berlapis dengan
mempertimbangkan segala aspek dan factor yang dapat menjamin pelaksanaan STS LNG transfer
dapat berlangsung secara efektif dan aman. Kita juga faham bahwa faktanya tidak banyak di seluruh
dunia ini yang sudah benar-benar pernah dan telah berpengalaman melaksanakan dan mengelola
kegiatan STS LNG transfer ini secara (proven) efektif dan aman.
Studi ini membahas tentang kajian ship-to-ship sebagai bagian dari rantai pasok liquified natural gas
(LNG) untuk kebutuhan pembangkit listrik yang tersebar di Indonesia Bagian Timur (IBT). Keinginan
pemerintah untuk memanfaatkan gas bumi dalam bentuk LNG sebagai bahan bakar alternatif pada
pembangkit listrik yang telah ada maupun pembangkit yang telah ada di IBT memerlukan sarana dan
prasarana berupa stasiun penerima maupun kapal-kapal LNG skala kecil. Salah satu kendala yang
dihadapi untuk mendistribusikan gas dari sumber LNG ke pembangkit-pembangkit adalah LNG yang
akan diambil dari kilang hanya dapat dilakukan oleh kapal besar karena fasilitas jetty yang pada
awalnya memang didesain hanya dapat menerima kapal berukuran besar. Metode yang diusulkan
pada studi ini adalah LNG diambil oleh kapal LNG berukuran besar yang dapat dilayani oleh jetty
yang kemudian akan ditransfer ke kapal LNG yang berukuran kecil (small LNG vessel) melalui konsep
ship-to-ship (STS) transfer. STS direncanakan dilakukan dimana LNG carrier berukuran besar
ditambatkan dengan sistem penambatan tunggal, kemudian small LNG vessel berlabuh di sisi kapal
LNG besar dengan bertambat pada 4 tali tambat. Pada dasarnya kajian STS ini terdiri dari dua tahap
diantaranya adalah pemilihan lokasi STS dan analisa motion pada saat STS dilakukan. Ada 4 lokasi
yang dipertimbangkan sebagai lokasi STS diantaranya adalah Fakfak, Manokwari, Namlea, dan
Halmahera. Pada studi ini, kapal LNG ukuran 155.000 m3 dan shuttle LNG vessel ukuran 3000 m3
adalah objek dalam kajian STS pada studi ini. Analisa terhadap gerakan yang mungkin terjadi saat
proses STS dilakukan dengan bantuan perangkat lunak MOSES. Teknik prediksi tiga dimensi (three-
dimensional prediction technique) digunakan pada studi ini untuk memperkirakan floating body
motions dalam short-crested seaway. Berdasarkan data lingkungan mengacu pada metocean data
yang terdiri dari data angin, gelombang, dan arus, Fakfak terpilih sebagai lokasi terbaik untuk
dilakukannya STS transfer dan hasil simulasi mendapatkan bahwa STS transfer di Fakfak aman untuk
dilakukan selama proses STS transfer dilakukan pada tinggi gelombang 2m. Kata kunci: LNG Carrier,
Pemilihan Lokasi, Ship to Ship Transfer (STS), Three-Dimensional Prediction Technique