Anda di halaman 1dari 6

STUDI KASUS

“PROSTITUSI DI KAWASAN GADOG ACONG”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Antropologi Hukum

Dosen : Hj. Mia Amaliah, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Aulia Putri 7420118036

SEMESTER II A

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SURYAKANCANA

CIANJUR

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Kabupaten Cianjur khususnya daerah Cipanas (perbatasan menuju kota Bogor)


memiliki banyak sekali tempat wisata yang sering di kunjungi tidak hanya oleh masyarakat
sekitar dan masyarakat di luar Cianjur, tetapi juga turis-turis asing dari berbagai negara
khususnya dari Negara Timur Tengah.
Selain tertarik dengan keindahan alamnya, mereka juga tertarik dengan wanita-wanita
pribumi yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Siapa sangka, dibalik
terkenal sebagai tempat wisata, di Cipanas juga terdapat satu daerah yang sangat terkenal
sebagai tempat pelacuran atau tempat prostitusi, yang sudah tidak asing lagi daerah tersebut
adalah “GADOG ACONG”.
Gadog Acong adalah daerah yang sudah sejak tahun 1990 terkenal sebagai tempat
pelacuran atau prostitusi yang meresahkan warga sekitar karena para PSK beroperasi mulai
dari pukul 10 malam hingga pukul 3 dini hari, sehingga sangat tidak aman apabila kita
melewati daerah tersebut Lebih parahnya lagi, praktik prostitusi ini dilakukan tidak hanya
orang dewasa tetapi juga oleh remaja, dengan rentang usia mulai 17-28 tahun. Tarifnya pun
beragam, tergantung wajah dan usianya. Dari pengakuan beberapa PSK, tarifnya paling
rendah Rp. 300 ribu, ada juga yang mencapai Rp. 2 juta untuk sekali kencan. Untuk
pemesanan villa atau hotel, ditanggung oleh si pelanggan.
Meski terpaksa mengorbankan harga dirinya, para wanita dapat melakukan segara cara,
untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Pada saat terdesak, mereka malah memilih
pekerjaan yang dapat memberikan uang dalam waktu singkat, yaitu dengan menjadi Pekerja
Seks Komersial (PSK). Selain dapat membiayai dirinya sendiri, mereka juga dapat
menghidupi keluarganya walaupun dengan uang yang tidak halal.
Namun ada alasan yang berbeda , menurut wawancara penulis dengan PSK berinisial
SS(17), alasan ia menjadi seorang PSK bukan hanya faktor ekonomi saja, melainkan
keinginan untuk mendapatkan uang lebih dari sekedar uang jajan atau uang bulanan, ia juga
dapat membeli barang-barang mewah, untuk memenuhi kepuasan kehidupan yang hedonis.
Dengan memberikan kepuasan terhadap para turis-turis Arab maupun para“om-om”
pelanggannya, ia mampu mendapat bayaran yang tinggi hanya dengan hitungan jam.
B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, ada beberapa hal
yang dijadikan permasalahan, antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana motif yang mendorong seseorang melakukan prostitusi ?
2. Peraturan apa saja yang mengatur tentang prostitusi dalam hukum positif di
Indonesia?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam memberantas prostitusi ?

BAB II
PEMBAHASAN

Kata prostitusi berasal dari kata Latin prostituere yang berarti menyerahkan diri dengan
terang-terangan kepada perzinahan. Sedangkan secara etimologi berasal dari kata prostare
artinya menjual, menjajakan.1
Prostitusi adalah melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang
bukan istri atau suaminya yang dilakukan di tempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel, tempat
rekreasi, dan lain-lain), yang pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan
hubungan badan.2
Dengan mewawancarai beberapa PSK, dapat diketahui bahwa motif yang menyebabkan
seseorang menjadi pelaku prostitusi, antara lain :
1. Keimanan yang lemah.
2. Faktor ekonomi yaitu kemiskinan.
3. Faktor pendidikan akibat dari putus sekolah yang menyebabkan seseorang tersebut tidak
mendapatkan pekerjaan yang layak.
4. Keinginan untuk gaya hidup mewah sebagai akibat dari adanya persaingan sosial dan
keinginan untuk gaya hidup hedonis.
5. Sakit hati, seperti perceraian, perselingkuhan.
6. Terjerat mucikari karena dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang besar.

Lalu apakah ada peraturan KUHP maupun Undang-Undang yang mengatur tentang
prostitusi? Prostitusi sendiri merupakan tindakan ilegal yang dapat dijerat dengan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2007,tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.3
Selain itu perundangan di Indonesia yang menyangkut prostitusi yaitu, pasal 296 dan 506

1
Simandjuntak, Patologi Sosial, (Bandung: Tarsito, 1985), h. 112.
2
Heriana Eka Dewi, Memahami Perkembangan Fisik Remaja, (Yogyakarta : Gosyen Publishing, 2012), h. 81
3
https://www.academia.edu/7054589/Prostitusi_di_Indonesia
KUHP. Pasal 296 KUHP merumuskan, “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai
pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Kemudian pasal 506 KUHP
merumuskan, “Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan
menjadikan sebagai pencarian diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Selain dari perundang-undangan nasional ada pula perda yang mengatur tentang Peraturan
Daerah (Perda) Cianjur No.21 tahun 2000 tentang larangan pelacuran serta Perda No. 13 tahun
2013 tentang pengendalian dan penegakan penyakit masyarakat di wilayah Cianjur.4

Pemerintah sudah sering membuat kebijakan agar para aparat melakukan operasi dan razia
di waktu dini hari dan di tempat-tempat yang rawan khususnya di Gadog Acong. Menurut salah
seorang PSK berinisial NK (22), yang sering terkena razia, secara realita pengadaan razia belum
menyelesaikan masalah, karena setelah dibebaskan, para PSK akan kembali ke tempatnya seperti
biasa. Jadi, meski sering dilakukan berulang kali, tindakan tersebut tidak memberikan efek
jera bagi para pelakunya.

Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial mengemukakan berbagai usaha untuk mengatasi
masalah pelacuran ini. 5Beliau membaginya dalam 2 bagian yaitu:
a. Usaha preventif yaitu suatu usaha yang diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah
terjadinya pelacuran, usaha ini antara lain berupa:
1. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan
pelacuran;
2. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk memperkuat keimanan
terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan;
3. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak puber dan
adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya;
4. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta
mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya;
5. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga;
6. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran yang
dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat lokal untuk
membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau penyebaran pelacuran;
7. Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru
dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks;
8. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

4
https://jabar.antaranews.com/berita/71880/sebelas-psk-terjaring-razia-satpol-pp-kabupaten-cianjur
5
Kartono, Kartini. 1997. Pathologi Sosial. CV. Rajawali Jakarta.
b. Usaha reprensif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan (menghapus, menindas)
dan usaha untuk menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian membawa
mereka ke jalan yang benar. Usaha-usaha tersebut antara lain:
1. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan
pengawasan/control yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitute serta
lingkungannya;
2. Untuk mengurangi pelacuran, diusahan melalui aktivitas rehabilatasi dan resosialisasi agar
mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang bersusila. Rehabilitasi dan
resosialisasi ini dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan
pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif.
3. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila terkena razia;
disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing;
4. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk menjamin kesehatan para
prostitute dan lingkungannya;
5. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran
dan mau untuk memulai hidup susila;
6. Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka
agar mereka mau menerima kemabali bekas-bekas wanita tunasusila itu mengawali hidup baru;
7. Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita tunasusila untuk
membawa mereka ke jalan yang benar.
Daftar Pustaka

Simandjuntak, Patologi Sosial, Bandung: Tarsito, 1985.


Dewi, Heriana Eka, Memahami Perkembangan Fisik Remaja, Yogyakarta : Gosyen
Publishing, 2012.
Kartono, Kartini. Pathologi Sosial. Jakarta : CV. Rajawali Jakarta, 1997
https://www.academia.edu/7054589/Prostitusi_di_Indonesia
https://jabar.antaranews.com/berita/71880/sebelas-psk-terjaring-razia-satpol-pp-kabupaten-
cianjur

Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
Peraturan Daerah (Perda) Cianjur No.21 tahun 2000 Tentang Larangan Pelacuran
Perda No. 13 tahun 2013 Tentang Pengendalian dan Penegakan Penyakit Masyarakat di Wilayah
Cianjur.

Anda mungkin juga menyukai