Anda di halaman 1dari 10

ESENSIA, Vol. 16, No.

2, Oktober 2015

REKONSTRUKSI KRITIK SANAD DAN MATAN


DALAM STUDI HADIS
Suryadi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
suryadi_rajiman@yahoo.com

Abstract
As part of the science , the study of hadith needs to get development and innovation. Therefore, it is necessary for the reconstruction
of critical studies chains and Matan. This article will discuss the possibility of reconstruction critical studies chains and Matan
hadith. Sanad criticism (kritik sanad) needs to be developed on the use of data derived from the book in addition to the books of
Rijal that conclusion on levels of integrity and intellectual person can be formulated more accurately and emphasize objectivity .
Meanwhile , critical studies of matan also need to be developed by applying the hermeneutical method in understanding the text
of the Prophet , in order to reject the mindset of tasâhul  in the weakness of traditions as well as traditions that gave birth to the
meaning of its as shâlih likulli zamân wa makân.

Abstrak
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, studi hadis perlu mendapatkan pengembangan dan inovasi. Oleh karena itu, diperlukan
adanya rekonstruksi atas kajian kritik sanad dan matan. Artikel ini akan membahas kemungkinan rekonstruksi kriitk sanad dan
matan hadis.  Kritik sanad perlu dikembangkan pada pemanfaatan data-data yang berasal dari kitab selain kitab-kitab rijâl
agar konklusi atas kadar integritas dan intelektualitas seseorang bisa diformulasikan secara lebih akurat dan menekankan aspek
objektivitas. Sementara itu, kritik matan juga perlu dikembangkan dengan menerapkan metode hermenetika dalam memahami
teks Nabi, supaya bisa menolak pola pikir tasâhul dalam pendhaifan hadis sekaligus juga melahirkan makna hadis yang shâlih
likulli zamân wa makân.

Kata-kata Kunci: kritik sanad, kritik matan, studi hadis

Pendahuluan sangat bisa dimaklumi, karena hadis sebagai sumber

M
ayoritas umat Islam sepakat bahwa sumber kedua ajaran Islam, dalam banyak aspeknya berbeda
pokok ajaran Islam adalah al-Qur’an dan dengan al-Qur’an. Pertama, sejarah mencatat,
hadis. Sebagai sumber pokok, keduanya terkodifikasinya hadis memiliki rentang sekitar dua
merupakan entitas yang tidak bisa disangsikan abad dari masa hidup Nabi. Rentang waktu yang
keberadaannya ketika seseorang hendak mengungkap cukup panjang tersebut telah melahirkan perdebatan
hakikatIslam yang sebenarnya. Meski demikian, sejauh mengenai orisinalitas hadis yang berimbas pada
ini perkembangan pemikiran dan kajian terhadap ketidakseragaman kualitas teks hadis (shahîh,hasan
hadis tidak sesemarak sebagaimana pemikiran dan dhaîf, bahkan maudhû’)serta adanya keragaman
terhadap al-Qur’an.1 Ini terlihat adanya beribu-ribu kuantitas (mutawâtir dan ahâd) dan keragaman jalur
kitab tafsir dengan berbagai coraknya, sejak abad pertama sanad (rangkaian periwayat yang mentransmisikan
Hijriyyah untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang hadis dari Nabi sampai pengarang kitab hadis).
secara kuantitas kurang dari 7.000 ayat. Para pakar di Kedua, redaksi hadis bisa diriwayatkan sama persis
bidang hadis pun tak sebanyak pakar di bidang al-Qur’an. (bi al-lafdzî) atau berbeda redaksi (bi al-ma’nâ). Ini
Dalam bidang hadis, perkembangan pemikiran menunjukkan, sejak awal interpretasi para perawi
yang ada tidak sejalan dengan jumlah hadis Nabi hadis masuk dalam redaksi hadis. Ketiga, faktor lain
sendiri yang jumlahnya berlipat ratusan kali lebih yang tidak kalah penting adalah kebanyakan ulama
banyak dari jumlah ayat al-Qur‘an. Kondisi tersebut mendahulukan sikap reserve untuk menelaah ulang
dan mengembangkan pemikiran dan pemahaman
1
Lihat M. Amin Abdullah, “Hadis dalam Khazanah
Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah”, terhadap sunnah secara bebas, karena khawatir
dalam, Yunahar Ilyas dan M. Masudi (ed.), Pengembangan dianggap Inkâr al-Sunnah.2
Pemikiran terhadap Hadis (Yogyakarta: LPPI, 1996), 201; 2
M. Amin Abdullah, “Hadis dalam Khazanah
lihat juga M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas Intelektual Muslim, dalam, Yunahar Ilyas dan M. Masudi
atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 309. (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, 201.
Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis -- Suryadi

Selama ini, tidak bisa dipungkiri bahwa secara Melihat aspek di atas, maka dalam artikel ini,
umum kajian pada hadis berkutat pada dua persoalan, penulis menawarkan rekonstruksi atas ilmu kritik
yaitu kritik sanad (naqd al-sanad/al-naqd al-khârijî/ sanad dan matan yang biasa dipaparkan dalam kajian
kritik eksternal)dan kritik matan (naqd al-matn/al- hadis. Rekonstruksi ini dimaksudkan sebagai bentuk
naqd al-dâkhilî/kritik internal). Keduanya adalah cara pengembangan atas studi hadis sebagai manifestasi
yang dipergunakan untuk memilih dan memilah semangat pembaharuan agar keilmuan hadis tidak
mana hadis yang dapat dipertanggungjawabkan dianggap sebagai bidang studi yang bersifattaken for
otentisitasnya sampai Nabi dan mana yang tidak dapat granted. Dengan adanya hal ini, diharapkan telaah
dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar diragukan atas hadis Nabi bisa ditelaah secara lebih kritis-
dari sekian banyak hadis yang bertebaran dalam komprehensif serta memberikan alternatif-alternatif
berbagai kitab hadis yang kanonik dan non-kanonik. dalam kaitannya dengan pembacaan hadis di era
Terkait dengan hal ini, telah banyak ulama hadis kekinian.
klasik dan modern yang terlibat aktif dalam diskusi
seputar kritik sanad dan matan.3 Kritik Sanad dan Matan dalam Bingkai Studi Hadis
Namun, hal penting yang harus diperhatikan Karena secara garis besar kajian terhadap hadis
adalah bahwa studi hadis sebagai salah satu bagian atau ilmu hadis dibagi menjadi dua, yaitu ilmu yang
dari ilmu pengetahuan tidak boleh bersifat stagnan. terkait dengan sanad dan ilmu yang terkait matan,
Ia harus selalu dikembangkan dan digerakkan secara maka pada bagian ini, penulis memaparkan bagai-
dinamis agar dapat disempurnakan dari masa ke masa. mana wujud kritik sanad dan matan. Pembahasan
Di sinilah pentingnya shifting paradigm (pergeseran ini cukup penting sebelum melaju pada bagian
paradigma) dalam memahami fenomena keilmuan rekonstruksi atas kedua terma itu.
hadis Nabi.Dalam shifting paradigm, melalui tinjauan
filsafat ilmu, kegiatan ilmu pengetahuan selamanya Kritik Sanad
bersifat historis, lantaran dibangun, dirancang, dan Secara etimologis, sanad mempunyai arti “bagian
dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bumi yang menonjol” dan “sesuatu yang berada di
bersifat historis. Dengan demikian, sangat dimungkin- hadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika
kan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, anda memandangya.” Bentuk plural (jama’) dari kata
perumusan kembali, nasikh dan mansukh, serta ini adalah asnâd. Sementara itu, segala sesuatu yang
penyempurnaan rancang bangun epistemologi anda sandarkan pada orang lain disebut musnad.
keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan Pemakaian kata sanad dapat dilihat dalam redaksi
akan mandeg dengan sendirinya atau bersifat statis. “asnad fî al-jabal”, yang artinya “seseorang mendaki
Islamic Studies dalam artian kegiatan keilmuan gunung” dan “fulân sanad”, yang mempunyai arti
sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan “seseorang menjadi tumpuan.”5
untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, Sementara dari tinjauan terminologis, sanad
dirumuskan kembali, disempurnakan dengan adalah “jalur matan”, yaitu rangkaian para periwayat
semangat zaman yang mengitarinya.4 yang memindahkan matan dari sumber primernya.
Jalur tersebut disebut sanad adakalanya karena
3
Dari jajaran ulama klasik misalnya Jalâl al-Dîn al- periwayat bersandar kepadanya dalam menisbatkan
Suyûthî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî (Beirut: matan kepada sumbernya, dan adakalanya juga
Dâr al-Fikr, 1988); al-Hâkim al-Naysâbûrî, Ma’rifah ‘Ulûm karena para hâfidzbertumpu pada “periwayat” (orang
al-Hadîts wa Kamiyyati Ajnâsuhû (Beirut: Dâr Ibnu Hazm, yang menyebutkan sanad)dalam mengetahui kualitas
2003); dan Ibnu Shalâh, Ma’rifah Anwâ‘ fî ‘Ilm al-Hadîts suatu hadis.6
(Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 2002). Sedangkan dari Para ulama hadis memandang urgennya kedudukan
kalangan ulama modern seperti M. Syuhudi Ismail, sanad dalam periwayatan hadis. Semangat ilmiah
Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang,
1998), Shalahuddîn al-Adlabî, Manhaj Naqd al-Matan Inda 5
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh
Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawî (Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdah, wa Mushthalâhuh(Beirut:Dâr al-Fikr, 1989), 32-33.
1983). 6
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh
4
M. Amin Abdullah, Studi Agama, 102. wa Mushthalâhuh, 32-33.
ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

para pakar ilmu hadis membumbung tinggi tatkala periwayat)11 (3) muttashil(sanadnya bersambung)12 (4)
berhadapan dengan sanad. Atensi mereka cukup besar ghair syâdz (tidak ada kejanggalan)13 (5) ghair ‘illah
dan selalu menekankan akan pentingnya sikap kritis (tidak ada cacat).14 Tiga kriteria pertama berlaku pada
pada sanad. Fenomena ini dapat diamati langsung suatu sanad dari hadis tertentu, sedang dua kriteria
dalam sosokseorang tabi’in, Muhammad bin Sîrîn yang terakhir diterapkan pada gabungan dari
(w. 110 H) yang menyatakan:“Sesungguhnya beberapa jalur sanad. Satu point lagi yang biasa
pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah diketengahkan, yaitu periwayat dari kalangan sahabat
dari siapa kamu mengambil agamamu itu.”7 Ada pula harus dianggap adil dan diterima periwayatannya
Abdullâh bin al-Mubârak (w. 181 H), seorang ahli hadis tanpa melalui proses penelitian atas kepribadiannya
terkemuka yang berkata: “Sanad hadis merupakan berdasarkan diktum “kullu shahâbah udûl.”
bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada,
niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang 11
Artinya setiap periwayat dalam sanad itu (termasuk
dikehendakinya.”8 periwayat dari kalangan sahabat) memiliki kredibilitas
Kritik terhadap sanad dalam kajian hadis intelektual, kuat ingatan dan pemahaman, sehingga
ditujukan untuk mengetahui sisi otentisitas sebuah mampu menerima periwayatan yang disampaikan
hadis. Apakah suatu hadis memang benar-benar kepadanya, memahami, dan menghafalnya serta mampu
bersumber dari Nabi ataukah diragukan bersumber menyampaikan kepada orang lain sebagaimana yang
diterimanya. Lihat: Subhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa
dari Nabi atau bahkan perkataan palsu yang
Mushthalahuh(Beirut: Dâr Ilmi al-Malayîn, 1997), 12.
diatributkan pada Nabi saja. Dari aspek sanad
Untuk mengetahui ke-dhâbith-an periwayat, sebagaimana
tersebut, seseorang dapat pertama kali mengklaim mengetahui ke-‘âdil-annya, yakni dari kesaksian ulama
sisi otentisitas hadis yang ditelitinya.Secara lebih atau penilaian para kritikus serta kesesuaian riwayat yang
spesifik dapat dikatakan bahwa otentisitas sanad disampaikan dengan riwayat lain dari periwayat yang dhâbith.
merupakan suatu kemutlakan dalam memahami Lihat: Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 232, 305.
hadis lebih jauh. Pandangan seperti inilah yang 12
Artinya setiap periwayat dalam sanad itu menerima
dipegangi oleh mayoritas ulama hadis.9 langsung dari periwayat lain yang menyampaikannya. Al-
Dalam kesarjanaan hadis, kritik sanad lazimnya Khathîb al-Baghdadî menyebut dengan musnad, yakni
dilekatkan pada lima kriteria, yaitu (1)‘âdil bukan sekedar muttashil tetapi juga marfû (disandarkan
(integritas periwayat); 10 (2) dhâbith(intelektual kepada Nabi). Lihat: Subhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts,.
145. Ada dua aspek yang bisa digunakan sebagai barometer
7
Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairî, al- ke-muttashil-an sanad, yakni adat al-tahammul wa al-adâ‘
Jâmi‘ al-Shahîh (Ttp: Îsa al-Bâbi al-Halabî wa Syurakah, (lafad metode periwayatan yang digunakan) seperti
1955), 14. haddatsanâ, anba’anâ, ‘an, dan sebagainya serta kesezamanan
8
Ibid.Mahmûd al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat antara periwayat yang meriwayatkan dan yang menerima
al-Asânîd (Halb: al-Mathba‘ah al-‘Arabiyyah, 1978), 158. periwayatan, yang bisa dideteksi dari kurun hidup atau
9
al-Nawâwî, al-Taqrîb li al-Nawâwî Fan Ushûl al-Hadîts hubungan guru dan murid. Lihat: Muhammad ‘Ajjaj al-
(Kairo: t.p., t.t.), 2; Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 305.
fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), jilid 13
Artinya hadis tersebut tidak mengandung syudzûdz,
I, 70; Jamâl al-Dîn al-Qâsimî, Qawâid al-Tahdîts min Funûn kejanggalan. Yakni diriwayatkan oleh periwayat yang
Musthalah al-Hadîts (t.tp.: Isâ al-Bâbi al-Halabî wa tsiqah, dan tidak diriwayatkan oleh periwayat lain yang
Syurakah, 1961), 79. Mahmûd al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj, tsiqah ataupun diriwayatkan oleh periwayatan yang tsiqah
145-146; Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts yang menyelisihi atau bertentangan dengan periwayatan
‘Ulûmuh wa Mushthalâhuh (Beirut:Dâr al-Fikr, 1989). beberapa periwayat lain yang juga tsiqah. Lihat: Jalâl al-
10
Seluruh periwayat dalam sanadnya adalah periwayat Dîn al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî, jilid I,. 248-251; Muhammad
yang memiliki kredibilitas ketaqwaan dengan indikasi ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîs, 358-363.
sebagai seorang muslim yang melaksanakan ketentuan 14
Tidak adanya cacat yang tersembunyi, yang
agama dan menjauhi larangannya serta dapat menjaga menjadikan teks hadis yang secara lahiriah berkualitas
muru’ah. Untuk mengetahui ke-‘âdil-an periwayat adalah shahîh ternyata tidak berkualitas shahîh. Untuk mengetahui
dengan melihat kesaksian ulama semasa atau penilaian cacat yang tersembunyi adalah dengan cara pengetahuan
dari para kritikus mengenai periwayat yang bersangkutan. dan pemahaman yang luas terhadap hadis, yakni dengan
Lihat: Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 231, mengkomparasikan hadis-hadis yang setema. Lihat:
305. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 305.
Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis -- Suryadi

Aspek sanad berkaitan erat dengan periwayat, misalnya Tahdzîb al-Kamâl karya al-Mizzî, Tahdzîb al-
sebab kajian sanad pada dasarnya difokuskan pada Tahdzîb hasil karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî,
kualitas para periwayat dan metode periwayat yang Khulâshah Tahdzîb Tahdzîbal-Kamâl karya al-Khazrajî.
digunakan.15 Tanpa mengetahui hal ihwal seputar Selain itu, ada pula kitab-kitab yang khusus memuat
periwayat hadis, maka lima kriteria dalam kritik para rawi yang terpercaya (tsiqah), seperti Kitâb al-
sanad yang telah disebutkan sebelumnya tidak akan Tsiqât karya Ibnu Hibbân al-Busthî dan Kitâb al-Tsiqât
bisa diidentifikasi secara langsung. Atau dengan kata karya al-‘Ijlî. Muncul pula kitab-kitab yang berisi para
lain, sangat tidak mungkin untuk menelusuri periwayat yang lemah atau masih diperdebatkan,
otentisitas sanad hadis tanpa mengetahui kondisi seperti Kitâb al-Dhu‘afâ‘ karya al-‘Uqailî, al-Kâmil
periwayat dalam jalur sanad yang ada. fîDhu‘afâ‘ al-Rijâl karya al-Jurjânî, dan Mizân al-I‘tidâl
Untuk mengkaji kondisi para periwayat yang fî Naqd al-Rijâl karya al-Dzahabî.18
terlibat langsung dalam proses transmisi hadis,
IlmuRijâl al-Hadîts merupakan perangkat keilmuan Kritik Matan
yang biasa digunakan. Dalam studi hadis, ilmu ini Secara etimologis, matan mempunyai arti segala
mempunyai dua anak cabang, yaitu Ilmu Târikh al- sesuatu yang keras bagian atasnya. Bentuk plural dari
Ruwâh dan Ilmu Jarh wa al-Ta‘dîl. Cabang ilmu yang kata ini bisa berbentuk “mutûn” atau juga “mitân”.
pertama didefinisikan sebagai “ilmu yang membahas Matan dari segala sesuatu adalah bagian permukaan
rawi-rawi, dari aspek yang berkaitan dengan yang tampak darinya, juga bagian bumi yang tampak
periwayatan mereka tehadap hadis.”16 Oleh sebab itu, menonjol dan keras. Terkait dengan kata matan,
fokus utama Ilmu Târikh al-Ruwâh adalah pada sejarah terdapat sebuah kalimat “mattana al-Qawsatamtînan”,
hidup para perawi hadis. Sedangkan cabang ilmu yang artinya “seseorang mengikat anak panah dengan
yang kedua dipaparkan dengan “ilmu yang membahas tali.”19
mengenai keadaan para rawi hadis dari segi diterima Sementara dari kacamata terminologis, matan
atau ditolaknya periwayatan mereka,” 17 yang adalah redaksi hadis yang menjadi unsur pendukung
memberikan pengertian bahwa fokus utamanya pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali
adalah untuk menjustifikasi kualitas kepribadian didasarkan pada alasan bahwa bagian tersebut
dan intelektual periwayat. merupakan bagian yang tampak dan menjadi sasaran
Sementara itu, guna mendapatkan data-data utama hadis. Oleh sebab itu, penamaan “matan”
periwayat yang memiliki rentang masa yang panjang untuk merepresentasikan redaksi hadis sebenarnya
dengan masa sekarang sendiri, menggunakan kitab- berasal dari pengertian etimologisnya.20
kitab Rijâl al-Hadîts yang telah dihasilkan oleh para Terkait dengan kondisi suatu matan hadis, para
ulama hadis sebelumnya. Masing-masing kitab rijâl ulama klasik berpendapat bahwa suatu sanad yang
mempunyai karakteristik sendiri-sendiri sesuai shahih, pasti matannya shahih juga, sehingga tidak
dengan orientasi penulisnya. Di antara kitab-kitab perlu lagi dilakukan pemahaman atau pemahaman
tersebut terdapatjenis kitab yang memuat rawi-rawi ulang. Bagi mereka, sanad yang shahih, maka
dalam kitab hadis tertentu, seperti RijâluhûShahîh matannya tinggal diamalkan saja.Keyakinan tersebut
Muslim karya Abû Bakr Ahmad bin Alî al-Asfahânî berlainan dengan ulama-ulama modern, yang
(w. 428 H), al-Jam‘u baina Rijâl al-Shahîhaîn buah menyatakan bahwa sanad yang shahih belum tentu
tangan Ibn al-Qiranî(w. 507 H), al-Ta’rîf bi Rijâl al- matannya shahih. Implikasi dari hal ini, penelitian
Muwaththâ‘ karya al-Tamîmî(w. 416 H). Ada pula hadis tidak boleh terhenti pada aspek sanad saja,
kitab-kitab yang khusus memuat rawi Kutub al-Sittah, tetapi juga harus mengkaji matan secara kritis.21

15
Nûr al-Dîn ‘Itr, al-Madkhal ilâ ‘Ulûm al-Hadîts 18
Mahmûd al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj, 107-137.
(Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972), 12; Musthafâ 19
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 32.
al-Adzamî, Dirâsât fî al-Hadîts al-Nabawî (Ttp.: Jâmi’ah al- 20
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 32.
Riyâdh}, 1976), 391; Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl 21
Perbedaan pola pikir inilah yang menyebabkan
al-Hadîts, 32-33. terjadinya gap antara ulama klasik dan modern terkait
16
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 253. pandangan mereka terhadap hadis Nabi. Para pemikir
17
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, 235. hadis modern lebih cenderung untuk mengkaji otentisitas
ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Dibandingkan dengan kritik sanad, kegiatan Tujuan dari kajian matan atau ilmu matan di
kritik matan memiliki tingkat kesulitan yang lebih samping untuk mengetahui otentisitas sebuah matan
besar. Menurut Shalâh al-Dîn al-Adlabî, kesulitan hadis, yang paling utama adalah untuk memahami
dalam kritik matan lebih disebabkan oleh beberapa matan secara tepat. Hal ini karena pemahaman pada
faktor, yaitu: (1) Langkanya kitab-kitab yang hadis terkandung secara implisit dalam kritik matan
membahas kritik matan dan metodenya. (2) yang diterapkan pada hadis. Tanpa didahului oleh
Pembahasan matan hadis pada kitab-kitab tertentu pemahamanyang tertanam dalam pikiran terlebih
termuat di berbagai bab yang bertebaran sehingga dahulu, maka klaim otentik tidaknya suatu matan
sulit dikaji secara khusus, dan (3) Adanya keraguan hadis tidak akan bisa dilakukan.
di kalangan ahli hadis untuk mengklaim sesuatu Muhammad Thâhir al-Jawâbî menuturkan
sebagai bukan hadis padahal hadis, dan demikian bahwa kritik matan hadis mempunyai dua cakupan,
sebaliknya.22 yaitu (1) Kritik dalam upaya menentukan benar
Menurut M. Syuhudi Ismail, faktor-faktor yang tidaknya matan hadis tersebut, (2) Kritik matan
menonjol penyebab sulitnya penelitian matan hadis dalam rangka mendapatkan pemahaman yang benar
adalah (1) adanya periwayatan secara makna, (2) mengenai kandungan yang terdapat dalam sebuah
acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu matan hadis.25 Kedua unsur tersebut, yaitu kritik
macam saja, (3) latar belakang timbulnya petunjuk matan dan pemahaman hadis, sangat sulit untuk
hadis tidak selalu mudah dapat diketahui (4) adanya dipisahkan dalam studi matan hadis, mengingat
kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan untuk mengungkap otentisitas matan hadis, harus
hal-hal yang berdimensi supra rasional, dan (5) masih mengungkap kandungan dari matan suatu hadis.
langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus Demikian pula sebaliknya, dalam mengungkap
penelitian matan hadis. 23 Karena itulah, dalam kandungan hadis, sebenarnya juga ingin mengetahui
penelitian matan hadis, setidaknya peneliti harus otentisitas matan hadis tersebut. Dengan demikian,
mempunyai keahlian dalam bidang Hadis dan Ulum pemahaman hadis pada dasarnya merupakan bagian
al-Hadis serta memiliki pengetahuan yang luas dan dari kritik matan, dan kritik matan merupakan
mendalam tentang ajaran Islam. bagian dari kritik hadis.
Kajian matan sendiri selalu merujuk kepada dua
kaedah mayor, yaitu: Tidak janggal (ghair syadz) dan Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan: Arah
tidak cacat (lâ ‘illah). Kedua kaedah mayor ini Pengembangan Kajian Hadis
kemudian dikembangkan menjadi berbagai kaidah Kritik Sanad
minor. Kaidah-kaidah minor itu biasanya mencakup: Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya,
1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an; 2) Tidak bahwa otentisitas sebuah sanad hadis tergantung
bertentangan dengan hadis yang lebih kuat; 3) Tidak pada bagaimana kondisi periwayat yang mentransmisi-
bertentangan dengan fakta sejarah; dan 4) Tidak kan hadisnya dari satu generasi kepada generasi
bertentangan dengan kebenaran ilmiah.24 selanjutnya. Kemudian, untuk melacak bagaimana
hadis dengan parameter matan hadis yang bersangkutan, kondisi periwayat, maka ilmu yang dipakai adalah
sedang ulama klasik telah merasa puas dengan keshahihan IlmuRijâl al-Hadîts, yang mempunyai dua anak
sanad. Bagi para pemikir modern seperti Ahmad Amin, cabang, yaitu Ilmu Târikh al-Ruwâh dan Ilmu Jarh wa
Mahmud Abu Rayyah, Husein Haikal dan Muhammad al-Ta‘dîl.
Abduh, hadis tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an Dalam Ilmu Târikh al-Ruwâh dan Ilmu Jarh wa al-
dan akal. Meskipun hadis memiliki sanad yang shahih, Ta‘dîl, para periwayat dalam rangkaian sanad yang
tetapi bila nyata-nyata bertentangan dengan al-Qur’an dituju untuk dicari data-datanya, dinilai jarh dan
dan akal, maka tidak bisa dipakai sebagai argumentasi
normatif. Lebih jelasnya, lihat G.H.A. Juynboll, The Makânatuhâfî al-Tasyrî’ al-Islâmî(Beirut: Dâr al-Qaumiyah,
Authenticity of the Tradition Literature, Discussions in Modern 1966), 271-272; Muhammad al-Ghazâlî, al-Sunnah al-
Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1969), 33-46. Nabawiyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadîts(Kairo: Dâr
22
Shalahuddîn al-Adlabî, Manhaj Naqd, 20-23. Syurûq, 1989).
23
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, 130. 25
Muhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn
24
Bandingkan dengan Shalahuddîn al-Adlabî, fî Naqd Matn al-Hadîts (t.t.p.: Mu‘assasât ‘Abd al-Karîm,
Manhaj Naqd, 230; Mushtafâ al-Sibâ’î, al-Sunnah wa t.th.), 94.
Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis -- Suryadi

ta’dîl-nyaserta diterima tidaknya periwatannya pada nya sudah mengalami pembakuan dan pelembagaan,
dasarnya mengambil periwayat atau sosok manusia sehingga telaah kritis terhadap informasi dan penilaian
sebagai objek kajiannya. Meskipun pada akhirnya terhadap periwayat seakan-seakan sudah tertutup.
aktivitas ini memiliki pengaruh kuat dalam penentuan Apalagi terhadap periwayat dari kalangan sahabat
otentisitas hadis – dari sanad dan matan – sebagai yang seolah-olah terkunci rapat dengan diktum
salah satu sumber normatif ajaran Islam, akan tetapi populer bahwa semua sahabat itu pasti adil. Atas
yang harus dipahami adalah pada hakikatnya naqd dasar inilah dalam kajian sanad perlu dikembangkan
al-râwî tidak beranjak dari kegiatan penelitian yang dengan merujuk kitab-kitab Tarikh/sejarah secara
melibatkan manusia sebagai subjek (kritikus/penilai) umum, Sirah, Maghâzî, dan lain sebagainya. Dengan
sekaligus objek (periwayat yang dinilai).26 berbekal berbagai macam data yang disajikan oleh
Dengan melihat karakteristik yang melekat pada kitab-kitab tersebut, maka aspek integritas dan intelek-
Ilmu Târikh al-Ruwâh dan Ilmu Jarh wa al-Ta‘dîlseperti tualitas seorang periwayat bisa ditelaah secara kritis
dijelaskan di atas, maka sebenarnya kedua ilmu ini dan komprehensif.
dikategorikan sebagai sebagai kelompok ilmu-ilmu Kajian terhadap periwayat hadis dengan tidak
kemanusiaan (Human Science), yakni pengetahuan hanya merujuk kepada kitab-kitab rijâl, sudah dilaku-
empiris yang mempelajari manusia dari segala aspek kan oleh ulama-ulama modern-kontemporer. Sebut
hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, perorangan saja misalnya Ahmad Amîn dalam bukunyaFajr al-
maupun bersama dan menjadikan manusia sebagai Islâm;29 Mahmûd Abû Rayyah dalam karyanyaAdhwa’
objek sekaligus subjek.27 ‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyyah;30 Khaled Aboe el-
Karena manusia (kritikus) tidak lagi berada di Fadl dalam bukunyaSpeaking in God’s Name: Islamic
luar objek (periwayat) yang diselidikinya, dipastikan Law, Authority and Women;31 Fatimah Mernisi dalam
terjadi timbal balik tanpa henti antara subjek dan hasil karyanyaWomen in Islam;32dan Fu’ad Jabali dengan
objek. Oleh karenanya, objektivitas dengan pendekatan bukunya Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana dan Bagaimana?33
yang bebas nilai dalam kategori ilmu ini sulit diwujud- Dengan tidak terpaku pada kitab rijâldan melacak
kan. Keberadaan manusia sebagai penilai tidak bisa pada jenis kitab-kitab lainnya, maka hal ihwal seputar
tidak melibatkan diri dalam sudut pandang dan periwayat hadis akan bisa diketahui lebih lengkap.
kacatamanya yang subjektif, dan manusia sebagai Misalnya saja Mahmûd Abû Rayyah yang mencoba
objek tidak bisa tidak dipengaruhi oleh hasil penyeli- untuk meneliti kepribadian Abu Hurairah berbekal
dikan dan penafsiran atas dirinya.28 kitab rijâl dan diramu juga kitab-kitab sejarah secara
Karena faktor manusia yang sangat besar dalam umum, semisal Târikh al-Tsa‘labî; Târikh Abî al-Fidâ’;
Ilmu Rijâl al-Hadîts, maka adalah suatu kewajaran Kitâb al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibn al-Katsir;
apabila terjadi perbedaan pendapat terkait dengan Târikh Adab al-Arab, dan lain sebagainya. Abu
kepribadian seorang periwayat. Pada seorang periwayat, Hurairah merupakan seorang sahabat Nabi yang
sebagian kritikus memberikan penilaian positif, wafat pada tahun 57 H. dan meriwayatkan hadis
sedang sebagian lainnyamelabelkan penilaian yang dengan jumlah paling banyak. Beberapa hadis yang
negatif. Dalam hal ini, subjektifitas sangat bermain diriwayatkannya menyangkut cabang-cabang maupun
dalam penentuan baik dan buruknya kadar integritas pokok-pokok agama.
dan intelektualitas yang dilabelkan pada seorang
periwayat. 29
Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Beirut: Dâr al-Kutub
Selain dengan ilmu rijâl,untuk melakukan kajian al-‘Arabiy, 1969).
terhadap otentisitas terhadap sanad hadis biasanya 30
Mahmûd Abû Rayyah, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah al-
digunakan kitab-kitab rijâl. Kitab-kitab rijâl ini biasa- Muhammadiyah aw Difâ’ ‘an al-Hadîts (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,
tth.).
31
Khaled Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name:
26
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis (Yogyakarta: Islamic Law, Authority and Women (England: Oneworld
Madani Pustaka Hikmah, 2003), 86. Oxford, 2003).
27
C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Ilmu 32
Fatimah Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar
Pengetahuan: Telaah atas Kerja Ilmu-Ilmu (Jakarta: Gramedia, Radianti (Bandung: Pustaka, 1994).
1991), 66-67. 33
Fu’ad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, Kemana, dan
28
C. Verhaak & Haryono Iman, Filsafat Ilmu, 69-72. Bagaimana? (Jakarta: Mizan Publika, 2010).
ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Abu Hurairah dikenal dengan Syaikh al- denganal-madhîrahini, Abu Hurairah pernah suatu
Madhîrah Abu Hurairah al-Dausî. Menurut Abû saat berujar sebagai berikut: “Madhirah Mu‘awiyah
Rayyah, ia adalah seorang yang ummi (buta huruf). lebih berminyak dan lebih lezat, sedangkan shalat
Dikisahkan, Abu Hurairahtermasuk orang yang di belakang Ali lebih baik”. Pada masa Muawiyyah
terlambat masuk Islam dan kebersamaannya dengan bin Abu Sufyan, ia yang sebelumnya miskin, menjadi
Nabirelatif cukup singkat, akan tetapi yang aneh dan mendadak kaya raya dan dibuatkan istana,
ternyata hadis yang diriwayatkannya sangat banyak bahkan pernah diangkat menjadi staf gubernur. 37
bahkan ia berada pada posisi teratas sebagai figur Hasil yang diperoleh Abû Rayyahmengenai
sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Abu pribadi Abu Hurairah seperti dijelaskan di atas tidak
Huairah mengalahkan Khulafa’ al-Rasyidun, al- akan diperoleh tatkala hanya mencari data yang
Sabiqun al-Awwalun, serta kerabat Nabi dan isterinya terekam dalam kitab-kitab rijâl saja. Terlebih lagi karena
yang hanya meriwayatkan hadis sedikit. Tercatat Abu Abu Hurairah adalah figur dari kalangan sahabat
Bakar hanya meriwayatkan sebanyak 142 hadis, yang seakan-akan tidak dapat disentuh (untouchable)
Umar 437 hadis, Usman 146 dan Ali 586 hadis. dalam tradisi ahli hadis. Oleh sebab itu, perlu
Jumlah ini sangat jauh dibanding Abu Hurairah yang pemikiran ulang terkait kritik sanad yang selama ini
berhasil meriwayatkan 5374 hadis. ada dengan cara memperluasjangkauan kitab-kitab
Mengenai nama Abu Hurairah, para ulama sumber data periwayat. Hal ini dimaksudkan agar
banyak yang berselisih pendapat atasya, baik nama keterangan yang didapatkan bisa dikembangkan ke
dia sendiri maupun nama ayahnya. Bahkan, yang arah data yang lebih komprehensif.Mekanisme
lebih ironis lagi adalah, tidak ada satu pun ahli tahqiq seperti ini menjadikan konklusi atas kadar integritas
yang dapat mengidentifikasi apa nama yang diberikan dan intelektualitas seseorangbisa diformulasikan
oleh keluarga Abu Hurairah kepadanya. Menurut al- secaralebih akurat dan menekankan aspek objektivitas.
Nawâwî, nama yang benar adalah Abdullah bin
Shakhr dari tiga puluh pendapat yang ada. Nama “Abu Kritik Matan
Hurairah” sendiri hanyalah kunyahyang diberikan oleh Meskipun upaya pemahaman terhadap hadis
para sahabat karena ia senang bermain-main dengan Nabi terus dilakukan oleh ahli di bidangnya sejak
kucing.34 era klasik, tetapi tampaknya masih banyak hal yang
Abu Hurairah merupakan seorang yatim dan perlu dikaji mengingat adanya faktor-faktor yang
miskin. Ia bergabung bersama Nabi karena kerakusan- belum terpikirkan dan yang perlu dipikir ulang yang
nya. Berkenaan denganmotifnya ini, Abu Hurairah melingkupi kitaran pemahaman teks hadis Nabi.
pernah berkata: “Saya ini adalah orang yang miskin, Terkait dengan kritik matan hadis yang berjalin
dan saya menemani Nabihanya untuk mengisi kelindan dengan pemahamannya, ulama-ulama
perutsaya (mil’i bathnî).” Riwayat seperti ini terekam modern kemudian mengembangkan kaedah minor
dalam dua kitab hadis kanonik tertinggi dalam dalam pemahaman matan dengan merekonstruksi
tradisi hadis, yaitu al-Bukhari dan Muslim. 35Di pemahaman matan dengan berbagai metode yang
samping itu, ia juga pernah dicerca oleh Ali bin Abi ada.Di antara metode yang paling populer digunakan
Thalib dengan perkataan: “Ingatlah kalian bahwa oleh para pemikir pada era modern-kontemporer ini
dia (Abu Hurairah) merupakan manusia yang paling adalah metode hermeneutika.
dusta” atau dalam redaksi lain “orang yang paling Pada dasarnya, problematika hermeneutik terkait
berdusta atas nama Rasulullah adalah Abu Hurairah.”36 dengan problematika bahasa, karena untuk berpikir,
Abu Hurairah merupakan sosok sahabat yang menulis, berbicara, mengerti, bahkan interpretasi,
suka makan kue, dan oleh karenanya dia diberikan semua menggunakan medium bahasa. Pemahaman
laqabberupa nama Syaikh al-Madhîrah. Al-Madhîrah hanya mungkin dimulai bila bermacam-macam
sendiri adalah kue dari susu dan daging. Terkait pandangan menemukan satu bahasa untuk saling
berkomunikasi. Tugas hermenetik terutama memang
untuk memahami teks.Maka dari sini, hadis yang
34
Mahmûd Abû Rayyah, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah, 168-
terejawantahkan dalam wujud teks dalam berbagai
169.
35
Mahmûd Abû Rayyah, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah,, 170.
36
Mahmûd Abû Rayyah, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah, 177. 37
Mahmûd Abû Rayyah, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah, 171.
Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis -- Suryadi

kitab hadis kanonik maupun non-kanonik juga dan dalam situasi apa sebuah teks itu muncul.
absah ditelaah dengan metode hermeneutika. Dengan demikian, pemahaman yang ideal terhadap
Dalam memahami makna hadis yang nota hadis paling tidak melibatkan dua unsur, yaitu
benemerupakan manifestasi perkataan, perilaku, dan gramatika bahasa dan juga pendekatan kontekstual-
ketetapan Nabi yang telah termodifikasi dan ter- historis.
kodifikasi dalam kitab-kitab hadis, dengan sendirinya Sampai saat ini, telah lahir banyak sekali tawaran
pada dasarnya merupakan upaya memahami teks metode hermeneutika dalam memahami teks hadis.
hadis. Dalam memahami teks sendiri, setidaknya ada Hal demikian bisa dilihat dalam kajian-kajian
tiga variabel atau domain utama yang saling terkait, hermeneutika yang ditawarkan oleh Fazlurrahman
yaitu teks, author (pengarang), dan reader (pembaca). dengan teori gerak gandanya (double movement),
Ketiganya dihubungkan dengan alat bantu berupa Hassan Hanafi dengan teologi pembebasannya, dan
bahasa. Tanpa medium bahasa, mustahil penghimpun Kholed Aboe el-Fadl dengan hermeneutika negosiatif-
hadis-hadis Nabi dan teks-teks hadisnya mampu nya. Mereka menawarkan metode pemahaman teks
bersentuhan dengan dunia pembaca, yaitu para hadis agar memberikan tekanan padadomainreader
pengkaji hadis. Bahasa yang digunakan hadis sendiri juga tanpa mengenyampingkan domain teks dan
adalah bahasa Arab, sebab Nabi merupakan orang author, sehingga hadis bisa menjadi sumber normatif
Arab. Islam yang rahmatan lil ‘âlamin(rahmat bagi seluruh
Jika ulama-ulama klasik dalam memahami hadis alam) dan shâlih likulli zamân wa makân(relevan di
lebih mengarah pada domain teks dan author, maka setiap era dan tempat).
ulama-ulama modern-kontemporer disamping kedua Sebagai contoh metode hermeneutika, Fazlur
domain di atas, juga memperhatikan domain reader. rahman (1919-1988 M)menawarkan metode
Ketiga hal tersebut, yaitu teks, author, dan reader harus hermeneutika dalam proses pemahaman dengan
diseimbangkan dan terjadi negosiasi yang represen- mengintrodusir teori tentang penafsiran situasional
tatif antar ketiganya. Dalam proses kerja hermeneutik, terhadap hadis dengan beberapa langkah strategis,
tiga domain tersebut tidak bisa berdiri secara dikotomis sebagai berikut: 1) memahami makna teks hadis, 2)
atau dipisahkan, sebab antara satu domain dengan memahami latar belakang situasionalnya, yakni
domain lainnya saling terkait.Masing-masing domain menyangkut situasi Nabi secara umum, termasuk
dalam proses pemahaman memiliki peran dan dalam hal ini asbab al-wurud, di samping itu juga
fungsinya sendiri, sehingga mengunggulkan peran memahami petunjuk-petunjuk al-Qur‘an yang
salah satu domain atau mengabaikan peran salah relevan, 3) Merumuskan prinsip ideal moral dari
satu domain lainnya hanya akan membawa kepada hadis tersebut untuk diaplikasilan dan diadaptasikan
“kesewenang-wenangan dalam memahami.”38 dalam latar sosiologis dewasa ini.39
Dari keterangan-keterangan sebelumnya, tampak Dus, kritik matan yang dikolaborasikan dengan
dalam memahami hadis Nabi, sangat ditekankan pemahaman yang berbasis metode hermeneutika
penggunaan gramatika bahasa, yang dalam konteks merupakan satu hal yang harus diaplikasikan sebagai
ini adalah bahasa Arab. Karena hadis tertuang dalam pengembangan atas kritik matan yang selama ini ada.
bahasa Arab, maka cara yang paling dekat mengenal Karena berbekal metode hermeneutika, maka bisa
hadis adaah dengan merujuk pada karakter bahasa berimplikasi pada munculnya pemahaman yang ideal
Arab itu sendiri.Namun, dalam kajian hermeneutik, pada makna hadis akan diperoleh oleh pembaca.
bukan hanya gramatika bahasa yang menjadi titik Atau dengan maksud lain, makna kontekstual akan
tekan, akan tetapi pendekatan kontekstual-historis selalu hadir bersama orang yang mencoba untuk
juga harus dikedepankan. Dengan pendekatan ini, memahami hadis Nabi, sehingga dari sini hadis selalu
untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, melahirkan makna yang shâlih likulli zamân wa makân.
harus diketahui latar belakang sosial budaya di mana
39
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
38
M. Amin Abdullah, “Mendengarkan Kebenaran of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of
Hermeneutika”, dalam Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Chicago Press, 1982), 2; lihat juga Fazlur Rahman,Islamic
Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ, Methodology in History (Karachi: central Institute of Islamic
2005), xviii. Research, 1965), 77-78.
ESENSIA, Vol. 16, No. 2, Oktober 2015

Di samping itu pula, dengan metode hermeneutika, kembali atas bangunan ilmu hadissendiri tidak
seseorang tidak akan mudah terjebak dalam justi- berpretensi untuk menolak pemikiran yang telah
fikasi dhaifnya sebuah riwayat hadisyang diakibatkan ditorehkan oleh para ulama klasik. Namun, hal ini
kritik matan yang ia lakukan. Pemahaman yang lebih dimaksudkan sebagai bentuk perbaikan dan
terlalu dangkal biasanya berakibat pada gampangnya pemanfaatan hal-hal baru yang bermunculan di era
seseorang menuduh suatu hadis dhaif bahkan palsu sekarang ini. Proses seperti ini sendiri tidaklah
hanya karena bertentangan dengan rasio atau al- bertentangan dengan pemikiranpara ulama klasik,
Qur’an dalam penafsirannya.Metode hermeneutika sebab mereka sendiri telah membangun kaidah
menawarkan pemahaman yang non-tekstual, sehingga untuk melegitimasi hal tersebut “al-Muhâfadzatu alâ
bisa jadi hadis yang bila dilihat secara sekilas al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah”
bertentangan dengan rasio atau al-Qur’an, ternyata (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil
mempunyai makna lain yang hanya bisa disibak tradisi baru yang lebih baik).
dengan pendekatan kontekstual-historis dalam Terkait dengan tawaran pengembangan kajian
metode hermeneutika. Oleh karena itu, metode hadis, kesimpulan penting yang bisa diambil adalah
hermeneutika layak dijadikan acuan karena bisa bahwa kritik sanad perlu dikembangkan pada
menetralisir pola pikir tasâhul dalam pendhaifan pemanfaatan data-data yang berasal dari kitab selain
hadis karena terjebak dalam pemahaman yang kitab-kitab rijâl agar konklusi atas kadar integritas
sempit pada makna hadis. dan intelektualitas seseorang bisa diformulasikan
secara lebih akurat dan menekankan aspek
Simpulan objektivitas. Sementara itu, kritik matan juga perlu
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, studi dikembangkan dengan menerapkan metode
hadis perlu mendapatkan pengembangan dan hermenetika dalam memahami teks Nabi, supaya
inovasi. Oleh karena itu, rekonstruksi atas kajian bisa menolak pola pikir tasâhul dalam pendhaifan
kritik sanad dan matan yang selama ini terpatri kuat hadis sekaligus juga melahirkan makna hadis yang
dalam tradisi hadis bukanlah merupakanbarang yang shâlih likulli zamân wa makân.
harus dijauhi atau bahkan ditolak.Pengkonstruksian
Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis -- Suryadi

Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah”, dalam,
Yunahar Ilyas dan M. Masudi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI,
1996.
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Abdullah, M. Amin, “Mendengarkan Kebenaran Hermeneutika”, dalam Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-
Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ, 2005.
al-Adlabî, Shalahuddîn, Manhaj Naqd al-Matan Inda Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawî, Beirut: Dâr al-Afaq al-
Jadîdah, 1983.
Amîn, Ahmad, Fajr al-Islâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1969.
al-Adzamî, Musthafâ, Dirâsât fî al-Hadîts al-Nabawî, Ttp.: Jâmi’ah al-Riyâdh, 1976.
el-Fadl, Khaled Abou, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, England: Oneworld Oxford,
2003.
al-Ghazâlî, Muhammad, al-Sunnah al-Nabawiyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadîts, Kairo: Dâr Syurûq, 1989.
Ismail, M. Suhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
‘Itr, Nûr al-Dîn, al-Madkhal ilâ ‘Ulûm al-Hadîts, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972.
Jabali,Fu’ad, Sahabat Nabi: Siapa, Kemana, dan Bagaimana?, Jakarta: Mizan Publika, 2010.
al-Jawâbî, Muhammad Thâhir, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts, t.t.p.: Mu‘assasât ‘Abd al-Karîm,
t.th.
Juynboll, G.H.A. The Authenticity of the Tradition Literature, Discussions in Modern Egypt , Leiden: E.J. Brill,
1969.
al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjaj, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mushthalâhuh, Beirut:Dâr al-Fikr, 1989.
Mernissi, Fatimah, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka, 1994.
al-Nawâwî, al-Taqrîb li al-Nawâwî Fan Ushûl al-Hadîts, Kairo: t.p., t.t.
al-Naysâbûrî, al-Hâkim, Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts wa Kamiyyati Ajnâsuhû, Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2003.
al-Qâsimî, Jamâl al-Dîn, Qawâid al-Tahdîts min Funûn Musthalah al-Hadîts, t.tp.: Isâ al-Bâbi al-Halabî wa
Syurakah, 1961.
al-Qusyairî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, al-Jâmi‘ al-Shahîh, Ttp: Îsa al-Bâbi al-Halabî wa Syurakah,
1955.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of
Chicago Press, 1982.
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Karachi: central Institute of Islamic Research, 1965.
Rayyah, Mahmûd Abu, Adhwâ’‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Difâ’ ‘an al-Hadîts, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,
tth.
al-Shâlih, Subhî, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, Beirut: Dâr Ilmi al-Malayîn, 1997.
Shalâh, Ibnu, Ma’rifah Anwâ‘ fî ‘Ilm al-Hadîts, Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 2002.
al-Sibâ’î, Mushtafâ, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’ al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Qaumiyah, 1966.
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, Yogyakarta, Madani Pustaka Hikmah, 2003.
al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.
Thahhân,Mahmûd, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd, Halb: al-Mathba‘ah al-‘Arabiyyah, 1978.
Verhaak C. dan Haryono Iman, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta: Gramedia,
1991.

Anda mungkin juga menyukai