Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Penyakit ulkus peptikum (ulkus peptik) merupakan penyakit yang
masih banyak ditemukan terutama dalam kelompok usia di atas 45 tahun (Gartner dan
Hiatt, 2001). Ulkus peptikum secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek
mukosa/submukosa yang berbatas tegas, dapat menembus lapisan muskularis mukosa
sampai lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Secara klinis, suatu ulkus adalah
hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≥5mm yang
dapat diamati secara endoskopis, histologis atau radiologis (Akil, 2009). Ulkus
peptikum tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi berbeda tergantung pada sosial,
ekonomi, dan demografi.
Di Inggris sekitar 6-20% penduduk menderita ulkus terutama pada usia 55
tahun, sementara di USA terdapat 4 juta pasien gangguan asam-pepsin dengan angka
kematian 15.000 jiwa pertahun dan menghabiskan dana 10 milyar setiap tahun
(Tarigan, 2009). Sekitar 500.000 warga Amerika Serikat setiap tahun menderita
penyakit ini, dan sebanyak 70% terjadi antara usia 25-64 tahun (Ramakrishnan, 2007).
Prevalensi ulkus peptikum di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan
antara 6-15% terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono,2001). Badan Penelitian
Pengembangan Kesehatan (BPPK) Depkes (2008) menyatakan bahwa pada tahun
2005-2008, ulkus peptikum di Indonesia menempati urutan ke-10 dalam kategori
penyebab kematian pada kelompok umur 45-54 tahun pada laki-laki (2,7%). Ulkus
peptikum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu ulkus gaster dan ulkus duodenum. Lokasi
terbanyak insiden ulkus peptikum yakni pada duodenum dengan prevalensi sebesar
90%.
Ulkus gaster berukuran lebih besar dan lebih menonjol sehingga pada
pemeriksaan autopsi lebih sering atau mudah dijumpai dibandingkan dengan ulkus
duodenum (Tarigan, 2009). Di Indonesia ditemukan prevalensi ulkus duodenum
sendiri sebanyak 14%. Umur terbanyak yaitu antara umur 45-65 tahun dengan
kecenderungan semakin tua umur, semakin meningkat prevalensinya. Disamping itu
keadaan ini lebih didominasi oleh pria dibandingkan dengan wanita (Akil, 2009).

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai
indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum
merupakan erosi lapisan mukosa biasanya di lambung atau duodenum (Corwin,
2009). Ulkus peptikum adalah keadaan terputusnya kontinuitas mukosa yang meluas
di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa, sub mukosa hingga lapisan otot
dari suatu daerah saluran cerna yang langsung berhubungan dengan cairan lambung
asam/pepsin
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat sekitar 4 juta orang menderita ulkus peptikum dan sekitar
350.000 kasus baru terdiagnosa setiap tahunnya. Di Amerika Serikat sekitar 3000
orang meninggal dunia akibat ulkus duodenum dan 3000 akibat ulkus lambung.
Pasien yang di rawat akibat ulkus duodenum berkurang sekitar 50% dari tahun 1970 -
1978 tapi untuk ulkus lambung tidak ada penurunan. Ada bukti bahwa merokok,
penggunaan rutin aspirin, dan penggunaan steroid yang lama menyebabkan ulkus
peptikum. Faktor genetik memainkan peranan penyebab ulkus peptikum.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa kopi dan pengganti aspirin mungkin
mempengaruhi ulkus, tapi banyak penelitian menunjukkan alkohol tidak merupakan
penyebab ulkus (Kurata JH, 1984). Prevalensi kemunculan ulkus peptikumberpindah
dari yang predominan pada pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin.
Prevalensi berkisar 11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara kaitan dengan usia, jumlah kemunculan ulkusmengalami
penurunan pada pria usia muda, khususnya untuk ulkus duodenum, dan jumlah
meningkat pada wanita usia tua.
C. Anatomi Epitel gaster
Terdiri dari rugae yang mengandung gastric pits atau lekukan yang berukuran
mikroskopis. Setiap rugae bercabang menjadi empat atau lima kelenjar gaster dari sel-
sel epitel khusus. Susunan kelenjar tergantung letak anatominya. Kelenjar di daerah
cardia terdiri < 5 % kelenjar gaster yang mengandung mukus dan sel-sel endokrin.
Sebagian terbesar kelenjar gaster (75%) terletak didalam mukosa oksintik

2
mengandung sel-sel leher mukosa, parietal, chief, endokrin dan sel enterokromafin.
Kelenjar pilorik mengandung mukus dan sel -sel endokrin (termasuk sel-sel gastrin)
dan didapati di daerah antrum. Sel parietal juga dikenal sebagai sel oksintik biasanya
didapati di daerah leher atau isthmus atau kelenjar oksintik. Sel parietal yang tidak
terangsang, mempunyai sitoplasma dan kanalikuli intraseluler yang berisi mikrovili
ukuran pendek sepanjang permukaan atas. Enzim H+, K+ - ATPase didapati didaerah
membran tubulovesikel. Bila sel dirangsang, membran ini dan membran atas/apikal
lainnya diubah menjadi jaringan padat dari kanalikuli intraseluler apikal yang
mengandung mik rovili ukuran panjang
D. Etiologi
Diketahui ada dua faktor utama penyebab ulkus peptikum, yaitu, infeksi
Helicobacter pylori, dan penggunaan NSAID (Lam, 1994). Infeksi Helicobacterpylori
Kasus ulkus peptikum kebanyakan disebabkan oleh infeks i Helicobacterpylori dan
penggunaan NSAID. Jumlah penderita ulkus duodenum di Amerika Serikat akibat
Helicobacterpylori yang tidak Universitas Sumatera Utara menggunakan NSAID
kurang 75%. Dalam salah satu penelitian, pasien yang tidak menggunakan NSAID,
61% merupakan penderita ulkus duodenum dan 63% merupakan penderita ulkus
lambung positif terinfeksi Helicobacter pylori. Hasil ini lebih rendah pada ras kulit
putih dibandingkan ras yang tidak berkulit putih. NSAID Penggunaan NSAID pada
kasus ulkus peptikum sudah menjadi penyebab umum. Obat ini mengganggu
pembatas permeabilitas mukosa, membuat mukosa rentan rusak. Sebanyak 30% orang
dewasa yang menggunakan NSAIDmenderita efek samping pada saluran
gastrointestinal. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko ulkus
duodenum pada penggunaan NSAID seperti riwayat ulkus peptikum sebelumnya,
umur yang sudah tua, perempuan, penggunaan NSAID dengan dosis tinggi,
penggunaan NSAID jangka panjang, dan penyakit penyerta yang parah. Penelitian
jangka panjang menemukan bahwa pasien dengan penyakit artritis dengan umur lebih
dari 65 tahun yang secara teratur menggunakan aspirin dosis rendah dapat
meningkatkan resiko dispepsia yang cukup parah apabila menghentikan penggunaan
NS AID. Walaupun prevalensi kerusakan saluran gastrointestinal akibat penggunaan
NSAID pada anak tidak diketahui, sepertinya bertambah, terutama pada anak-anak
dengan penyakit artritis kronis yang diobati dengan menggunakan NSAID.
Ditemukan kasus ulserasi lam bung dari penggunaan ibuprofen dengan dosis rendah
pada anak -anak

3
E. Manifestasi klinis
Ulkus biasanya sembuh sendiri tetapi dapat timbul kembali. Nyeri dapat
timbul selama beberapa hari atau minggu dan kemudian berkurang atau menghilang.
Gejala bervariasi tergantung lokasi ulkus dan usia penderita. Contohnya anak-anak
dan orang tua biasanya tidak memiliki gejala yang sering didapat atau tidak ada gejala
sama sekali. Oleh karena itu ulkus biasanya diketahui ketika komplikasi terjadi.
Hanya setengah dari penderita ulkus duodenum mempunyai gejala yang sama seperti
perih, rasa seperti terbakar, nyeri, pegal, dan lapar. Rasa nyeri berlangsung terus-
menerus dengan intensitas ringan sampai berat biasanya terletak di bawah sternum.
Kebanyakan orang yang menderita ulkus duodenum, nyeri biasanya tidak ada ketika
bangun tidur tetapi timbul menjelang siang. Minum susu dan makan (yang
menyangga keasaman PH lambung) atau meminum obat antasida mengurangi nyeri,
tapi mulai timbul kembali setelah 2 atau 3 jam kemudian. Nyeri yang dapat
membangunkan orang ketika malam hari juga ditemukan. Seringkali nyeri timbul
sekali atau lebih dalam sehari selama beberapa minggu dan hilang tanpa diobati.
Namun, nyeri biasanya timbul kembali 2 tahun kemudian dan terkadang juga dalam
beberap a tahun kemudian. Penderita biasanya akan belajar mengenai pola sakitnya
ketika kambuh (biasanya terjadi ketika stres). Makan bisa meredakan sakit untuk
sementara tetapi bisa juga malah menimbulkan sakit. Ulkus lambung terkadang
membuat jaringan bengkak (edema) yang menjalar ke usus halus, yang bisa mencegah
makanan melewati lambung. Blokade ini bisa menyebabkan kembung, mual, atau
muntah setelah makan. (Keshav, 2004).
F. Patofisiologi
permukaan epitelium dari lambung atau usus rusak dan berulkus dan hasil dari
inflamasi menyebar sampai ke dasar mukosa dan submukosa. Asam lambung dan
enzim pencernaan memasuki jaringan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada
pembuluh darah dan jaringan di sekitarnya
G. Faktor Resiko
1. Konsumsi Rokok Bukti yang cukup kuat menunjukkan bahwa mengonsumsi
rokok merupakan faktor yang cukup besar yang berhubungan dengan kejadian,
lama kejadian, rekurensi dan komplikasi dari ulkus peptikum yang disebabkan
oleh Helicobacterpylori.Suatu penelitian epidemiologi menunjukkan merokok
meningkatkan resiko baik ulkus duodenal maupun ulkus lambung dan
resikonya tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Merokok

4
memperlambat penyembuhan ulkus, menyebabkan rekurensi , dan
meningkatkan resiko komplikasi. Berhenti merokok sangat penting untuk
mencegah rekurensi dari ulkus duodenal.
2. Konsumsi Alkohol Konsentrasi tinggi dari alkohol menyebabkan kerusakan
pembatas mukosa lambung terhadap ion hidrogen dan berhubungan dengan
lesi mukosa lambung akut yang disebabkan pendarahan mukosa. Alkohol
sendiri menstimulasi sekresi asam, dan komposisi dari minuman beralkohol
selain dari alkohol juga menstimulasi sekresi asam. Faktor Psikologi Faktor
psikologis walaupun belum diketahui dengan pasti mekanismenya, juga dapat
meningkatkan resiko ulkus peptikum.
3. Stres psikologi dapat menyebabkan perilaku menyimpang seperti
meningkatkan konsumsi rokok, konsumsi alkohol, penggunaan obat -obatan
dan kurang tidur yang bisa menyebabkan pertahanan mukosa rusak sehingga
bisa mengarah pada ulkus. Perilaku menyimpang tadi juga bisa menyebabkan
sekresi asam berlebihan, aliran darah berkurang, motilitas lambung meningkat,
motilitas usus menurun sehingga menyebabkan jumlah asam yang memasuki
usus meningkat. Kekebalan tubuh juga dapat menurun sehingga mudah
terinfeksi Helicobacter pylori yang dapat menyebabkan ulkus (Soll, 2009).
H. Pemeriksaan diagnostik
1. Endoskopi
Endoskopi merupakan referensi standar untuk diagnosis dari ulkus peptikum.
Salah satu kekurangan utamanya adalah biaya yang tinggi di beberapa negara
seperti Amerika Serik at. Keputusan untuk melakukan endoskopi pada pasien
yang diduga menderita ulkus peptikum didasarkan pada beberapa faktor. Pasien
dengan komplikasi ulkus peptikum seperti pendarahan memerlukan evaluasi
endoskopi untuk mendapatkan diagnosis yang akurat agar pengobatannya
berhasil.
2. Radiografi Pemeriksaanradiografi pada saluran gastrointestinal bagian atas juga
bisa menunjukkan ulkus peptikum. Salah satu kekurangannya adalah paparan
radiasi. Keuntungan endoskopi bisa melakukan biopsi mukosa untuk mendiagnosa
Helicobacterpylori, sedangkan radiografi terbatas dalam praktik dunia kedokteran
modern
I. . Penatalaksanaan

5
Beberapa faktor mempengaruhi penyembuhan ulkus dan kemungkinan untuk
kambuh. Faktor yang reversibel harus diidentifikasi seperti infeksi Helicobacterpylori,
penggunaan NSAID dan merokok. Waktu penyembuhan ulkus tergantung pada
ukuran ulkus. Ulkus lambung yang besar dan kecil bisa sembuh dalam waktu yang
relatif sama jika terapinya efektif. Ulkus yang besar memerlukan waktu yang lebih
lama untuk sembuh (Soll, 2009) Bedah Pembedahan sekarang tidak digunakan lagi
dalam penatalaksaan ulkus peptikum, kecuali pada saat keadaan darurat. Universitas
Sumatera Utara Antasida dan antikolinergik Antasida dan antikolinergik biasanya
tidak terlalu efektif dan harus digunakan terus-menerus dan menghasilkan efek
samping. H2 reseptor antagonis Pengobatan pertama kali yang efektif pada ulkus
peptikum terungkap ketika H2 reseptor antagonis ditemukan. Untuk saat itu obat
seperti cimetidine dan ranitidine dipakai di pakai diseluruh dun ia. Proton Pump
Inhibitor (PPI) PPI secara ireversibel menghentikan produksi asam oleh sel parietal.
Omeprazole merupakan salah satu obat PPI pertama kali. Menghentikan Helicobacter
pylori Menghentikan Helicobacter pylori merupakan cara paling ampuh dan secara
permanen menghentikan hampir semua kasus ulkus. Diperlukan kombinasi terapi
antara penghenti asam dan dua atau tiga antibiotik agar berhasil. Penatalaksanaan
Darurat Pendarahan atau perforasi memerlukan operasi darurat dan terapi endoskopi,
seperti menyuntik adrenaline disekitar pembuluh darah agar pendarahan berhenti

6
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. Pengkajian
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Kaji biodata pasien, seperti : nama, umur, status, alamat, dan lain-lain.
2. Keadaan umum : apa keluhan yang dirasakan pasien hingga masuk ke RS
TTV
 Tekanan darah normal 120/80
 Suhu tubuh (Normal : 36,5-37,50°C)
 Nadi Normal : 60-100x/menit, Takikardia >100x/menit, Bradikardia
<60x/menit
 Pernapasan normal : 16-24x /menit, Takipnea >24, bradipnea <16
3. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian
tubuh yang diperiksa melalui pengamatan (mata atau kaca pembesar).
(Dewi Sartika, 2010)
 Palpasi adalah teknik pemeriksaan yang menggunakan indera peraba ;
tangan dan jari-jari, untuk mendeterminasi ciri2 jaringan atau organ
seperti: temperatur, keelastisan, bentuk, ukuran, kelembaban dan
penonjolan.(Dewi Sartika,2010)
 Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan
tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya
(kiri/kanan) dengan menghasilkan suara, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi batas/ lokasi dan konsistensi jaringan. (Dewi Sartika,
2010)
 Auskultasi Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara
mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan
alat yang disebut dengan stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah :
bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.
4. Pemeriksaan fisik head to toe
a. Kepala

7
 Inspeksi : ukuran lingkar kepala, bentuk, kesimetrisan, adanya lesi
atau tidak, kebersihan rambut dan kulit kepala, warna, rambut, jumlah
dan distribusi rambut. Normal: simetris, bersih, tidak ada lesi, tidak
menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi(rambut jagung dan kering)
 Palpasi : adanya pembengkakan/penonjolan, dan tekstur
rambut. Normal: tidak ada penonjolan /pembengkakan, rambut lebat
dan kuat/tidak rapuh.
b. Wajah
 Inspeksi : warna kulit, pigmentasi, bentuk, dan kesimetrisan. Normal:
warna sama dengan bagian tubuh lain, tidak pucat/ikterik, simetris.
 Palpasi : nyeri tekan dahi, dan edema, pipi, dan rahang
Normal: tidak ada nyeri tekan dan edema.
c. Mata
 Inspeksi: bentuk, kesimestrisan, alis mata, bulu mata, kelopak mata,
kesimestrisan, bola mata, warna konjunctiva dan sclera
(anemis/ikterik), penggunaan kacamata / lensa kontak, dan respon
terhadap cahaya. Normal: simetris mata kika, simetris bola mata kika,
warna konjungtiva pink, dan sclera berwarna putih
d. Telinga
 Inspeksi : bentuk dan ukuran telinga, kesimetrisan, integritas, posisi
telinga, warna, liang telinga (cerumen/tanda-tanda infeksi), alat bantu
dengar. Normal: bentuk dan posisi simetris kika, integritas kulit bagus,
warna sama dengan kulit lain, tidak ada tanda-tanda infeksi, dan alat
bantu dengar.
 Palpasi : nyeri tekan aurikuler, mastoid, dan tragus Normal: tidak ada
nyeri tekan.
e. Hidung
 Inspeksi : hidung eksternal (bentuk, ukuran, warna, kesimetrisan),
rongga, hidung ( lesi, sekret, sumbatan, pendarahan), hidung internal
(kemerahan, lesi, tanda2 infeksi). Normal: simetris kika, warna sama
dengan warna kulit lain, tidak ada lesi, tidak ada sumbatan,
perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

8
 Palpasi : frontalis dan, maksilaris (bengkak, nyeri, dan septum
deviasi). Normal: tidak ada bengkak dan nyeri tekan.
f. Mulut
 Inspeksi dan palpasi struktur luar : warna mukosa mulut dan bibir,
tekstur , lesi, dan stomatitis. Normal: warna mukosa mulut dan bibir
pink, lembab, tidak ada lesi dan stomatitis.
 Inspeksi dan palpasi strukur dalam : gigi lengkap/penggunaan gigi
palsu, perdarahan/ radang gusi, kesimetrisan, warna, posisi lidah, dan
keadaan langit2. Normal: gigi lengkap, tidak ada tanda-tanda gigi
berlobang atau kerusakan gigi, tidak ada perdarahan atau radang
gusi, lidah simetris, warna pink, langit2 utuh dan tidak ada tanda
infeksi
g. Leher
 Inspeksi leher: warna integritas, bentuk simetris. Normal: warna
sama dengan kulit lain, integritas kulit baik, bentuk simetris, tidak ada
pembesaran kelenjer gondok.
 Inspeksi dan palpasi kelenjer tiroid (nodus/difus, pembesaran,batas,
konsistensi, nyeri, gerakan/perlengketan pada kulit), kelenjer limfe
(letak, konsistensi, nyeri, pembesaran), kelenjer parotis (letak, terlihat/
teraba). Normal: tidak teraba pembesaran kel.gondok, tidak ada nyeri,
tidak ada pembesaran kel.limfe, tidak ada nyeri.
h. Thorax
 Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan nafas (frekuensi,
irama, kedalaman, dan upaya pernafasan/penggunaan otot-otot bantu
pernafasan), warna kulit, lesi, edema, pembengkakan/ penonjolan.
Normal: simetris, bentuk dan postur normal, tidak ada tanda-tanda
distress pernapasan, warna kulit sama dengan warna kulit lain, tidak
ikterik/sianosis, tidak ada pembengkakan/penonjolan/edema
 Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri, tractile
fremitus. Normal: integritas kulit baik, tidak ada nyeri
tekan/massa/tanda-tanda peradangan, ekspansi simetris, taktil
vremitus cendrung sebelah kanan lebih teraba jelas.

9
 Perkusi: paru, eksrusi diafragma (konsistensi dan bandingkan satu sisi
dengan satu sisi lain pada tinggi yang sama dengan pola berjenjang sisi
ke sisi)
 Auskultasi: suara nafas, trachea, bronchus, paru. (dengarkan dengan
menggunakan stetoskop di lapang paru kika, di RIC 1 dan 2, di atas
manubrium dan di atas trachea) Normal: bunyi napas vesikuler,
bronchovesikuler, brochial, tracheal.
i. abdomen
 Inspeksi : kuadran dan simetris, contour, warna kulit, lesi, scar,
ostomy, distensi, tonjolan, pelebaran vena, kelainan umbilicus, dan
gerakan dinding perut. Normal: simetris kika, warna dengan warna
kulit lain, tidak ikterik tidak terdapat ostomy, distensi, tonjolan,
pelebaran vena, kelainan umbilicus.
 Auskultasi : suara peristaltik (bising usus) di semua kuadran (bagian
diafragma dari stetoskop) dan suara pembuluh darah.Normal: suara
peristaltic terdengar setiap 5-20x/dtk, terdengar denyutan arteri
renalis, arteri iliaka dan aorta.
 Perkusi semua kuadran : mulai dari kuadran kanan atas bergerak
searah jarum jam, perhatikan jika klien merasa nyeri dan bagaiman
kualitas bunyinya.Perkusi hepar: Batas. Perkusi Limfa: ukuran dan
batas. Perkusi ginjal: nyeri. Normal: timpani, bila hepar dan limfa
membesar=redup dan apabila banyak cairan = hipertimpani.
 Palpasi semua kuadran (hepar, limfa, ginjal kiri dan kanan): massa,
karakteristik organ, adanya asistes, nyeri irregular, lokasi, dan
nyeri.dengan cara perawat menghangatkan tangan terlebih dahulu.
Normal: tidak teraba penonjolan tidak ada nyeri tekan, tidak ada
massa dan penumpukan cairan.
j. Eksremitas
 Inspeksi struktur muskuloskletal atas : simetris dan pergerakan,
Integritas ROM, kekuatan dan tonus otot. Normal: simetris kika,
integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot penuh.
 Palapasi: denyutan a.brachialis dan a. Radialis. Normal: teraba jelas

10
 Tes reflex :tendon trisep, bisep, dan brachioradialis. Normal: reflek
bisep dan trisep positif
 Inspeksi struktur muskuloskletal bawah : simetris dan pergerakan,
integritas kulit, posisi dan letak, ROM, kekuatan dan tonus otot.
Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif, kekuatan otot
penuh
 Palpasi : a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis: denyutan.Normal:
teraba jelas
 Tes reflex :tendon patella dan archilles.Normal: reflex patella dan
archiles positif
5. Riwayat kesehatan klien
a. Riwayat kesehatan sekarang
Stadium awal biasanya ditandai dengan gangguan keadaan
umum berupa malaise,penurunan berat badan, rasa capek,sedikit panas,
dan anemia.gejala local yang terjadi berupa pembengkakan, nyeri, dan
gangguan gerak pada sendi metacarpalpofalageal. Perlu dikaji kapan
gangguan sensorik muncul.gejala awal terjadi pada sendi.persendian
yang paling sering kena adalah sendi tangan ,pergelangan tangan ,sendi
lutut, sendi siku, pergelangan kaki, sendi bahu, serta sendi penggul,
dan biasanya bersifat bilateral/ simetris.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ,ditemukan kemungkinan penyebab yang
mendukung terjadinya atritis rheumatoid . penyebab tertentu seperti
penyakit diabetes menghambat proses penyembuhan rheumatoid
atritis.masalah ini perlu di tanyakan adalah apakah klien perna dirawat
dengan masalah yang sama .sering klien menggunakan obat antiuretik
jangka panjang sehingga perlu dikaji jenis obat yang digunakan
(NSAID,antibiotic,dan analgesic)
c. Riwayat penyakit keluarga
Kaji tentang adakah keluarga dari generasi terlebih dahulu yang
mengalami keluhan yang sama dengan klien.

11
B. Diagnosa keperawatan
No Nanda Noc Nic
1. Nyeri akut - Setelah dilakukan - Lakukan pengkajian
berhubungan perawatan 2X 24 nyeri komprensif
dengan agencedera JAM pasien mampu yang meliputi
biologis ( infeksi, mengenali kapan lokasi, karakteristik,
iskimia, neoplsma ) nyeri terjadi onset/durasi,
di tandai oleh - Setelah di lakukan frekuensi , kualitas,
ekspresi wajah perawantan 2x24 jm intensitas atau
nyeri pasien secara beratnya nyeri dan
(00132 12 1) konsisten faktor pencetus
mengambarkan - Kolaborasi dengan
faktor penyebab pasien ,orang
nyeri terdekat dan tim
- Setelah di lakukan kesehatan lainya
prawatan 2x 24 jam untuk memilih dan
pasien mampu mngimplementasika
mengenali apa yang n tindakan
terkait dengan gejala penurunan nyeri
nyeri nonfarmakologi ,
sesuai kebutuhan
- Berikan informasi
mengenai nyeri ,
seperti pnyebab
nyeri , seperti
penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
akan di rasakan ,
dan antisipasi dari
ketidaknyamanan
akibat prosedur
- Ajarkan prinsip-
prinsip manajemen

12
nyeri
- Dorong pasien
untuk monitor nyeri
dan menangani
nyerinya dengan
tepat.

2. - Tentukan status gizi


Ketidak - Setelah di lakukan
pasien dan
seimbangan nutrisi prawatan 2x24 jam
kemampuan pasien
kurang dari asupan gizi pasien
untuk memenuhi
kebutuhan tubuh normal
krbutuhan gizi
ketidakmampuan - Setelah di lakukan
- Identifikasi adanya
mencerna mak prawatan 2x24 jam
alergi atau
anan di tandai oleh asupan makanan
intoleransi makanan
nyeri abdomen normal
yang di miliki
(00002, 2, 1) - Setelah di lakukan
pasien
prawatan 2x24 jam
- Intruksikan pasien
asupan cairan
mengenai
normal
kebutuhan nutrisi (
yaitu: membahas
pedoman diet dan
piramida makanan
- Ciptakan
lingkungan yang
optimal pada saat
mengonsumsi
makan ( misalnya,
bersih, berventilasi,
santai, dan bebas
dari bau yang
menyengat)

13
- Berikan pilihan
makanan sambil
menawarkan
bimbingan terhadap
pilihan mkanan
yang lebih sehat
jika di perlukan

3. - Setelah di lakukan - Gunakan pendektan


Ansietas
prawatan 2x24 yang tenang dan
berhubungan
pasien tidak merasa meyakinkan
dengan stresor di
gelisa - Jelaskan semua
tandai dengan
- Setelah di lakukan prosedur termsuk
perilaku gelisa
perawatan 2x24 jam sensasi yang akan
00146, 9, 2
pasien tidak di rasakan yang
kesulitan dalam mungkin akan di
belajar/memahami alami klien selama
sesuatu prosedur di lakukan
- Setelah di lakukan - Berikan informasi
prawatan 2x24 jam faktual terkait
pasien tidak rasa diagnosis ,
cemas yang di prawatan dan
sampaikan secara prognosis
lisan - Bantu klien

14
mengidentifikasi
situasi yang
memicu ecemasan
- Intruksikan klien
untuk mengunakan
teknik relaksasi

15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulkus peptikum mengecu pada rusaknya lapisan mukosa di bagian mana
saja di saluran gastrointestinal, tetapi biasanya di lambung/duodenum.
Gejala yang sering muncul pada ulkus peptikum yaitu nyeri, muntah,
kostipasi dan pendarahan.

B. Saran
1. Untuk mencapai asuhan keperawatan dalam merawat klien, pendekatan
dalam proses kprawatan harus di lakukan secara sistematis.
2. Pelayanan kprawatan hendaknya di laksanakan sesuai dengan prosedur
tetap memperhatikan dan menjaga privacy klien.
3. Prawat hendaknya selalu menjalin hubunga keerjasama yang baik atau
kolaborasi baik kepada teman sejawat, dokter atau para medis lainnya
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan maupun dalam hal pengobatan
kepada klien agar tujuan yang di harapkan dapat tercapai.

16
C. DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, lynda juall. 2009. Diagnosa keperawatan : Aplikasi pada praktik
klinis . jakarta : ECG
Chang, ester. 2010. Patofisiologi : Aplikasi pada praktik kprawatan. Jakarta :
EGC Corwin, Elizabeth J. 209. Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC
Hidayat, A. Aziz alimul 2009. Pengantar kebutuhan dasar manusia aplikasi
konsep dan proses keperawatan. Jakarta: salemba medika

17

Anda mungkin juga menyukai