Anda di halaman 1dari 14

Sebagai seorang muslimah, kita semua tentu mengharapkan pada saatnya nanti akan bertemu

dengan pendamping yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga kita. Harapannya adalah,
dapat membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawwadah warrahmah. Berikut ini adalah
sebuah artikel yang bagus untuk disimak yang insya Allah bisa menjadi bekal bagi para
muslimah pada khususnya, juga seluruh muslimin dan muslimat dimanapun berada pada
umumnya, mengenai apa yang harus dipersiapkan menjelang pernikahan. Silahkan disimak.

1. Pendahuluan. Allah telah menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, tetumbuhan,


pepohonan, hewan, semua Allah ciptakan dalam sunnah keseimbangan & keserasian. Begitupun
dengan manusia, pada diri manusia berjenis laki-laki terdapat sifat kejantanan/ketegaran dan
pada manusia yang berjenis wanita terkandung sifat kelembutan/kepengasihan. Sudah menjadi
sunatullah bahwa antara kedua sifat tersebut terdapat unsur tarik menarik dan kebutuhan untuk
saling melengkapi.

Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang
benar-benar manusiawi maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan Islam
menjadikan lembaga pernikahan sebagai sarana untuk memadu kasih sayang diantara dua jenis
manusia. Dengan jalan pernikahan itu pula akan lahir keturunan secara terhormat. Maka adalah
suatu hal yang wajar jika pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa yang sangat diharapkan
oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.

Dan bahkan Rosulullah SAW dalam sebuah hadits secara tegas memberikan ultimatum kepada
ummatnya: “Barang siapa telah mempunyai kemampuan menikah kemudian ia tidak menikah
maka ia bukan termasuk umatku” (H.R. Thabrani dan Baihaqi).

2. Persiapan Pra Nikah bagi muslimah . Seorang muslimah sholihah yang mengetahui urgensi
dan ibadah pernikahan tentu saja suatu hari nanti ingin dapat bersanding dengan seorang laki-laki
sholih dalam ikatan suci pernikahan. Pernikahan menuju rumah tangga samara (sakinah,
mawaddah & rahmah) tidak tercipta begitu saja, melainkan butuh persiapan-persiapan yang
memadai sebelum muslimah melangkah memasuki gerbang pernikahan.

Nikah adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat penting, suatu mitsaqan ghalizan (perjanjian
yang sangat berat). Banyak konsekwensi yang harus dijalani pasangan suami-isteri dalam
berumah tangga. Terutama bagi seorang muslimah, salah satu ujian dalam kehidupan diri
seorang muslimah adalah bernama pernikahan. Karena salah satu syarat yang dapat
menghantarkan seorang isteri masuk surga adalah mendapatkan ridho suami. Oleh sebab itu
seorang muslimah harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan persiapan-persiapan menjelang memasuki lembaga pernikahan. Hal tersebut antara lain :

A. Persiapan spiritual/moral (Kematangan visi keislaman) Dalam tiap diri muslimah, selalu
terdapat keinginan, bahwa suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang lelaki sholih, yang taat
beribadah dan dapat diharapkan menjadi qowwam/pemimpin dalam mengarungi kehidupan di
dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Tetapi, bila kita ingat firman Allah dalam Alqurâ’an
bahwa wanita yang keji, adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita yang baik. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik….” (QS An-
Nuur: 26).

Bila dalam diri seorang muslimah memiliki keinginan untuk mendapatkan seorang suami yang
sholih, maka harus diupayakan agar dirinya menjadi sholihah terlebih dahulu. Untuk menjadikan
diri seorang muslimah sholihah, maka bekalilah diri dengan ilmu-ilmu agama, hiasilah dengan
akhlaq islami, tujuan nya bukan hanya semata untuk mencari jodoh, tetapi lebih kepada untuk
beribadah mendapatkan ridhoNya. Dan media pernikahan adalah sebagai salah satu sarana untuk
beribadah pula.

B. Persiapan konsepsional (memahami konsep tentang lembaga pernikahan)

Pernikahan sebagai ajang untuk menambah ibadah & pahala : meningkatkan pahala dari Allah,
terutama dalam Shalat Dua rokaat dari orang yang telah menikah lebih baik daripada delapan
puluh dua rokaatnya orang yang bujang” (HR. Tamam).

Pernikahan sebagai wadah terciptanya generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan


dienullah. Adapun dengan lahirnya anak yang sholih/sholihah maka akan menjadi penyelamat
bagi kedua orang tuanya.

Pernikahan sebagai sarana tarbiyah (pendidikan) dan ladang dakwah. Dengan menikah, maka
akan banyak diperoleh pelajaran-pelajaran & hal-hal yang baru. Selain itu pernikahan juga
menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.

C. Persiapan kepribadian
Penerimaan adanya seorang pemimpin. Seorang muslimah harus faham dan sadar betul bila
menikah nanti akan ada seseorang yang baru kita kenal, tetapi langsung menempati posisi
sebagai seorang qowwam/pemimpin kita yang senantiasa harus kita hormati & taati. Disinilah
nanti salah satu ujian pernikahan itu. Sebagai muslimah yang sudah terbiasa mandiri, maka
pemahaman konsep kepemimpinan yang baik sesuai dengan syariat Islam akan menjadi modal
dalam berinteraksi dengan suami.

Belajar untuk mengenal (bukan untuk dikenal). Seorang laki-laki yang menjadi suami kita,
sesungguhnya adalah orang asing bagi kita. Latar belakang, suku, kebiasaan semuanya sangat
jauh berbeda dengan kita menjadi pemicu timbulnya perbedaan. Dan bila perbedaan tersebut
tidak di atur dengan baik melalui komunikasi, keterbukaan dan kepercayaan, maka bisa jadi
timbul persoalan dalam pernikahan. Untuk itu harus ada persiapan jiwa yang besar dalam
menerima & berusaha mengenali suami kita.
D. Persiapan Fisik Kesiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan yang memadai sehingga kedua
belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami ataupun isteri secara optimal.
Saat sebelum menikah, ada baiknya bila memeriksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang
mempengaruhi masalah reproduksi. Apakah organ-organ reproduksi dapat berfungsi baik, atau
adakah penyakit tertentu yang diderita yang dapat berpengaruh pada kesehatan janin yang kelak
dikandung. Bila ditemukan penyakit atau kelainan tertentu, segeralah berobat.

E. Persiapan Material Islam tidak menghendaki kita berfikiran materialistis, yaitu hidup yang
hanya berorientasi pada materi. Akan tetapi bagi seorang suami, yang akan mengemban amanah
sebagai kepala keluarga, maka diutamakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi. Dan
bagi fihak wanita, adanya kesiapan untuk mengelola keuangan keluarga. Insyallah bila suami
berikhtiar untuk menafkahi maka Allah akan mencukupkan rizki kepadanya. Allah menjadikan
bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni’mat Allah? (QS. 16:72) ” Dan nikahkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)”.

F. Persiapan Sosial Setelah sepasang manusia menikah berarti status sosialnya dimasyarakatpun
berubah. Mereka bukan lagi gadis dan lajang tetapi telah berubah menjadi sebuah keluarga.
Sehingga mereka pun harus mulai membiasakan diri untuk terlibat dalam kegiatan di kedua
belah pihak keluarga maupun di masyarakat. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,”Q.S. An-Nissa: 36).

Adapun persiapan-persiapan menjelang pernikahan (A hingga F) yang tersebut di atas itu tidak
dapat dengan begitu saja kita raih. Melainkan perlu waktu dan proses belajar untuk mengkajinya.
Untuk itu maka saat kita kini masih memiliki banyak waktu, belum terikat oleh kesibukan rumah
tangga, maka upayakan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi
rumah tangga kelak.

3. Pemahaman kriteria dalam memilih atau menyeleksi calon suami

- Utamakan laki-laki yang memiliki pemahaman agama yang baik

- Bagaimana ibadah wajib laki-laki yang dimaksud

- Sejauh mana konsistensi & semangatnya dalam menjalankan syariat Islam

- Bagaimana akhlaq & kepribadiannya

- Bagaimana lingkungan keluarga & teman-temannya

Catatan : Seorang laki-laki yang sholih akan membawa kehidupan seorang wanita menjadi lebih
baik, baik di dunia maupun kelak di akhirat .

Sekufu

- Memudahkan proses dalam beradaptasi

- Tapi ini tidak mutlak sifatnya, karena jodoh adalah rahasia Allah

- Batasan-batasan siapa yang yang terlarang untuk menjadi suami (QS 4:23-24; QS2: 221)
4. Langkah-langkah yang ditempuh dalam kaitannya untuk memilih calon

a. Menentukan kriteria calon pendamping (suami ). Diutamakan lelaki yang baik agamanya.

b. Mengkondisikan orang tua dan keluarga , Kadang ketidaksiapan orang tua dan keluarga bila
anak gadisnya menikah menjadi suatu kendala tersendiri bagi seorang muslimah untuk menuju
proses pernikahan. Penyebab ketidak siapan itu kadang justru berasal dari diri muslimah itu
sendiri, misalnya masih menunjukkan sikap kekanak-kanakan, belum dapat bertanggung jawab
dsb. Atau kadang dapat juga pengaruh dari lingkungan, seperti belum selesai kuliah (sarjana)
tetapi sudah akan menikah. Hal-hal seperti ini harus diantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya, agar
pelaksanaan menuju pernikahan menjadi lancar.

c. Mengkomunikasikan kesiapan untuk menikah dengan pihak-pihak yang dipercaya Kesiapan


seorang muslimah dapat dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang dipercaya, agar dapat turut
membantu langkah-langkah menuju proses selanjutnya.

d. Taâ’aruf (Berkenalan) , Proses taâ’aruf sebaiknya dilakukan dengan cara Islami. Dalam Islam
proses taâ’aruf tidak sama dengan istilah pacaran. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa
dihindarkan kondisi dua insan berlainan jenis yang khalwat atau berduaan. Yang mana dapat
membuka peluang terjadinya saling pandang atau bahkan saling sentuh, yang sudah jelas
semuanya tidak diatur dalam Islam. Allah SWT berfirman “Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” QS 17:32).

Rasulullah SAW bersabda : “Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang
perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Bukhari dan Muslim).

Bila kita menginginkan pernikahan kita terbingkai dalam ajaran Islami, maka semua proses yang
menyertainya, seperti mulai dari mencari pasangan haruslah diupayakan dengan cara yang ihsan
& islami.

e. Bermusyawarah dengan pihak-pihak terkait , Bila setelah proses taâ’aruf terlewati, dan hendak
dilanjutkan ke tahap berikutnya, maka selanjutnya dapat melangkah untuk mulai bermusyawarah
dengan pihak-pihak yang terkait.

f. Istikhoroh , Daya nalar manusia dalam menilai sesuatu dapat salah, untuk itu sebagai seorang
msulimah yang senantiasa bersandar pada ketentuan Allah, sudah sebaiknya bila meminta
petunjuk dari Allah SWT. Bila calon tersebut baik bagi diri muslimah, agama dan
penghidupannya, Allah akan mendekatkan, dan bila sebaliknya maka akan dijauhkan. Dalam hal
ini, apapun kelak yang terjadi, maka sikap berprasangka baik (husnuzhon) terhadap taqdir Allah
harus diutamakan.

g. Khitbah , Jika keputusan telah diambil, dan sebelum menginjak pelaksanaan nikah, maka
harus didahului oleh pelaksanaan khitbah. Yaitu penawaran atau permintaan dari laki-laki kepada
wali dan keluarga fihak wanita. Dalam Islam, wanita yang sudah dikhitbah oleh seorang lelaki,
maka tidak boleh untuk dikhitbah oleh lelaki yang lain. Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah
SAW bersabda,”Janganlah kamu mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah saudaranya, sampai
yang mengkhitbah itu meninggalkannya atau memberinya izin “(HR. Muttafaq alaihi).
5. Pentingnya mempelajari tata cara nikah sesuai dengan anjuran & syariat Islam

Sebenarnya tata cara pernikahan dalam Islam sangatlah sederhana dibandingkan tata cara
pernikahan adata atau agama lain. Karena Islam sangat menginginkan kemudahan bagi
pelakunya. Untuk itu memahami tata cara pernikahan yg islami menjadi salah satu kebutuhan
pokok bagi calon pasangan muslim. Dengan melaksanakan secara Islami, maka sebisa mungkin
untuk menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaan tata cara pernikahan yang berbau syirik
menyekutukan Allah). Karena hanya kepada Allah SWT sajalah kita memohon kelancaran,
kemudahan, keselamatan dan kelanggengan pernikahan nanti. Untuk beberapa hal yang harus
kita ketahui tentang tatacara nikah adalah masalah sbb:

a. Dewasa (baligh) & Sadar

b. Wali , “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR.Tirmidzi J.II Bukhari Muslim dalam
Kitabu Nikah),

c. Mahar , “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang
penuh kerelaan” (QS: 4:4)

- Semakin ringan mahar semakin baik. Seperti sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari
Uqbah bin Amir : “Sebaik-baiknya mahar adalah paling ringan (nilainya).”

- Bila tak memiliki materi, boleh berupa jasa. Semisal jasa mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an
atau ilmu-ilmu agama lainnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah berkata kepada seorang pemuda
yang dinikahkannya : “Telah aku nikahkan engkau dengannya (wanita) dengan mahar apa yang
engkau miliki dari Al-Quran” (HR. Bukhari dan Muslim)

d. Adanya dua orang saksi

e. Proses Ijab Qobul , Proses Ijab Qabul adalah proses perpindahan perwalian dari Ayah/Wali
wanita kepada suaminya. Dan untuk kedepannya makan yang bertanggung jawab terhadap diri
wanita itu adalah suaminya. Syarat-syarat diatas adalah ketentuan yang harus dipenuhi dalam
syarat sahnya prosesi suatu pernikahan. Selain itu dianjurkan untuk mengadakan walimatul
‘ursy, dimana pasangan mempelai sebaiknya diperkenalkan kepada keluarga dan lingkungan
sekitar bahwa mereka telah resmi menjadi pasangan suami isteri, sebagai antisipasi terjadinya
fitnah.

6. Permasalahan seputar masalah persiapan nikah


a. Sudah siap, tetapi jodoh tidak kunjung datang Rahasia jodoh adalah hanya milik Allah, tidak
ada satu orangpun yang dapat meramalkan bila jodohnya datang. Sikap husnuzhon amat
diutamakan dalam fase menunggu ini. Sembari terus berikhtiar dengan cara meminta bantuan
orang-orang yang terpercaya dan berdo’a memohon pertolongan Allah. Juga upayakan
senantiasa memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri. Hindari diri dari berangan-angan, isilah
waktu oleh kegiatan-kegiatan positif .

b. Belum siap, tetapi sudah datang tawaran Introspeksi diri, apakah yang membuat diri belum
siap ?. Cari penyebab ketidak siapan itu, tingkatkan kepercayaan diri dan fikirkan solusinya.
Sangat baik bila mengkomunikasikan masalah ini dengan orang-orang yang dipercaya, sehingga
diharapkan dapat membantu proses penyiapan diri. Sembari terus banyak mengkaji urgensi
tentang pernikahan berikut hikmah-hikmah yang ada di dalamnya.

7. Penutup
Agama Islam sudah sedemikian dimudahkan oleh Allah SWT, tetap masih saja ada orang yang
merasakan berat dalam melaksanakannya karena ketidak tahuan mereka. Allah Taâ’ala telah
berfirman: “Allah menghendaki kemmudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”
(Q.S. Al-Baqarah : 185)

Kita lihat, betapa Islam menghendaki kemudahan dalam proses pernikahan. Proses pemilihan
jodoh, dalam peminangan, dalam urusan mahar dan juga dalam melaksanakan akad nikah.
Demikianlah beberapa pandangan tentang persiapan pernikahan dan berbagai problematikanya,
juga beberapa kiat untuk mengantisipasinya. Insyallah, jika ummat Islam mengikuti jalan yang
telah digariskan Allah SWT kepadanya, niscaya mereka akan hidup dibawah naungan Islam
yang mulia ini dengan penuh ketenangan dan kedamaian .
Wallahuâ’alamu bi showab.

Penyusun: oleh Rini Fura Kirana M.Eng


Dikirim oleh: Fuan, dari sebuah seminar yang diikutinya.

posted by chicha @ 3:42 PM 0 comments links to this post

Tuesday, December 05, 2006


Karunia Ilahi Dalam kehidupan Rumah Tangga

Ketika melihat pasangan yang baru menikah, saya suka tersenyum. Bukan apa-apa, saya hanya
ikut merasakan kebahagiaan yang berbinar spontan dari wajah-wajah syahdu mereka. Tangan
yang saling berkaitan ketika berjalan, tatapan-tatapan penuh makna, bahkan sirat keengganan
saat hendak berpisah.

Seorang sahabat yang tadinya mahal tersenyum, setelah menikah senyumnya selalu saja
mengembang. Ketika saya tanyakan mengapa, singkat dia berujar "Menikahlah! Nanti juga tahu
sendiri". Aih...

Menikah itu sangat indah, kata Almarhum ayah saya dan hanya bisa dirasakan oleh yang sudah
menjalaninya. Ketika sudah menikah, semuanya menjadi begitu jelas, alur ibadah suami dan istri.
Beliau mengibaratkan ketika seseorang
baru menikah dunia menjadi terang benderang, saat itu kicauan burung terdengar begitu merdu.
Sepoi angin dimaknai begitu dalam, makanan yang terhidang selalu saja disantap lezat. Mendung
di langit bukan masalah besar. Seolah dunia milik mereka saja, mengapa? karena semuanya
dinikmati berdua. Hidup seperti seolah baru dimulai, sejarah keluarga baru saja disusun.

Namun sayang tambahnya, semua itu lambat laun menguap ke angkasa membumbung atau raib
ditelan dalamnya bumi. Entahlah saat itu cinta mereka berpendar ke mana. Seiring detik yang
berloncatan, seolah cinta mereka juga.
Banyak dari pasangan yang akhirnya tidak sampai ke tujuan, tak terhitung pasangan yang
terburai kehilangan pegangan, selanjutnya perahu mereka karam sebelum sempat berlabuh di
tepian.

Bercerai, sebuah amalan yang diperbolehkan tapi sangat dibenci Allah. Ketika Allah
menjalinkan perasaan cinta diantara suami istri, sungguh itu adalah anugerah bertubi yang harus
disyukuri. Karena cinta istri kepada suami berbuah ketaatan untuk selalu menjaga kehormatan
diri dan keluarga. Dan cinta suami kepada istri menetaskan keinginan melindungi dan
membimbingnya sepenuh hati. Lanjutnya kemudian.

Saya jadi ingat, saat itu seorang istri memarahi suaminya habis-habisan, saya yang berada di sana
merasa iba melihat sang suami yang terdiam. Padahal ia baru saja pulang kantor, peluh masih
membasah, kesegaran pada saat pergi sama sekali tidak nampak, kelelahan begitu lekat di wajah.
Hanya karena masalah kecil, emosi istri meledak begitu hebat. Saya kira akan terjadi "perang"
hingga bermaksud mengajak anak-anak main di belakang. Tapi ternyata di luar dugaan, suami
malah mendaratkan sun sayang penuh mesra di kening sang istri. Istrinya yang sedang berapi-api
pun padam, senyum malu-malunya mengembang kemudian dan merdu suaranya bertutur
"Maafkan
Mama ya Pa..". Gegas ia raih tangan suami dan mendekatkannya juga ke kening, rutinitasnya
setiap kali suaminya datang.

Jauh setelah kejadian itu, saya bertanya pada sang suami kenapa ia berbuat demikian. "Saya
mencintainya, karena ia istri yang dianugerahkan Allah, karena ia ibu dari anak-anak. Yah
karena saya mencintainya" demikian jawabannya.

Ibn Qayyim Al-Jauziah seorang ulama besar, menyebutkan bahwa cinta mempunyai tanda-tanda.
Pertama, ketika mereka saling mencintai maka
sekali saja mereka tidak akan pernah saling mengkhianati, Mereka akan saling setia senantiasa,
memberikan semua komitmen mereka. Kedua, ketika seseorang mencintai, maka dia akan
mengutamakan yang dicintainya, seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan
seorang suami tentu saja akan mengutamakan istri dalam hal perlindungan dan nafkahnya.
Mereka akan sama-sama saling mengutamakan, tidak ada yang merasa superior. Ketiga, ketika
mereka saling mencintai maka sedetikpun mereka tidak akan mau berpisah, lubuk hatinya selalu
saling terpaut. Meskipun secara fisik berjauhan, hati mereka seolah selalu tersambung.

Ada do'a istrinya agar suami selamat dalam perjalanan dan memperoleh sukses dalam pekerjaan.
Ada tengadah jemari istri kepada Allahi supaya suami selalu dalam perlindunganNya, tidak
tergelincir. Juga ada ingatan suami yang sedang membanting tulang meraup nafkah halal kepada
istri tercinta, sedang apakah gerangan Istrinya, lebih semangatlah ia.

Saudaraku, ketika segala sesuatunya berjalan begitu rumit dalam sebuah rumah tangga, saat-saat
cinta tidak lagi menggunung dan menghilang
seiring persoalan yang datang silih berganti. Perkenankan saya mengingatkan lagi sebuah hadist
nabi. Ada baiknya para istri dan suami menyelami bulir-bulir nasehat berharga dari Nabi
Muhammad.

Salah satu wasiat Rasulullah yang diucapkannya pada saat-saat terakhir kehidupannya dalam
peristiwa haji wada': "Barang siapa - diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari
istrinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Ayyub atas
kesabarannya menanggung penderitaan. Dan barang siapa -diantara para istri- bersabar atas
perilaku buruk suaminya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan
kepada Asiah, istri fir'aun" (HR Nasa-iy dan Ibnu Majah).

Kepada saudaraku yang baru saja menggenapkan setengah dien, Tak ada salahnya juga untuk
saudaraku yang sudah lama mencicipi asam garamnya pernikahan, Patrikan firman Allah dalam
ingatan : "...Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian adalah
pakaian bagi mereka..." (QS. Al-Baqarah:187)

Torehkan hadist ini dalam enak : "Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya
dan begitu pula dengan istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh rahmat,
manakala suaminya merengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah dosa-dosa
suami istri itu dari sela jemarinya" (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar- Rafi' dari Abu Sa'id
Alkhudzri r.a)

Kepada sahabat yang baru saja membingkai sebuah keluarga, Kepada para pasutri yang usia
rumah tangganya tidak lagi seumur jagung, Ingatlah ketika suami mengharapkan istri berperilaku
seperti Khadijah istri Nabi, maka suami juga harus meniru perlakukan Nabi Muhammad kepada
para Istrinya. Begitu juga sebaliknya. Perempuan yang paling mempesona adalah istri yang
shalehah, istri yang ketika suami memandangnya pasti menyejukkan mata, ketika suaminya
menuntunnya kepada kebaikan maka dengan sepenuh hati dia akan mentaatinya, jua tatkala
suami pergi maka dia akan amanah menjaga harta dan kehormatannya. Istri yang tidak silau
dengan gemerlap dunia melainkan istri yang selalu bergegas merengkuh setiap kemilau ridha
suami.

Lelaki yang berpredikat lelaki terbaik adalah suami yang memuliakan istrinya. Suami yang
selalu dan selalu mengukirkan senyuman di wajah istrinya. Suami yang menjadi qawwam
istrinya. Suami yang begitu tangguh mencarikan nafkah halal untuk keluarga. Suami yang tak
lelah berlemah lembut mengingatkan kesalahan istrinya. Suami yang menjadi seorang nahkoda
kapal keluarga, mengarungi samudera agar selamat menuju tepian hakiki "Surga". Dia
memegang teguh firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6)

Akhirnya, semuanya mudah-mudah tetap berjalan dengan semestinya. Semua berlaku sama
seperti permulaan. Tidak kurang, tidak juga berlebihan.
Meski riak-riak gelombang mengombang-ambing perahu yang sedang dikayuh, atau karang
begitu gigih berdiri menghalangi biduk untuk sampai ketepian. Karakter suami istri demikian,
Insya Allah dapat melaluinya dengan hasil baik. Sehingga setiap butir hari yang bergulir akan
tetap indah, fajar di ufuk selalu saja tampak merekah.

Keduanya menghiasi masa dengan kesyukuran, keduanya berbahtera dengan bekal cinta. Sama
seperti syair yang digaungkan Gibran, Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan.
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran
cinta Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada Kemudian terlena dengan doa
bagi yang tercinta dalam sanubari Dan sebuah nyanyian kesyukuran tersungging di bibir
senyuman. Semoga Allah selalu menghimpunkan kalian (yang saling mencintai karena Allah
dalam ikatan halal pernikahan) dalam kebaikan.

Mudah-mudahan Allah yang maha lembut melimpahkan kepada kalian bening saripati cinta,
cinta yang menghangati nafas keluarga, cinta yang menyelamatkan. Semoga Allah memampukan
kalian membingkai keluarga
sakinah, mawaddah, warrahmah. Semoga Allah mematrikan helai keikhlasan di setiap gerak
dalam keluarga. Jua Allah yang maha menetapkan, mengekalkan ikatan pernikahan tidak hanya
di dunia yang serba fana tapi sampai ke sana, the real world "Akhirat". Mudah- mudahan kalian
selamat mendayung sampai
ketepian. Allahumma Aamiin.

posted by chicha @ 2:22 PM 1 comments links to this post

Wednesday, October 04, 2006


Perihal Seperangkat Alat Sholat dan Al-Qur'an sebagai Mas Kawin

Assalammualaikum Wr. Wb.

Saya ingin menanyakan perihal seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an yang dijadikan sebagai
mas mawin saat pelaksanaan akad nikah. Ada yang mengatakan bahwa jika seperangkat alat
sholat dan Al-Qur'an dijadikan mas kawin bisa memberatkan bagi si suami dan si istri jika kedua
alat tersebut tidak diamalkan.. bisa dikatakan keduanya akan berdosa. Sehingga jika kedua
mempelai merasa berat, jangan menjadikan kedua alat tersebut sebagai Mas kawin. Namun ada
juga yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya sekedar symbol, dan bisa diamalkan kapan saja.
Pertanyaan saya:

Bagaimana jika salah satunya tidak diamalkan, contohnya Al-Qur'an tersebut baru
dibaca/diamalkan setelah 5 tahun perkawinan, yang mana sebelumnya Al-Qur'an tersebut hanya
sebagai penghias lemari buku. Bagaimana dengan dosa yang ditanggung oleh si suami dan si istri
apakah selama Al-Qur'an tersebut tidak diamalkan mereka sudah menanggung dosa?

Kiranya itu saja yang ingin saya tanyakan. Atas perhatian dan jawaban Bapak Ustadz saya
ucapkan terima kasih.

Wassalammualaikum wr. wb.

Mery Sukamto
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki
sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk
dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk
uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri.

Mahar dan Nilai Nominal


Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar
simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi
mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata 'tidak mampu' ini menunjukkan bahwa mahar di
masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata
simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.

Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita
muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan
suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta
yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito
syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.

Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah,
sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon
suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon
istrinya.

Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang 'mata duitan', banyak wanita muslimah yang lebih
memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu
mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu
yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara
tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral.

Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri. Sebab bila seorang suami
berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar
manakala dia tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan mengganggu
status perkawinannya.

Mahar Dengan Mengajar Al-Quran


Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat
batasan bentuk pengajaran yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa
ayat, pada kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu
disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk pengajaran Al-Quran,
juga harus ditetapkan batasannya.
Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar berupa hafalan Al-
Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu
memang jasa yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah 'mengajarkan
Al-Quran' di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka, melainkan juga
sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-
masing ayat tersebut.

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah
kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang
berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya."
Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali
hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya
sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun." Rasulullah
berkata, " Carilah walau cincin dari besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-
apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?" Dia menjawab,"Ya surat ini dan
itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian
berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda," Ajarilah dia al-qur'an."
Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20
ayat.

Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada gilirannya harus
dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai
nominal mahar yang akan diterimanya.

Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama


Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10
dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun
demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.

Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil


Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah
Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yang kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang
mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu
memenuhinya.

Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu
memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya
atau mengangsurnya. Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win
solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan.

Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak
diberatkan untuk membayarkannya secara tunai. Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam
hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
mengatakan,"Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!." Mengapa
ditambahi dengan kata 'TUNAI'?, sebab suami menyatakan sanggup untuk memberikan mahar
secara tunai.

Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam
jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: "Saya terima nikahnya
dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun."

Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu


Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana
untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan
punya istri.

Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya.
Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus
sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.

Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah
mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang
penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.

a. Sepasang Sendal Di masa Rasulullah SAW, kejadian mengenaskan seperti itu pernah terjadi.
Di mana seorang laki-laki yang sangat miskin ingin menikah dan tidak punya harta apapun.
Maka dibolehkan mahar itu meski berupa sendal.

Dari Amir bin Rabi'ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin
sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu
dengan sepasang sendal ini?" Dia menjawab," Rela." Maka Rasulullahpun membolehkannya
(HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).

b. Hafalan Quran:
Ada juga orang yang sangat miskin, tidak punya harta apapun, namun di kepalanya ada ilmu-
ilmu keIslaman, dia banyak hafal Al-Quran dan mengerti dengan baik tiap ayat yang pernah
dipelajarinya.

Maka atas ilmunya yang sangat berharga itu, dia boleh menjadikannya sebagai sebuah 'harta'
yang punya nilai nominal tinggi. Meski tidak berbentuk logam emas. Kejadian itu benar-benar
ada di masa Rasulullah SAW.

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah
kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang
berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya."
Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali
hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya
sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun." Rasulullah
berkata, " Carilah walau cincin dari besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-
apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?" Dia menjawab,"Ya surat ini dan
itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian
berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda," Ajarilah dia al-qur'an."
Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20
ayat.

c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa:


Bahkan bila seorang laki-laki tidak punya harta, juga tidak punya ilmu, tapi tetap ingin menikah
agar tidak jatuh ke dalam lembah zina, boleh saja seorang wanita emngikhlaskan semua haknya
untuk menerima harta mahar.
Sebab mahar itu memang hak sepenuhnya calon istri, maka bila dia merelakan sama sekali tidak
menerima apa pun dari suaminya, tentu tidak mengapa. Dan kejadian itu pun pernah terjadi di
masa Rasulullah SAW. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk
masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain,
keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya.

Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata, " Demi
Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya
muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam,
keIslamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya." Maka jadilah
keIslaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'i 6/ 114).

Semua hadist tadi menunjukkan kasus kasus yang terjadi di masa lalu, di mana seorang laki-laki
yang punya kewajiban memberi mahar dengan nilai tertentu, tidak mampu membayarkannya.
Hadits-hadits di atas tidak menunjukkan standar nilai nominal mahar di masa itu, melainkan
sebuah pengecualian.

Hal itu terbukti ketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan batas maksimal untuk
masalah mahar saat beliau bicara di atas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu
adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan
memperingatkannya dengan sebuah ayat qur'an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan
berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar." Kemudian Umar
kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400
dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda."

Dalam konteks kebiasaan mahalnya mahar wanita di zaman itulah kira-kira tepatnya hadits
Rasulullah SAW berikut.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barakahnya itu
adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145)

Namun hadits ini perlu dipahami dalam konteks wanita di masa itu yang sama sekali tidak mau
bergeming dari tarif mahar yang diajukannya. Sedangkan untuk konteks kita di Indonesia, di
mana kebiasaan kita memberi mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat yang
sangat murah, tentu perlu dipahami secara lebih luas.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Anda mungkin juga menyukai