Anda di halaman 1dari 53

Kegiatan Belajar 1

HUKUM ZAKAT

Indikator Kompetensi
Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 1 ini diharapkan sudara dapat:
1. Menjelaskan tentang hukum zakat tanah yang disewakan
2. Menjelaskan tentang hukum zakat hasil usaha (profesi)
3. Menjelaskan tentang hukum zakat produktif
4. Menjelaskan tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid
Pokok-pokok Materi

1. Hukum Zakat tanah yang disewakan


2. Hukum Zakat profesi
3. Hukum zakat produktif
4. Hukum Zakat untuk pembangunan mesjid

Uraian Materi
Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belajar akan dibahas empat materi
pokok tentang zakat yang diperselisihkan hukumnya. Pada bagian pertama akan dibahas
tentang hukum zakat tanah yang disewaka. Pada bagian kedua akan dibahas tentang hukum
zakat profesi. Pada bagian ketiga akan dibahas tetang hukum zakat produktif dan pada bagian
keempat akan dibahas tentang hukum zakat untuk pembangunan mesjid. Kepada saudara,
diharapkan untuk dapat membaca dan memahami materi kegiatan belajar dengan sebaik-
baiknya baik agar tujuan pembelajaranyang diharapkan dapat dicapai secara optimal.

1. ZAKAT HASIL TANAH YANG DISEWAKAN

Mencermati judul di atas setidaknya terdapat pertanyaan dalam benak saudara, siapa
yang wajib mengeluarkan zakat dari tanah yang disewakan, apakah si pemilik tanah atau pihak
penyewa tanah. Sepintas jawabannya sudah dapat ditentukan dari judul itu yaitu orang yang
menyewa tanah karena dialah orang yang mendapatkan secara langsung dari hasil tanah
tersebut. Namun demikian, ditemukan pendapat bahwa si pemilik tanahlah yang terkena
kewajiban zakatnya karana tanpa tanah tidak mungkin didapati hasil tanaman. Terdapat juga
pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya dikembalikan kepada kesepakatan antara dua
belah pihak sebelum transaksi dilakukan, berikut bahasannya.
A. Pengertian
Kata zakat ( ٌ‫ ) زَ ﻛَﺎة‬berasal dari bahasa Arab, secara bahasa artinya suci, tumbuh
berkembang dan berkah. Makna zakat secara bahasa ini mencerminkan sifat zakat yang dapat
mensucikan harta dan jiwa serta mengandung nilai positif yang dapat dikembangkan berupa
kebaikan bagi si muzakki dan kemashlahatan ekonomi bagi para mustahiq.
Sejalan dengan firman Allah swt:

‫ﻗَ ْﺪ أ َ ْﻓﻠَ َﺢ ﻣَﻦْ زَ ﻛﱠﺎھَﺎ‬


Artinya: “Sesunguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya.” (QS. al-
Syams: 9)

Menurut syara’, para ulama mendefinisikannya dengan “Harta tertentu yang wajib
dikeluarkan sebagiannya kepada para mustahiq.”
Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan, ”Zakat adalah suatu nama hak Allah yang
harus dikeluarkan oleh manusia kepada fuqara.” Selanjutnya Sabiq menambahkan,
“Dinamakan zakat karena mengharap berkah, pensucian diri, dan bertambahnya kebaikan.”
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt:

‫ﻄ ّﮭِﺮُ ُھ ْﻢ وَ ﺗ ُﺰَ ّﻛِﯿ ِﮭ ْﻢ ِﺑﮭَﺎ‬


َ ُ ‫ﺻﺪَﻗَﺔً ﺗ‬
َ ‫ُﺧ ْﺬ ﻣِ ﻦْ أ َﻣْ ﻮَ ا ِﻟ ِﮭ ْﻢ‬
Artinya: “Ambilah dari harta mereka shadaqah yang dapat membersihkan harta dan
mensucikan jiwa mereka.” ( QS. At-Taubah: 103)
Dari dua macam pengertian zakat seperti diungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa
zakat adalah kewajiban seseorang untuk mengeluarkan sebagian harta miliknya yang
sudah memenuhi syarat untuk dizakati kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq)
Zakat sering juga disebut shadaqah ( ‫ ) ﺻﺪﻗﺔ‬karena tindakan itu adalah tindakan yang
benar (shidq). Istilah zakat dalam al-Qur'an sering sekali penyebutannya digandengkan dengan
kata sholat, ditemukan sebanyak 82 ayat. Penyelarasan ini menunjukkan bahwa zakat
merupakan rukun Islam yang sangat penting setelah perkara sholat.

B. Pengertian dan Dasar Hukum-Nya


Sebelum menjelaskan pengertiannya, penting rasanya untuk mengedepankan beberapa
komponen yang harus terpenuhi dalam transaksi zakat hasil tanah yang disewakan.
1. Sebidang tanah yang disewakan (ُ ‫) أ َ ْ◌ﻷ َرْ ضُ اْﻟ ُﻤ ْﺴﺘَﺄْﺟَﺮَ ة‬
2. Pemilik tanah (‫ض‬
ِ ْ‫)ﺻَﺎﺣِ ﺐً أ َْ◌ﻷ َر‬: Orang yang menyewakan tanahnya kepada orang lain.
3. Penyewa tanah ( ُ‫ )أ َ ْﻟ ُﻤ ْﺴﺘَﺄ ْﺟِ ﺮ‬sekaligus penggarap tanah yang disewakan.
Berdasar kepada beberapa ketentuan di atas, dalam penyewaan tanah, sedikitnya
terdapat dua pihak yang terlibat dalam transaksi penyewaan tanah yaitu pemilik tanah dan
penyewa, yang keduanya bersepakat mengadakan transaksi.
Zakat hasil tanah yang disewakan (ُ ‫ض اْﻟ ُﻤﺴْﺖَ ◌َ أْ َﺟﺮَ ة‬
ِ ْ‫ )زَ ﻛَﺎة ُ اْﻻَر‬dapat diartikan sebagai zakat
hasil tanah yang langsung dihasilkan oleh tanah tersebut berupa tumbuh-tumbuhan yang
menghasilkan buah. Hasil dimaksud bisa berupa makanan pokok, seperti padi, korma, gandum
atau buah-buahan, seperti, jeruk, anggur, semangka, atau berupa sayur-sayuran, seperti
ketimun, kacang, bawang, dan lain sebagainya. Kewajiban untuk mengeluarkan zakat hasil
tanah yang disewakan didasari oleh ayat berikut ini:

َ‫ع ﻣُﺨْ ﺘ َ ِﻠﻔًﺎ أ ُ ُﻛﻠُﮫُ وَ اﻟﺰﱠ ْﯾﺘ ُﻮن‬


َ ْ‫ت وَ اﻟﻨﱠﺨْ َﻞ وَ اﻟﺰﱠ ر‬
ٍ ‫ﻏﯿْﺮَ َﻣﻌْﺮُ و ﺷَ ﺎ‬
َ َ‫ت و‬
ٍ ‫ت َﻣﻌْﺮُ و ﺷَ ﺎ‬ٍ ‫وَ ھُﻮَ اﻟﱠﺬِي أ َ ْﻧ ﺸَ ﺄ َ َﺟﻨﱠﺎ‬
‫ﻏﯿْﺮَ ُﻣﺘَﺸَﺎﺑِ ٍﮫ ُﻛﻠُﻮا ﻣِ ﻦْ ﺛَﻤ َِﺮ ِه إِذَا أَﺛْﻤَﺮَ وَ ءَاﺗ ُﻮا َﺣﻘﱠﮫُ ﯾَﻮْ َم َﺣﺼَﺎ ِد ِه وَ َﻻ ﺗُﺴ ِْﺮﻓُﻮا‬ َ َ‫وَ اﻟﺮﱡ ﱠﻣﺎنَ ُﻣﺘَﺸَﺎﺑِﮭًﺎ و‬
َ‫إِﻧﱠﮫُ َﻻ ﯾُﺤِ ﺐﱡ ا ْﻟ ُﻤﺴ ِْﺮﻓِﯿﻦ‬
Artinya: “Dan Dialah yang telah menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam buahnya, zaitun dan
delima yang serupa bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya. Makanlah buah-buah
tersebut jika panen dan keluarkanlah haknya (zakatnya) ketika panen. Dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-
lebihan.” (QS. al-An’am: 141)

Sedangkan dasar dari Hadits mengenai wajibnya zakat hasil tanah:

‫ﺸ ِﺮ‬
ُ ُ‫ﻲ ﺑِﺎﻟﺴﱠﺎﻧِﯿَ ِﺔ ﻧِﺼْﻒُ اْﻟﻌ‬
َ ‫ﺳ ِﻘ‬
ُ ‫ﺖ اْﻻَ ْﻧﮭَﺎرُ وَ اْﻟﻐَ ْﯿ ُﻢ اْﻟﻌُﺸُﻮْ رُ ﻓِ ْﯿﻤَﺎ‬
ِ َ‫ﺳﻘ‬
َ ‫ﻓِ ْﯿﻤَﺎ‬
(‫)رواه اﺣﻤﺪ وﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: “Tanaman yang tumbuh diari oleh air yang menggunakan alat, zakatnya
sebanyak lima persen. Sedangkan tanaman yang diairi oleh air hujan sebanyak sepuluh
persen.”

Jika dicermati, mengapa hasil tanah yang diairi oleh alat lebih kecil dari pada yang
diairi oleh air hujan? Hal ini karena yang memakai alat itu membutuhkan biaya, sedangkan
yang memakai air hujan tidak membutuhkan biaya. Dengan demikian, terdapat keadilan di
dalamnya.
Zakat hasil tanah wajib dikeluarkan zakatnya setiap panen, tidak berlaku untuknya
istilah syarat haul (genap satu tahun) di dalamnya. Jika satu tahun itu dua kali panen, maka
zakatnyapun dua kali. Sedangkan ketentuan nisabnya menurut M. Syaltut, baik sedikit atau
banyak hasil panennya tetap dizakatkan karena menurutnya agar tumbuh selalu sikap
solidaritas sosial sebagai hikmah diwajibkannya zakat.
C. Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakatnya
Ketentuan bahwa zakat hasil tanah yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya tidak
memunculkan masalah jika tanah itu ditanami oleh pemiliknya langsung. Persoalannya jika
tanah itu disewakan kepada orang lain, maka hal ini akan memunculkan masalah, siapa yang
wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan? Apakah si pemilik tanah atau si
penyewa tanah (yang bercocok tanam). Untuk menjawab kasus hukum ini tidak terdapat kata
sepakat di kalangan para ulama mereka berselisih dalam menetapkan hukumnya seperti
diuraikan berikut ini.
1. Menurut Jumhur ulama, bahwa yang wajib mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan
adalah pihak penyewa. Mereka beralasan karena yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil
tanahnya bukan tanahnya hal ini diperkuat oleh pendapat Mahmud Syaltut.

ِ◌ِ‫ع وَ اﻟﺰﱠ ﻛَﺎة ُ ﺣَﻖﱡ اﻟﺰﱠ رْ ع‬ َ ْ‫ﻋﻠَﻰ اْﻟ ُﻤ ْﺴﺘَﺄ ْﺟِ ِﺮ اﻟﱠﺬِى ﯾُﺒَﺎﺷِﺮُ اﻟﺰﱠ ر‬ َ َ ‫ى اﻟﱠﺬِى ﻧَ ْﻌﺘَﻤِ ﺪُهُ اِﻧ ﱠﮭﺎ‬
ُ ْ‫ﻓَﺎﻟﺮﱠ ا‬
َ‫ﺳﻼَ َﻣﺘِ ِﮫ وَ ﺑِﺬَاﻟِﻚَ ﻛَﺎنَ اْﻟ ُﻤ ْﺴﺘَﺄ ْﺟِ ﺮُ ُھﻮ‬ َ َ‫ت اﻟﺰﱠ رْ عِ و‬ِ ‫ﻋﻠَﻰ ِﻧ ْﻌ َﻤ ِﺔ اِ ْﻧﺒَﺎ‬
َ ‫ﺸﻜ ِْﺮ‬ ‫ﻲ َﺑ ْﻌﺪَ ﻧَﻮْ عٍ ﻣِ ﻦَ اﻟ ﱡ‬ َ ‫وَ ِھ‬
‫ض اْﻟ ُﻤ ْﺴﺘَﺄ ْ َﺟﺮَ ِة‬ ِ ْ‫اْﻟ ُﻤﻄَﺎﻟَﺐُ ﺑِﺎِﺧْ ﺮَ اجِ زَ ﻛَﺎةِ اْﻷ َر‬
Artinya:“Pendapat yang kami pegang bahwasanya kewajiban zakat ada pada pihak
penyewa yang langsung menggarap pertanian. Dan zakat merupakan hak pertanian
sebagai rasa syukur atas ni’mat berhasilnya pertanian. Dengan demikian penyewalah
yang dibebani untuk mengeluarkan zakat hasil tanah yang disewakan.”

2. Menurut pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya bahwa pemilik tanahlah yang wajib
mengeluarkan zakatnya karena dari sebab tanah itulah ada hasil yang diperoleh., tanpa
tanah tak akan dapat dihasilkan apa-apa.
3. Imam Malik, Syafi’i, Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ibnu Abu Tsaur
berpendapat, penyewa tanahlah yang wajib membayar zakat, pendapat ini sejalan dengan
pendapat point pertama.
Mencermati perselisihan pendapat tentang zakat hasil tanah yang disewakan
sebagaimana tersebut di atas dapat dikelompokkan perbedaannya menjadi dua kelompok
dengan alasannya masing-masing.
Pendapat pertama adalah ulama yang menetapkan bahwa si penyewa dalam hal ini
orang yang menggarap tanah yang wajib mengeluarkan zakat karena dialah yang secara
langsung memperoleh hasil dar tanah tersebut. Sedangkan pendapat kedua menetapkan bahwa
si pemilik tanahlah yang wajib mengeluarkan zakatnya karena si pemilik tanah tersebut
mendapatkan uang sewa. Jika diperbandingk alasan dari kedua kelompok tersebut, maka
pendapat pertama memiliki argumentasi yang lebih kuat karena hal ini diperkuat oleh firman
Allah swt dalam surat al-An’am ayat 141 seperti tersebut di atas yang menyebutkan bahwa
hasil tanah yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan tanahnya demikian juga dengan yang
dimaksudkan oleh Hadits Rosulullah sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan kepada dalil-
dali tersebut, fuqaha telah sepakat bahwa yang dizakatkan adalah hasil tanah bukan tanahnya
maka sebidang tanah yang tidak ditanami tidak wajib di keluarkan zakatnya. Dengan demikian,
tanah yang di sewakan jika dilihat dari hasilnya itu adalah milik sempurna pihak si penyewa.
Maka tidaklah tepat alasan yang diajukan oleh kelompok kedua yang berpendapat bahwa
penyewalah yang wajib mengeluarkan zakatnya.
Terkait dengan status tanah yang disewakan itu tetap milik orang yang menyewakan di
mana pada status tersebut di sisi lain terdapat kewajiban untuk mengeluarkan kewajiban pajak.
Jika berpegang kepada pendapat pertama seperti dijelaskan di atas maka sebenarnya dengan
status tersebut terjadi pembagian kewajiban yang cukup merata karena kedua belah pihak
memiliki andil, yakni si penyewa wajib membayar zakat dan di sisi lain si pemilik tanah
membayar pajak tanah, maka pendapat pertama ini dipandang lebih adil dan tidak
memberatkan kedua-belah pihak.
Solusi lain yang juga dapat di pandang bijak dalam pemerataan pengeluarkan zakat
adalah pendapat yang ditawarkan oleh Abu Zahra. Menurutnya, kedua-duanya baik si pemilik
tanah maupun si penyewa sama-sama wajib mengeluarkan zakat. Hal ini demi memenuhi
keadilan dalam pemungutan zakat, dengan ketentuan pihak penyewa mengeluarkan zakat
tanaman setelah dikurangi harga sewa yang ia bayar kepada pemilik tanah. Dan si pemilik
tanah mengeluarkan zakat atas dasar harga sewa yang ia terima dari si penyewa yang berarti ia
mengeluarkan zakat uang, dengan demikian kedua-duanya terkena beban untuk mengeluarkan
zakat.
Solusi lain yang dapat dipertimbangkan adalah jika memang kedua belah pihak
sebelum transaksi telah bersepakat yang bertujuan agar keduanya tidak terlalu terbebani, maka
zakat itu dapat dilakukan secara patungan antara kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan
itu.
2. ZAKAT HASIL JASA (PROFESI)
Terhadap hukum zakat profesi, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Hal ini
antara lain dikernakan dasar hukum tentang zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha tersebut
masih bersifat zhan (dugaan), berikut bahasannya.
A. Pengertian dan Hukumnya
Zakat hasil jasa (profesi) atau bahasa Arabnya‫ﺐ اْﻟﻌَ َﻤ ِﻞ‬
ِ ‫ زَ ﻛَﺎة ُ َﻛ ْﺴ‬. Kata profesi menurut kamus
besar Bahasa Indonesia mengandung arti sebidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan
keahlian berupa ketrampilan dan kejuruan tertentu.
Berdasar pengertian profesi di atas, maka zakat profesi dapat dimaknai sebagai zakat
pekerjaan yang sudah menjadi keahlian seseorang yang diperoleh melalui proses pendidikan
seperti dokter, dosen, pengacara, pilot, dan guru, semua contoh pekerjaan ini dapat dikatakan
profesi karena keahliannya diperoleh melalui proses pendidikan yang cukup lama. Tapi jika
dikaitkan dengan keumuman ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar bagi zakat profesi yaitu QS.
al-Baqarah. 267, nampaknya pekerjaan yang termasuk profesi itu bersifat umum, tidak terbatas
oleh keahlian yang dipeoleh dari pendidikan tapi semua jenis pekerjaan yang baik, ayat tersebut
berbunyi:

‫ﺴ ْﺒﺘ ُ ْﻢ‬
َ ‫ت ﻣَﺎ َﻛ‬
ِ ‫ط ِﯿّﺒَﺎ‬
َ ْ‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا أ َ ْﻧ ِﻔﻘُﻮا ﻣِ ﻦ‬
Artinya: “Nafkahkanlah dari hasil usahamu yang baik.” (QS. al-Baqarah: 267)

Dilihat dari ketergantungannya, profesi bisa dikelompokkan menjadi dua bagian.


Pertama, pekerja ahli yang berdiri sendiri, tidak terikat oleh pemerintah, seperti dokter swasta,
insinyur, pengacara, penjahit, tukang batu, guru, dosen, wartawan dan konsultan. Kedua,
profesi yang terkait dengan pemerintah atau yayasan atau badan usaha yang menerima gaji
setiap bulan. Menurut sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Muawiyah, kedua
kelompok profesi di atas, baik yang wiraswasta atau pegawai yang terikat oleh suatu instansi,
mereka dapat terkena kewajiban mengeluarkan zakat profesinya ketika menerima upah/gaji
sebesar seperempat puluhnya. Jika rutinitas itu dilakukan maka tidak ada lagi baginya
kewajiban untuk mengeluarkan zakat pada akhir tahun.
Dilihat dari aspek penerimaannya, macam-macam profesi seperti tersebut di atas dapat
dikategorikan menjadi dua. Pertama, hasil usaha yang teratur dan pasti setiap bulannya, yang
termasuk ke dalam kelompok pertama ini seperti upah pekerja dan gaji pegawai. Kedua, hasil
yang tidak tetap dan dapat dipastikan seperti kontraktor, pengacara, royaliti pengarang,
konsultan, dan artis.
Dengan demikian, zakat profesi meliputi semua pekerjaan yang halal dan baik,
zakatnya dapat dikeluarkan sesuai dengan waktu perolehannya setelah diambil terlebih dahulu
untuk kewajiban biaya terhadap keluarga dan biaya operasional. Seseorang dengan profesinya
yang berpenghasilan pas-pasan bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bukanlah
termasuk profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya, bahkan mereka tergolong orang yang
berhak menerima zakat (mustahiq), seperti tukang beca.

B. Cara Mengeluarkan dan Nisabnya


Berikut ini akan dijelaskan secara singkat cara mengeluarkan zakat profesi seperti dokter,
pengacara, pilot, dosen, artis dan sebagainya. Semua pekerja ini dapat mengeluarkan zakat
profesinya dengan cara ta’jil, yaitu mempercepat ketika mereka menerima honor atau gaji.
Berapa nisab (batas minimal) dan prosentase yang harus dikeluarkan? Terjadi perbedaan
pendapat para ulama terhadap penetapan nisabnya:
1. Abdurrahman Hasan, Imam Abu Zahra, dan Abdul Wahab Khallaf, mereka berpendapat
bahwa nisab zakat profesi sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha sekitar 930 liter
atau 653 Kg. sehingga prosentase zakatnya disamakan (diqiyaskan) dengan zakat pertanian
yang pengairannya menggunakan alat (mesin), yaitu sebesar 5 % setiap mendapatkan gaji
atau honor.
2. Jumhur ulama berijtihad bahwa nisab zakat profesi adalah seharga emas 93,6 gram emas
murni yang diambil dari penghasilan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya hidup.
Kelebihan inilah yang dihitung selama satu tahun, lalu dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5
% setiap bulan. Prosenatase ini diqiyaskan dengan zakat mata uang yang telah ditetapkan
oleh Hadits.
3. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa zakat profesi disamakan dengan zakat
rikaz (barang temuan) maka tidak ada syarat nisab dan prosentasenya 20 persen pada saat
menerimanya.

C. Contoh Kasus
Ali adalah seorang dosen PTN golongan IV/a dengan masa kerja selama 20 tahun. Ia
memiliki seorang istri dan tiga anak. Penghasilannya tiap bulan pada tahun 2015 sebagai
berikut:
a. Gaji dari Negara Rp. 4.300.000
c. Honor dari beberapa PTS Rp. 2.500.000
d. Honor dari yang lain Rp. 2.000.000
Pengeluaran setiap bulan:
a. Keperluan keluarga Rp. 3.000.000
b. Angsuran kredit rumah Rp. 1.250.000
c. Dan lain-lain Rp. 1.500.000
Kalkulasi
Penerimaan Rp. 7.800.000
Pengeluaran Rp. 5.750.000
Sisa Rp. 2.050.000
Jika sisa di atas dikalikan setahun, maka berjumlah Rp. 24.600.000 yang kemudian
didepositokan di bank dengan bunga keuntungan 18 % setahun. Maka perhitungan zakatnya
ialah 2,5 % x 24.600.000 = Rp. 615.000. Ternyata zakatnya setahun sangat ringan, jika ia ingin
mengeluarkan setiap bulan, maka 615.000 : 12 = + Rp. 51.250 zakat yang ia harus keluarkan
setiap bulannya.
Uraian di atas merupakan konsep zakat profesi bagi mendukung adanya zakat profesi.
Namun dengan demikian, terdapat juga ulama yang mengatakan bahwa zakat profesi itu tidak
ada dengan alasan karena sulit menentukan jenis profesi dan nisabnya. Mereka yang menolak
zakat profesi tersebut karena mereka memasukakan zakat profesi kepada zakat harta yang harus
dibayar jika sudah sempurna satu tahun (haul).
Menurut hemat penulis, pada intinya mengeluarkan zakat adalah manefestasi dari
keislaman seseorang sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas nikmat yang telah
diterimanaya. Di antara nikmat tersebut adalah profesi. Maka ijtihad yang menetapkan adanya
zakat profesi di mana belum pernah ada pada zaman klasik Islam perlu direspons secara positif.
Hukum Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Sekarang adalah zaman yang syarat
dengan profesi (keahlian) yang dapat menghasilkan uang. Maka adanya zakat profesi sebagai
hasil ijtihad sejalan dengan prinsip hukum Islam yang memberikan pintu kemudahan, dalam
hal ini penunaian zakat secara ta’jil (disegerakan) dapat menghilangkan kealfaan seseorang
dalam penunaian zakat.

3. ZAKAT PRODUKTIF
Kemunculan istiah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk “kritik” terhadap
penyaluran zakat kepada mustahiq yang pada umumnya bersifat konsumtif. Zakat yang
diterima oleh mustahiq yang tersebut terakhir ini biasanya bersifat konvensional yaitu sekedar
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sifatnya “menghabiskan”. Namun di sisi
lain terdapat mustahiq yang keberadaannya masih produktif baik dari tenaga, ilmu dan
ketrampilan. Maka untuk kriteria mustahiq yang tersebut terakhir ini zakat dapat diarahkan
menjadi modal usaha untuk pengembangan kemampuan yang dimilikinya. Permasalahannya
yang kemuidan muncul bagaimana hukum penyaluran zakat untuk modal usaha, berikut
bahasannya.

A. Gagasan Zakat Produktif


Zakat merupakan ibadah maal (materi) yang memiliki fungsi strategis untuk
membangun perekonomian ummat Islam. Kedukukannya sebagai salah satu rukun Islam
menharuskan ummat Islam untuk mengimani dan melaksanakannya, sesekali orang yang
menganggap zakat bukan rukun Islam, maka ia dapat dianggap kafir dan orang yang tidak
berzakat padahal telah diwajibkan maka ia telah melakukan perbuatan dosa karena telah
menolak perintah Allah dan telah mengabaikan hak para mustahiq. Oleh karena itu, penunaian
zakat bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban tapi berdampak positif kepada kehidupan
sosial karena keberadaannya dapat mensejahterkan kehidupan bagi orang yang tidak mampu.
Bentuk dan macam zakat dalam Islam dengan melihat mustahiqnya dapat dibagi
menjadi empat. Pertama: Konsumtif tradisional, seperti zakat fitrah. Kedua, konsumtif kreatif,
contohnya bea siswa. Ketiga Produktif tradisional, seperti pemberian ternak dan alat
pertukangan. Dan keempat produktif kreatif , yaitu zakat untuk modal usaha. Bentuk mustahiq
zakat pada point 2 sampai point empat keberadaan zakat bagi penrimanya berpotensi untuk
membangun dan meningkatkan perekonomian. Keberadaannya dapat mengentaskan
kemiskinan dan kemelaratan..
Ide untuk mengembangkan zakat sebagai modal usaha muncul ketika okus perhatian
dilakukan secara seksama bahwa para fuqara dan masakin tidak semuanya orang-orang yang
memiliki keterbatasan kekuatan fisik namun di antara mereka terdapat banyak yang memiliki
kesehatan fisik dan keahlian yang dapat dikembangkan, tapi mereka tidak memiliki modal,
sehingga keluar ide untuk memberikan zakat kepada mereka untuk bisa dijadikan sebagai
modal usaha yang dapat meningkatkan status ekonominya dan sekaligus mengembangkan
keahlian yang mereka miliki. Maka pihak yang paling berperan dalam zakat produktif ini
adalah kreatifitas mustahiq untuk menjadikan zakat sebagai modal yang terus dikembangkan.

B. Prospek Zakat Produktif


Prospek ke depan, zakat yang diperoleh dari hasil usaha ini memiliki peluang yang cerah
jika pengelolaannya dilakukan secara baik dan profesional. Pengelolaan itu dapat dilakukan
melalui pengembangan sumber daya mustahiq yang potensial yang jumlahnya cukup banyak.
Lain halnya ketika menghadapi mustahiq zakat yang konsumtif, yaitu yang tidak memiliki
kemampuan dan keahlian untuk mengembangkan zakat seperti orang jompo, anak yatim yang
masih kecil, orang dewasa yang cacat atau sakit berat maka zakat untuk mereka ini hanya untuk
membantu kelangsungan hidup mereka karena mereka lebih banyak bersifat pasif.
Bagi mustahiq zakat yang produktif atau disebut mustahiq aktif, mereka masih berumur
produktif dan memiliki badan yang sehat maka selayaknya bagi mereka zakat dapat disalurkan
secara produktif yaitu dengan menjadikan zakat sebagai modal usaha. Oleh karena itu
diperlukan sikap pro-aktif dari mustahiq untuk mencurahkan kemampuannya dalam
pengembangan modal dari zakat itu.
Menurut hemat penulis, usaha pengembangan zakat menjadi modal usaha memerlukan
sumber daya manusia (SDM) yang cukup handal, oleh karena itu diperlukan peningkatan
diperlukan upaya untuk meningkatkan SDM (sumber daya manusia) mustahiq dengan
mengadakan pelatihan atau training yang dapat dilakukan oleh badan, seperti bazis atau
pemerintah, sehingga mereka benar-benar memiliki keahlian yang mapan untuk dapat
mengembangkan modal usaha yang didapat dari zakat tersebut. Selain itu di masyarakat
terdapat banyak keahlian yang dimiliki oleh mereka yang tergolong mustahiq yang tampaknya
diperoleh tanpa melalui latihan khusus seperti pedagang kaki lima, sopir, pengrajin tangan,
tukang kuli batu, dan lain sebagainya. Jika penyaluran zakat dilakukan dengan baik serta
penggunaannya terbilang optimal, maka hal ini akan dapat meningkatkan taraf ekonomi
mereka yang tergolong lemah untuk selanjutnya diharapkan kehidupan mereka tidak
bergantung kepada zakat. Untuk mereka, zakat hanya modal pertama saja selanjutnya mereka
tidak lagi sebagai mustahiq zakat, tapi menjadi orang yang wajib mengeluarkan zakat
(muzakki).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya keberadaan zakat produktif itu dapat
dibenarkan selain itu masalah tekni saja, pemberian modal kepada mustahiq zakat sebagai
modal usaha berarti memberikan perhatian kepada para mustahiq untuk hidup lebih layak, hal
ini merupakan ajaran Islam seperti diperkuat oleh al-Qur’an:

‫ﺴ ﺒُ ُﮭ ُﻢ ا ْﻟﺠَﺎ ِھ ُﻞ‬
َ ْ‫ض ﯾَﺤ‬ِ ْ‫ﺿ ﺮْ ﺑًﺎ ﻓِﻲ ْاﻷ َر‬ َ َ‫ﺳ ﺒِﯿ ِﻞ ﱠ ِ َﻻ ﯾَ ْﺴ ﺘ َﻄِ ﯿﻌُﻮن‬ َ ‫ﺼ ﺮُ وا ﻓِﻲ‬ ِ ْ‫ِﻟ ْﻠﻔُﻘَﺮَ اءِ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ أ ُﺣ‬
‫ﱠﺎس إِ ْﻟﺤَﺎﻓًﺎ وَ ﻣَﺎ ﺗ ُ ْﻨ ِﻔﻘُﻮا ﻣِ ﻦْ َﺧﯿ ٍْﺮ ﻓَﺈ ِنﱠ ﱠ َ ﺑِ ِﮫ‬
َ ‫أ َ ْﻏﻨِﯿَﺎ َء ﻣِ ﻦَ اﻟﺘﱠﻌَﻔﱡﻒِ ﺗَﻌ ِْﺮﻓُ ُﮭ ْﻢ ﺑِ ِﺴ ﯿﻤَﺎ ُھ ْﻢ َﻻ ﯾَ ْﺴ ﺄَﻟُﻮنَ اﻟﻨ‬
‫ﻋﻠِﯿ ٌﻢ‬
َ
Artinya: “Berinfaklah untuk orang-orang faqir yang terikat oleh jihad di jalan Allah,
mereka tidak mampu berusaha di bumi. Orang yang tidak tahu, menyangka mereka adalah
orang yang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu melihat mereka
dengan melihat sifat-sifatnya. Mereka tidak meminta-minta kepada orang secara medesak.
Dan apa yang kamu nafkahkan di jalan Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
(QS. al-Baqarah: 273)

Hikmah yang dapat dipetik dari praktek zakat produktif di antaranya agar terjadi
komunikasi yang dapat menghilangkan menara gading antara si miskin dengan si kaya. Efek
yang ditimbulkannya menjadikan si muzakki (pemberi zakat) akan merasa puas dan senang
karena zakatnya bisa berkembang, di sisi lain menjadikan mustahiq tidak menjadi mental
pengemis dan tersalurkan kemampuannya. Dengan demikian terjadi hubungan yang signifikan
antara keberadaan zakat produktif dengan peningkatan sumber daya manusia. Dan yang
terpenting lagi, dengan zakat produktif tidak terjadi sikap pembiaran terhadap fakir miskin dan
telah menyelamatkan bahaya dari kefakiran yang dapat menjadikan seorang menjadi kafir,
sebagaimana diperkuat oleh Hadits Nabi:

‫ﻛَﺎدَ اْﻟﻔَﻘْﺮُ أ َنْ ﯾَﻜُﻮْ نَ ُﻛﻔْﺮً ا‬


Artinya: “Kefakiran (kemiskinan) berakibat kepada kekafiran.”

4. PENYALURAN ZAKAT UNTUK PEMBANGUNAN MESJID


Penjelasan tentang kelompok orang yang berhak menerima sudah cukup jelas
diinformasikan oleh al-Qur’an. Secara tekstual istilah mesjid tidak terdapat dalam
kelompok yang delapan tersebut, inilah yang menimbulkan permasalahan apakah
zakat dapat disalurkan untuk pembangunan dan pemugaran mesjid. Uraian
berikut mencoba untuk menjelaskan hukum penyaluran kepada sesuatu yang
diluar asnaf (kelompok mustahiq zakat tersebut.
A. Kelompok Mustahiq Zakat
Jumhur ulama sepakat bahwa kelompok mustahiq zakat itu terdiri delapan
asnaf. Kesepakatan tersebut didasari oleh ayat al-Qur’an surat al-Taubat ayat 60
sebagai berikut:

َ‫َﺎرﻣِ ﯿﻦ‬
ِ ‫ب وَ ا ْﻟﻐ‬
ِ ‫اﻟﺮﻗَﺎ‬
ّ ِ ‫ﻋﻠَ ْﯿﮭَﺎ وَ ا ْﻟﻤُﺆَ ﻟﱠﻔَ ِﺔ ﻗُﻠُﻮﺑُ ُﮭ ْﻢ وَ ﻓِﻲ‬
َ َ‫ﺼﺪَﻗَﺎتُ ِﻟ ْﻠﻔُﻘَﺮَ اءِ وَ ا ْﻟ َﻤ ﺴَﺎﻛِﯿﻦِ وَ ا ْﻟﻌَﺎﻣِ ﻠِﯿﻦ‬
‫إِﻧﱠﻤَﺎ اﻟ ﱠ‬
‫ﻋﻠِﯿ ٌﻢ َﺣﻜِﯿ ٌﻢ‬ َ ُ ‫ﻀﺔً ﻣِ ﻦَ ﱠ ِ وَ ﱠ‬ َ ‫ﺴﺒِﯿ ِﻞ ﻓ َِﺮﯾ‬ ‫ﺳﺒِﯿ ِﻞ ﱠ ِ وَ اِﺑْﻦِ اﻟ ﱠ‬ َ ‫وَ ﻓِﻲ‬
Artinya: “Shadaqah adalah hak untuk faqir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang
yang terlilit hutang, di jalan Allah, dan orang yang dalam perjalanan (musafir). Sebagai
kewajiban yang datang dari Allah dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
(QS. at-Taubah: 60)
Delapan kelompok (mustahiq) zakat sebagaimana tercantum dalam ayat di atas,
penjelasannya sebagai berikut. Fuqara, yaitu Orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan
yang dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang yang termasuk kelompok ini tidak
memiliki suami (isteri), ayah, ibu, dan anak yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masakin, yaitu Orang yang memiliki pekerjaan, tapi hasilnya tidak dapat memenuhi
kebutuhannya, Amilin yaitu Yaitu orang yang bekerja memungut zakat (panitia zakat).
Muallaf, pengertiannya dapat berarti orang yang baru masuk Islam sedangkan imannya masih
lemah, maka untuk menguatkannya perlu diyakinkan dengan zakat. Atau orang kafir yang
berniat untuk masuk Islam, tapi masih tipis keimanannya, maka ia dapat diberi zakat supaya
niat masuk Islamnya menjadi kuat. Budak, yaitu orang yang hidupnya tidak merdeka, dikuasai
oleh tuannya. Orang yang terlilit hutang, yaitu oraang yang memiliki tunggakan hutang
kepada orang lain baik hutang tersebut untuk kepentingan pribadinya atau hutang karena untuk
biaya kebajikan. Orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu para tentara yang berperang
melawan serangan orang kafir. Orang yang sedang dalam perjalanan. Yaitu orang yang sedang
melakukan sebuah perjalanan dengan tujuan yang baik bukan untuk kemaksiatan, seperti
pelajar atau mahasiswa yang belajar di luar negeri.
B. Hukum Zakat untuk Pembangunan Mesjid
Seperti terungkap di muka, permasalahan yang muncul adalah, apa hukum zakat untuk
pembangunan mesjid? Sebab dalam surat at-Taubah ayat 60, sebagaimana dijelaskan di atas,
pembangunan dan pemugaran mesjid tidak termasuk ke dalam mustahiq zakat. Oleh karena itu,
untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan ijtihad yang dapat menentukan pintu masuk
kepada kelompok mana zakat untuk pembangunan mesjid itu?
Di antara ke-delapan macam mustahiq zakat seperti tersebut di atas, terdapat mustahiq
yang disebut sabilillah yang secara bahasa artinya jalan Allah. Para ulama dalam memahami
kata sabilillah tidak hanya terbatas pada makna hakiki yaitu para pejuang yang berperang
menegakkan agama Allah tapi memahaminya juga dari makna majazinya yang bersifat umum.
Terkait dengan makna yang tersebut terakhir ini, para ulama memiliki penafsiran yang
beraneka ragam.
Menurut Mahmud Syaltut, istilah sabilillah memiliki arti kemaslahatan ummat yang
manfaatnya kembali kepada kaum muslimin seperti pembangunan mesjid, rumah sakit,
perlengkapan pendidikan, dan sebagainya. Memperkuat pendapatnya, Syaltut mengutip
pendapat Imam Al-Razi yang mengatakan bahwa kata sabilillah tidak terbatas pada arti tentara.
Syaltut juga mengutip pendapat al-Qaffal yang berpendapat bahwa boleh menyalurkan zakat
ke semua bentuk kebaikan seperti untuk mengurus mayat, membangun benteng, dan
pembangunan mesjid. Tetapi Syaltut memberikan catatan bahwa zakat yang diperbolehkan
untuk pembangunan mesjid dengan syarat mesjid itu hanya satu-satunya di suatu desa, atau
untuk pembangunan mesjid baru karena mesjid yang tersedia tidak cukup lagi untuk
menampung jamaah. Menurut Syaltut, arti sabilillah dapat disimpulkan menyangkut
pemeliharaan posisi materi dan spritual suatu bangsa termasuk di dalamnya mesjid.
Menurut al-Maraghi, istilah sabilillah adalah semua perkara yang berhubungan dengan
kemaslahatan ummat dapat dimasukkan ke dalam sabilillah, seperti perkara yang menyangkut
masalah agama dan pemerintahan, seperti masalah pelayanan haji.
M. Rasyid Ridha berpendapat bahwa, istilah sabilillah mencakup semua kepentingan
syariah secara umum yang berkenaan dengan masalah agama dan negara dan yang terpenting,
untuk persiapan kepentingan perang dengan membeli persenjataan.
Menurut Yusuf Qardhawi, istilah sabilillah memiliki arti yang lentur, yaitu semua
sarana yang dapat dipergunakan untuk memperjuangkan kemajuan ummat Islam dan melawan
semua bentuk serangan orang-orang kafir, semuanya termasuk sabilillah. Lebih rinci, beliau
menyebutkan usaha pembebasan Islam dari kekuasaan dengan memerangi kaum kafir, sarana
pendidikan dan pengajaran serta lembaga da’wah, surat kabar islami, penerbitan buku-buku
islami dan para da’i, semua yang disebutkan di atas dapat dimasukkan ke dalam cakupan
makna sabilillah.
Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa istilah sabilillah adalah semua jalan yang dapat
menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu atau amal.
Mencermati pendapat-pendapat di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian
sabilillah secara umum (mazaj) dapat mencakup semua jalan kebaikan yang manfaatnya
kembali kepada ummat Islam termasuk di dalamya adalah masjid, penyebutan sarana ibadah
yang disebutkan terakhir ini secara jelas disebut oleh Mahmud Syaltut pada point pertama.
Pengertian mazaj semacam ini dalam hukum Islam dapat ditolelir selama tidak bertentangan
dengan kaidah agama. Keberadaan mesjid dalam masyarakat memiliki peranan strategis,
fungsinya bukan hanya sebagai tempat sholat, tapi dapat dijadikan pusat pendidikan, da’wah,
serta sosial kemasyarakatan dalam rangka menegakkan agama Allah swt. Dengan demikian,
zakat boleh disalurkan untuk pembangunan mesjid karena mesjid termasuk sabilillah yang
mengandung manfaat bagi umat Islam.
Selanjutnya menurut hemat penulis, skala prioritas harus diutamakan. Terlebih
sekarang ini, keberadaan mesjid di masyarakat begitu banyak dan pesat, sehingga jarak mesjid
sangat berdekatan dan relatif jamaahnya di beberapa mesjid ditemukan sangat sedikit.
Mengingat hal itu, penulis sejalan dengan Mahmud Syaltut yang berpendapat bahwa
penyaluran zakat untuk mesjid itu harus diutamakan untuk mesjid baru yang dibangun karena
mesjid yang berdekatan sudah tidak mampu lagi untuk menampung jamaah atau untuk agenda
perluasan mesjid karena daya tampungnya tidak lagi mencukupi untuk menampung jamaah.
Kegiatan Belajar 2
PERNIKAHAN MONOGAMI, POLIGAMI DAN NIKAH MUT’AH

Indikator Kompetensi
Setelah membaca dan memhami materi Kegiatan Belajar 2 ini diharapkan sudara dapat:
1. Menjelaskan pengertian tentang pernikahan monogami

2. Menjelaskan tentang hukum poligami

3. Menjelaskan tentang hukum nikah mutah

Pokok-pokok Materi

1. Konsep nikah dalam ajaran Islam


2. Hukum monogami dalam ajaran Islam
3. Hukum poligami dalam ajaran Islam
4. Hukum nikah mut’ah dalam ajaran Islam

Uraian Materi
Saudara-saudara sekalian pada bahan Kegiatan Belajar 2 akan dibahas tiga materi
pokok. Pada bagian pertama akan dibahas tentang monogami, bagian kedua akan dibahas
tentang poligami, sedangkan pada bagian ketiga akan dibahas tentang nikah mut’ah dan hal
yang berhubungan dengan masing-masing Kepada sadara-saudara dimohon untuk dapat
membaca dan memahami materi Kegiatan Belajar 2 ini dengan baik agar tercapai tujuan yang
diharapkan secara optimal.
2. Pernikahan Monogami, Poligami dan Nikah Mut’ah
1. Syariat Pernikahan
Kedudukan nikah dalam Islam merupakan syariat yang terkandung di dalamnya nilai-
nilai ibadah. Kelayakan manusia untuk menerima syariat tersebut paling tidak diperkuat oleh
tiga argumen. Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan akalnya tersebut manusia
mampu menerima dan menjalankan syariat dengan baik. Di antara syariat tersebut adalah
pernikahan, yang pengertiannya menurut ulama Syafi’iyah, sebagai::

‫ﻋﻘﺪ ﯾﺘﻀﻤﻦ إﺑﺎﺣﺔ اﻟﻮطء ﺑﻠﻔﻆ اﻹﻧﻜﺎح او اﻟﺘﺰوﯾﺞ‬


(Akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz nikah
atau tajwiz)
Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan
sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:

َ‫ﺳ ْﺒﺤَﺎنَ اﻟﱠﺬِي َﺧﻠَﻖَ ْاﻷ َزْ وَ ا َج ُﻛﻠﱠﮭَﺎ ﻣِ ﻤﱠﺎ ﺗ ُ ْﻨﺒِﺖُ ْاﻷ َرْ ضُ وَ ﻣِ ﻦْ أ َ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﮭ ْﻢ وَ ﻣِ ﻤﱠﺎ َﻻ ﯾَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬
ُ
Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik
dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)

Dari kehidupan berpasangan, manusia disyariatkan untuk menjalin hubungan yang


mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk
itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan
manusia yang disebut dengan nikah.
Ketiga, pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan
memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia. Rasulullah saw bersabda
“empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian, bersiwak
(gosok gigi), dan nikah”.
Untuk dijadikan sebuah perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah
menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam
(Jahiliyah). Pada zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan
warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia. Pertama, perkawinan pacaran
(khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi
dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan Kedua,
nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.
Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang
pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah
itu baru si suami mengumpulinya. Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli
oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu
pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai
anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).
Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak
sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang
tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah aqad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-
laki dan perempuan yang bukan mahromnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya
akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban
masing-masing dengan sebaik-baiknya.

‫ﻏﻠِﯿﻈًﺎ‬
َ ‫ْﺾ وَ أ َ َﺧﺬْنَ ﻣِ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻣِ ﯿﺜ َﺎﻗًﺎ‬
ٍ ‫ﻀ ُﻜ ْﻢ إِﻟَﻰ ﺑَﻌ‬
ُ ‫وَ َﻛﯿْﻒَ ﺗَﺄ ْ ُﺧﺬ ُوﻧَﮫُ وَ ﻗَ ْﺪ أ َ ْﻓﻀَﻰ ﺑَ ْﻌ‬
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)

Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan
untuk memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat,
terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah. 1. calon suami istri, 2. Wali dari calon isteri, 3.
dua orang saksi, 4. Mahar (mas kawin), 5. Ijab-qabul.

Hikmah Nikah
Setiap syariat yang diturunkan oleh Allah dipastikan terdapat hikmah untuk kehidupan
manusia. Sedikitnya terdapat lima point penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabiq
dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.
1. Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak
ada jalan keluar untuk melampiaskan, maka manusia akan dirundung kegelisahan dan
dikhawatirkan melakukan prostitusi (perzinahan). Maka pernikahan merupakan aturan
yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukkan untuk memuaskan seks manusia.
Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi
sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firmanNya:

‫وَ ﻣِ ﻦْ ءَاﯾَﺎﺗِ ِﮫ أ َنْ َﺧﻠَﻖَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣِ ﻦْ أ َ ْﻧﻔُ ِﺴ ُﻜ ْﻢ أ َزْ وَ اﺟًﺎ ِﻟﺘ َ ْﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَ ْﯿﮭَﺎ وَ َﺟﻌَ َﻞ ﺑَ ْﯿﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻣَﻮَ دﱠة ً وَ رَ ﺣْ َﻤﺔً إِنﱠ ﻓِﻲ‬
َ‫ت ِﻟﻘَﻮْ مٍ ﯾَﺘَﻔَﻜﱠﺮُ ون‬ٍ ‫ذَﻟِﻚَ َﻵﯾَﺎ‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)

2. Pernikahan jalan terbaik untuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan


melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.

3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa
kanak-kanak serta tumbuhnya rasa kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak akan sempurna
tanpa adanya tali pernikahan.
4. Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat
dan mencurahkan segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri. Maka bangkitlah
untuk bekerja dengan segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah
harta dan kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam dan
yang terpendam di dalamnya.

5. Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan
isteri. Isteri mengurus rumah, hingga tertata dengan rapih, mendidik anak dan
mempersiapkan “udara” segar untuk suami agar dapat beristirahat yang dapat
menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan semangat baru yang dapat membangkitkan
semangat kerja untuk memperoleh harta dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja
yang adil terhadap suami istri sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini akan
diridhai oleh Allah dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang diberkahi.

Hukum Pernikahan
Penetapkan hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi orang
yang akan melakukannya. Dengan demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai illat
hukumnya. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang itu berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya jika dilihat dari aspek gejolak seks dan kemampuan pemberian nafkah.
Berangkat dari perbedaan kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah itu sesuai
dengan illat (sebab) yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan pernikahan.
Memperhatikan berbagai macam illat nikah maka hukum nikah dapat ditetapkan sebagai
berikut:
1. Wajib, hukum ini layak dibebakan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah,
jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah
perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri dari perbuatan
haram adalah wajib. Sedangkan bagi yang hanya memiliki keinginan yang kuat tapi belum
mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal ini didasari oleh firman
Allah swt:

‫ﻀ ِﻠ ِﮫ‬
ْ َ‫وَ ْﻟﯿَ ْﺴﺘَ ْﻌﻔِﻒِ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ َﻻ ﯾَﺠِ ﺪُونَ ِﻧﻜَﺎﺣًﺎ َﺣﺘ ﱠﻰ ﯾُ ْﻐ ِﻨﯿَ ُﮭ ُﻢ ﱠ ُ ﻣِ ﻦْ ﻓ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-
Nuur: 33)
Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu bilogis yang memuncak bagi orang
yang belum layak nikah karena belum mampu menafkahi seperti tersebut di atas.
disarankan agar ia memperbanyak puasa. Hal ini diperkuat oleh Hadits Rasulullah saw
berikut ini:

ِ‫ع ﻣِ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اْﻟﺒَﺎ َءة َ ﻓَ ْﻠﯿَﺘ َﺰَ وﱠ جْ ﻓَ ِﺎﻧﱠﮫُ أَﻏَﺾﱡ ِﻟ ْﻠﺒَﺼ َِﺮ وَ ا َﺣْ ﺼَﻦُ ِﻟ ْﻠﻔَﺮْ ج‬
َ ‫ب ﻣَﻦِ ا ْﺳﺘَﻄَﺎ‬
ِ ‫ﺸﺒَﺎ‬
‫ﯾَﺎ َﻣ ْﻌﺸَﺮَ اﻟ ﱠ‬
(‫وَ ﻣَﻦْ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺴﺘ َﻄِ ﻊْ َﻓﻌَﻠَ ْﯿ ِﮫ ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮْ مِ ﻓَ ِﺎﻧﱠﮫُ ﻟَﮫُ ِوﺟَﺎ ٌء )رواه اﻟﺒﺨﺎرى‬
Artinya: “Hai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah,
maka menikahlah, karena nikah dapat menahan pandangan dari maksiat dan dapat
menjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi siapa yang belum mampu hendaklah
ia berpuasa karena puasa dapat membentengi dorongan sahwat.” (HR. Bukhari)

2. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi
nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi
orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah
lebih baik baginya dari pada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak.
Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta Nasrani yang dilarang oleh
Rasulullah.

‫ﺗ َﺰَ وﱠ ﺟُﻮْ ا ﻓَ ِﺎﻧِّﻰ ُﻣ َﻜﺎِﺛﺮٌ ِﺑ ُﻜ ُﻢ اْﻻُ َﻣ ُﻢ وَ ﻻَ ﺗَﻜُﻮْ ﻧُﻮْ ا ﻛَﺮُ ْھﺒَﺎ ِﻧﯿﱠ ِﺔ اﻟﻨﱠﺼَﺎرَ ى‬
Artinya: “Nikahlah kamu sekalian karena aku akan berbanyak-banyak umat pada hari
Qiamat dan janganlah kamu seperti pendeta Nasrani.”

Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah berkata kepada Abi Zawaid, hanya sifat lemah
atau melacurlah yang mencegahmu dari nikah. Berkata juga Ibnu Abbas bahwa tidak akan
sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.
3. Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia
memaksakan diri utnuk menikah akan mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam
pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak
istri/suami tidak terpenuhi.

2. Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami


Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan
seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat
dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga maka
suami itu menganut monogami.
Azas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai
salah satu asas perkawinan dalam Islam. Tujuannya untuk memberikan landasan dan modal
utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh
karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hakum ini sangatlah
beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia
akan lebih mudah karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan
lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh
dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan
seorang perempuan yang dicintainya. Bagi laki-laki, selayaknya selayaknya sikap monogami
ini. Jika tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri
ternyata mandul, sekali lagi pada asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk
beristeri satu saja. Isyarat al-Qur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari
berbagai ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika sudah
mampu, sikap membujang berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarka
karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:

ْ‫ﺼ ﺎﻟِﺤِ ﯿﻦَ ﻣِ ﻦْ ِﻋﺒَ ﺎ ِد ُﻛ ْﻢ وَ إِ َﻣ ﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ إِنْ ﯾَﻜُﻮﻧُﻮا ﻓُﻘَﺮَ ا َء ﯾُ ْﻐﻨِ ِﮭ ُﻢ ﱠ ُ ﻣِ ﻦ‬


‫وَ أ َ ْﻧ ِﻜﺤُﻮا ْاﻷَﯾَ ﺎﻣَﻰ ﻣِ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَ اﻟ ﱠ‬
‫ﻋﻠِﯿ ٌﻢ‬َ ‫ﻀ ِﻠ ِﮫ وَ ﱠ ُ وَ ا ِﺳ ٌﻊ‬
ْ َ‫ﻓ‬
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-
Nur 32)

Hukum dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam
pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar ditemukan illat yang
dapat dibenarkan. Maka permasalahan baru setelah Islam membolehkan monogomi adalah
persoalan poligami. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang hukum poligami
nampaknya perlu diluruskan terlebih dahulu pemakaian istilah poligami. Jika merujuk kepada
makna seorang suami beristeri lebih dari satu sebenarnya istilah poligami yang sudah populer
di masyarakat tidak tepat untuk istilah itu. Karena poligami dalam kamus bahasa bisa juga
berarti di samping suami punya istri lebih dari satu juga isteri punya suami lebih dari satu.
Maka secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia
diartikan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa
wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”. Namun dalam tulisan ini, selanjutnya
penulis cenderung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu
poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan
secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya di masyarakat untuk laki-
laki yang beristeri lebih dari satu.
Memasuki tulisannya tentang hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis,
bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang dapat
membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan yang
“memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama terdahulu
telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa terikat oleh syarat dan aturan.
Itulah kultur yang terjadi di masyarakat dahulu. Islam datang tidak menghapus secara serta
merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang sudah mendarah daging namun membangun aturan
poligam penerapan pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya
syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang
sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang. Lalu
Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya,
bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat. Ini adalah sebuah
keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan kebutuhan kehadiran para istri
Nabi setelah wafat Nabi.
Kebolehan Berpoligami
Di masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki seakan
menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu
biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenranya. Memang Pada asalnya hukum poligami
itu diperbolehkan jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap isteri-
isterinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri
satu saja.
Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara
kepentingan dan kemashlahatan yang bersifat pribadi dan umum. Nampaknya kebolehan
poligami karena untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina dan
tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan. Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa
pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu
jika dipandang darurat. Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf
Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah
sebagai berikut:
1. Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata isterinya
tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.
2. Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan
seks, memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak
sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.

3. Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi
peperangan. Di situ terdapat kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat
dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang,
cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.

Namun permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk
beristeri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di
atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami sebelum
berpoligami. Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu
terealisasi yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah. Kewajiban bagi
seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap isteri-isterinya adalah
konsekuansi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil dimaksud berarti seorang
suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara proporsional sesuai
dengan kebutuhan secara wajar.
Nafkah itu ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan ada yang
bersifat batiniyah (immateri). Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut maka
keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan
keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami
dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum,
pakaian, rumah, serta waktu giliran. Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat
mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap istrei-isterinya. Maka jika seorang
suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang mengakibatkan isteri-isteri terzalimi,
maka haram bagi laki-laki untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-
Nisa ayat 3:

‫اﺣﺪَة ً أ َوْ ﻣَ ﺎ‬ َ ‫ﺴ ﺎءِ َﻣﺜْﻨَﻰ وَ ﺛ َُﻼثَ وَ رُ ﺑَﺎ‬


ِ َ‫ع َﻓﺈ ِنْ ﺧِ ْﻔﺘ ُ ْﻢ أ ﱠَﻻ ﺗ َ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ﻓَﻮ‬ َ ّ‫ﻓَﺎ ْﻧ ِﻜﺤُﻮا ﻣَ ﺎ طَﺎبَ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻣِ ﻦَ اﻟ ِﻨ‬
‫َﻣﻠَﻜَﺖْ أ َ ْﯾﻤَﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ ذَﻟِﻚَ أ َ ْدﻧَﻰ أ ﱠَﻻ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا‬
Artinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”

Rasulullah bersabda:
ْ‫ﺷﻘﱠ ْﯿ ِﮫ ﺳَﺎﻗِﻄًﺎ أ َو‬
َ َ‫ﻋﻠَﻰ اْﻻُﺧْ ﺮَ ى ﺟَﺎ َء ﯾَﻮَ َم اْﻟ ِﻘﯿَﺎ َﻣ ِﺔ َﯾﺠُﺮﱡ أَ َﺣﺪ‬
َ ‫ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﮫُ اﻣْ ﺮَ أَﺗ َﺎنِ ﯾَﻤِ ْﯿ ُﻞ ِﻻَ َﺣ ِﺪ ِھﻤَﺎ‬
(‫ﻣَﺎﺋِﻼً )رواه أﺑﻮ داود‬
Artinya: “Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah satunya,
maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu pundaknya
(miring).” (HR. Abu Daud)

Yang dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan


seorang suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk
memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.
Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin (‫ﻲ‬
‫)اَ ْﻟ َﻤ ْﯿ ُﻞ اْﻟﻘَ ْﻠﺒِ ﱡ‬,
kecenderungan hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri
inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah bisa dipastikan
tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:

‫ﺻ ﺘ ُ ْﻢ ﻓ ََﻼ ﺗ َﻤِ ﯿﻠُﻮا ُﻛ ﱠﻞ ا ْﻟ َﻤ ْﯿ ِﻞ ﻓَﺘَﺬَرُ وھَﺎ ﻛَﺎ ْﻟ ُﻤﻌَﻠﱠﻘَ ِﺔ‬


ْ َ‫ﺴ ﺎءِ وَ ﻟَﻮْ ﺣَﺮ‬ َ ّ‫وَ ﻟَﻦْ ﺗ َ ْﺴ ﺘ َﻄِ ﯿﻌُﻮا أ َنْ ﺗ َ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ﺑَﯿْﻦَ اﻟ ِﻨ‬
‫ﻏﻔُﻮرً ا رَ ﺣِ ﯿﻤًﺎ‬
َ َ‫ﺼ ِﻠﺤُﻮا وَ ﺗَﺘﱠﻘُﻮا ﻓَﺈ ِنﱠ ﱠ َ ﻛَﺎن‬ ْ ُ ‫وَ إِنْ ﺗ‬
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa:129)

Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang
suami, maka tertutup hukum kebolehan bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun
sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam membagi
cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan
toleransi, namun tidak termaafkan untuk nafkah lahir.
Dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah adalah orang yang selalu berusaha
untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan
tersebut, Rasulullah mengundi di antara isteri-isterinya. Bagi yang keluar undiannya, maka
dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak
melukai perasaan dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.

Hikmah dari Poligami


Berpoligamim bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu yang
menjadi hak para isteri. Terlihat, banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnya
mereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karena
masalah darurat, tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual. Kalaupun mereka
mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada isteri-isterinya banyak
berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan
waktu bergilir.
Oleh karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat
kondisi darurat dan syarat beraku adil terdapat hikmah di dalamnya yang Menurut Rasyid
Ridh sedikitya terdapat empat hikmah. 1) Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan
isteri yang mandul. 2). Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski
ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya. 3).Untuk
menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara
Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex
(kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina yang mencapai jumlah cukup tinggi. 4).
Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka
yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat
peperangan misalnya.
Sedangkan hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena
dorongan hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung
hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas
Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah
sembilan dapat dijadikan sumber informasi bagi umat Islam yang hendak mengetahui
ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat,
terutama masalah rumah tangga.

2. Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus
menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist
kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani
al-Nadhir.

3. Untuk kepentingan sosial dan kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda
dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah
(suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar
(suaminya gugur pada perang badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang
Uhud).
Seandainya saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin
yang wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali
tidak dilakukan oleh Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15
tahun dibandingkan umur beliau. Demikian dengan isteri-isteri beliau yang lain, semuanya
dinikahi bukan karena tuntutan nafsu , tapi bermotif dakwah yang ternyata motif tersebut
dapat membantu keberhasilan tugas beliiau sebagai utusann Allah. Dengan demikian, pada
pernikahan Rasul terdapat hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial
kemasyarakatan. Argumentasi logis sepertitelah tersebut dapat meruntuhkan segala tuduhan
negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari satu.

3. Nikah Mut’ah
Semarak nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih
menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiranpun muncul dari
orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang terkesan
“main-main” ini. Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain karena terdapat legitimasi
dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan alasan untuk terhindar dari perzinahan
demi memenuhi tuntutan sex sesaat. Untuk dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang
banyak dilakukan oleh orang yang tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja
misalnya, bahkan tak luput pelakunya adalah pemuda dan mahasiswa, berikut ini akan
dijelaskan duduk masalahnya.
Kata mut’ah (ٌ‫) ُﻣﺘْﻌَﺔ‬, berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal
yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang
terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri dengan
bersenggama) dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai.
Firman Allah swt:

‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ﻀ ﺔً وَ َﻣ ِﺘ ّﻌُﻮھُﻦﱠ‬
َ ‫ﺿ ﻮا ﻟَﮭُﻦﱠ ﻓ َِﺮﯾ‬ ُ ‫ﺴ ﻮھُﻦﱠ أ َوْ ﺗَﻔ ِْﺮ‬
‫ﺴ ﺎ َء ﻣَﺎ ﻟَ ْﻢ ﺗ َ َﻤ ﱡ‬
َ ّ‫طﻠﱠ ْﻘﺘ ُ ُﻢ اﻟ ِﻨ‬
َ ْ‫ﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ إِن‬
َ ‫َﻻ ُﺟﻨَﺎ َح‬
(236) َ‫ﺴﻨِﯿﻦ‬ ِ ْ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻤُﺤ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘﺘ ِِﺮ ﻗَﺪَرُ هُ َﻣﺘ َﺎﻋًﺎ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤﻌْﺮُ وفِ ﺣَﻘﺎ‬ َ َ‫ا ْﻟﻤُﻮ ِﺳﻊِ ﻗَﺪَرُ و‬
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Yusuf Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu


seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan
dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular dengan
sebutan kawin kontrak.
Uraian di atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa
tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali kecenderungan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika sudah habis waktu kontrak
yang telah ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu. Dilihat dari penetapan
pembatasan waktu (ta’qit) tersebut, pernikahan semacam itu bertentangan dengan syariat
Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.
Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku
untuk semua orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat
mendesak.
Menurut Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada
zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia
Islam. Di mana pada zaman Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar
luas. Ketika Islam mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat
berat tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka. Di antara kaum yang ikut berijihad dengan
Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah
imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. sedangkan mereka yang kuat imannya
bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:

َ‫ﺼﻲَ؟ ﻓَﻨَﮭَﺎﻧَﺎ رَ ﺳُﻮْ ُل ﷲِ ﻋَﻦْ ذا َ ِﻟﻚ‬


ِ ْ‫ْﺲ َﻣﻌَﻨَﺎ ﻧِﺴَﺎ ٌء ﻓَﻘُ ْﻠﻨَﺎ أَﻻﱠ ﻧَ ْﺴﺘَﺨ‬
َ ‫ُﻛﻨﱠﺎ ﻧَﻐْﺰُ و َﻣ َﻊ رَ ﺳُﻮْ ِل ﷲِ وَ ﻟَﯿ‬
(‫ب اِﻟَﻰ أ َ َﺟ ٍﻞ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ‬ ِ ْ‫ﻧَ ْﻨ ِﻜ َﺢ اْﻟﻤَﺮْ أَة َ ﺑِﺎﻟﺜ ﱠﻮ‬ ْ‫ﱠﺺ ﻟَﻨَﺎ أ َن‬
َ ‫وَ رَ ﺧ‬
Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di samping
kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami mengebiri? Maka
Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami
untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR.
Bukhari Muslim)

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah
pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
a. Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika
yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.

b. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga
yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan,
cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan melalui perbesanan.
Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah
mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses pengharaman
khamar. Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian
Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya
ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu Makkah, maka Rosulullah mengizinkan
mereka untuk melakukan nikah mut’ah. Ia berkata: “Maka kaum tetap melakukan nikah
mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi yang lain,
terdapat Hadits yang berbunyi”

ِ‫ﱠﺎس وَ إِنﱠ ﷲَ َﻗ ْﺪﺣَﺮﱠ َم ذَﻟِﻚَ إِﻟَﻰ ﯾَﻮْ م‬ ِ ‫اﻻ ْﺳ ﺘِﻤْ ﺘَﺎعِ ﻣِ ﻦَ اﻟﻨ‬ ِ ْ ِ‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎاﻟﻨﱠﺎسُ إِﻧّﻰِ َﻗ ْﺪ ُﻛﻨْﺖُ أ َ ِذﻧْﺖُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻓﻰ‬
‫ﺷ ْﯿﺌ ً ﺎ )رواه‬ َ ‫ﺳ ﺒِ ْﯿﻠَ ﮫُ وَ َﻻﺗ َ ﺄ ْ ُﺧ ﺬ ُوْ اﻣِ ﱠﻤ ﺎآﺗ َ ْﯿﺘُﻤُﻮْ ھُﻦﱠ‬
َ ‫ﺊ ﻓَ ْﻠﯿُ َﺨ ِّﻞ‬
ٌ ‫ﺷ‬ َ ‫ا ْﻟ ِﻘﯿَ ﺎ َﻣ ِﺔ ﻓَﻤَﻦْ َﻛ ﺎنَ ِﻋ ْﻨ ﺪَهُ ﻣِ ْﻨﮭُﻦﱠ‬
(‫ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu melakukan nikah mut’ah
dengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih
terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan
kepada mereka (HR Muslim)
Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan hukum nikah
mut’ah itu telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh keharamnnya. Dengan demikian hukum
yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman
nikah mut’ah.
Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar
bin Khattab, dengan lantang beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi
pelakunya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa
ada pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan? Apakah
keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang diperbolehkan
ketika dalam keadaan darurat? Jawabannya adalah menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa
keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada pengecualian meski dalam kondisi darurat.
Pendapat ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas memutuskan
bahwa hukum nikah itu haram karena selain dadasari oleh dalil yang kuat, selain nikah ini juga
bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan.
Nikah Mut’ah Masa Kini
Seperti telah dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh
sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan itu
muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang banyak berfikir
pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu kesamaan manusia masa lampau
dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu seks. Ternyata dengan dalih yang sama,
di masa sekarang ini praktek nikah mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan
kembali seperti yang ditetapakan oleh kelompok syiah.
Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang membolehkan nikah mut’ah di
atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah
pernikahan yang sesungguhnya. Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada masa
sekarang ini dapat dikatakan bathil dan sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun
naqli:
1. Islam menetapkan pernikahan sebagai ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas
landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih
sayang dan ketentraman batin serta menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan
dalam nikah mut’ah (kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu
yang telah disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan
habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan dengan prinsip dan tujuan
nikah dalam Islam.

2. Menghalalkan kembali nikah mut’ah berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah
ditetapkan secara sempurna oleh Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada
zaman Nabi karena kondisi “transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada
zaman Jahiliyah merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ah
ketika itu sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ah
sekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang sempurna.

3. Alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu
dibuat-buat. Sebab alasan darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu
dalam keadaan berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk
bertemu. Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk
membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas fariq yang
tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

4. Dampak negatif yang diakibatkan dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab
akibat nikah mut’ah akan bermunculan perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya,
seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat dan akan muncul anak-anak
yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini akan menggangu pertumbuhan
psikologis anak.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah
yang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan
alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat
dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum nikah mut’ah ini
telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan
yang halalpun telah jelas”.
KEGIATAN BELAJAR 3: BANK, RENTE DAN FEE

Indikator Kompetensi
Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 3 ini diharapkan saudara dapat

1. Menjelaskan pengertian bank dan macam-macamnya


2. Membedakan bank Islam dan bank kovensional
3. Menjelaskan pengertian riba dan macam-macamnya
4. Menjelaskan hukum bunga bank
5. Membedakan bunga bank dengan riba nasiah
6. Menjelaskan dampak negatif dari riba dan hikmah diharamkannya

Pokok-Pokok Materi

1. Pengertian bank dan macam-macamnya


2. Perbedaan bank Islam dan bank kovensional
3. Pengertian riba dan macam-macamnya
4. Hukum bunga bank
5. Perbedaan bunga bank dengan riba nasiah
6. Dampak negatif dari riba dan hikmah keharamannya

Uraian Materi
Bank, Rente dan Fee

Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belajar 1 akan dibahas dua materi
pokok. Pada bagian pertama akan dibahas tentang fiqih ibadah yang meliputi pembahasan
tentang bank dan rente sedangkan pada bagian kedua akan dibahas tentang bank dan fee. Baca
dan perhatikan materi kegiatan 1 ini dengan baik agar tercapai tujuan secara optimal.

1. Bank dan Rente

Dalam Ensiklopedia Indonesia, bank atau perbankan adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran
uang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kredit dengan modal sendiri atau orang lain. Dari
pengertian ini maka bank memiliki dua arti penting, yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan
menciptakan uang. Yang dimaksud dengan bank non Islam (convensional bank) adalah
lembaga keuangan yang fungsi utamanya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan
kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi (penanaman modal) dan
usaha-usaha yang produktif dengan sistem bunga. Contohnya BNI , BRI. BCA dan sebagainya.
Sedangan yang dimaksud dengan bank Islam adalah suatau lembaga yang fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya
dengan sistem tanpa bunga. Contohnya Bank Muamalat.

Tujuan didirikannya bank Islam adalah untuk menghindari bunga uang yang
diberlakukan oleh bank convensional. Dari definsi di atas maka dapat dibedakan antara bank
convensional dengan bank Islam yaitu bank convensional memakai sistem bunga sedangkan
bank Islam tidak.

Sebagai pengganti sistem bunga, maka bank Islam menempuh cara-cara sebagai
berikut:

1. Wadiah yaitu titipan uang, barang dan surat-surat berharga).Dalam operasinya bank
Islam menghimpun dengan cara menerima deposito berupa uang benda dan surat
berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam. Bank
berhak menggunakan dana tersebut tanpa harus membayar imbalannya. Namun
bank harus menjamin bahwa dana itu dapat dikembalikan tepat pada waktu pemilik
deposito memerlukannya.

2. Mudharabah (kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksana). Dengan


mudharabah bank Islam dapat memberikan tambahan modal kepada pengusaha
untuk perusahaannya dengan perjanjian bagi hasil, baik untung ataupun rugi sesuai
dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.

3. Musyarakah/syirkah (persekutuan). Pihak bank dan penguasa sama-sama


mempunyai andil (saham) pada usaha patungan. Kedua belah pihak andil dalam
mengelola usaha patungan itu dan menaggung untung rugi bersama atas dasar
perjanjian profit and loss sharing.

4. Murabahah (jual beli barang dengan tambahan harga atas dasar harga pembelian
yang pertama secara jujur). Syarat murabahah antara lain bahwa fihak bank harus
memberikan informasi selengkapnya kepada pembeli tentang harga pembeliannya
dan keuntungan bersihnya dari cost plusnya.

5. Qard hasan (pinjaman yang baik). Bank Islam dapat memberikan pinjaman tanpa
bunga kepada para nasabah yang baik terutama para nasabah yang memiliki
deposito di bank Islam

6. Bank Islam boleh mengelola zakat di Negara yang pemerintahannya tidak


mengelola zakat secara langsung. Bank Islam juga dapat menggunakan sebagian
zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang hasilnya untuk
kepentingan agama dan umum. Bank Islam juga boleh menerima dan memungut
pembayaran untuk mengganti biaya yang langsung dikeluarkan oleh bank dalam
melaksanakan pekerjaannya untuk melayani kepentingan para nasabah misalnya
biaya materai, telepon dalam memberitahukan rekening dan lain-lain

7. Membayar gaji para karyawan bank yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan
nasabah, untuk sarana dan prasarana yang disediakan oleh bank dan biaya
administrasi pada umumnya.

Dilihat dari fungsinya, bank terbagi menjadi dua. Pertama, bank primer, yaitu bank
sirkulasi yang menciptakan uang. Kedua, bank skunder, yaitu bank yang tidak menciptakan
uang juga tidak memperbesar dan memperkecil arus uang, seperti bank-bank umum,
tabungan, pembiayaan usaha dan pembangunan.

Sedangkan rente dilihat dari segi bahasa berasal dari bahasa Belanda, yang berarti
bunga. Sedangkan menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Fuad. M. Fachruddin,
rente adalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan bank karena jasanya meminjamkan
uang untuk melancarkan perusahaan orang yang meminjam. Berkat bantuan bank, perusahaan
bertambah maju dan keuntungan yang diperolehnya juga bertambah banyak. Permasalahan
yang kemudian muncul adalah apakah rente atau bunga bank itu termasuk riba atau bukan?

Jenis Riba dan Hukumnya

Secara bahasa, kata riba berarti tambahan. Dalam istilah hukum Islam, riba berarti
tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk
membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada waktu
pengembalian uang pinjaman , riba semacam ini disebut dengan riba nasiah.
Menurut Satria Effendi, riba nasiah adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal
yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam
tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada si peminjam.
Riba nasiah ini terjadi dalam hutang piutang, oleh karena itu disebut juga dengan riba duyun
dan disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal
melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman
yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qath’i, sebab dasar
hukumnya disebut secara jelas dan pasti. Sejarah mencatat bahwa praktek riba nasiah ini
pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang telah terbiasa meminjamkan uang kepada Bani
Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih
banyak apabila mereka diberi tenggang waktu pembayaran. Sebagian tokoh sahabat Nabi,
seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, keduanya pernah mempraktekkannya
sehingga turun ayat yang mengharamkannya yang kemudian membuat heran orang musyrik,
karena mereka telah menganggap jual beli itu sama dengan riba. (Satria Effendi, 1988:147).
Ayat tersebut berbunyi:

‫ﺸ ْﯿﻄَﺎنُ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻤ َِﺲّ ذَﻟِﻚَ ﺑِﺄَﻧﱠ ُﮭ ْﻢ‬


‫ﻄﮫُ اﻟ ﱠ‬
ُ ‫اﻟﺮﺑَﺎ َﻻ ﯾَﻘُﻮﻣُﻮنَ إ ﱠِﻻ َﻛﻤَﺎ ﯾَﻘُﻮ ُم اﻟﱠ ِﺬي ﯾَﺘ َ َﺨﺒﱠ‬
ّ ِ َ‫اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَﺄ ْ ُﻛﻠُﻮن‬
‫اﻟﺮﺑَﺎ‬
ّ ِ ‫اﻟﺮﺑَﺎ وَ أ َ َﺣ ﱠﻞ ﱠ ُ ا ْﻟﺒَ ْﯿ َﻊ وَ ﺣَﺮﱠ َم‬
ّ ِ ‫ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﻤَﺎ ا ْﻟﺒَ ْﯿ ُﻊ ﻣِ ﺜْ ُﻞ‬

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. 2:275)

Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur. Pertama,
terdapat tambahan pembayaran atau modal yang dipinjamkan. Kedua, tambahan itu tanpa
resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam. Ketiga,
tambahan itu disyaratkan dalam bentuk pemberian piutang dan tenggang waktu. Bandingkan
dengan kasus lain, penambahan yang dilakukan oleh orang yang berhutang ketika membayar
dan tanpa ada syarat sebelumnya, hal itu dibolehkan, bahkan dianggap perbuatan ihsan (baik)
yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah (Quraish Shihab, 1988:136). Rasul pernah
berhutang kepada seseorang seekor hewan kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih
tua umurnya seraya bersabda:

(‫ﺴﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻗَﻀَﺎ ًء )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ‬


َ ْ‫ﻓَﺎِنﱠ ﻣِ ﻦْ َﺧﯿ ِْﺮ ُﻛ ْﻢ أ َﺣ‬
Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar
hutangnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Fuqaha membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tindakan terpuji.
Menurut mereka tambahan pembayaran hutang yang termasuk riba jika tambahan tersebut
disyaratkan pada waktu aqad. Artinya seseorang mau memberikan hutang dengan syarat ada
tambahan dalam pengembaliannya. Tindakan ini dinilai tercela karena ada kezaliman dan
pemerasan. Sedangkan tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu aqad. Tambahan
itu diberikan oleh orang yang berhutang ketika ia membayar yang sifatnya tidak mengikat
hanya sebagai tanda rasa terima kasih kepada orang yang telah memberikan hutang kepadanya.
Selain riba nasiah seperti telah dijelaskan, dalam kajian fiqh dikenal juga riba dalam
bentuk lain yang disebut dengan riba fadhal. Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhal ialah riba
yang kedudukannya sebagai penunjang keharaman riba nasiah. Dengan kata lain bahwa riba
fadhal diharamkan supaya seseorang tidak melakukan riba nasiah yang sudah jelas
keharamannya. Maka Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, korma dengan korma, kecuali dengan sama banyak dan secara tunai.
Barang siapa yang menambah atau minta tambah, masuklah ia pada riba. Yang mengambil
dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari). Dari pengertian tersebut, fuqaha
menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara
benda-benda sejenis, seperti emas dengan emas, perak dengan perak dan sebagainya.
Tentang keharaman riba, sikap semua agama samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani)
secara tegas mengharamkan riba karena dianggap sebuah praktek yang dapat merusak moral.
Di dalam kitab perjanjian lama ayat 25 pasal 22 kitab keluaran sebagaimana dikutip oleh
Sayyid Sabiq “jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah
kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan
hartamu”. Hal senada dikemukakan pada ayat 35 pasal 25 kitab imamat, “jika saudaramu
membutuhkan sesuatu maka tanggunglah, jangan kamu meminta darinya keuntungan dan
manfaat”. Paus Pius berkata “sesungguhya pemakan riba akan kehilangan harga
diri/kemuliaan dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikapankan setelah
mereka mati”. Sedangkan dalam Islam, keharaman riba ditetapkan oleh al-Qur’an secara
kronologis di berbagai tempat. Pada priode Mekkah turun firman Allah swt surat al-Ruum ayat
39.

   


   
     
   
   
 

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS.: 30/39)

Pada priode Madinah turun ayat yang secara jelas dan tegas tentang keharaman riba,
terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130

   


  
   
  

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS:
3/130)

Ayat terakhir yang memperkuat keharaman riba terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
278-279:

  


    
   
    
   
    
    
 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.( Baqarah/2: 278-279)

Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang
yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak
memperbolehkan pengembalian hutang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada
tambahan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah
perbuatan haram dan termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan. Dalam
hadits yang lain, keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya saja tapi juga kepada semua
pihak yang ikut membantu terlaksananya perbuatan riba tersebut, hal ini diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

(‫ )رواه اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬.‫ وﻛﺎﺗﺒﮫ‬،‫ وﺷﺎھﺪﯾﮫ‬،‫ وﻣﺆﻛﻠﮫ‬،‫ﻟﻌﻦ ﷲ ﷲ آﻛﻞ اﻟﺮﺑﺎ‬

Artrinya: Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan makannya, saksi-saksinya
dan penulisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hikmah Keharaman Riba

Berdasar kepada keharaman riba sebagaimana telah dijelaskan di atas, Yususf Qardawi dan
Sayyid Sabiq memberikan komentar yang senada tentang bahaya riba dalam konteks
kehidupan personal dan sosial. Menurut Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-halal wa al-haram
menyatakan bahwa dalam praktek riba terdapat kezaliman. Dalam bentuk pengambilan harta
orang lain tanpa hak. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dengan keharusa orang yang berhutang
untuk mengembalikan sejumlah tambahan dari jumlah hutang yang harus dibayarkan. Selain
itu, menurut Qardhawi bahwa dalam praktek riba terkandung potensi secara psikologis yang
dapat melemahkan kreatifitas manusia untuk bekerja, sehingga manusia melalaikan
perdagangannya dan aktifitas ekonomi lainnya yang mampu memutus kreatifitas hidupnya.
Dampak negatif ini muncul sangatlah beralasan dikarenakan uang yang mengalir ke dalam
sakunya diperoleh secara mudah tanpa mengeluarkan keringat sehingga hidupnya bergantung
kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha, sehingga muncul mental-mental manusia yang
konsumtif dan tidak produktif. Lanjut Qardhawi menjelaskan, aspek lain yang tidak kalah
pentingnya dari dua dampak terdahulu adalah bahwa dalam praktek riba berpotensi besar untuk
menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam hutang piutang. Transaksi hutang piutang
yang pada mulanya mengandung kebaikan karena di dalamnya terdapat unsur tolong
menolong dalam kehupuan sosial, akibat virus riba maka hutang piutang akhirnya berubah
menjadi sebuah praktek pemerasan terselubung yang akan mendorong pelakunya bermental
lintah darat yang memanfaatkan kebaikan hutang piutang. Selain itu, dilihat secara moral,
tegas Qardhawi riba sangat tidak memiliki nilai kemanusiaan karena di dalamnya terdapat
eksploitasi terhadap kaum lemah, hal ini menurut beliau karena yang menjadi kebiasaan adalah
orang yang memberi hutang adalah orang kaya dan orang yang berhutang adalah orang miskin.
Mengambil kelebihan hutang dari orang yang miskin sangatlah tidak wajar dan bertentangan
dengan sifat rahmah Allah swt., hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial. (Qardhawi,
1994: 242-243)

Hampir senada dengan Qardhawi, Sayyid Sabiq juga menguraikan dampak negatif yang
diakibatkan oleh riba. Namun terdapat point penting lain yang dapat diungkap dari Sabiq yaitu
bahwa dalam praktek riba akan dapat menimbulkan potensi permusuhan. Hal ini muncul
dimungkinkan karena dalam praktek riba menapikan unsur tolong menolong yang dapat
memperkuat tali persahabatan dan persaudaraan. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai
kebaikan yang dianjurkan oleh semua agama terutama Islam yang menyeru agar ummatnya
dapat hidup selalu saling tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan
kepentingan pribadi dan mengeksploitasi kerja orang lain.

Lanjut Sabiq mengatakan bahwa praktek riba berpotensi untuk melahirkan mental hidup
mewah (pemboros), pemalas yang tidak mau bekerja dan menimbulkan penimbunan harta
tanpa usaha yang tak ubahnya seperti benalu (pohon parasit) yang nempel di pohon lain.
Sederet dampak yang tersebut terakhir ini merupakan bentuk mental yang bertentangan dengan
semangat ajaran Islam. Pemborosan merupakan sifat yang seharusnya dijauhi oleh ummatnya
karena pemboros dalam hidupnya hanya menyia-nyiakan harta dengan perbuatan yang tidak
bermanfaat yang diklaim sebagai perbuatan syetan. Demikian halnya dengan sikap berpangku
tangan juga merupakan sifat yang tidak islami, karena ajaran Islam menganjurkan ummatnya
berusaha sekuat tenaga untuk mencari harta dengan jalan yang benar, menghargai kerja keras
dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata
pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan kemandirian serta mengangkat semangat
hidup seseorang.

Butir lain yang tidak kalah pentingnya dengan butit-butir terdahulu yang diungkap Sabiq
adalah bahwa praktek riba merupakan salah satu cara penjajahan. Hal ini dapat dipahami
karena sesungguhnya praktek riba adalah produk jahiliyah yang berkembang sampai sekarang
menjadi sebuah kekuatan ekonomi global yang berbasis kapitalis yang jauh dari nilai tolong
nenolong. Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang mengajak
manusia agar dapat memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik semata untuk
mendapat pahala bukan mengekploitasi orang lemah. Hal ini diperkuat firman Allah swt.:

ِ‫اﻹﺛْﻢِ وَ ا ْﻟﻌُﺪْوَ ان‬


ِ ْ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟﺒ ِ ِّﺮ وَ اﻟﺘﱠﻘْﻮَ ى وَ َﻻ ﺗَﻌَﺎوَ ﻧُﻮا‬
َ ‫وَ ﺗَﻌَﺎوَ ﻧُﻮا‬
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 2)

Memperhatikan praktek riba dan segala konsekuensi yang diakibatkan darinya


sebagaimana dijelaskan di atas maka penulis dapat berkesimpulan bahwa akibat yang
ditimbulkan oleh praktek riba dapat merusak tatanan kehidupan seseorang baik secara personal
maupun sosial yang diistilahkan dalam agama jauh dari keberkahan hidup. Jika praktek riba
dibiarkan tanpa usaha untuk mengembalikan kepada sistem perekonomian Islam yang terbebas
dari sistem riba maka sistem kapitalis di mana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadap
kaum lemah akan tetap merajai sistem perekonomian dan di saat itu pula terjadi kegersangan
yang dahsyat bagi kehidupan manusia modern. Di sisi lain akan semakin kuatlah adigium yang
menyatakan bahwa orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tertindas.

Ikhtilaf Hukum Bunga Bank

Sebelum menampilkan perbedaan pendapat tentang hukum bunga bank, nampaknya


perlu dikedepankan terlebih dahulu tentang sistem bunga bank itu sendiri. Dalam sistem bunga
bank konvensional yang berlaku mengharuskan mereka yang menitipkan uang untuk jangka
waktu tertentu, mendapat pengembalian uang titipan itu dari bank ditambah dengan bunga yang
jumlahnya telah ditentukan pada hari penitipan uang. Sebaliknya kepada mereka yang
meminjam uang dari bank untuk jangka waktu tertentu oleh bank juga diharuskan untuk
mengembalikan uang yang dipinjam. Selain itu, iapun harus memberikan uang tambahan yang
jumlahnya telah disepakati pada waktu pengembalian pinjaman. Uang tambahan itu disebut
dengan bunga.

Terhadap konsep bunga bank seperti tersebut terdapat perbedaan sikap para ulama
dalam menghukuminya. Menurut penelitian penulis sedikitnya terdapat empat kelompok ulama
tentang hukum bunga bank. Pertama kelompok muharrimun (kelompok yang menghukuminya
haram secara mutlak). Kedua kelompok yang mengharamkan jika bersifat konsumtif. Ketiga,
muhallilun (kelompok yang menghalalkan) dan keempat, kelompok yang menganggapnya
syubhat. Berikut ini akan diuraikan empat kelompok ulama seperti dimaksud:

1. Yang termasuk kedalam kelompok pertama ini antara lain Abu Zahra, Abu A’la al-
Maududi, M. Abdullah al-Araby dan Yusuf Qardhawi, Sayyid Sabiq, Jaad al-Haqq Ali Jadd
al-Haqq dan Fuad Muhammad Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu riba
nasiah yang mutlak keharamannya oleh karena itu, umat Islam tidak boleh berhubungan
dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat. Terkait dengan
kondisi yang tersebut terakhir ini, Yusuf Qardhawi berbeda dengan yang lainnya,
menurutnya tidak dikenal istilah darurat dalam keharaman bunga bank, keharamannya
bersifat mutlak.

2. Yang termasuk ke dalam kelompok yang kedua ini antara lain Mustafa A. Zarqa. Beliau
berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah yang bersifat konsumtif seperti yang
berlaku pada zaman jahiliyah sebagai bentuk pemerasan kepada kaum lemah yang
konsumtif berbeda yang bersifat produktif tidaklah termasuk haram. Hal senada juga
dikemukakan oleh M. Hatta. Tokoh yang tersebut terakhir ini membedakan antara riba
dengan rente. Menurutnya riba itu sifatnya konsumtif dan memeras si peminjam yang
membutuhkan pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan rente
sifatnya produktif, yaitu dana yang dipinjamkan kepada peminjam digunakan untuk modal
usaha yang menghasilkan keuntungan.

3. Yang termasuk kepada kelompok ketiga antara lain A. Hasan (persis). Beliau berpendapat
bahwa bunga bank (rente) seperti yang belaku di Indonesia bukan termasuk riba yang
diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud dalam ayat:

َ‫ﺿﻌَﺎﻓًﺎ ُﻣﻀَﺎ َﻋﻔَﺔً وَ اﺗﱠﻘُﻮا ﱠ َ ﻟَﻌَﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗ ُ ْﻔ ِﻠﺤُﻮن‬


ْ َ‫اﻟﺮﺑَﺎ أ‬
ّ ِ ‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا َﻻ ﺗَﺄ ْ ُﻛﻠُﻮا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

4. Yang termasuk ke dalam kelompok keempat adalah Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam
muktamar di Siduarjo 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank kepada
para nasabahnya atau sebaliknya termasuk perkara syubhat (belum jelas keharamannya).
Karena yang diharamkan, menurut Muhammadiyah riba yang mengarah kepada pemerasan
sejalan dengan QS. 2:279.

    


    
    
   

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)

Muhammadiyah masih ragu apakah ada unsur pemerasan dalam operasional bank. Oleh
karena itu Muhammadiyah menganggapnya syubhat tapi Muhammadiyah membolehkannya
jika dalam keadaan terpaksa saja

Masing-masing klaim tentang hukum bunga bank yang dikemukakan oleh para ulama
seperti terlihat jelas pada uraian di atas berakar dari perbedaan penafsiran melalui ijitihad
mereka terhadap nash yang berbicara tentang riba sehingga masing-masing kelompok memiliki
argumentasi yang diyakininya benar. Terlepas dari perdebatan tersebut, melihat realitas yang
ada bagi umat Islam termasuk di Indonesia sudah menjadi terbiasa hidup dengan bunga bank
tanpa ada perasaan risih dan anggapan bahwa bunga bank itu sesuatu yang terpaaksa atau
darurat.

Di sisi lain sebagian masyarkat juga ada terjebak dalam praktek pinjam meminjam uang
dengan suku bunga tinggi seperti yang dilakukan oleh para rentenir. Berbeda dengan bunga
bank, sistem rentenir yang sering disebut “lintah darat” itu sering menimbulkan kegelisahan
di masyarakat sebab . Kondisi ini muncul dikarenakan beban yang ditanggung oleh pihak
nasabah terlalu berat, sementara di sisi lain muncul sekelompok orang yang hidup mewah dari
hasil rentrenir yang memeras pihak peminjam. Jika demikian halnya, maka tidaklah diragukan
bahwa sisten renten seperti itu termasuk perbuatan terkutuk dan haram hukumnya karena di
dalamnya terdapat unsur penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang
membutuhkan dan praktek ini telah dipraktekkan sejak zaman jahikliyah. Jadi keharaman
rentenir jelas karena termausk kategori riba riba yang diharamkan di dalamnya terdapat
kelebihan yang merugikan pihak peminjam, sehingga pihak peminjam merasa teraniaya dan
tertindas jika kelebihan dalam batas kewajaran dan itu tidak merugikan salah satu pihak, maka
tidak dinamakan riba yang diharamkan. Dalil yang dijadikan dalil tentang keharaman riba
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 275:

‫اﻟﺮﺑَﺎ‬
ّ ِ ‫وَ أ َ َﺣ ﱠﻞ ﱠ ُ ا ْﻟﺒَ ْﯿ َﻊ وَ ﺣَﺮﱠ َم‬
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-
Baqarah: 2/275)
Kemudian permasalahannya penting yang perlu jawaban adalah pertanyaan, apakah
bunga bank di dalamnya mengandung unsur penganiayaan/penindasan atau tidak?
Bank merupakan lembaga penting dan sistem bunganya merupakan satu mekanisme
bank untuk mengelola peredaran modal masyarakat. Dengan fungsi ini, masyarakat dapat
menitipkan modalnya kepada bank dan di sisi lain pihak bankpun dapat meminjamkan dana itu
kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Masyarakat yang meminjam uang ke
bank pada umumnya digunakan sebagai modal usaha bukan untuk kebutuhan konsumtif dan
dari usaha itu akan diperoleh keuntungan. Di sisi lain, pemilik modal yang menitipkan uangnya
kepada bank untuk jangka waktu tertentu, ia akan kehilangan haknya untuk menggunakan daya
beli dari modalnya dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya pihak yang meminjam dana
tersebut melalui bank yang tidak lain berasal dari modal titipan tadi dapat memanfaatkan
pinjaman sebagai modal sehingga menghasilkan keuntungan. Berdasarkan prinsip bahwa tidak
terdapat pihak yang dirugikan, maka tidaklah adil kalau pemilik asli modal yang kehilangan
hak untuk mempergunakan daya beli modalnya untuk jangka waktu tertentu itu tidak mendapat
imbalan. Sementara itu, peminjam dana yang menggunakannya untuk modal usaha dan
memperoleh keuntungan tidak membagi keuntungannya kepada pemilik modal pertama.

Salah satu keberatan yang muncul terhadap sistem bunga bank adalah ketentuan jumlah
atau presentase bunga yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengatasi persoalan ini
ditawarkan alternastif sistem bagi hasil yang berarti nanti diperhitungkan untung dan rugi
perusahaan, kemudian dibagi antara pemilik asli dan pengguna modal, baik keuntungannya
maupun kerugiannya. Tapi pengelolaan sistem bagi hasil sebagaimana dijelaskan di muka
yang sekarang dipraktekkan oleh bank Islam menghadapi permasalahan yang sangkat
kompleks dan rumit serta tidak efesien.

Hal yang mungkin terjadi bahwa si peminjam dana dalam mengelolaannya terjadi
kegagalan atau kerugian. Tapi pada umumnya masyarakat menerima dengan baik dan merasa
diuntungkan oleh sistem bunga bank. Penetapan besarnya presentasi bunga yang akan diterima
memberikan perasaan pasti pada para pemilik modal. Tidak adanya kepastian prosentase bunga
seperti yang tedapat dalam bank Islam merupakan salah satu penyebab mengapa bank itu sukar
menarik modal. Apa yang dipraktekkan oleh bank Islam itu sungguh sangat mulia, karena Islam
mengajarkan kepada orang yang memiliki rezeki yang lebih agar membantu meminjaminya
kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengaharap keuntungan. Tapi himbauan ini
menjadi tidak relevan kalau modal yang dipindah-tangankan untuk sementara itu meliputi
jumlah besar dan untuk modal usaha bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif keluarga.
Kembali tentang hukum bunga bank, mantan syekh dan seorang mufti Sayyid Thantawi
berbeda dengan pendahulunya Syekh Jad al-Haq. Thantawi menyatakan bahwa bunga deposito
berjangka di bank yang ditetapkan besar presentasenya terlebih dahulu itu tidak haram menurut
Islam. Fatwa ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam Tafsit al-Manar,
“Tidak termasuk riba seseorang yang memberikan kepada orang lain uang untuk
diinfestasikan sambil menentukan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena
transaksi semacam ini menguntungkan bagi pemilik dan pengelola modal. Sedangkan riba
yang diharamkan itu merugikan salah satu pihak tanpa alasan serta menguntungkan pihak
lain tanpa usaha.”

Diriwayatkan dalam sebuah Hadits, bahwa Jabir pernah memberikan hutang kepada
Nabi. Ketika Jabir mendatanginya, Nabi membayar hutangnya dan melebihkannya. Beliau
bersabda:

‫ﺴﻨُ ُﻜ ْﻢ ﻗَﻀَﺎ ًء‬


َ ْ‫إِنﱠ َﺧﯿْﺮَ ُﻛ ْﻢ أَﺣ‬
Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam membayar hutang.”
B. Bank dan Fee

Fee artinya pungutan dana yang dibebankan kepada nasabah bank untuk kepentingan
administrasi, seperti keperluan kertas, biaya operasional, dan lain-lain. Pungutan itu pada
hakikatnya bisa dikategorikan bunga, tapi apakah keberadaannya bisa dipersamakan dengan
hukum bunga bank. Untuk menjawab masalah ini dapat dikembalikan kepada pendapat
ulama tentang hukum bunga bank itu sendiri. Bagi kelompok ulama yang mengharamkan
bunga bank, maka merekapun mengharamkan fee, karena berarti itu kelebihan, yaitu dengan
mengambil manfaat dari sebuah transakasi utang piutang. Tegasnya, mereka menganggap
fee adalah riba, meskipun fee itu digunakan untuk dana operasonal. Sedangkan ulama yang
menghalalkan bunga bank dengan alasan keadaan bank itu darurat atau alasan lainnya,
merekapun mengatakan bahwa fee bukan termasuk riba, oleh karena itu hukumnya boleh
selain alasan bahwa tanpa fee, maka bank tidak bisa beroperasi maka keberadaan sesuatu
sebagai alat sama hukumnya dengan keberadaan asal. Dalam hal ini, hukum fee sama
dengan bunga bank, yaitu boleh.
Kegiatan Belajar 4
KONSEP PEMERINTAHAN DALAM ISLAM

Indikator Kompetensi
Setelah membaca dan memhami materi kegiatan belajar 4 ini diharapkan sudara
dapat:

1. Menjelaskan pengertian pemerintahan dalam Islam

2. Menjelaskan tentang makna khilafah

3. Menjelaskan hukum pembentukan khilfah

4. Menjelaskan cara pengangkatan khilafah

5. Menjelaskan tentang hak dan kewajiban rakyat

6. Menjelaskan tentang majlis syura dan ahlul halli wa al-aqdi

Pokok-pokok Materi

1. Pengertian siyasah dalam Islam


2. Makna khilafah
3. Hukum pembentukan khilfah
4. Cara pengangkatan khilafah
5. Hak dan kewajiban rakyat
6. Majlis syura dan ahlul halli wa al-aqd

Uraian Materi
4. Pemerintahan dalam Islam

A. Sistem Khilafah
Menurut bahasa kata khilafah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan
dan kepemimpinan. Sedangkan secara istilah, khilafah berarti sistem pemerintahan yang
diatur sesuai dengan ajaran Islam. Dalam sejarah kata khilafah digunakan untuk sebutan
bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu seperti khilafah Abu Bakar, khilafah Umar
dan sebagainya.
Definisi di atas menunjukkan hubungan timbal balik antara agama dan negara yakni
keduanya saling memerlukan. Meskipun antara memlihara agama dan mengatur negara
kelihatannya berbeda namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Politik membutuhkan
agama begitu sebaliknya agama membutuhkan politik, itulah khilafah dalam Islam. Imam
al-Ghazaly pernah berkata agama adalah pondasi sedangkan pemerintahan adalah
tiangnya.. Tiang akan runtuh jika tidak ada pondasi.Setiap sistem pemerintahan dapat
dipastikan mempunyai tujuan yang akan dicapainya tak terkecuali pemerintahan dalam
bentuk khilafah. Menurut Abu A’la al-Maududi, terdapat tiga tujuan utama pemerintahan
dalam Islam. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan. Kedua,
menegakkan sistem yang Islami melalui cara yang dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah
berkuasa untuk menyebarkan kebaikan serta memerintahkannya (amar ma’ruf) sejalan
dengan misi utama kedatangan Islam ke dunia. Ketiga, menumpas akar-akar kejahatan
dan kemungkaran yang merupakan perkara yang paling dibenci oleh Allah swt.
Terkait dengan istilah khilafah dengan Khalifah, banyak orang yang belum paham
untuk membedakan kedua macam istilah tersebut.untuk istilah khalifah ebagaimana
telah disebut di atas bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang sah menurut ajaran
Islam. Konsekuansi adanya khilafah mengharuskan adanya seorang yang menjadi
pemimpin khilafah. Orang yang memimpin khilafah dinamakan khalifah. Khilafah dan
khalifah merupakan rukun terpenting adanya sebuah pemerintahan dalam Islam. Dari
pengertian di atas kita dapat membedakan antara khilafah dengan khalifah. Khilafah
adalah sistem pemerintahannya sedangkan khalifah adalah pemimpinnya.
Dalam Islam seseorang layak menjadi khalifah jika memenuhi syarat-syarat, yaitu:
adil, berilmu, sanggup berijtihad, sehat mental dan fisiknya serta berani dan tegas.

Pembentukan Khilafah
Dalam ajaran Islam, mendirikan sebuah khilafah (pemerintahan) agar hukum-
hukum Allah dapat dilaksanakan merupakan sebuah tuntutan . Oleh karena itu sepakat
kata ulama bahwa hukum mendirikan pemerintahan yang di dalamnya syariat Islam dapat
dilaksanakan dengan baik hukumnya menjadi sebuah kewajiban kolektif. Hal ini didasari
oleh alasan yang bersifat aqli dan naqli. Secara aqli (akal sehat) keharusan mendirikan
khilafah disebabkan karena tidak mungkin untuk melaksanakan hak dan kewajiban
seperti membela agama, menjaga kemanan dan sebagainya tanpa adanya khilafah
(pemerintahan). Secara naqli, banyak ayat al-Qur’an dan hadits rasulullah yang
menegaskan bahwa ummat Islam harus menjadi khalifah yang berjuang menegakkan
kebenaran dan keadilan. Ha ini diantaranya dapat dilihat dalam QS. Al-Nur ayat 55

‫ض َﻛﻤَﺎ‬ ِ ْ‫ت ﻟَﯿَ ْﺴﺘ َﺨْ ِﻠﻔَﻨﱠ ُﮭ ْﻢ ﻓِﻲ ْاﻷ َر‬ ِ ‫وَ َﻋﺪَ ﱠ ُ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا ﻣِ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَ ﻋَﻤِ ﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎ ِﻟﺤَﺎ‬
‫ا ْﺳﺘ َﺨْ ﻠَﻒَ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻣِ ﻦْ ﻗَ ْﺒ ِﻠ ِﮭ ْﻢ وَ ﻟَﯿُ َﻤ ِ ّﻜﻨَﻦﱠ ﻟَ ُﮭ ْﻢ دِﯾﻨَ ُﮭ ُﻢ اﻟﱠﺬِي ارْ ﺗَﻀَﻰ ﻟَ ُﮭ ْﻢ وَ ﻟَﯿُﺒَ ِﺪّﻟَﻨﱠ ُﮭ ْﻢ ﻣِ ﻦْ ﺑَ ْﻌ ِﺪ‬
‫ﺧَﻮْ ﻓِ ِﮭ ْﻢ أ َﻣْ ﻨًﺎ‬
Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (al-Nur/24: 55)

Dasar-Dasar Khilafah
Sebuah pemerintahan dalam Islam harus dilandasi oleh hukum al-Qur’an dan
sunnah. Dalam sejarah,, pemerintahan dalam Islam diselenggarakan berdasarkan kepada
hukum-hukum Allah seperti yang terjadi pada pemerintahan rasulullah dan khulafa al-
Rasyidin Dasar-dasar tersebut meliputi:
1. Sifat jujur, ikhlas serta tanggung jawab. Semuanya harus dimiliki oleh khalifah
dalam melaksankan tugas kekhalifahan untuk rakyatnya dengan tidak
membedakan mereka baik dari keturunan, warna kulit dan sebagainya.

2. Keadilan yang bersifat menyeluruh kepada rakyat


3. Tauhid (mengesakan Allah) yang mengandung arti taat kepada Allah, rasul-Nya
dan pemumpin sebagai kewajiban bagi setiap orang beriman.

4. Adanya kedaulatan rakyat. Hal ini dapat difahami dari adanya perintah Allah
agar orang yang beriman taat kepada ulil amri (pemimpin). Sebagaimana
tercantum dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 58 yang artinya “Wahai orang-
orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, taatlah kepada rasul dan
pemimpin diantara kamu”

Orang yang sudah memenuhi kriteria seperti tersebut di atas maka ia layak untuk
diangkat sebagai khalifah. Pangkat tersebuat merupakan bagi orang yang dipercaya
untuk memimpin negara. Proses pengangkatannya melalui seleksi yang sangat ketat..
Secara logika kedudukan seorang khalifah dalam sistem khilafah adalah wajib.
Karena jika tidak ada khalifah maka pemerintahan tidak akan berjalan. Maka sepakat
para ulama bahwa pengangkatan khalifah hukumnya wajib kifayah. Khalifah dapat
diangkat oleh wakil rakyat yang dipercaya yang disebut dengan ahlul hal wa al aqdi.
Persoalan yang perlu diketahui selanjutnya adalah bagaimana cara pengangkatan
khalifah dalam Islam?. Jika kita perhatikan ayat al-Qur’an dan hadits tidak ada
ketentuan atau cara untuk memilih khalifah. Namun al-Qur’an menekankan azas
musayawarah dalam mengambil keputusan penting. Termasuk keputusan penting
adalah mengangkat khalifah. Oleh karena itu untuk mengetahui cara pengangkatan
khalifah dapat kita lihat dalam perjalanan sejarah Islam.
1. Pengangkatan khalifah melalui pemilihan oleh para tokoh ummat. Seperti
pengangkatan Abu Bakar Shiddiq sebagai khalifah pertama yang diadakan di
Tsaqifah Bani Saidah.

2. Pengangkatan berdasarkan usulan (wasiat) oleh khalifah sebelumnya seperti


pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah . Umar terpilih berdasarkan
usulan Abu Bakar (khalifah pendahulunya) yang kemudian disetujui oleh para
sahabat lainnya.

Nampaknya dua cara pemilihan khulafa al-Rasyidin di atas lebih bersifat


demokrasi.
3. Pengangkatan khalifah melalui pemilihan yang langsung dilakukan oleh rakyat.
Seperti pangangkatan khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah.

4. Pengangkatan khalifah berdasarkan persetujuan secara bulat oleh rakyat karena


calon khalifah dinilai memiliki jasa yang sangat besar seperti pengangkatan sultan
Salim di Mesir.

5. Pengangkatan khalifah berdasarkan keturunan. Bentuk ini dilakukan dalam sistem


kerajaan yang pernah dipraktekkan oleh dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiah
dan kerajaan Saudi sekarang ini.

Dari praktek pengangkatan khalifah sebagaimana tersebut di atas maka sedikitnya


terdapat tiga cara pengangkatan khalifah dalam Islam. Pertama pemilihan langsung
yaitu rakyat langsung memilih khalifah yang mereka inginkan. Kedua pemilihan tidak
langsung yaitu berbentuk perwakilan rakyat dan ketiga adalah pengangkatan khalifah
berdasarkan keturunan.

Baiat Khalifah
Kata baiat berasal dari kata ba’a (‫ ) ﺑﺎع‬yang berarti menjual. Dalam khilafah, baiat
mengandung janji setia antara rakyat dengan khalifah Hal ini sejalan dengan pengertian
yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun bahwa baiat adalah perjanjian atas dasar kesetiaan.
Orang yang berbaiat harus menerima seseorang yang terpilih menjadi kepala negara
sebagai pemimpinnya untuk melaksanakan semua urusan orang Islam. Dalam baiat,
rakyat berjanji setia untuk mentaati khalifah selama khalifah itu tidak melakukan sesuatu
yang melanggar hukum Allah. Demikian juga khalifah, melaksanakan hak dan
kewajibannya yaitu melaksanakan undang-undang demi mewujudkan keadilan sesuai
dengan undang-undang Allah dan Rasul-Nya.

Hak dan Kewajiban Rakyat

Dalam sistem khilafah, rakyat sebagai kumpulan manusia yang dipimpin memiliki
hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan secara adil. Apa hak dan kewajiban rakyat
setelah melakukan janji setia (baiat)?. Berikut ini adalah hak-hak rakyat di satu sisi. Tapi
disi lain merupakan kewajiban pemerintah
1. Hak keselamatan jiwa dan harta. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk
melindungi keamanan hidup rakyatnya dan harta benda yang mereka miliki
sehingga mereka bisa hidup dengan tenang. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt.
dalam surat al-Isra ayat 33

‫َﻖ‬
ِ ّ ‫وَ َﻻ ﺗَ ْﻘﺘُﻠُﻮا اﻟﻨﱠﻔْﺲَ اﻟﱠﺘِﻲ ﺣَﺮﱠ َم ﱠ ُ إ ﱠِﻻ ﺑِﺎ ْﻟﺤ‬

Artinya: Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membununya
kecuali denagn alasan yang dibenarkan (QS. 17:33)

Ayat yang berkaitan dengan dengan keselamatan hak milik. Allah berfirman

‫وَ َﻻ ﺗَﺄ ْ ُﻛﻠُﻮا أَﻣْﻮَ اﻟَ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﯿ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎطِ ِﻞ‬

Artinya: Janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara yang batil (QS. 2:188)

2. Hak untuk memperoleh keadilan hukum dan pemerataan. Dalam hal ini
pemerintah wajib menegakkan keadilan dan pemerataan untuk rakyatnya. Hal ini
ditegaskan oleh al-Qur’an:

‫ﱠﺎس أَنْ ﺗَﺤْ ُﻜﻤُﻮا ﺑِﺎ ْﻟﻌَﺪْ ِل‬


ِ ‫وَ إِذَا َﺣ َﻜ ْﻤﺘ ُ ْﻢ ﺑَﯿْﻦَ اﻟﻨ‬
Artinya: Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia agar
menetapkannya dengan adil (QS. 4:58)

3. Hak untuk menolak kezaliman dan kesewenang-wenangan. Dalam hal ini


pemerintah wajib melindungi rakyatnya dari prilaku zalim dan kesewenang-
wenangan. Hal ini ditegaskan oleh Allah

‫ظ ِﻠ َﻢ‬
ُ ْ‫َﻻ ﯾُﺤِ ﺐﱡ ﱠ ُ ا ْﻟ َﺠﮭْﺮَ ﺑِﺎﻟﺴﱡﻮءِ ﻣِ ﻦَ ا ْﻟﻘَﻮْ ِل إ ﱠِﻻ ﻣَﻦ‬

Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. (QS.Al-Nisa/ 4:148)
4. Hak berkumpul dan menyatakan pendapat. Firman Allah swt.

‫وَ َﻻ ﺗَﻜُﻮﻧُﻮا ﻛَﺎﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﺗَﻔَﺮﱠ ﻗُﻮا وَ اﺧْ ﺘَﻠَﻔُﻮا ﻣِ ﻦْ ﺑَ ْﻌ ِﺪ ﻣَﺎ ﺟَﺎ َء ُھ ُﻢ ا ْﻟﺒَﯿِّﻨَﺎتُ وَ أ ُوﻟَﺌِﻚَ ﻟَ ُﮭ ْﻢ َﻋﺬَابٌ ﻋَﻈِ ﯿ ٌﻢ‬
Artinya: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS. Ali Imran/3:105)

5. Hak untuk bebas beragama. Pemerintah wajib untuk menjamin kebebasan


beragama rakyatnya. Firman Allah swt:

ِ‫َﻻ إِﻛْﺮَ اهَ ﻓِﻲ اﻟﺪِّﯾﻦ‬

Artinya: Tidak ada paksaan dalam bergama (Qs. 2/256)

6. Hak mendapatkan bantuan materi bagi rakyat yang lemah. Dalam hal ini
pemerintah berkewajiban untuk mebantu rakyat yang lemah. Hal ini didasari oleh
firman Allah swt:

ِ‫وَ ﻓِﻲ أَﻣْﻮَ ا ِﻟ ِﮭ ْﻢ ﺣَﻖﱞ ﻟِﻠﺴﱠﺎﺋِ ِﻞ وَ ا ْﻟﻤَﺤْ ﺮُ وم‬

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Qs. 51:19)

Kewajiban Rakyat kepada Khalifah

Dalam sistem khilafah, rakyat memiliki kewajiban terhadap khalifah yang


sekaligus hak khalifah kepada rakyatnya, yaitu:

1. Kewajiban taat kepada khalifah. Firman Allah swt.

‫ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮا أ َطِ ﯿﻌُﻮا ﱠ َ وَ أ َطِ ﯿﻌُﻮا اﻟﺮﱠ ﺳُﻮ َل وَ أ ُوﻟِﻲ ْاﻷ َﻣْ ِﺮ ﻣِ ْﻨ ُﻜ ْﻢ‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah, rasul-
Nya dan para pemimpin di antara kamu. (Qs. Al-Nisa/4:59)

2. Kewajiban mentaati undang-undang dan tidak berbuat kerusakan. Firman Allah


swt.

‫ض َﺑ ْﻌﺪَ إِﺻ َْﻼﺣِ ﮭَﺎ‬


ِ ْ‫وَ َﻻ ﺗ ُ ْﻔ ِﺴﺪ ُوا ﻓِﻲ ْاﻷ َر‬
Artinya: Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan
memperbaikinya (Qs. Al-A’raf/7:85)

3. Membantu khalifah dalam semua usaha kebaikan . Firman Allah swt:

‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟﺒ ِ ِّﺮ وَ اﻟﺘﱠﻘْﻮَ ى‬


َ ‫وَ ﺗَﻌَﺎوَ ﻧُﻮا‬

Artinya: Dan Tolong-menolonglah kamu semua dalam kebaikan (Qs.al-


Maidah / 5: 2)

4. Bersedia berkorban jiwa maupun harta dalam mempertahankan dan


membelanya. Firman Allah swt.

ْ‫ﺳﺒِﯿ ِﻞ ﱠ ِ ذَ ِﻟ ُﻜ ْﻢ َﺧﯿْﺮٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ إِن‬


َ ‫ا ْﻧﻔِﺮُ وا ﺧِ ﻔَﺎﻓًﺎ وَ ﺛِﻘ ًَﺎﻻ وَ ﺟَﺎ ِھﺪ ُوا ﺑِﺄ َﻣْ ﻮَ ا ِﻟ ُﻜ ْﻢ وَ أ َ ْﻧﻔُ ِﺴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ‬
‫ُﻛ ْﻨﺘ ُ ْﻢ ﺗ َ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬
Artinya: Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun
merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Qs. Al-
Taubah/9:41)

5.Menjaga Persatuan dan Kesatuan. Firman Allah swt.

‫َﺼﻤُﻮا ِﺑ َﺤ ْﺒ ِﻞ ﱠ ِ ﺟَﻤِ ﯿﻌًﺎ وَ َﻻ ﺗَﻔَﺮﱠ ﻗُﻮا‬


ِ ‫وَ ا ْﻋﺘ‬

Artinya: Dan berpeganglah kamu semua kepada tali Allah (agama) dan
janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali-Imran/3:103)

B. Majlis Syura
Kata “majlis syura” terdiri dari dua kata yaitu kata majlis dan kata syura. Majlis
artinya tempat duduk syura artinya bermusyawarah. Dengan demikian majlis syura secara
bahasa artinya tempat bermusyawarah (berunding). Dikaitkan dengan sistem
pemerintahan, majlis syura memiliki pengertian tersendiri yaitu suatu lembaga negara
yang terdiri dari para wakil rakyat yang bertugas untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat. Majlis ini memiliki tugas utama yaitu mengangkat dan memberhentikan khalifah.
Pada masa Rasulullah istilah majlis syura belum ada. Namun praktek
melaksanakan musyawarah telah dilakukan oleh rasul sebagai seorang pemimpin negara..
Rasulullah sering memanggil para sahabatnya untuk berunding mengambil keputusan
dalam urusan negara dan masyarakat. Demikian juga yang dilakaukan oleh khulafa al-
rasyidin setelah rasul meninggal. Mereka selalu bermusyawarah. Musyawarah
merupakan cara untuk mengambil keputusan. Karena dengan musyawarah sebuah
keputusan lebih kuat dan jauh dari kekeliruan karena antara yang satu dengan yang
lainnya saling melengkapi. Allah memerintahkan kepada kita untuk bermusyawarah.
dalam segala urusan terlebih pemimpin negara. Firman Allah swt.

‫وَ ﺷَﺎوِرْ ُھ ْﻢ ﻓِﻲ ْاﻷ َﻣْ ِﺮ‬

Artinya:” Bermusyawarahlah kamu kepada mereka dalam segala urusan .(Qs. Ali
Imran/3:159)Syarat-Syarat Menjadi anggota majlis syura

Tidak semua orang bisa menjadi anggota majlis syura. Mereka adalah orang-
orang yang memiliki kemampuan intelektual dan memiliki sifat mental yang terpuji.
Oleh karena itu imam al-Mawardi merumuskan beberapa syarat untuk menjadi anggota
majlis syura :

1. Berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan. Sikap ini mencerminkan bahwa
anggota majlis syura adalah mereka memiliki sifat jujur dan bertanggung jawab.

2. Berilmu pengetahuan yang luas. Yaitu memiliki kecerdasan intelektual yang


tajam. Sehingga segala ucapan dan perbuatannya didasari oleh ilmu bukan oleh
hawa nafsu .

3. Memiliki kearifan dan. wawasan yang luas. Anggota majlis syura dalam
memutuskan sesuatu harus ditujukan untuk kemsalahatan ummat bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri.

Terkait dengan kewajibannya, seseorang yang telah dipercaya menjadi majlis syura
maka ia memiliki kewajiban utama yaitu mengangkat dan meberhentikan khalifah.
Khalifah yang diangkat oleh majlis syura adalah orang yang memiliki pengetahuan yang
luas, adil, bertanggung jawab, teguh dan cakap dalam menjalankan pemerintahan dan
sehat baik rohani dan jasmaninya. Jika dalam melaksnakan tugasnya seorang khalifah
melanggar hukum Alah (maksiat) maka Majlis Syura berkewajiban untuk
memberhentikan khlaifah dari jabatannya dan mengantinya dengan yang lain. Tugas lain
dari majlis syura adalah Bermusyawarah dengan khalifah dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang menyangkut kepentingan ummat.
C. Ahlul Halli wa al-Aqdi
Secara bahasa ahlul halli wal aqdi mengandung arti orang yang melonggarkan dan
mengikat. Sedangkan dalam ilmu fiqh ahlul halli wal aqdi diartikan orang yang dipilih
sebagai wakil ummat untuk menyuarakan hati nurani ummat. Ahlul halli wal aqdi adalah
orang-orang pilihan. Mereka terdiri dari ulama, cerdik pandai dan pemimpin yang
mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang
menjadi anggota majlis syura. Mereka dipercaya oleh rakyat dan keputusan mereka
ditaati oleh rakyat. Imam al-Mawardi menyebut sebagai ahl al-ikhtiyar yaitu golongan
yang berhak memilih. Penyebutan ini sangat beralasan sebab tugas utama ahlul hali wal-
aqdi karena memilih dan memberhentikan secara langsung seorang khalifah. Kalau di
Indonesia ahlul halli wal aqdi disebut MPR (Majlis Permusyawaratan Rakyat).

Anda mungkin juga menyukai