Anda di halaman 1dari 11

PARADIGMA SUFIS TERHADAP TASAWUF SOSIAL

Makalah Ditulis untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Tasawuf Sosial

Dosen Pengampu: Aminatul Ummah, S. Psi. I., M. Pd.

Oleh Kelompok 3:
Ngulwiyatul Qudriyah (12303173002)
Dewi Nashirotin Nisa’ (12303173007)

JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan
serta kelancaran dalam penyusunan makalah Ilmu Pendidikan Islam dengan judul
“PARADIGMA SUFISM TERHADAP TASAWUF SOSIAL”. Sholawat dan
salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung Muhammad SAW.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliahTasawuf Sosial, Dosen
pengampu Aminatul Ummah, S.Psi.I, M.Pd.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan kepada:
1. Dr. Maftukhin, M. Ag. Selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah
memberikan kesempatan kepada kita untuk menimba ilmu di IAIN
Tulungagung.
2. Dr. Ahmad Rizqon Khamami, Lc., M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Adab dan Dakwah.
3. Aminatul Ummah, S.Psi.I, M.Pd..selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan tugas dan pengarahan kepada kami.
Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan karena keterbatasan kami sebagai manusia biasa, untuk itu kritik dan
saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan kami dalam menyelesaikan tugas-
tugas dimasa yang akan datang.
Dan akhirnya semoga apa yang kami buat ini dapat memberikan manfaat
kepada siapa saja yang membacanya.

Tulungagung, 7 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .......................................................................................................... i


Kata Pengantar ......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sufisme sebagai Esoterisme Islam ............................................................... 3
B. Tasawuf dan Pembangunan Masa Depan .................................................... 4
C. Ajaran Soaial Tasawuf ................................................................................. 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam paradigma sufisme, manusia diberi keleluasaan dalam bergumul
dengan dunia material tanpa harus menenggelamkan diri dalam faham serba
materi. Perburuan hal-hal yang sifatnya materi (uang, harta, pangkat, jabatan,
status sosial dan sebagainya) secara ektrim akan menyebabkan menipis dan
hilangnya unsur spiritual yang ada dalam diri manusia. Karenanya maka
diperlukan kehadiran tasawuf dalam diri manusia sebagai nafas kehidupan
spiritual. Ini artinya kehidupan fisik-materi harus ditunjang dengan nafas spiritual
agar manusia tidak mengalami kematian spiritual di dalam kehidupan fisik-
biologisnya.
Arus modernitas telah membawa perubahan –perubahan pola pikir dan sikap
mental umat manusia. Pencangkokan dan akulturasi budaya pun menjadi sesuatu
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Di era moderen akibat derasnya arus
globalisasi, pola perilaku sufisme dituntut mengalami perubahan tanpa harus
tercerabut dari paradigma dan akar normatif yang melandasinya. Salah satu ciri
dan sekaligus keharusan praktek sufisme di era moderen adalah aktualisasi dan
sosialisaasi diri dalam masyarakat. Menutup diri dari lingkungan sosial guna
keasyikan ruhani merupakan bentuk egoisme spiritual Modernitaas identik
dengan terbukanya seluruh pintu-pintu kebudayaan dan peradaban untuk saling
dialog dan megisi, sehingga tidak ada tempat lagi untuk isolasi diri secara terus
menerus. Sufisme di era moderen dituntut untuk dapat memberikan inspirasi baru
yang lebih obyektif dalam menatap dunia dengan menaruh sikap positif terhadap
iptek dan variable-variabel modernitas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sufisme Sebagai Esoterisme Islam?
2. Bagaimana Tasawuf Dan Pembangunan Masa Depan?
3. Bagaimana Ajaran Sosial Tasawuf?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sufisme Sebagai Esoterisme Islam.
2. Untuk Mengetahui Tasawuf Dan Pembangunan Masa Depan.
3. Untuk Mengetahui Ajaran Sosial Tasawuf.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sufisme sebagai Esoterisme Islam
Secara etimologis, kata tasawuf berasal dari bahasa arab, tashawwafa,
yatashawwafu, tashawwufan. Ulama berbeda dari mana asal usulnya. Ada yang
mengatakan dari kata “shuf” (bulu domba), “shaf” (barisan), “shafa” (jernih) dan
kata “shuffah” (emper masjid nabawi yang ditempati oleh sebagaian sahabat nabi
SAW.) pemikiran masing masing pihak dilatar belakangi dan obsesinya dan
fenomena yang ada pada diri sufi.
Sufisme adalah bagian diri dari syariah islamiyah, yakni wujud dari ihsan,
salah satu dari tiga kerangka ajaran islam. Dua sebelumnya adalah iman dan
islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus ada dalam perilaku syariat.
Ihsan meliputi tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan
batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa atau roh dari
iman dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil
perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya yang berupan tindakan
badaniah (ibadah lahiriah) disebut islam.
Apabila tasawuf diperbandingkan dengan teologi, maka kedua-duanya
mempunyai tujuan yakni mengenal allah ( ma’rifatulloh), hanya saja berbeda
dalam yang ditempuh. Teologi melalui pembuktian yang dapat diterima rasio,
sedangkan tasawuf secara langsung dengan mata hati. Teologi mengkontruksikan
dan memahami kaykinan melalui rasio, sedangkan tasawuf berusaha merasakan
itu dengan qalb ( hati nurani).
Perbandingan dengan ilmu Fiqh, kedua-duanya sama-sama membicarakan
bagaimana berkomunikasi dengan allah SWT.hanya bedanya, fiqh lebih menitik
beratkan pada lahiriah sedangkan tasawuf pada bathiniah. Secara keilmuan
ketiganya dapat dibedakan dalam aspek metode, obyek, dan tujuan, namun secara
ideal ketiganya menyatu dalam pribadi secara utuh.1

1
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial ,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Hal 3-5.

3
Kehidupan manusia memang tidak sia-sia, namun berpuas diri semata-mata
dengan masalah lahiriah, merupakan pengingkaran terhadap kodrat manusia yang
sebenarnya, karena dasar-dasar terdalam keberadaanya untu melakukan
perjalanan diri yang lahir dan yang batin. Bagi kaum sufi, pendalaman dan
pengalaman batin adalah sesuatu yang paling utama dengan tanpa mengabaikan
aspek lahiriah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu
merupakan hasil usaha dan perjuangan (mujahddah) yang tidak henti-hentinya,
sebagai cara perilaku perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia
dan senantiasa merasa dihadapan Allah SWT. Namun manusia harus sadar bahwa
dalam kehidupan ini selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya sendiri yang
ingin menguasai (Yusuf/12:53).2
B. Tasawuf dan Pembangunan Masa Depan
Tasawuf adalah bagian dari syariat islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah
satu dari tiga kerangka ajaran islam yang lain, yakni iman dan islam. Oleh karena
itu perilaku tasawuf tetap berada dalam kerangka syariat. Tasawuf sosial ialah
tasawuf yang tidak memisahkan antara hakikat dan syariat (fiqh) dan pula tetap
berkecimpung dalam hidup dan kehidupan duniawi, tidak memisahkan antara
dunia dan akhirat.
Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan
seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan
pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri
dan akhirnya, mengenal tuhannya.
Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran islam, diawali dari ketidakpuasan
terhadap praktek ajaran islam yang yang cenderung formalisme dan legalisme.
Tasawuf juga sebagai gerakan moral terhadap ketimpangan sosial, politik, moral,
dan ekonomi yang dilakukan oleh umat islam, khususnya dalam kalangan
penguasa pada zamannya.

2
Ibid., hal. 9.

4
Reaksi politik dan ekonomi penguasa akibat telah diraihnya kemakmuran
material yang menimbulkan sikap kefoya-foyaan.3 Transformasi sosial
diasosiasikan dengan perubahan teknologi dan ekonomi, tidak selalu diterima
dengan senang hati. Sejauh Sufism mengarahkan perubahan radikal dalam
kesadaran sehingga kehadiran tuhan dirasakan lebih intens, Sufism memang
berhak dikaitkan dengan mistisisme. Namun dalam banyak ilmu social dan
wacana public Barat, pengaitan ini mengisyatratkan bahwa para sufi tidak sesuai
dengan aktivitas pembangunan social dan ekonomi sebagaimana dipahami dalam
scenario teori modernisasi abad ke-20.
Sepanjang abad ke-20, banyak juga sufi yang sungguh-sunguh mempertegas
presepsi bahwa tradisi mereka tidak sejalan dengan moderenitas, yang
menampilkan diri mereka sebagai anti modernis dan anti-pemburu. Meskipun
demikian, tradisi itu telah sebagi respons terhadap para pengkritik pembaru dan
bahkan apresiasi terhadap tradisi ini, yang terekam dalam bab-bab tentang
sufisme kontemprer berikut, membantu kita memahami mekarnya sufisme yang
malah mengejutkan, dan sama sekali tak terduga, dalam latar modern dan
modernisasi di seluruh dunia muslim pada beberapa dekade terakhir abad ke -20,
bersamaan dengan kebangkitan islam secara umum.4
C. Ajaran Sosial Tasawuf
Secara sosiologis tasawuf tidak hanya dipahami sebagai suatu sistem
kepercayaan terhadap dunia adikodrati yang bersifat ilahi dan bersifat pribadi,
namun juga berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi,
perilaku-perilaku, ritual-ritual dan simbol-simbol yang bersifat sosial.5
Tasawuf memiliki beberapa ajaran berdimensi sosial, antara lain Futuwwah
dan Itsar. Ibn al-Husain al-Sulamimengartikan futuwwah (ksatria) dari kata futu
(pemuda), maka untuk masa sekarang maknanya bisa dikembangkan menjadi

3
Ibid., hal. 12-13.
4
Julia Day Howell dan Martin Van Bruinessen, Urban Sufism, (Jakarta:PT. Rajagrafindo
Persada, 2008), hal. 1-9.
5
Ahmad Nurcholis, Tasawuf Antara Kesalehan Individu dan Dimensi Sosial Teosofi: Jurnal
Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 1 Nomor 2 Desember 2011, hal. 182.

5
seorang yang ideal, mulia, dan sempurna. Atau bisa juga diartikan sebagai orang
yang ramah dan dermawan, sabar dan tabah terhadap cobaan, meringankan
kesulitan orang lain, pantang menyerah terhadap kedzaliman, ikhlas karena Allah,
dan berusaha tampil dengan sikap yang penuh tanggung jawab. Adapun arti dari
al-Itsar, yaitu lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri.
Pada abad ke-21 ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik, empirik, dan
fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya reaktif, tetapi aktif
serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa
moral, spiritual, ekonomi, dan sebagainya. Saat ini kita berada di tengah-tengah
kehidupan masyarakat modern yangmana cenderung rasional, sekuler, dan
materialis. Hal tersebut menimbulkan kehampaan spiritual yang akibatnya bantak
dijumpai orang yang stress dan gelisah akibat tidak memiliki pegangan hidup.6
Ajaran sosial dari tasawuf lebih menekankan pada pembinaan moral (akhlaq)
sebagai tujuan utama dari pengamalan tasawuf. Dalam hal ini dengan mendalami
dan menjalankan tasawuf menjadi alternatif yang dapat memberikan jawaban
terhadap kebutuhan spiritual. Di sini taswuf bukan melarikan diri dari kehidupan
dunia nyata, tetapi menjadi suatu usaha mempersenjatai dengan nilai-nilai
ruhaniah.

6
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 21-
22.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf atau sufisme sebagai esoterisme Islam yaitu tasawuf menjadi inti
atau penghayatan keagamaan yang bersifat batiniah. Karena tasawuf sendiri
menekankan pada pengalaman dan pengamalan batin yang dialami seseorang
terutama para sufi. Dalam kehidupan modern ini, tasawuf bisa dikembangkan
kearah yang lebih kontruktif baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun
sosial. Ketika masyarakat sudah mulai terkena alineasi atau keterasingan karena
proses pembangunan dan modernisasi, maka saat itulah orang butuh pedoman
hidup yang bersifat spiritual. Ajaran sosial dari tasawuf lebih menekankan pada
pembinaan moral (akhlaq) sebagai tujuan utama dari pengamalan tasawuf. Di sini
taswuf bukan melarikan diri dari kehidupan dunia nyata, tetapi menjadi suatu
usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhaniah.

7
DAFTAR PUSTAKA

Syukur, M. Amin. 2004. Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Howell, Julia Day dan Martin Van Bruinessen. 2008. Urban Sufism. Jakarta:PT.
Rajagrafindo Persada.

Nurcholis, Ahmad. 2011. Tasawuf Antara Kesalehan Individu dan Dimensi Sosial
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 1 Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai