Anda di halaman 1dari 19

Apa yang dimaksud dengan komunikasi terapeutik ?

Komunikasi terapeutik sebagai kemampuan atau keterampilan perawat dalam berinteraksi


untuk membantu klien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar
bagaimana berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain. Northouse (1998)

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto, 1994). Sedangkan menurut Stuart
& Sundeen (1995) komunikasi terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang
terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan
maksud untuk mempengaruhi orang lain.

Sedangkan menurut Stuart & Sundeen (1995) komunikasi terapeutik merupakan cara untuk
membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan pertukaran
perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain.

A. Aspek Legal Komunikasi Keperawatan

1. Aspek Etik dalam komunikasi

Moral dan etika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan di
masyarakat. Moral dan etika menjadi pedoman untuk seseorang dalam berinteraksi dalam
lingkungannya. Tujuannya untuk menciptakan komunikasi yang baik dan mencegah
permasalahan sosial. Moral berasal dari bahasa Latin “mores” artinya aturan kesusilaan.
Menurut Dian Ibung, moral adalah nilai (value) yang berlaku dalam lingkungan sosial
dan mengatur tingkah laku seseorang. Selain itu, Maria Assumpta menambahkan bahwa
moral merupakan aturan-aturan (rule) mengenai sikap (attitude) dan perilaku manusia
(human behavior) sebagai manusia.

Moral berkaitan dengan nilai dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi yang baik adalah
komunikasi yang tidak menghilangkan moral, etika, dan nilai-nilai dengan tujuan sebagai
rasa menghormati, menghargai, dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Moral
merupakan hal yang mutalak dimiliki oleh setiap orang. Orang yang tidak memiliki moral
dan terbiasa dengan kehidupan yang buruk atau negatif disebut amoral. Moral merupakan
bagian dari etika dan nilai.

Moral dan etika selalu berhubungan dengan pekerjaan atau profesi seseorang. Salah
satunya adalah keperawatan. Keperawatan adalah sebuah profesi yang berfungsi untuk
melayani, memelihara, menyembuhkan masyarakat dalam bidang kesehatan. Dalam
praktik keperawatan terdapat konsep moral yang berfungsi sebagai pedoman seorang
perawat. Tujuan konsep moral adalah untuk menciptakan kesejahteraan pasiennya. Selain
itu, komunikasi menjadi hal yang penting dalam keperawatan biasanya disebut sebagai
komunikasi keperawatan. Komunikasi keperawatan merupakan komunikasi yang
berhubungan dengan kesehatan yang digunakan sebagai kontrol kesehatan manusia.
Adapun 10 konsep moral dalam komunikasi keperawatan adalah sebagai berikut:

1. Advokasi

Advokasi merupakan upaya untuk melindungi hak-hak manusia yang tidak mampu
untuk membela dirinya sendiri. Advokasi dalam praktik komunikasi keperawatan
adalah seorang perawat memberikan informasi dan penjelasan yang berhubungan
dengan pasien. Selain itu, seorang perawat sebagai advokat juga dapat membantu
pasien dalam memilih atau menentukan keputusannya sendiri. Seorang perawat juga
bertugas melindungi pasien terhadap keputusan yang telah ditentukannya.

2. Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan istilah yang menggambarkan tanggungjawab seseorang


terhadap tindakan yang terlah dilakukan dan bersedia menanggung resikonya. Konsep
moral dalam praktik komunikasi keperawatan merujuk pada peraturan yang telah
ditetapkan. Sehingga, seorang perawat harus bertanggungjawab dan menerima
konsekuensinya terhadap apa yang dilakukannya baik terhadap pasien maupun teman
seprofesinya.
3. Loyalitas

Loyalitas pada konsep moral dalam praktik komunikasi keperawatan berhubungan


dengan profesi yang dijalani oleh perawat itu sendiri. Loyalitas adalah upaya
mempertahankan dan memperkuat suatu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.
Loyalitas juga berfungsi sebagai rasa simpati dan solidaritas terhadap pasien dan
teman sejawat.

4. Tanggung jawab

Tanggung jawab yang dimaksud adalah seorang perawat harus bertanggung jawab
atas kesehatan pasien yang ditanganinya. Tanggung jawab tersebut berupa
menyembuhkan pasien yang sakit, memelihara pasien dengan baik, memberikan
kualitas obat yang baik agar kesehatan pasien segera meningkat, dan lainnya.

5. Kerahasiaan

Seorang perawat berperan penting terhadap kehidupan pasiennya. Kerahasiaan


merupakan konsep moral dalam praktik komunikasi perawat. Tugas seorang perawat
dalam hal ini adalah merahasiakan informasi pasien yang bersifat pribadi maupun
informasi dari dokter yang harus dirahasiakan berdasarkan perintah dari pihak
keluarga pasien. Informasi tersebut boleh saja disebarkan ke pihak yang telah
ditentukan tetapi atas ijin pihak pasien. Seorang perawat harus dapat menghargai
informasi dalam bentuk apapun.

6. Kejujuran

Kejujuran berhubungan dengan kebenaran dalam menyampaikan informasi. Informasi


yang disampaikan harus sesuai dengan nilai-nilai moral yang telah ditetapkan. Tidak
hanya seorang perawat yang memiliki kejujuran, tetapi seluruh staff dalam rumah
sakit tersebut. Tujuan dari kejujuran adalah untuk memberikan informasi yang akurat,
komprehensif, dan objektif. Selain itu, kejujuran menjadi suatu hal yang penting
untuk menciptakan kepercayaan terhadap pasien.
7. Keadilan

Setiap orang ingin diperlakukan dengan adil, begitu pula pasien-pasien yang
membutuhkan perawatan kesehatan. Keadilan berpegang teguh terhadap moral.
Keadilan menjadi hal yang penting dimiliki oleh seorang perawat dalam
memperlakukan pasiennya. Hal ini berhubungan dengan kualitas dan kuantitas dalam
pelayanan kesehatan.

8. Kemurahan hati

Kemurahan hati yang dimiliki oleh setiap perawat memudahkannya untuk


berkomunikasi kepada pasien dan mencegah terjadi kesalahpahaman. Kemurahan hati
menciptakan komunikasi yang efektif terhadap pasien agar kesehatan cepat terwujud
melalui tahapan-tahapan yang baik.

9. Tidak merugikan

Konsep moral ini mencegah adanya kebohongan yang dilakukan pihak rumah sakit
terhadap pasien. Tidak merugikan berarti tidak membuat kesalahan yang merugikan
pasien seperti salah memberikan obat atau mal praktik yang menyebabkan cacat fisik
maupun cacat mental dalam diri pasien.

10. Altruisme

Altruisme merupakan bentuk kepedulian terhadap sesama manusia. Tujuan Altruisme


adalah untuk mencapai kesejahteraan pasien. Altruisme berhubungan dengan rasa
simpati dan empati terhadap pasien. Seorang perawat dalam hal ini akan memberi
perhatian, komitmen, kepercayaan, ketekunan, dan kemurahan hati dalam merawat
pasiennya.

Demikian penjelasan terkait apa saja konsep moral dalam komunikasi keperawatan yang bisa
diterapkan dalam segala praktik keperawatan.
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Consent adalah
memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter
terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif. Di Indonesia perkembangan “informed consent”
secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik
atau Informed Consent”. Isi dari informed berkaitan dengan penyakit pasien, mencangkup
bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif terapi.

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual


Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan
dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
“jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk itu, sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum informed
consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed
consent yang sah secara hukum.

DASAR HUKUM INFORMED CONSENT


Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.
585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak
berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif,
dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan
operasi itu dilakukan.
Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter untuk
melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yaki berupa fatwa PB. IDI No.
319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar
oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.
Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik,
maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang
berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun
1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan
tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585
Tahun 1989.

BENTUK INFORMED CONSENT


Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya
pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.

2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT


Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan
dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedic lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
“jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan
adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat”
(culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis
belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut
telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal
351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini
sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan
perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan
yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan
pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak
tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula
dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed
Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

ISI INFORMASI YANG HARUS DISAMPAIKAN


Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa
dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta atau
tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien.
Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik
diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini
mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative
terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan
memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang
akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan
adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan
yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 /
Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar dari pada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
1. PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan kebutuhan pokok seseorang dalam hidup sehari-hari karena dalam keadaan
sehat seseorang bisa bekerja dan berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga.
Definisi mengenai kesehatan ada dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Kesehatan), yang dimaksud dengan Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kondisi sehat merupakan hak yang dilindungi oleh
Undang-Undang karena didalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Sebagai hak asasi yang dilindungi, di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia diatur dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Hidup secara tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin
bisa dirasakan apabila dalam keadaan sehat. Kesehatan merupakan adalah hak juga diatur dalam Undang-
Undang Kesehatan dalam Pasal 4 yang menegaskan setiap orang berhak atas kesehatan.
Tidak menutup kemungkinan seseorang yang sedang dalam kondisi daya tahan menurun
mengalami sakit. Pada saat sakit seseorang membutuhkan bantuan orang lain yang paham akan sakit yang
dideritanya untuk memperoleh pengobatan, yang dalam Undang-Undang Kesehatan disebut tenaga
kesehatan. Pengertian tenaga kesehatan dalam Pasal 1 angka 6 adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Salah
satu tenaga kesehatan adalah dokter, tentunya dokter yang melakukan praktik melakukan upaya
kesehatan. Yang dimaksud dengan upaya kesehatan ini dalam Pasal 1 angka 11 didefinisikan setiap
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat.
Orang yang dalam keadaan sakit kemudian melakukan pengobatan atau konsultasi mengenai
sakitnya disebut dengan pasien. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran), khususnya Pasal 1 angka 10
mendefinisikan pasien adalah adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter atau dokter gigi. Dalam pelayanan kesehatan ini ada dua pihak yang saling berhubungan,
yaitu dokter dan pasien. Dokter adalah pihak yang melakukan tindakan medis sebagai upaya mencapai
kesembuhan pasien, tentunya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sudah mendapat persetujuan
dari pasien dan atau keluarga pasien. Hal ini senada dengan pendapat dari Dhani Wiradharma menyatakan
bahwa suatu tindakan medis dikatakan tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi 3 (tiga)
persyaratan utama yakni adanya indikasi medis, dilakukan sesuai dengan ilmu dan teknologi kedokteran
yang berlaku umum dan adanya persetujuan pasien (informed consent).1
Diharapkan dengan memperoleh pelayanan kesehatan pasien bisa sembuh, namun tidak menutup
kemungkinan pasien tidak mendapat kesembuhan. Pada saat pasien tidak mendapat kesembuhan, selalu
yang menjadi pihak yang disalahkan adalah dokter yang dianggap tidak berhasil menyembuhkan pasien
atau yang lebih dikenal dengan dokter melakukan malpraktek. Malpraktek dapat dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu :

1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan. Dengan perkataan lain, malpraktek dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja
melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medis yang
isinya tidak benar, dan sebagainya.

2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan
pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian
meninggal dunia (abandonment).
1.2 Rumusan Masalah
Fokus pada penulisan ini adalah bukan pada malpraktek yang dilakukan oleh dokter, namun
adanya informed consent dalam rangka keberhasilan dokter pada saat melakukan upaya kesehatan,
sehingga penulisan ini ingin membahas apa saja hak pasien dan kewajiban dokter dalam pelayanan
kesehatan dengan adanya informed consent ?
1.3 Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu menitikberatkan pada
peraturan-peraturan tertulis yang berkaitan dengan informed consent. Peraturan tersebut antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan.
Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi Komunikasi Terapeutik ?

Dalam melakukan sebuah komunikasi salah satunya komunikasi yang terapeutik dapat
dipengaruhi beberapa hal antara lain:

1. Perkembangan

Perkembangan manusia mempengaruhi bentuk komunikasi dalam dua aspek, yaitu


tingkat perkembangan tubuh mempengaruhi kemampuan untuk menggunakan teknik
komunikasi tertentu dan untuk mempersepsikan pesan yang disampaikan. Agar dapat
berkomunikasi efektif seorang perawat harus mengerti pengaruh perkembangan usia baik
dari sisi bahasa, maupun proses berpikir orang tersebut. Adalah sangat berbeda cara
berkomunikasi anak usia remaja dengan anak usia balita.

2. Persepsi

Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa.
Persepsi dibentuk oleh harapan atau pengalaman. Perbedaan persepsi dapat
mengakibatkan terhambatnya komunikasi.

3. Gender

Laki-laki dan perempuan menunjukan gaya komunikasi yang berbeda dan memiliki
interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Tannen (1990) menyatakan bahwa
kaum perempuan menggunakan teknik komunikasi untuk mencari konfirmasi,
meminimalkan perbedaan, dan meningkatkan keintiman, sementara kaum laki-laki lebih
menunjukan indepedensi dan status dalam kelompoknya.

4. Nilai
Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga penting bagi perawat untuk
menyadari nilai seseorang. Perawat perlu berusaha mengklarifikasi nilai sehingga dapat
membuat keputusan dan interaksi yang tepat dengan klien. Dalam hubungan
profesionalnya diharapkan perawat tidak terpengaruh oleh nilai pribadinya.

5. Latar belakang sosial budaya

Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya juga
akan membatasi cara bertindak dan komunikasi.

6. Emosi

Emosi merupakan perasaan subyektif terhadap suatu kejadian. Emosi seperti marah,
sedih, senang akan mempengaruhi perawat dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Perawat perlu mengkaji emosi klien agar dan keluarganya sehingga mampu memberikan
asuhan keperawatan dengan tepat. Selain itu perawat perlu mengevaluasi emosi yang ada
pada dirinya agar dalam melakukan asuhan keperawatan tidak terpengaruh oleh emosi
bawah sadarnya.

7. Pengetahuan

Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Seseorang dengan


tingkat pengetahuan rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa
verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Hal tersebut berlaku juga dalam
penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit. Hubungan terapeutik akan terjalin
dengan baik jika didukung oleh pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik baik
tujuan, manfaat dan proses yang akan dilakukan. Perawat juga perlu mengetahui tingkat
pengetahuan klien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat
memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien secara profesional.

8. Peran dan Hubungan

Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar orang yang berkomunikasi.
Berbeda dengan komunikasi yang terjadi dalam pergaulan bebas, komunikasi antar
perawat klien terjadi secara formal karena tuntutan profesionalisme.
9. Lingkungan

Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi efektif. Suasana yang bising, tidak
ada privacy yang tepat akan menimbulkan kerancuan, ketegangan dan ketidaknyamanan.
Untuk itu perawat perlu menyiapkan lingkungan yang tepat dan nyaman sebelum
memulai interaksi dengan pasien. Menurut Ann Mariner (1986) lingkungan adalah
seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhinya perkembangan dan
perilaku orang atau kelompok.

10. Jarak

Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu menyediakan rasa aman dan
kontrol. Untuk itu perawat perlu memperhitungkan jarak yang tetap pada saat melakukan
hubungan dengan klien.

11. Masa bekerja

Masa bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di tempat kerja. Makin
lama seseorang bekerja semakin banyak pengalaman yang dimilikinya sehingga akan
semakin baik komunikasinya (Kariyoso, 1994).

Hubungan perawat dan klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar dan perbaikan emosi
klien. Bagi klien, dalam hal ini perawat memakai dirinya secara terapeutik dan memakai teknik
komunikasi agar perilaku klien dapat berubah kearah yang positif seoptimal mungkin. Perawat
harus menganalisa dirinya tentang kesadaran dirinya, klarifikasi nilai, perasaan, kemampuan
sebagai role model agar dapat berperan secara efektif. Seluruh perilaku dan pesan yang
disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal bertujuan secara terapeutik untuk klien.
Kemampuan menerapkan teknik komunikasi memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman,
karena komunikasi terjadi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi
kepuasan klien. Keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak tercapainya kepuasan
klien dalam menerima asuhan keperawatan yang berkaitan dengan komunikasi yang juga
merupakan kepuasan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional.

Anda mungkin juga menyukai