Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto, 1994). Sedangkan menurut Stuart
& Sundeen (1995) komunikasi terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang
terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan
maksud untuk mempengaruhi orang lain.
Sedangkan menurut Stuart & Sundeen (1995) komunikasi terapeutik merupakan cara untuk
membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi penyampaian informasi dan pertukaran
perasaan dan pikiran dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain.
Moral dan etika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan di
masyarakat. Moral dan etika menjadi pedoman untuk seseorang dalam berinteraksi dalam
lingkungannya. Tujuannya untuk menciptakan komunikasi yang baik dan mencegah
permasalahan sosial. Moral berasal dari bahasa Latin “mores” artinya aturan kesusilaan.
Menurut Dian Ibung, moral adalah nilai (value) yang berlaku dalam lingkungan sosial
dan mengatur tingkah laku seseorang. Selain itu, Maria Assumpta menambahkan bahwa
moral merupakan aturan-aturan (rule) mengenai sikap (attitude) dan perilaku manusia
(human behavior) sebagai manusia.
Moral berkaitan dengan nilai dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi yang baik adalah
komunikasi yang tidak menghilangkan moral, etika, dan nilai-nilai dengan tujuan sebagai
rasa menghormati, menghargai, dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Moral
merupakan hal yang mutalak dimiliki oleh setiap orang. Orang yang tidak memiliki moral
dan terbiasa dengan kehidupan yang buruk atau negatif disebut amoral. Moral merupakan
bagian dari etika dan nilai.
Moral dan etika selalu berhubungan dengan pekerjaan atau profesi seseorang. Salah
satunya adalah keperawatan. Keperawatan adalah sebuah profesi yang berfungsi untuk
melayani, memelihara, menyembuhkan masyarakat dalam bidang kesehatan. Dalam
praktik keperawatan terdapat konsep moral yang berfungsi sebagai pedoman seorang
perawat. Tujuan konsep moral adalah untuk menciptakan kesejahteraan pasiennya. Selain
itu, komunikasi menjadi hal yang penting dalam keperawatan biasanya disebut sebagai
komunikasi keperawatan. Komunikasi keperawatan merupakan komunikasi yang
berhubungan dengan kesehatan yang digunakan sebagai kontrol kesehatan manusia.
Adapun 10 konsep moral dalam komunikasi keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Advokasi
Advokasi merupakan upaya untuk melindungi hak-hak manusia yang tidak mampu
untuk membela dirinya sendiri. Advokasi dalam praktik komunikasi keperawatan
adalah seorang perawat memberikan informasi dan penjelasan yang berhubungan
dengan pasien. Selain itu, seorang perawat sebagai advokat juga dapat membantu
pasien dalam memilih atau menentukan keputusannya sendiri. Seorang perawat juga
bertugas melindungi pasien terhadap keputusan yang telah ditentukannya.
2. Akuntabilitas
4. Tanggung jawab
Tanggung jawab yang dimaksud adalah seorang perawat harus bertanggung jawab
atas kesehatan pasien yang ditanganinya. Tanggung jawab tersebut berupa
menyembuhkan pasien yang sakit, memelihara pasien dengan baik, memberikan
kualitas obat yang baik agar kesehatan pasien segera meningkat, dan lainnya.
5. Kerahasiaan
6. Kejujuran
Setiap orang ingin diperlakukan dengan adil, begitu pula pasien-pasien yang
membutuhkan perawatan kesehatan. Keadilan berpegang teguh terhadap moral.
Keadilan menjadi hal yang penting dimiliki oleh seorang perawat dalam
memperlakukan pasiennya. Hal ini berhubungan dengan kualitas dan kuantitas dalam
pelayanan kesehatan.
8. Kemurahan hati
9. Tidak merugikan
Konsep moral ini mencegah adanya kebohongan yang dilakukan pihak rumah sakit
terhadap pasien. Tidak merugikan berarti tidak membuat kesalahan yang merugikan
pasien seperti salah memberikan obat atau mal praktik yang menyebabkan cacat fisik
maupun cacat mental dalam diri pasien.
10. Altruisme
Demikian penjelasan terkait apa saja konsep moral dalam komunikasi keperawatan yang bisa
diterapkan dalam segala praktik keperawatan.
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Consent adalah
memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter
terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif. Di Indonesia perkembangan “informed consent”
secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik
atau Informed Consent”. Isi dari informed berkaitan dengan penyakit pasien, mencangkup
bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif terapi.
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun
1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan
tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585
Tahun 1989.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
Kesehatan merupakan kebutuhan pokok seseorang dalam hidup sehari-hari karena dalam keadaan
sehat seseorang bisa bekerja dan berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga.
Definisi mengenai kesehatan ada dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Kesehatan), yang dimaksud dengan Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kondisi sehat merupakan hak yang dilindungi oleh
Undang-Undang karena didalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Sebagai hak asasi yang dilindungi, di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia diatur dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Hidup secara tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin
bisa dirasakan apabila dalam keadaan sehat. Kesehatan merupakan adalah hak juga diatur dalam Undang-
Undang Kesehatan dalam Pasal 4 yang menegaskan setiap orang berhak atas kesehatan.
Tidak menutup kemungkinan seseorang yang sedang dalam kondisi daya tahan menurun
mengalami sakit. Pada saat sakit seseorang membutuhkan bantuan orang lain yang paham akan sakit yang
dideritanya untuk memperoleh pengobatan, yang dalam Undang-Undang Kesehatan disebut tenaga
kesehatan. Pengertian tenaga kesehatan dalam Pasal 1 angka 6 adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Salah
satu tenaga kesehatan adalah dokter, tentunya dokter yang melakukan praktik melakukan upaya
kesehatan. Yang dimaksud dengan upaya kesehatan ini dalam Pasal 1 angka 11 didefinisikan setiap
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat.
Orang yang dalam keadaan sakit kemudian melakukan pengobatan atau konsultasi mengenai
sakitnya disebut dengan pasien. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran), khususnya Pasal 1 angka 10
mendefinisikan pasien adalah adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter atau dokter gigi. Dalam pelayanan kesehatan ini ada dua pihak yang saling berhubungan,
yaitu dokter dan pasien. Dokter adalah pihak yang melakukan tindakan medis sebagai upaya mencapai
kesembuhan pasien, tentunya tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sudah mendapat persetujuan
dari pasien dan atau keluarga pasien. Hal ini senada dengan pendapat dari Dhani Wiradharma menyatakan
bahwa suatu tindakan medis dikatakan tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi 3 (tiga)
persyaratan utama yakni adanya indikasi medis, dilakukan sesuai dengan ilmu dan teknologi kedokteran
yang berlaku umum dan adanya persetujuan pasien (informed consent).1
Diharapkan dengan memperoleh pelayanan kesehatan pasien bisa sembuh, namun tidak menutup
kemungkinan pasien tidak mendapat kesembuhan. Pada saat pasien tidak mendapat kesembuhan, selalu
yang menjadi pihak yang disalahkan adalah dokter yang dianggap tidak berhasil menyembuhkan pasien
atau yang lebih dikenal dengan dokter melakukan malpraktek. Malpraktek dapat dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu :
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan. Dengan perkataan lain, malpraktek dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja
melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medis yang
isinya tidak benar, dan sebagainya.
2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan
pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian
meninggal dunia (abandonment).
1.2 Rumusan Masalah
Fokus pada penulisan ini adalah bukan pada malpraktek yang dilakukan oleh dokter, namun
adanya informed consent dalam rangka keberhasilan dokter pada saat melakukan upaya kesehatan,
sehingga penulisan ini ingin membahas apa saja hak pasien dan kewajiban dokter dalam pelayanan
kesehatan dengan adanya informed consent ?
1.3 Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu menitikberatkan pada
peraturan-peraturan tertulis yang berkaitan dengan informed consent. Peraturan tersebut antara lain Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan.
Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi Komunikasi Terapeutik ?
Dalam melakukan sebuah komunikasi salah satunya komunikasi yang terapeutik dapat
dipengaruhi beberapa hal antara lain:
1. Perkembangan
2. Persepsi
Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa.
Persepsi dibentuk oleh harapan atau pengalaman. Perbedaan persepsi dapat
mengakibatkan terhambatnya komunikasi.
3. Gender
Laki-laki dan perempuan menunjukan gaya komunikasi yang berbeda dan memiliki
interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Tannen (1990) menyatakan bahwa
kaum perempuan menggunakan teknik komunikasi untuk mencari konfirmasi,
meminimalkan perbedaan, dan meningkatkan keintiman, sementara kaum laki-laki lebih
menunjukan indepedensi dan status dalam kelompoknya.
4. Nilai
Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga penting bagi perawat untuk
menyadari nilai seseorang. Perawat perlu berusaha mengklarifikasi nilai sehingga dapat
membuat keputusan dan interaksi yang tepat dengan klien. Dalam hubungan
profesionalnya diharapkan perawat tidak terpengaruh oleh nilai pribadinya.
Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya juga
akan membatasi cara bertindak dan komunikasi.
6. Emosi
Emosi merupakan perasaan subyektif terhadap suatu kejadian. Emosi seperti marah,
sedih, senang akan mempengaruhi perawat dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Perawat perlu mengkaji emosi klien agar dan keluarganya sehingga mampu memberikan
asuhan keperawatan dengan tepat. Selain itu perawat perlu mengevaluasi emosi yang ada
pada dirinya agar dalam melakukan asuhan keperawatan tidak terpengaruh oleh emosi
bawah sadarnya.
7. Pengetahuan
Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar orang yang berkomunikasi.
Berbeda dengan komunikasi yang terjadi dalam pergaulan bebas, komunikasi antar
perawat klien terjadi secara formal karena tuntutan profesionalisme.
9. Lingkungan
Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi efektif. Suasana yang bising, tidak
ada privacy yang tepat akan menimbulkan kerancuan, ketegangan dan ketidaknyamanan.
Untuk itu perawat perlu menyiapkan lingkungan yang tepat dan nyaman sebelum
memulai interaksi dengan pasien. Menurut Ann Mariner (1986) lingkungan adalah
seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhinya perkembangan dan
perilaku orang atau kelompok.
10. Jarak
Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu menyediakan rasa aman dan
kontrol. Untuk itu perawat perlu memperhitungkan jarak yang tetap pada saat melakukan
hubungan dengan klien.
Masa bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di tempat kerja. Makin
lama seseorang bekerja semakin banyak pengalaman yang dimilikinya sehingga akan
semakin baik komunikasinya (Kariyoso, 1994).
Hubungan perawat dan klien yang terapeutik adalah pengalaman belajar dan perbaikan emosi
klien. Bagi klien, dalam hal ini perawat memakai dirinya secara terapeutik dan memakai teknik
komunikasi agar perilaku klien dapat berubah kearah yang positif seoptimal mungkin. Perawat
harus menganalisa dirinya tentang kesadaran dirinya, klarifikasi nilai, perasaan, kemampuan
sebagai role model agar dapat berperan secara efektif. Seluruh perilaku dan pesan yang
disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal bertujuan secara terapeutik untuk klien.
Kemampuan menerapkan teknik komunikasi memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman,
karena komunikasi terjadi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi
kepuasan klien. Keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak tercapainya kepuasan
klien dalam menerima asuhan keperawatan yang berkaitan dengan komunikasi yang juga
merupakan kepuasan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional.