Karakter
3
DITAYANGKAN OLEH DAVIT SETYAWAN
— 16 OKTOBER 2014
Saat ini publik tengah dihebohkan dengan beredarnya video kekerasan sejumlah siswa
di salah satu Sekolah Dasar Swasta di Kota Bukittinggi Sumatera Barat. Dalam video
yang diunggah di jejaring youtube tersebut- tampak seorang siswi berpakaian seragam
SD dan berjilbab- berdiri di pojok ruangan. Sementara beberapa siswa termasuk siswi
lainnya- secara bergantian melakukan pemukulan dan tendangan. Sang siswi yang
menjadi obyek kekerasan tersebut tampak tidak berdaya/pasrah dan menangis-
menerima perlakuan kasar teman-temannya itu. Tampak pula adegan tendangan salah
seorang siswa yang dilakukan sambil melompat bak aktor laga. Di sela-sela
penyiksaan, ada juga siswa yang tertawa-tawa sambil menghadap kamera dan
terdengar pula ungkapan dalam bahasa minang yang meminta agar aksi tersebut
dihentikan
Apa yang kita saksikan di youtube tersebut sejatinya merupakan salah satu bentuk
bullying yang terjadi di ranah pendidikan. Kita khawatir bahwa kejadian tersebut
laksana fenomena gunung es- dimana yang muncul dan mencuat ke ruang publik
hanya sedikit dan diduga masih banyak kasus lain yang hingga kini belum terekspos.
Kasus yang terjadi di Bukittinggi tersebut mencuat akibat ada pihak yang merekam dan
kemudian mengunggahnya ke media sosial. Menurut KPAI, saat ini- kasus bullying
menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Dari 2011 hingga agustus 2014,
KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari
total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut
KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi
pendidikan, ataupun aduan pungutan liar (republika, rabu 15 oktober 2014)
Lalu, apa yang dimaksud dengan bullying?. Menurut psikolog Andrew Mellor, bullying
adalah pengalaman yang terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan
orang lain dan ia takut apabila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi sedangkan
korban merasa tidak berdaya untuk mencegahnya. Bullying tidak lepas dari adanya
kesenjangan power/kekuatan antara korban dan pelaku serta diikuti pola repetisi
(pengulangan perilaku). Lebih lanjut, Andrew Mellor menjelaskan bahwa ada beberapa
jenis bullying, yakni: (1) bullying fisik, yaitu jenis bullying yang melibatkan kontak fisik
antara pelaku dan korban. Perilaku yang termasuk, antara lain: memukul, menendang,
meludahi, mendorong, mencekik, melukai menggunakan benda, memaksa korban
melakukan aktivitas fisik tertentu, menjambak, merusak benda milik korban, dan lain-
lain. Bullying fisik adalah jenis yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi
dibandingkan bullying jenis lainnya; (2) bullying verbal melibatkan bahasa verbal yang
bertujuan menyakiti hati seseorang. Perilaku yang termasuk, antara lain: mengejek,
memberi nama julukan yang tidak pantas, memfitnah, pernyataan seksual yang
melecehkan, meneror, dan lain-lain. Kasus bullying verbal termasuk jenis bullying yang
sering terjadi dalam keseharian namun seringkali tidak disadari; (3) bullying relasi
sosial adalah jenis bullying bertujuan menolak dan memutus relasi sosial korban
dengan orang lain, meliputi pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui
pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Contoh bullying sosial antara lain:
menyebarkan rumor, mempermalukan seseorang di depan umum, menghasut untuk
menjauhi seseorang, menertawakan, menghancurkan reputasi seseorang,
menggunakan bahasa tubuh yang merendahkan, mengakhiri hubungan tanpa alasan,
dan lain-lain; (4) bullying elektronik merupakan merupakan bentuk perilaku bullying
yang dilakukan melalui media elektronik seperti komputer, handphone, internet,
website, chatting room, e-mail, SMS, dan lain-lain. Perilaku yang termasuk antara lain
menggunakan tulisan, gambar dan video yang bertujuan untuk mengintimidasi,
menakuti, dan menyakiti korban. Contoh cyber bullying yaitu bullying lewat internet
Setelah mencuatnya kasus bullying di dunia pendidikan dasar tersebut, lalu what next?
Ini menjadi pertanyaan penting- karena biasanya ketika sebuah kasus muncul dan
menjadi opini dimana-mana- orang lantas sibuk membahasnya dalam talkshow,
diskusi, seminar, dan kegiatan formal lainnya- dan lebih fokus pada upaya
penyembuhan (kuratif) secara instan. Padahal aktifitas bullying bukanlah muncul secara
tiba-tiba, melainkan ada proses panjang yang melatarbelakanginya- sehingga perlu
penanganan yang komprehensif- tentunya dengan pendekatan holistik. Terhadap kasus
ini, penulis lebih memilih untuk mengedepankan aspek preventif, yakni melalui media
‘pendidikan karakter’. Selama beberapa tahun terakhir, pendidikan karakter memang
sempat menjadi isu utama dalam dunia pendidikan kita dan sudah ditekankan dalam
kurikulum 2013. Namun harus diakui, implementasinya di lapangan masih cukup
lemah. Internalisasi nilai-nilai karakter yang semestinya dimiliki oleh anak-anak
bangsa- masih bersifat parsial. Karena itu- dengan kejadian ini, mau tidak mau
pemerintah harus lebih serius lagi menata sistem pendidikan karakter di lingkungan
pendidikan, agar kita dapat melakukan deteksi dini dan pencegahan terhadap kasus
tersebut di kemudian hari
Menurut seorang praktisi pendidikan, Prof Suyanto Ph.D- karakter adalah cara berpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik
dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter
baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Sedangkan
Pendidikan Karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan
moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga
sekolah untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang
baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003
menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya
membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter,
sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Adapun item-item yang menjadi indikator kualitas karakter- menurut Ratna Megawangi
(2003), meliputi 9 (sembilan) pilar, yaitu (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2)
tanggung jawab, disiplin dan mandiri; (3) jujur/amanah dan arif; (4) hormat dan
santun; (5) dermawan, suka menolong, dan gotong-royong; (6) percaya diri, kreatif
dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan adil; (8) baik dan rendah hati; (9) toleran,
cinta damai dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis
dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the
good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan
bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the
good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa
membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh
kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan
perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu
berubah menjadi kebiasaan. Jadi, menurut Ratna Megawangi, orang yang memiliki
karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut
Siapa yang bertanggung jawab dalam pendidikan karakter ini? Kurang bijak rasanya
jika persoalan yang sangat penting ini- sepenuhnya diserahkan kepada pihak sekolah
dan juga pemerintah. Peran orang tua dalam institusi kecil bernama keluarga- menurut
hemat penulis adalah faktor kunci terhadap pendidikan karakter anak-anak kita. Orang
tua tidak boleh melepaskan begitu saja dari tanggung jawab berat ini. Bagaimanapun,
komunikasi dan pola didik orang tua akan sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan
masa depan anak. Karena itu, Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan
sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas
(golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan
karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi
pertumbuhan karakter anak dan sekali lagi- peran orang tua menjadi kuncinya
Disamping peran orang tua dan institusi pendidikan, faktor dukungan dari pemerintah
juga penting melalui kebijakan, regulasi, dan anggaran untuk menjadikan pendidikan
karakter ini sebagai salah satu program unggulan. Pendidikan karakter diyakini akan
mampu menumbuhkan semangat kebersamaan, disiplin, saling
menghormati/menghargai, budaya malu, tanggung jawab, dan nasionalisme. Nilai-nilai
itulah yang saat ini kita perlukan sebagai bangsa. Sejarah mencatat bahwa kemajuan
dan keunggulan suatu bangsa bukan ditentukan oleh faktor kekayaan sumber daya
alam (SDA)- tetapi lebih pada aspek sumber daya manusia (SDM) yang memiliki
karakter kuat. Bangsa-bangsa yang hari ini menunjukkan kemajuan yang cukup pesat,
seperti: Jepang, Cina, dan Korea- ternyata sudah mengimplementasikan pendidikan
karakter secara sistematis sejak mulai pendidikan dasar dan itu sangat berdampak
positif- tidak hanya terhadap pencapaian akademis individu tetapi juga kemajuan
bangsanya secara umum
Semoga melalui pendidikan karakter ini akan terbangun fondasi yang kuat pada diri
anak-anak bangsa, sehingga kasus-kasus bullying dan kekerasan lainnya tidak akan
terjadi lagi di dunia pendidikan kita. Tidak perlu saling menyalahkan dan intinya semua
pihak harus bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman,
nyaman, bersahabat, dan menyenangkan bagi anak. Dengan pendidikan karakter yang
kuat, semoga bangsa kita akan terhindar dari ‘malapetaka moral’- sebagaimana yang
dilansir oleh sejarawan ternama Arnold Toynbee, ‘Dari dua puluh satu peradaban dunia
yang dapat dicatat, sembilan belas hancur bukan karena penaklukan dari luar,
melainkan karena pembusukan moral dari dalam alias karena lemahnya karakter. Atau
pendapat Thomas Lickona- ahli psikologi perkembangan dan pendidik dari Cortland
University AS- yang mengungkapkan sepuluh tanda-tanda zaman yang harus
diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat dalam suatu bangsa, berarti bangsa
tersebut sedang berada di tebing jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut di
antaranya: Pertama, Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, Penggunaan
bahasa dan kata-kata yang memburuk. Ketiga, Pengaruh peergroup yang kuat dalam
tindak kekerasan. Keempat, Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol dan perilaku seks bebas. Kelima, Semakin kaburnya
pedoman moral baik dan buruk. Keenam, Menurunnya etos kerja. Ketujuh, Semakin
rendahnya rasa hormat pada orangtua dan guru.Kedelapan, Rendahnya rasa
tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, Membudayanya
ketidakjujuran. Dan kesepuluh, Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara
sesama.