Anda di halaman 1dari 332

Hak cipta dilindungi Undang-Undang ada pada Penerbit Universitas Terbuka

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi


Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan - 15418
Banten - Indonesia
Telp.: (021) 7490941 (hunting); Fax.: (021) 7490147;
Laman: www.ut.ac.id

Dilarang mengutip sebagian ataupun seluruh buku ini


dalam bentuk apa pun tanpa izin dari penerbit

Edisi Kesatu
Cetakan pertama, September 2011 Cetakan kedelapan, November 2016
Cetakan kedua, April 2012 Cetakan kesembilan, Mei 2017
Cetakan ketiga, April 2014 Cetakan kesepuluh, November 2017
Cetakan keempat, Juni 2014 Cetakan kesebelas, April 2018
Cetakan kelima, September 2014 Cetakan kedua belas, Juni 2018
Cetakan keenam, Juni 2015 Cetakan ketiga belas, Februari 2019
Cetakan ketujuh, Mei 2016

Penulis : Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E, M.T.


Penelaah Materi : Amiluhur
Pengembang Desain Instruksional : Amalia Kusuma Wardini

Desain oleh Tim P2M2 :


Kover & Ilustrasi : Aris Suryana
Tata Letak : Eddy Purnomo
Penyunting Bahasa : Edi Purwanto

338
ARI ARIANI, Dorothea Wahyu
m Materi pokok hubungan industrial; 1 – 6; EKMA4367/
2 sks/ Dorothea Wahyu Ariani. -- Cet.13; Ed.1 --.
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2019.
334 hal; ill; 21 cm
ISBN: 978-979-011-640-5

1. industrial
I. Judul

Dicetak oleh
iii

Daftar Isi

TINJAUAN MATA KULIAH ........................................................... i

MODUL 1: KARAKTERISTIK DAN KONTEKS HUBUNGAN 1.1


INDUSTRIAL
Kegiatan Belajar 1:
Pengertian Hubungan Industrial ......................................................... 1.3
Latihan …………………………………………............................... 1.16
Rangkuman ………………………………….................................... 1.18
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 1.18

Kegiatan Belajar 2:
Berbagai Disiplin Ilmu yang Berpengaruh pada Konsep Hubungan
Industrial ............................................................................................. 1.21
Latihan …………………………………………............................... 1.41
Rangkuman ………………………………….................................... 1.43
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 1.44

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 1.47


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 1.48

MODUL 2: SERIKAT PEKERJA 2.1


Kegiatan Belajar 1:
Pengertian tentang Serikat Pekerja ..................................................... 2.3
Latihan …………………………………………............................... 2.18
Rangkuman ………………………………….................................... 2.20
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 2.20

Kegiatan Belajar 2:
Serikat Pekerja di Indonesia ............................................................... 2.23
Latihan …………………………………………............................... 2.44
iv

Rangkuman ………………………………….................................... 2.46


Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 2.47

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 2.50


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 2.51

MODUL 3: PERJANJIAN KERJA BERSAMA DAN NEGOSIASI


PERJANJIAN 3.1
Kegiatan Belajar 1:
Mengadakan Unit Perjanjian Kerja Bersama ..................................... 3.3
Latihan …………………………………………............................... 3.28
Rangkuman ………………………………….................................... 3.29
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 3.30

Kegiatan Belajar 2:
Negosiasi Perjanjian ........................................................................... 3.33
Latihan …………………………………………............................... 3.43
Rangkuman ………………………………….................................... 3.46
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 3.47

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 3.50


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 3.51

MODUL 4: BIAYA KONTRAK PERBURUHAN 4.1


Kegiatan Belajar 1:
Pemberian Penghargaan pada Karyawan ........................................... 4.2
Latihan …………………………………………............................... 4.27
Rangkuman ………………………………….................................... 4.29
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 4.29

Kegiatan Belajar 2:
Isu Pemberian Penghargaan Karyawan ............................................. 4.32
v

Latihan …………………………………………............................... 4.40


Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 4.41

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 4.44


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 4.45

MODUL 5: KONFLIK DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN


HUBUNGAN INDUSTRIAL 5.1
Kegiatan Belajar 1:
Konflik dan Perselisihan di Tempat Kerja ......................................... 5.3
Latihan …………………………………………............................... 5.19
Rangkuman ………………………………….................................... 5.22
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 5.23

Kegiatan Belajar 2:
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ................................. 5.26
Latihan …………………………………………............................... 5.37
Rangkuman ………………………………….................................... 5.41
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 5.42

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 5.45


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 5.46

MODUL 6: PRAKTIK HUBUNGAN INDUSTRIAL DI


INDONESIA 6.1
Kegiatan Belajar 1:
Tinjauan Hubungan Industrial di Indonesia ....................................... 6.3
Latihan …………………………………………............................... 6.22
Rangkuman ………………………………….................................... 6.24
Tes Formatif 1 ……………………………..…….............................. 6.25
vi

Kegiatan Belajar 2:
Praktik Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ................................... 6.28
Latihan …………………………………………............................... 6.56
Rangkuman ………………………………….................................... 6.57
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 6.58

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF ............................................. 6.61


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 6.62
vii

Tinjauan Mata Kuliah

M ata kuliah EKMA 4367 Hubungan Industrial merupakan mata kuliah


lanjutan dari mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia
(MSDM) yang telah Anda pelajari sebelumnya. Melalui mata kuliah ini,
Anda akan dapat memahami konsep, dasar Hubungan Industrial, struktur di
dalam Hubungan Industrial termasuk di dalamnya Serikat Pekerja, proses di
dalam praktik Hubungan Industrial khususnya mengenai perjanjian kerja
bersama, isu mengenai biaya kontrak perburuhan yang berhubungan dengan
pemberian penghargaan penyelesaian konflik serta praktik Hubungan
Industrial di dalam kerangka hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Mata
kuliah Hubungan Industrial ini dirancang untuk membekali Anda dengan
teori dan praktik ketenagakerjaan di Indonesia yang menjadi faktor kunci
dalam penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan dalam suatu organisasi.
Setelah mempelajari mata kuliah Hubungan Industrial, Anda diharapkan
memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang konsep dasar, struktur dan
proses Hubungan Industrial dalam kerangka hukum ketenagakerjaan di
Indonesia. Secara lebih khusus, setelah mempelajari mata kuliah ini Anda
diharapkan akan mampu menjelaskan:
1. konteks hubungan industrial secara umum dan keterkaitan hubungan
industrial dengan berbagai bidang ilmu lain;
2. serikat pekerja dan praktik serikat pekerja di Indonesia;
3. perjanjian kerja bersama dan negosiasi perjanjian. Indonesia;
4. pemberian penghargaan kepada karyawan dan isu gaji, upah dan
tunjangan;
5. konflik dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di tempat
kerja;
6. praktik hubungan industrial, perkembangan dan praktik hukum
ketenagakerjaan di Indonesia

Berdasarkan tujuan khusus yang akan dicapai serta bobot sks mata kuliah
Hubungan Industrial, yakni 2 sks maka materi mata kuliah ini disajikan
dalam 6 modul, yang disusun sebagai berikut.
Modul 1. Karakteristik dan Konteks Hubungan Industrial
Modul 2. Serikat Pekerja
Modul 3. Perjanjian Kerja Bersama dan Negosiasi Perjanjian
viii

Modul 4. Biaya Kontrak Perburuhan


Modul 5. Konflik dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Modul 6. Praktik Hubungan Industrial di Indonesia

Dengan mempelajari setiap modul dengan baik dan cermat sesuai


dengan petunjuk yang ada pada setiap kegiatan belajar, serta dengan
mengerjakan semua latihan atau tugas, dan tes formatif yang disediakan
dengan sungguh-sungguh, Anda akan berhasil dalam menguasai tujuan yang
telah ditetapkan.
ix

P et a Ko m pe ten si
Hubungan Industrial/EKMA4367/2 sks

Setelah mempelajari mata kuliah ini, Anda dapat


menerapkan menjelaskan konsep dasar, struktur dan
proses hubungan industrial dalam kerangka hukum
ketenagakerjaan di Indonesia

Modul 6
Menjelaskan praktik hubungan industrial,
perkembangan dan praktik hukum
ketenagakerjaan di Indonesia

Modul 5
Menjelaskan konflik dan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
di tempat kerja

Modul 2 Modul 3 Modul 4


Menjelaskan serikat pekerja Menjelaskan mengenai Menjelaskan pemberian
dan praktik serikat pekerja di perjanjian kerja bersama dan penghargaan kepada karyawan dan
Indonesia negosiasi perjanjian. isu gaji, upah dan tunjangan.
Indonesia

Modul 1
Menjelaskan konteks hubungan
industrial secara umum dan
keterkaitan hubungan industrial
dengan berbagai bidang ilmu lain
Modul 1

Karakteristik dan Konteks


Hubungan Industrial
Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E., M.T.

PE NDAHUL UA N

B eragamnya kepentingan para pihak yang terlibat dalam kegiatan di


dalam perusahaan mendorong perlunya pengaturan hubungan
antarberbagai pihak tersebut. Hubungan yang harmonis tentu akan
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja individual maupun
organisasional. Hubungan di antara berbagai pihak baik pihak di dalam
maupun antara pihak internal dan eksternal perusahaan atau organisasi diatur
dalam sistem pengaturan kerja atau pekerjaan yang disebut dengan hubungan
industrial. Pengaturan tersebut meliputi berbagai aspek, yaitu ekonomi,
sosial, politik, dan hukum.
Hubungan di antara berbagai pihak dalam hubungan industrial tersebut
meliputi pengusaha, pekerja, pemerintah, dan masyarakat. Pengusaha,
pekerja, dan pemerintah serta masyarakat pada umumnya masing-masing
mempunyai kepentingan bersama atas keberhasilan dan kelangsungan hidup
perusahaan. Pengusaha dan pekerja harus secara bersama-sama memberikan
upaya yang optimal melalui pelaksanaan tugas sehari-hari untuk menjaga
kelangsungan hidup perusahaan dan meningkatkan keberhasilan perusahaan.
Pekerja dan serikat pekerja harus membuat kesan bahwa perusahaan hanya
untuk kepentingan pengusaha. Pengusaha juga harus membuang sikap yang
memperlakukan pekerja hanya sebagai faktor produksi.
Dalam perkembangannya, hubungan industrial tidak hanya menekankan
pada aspek pengaturan yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan
dan berbagai peraturan lainnya, melainkan menggali aspek lain mengenai
hubungan industrial. Hubungan industrial membahas hubungan individu,
kelompok, dan organisasi. Hal ini tentu saja mirip dengan perilaku
organisasional dan manajemen sumber daya manusia, tetapi kajiannya tentu
saja berbeda.
1.2 Hubungan Industrial ⚫

Modul 1 ini akan membahas karakteristik dan pengertian hubungan


industrial. Secara rinci, Kegiatan Belajar 1 membahas pengertian hubungan
industrial dan Kegiatan Belajar 2 membahas berbagai disiplin ilmu yang
berpengaruh terhadap hubungan industrial. Pembahasan dalam Modul 1 ini,
akan menghantarkan Anda untuk memahami berbagai modul hubungan
industrial ini. Secara umum, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan
dapat menjelaskan konteks hubungan industrial secara umum dan keterkaitan
hubungan industrial dengan berbagai bidang ilmu lain. Secara khusus, setelah
mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan:
1. Konsep Umum Hubungan Industrial.
2. Studi Hubungan Industrial.
3. Pendekatan dalam Hubungan Industrial.
4. Evolusi Teori dan Metode dalam Hubungan Industrial.
5. Hubungan Industrial dan Manajemen Sumber Daya Manusia.
6. Hubungan Industrial dan Strategi Organisasi.
7. Hubungan Industrial dan Perilaku Organisasional.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.3

Kegiatan Belajar 1

Pengertian Hubungan Industrial

A. KONSEP UMUM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Hubungan industrial merupakan bidang yang berada di persimpangan.


Lebih dari sepuluh tahun, terdapat paradigma baru dalam hubungan industrial
yang telah diterima dan menjadi perhatian (Godard & Delaney, 2000).
Menurut mereka, berdasarkan paradigma baru tersebut, pekerjaan baru dan
praktik manajemen sumber daya manusia telah menggantikan serikat pekerja
dan kesepakatan bersama sebagai kekuatan inovatif kunci dalam hubungan
industrial. Pekerjaan baru dan praktik manajemen sumber daya manusia
berdampak positif pada kinerja. Kinerja yang positif merupakan bagian dari
penciptaan hubungan manajemen dan karyawan yang lebih kooperatif
sehingga mendorong karyawan dapat bekerja lebih keras dan mau berbagi ide
dengan saling memberi dengan pengusaha.
Paradigma baru dalam hubungan industrial merupakan model
manajemen baru yang berisi beberapa pekerjaan dan inovasi manajemen
sumber daya manusia yang meliputi penugasan kerja fleksibel, kerja dalam
tim/kelompok, dan pelatihan lintas bidang yang didukung oleh beberapa
bentuk pengupahan berdasarkan kinerja, partisipasi karyawan formal, dan
kebijakan manajemen sumber daya manusia pendukung, misalnya keamanan
kerja. Hubungan antarkaryawan menyarankan bahwa meskipun karyawan
dan pengusaha mempunyai konflik dalam sasaran dan keyakinan, konflik
tersebut dapat dihilangkan jika manajer dapat mengadopsi kebijakan dan
praktik yang tepat. Dengan perkataan lain, manifestasi konflik itu tidak
penting walaupun merusak. Kebijakan yang tepat dapat menyelesaikan
permasalahan yang berasal dari dehumanisasi pengaturan kerja sebagai
pengganti kesepakatan kerja bersama. Penganut Paham Hubungan
Antarkaryawan mengusulkan sistem komunikasi yang lebih baik, desain
pekerjaan yang lebih humanistik, dan proses pengambilan keputusan yang
lebih partisipatif.
Namun demikian, pendapat Godard dan Delaney (2000) berbeda dari
Kochan (2000). Kochan (2000) menyatakan bahwa sebenarnya paradigma
baru dan paradigma lama bukan merupakan perdebatan, melainkan peneliti
1.4 Hubungan Industrial ⚫

mempunyai penekanan utama pada praktik di tempat kerja dan pengaruhnya


pada hasil. Lebih banyak pekerjaan yang diuji pengaruhnya pada kinerja
perusahaan daripada keluaran atau hasil yang dicapai karyawan. Adanya
pergeseran ke arah penerimaan keseragaman atau ke arah perspektif
manajemen sumber daya manusia dan pencapaian sasarannya hanya
merupakan hasil dari permasalahan yang ada.
Penelitian mengenai hubungan industrial baik dalam teori maupun
praktik harus menguji perubahan dinamis praktik perserikatan dan non-
perserikatan. Menurut Godard dan Delaney (2000), studi perubahan
kontemporer dalam praktik di tempat kerja kembali pada model hubungan
antar orang atau karyawan yang ada dalam model kerja dan hubungan antar
karyawan dari Taylor. Proposisi kunci yang mendasari Taylorisme adalah
perancangan divisi karyawan atau tenaga kerja melalui prinsip perancangan
hubungan industrial dan pengupahan karyawan untuk menghasilkan tingkat
efisiensi maksimum dan kepuasan kerja karyawan. Teori hubungan
antarkaryawan berganti arah hubungan dan menjelaskan bahwa
pengorganisasian pekerja untuk memuaskan karyawan secara psikologis dan
pemenuhan kebutuhan sosial akan mendorong efisiensi.
Di masa lalu, tema umum yang dibahas di tingkat hubungan industrial
adalah kesepakatan kerja bersama, serikat pekerja, dan pemogokan
(Lansbury, 2009). Topik-topik tersebut kini menurun tingkat kepentingannya
dalam sepuluh tahun terakhir ini. Namun demikian, isu tentang bagaimana
kerja diatur, upah ditentukan, pandangan atau pendapat karyawan
direpresentasikan, dan bagaimana konflik diselesaikan, secara terus-menerus
memperhatikan orang di tempat kerja, organisasi, pengusaha, dan pemerintah
merupakan bidang yang banyak diteliti dan dijadikan kajian.
Definisi hubungan industrial merupakan bidang pengetahuan dan praktik
yang juga merupakan subyek untuk perubahan. Ada berbagai perdebatan
seputar apakah bidang hubungan industrial yang terlalu teoritis dan digeser
dari perhatian pada kehidupan setiap hari di tempat kerja menjadi relevan
bagi praktisi dan pembuat kebijakan atau sebaliknya, apakah terlalu banyak
partisipan dalam hubungan dengan serikat pekerja dan pengusaha dapat
saling melengkapi. Tidak seperti subyek atau bidang lain seperti manajemen
sumber daya manusia yang cenderung menerima pandangan yang sama
dalam hubungan antarkaryawan dan tidak mengeksplorasi lingkungan sosial
tempat organisasi beroperasi, pendekatan pluralis dalam hubungan industrial
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.5

berkaitan dengan konflik dan penyelesaian sebagai konsekuensi alamiah


lingkungan yang banyak terdapat pemangku kepentingan di dalamnya.
Studi tentang hubungan industrial adalah melakukan penelitian tentang
bagaimana peranan pemerintah, manajemen, dan pekerja dalam rangka
mengubah ataupun mempertahankan aturan di tempat kerja. Berdasarkan
perumusan tentang hubungan industrial tersebut, terdapat tiga pelaku, yaitu
pemerintah, manajemen atau pengusaha, dan karyawan atau pekerja. Badan-
badan pemerintah meliputi lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.
Interaksi pada pelaku hubungan industrial melahirkan berbagai aturan di
tempat kerja yang luas cakupannya. Aturan tersebut berdasarkan aspirasi dari
semua pihak yang terkait.
Aturan di tempat kerja adalah hasil interaksi antara pengusaha dengan
karyawan, sehingga melahirkan berbagai peraturan di lingkungan perusahaan
dalam bentuk kesepakatan kerja bersama. Selain itu, ada juga bentuk aturan
di tempat kerja sebagai suatu kebiasaan atau tradisi yang mengikat antara
pihak pengusaha dan pekerja. Dalam proses interaksi, para pelaku hubungan
industrial didasari kepada konsep tentang interaksi di antara pelaku hubungan
industrial. Proses interaksi ini biasanya dilakukan dalam kegiatan pemasaran
tenaga kerja.
Pemasaran tenaga kerja dimaksud untuk membahas penentuan syarat-
syarat kerja yang akan diterapkan dalam pelaksanaan hubungan kerja yang
terjadi setelah karyawan dinyatakan diterima oleh pihak perusahaan.
Penentuan syarat-syarat kerja ini dilaksanakan oleh karyawan secara
individual maupun oleh wakil-wakil karyawan yang tergantung dalam
organisasi pekerja atau organisasi karyawan. Penentuan syarat-syarat kerja
secara individu hanya melibatkan individu yang terikat dengan ketentuan
syarat-syarat kerja.
Karena ketentuan hanya menyangkut karyawan secara individu
(perseorangan), maka dalam penetapannya juga hanya melibatkan karyawan
yang bersangkutan dengan pihak perusahaan atau pengusaha, atau yang
selanjutnya disebut kesepakatan individual. Namun demikian, syarat-syarat
kerja juga dapat ditentukan oleh sekelompok karyawan atau yang disebut
kesepakatan bersama. Sebagai konsekuensinya, para karyawan tersebut harus
menerima syarat-syarat kerja yang telah disepakati oleh pihak perusahaan
atau pengusaha dengan wakil karyawan. Syarat-syarat kerja yang akan
ditentukan dalam proses tersebut biasanya meliputi jam kerja, hari kerja,
tempat kerja, upah, dan jaminan sosial.
1.6 Hubungan Industrial ⚫

B. STUDI HUBUNGAN INDUSTRIAL

Saudara mahasiswa, Anda tentunya tahu mengenai hubungan industrial


yang ada di dalam perusahaan atau organisasi bukan? Hingga saat ini, masih
banyak perdebatan yang panjang mengenai hubungan industrial. Beberapa
peneliti hubungan industrial menggunakan pandangan yang sempit mengenai
subyek hubungan industrial dan mendefinisikan hubungan industrial sebagai
suatu pengaturan kerja atau pekerjaan di tempat kerja. Peneliti lain
menyatakan bahwa hubungan industrial merupakan satu aspek hubungan
sosial di tempat kerja dan harus menggunakan analisis komprehensif dalam
menjabarkannya. Perbedaan pandangan tersebut mempengaruhi faktor yang
menjadi perhatian dalam menyimpulkan hubungan industrial.
Pandangan hubungan industrial sebagai pengaturan kerja berhubungan
dengan struktur ekonomi, sosial, dan politik secara lebih luas. Sementara itu,
pandangan hubungan industrial yang lebih luas menekankan pada konflik
antara pengusaha dan karyawan, ketidakadilan ekonomi dan sosial, serta
struktur dan distribusi kekuasaan sebagai komponen utama dalam hubungan
industrial. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pandangan yang lebih luas
mengenai hubungan industrial adalah mengenai perilaku dan interaksi
antarindividu atau antarkelompok di tempat kerja.
Hubungan industrial secara luas menekankan pada bagaimana individu,
kelompok, organisasi, dan institusi membuat keputusan yang membentuk
hubungan antara pengusaha dan karyawan. Hal ini mirip dengan bidang
manajemen sumber daya manusia dan perilaku organisasional yang berfokus
pada aspek-aspek hubungan kerja. Lalu, apa bedanya hubungan industrial
dengan manajemen sumber daya manusia dan perilaku organisasional
tersebut? Deery et al. (1998) menyatakan adanya tiga hal yang membedakan.
Pertama, sasaran atau tujuannya berbeda. Pada hubungan industrial,
ditunjukkan bahwa hubungan kerja yang ada bersifat konfliktual. Kedua,
perbedaan derajat konflik di antara berbagai kepentingan. Meskipun
kenyataannya ada kesamaan dalam bidang peminatan pengusaha dan
karyawan, tetap saja diasumsikan terdapat konflik antara pemilik dan
pengelola organisasi. Ketiga, ketersediaan sumber daya yang berkuasa
terhadap kepentingan dan sasaran berbeda. Hubungan kekuasaan antara
pengusaha dan karyawan dan serikat pekerja di lingkungan kerja, bagaimana
bentuk dan kondisi hubungan dalam faktor politik, ekonomi, dan sosial
merupakan hal yang penting dalam hubungan industrial.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.7

Hubungan industrial berhubungan dengan kesepakatan antara pengusaha


dan karyawan suatu organisasi dan pemerintah di tingkat pusat, dan dengan
hukum tentang ketenagakerjaan dan kesepakatan bersama. Konsep hubungan
antarkaryawan menunjukkan desentralisasi antara pengusaha dan karyawan
secara individu pada semua tingkat, tetapi secara khusus untuk level
organisasi dan kelompok (De Leede et al., 2004). Dasar hubungan industrial
adalah lembaga bipartit yang berpusat pada pengusaha dan karyawan
organisasi dan yang membahas semua permasalahan tenaga kerja dan upah,
dan lembaga tripartit yang melibatkan pemerintah dalam urusan hukum.
Menurut Katz et al. (1985), ada dua dimensi kunci dalam sistem
hubungan industrial, yaitu manajemen konflik serta sikap dan perilaku
individual. Semakin rendah keefektifan kinerja sistem hubungan industrial
pada kedua dimensi tersebut, maka semakin rendah pula keefektifan
organisasi tersebut. Suatu fungsi penting sistem hubungan industrial adalah
membangun prosedur dan proses untuk menangani masalah antara
manajemen dan karyawan. Konflik yang tinggi menyebabkan kepercayaan
rendah dan mempengaruhi partisipasi dan keterlibatan karyawan.
Kesepakatan bersama seperti negosiasi dan administrasi kontrak juga
berhubungan dengan perilaku individu. Mekanisme negosiasi dan
penyelesaian konflik berhubungan dengan keefektifan organisasi. Hal
tersebut disebabkan oleh:
1. Pengelolaan dan prosedur formal membutuhkan waktu, orang, dan
sumber daya. Manajemen dan serikat pekerja menyediakan waktu dan
usaha untuk penyelesaian masalah, komunikasi, dan kegiatan lain yang
berhubungan dengan produktivitas, manajemen sumber daya manusia,
atau pengembangan organisasional.
2. Volume keluhan dan tinjauan pendisiplinan menunjukkan adanya
keberhasilan atau kegagalan bagian untuk mengomunikasikan secara
efektif atau menyelesaikan perbedaan selama tahap awal dari prosedur
formal.
3. Karena keluhan formal dan proses kesepakatan berfokus pada isu
distributif, maka proses tersebut melekat pada derajat bentuk politik dan
taktik.
1.8 Hubungan Industrial ⚫

Sistem penyelesaian konflik menunjukkan ciri institusi sistem hubungan


industrial. Namun demikian, motivasi, sikap, dan perilaku individu serta
kelompok kerja informal dapat berpengaruh secara independen pada kinerja
organisasional.

C. PENDEKATAN DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Studi hubungan industrial banyak mendapat dukungan dari berbagai


disiplin ilmu, seperti ekonomi, sosiologi, hukum, politik, dan sejarah. Studi
hubungan industrial juga menggunakan berbagai pendekatan dari berbagai
perspektif. Masing-masing individu mempunyai cara pandang yang berbeda
dan menggunakan dasar teori yang berbeda dalam melakukan analisis.
Kesamaan pandangan dalam hubungan industrial adalah memandang
hubungan antara pengusaha dan karyawan secara harmonis. Deery et al.
(1998) membagi tiga pendekatan dalam studi hubungan industrial, yaitu
keseragaman atau kesamaan, keberagaman, dan radikal.

1. Pendekatan Keseragaman atau Kesamaan


Dalam pendekatan keseragaman, hubungan industrial diasumsikan
bahwa setiap organisasi merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dengan
sasaran atau tujuan yang sama. Hubungan kerja didasarkan pada saling
bekerja sama dan terdapat keserasian dalam keinginan antara pengusaha dan
karyawan. Dalam pendekatan keseragaman ini tidak ada konflik mendasar
antara pemilik modal dan pemasok tenaga kerja. Konflik industrial yang
terjadi bersifat temporer yang disebabkan komunikasi dan manajemen yang
buruk atau adanya perilaku menyimpang. Serikat pekerja dianggap sebagai
pengacau yang mempunyai struktur yang seragam dan ada kerja sama dalam
organisasi. Mereka juga merupakan pertimbangan dalam persaingan dengan
manajemen dalam mengelola karyawan.
Pandangan keseragaman berorientasi pada manajerial dengan adanya
sumber kewenangan tunggal dan fokus pada loyalitas. Pandangan
keseragaman menekankan pada keinginannya dalam strategi manajerial
untuk membangun komitmen, memperbaiki komunikasi, dan dalam beberapa
kasus menggunakan gaya kepemimpinan demokratik dan sistem partisipasi
karyawan di tempat kerja. Pandangan keseragaman mendorong timbulnya
tiga aliran dalam manajemen, yaitu manajemen ilmiah, hubungan antar
karyawan, dan pandangan baru dalam hubungan antarkaryawan.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.9

a. Manajemen ilmiah
Tokoh dalam manajemen ilmiah adalah Frederick W. Taylor yang
merupakan perumus teori perilaku industrial. Prinsip yang dikembangkannya
adalah menciptakan iklim industrial dengan terjadinya kemitraan antara
modal dan karyawan sehingga tercapai peningkatan efisiensi organisasi.
Taylor menyatakan bahwa manajemen harus mempelajari pekerjaan yang
harus dilakukan agar menjadi satu cara terbaik dalam mengerjakan tugas.
Taylor juga menyatakan bahwa dengan maksimisasi efisiensi produk setiap
karyawan, manajemen ilmiah akan memaksimumkan penghasilan karyawan
dan pengusaha. Menurut Taylor, dengan rancangan dan pembayaran tugas
yang tepat, sumber konflik sistem dapat dikurangi.

b. Hubungan antarkaryawan
Aliran hubungan antarkaryawan merupakan isu awal dalam psikologi
industri yang berfokus pada individu. Para ahli teori hubungan antarkaryawan
kurang tertarik dengan struktur insentif ekonomi, namun lebih tertarik pada
penciptaan kepuasan dalam hubungan sosial dalam kelompok kerja.
Karyawan yang puas akan memiliki kinerja yang tinggi dan mau bekerja
sama. Karyawan memang harus diperlakukan sebagai manusia, sedangkan
manajer harus menyadari keinginan karyawan untuk dipahami perasaan dan
emosinya dan berusaha menciptakan rasa memiliki dan identifikasi personal
dalam organisasi.
Selanjutnya, supervisi yang baik dan keterbukaan dalam komunikasi
akan menginspirasi rasa percaya diri dan meningkatkan komitmen terhadap
pencapaian sasaran organisasi. Manajer harus menyediakan lingkungan kerja
yang mampu menanggapi kebutuhan emosional dan personal individu dalam
kelompok kerja. Penelitian mengenai hubungan antarkaryawan telah
dilakukan oleh Elton Mayo dengan Studi Howthorne. Tujuan studi tersebut
adalah mengobservasi pengaruh produktivitas karyawan yang diukur dalam
lingkungan kerja yang berubah.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas
bukan dipengaruhi faktor yang logis seperti pencahayaan atau jam kerja yang
dipersingkat, melainkan justru disebabkan oleh perasaan menyenangkan dan
mempunyai keinginan kuat dalam mencapai keinginannya. Studi Howthorne
menunjukkan bahwa motivasi seseorang dapat dipengaruhi oleh hubungan
antarkaryawan atau yang disebut dengan faktor sosial (Locke, 1982).
Sementara itu, Locke et al., 1981 menyatakan bahwa ada empat cara atau
1.10 Hubungan Industrial ⚫

teknik praktis dalam memotivasi karyawan, yaitu adanya uang, penyusunan


tujuan/sasaran, partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan pengayaan
pekerjaan atau tugas.
Satu kritik terhadap pendapat Taylor adalah menolak serikat pekerja
dengan menggunakan berbagai teknik, yaitu sebagai berikut.
1) Studi waktu dan gerak.
2) Peralatan dan prosedur standar.
3) Modifikasi perilaku organisasional.
4) Pemberian bonus berupa uang.
5) Pekerjaan individual, yang ditunjukkan dengan adanya fenomena
kemalasan sosial (yaitu fenomena penurunan produktivitas apabila
anggota kelompok ditambah).
6) Tanggung jawab manajemen untuk mengadakan pelatihan.
7) Penggunaan jam kerja yang lebih pendek.

c. Pandangan baru dalam hubungan antarkaryawan


Tokoh dalam pandangan baru antara lain McGregor, Likert, dan
Herzberg yang memandang bahwa cara untuk memahami perilaku di tempat
kerja adalah menemukan kebutuhan individu (atau egoistik) karyawan, bukan
kebutuhan sosial. Oleh karena itu, pandangan ini menekankan terciptanya
kepuasan karyawan. Karakteristik pekerjaan seperti menarik, menantang, dan
kesempatan memiliki tanggung jawab dan arahan atau pengendalian diri
merupakan motivator yang sesungguhnya. Program seperti perluasan
pekerjaan dan pengayaan pekerjaan telah menggantikan kebutuhan sosial.
McGregor menyatakan bahwa bila perusahaan akan meningkatkan
kebutuhan karyawan melalui perubahan dalam struktur pengambilan
keputusan organisasional maka langkah yang tepat untuk dilakukan adalah
mencapai kesamaan sasaran individu dengan sasaran perusahaan tersebut.
Pandangan baru dalam hubungan antarkaryawan juga menggunakan
kepuasan kerja intrinsik dalam memotivasi, seperti hubungan informal yang
baik. Pemberian upah dan kondisi kerja yang menyenangkan merupakan
faktor ekstrinsik atau faktor yang tidak dapat memuaskan yang menyebabkan
ketidakpuasan apabila tidak ada, atau bila ada, tetap tidak dapat memuaskan
karyawan. Kepuasan kerja karyawan dicapai dari faktor intrinsik atau faktor
motivator seperti status, pengenalan, dan pekerjaan yang menarik.
Pendekatan dalam pandangan baru ini lebih baik daripada pendekatan
sebelumnya dalam analisis keperilakuan. Hal yang terpenting dalam analisis
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.11

tersebut adalah memperbaiki hubungan antarkaryawan di tempat kerja.


Sumber konflik ditemukan dalam organisasi dan menemukan perubahan
dengan menerapkan teknik manajerial yang tepat. Konflik dapat dihindari
dengan menciptakan sistem komunikasi yang efektif, kepemimpinan yang
mendukung, dan hubungan informal yang baik, sehingga pekerjaan
memuaskan dan mendapatkan hasil. Lingkungan kerja yang menyenangkan
dan tingkat upah yang tinggi merupakan faktor ekstrinsik yang tidak dapat
memberikan kepuasan. Sementara itu, pengayaan pekerjaan, penambahan
pekerjaan, dan rotasi pekerjaan merupakan metode yang penting dalam
mengurangi kebosanan dan pengulangan dalam proses produksi.

2. Pendekatan Keberagaman
Berbeda dengan pendekatan keberagaman yang memiliki satu sumber
kekuasaan yang memiliki kekuasaan legitimasi, pendekatan keberagaman
memungkinkan terjadinya perbedaan kelompok peminatan dan berbagai
bentuk loyalitas. Kerangka kerja keberagaman menyatakan bahwa karyawan
dalam organisasi yang berbeda dapat memiliki kepeminatan yang sama.
Dengan menciptakan hubungan mendatar atau ke samping dengan kelompok
di luar keanggotaan organisasi dalam bentuk perserikatan yang lebih
mengembangkan loyalitas dan komitmen terhadap pemimpin daripada
pengelolaan organisasinya. Pengelolaan yang penting adalah mengenal
sumber kepemimpinan yang sah dan berfokus pada loyalitas dalam
organisasi, serta memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan.
Pandangan keberagaman mempunyai perspektif teoritis dalam hubungan
industrial. Ada dua asumsi yang mendasari. Pertama, kekuasaan tampak
sebagai penyebaran kelompok yang sama-sama mendominasi. Dengan
perkataan lain, persaingan kekuatan menghambat dan memeriksa kekuasaan
absolut. Kedua, kondisi yang berkaitan dengan pelindung peminatan
masyarakat dan peran melindungi kelemahan dan mengendalikan kekuasaan.
Pendekatan keberagaman cenderung memusatkan perhatian pada jenis
peraturan, regulasi, dan proses yang memungkinkan memberikan kontribusi
pada kepeminatan organisasi dan menjamin bahwa perbedaan minat secara
efektif akan mempertahankan keseimbangan sistem. Pendekatan ini
menekankan pada stabilitas sosial, sehingga hubungan industrial dipandang
sebagai peraturan yang menekankan pada aspek hubungan antara pengusaha
dan karyawan dan hubungan antara manajemen dan serikat pekerja, sehingga
1.12 Hubungan Industrial ⚫

konflik dalam pengendalian di pasar tenaga kerja dan proses yang terjadi
merupakan manifestasi peminatan fundamental dan bersifat terus-menerus.

3. Pandangan Radikal
Pandangan ini mengenal konflik fundamental dan melekat pada konflik
kepentingan antara karyawan dan pengusaha di tempat kerja. Tempat kerja
merupakan suatu tempat terjadinya konflik dengan adanya konflik
kepentingan yang radikal yang mendasari adanya hubungan industrial. Tidak
seperti dalam pendekatan keragaman, pendekatan radikal memandang
hubungan industrial sebagai totalitas hubungan sosial dalam produksi.
Pendekatan radikal memandang ketidakseimbangan kekuasaan dalam
masyarakat dan di tempat kerja sebagai inti hubungan industrial

D. EVOLUSI TEORI DAN METODE DALAM HUBUNGAN


INDUSTRIAL

Lebih dari dua dekade, perkembangan teori yang terjadi dalam


memahami hubungan antarkaryawan dan hubungan sosial di tempat kerja
dapat dicatat bahwa hubungan industrial lebih didasarkan pada analisis
ekonomi. Kontrak antarkaryawan dipandang sebagai hubungan pertukaran
ekonomi. Permasalahan yang sering kali muncul adalah mengubah
kemampuan kerja karyawan menjadi ketepatan dalam kualitas dan kuantitas
output. Penelitian mengenai hubungan industrial didasarkan pada teori biaya
transaksi, kontrak, atau teori keagenan prinsipal. Alasan dasar pendekatan
biaya transaksi adalah catatan bahwa transaksi ekonomi termasuk perumusan
dan implementasi kontrak antar karyawan memerlukan biaya. Biaya transaksi
menunjukkan biaya yang bersifat finansial maupun nonfinansial yang
berhubungan dengan model kontrak dan mencakup biaya koordinasi dan
motivasi karyawan, biaya memonitor perilaku karyawan, dan biaya
menegakkan dan menjalankan kontrak.
Studi awal mengenai hubungan antarkaryawan diterapkan dengan fokus
terutama pada peraturan, transaksi, dan tindakan kolektif daripada fokus pada
pertukaran antarindividu. Di tahun 1930-an, hubungan industrial merupakan
disiplin ilmu baru yang dimulai dengan memusatkan pada hubungan
antarkaryawan (Fossum, 1987). Pada awalnya, teori dan penelitian mengenai
hubungan industrial dikembangkan terutama oleh para ahli ekonomi,
psikologi, sosiologi, dan politik terutama dalam fokus dan metode. Sistem
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.13

hubungan industrial didefinisikan dengan pengidentifikasian a web of rules


yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui pendefinisian dan
pengukuran arah dan kekuatan hubungan di antara variabel-variabel
karyawan secara operasional.
Tahun 1978 merupakan generasi baru dalam hubungan industrial.
Ledakan penelitian dalam hubungan industrial telah memperluas
pengetahuan individu dan anggota serikat pekerja dan pengaruh serikat
pekerja pada produktivitas, profitabilitas, dan perekonomian. Berbagai
penelitian yang baru menunjukkan adanya perbedaan pendekatan. Ada empat
proses utama yang terlibat dalam kesepakatan atau perundingan bersama,
yaitu pengorganisasian, negosiasi, penyelesaian yang sama atau adil, dan
kontrak administrasi. Selain itu, dalam berbagai studi tersebut digunakan
berbagai unit analisis. Pada tingkat individual, baik perilaku maupun sikap
dapat diukur.
Selanjutnya, ada dua perspektif yang lazim dipakai untuk melihat
hubungan antarpelaku hubungan industrial, yaitu: perspektif fungsional dan
perspektif konflik (Batubara, 2008). Para ahli penganut perspektif fungsional
melihat masyarakat sebagai organisme hidup, sehingga bagian satu dengan
yang lain saling terkait. Masyarakat terdiri dari struktur dan dinamikanya.
Adanya kesamaan yang khusus antara sistem biologis dengan sistem sosial,
yaitu persamaan dari perbandingan bahwa setiap bagian tubuh mempunyai
fungsi, begitu juga dalam masyarakat tiap-tiap bagian ada fungsi dan
tujuannya. Apabila pandangan ini dipakai untuk politik maka dapat dikatakan
bahwa kehidupan politik merupakan suatu sistem dengan berbagai komponen
politik yang melakukan fungsi-fungsi tertentu, dan satu fungsi dengan fungsi
yang lain saling terkait sehingga dapat dilihat sebagai satu kesatuan. Di
dalam sistem politik ada komponen yang melakukan fungsi tertentu secara
terus-menerus sehingga melahirkan struktur.
Selain perspektif fungsional, pandangan lain adalah perspektif konflik.
Perspektif konflik menyatakan bahwa perspektif fungsional tidak akan
mampu mengatasi keseluruhan fenomena sosial. Pendekatan perspektif
fungsional lebih merupakan suatu pendekatan utopia ketimbang realitas.
Perspektif konflik berpendapat bahwa masyarakat bersisi ganda, memiliki
sisi konflik dan sisi kerja sama. Oleh karena itu, perspektif konflik digunakan
dalam memahami fenomena sosial secara lebih baik.
Selanjutnya, ada dua landasan atau pendekatan hubungan industrial,
yaitu pendekatan dari perspektif kesatuan dan perspektif konflik antarkelas.
1.14 Hubungan Industrial ⚫

Pendekatan perspektif kesatuan memandang bahwa hubungan antara


penguasa dan karyawan bukan merupakan hubungan persaingan melainkan
merupakan hubungan satu tim. Pengusaha merupakan pihak yang
menentukan kebijaksanaan dan karyawan merupakan pihak yang
melaksanakan kebijakan. Pendekatan perspektif kesatuan ini melihat bahwa
dalam organisasi kerja terdapat kelompok dengan beragam kepentingan,
tujuan, dan aspirasi. Oleh karena itu, konflik di dalam hubungan kerja
merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, konflik itu
bukan merupakan penyimpangan yang secara terus-menerus mengganggu
keharmonisan industri, tetapi merupakan hal melekat pada hubungan kerja.
Perspektif konflik kelas berkembang menjadi perspektif konflik industri
pada masyarakat paska kapitalis. P. Stephen J. Erry dan David H. Plowman
menggunakan istilah pendekatan kesatuan yang memandang hubungan
industrial dengan pendekatan tersebut sebagai hubungan kerja sama dengan
kepentingan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha. P Stephen J. Erry
dan David H. Plowman juga mengemukakan pendekatan keberagaman.
Pendekatan keanekaragaman dijadikan sebagai landasan teori hubungan
industrial. Meski demikian, ada juga ahli hubungan industrial yang
memberikan kritik. Hyman mengatakan sebaiknya tidak ada pelaku
hubungan industrial yang terlalu dominan dan memenangkan kepentingannya
saja, sehingga negara harus menjadi penjaga kepentingan publik dengan
tugas utamanya melindungi yang lemah dan mencegah yang kuat.
Pendekatan lain yang dikemukakan dan berbeda dari pendekatan
keanekaragaman adalah pendekatan Marxist. Pendekatan ini bertolak dari
pemikiran bahwa di dalam masyarakat industri ada konflik antarkelas, yaitu
konflik antara kelas pemilik modal atau pengusaha dengan pekerja yang
menjual tenaganya. Konflik ini tidak akan selesai sebelum buruh menguasai
alat-alat produksi.
Perbedaan pandangan pendekatan keanekaragaman dan pendekatan
Marxist adalah pendekatan keanekaragaman melihat konflik yang ada di
dalam hubungan industrial bukan merupakan konflik total, akan tetapi
konflik kepentingan yang dapat dirundingkan dengan semangat memberi
konsesi dan bersedia kompromi di antara pelaku hubungan industrial.
Kekuasaan yang dimiliki masing-masing pelaku hubungan industrial baru
terlihat kalau ada interaksi antarmereka. Interaksi antarpelaku hubungan
industrial dipengaruhi oleh lingkungan yang ada bila hubungan industrial
dioperasikan. Dalam interaksi antara pelaku hubungan industrial dapat terjadi
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.15

konflik. Konflik ini dapat berupa konflik kelas dan dapat berupa konflik
kepentingan. Dalam studi tentang hubungan industrial yang menjadi sorotan
adalah bagaimana konflik kepentingan itu dapat diselesaikan. Kalau ada
konflik, berarti akan ada penggunaan kekuasaan yang dimiliki oleh suatu
organisasi.
Ruang lingkup hubungan industrial secara umum merupakan hubungan
antara pekerja dan pengusaha dengan berbagai permasalahan, seperti
ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Ruang lingkup tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu pemasaran tenaga kerja dan pengelolaan tenaga kerja.
Pendekatan biaya transaksi membuat sejumlah asumsi mengenai perilaku
karyawan dan lingkungan ekonomi.
Ada dua asumsi perilaku yang penting, yaitu rasionalitas yang terbatas
dan paham oportunis. Keterbatasan rasionalitas menunjukkan adanya
keterbatasan pandangan individu sehingga individu tidak dapat memproses
informasi yang tidak terbatas dan tidak mampu mengomunikasikan informasi
tersebut kepada orang lain dengan sempurna. Selain itu, individu juga
memiliki sifat menjadi seorang yang oportunis, sehingga individu cenderung
memiliki kepentingan sendiri yang berbeda-beda. Keterbatasan rasionalitas
individu, kompleksitas, dan ketidakpastian lingkungan ekonomi
menunjukkan bahwa kontrak karyawan yang detail dan komprehensif
tersebut tidak layak. Sementara itu, perilaku oportunis muncul ketika
karyawan memiliki tingkat tawar-menawar dalam keahlian khusus. Konsep
kerangka kerja hubungan industrial mendorong pengembangan tipologi
dengan tiga level kegiatan hubungan industrial, yaitu level strategi,
kebijakan, dan tempat kerja. Hal ini dipaparkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1.
Tiga Level Kegiatan Hubungan Industrial
Level Pengusaha Serikat Pekerja Pemerintah
Strategi jangka Strategi Bisnis Strategi Politik Kebijakan
panjang dan Strategi Investasi Strategi Representasi Makroekonomi dan
penyusunan Strategi Sumber Daya Strategi Organisasi sosial
kebijakan Manusia
Kesepakatan Kebijakan Personalia Strategi Kesepakatan Hukum dan
bersama dan Strategi Negosiasi Bersama Administrasi
kebijakan personal Tenaga Kerja
Hubungan tempat Gaya Supervisi Administrasi Kontrak Standar Karyawan
kerja dan individu/ Partisipasi karyawan Partisipasi Karyawan Partisipasi
organisasi Desain Pekerjaan dan Desain Pekerjaan dan Karyawan
Organisasi Kerja Organisasi Kerja Hak Individual
Sumber: Deery et al., 1998.
1.16 Hubungan Industrial ⚫

Tabel 1.1 menunjukkan pembagian kerangka kerja yang membagi


kegiatan manajemen, karyawan, dan pemerintah menjadi tiga tingkatan.
Setiap tingkatan diperdalam dengan tiga aktor utama lain dalam sistem
hubungan industrial. Ketiga tingkat menunjukkan perbedaan dalam
keunggulan analisis. Kerangka kerja mengenal hubungan antarkegiatan pada
berbagai tingkatan sistem yang berbeda. Kerangka kerja menunjukkan
pengaruh berbagai keputusan strategik dengan berbagai faktor. Sedangkan
fokus analisisnya adalah pada hubungan formal dan informal di tempat kerja.

LA TIH AN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan hubungan industrial?
2) Jelaskan tiga pendekatan dalam hubungan industrial, yaitu kesamaan,
keberagaman, dan radikal!
3) Jelaskan tiga aliran dalam manajemen yang muncul karena pandangan
keseragaman!
4) Jelaskan perbedaan perspektif fungsional dan perspektif konflik dalam
melihat hubungan antarpelaku dalam hubungan industrial!
5) Jelaskan tiga level kegiatan hubungan industrial, yaitu level strategi,
kebijakan, dan tempat kerja!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Yang dimaksud hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang


terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang atau jasa,
yang meliputi pekerja, manajemen atau pengusaha atau majikan, dan
pemerintah. Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa hubungan
industrial adalah perilaku dan interaksi antarindividu atau kelompok di
tempat kerja.
2) 3 (tiga) pendekatan hubungan industrial adalah sebagai berikut.
a. Pendekatan kesamaan, yaitu hubungan industrial yang
mengasumsikan bahwa organisasi merupakan satu kesatuan yang
terintegrasi dengan sasaran yang sama, adanya kerja sama, tidak ada
konflik mendasar antara manajemen dan pekerja, serta menekankan
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.17

pembangunan komitmen, perbaikan komunikasi, serta gaya


kepemimpinan demokratik dengan partisipasi karyawan di tempat
kerja tinggi.
b. Pendekatan keberagaman, yaitu hubungan industrial yang
menekankan pentingnya hubungan ke samping dengan kelompok
dengan membentuk serikat pekerja, lebih memerhatikan jenis
peraturan dan regulasi, menekankan perlunya stabilitas sosial.
c. Pendekatan radikal, yaitu hubungan industrial yang memandang
totalitas hubungan sosial dalam produksi, memandang
ketidakseimbangan kekuasaan dalam masyarakat merupakan inti
hubungan industrial, dan memandang bahwa tempat kerja
merupakan tempat terjadinya konflik.
3) 3 (tiga) aliran dalam manajemen dalam pendekatan keseragaman, yaitu
manajemen ilmiah, hubungan antarkaryawan, dan pandangan baru dalam
hubungan antarkaryawan. Manajemen ilmiah menekankan kemitraan
antara modal dan karyawan sehingga efisiensi organisasi dapat tercapai.
Hubungan antarkaryawan menekankan supervisi yang baik, keterbukaan
dalam komunikasi, dan hubungan yang baik antar karyawan. Pandangan
baru dalam hubungan antarkaryawan memperbaiki pendekatan
sebelumnya.
4) Perspektif fungsional melihat masyarakat sebagai organisme hidup
sehingga bagian yang satu dan lainnya saling terkait. Perspektif konflik
melihat masyarakat memiliki dua sisi, yaitu sisi konflik dan sisi kerja
sama.
5) 3 (tiga) level kegiatan hubungan industrial dapat digambarkan pada tabel
berikut.
Level Pengusaha Serikat Pekerja Pemerintah
Strategi jangka Strategi Bisnis Strategi Politik Kebijakan
panjang dan Strategi Investasi Strategi Representasi Makroekonomi dan
penyusunan Strategi Sumber Daya Strategi Organisasi sosial
kebijakan Manusia
Kesepakatan Kebijakan Personalia Strategi Kesepakatan Hukum dan
bersama dan Strategi Negosiasi Bersama Administrasi
kebijakan personal Tenaga Kerja
Hubungan tempat Gaya Supervisi Administrasi Kontrak Standar Karyawan
kerja dan individu/ Partisipasi karyawan Partisipasi Karyawan Partisipasi
organisasi Desain Pekerjaan dan Desain Pekerjaan dan Karyawan
Organisasi Kerja Organisasi Kerja Hak Individual
1.18 Hubungan Industrial ⚫

RA NGK UMA N

1. Hubungan industrial melibatkan pekerja, manajemen atau


pengusaha dan pemerintah untuk menciptakan perilaku dan interaksi
antarindividu dan antarkelompok di tempat kerja, sehingga tercipta
pengaturan kerja yang baik secara ekonomi, sosial, dan politik.
2. Paradigma baru dalam hubungan industrial merupakan model
manajemen baru yang berisi beberapa pekerjaan dan inovasi
manajemen sumber daya manusia dan lebih menekankan pada
hubungan antar karyawan. Manifestasi konflik dalam hubungan
industrial diselesaikan dengan komunikasi yang lebih baik.
3. Studi hubungan industrial menggunakan tiga pendekatan yang
berbeda, yaitu pendekatan keseragaman, pendekatan keberagaman,
dan pandangan radikal. Pendekatan keseragaman mendorong
timbulnya tiga aliran manajemen, yaitu manajemen ilmiah,
hubungan antarkaryawan, dan pandangan baru dalam hubungan
antarkaryawan.
4. Teori hubungan industrial mengalami evolusi. Hal ini menunjukkan
adanya perkembangan dan kemajuan, yang ditandai dengan
berbagai penelitian mengenai hubungan industrial. Teori yang
mendasari antara lain teori biaya transaksi, berbagai teori dalam
ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, dan politik. Dua perspektif yang
digunakan, yaitu perspektif fungsional dan perspektif konflik atau
perspektif kesatuan dan konflik kelas, serta pendekatan Marxist dan
konflik kelas juga digunakan dalam pengembangan hubungan
industrial.

TES FO RMA TIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Hubungan industrial adalah ….


A. pengaturan kerja atau pekerjaan di tempat kerja
B. proses merekrut anggota organisasi
C. penataan suasana di tempat kerja
D. penyediaan sumber daya organisasi

2) Dimensi kunci dalam sistem hubungan industrial adalah ….


A. faktor politik
B. sikap, perilaku, dan manajemen konflik
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.19

C. manajemen sumber daya manusia


D. kesepakatan kerja

3) Berikut ini merupakan pendekatan dalam hubungan industrial ….


A. keseragaman, keberagaman, radikal
B. bersama-sama, kesepakatan, radikal
C. manajemen ilmiah, kesepakatan kerja bersama
D. hubungan antarkaryawan, hubungan yang baru antarkaryawan

4) Penelitian Elton Mayo merupakan contoh pendekatan adalah ….


A. manajemen ilmiah
B. manajemen sumber daya manusia
C. hubungan antarkaryawan
D. pertemanan

5) Pendekatan yang memfokuskan pada jenis peraturan, regulasi, dan


proses yang memungkinkan adanya kontribusi pada kepemimpinan
organisasi dan menjamin bahwa perbedaan minat secara efektif akan
mempertahankan keseimbangan sistem adalah pendekatan ….
A. keseragaman
B. hubungan antarmanusia
C. keragaman
D. pertukaran antarindividu

6) Dua perspektif yang digunakan untuk melihat hubungan antarpelaku


dalam hubungan industrial, yaitu ….
A. pertukaran antarindividu dan hubungan antarkaryawan
B. fungsional dan konflik
C. radikal dan keseragaman
D. pluralist dan marxist

7) Berikut merupakan proses utama dalam kesepakatan bersama, yaitu ….


A. pengorganisasian, negosiasi, kontrak administrasi
B. negosiasi, kesepakatan kerja, komunikasi
C. pertukaran antarindividu, kelompok, dan organisasi
D. biaya transaksi, keagenan prinsip

8) Kegiatan hubungan industrial meliputi tiga level, kecuali ….


A. strategi jangka panjang
B. strategi ekonomi makro
C. penyusunan kebijakan
D. kesepakatan bersama dan kebijakan personal
1.20 Hubungan Industrial ⚫

9) Dua asumsi perilaku yang penting dalam hubungan industrial adalah ….


A. pemasaran sumber daya manusia yang memiliki kekuasaan
B. pengelolaan sumber daya manusia yang memiliki kekuasaan
C. rasionalitas yang terbatas
D. konflik

10) Pendekatan yang memandang bahwa tempat kerja merupakan sumber


konflik adalah ….
A. keseragaman
B. keberagaman
C. kepentingan pribadi/individu
D. radikal

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.21

Kegiatan Belajar 2

Berbagai Disiplin Ilmu yang Berpengaruh


pada Konsep Hubungan Industrial

A. HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN MANAJEMEN SUMBER DAYA


MANUSIA

Hubungan industrial dijelaskan sebagai studi perilaku dan interaksi


antarindividu di tempat kerja. Prinsip ini berkaitan dengan karyawan yang
diberi penghargaan, dimotivasi, dilatih, dan diatur secara bersama-sama
dengan proses yang digunakan oleh institusi yaitu manajemen serikat pekerja
dengan membuat keputusan yang menunjukkan hubungan antara karyawan
dan pengusaha. Hubungan industrial merupakan hubungan kerja yang
diasumsikan konfliktual atau banyak menimbulkan konflik. Kepentingan
pengusaha dan kepentingan karyawan merupakan dua hal yang bertentangan.
Sementara itu, manajemen sumber daya manusia menggunakan
perspektif yang kurang pluralis, sehingga pengusaha dan karyawan memiliki
minat dan tujuan yang serupa. Dalam mengelola sumber daya manusia,
manajer menekankan sasaran dari komitmen organisasional, dan integrasi
kebijakan dengan kebutuhan bisnis. Dapat dikatakan bahwa manajemen
sumber daya manusia merupakan penjelmaan kerangka keseragaman atau
kesatuan (unitary) baik dalam perasaan legitimasi otoritas manajerial dan
dalam penggambaran perusahaan sebagai tim dengan karyawan yang
memiliki komitmen untuk bekerja dengan manajer untuk mendapatkan
keuntungan.
Dalam hubungan industrial, perusahaan dikonseptualisasikan dengan
agak berbeda. Organisasi nampak memiliki berbagai macam kelompok
dengan minat, sasaran, dan aspirasi yang berbeda. Kekuasaan dan otoritas
manajerial dipertentangkan. Dalam manajemen sumber daya manusia,
hubungan antarkaryawan dipandang saling tarik-menarik, dan organisasi
merupakan refleksi yang terintegrasi dengan keselarasan tujuan secara
mendasar.
Manajemen sumber daya manusia memiliki 4 (empat) elemen kunci.
Pertama, terdapat keyakinan dan asumsi yang mendasari. Hal ini
berhubungan dengan pandangan pentingnya orang sebagai sumber daya
1.22 Hubungan Industrial ⚫

strategik dan kompetitif, pandangan dalam pencapaian sasaran komitmen


karyawan, dan penentuan untuk memilih dan mengembangkan karyawan
secara seksama. Kedua, adanya elemen utama yang berkaitan dengan strategi.
Manajemen sumber daya manusia dipandang sebagai masalah penting yang
terkait dengan strategi dan harus secara konsekuen diintegrasikan ke dalam
strategi bisnis.
Elemen ketiga adalah tanggung jawab manajerial dalam manajemen
sumber daya manusia, yang meliputi semua kegiatan dalam mengatur tim,
menangani penilaian kinerja, penentuan target, mendorong gugus kendali
mutu, pengupahan, dan masih banyak lagi. Karakteristik manajemen sumber
daya manusia yang keempat adalah perhatian pada tugas organisasional yang
digunakan dalam implementasi kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan
penekanan dari peraturan dan prosedur personal sebagai dasar praktik yang
baik, dan penekanan pada manajemen budaya. Penciptaan jenis budaya
korporasi yang baik merupakan kunci dalam pencapaian konsensus
organisasional, yaitu adanya seperangkat nilai dan keyakinan, keinginan
untuk bekerja secara fleksibel, dan komitmen karyawan.
Manajemen sumber daya manusia mempunyai empat sasaran yang
berbeda, yaitu komitmen, fleksibilitas, kualitas, dan strategi terintegrasi.
Sasaran pertama adalah menciptakan kekuatan kerja yang mempunyai
komitmen untuk menurunkan absen dan perputaran kerja dan meningkatkan
kinerja. Sasaran kedua, manajemen sumber daya manusia selalu berusaha
membuat organisasi lebih dapat beradaptasi dengan perubahan ekonomi dan
teknologi dengan mendorong praktik kerja fleksibel dan strategi penggunaan
sumber daya manusia. Sasaran ketiga adalah meningkatkan kualitas produk
dan jasa atau pelayanan, serta kualitas kehidupan kerja karyawan. Hal ini
dapat dicapai dengan mengadakan pelatihan dan pengembangan karyawan.
Sasaran keempat berhubungan dengan integrasi manajemen sumber daya
manusia dengan strategi bisnis organisasi.
Kebijakan manajemen sumber daya manusia diharapkan sesuai dengan
strategi bisnis tersebut, sehingga organisasi mampu mencapai keunggulan
bersaing menggunakan sumber daya manusia yang ada. Manajemen sumber
daya manusia dikarakteristikkan secara individualistis, bukan menggunakan
pendekatan perserikatan, dan pengaturan kerja.
Selain empat sasaran yang dimiliki, manajemen sumber daya manusia
menggunakan dua penekanan, yaitu model keras dan model lunak. Model
keras atau yang berfokus pada organisasi dan model lunak atau yang
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.23

berfokus pada karyawan merupakan pendekatan praktik manajemen sumber


daya manusia (Edgar, 2003). Model keras menekankan pada pengintegrasian
kebijakan sumber daya manusia dengan strategi bisnis untuk mencapai
sasarannya dalam organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya
manusia merupakan faktor produksi yang mampu menyusun kesehatan
organisasi. Selain itu, model keras yang lebih menekankan pada kinerja
keuangan yang menyatakan bahwa praktik manajemen sumber daya manusia
berhubungan dengan strategi bisnis dan menekankan pada pemenuhan
kepentingan pemegang saham. Karyawan merupakan sumber daya kunci
yang dieksploitasi untuk mencapai keunggulan bersaing.
Model lunak merefleksikan bentuk pengembangan humanisme.
Kebijakan sumber daya manusia digunakan untuk memperlakukan karyawan
sebagai aset yang bernilai dan sebagai sumber keunggulan bersaing melalui
komitmen, adaptabilitas, kualitas atau keahlian, dan kinerja. Dalam model
lunak, karyawan memiliki hak untuk diperlakukan sebagai manusia di tempat
kerja. Model ini menggunakan kebutuhan personil terkait dengan pekerjaan.
Model ini juga memandang manusia bukan sebagai objek dan menggunakan
manajemen sumber daya manusia untuk meningkatkan motivasi karyawan,
komitmen dan pengembangan, sasaran organisasional dapat tercapai, dan
yang terpenting, karyawan diberdayakan. Model yang berpusat pada
karyawan sama dengan praktek terbaik manajemen sumber daya manusia
merupakan sistem dan metode sumber daya manusia yang universal,
menambahkan atau memperkaya, dan berdampak positif pada kinerja
organisasional. Kedua penekanan ini, baik model keras maupun model lunak
harus dipraktekkan secara simultan.
Bagaimana hubungan antara serikat pekerja dan manajemen sumber
daya manusia? Tujuan utama manajemen sumber daya manusia adalah
menciptakan organisasi yang lebih produktif, efisien, dan kompetitif. Fokus
utama manajemen sumber daya manusia adalah membangun kompetensi
karyawan dan komitmennya terhadap perusahaan, dan dalam
mengidentifikasi cara yang paling efektif dalam menggunakan sumber daya
yang ada untuk mendapatkan keuntungan organisasional. Hubungan
industrial membangun seputar serikat pekerja dan formalisasi prosedur
kesepakatan bersama dan peraturan bersama. Apabila pencapaian komitmen
organisasional merupakan sasaran manajemen sumber daya manusia, maka
serikat pekerja dan kesepakatan bilateral dari peran hubungan antarkaryawan
bukan merupakan parameter kebijakan manajemen sumber daya manusia.
1.24 Hubungan Industrial ⚫

Manajemen sumber daya manusia dipandang sebagai tantangan terhadap


keberadaan dan operasi serikat pekerja dalam beberapa hal. Pertama,
kebijakan yang dirancang untuk memperkuat identifikasi individu dan
keterlibatan dalam organisasi dapat menghasilkan pengurangan dalam
komitmen terhadap perserikatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karyawan dengan kepuasan kerja tinggi akan bersedia berkomunikasi dengan
orang lain dan mau berpartisipasi, sehingga komitmen organisasionalnya
tinggi. Di sisi lain, individu yang melakukan tugas rutin dan monoton akan
menolak kesempatan promosi, sehingga komitmen organisasionalnya
menurun. Hal ini menyebabkan karyawan akan bekerja sama dalam
perserikatan. Keberadaan perserikatan tersebut akan menyebabkan
keselarasan menurun, kepercayaan menurun dan ketidakpuasan karyawan
terhadap pengaturan hubungan kerja karyawan.
Kedua, perserikatan biasanya akan menentang kebijakan dan praktik
manajemen sumber daya manusia. Beberapa ahli menyatakan bahwa
manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari strategi yang
dirancang untuk memperlemah pengaruh perserikatan. Manajemen sumber
daya manusia digunakan untuk memperlemah serikat pekerja dengan
memperluas kolaborasi antara manajer dan karyawan yang tidak dimediasi
oleh perserikatan. Serikat pekerja juga membatasi kebebasan manajemen
untuk mengenalkan praktik individualistik dan pengaturan hubungan kerja.
Perserikatan tersebut membatasi sistem penilaian kinerja karyawan
berdasarkan prestasi individu. Perserikatan menolak pemberian penghargaan
individu dan mendukung pemberian penghargaan kelompok.
Namun demikian, beberapa orang ahli menyatakan bahwa keberadaan
serikat pekerja akan penting dalam menjamin keberhasilan kebijakan
manajemen sumber daya manusia. Hal ini ditunjukkan dengan program
inovatif di tempat kerja seperti sistem kerja tim, keterlibatan karyawan, dan
pengaturan penghargaan akan lebih berhasil diterapkan dalam lingkungan
perserikatan. Hal ini disebabkan adanya dua penemuan. Pertama, serikat
pekerja memiliki keamanan kerja yang lebih formal dan menjamin hak
individu, serta lebih mendorong individu menyampaikan pendapat dan
mendapatkan informasi secara terbuka tanpa ada rasa takut. Kedua, serikat
pekerja menyediakan mekanisme tempat karyawan dapat menggunakan hak
suaranya dalam mendesain dan menerapkan program. Hal ini mendukung
peningkatan kualitas kehidupan kerja karyawan dan produktivitasnya.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.25

Selanjutnya, ada tiga pendekatan berbeda yang dilakukan perserikatan


dalam manajemen sumber daya manusia. Pertama, tanggapan pendamaian
dan konsesi atau kelonggaran; kedua, pendekatan prosedural yang
menekankan pada perluasan peran kesepakatan bersama; dan ketiga,
tanggapan tempat kerja yang dilokalisasi secara aktif. Pendekatan
pendamaian dan kelonggaran paling mungkin muncul ketika perserikatan
konfrontasi dengan iklim ekonomi dan politik. Tanggapan serikat pekerja
lainnya didasarkan pada perluasan lingkup dari kesepakatan bersama ke
dalam berbagai bidang, seperti pelatihan, pengembangan keahlian, dan
pengembangan karier. Kesepakatan tersebut juga meliputi kualitas produk
dan pelayanan, produktivitas, dan persaingan biaya dalam proses pengaturan
bersama. Tanggapan ketiga terhadap praktik manajemen sumber daya
merupakan bentuk dari inisiatif yang independen dan otonom. Ada satu
bidang manajemen sumber daya manusia dalam hal kerja sama manajemen
dan serikat pekerja cukup sulit dipahami. Sasaran fleksibilitas menyediakan
manajemen dengan penyimpangan yang lebih besar pada penyebaran
karyawan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan organisasi daripada serikat
pekerja dan anggotanya.
Manajemen sumber daya manusia berisi sejumlah elemen atau dimensi
penting, yaitu pendekatan strategik dalam pengelolaan orang dan
pengintegrasian kebijakan sumber daya manusia dengan strategi bisnis secara
keseluruhan, fokus pada pencapaian komitmen organisasional dan
seperangkat nilai, dan pergeseran dari hubungan manajemen dengan serikat
pekerja ke hubungan manajemen dengan karyawan.

B. HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN STRATEGI ORGANISASI

Peran manajemen adalah mengombinasikan, mengalokasikan, dan


menggunakan sumber daya produktif dengan berbagai cara yang dapat
membantu organisasi mencapai tujuan. Dari berbagai sumber daya yang
dimiliki organisasi, pengelolaan sumber daya manusia merupakan kegiatan
pengelolaan yang paling sulit dilakukan. Peran manajer dalam hal ini adalah
merealisasikan penggunaan secara optimal kekuasaan karyawan dan
mentransformasikan semua potensi karyawan ke dalam kegiatan produktif
secara nyata. Peran manajemen adalah menyusun struktur pengendalian atau
metode kesepakatan yang mendatangkan kerja sama dalam pencapaian
tujuan.
1.26 Hubungan Industrial ⚫

Fungsi manajemen dalam hubungan industrial yang penting adalah


mencapai tingkat usaha kerja fisik dan mental karyawan. Manajemen harus
menjamin bahwa karyawan secara nyata melakukan pekerjaan yang harus
mereka lakukan untuk mencapai standar yang ditentukan. Untuk itulah,
manajemen berusaha mengurangi ketidaktepatan hubungan pertukarannya
dengan karyawan dengan meminimalkan otonomi karyawan. Dengan
supervisi yang ketat dan pembagian kerja secara lebih sempit manajemen
dapat mencapai sasaran dan mampu mengendalikan pekerjaan yang
dikerjakan.
Ada dua strategi yang menurut Friedman dapat digunakan untuk
mengendalikan kinerja karyawan. Strategi pertama adalah pengendalian
langsung yang dilakukan dengan supervisi ketat dan meminimalkan
penyimpangan industrial. Strategi kedua adalah otonomi tanggung jawab
yaitu memanfaatkan kemampuan beradaptasi karyawan dengan memberikan
peluang dan mendorong mereka beradaptasi terhadap situasi yang berubah.
Penggunaan sistem pengendalian langsung tergantung pada pengetahuan
tentang proses transformasi (dari input hingga menjadi output) secara
lengkap yang dimiliki manajer dan kemampuan menyusun standar kinerja
dan mengukur output karyawan. Namun demikian, yang lebih penting adalah
mengendalikan perilaku karyawan.
Selanjutnya, terdapat hubungan antara strategi perusahaan, struktur
organisasi, dan lingkungan manajemen sumber daya manusia. Struktur
organisasi tertentu biasanya sesuai dengan strategi tertentu. Strategi
diferensiasi produk misalnya, tidak sesuai bila menggunakan struktur
mekanistik birokratis dengan peran dan prosedur formal. Diferensiasi
tersebut menuntut adanya inovasi dan kreativitas yang lebih tepat
menggunakan struktur yang bersifat fleksibel yang memungkinkan terjadinya
kolaborasi dan penyimpangan dari prosedur yang ada. Selain itu, struktur
yang fleksibel memungkinkan kekuasaan terdesentralisasi dan kewenangan
berdasar keahlian. Sementara itu, strategi biaya rendah lebih tepat
menggunakan struktur birokratis yang menekankan pengendalian ketat,
prosedur yang terstandarisasi, tugas rutin, dan metode yang ditentukan oleh
peran dan hierarki.
Strategi tersebut juga berpengaruh dalam perilaku yang diperlukan di
tempat kerja. Ada tiga bentuk praktik pengelolaan sumber daya manusia,
yaitu berdasar inovasi, berdasar peningkatan kualitas, dan berdasar
pengurangan biaya. Dalam strategi inovasi, karyawan mengutamakan
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.27

perilaku kreatif, fokus jangka panjang, kooperatif, independen, berani


menanggung risiko, memberikan toleransi ambiguitas dan sulit diprediksi.
Komitmen karyawan pada kualitas dan perbaikan secara terus-menerus dan
berkesinambungan memerlukan kerja tim, klasifikasi pekerjaan yang
fleksibel, dan pengambilan keputusan dan tanggung jawab partisipatif yang
merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan. Sementara itu, strategi biaya
rendah menekankan pada perilaku yang berulang dan dapat diprediksi dengan
lebih memaksimalkan kuantitas daripada kualitas. Fungsi struktur adalah
menyediakan mekanisme untuk menyusun dan menerapkan strategi dan
kebijakan hubungan industrial.
Huselid (1995) menyatakan bahwa dampak kebijakan dan praktik
manajemen sumber daya manusia pada kinerja perusahaan merupakan topik
dalam bidang manajemen sumber daya manusia, hubungan industrial, dan
psikologi organisasi. Literatur yang ada menyatakan bahwa praktik-praktik
manajemen sumber daya manusia dapat membantu menciptakan sumber
untuk mempertahankan keunggulan bersaing. Berbagai konsensus yang
muncul menyatakan bahwa kebijakan sumber daya organisasional, bila
disusun dengan baik akan memberikan kontribusi langsung dan signifikan
secara ekonomis terhadap kinerja perusahaan. Dalam teori berdasar sumber
daya dinyatakan bahwa sumber daya manusia dapat menyediakan sumber
untuk mempertahankan keunggulan bersaing berdasarkan empat persyaratan
yang dipenuhi. Pertama, sumber daya manusia harus menambah nilai
terhadap proses produksi perusahaan. Hal ini ada pada level kinerja
individual. Kedua, keahlian yang dicari perusahaan harus jarang atau langka.
Ketiga, kombinasi investasi modal sumber daya manusia tidak dengan mudah
dapat ditiru. Keempat, sumber daya manusia tidak harus menjadi subyek
dalam penggantian kemajuan teknologi atau penggantian lainnya karena
merupakan sumber keunggulan bersaing.
Kontribusi dari karyawan yang ahli dan memiliki motivasi akan dibatasi
jika pekerjaan terstruktur atau terprogram, sehingga karyawan yang
mengetahui pekerjaannya lebih baik dari yang lain tidak mempunyai
kesempatan untuk menggunakan keahlian dan kemampuannya untuk
mendesain cara yang baru yang lebih baik dengan pembentukan perannya.
Praktik-praktik manajemen sumber daya manusia juga dapat mempengaruhi
kinerja perusahaan melalui ketentuan struktur organisasi yang mendorong
partisipasi antarkaryawan dan mengizinkan mereka untuk memperbaiki
1.28 Hubungan Industrial ⚫

bagaimana pekerjaannya dibentuk. Contoh dari struktur ini adalah tim lintas
fungsi, rotasi pekerjaan, dan gugus kendali mutu.
Sementara itu, dari penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa ada
beberapa hal yang mempengaruhi perputaran kerja atau yang dapat
memprediksi perputaran kerja. Faktor tersebut antara lain persepsi terhadap
keamanan kerja, kehadiran serikat kerja, kepuasan kerja, senioritas kerja,
variabel demografis seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, banyaknya
tanggungan, komitmen organisasional, apakah pekerjaan memenuhi harapan
individu, perhatian terhadap pekerjaan lain, intervensi pengayaan pekerjaan,
dan peninjauan pekerjaan. Faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah
biaya yang lebih rendah, produktivitas yang lebih tinggi, dan jam kerja
karyawan.
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh bagi
produktivitas, yaitu pelatihan, penyusunan tujuan/sasaran, desain sistem
sosial dan teknik, dan perputaran kerja karyawan. Youndt et al., (1996)
menjelaskan hubungan antara manajemen sumber daya manusia, strategi
manufaktur, dan kinerja, sehingga perlu terlebih dahulu pemahaman dua
pendekatan atau teori mengenai hal tersebut, yaitu pendekatan universal dan
pendekatan kontingensi atau situasional.

1. Pendekatan Universal
Berbagai penelitian empiris telah menyatakan bahwa praktik-praktik
manajemen sumber daya manusia secara langsung berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan. Kegiatan pemilihan dan pelatihan sering kali berkorelasi
dengan produktivitas dan kinerja perusahaan. Tema pokok yang mendasari
penelitian tersebut adalah bahwa perusahaan harus menciptakan konsistensi
internal yang tinggi atau kesesuaian antar kegiatan sumber daya manusia.
Sesuai dengan pandangan sistem dan kesesuaian internal ditemukan bahwa
praktik-praktik difokuskan pada mendorong komitmen karyawan (misal
desentralisasi pengambilan keputusan, pelatihan yang komprehensif,
pemberian penghargaan, dan partisipasi karyawan) berhubungan dengan
kinerja yang lebih tinggi.
Di sisi lain, praktik sumber daya manusia yang berfokus pada
pengendalian, efisiensi, dan pengurangan keahlian dan keleluasaan
berhubungan dengan peningkatan perputaran kerja dan kinerja yang buruk.
Selain itu, investasi dalam kegiatan-kegiatan seperti pemberian insentif atau
kompensasi, teknik pemilihan staf, dan partisipasi karyawan akan
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.29

menghasilkan perputaran kerja yang lebih rendah, produktivitas lebih tinggi,


dan kinerja organisasi meningkat. Selain itu, banyak studi yang berfokus
pada peningkatan keahlian karyawan melalui kegiatan sumber daya manusia
seperti pemilihan staf, pelatihan yang komprehensif, dan pengembangan
usaha seperti rotasi pekerjaan dan penggunaan menyilang akan cenderung
mempromosikan pemberdayaan, penyelesaian masalah partisipatif, kerja tim
dengan desain pekerjaan, insentif kelompok, dan transisi dari pengupahan
harian untuk karyawan produksi.
Selanjutnya, logika yang menyatakan hubungan antara praktik-praktik
sumber daya manusia dengan kinerja perusahaan didukung oleh argumen
teoritis dari berbagai disiplin ilmu. Dari ekonomi mikro, teori modal sumber
daya manusia menyatakan bahwa orang memiliki keahlian dan kemampuan
yang menyediakan nilai ekonomis bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan
investasi perusahaan digunakan untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan,
dan kemampuan karyawan. Peningkatan produktivitas yang diturunkan dari
investasi modal sumber daya manusia tergantung pada kontribusi karyawan
terhadap perusahaan. Oleh karena itu, semakin besar potensi kontribusi
karyawan bagi perusahaan maka semakin besar pula kemungkinan
perusahaan akan menginvestasikannya dalam modal sumber daya manusia,
dan investasi ini akan meningkatkan produktivitas dan kinerja perusahaan.
Teori modal sumber daya manusia juga menyatakan bahwa praktik-praktik
sumber daya manusia dapat secara langsung berpengaruh bagi kinerja
perusahaan.

2. Pendekatan Situasional
Melalui pendekatan situasional, pengaruh praktik-praktik sumber daya
manusia pada kinerja perusahaan dikondisikan oleh sikap strategik
organisasi. Jika pendekatan perusahaan pada persaingan tergantung pada
karyawan atau membuat kemampuan karyawan maka praktik-praktik sumber
daya manusia akan lebih memungkinkan memiliki dampak pada kinerja.
Melalui perspektif perilaku, karakteristik organisasi seperti strategi
menghendaki sikap yang unik dan perilaku peran jika kinerja menjadi efektif,
dan kegiatan-kegiatan sumber daya manusia merupakan alat utama yang
digunakan untuk memperoleh dan memperkuat perilaku karyawan dalam
perusahaan. Demikian pula pendapat dari teori pengendalian yang
menyatakan bahwa kinerja efektif tergantung pada kesesuaian yang tepat
1.30 Hubungan Industrial ⚫

praktik-praktik sumber daya manusia dengan konteks administratif yang


disusun dengan strategi tertentu.
Meskipun pandangan keperilakuan dan teori pengendalian cenderung
memberikan fokus perhatian pada pengelolaan perilaku karyawan yang ada
dalam usaha memaksimumkan kinerja, perusahaan juga memberikan fokus
pada kompetensi manajemen dengan memperoleh, mengembangkan, dan
menggunakan karyawan dengan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan
tertentu. Yang lebih khusus lagi, menurut Wright et al. (1995), organisasi
menunjukkan kinerja yang lebih tinggi bila organisasi tersebut merekrut dan
memperoleh karyawan yang memiliki kompetensi yang konsisten dengan
strategi organisasi saat ini. Di sisi lain, organisasi menunjukkan kinerja yang
lebih tinggi ketika mereka mencari strategi yang sesuai dengan kompetensi
karyawan yang ada saat ini. Hal inilah yang mendukung kesesuaian antara
kompetensi sumber daya manusia dengan strategi untuk kinerja yang lebih
baik.
Selanjutnya, organisasi dapat menciptakan nilai pelanggan melalui
pengurangan biaya dan peningkatan manfaat dalam produksi. Dalam konteks
yang berhubungan dengan sistem produksi, ada upaya untuk mengadakan
efisiensi dengan mengelola karyawan yang keahliannya rendah. Penilaian
kinerja juga membutuhkan konsentrasi pada bidang seperti pengurangan
kesalahan atau standarisasi proses dengan tujuan pengurangan biaya dan
meningkatkan efisiensi. Sistem sumber daya manusia administratif (misal
seleksi, kebijakan, prosedur pelatihan, penilaian kinerja berdasarkan hasil,
pembayaran upah per jam, dan insentif individu) konsisten dengan
persyaratan strategi biaya yang berfokus pada standarisasi proses,
pengurangan biaya, dan maksimisasi efisiensi produksi. Berbeda dari strategi
biaya tradisional, strategi kualitas berfokus pada proses perbaikan secara
terus-menerus dan berkesinambungan untuk meningkatkan reliabilitas dan
kepuasan pelanggan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa modal
manajemen sumber daya manusia akan mendorong sistem sumber daya
manusia yaitu dicirikan dengan pemilihan staf, pemilihan keahlian teknik dan
penyelesaian masalah, pelatihan secara komprehensif, pelatihan untuk
keahlian teknik, penilaian kinerja berdasar pengembangan dan perilaku,
insentif kelompok, pemberian upah, yang semuanya itu berfokus pada
akuisisi dan pengembangan keahlian yang konsisten dengan persyaratan
kinerja yang melandasi strategi.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.31

Para ahli hubungan industrial menyatakan bahwa hubungan


antarkaryawan yang baik diperlukan bagi keberhasilan organisasi. Namun
demikian, hal ini masih menjadi perdebatan. Strategi hubungan
antarkaryawan yang menjamin hubungan antarkaryawan yang baik sehingga
dapat mencapai kesuksesan organisasi memang memerlukan model teori
yang komprehensif, deskripsi praktis, atau resep yang berdasarkan pada teori
(Goodman & Sandberg, 1981). Pendekatan situasional akan lebih
menjelaskan interaksi antara strategi hubungan antarkaryawan dan
keefektifan organisasi. Strategi hubungan antarkaryawan hanya merupakan
satu dari beberapa fungsi strategi yang mendukung strategi bisnis dan strategi
korporasi. Melalui hubungan antarkaryawan, maka seperangkat kebijakan
dan teknik yang digunakan manajemen berkaitan dengan kekuatan kerja dan
sasaran yang direncanakan dapat dicapai. Strategi hubungan antarkaryawan
dapat dikategorikan menjadi akomodasi, konfrontasi, ko-optasi, dan kolusi.

C. HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PERILAKU


ORGANISASIONAL

Ada berbagai hal yang merupakan bagian atau dimensi perilaku


organisasional yang terkait dengan hubungan industrial dan mendasari atau
mendorong terjadinya hubungan industrial dalam organisasi, yaitu kepuasan
kerja dan kinerja, modal sosial, komitmen organisasional, kepercayaan atau
saling percaya, dan keadilan.

1. Kepuasan Kerja dan Kinerja


Pugh dan Dietz (2008) menyatakan bahwa kinerja pada level unit
merupakan barometer keberhasilan daripada kinerja pada level individu, dan
merupakan hal yang logis untuk mengukur kepuasan kerja pada level unit,
bukan individu. Pada level unit bisnis, kepuasan kerja secara signifikan
berhubungan dengan sejumlah outcome seperti kepuasan pelanggan, profit
atau laba, produktivitas, kecelakaan, dan perputaran kerja. Ostroff (1992)
menyatakan bahwa organisasi dengan karyawan yang lebih puas cenderung
lebih efektif daripada organisasi dengan karyawan yang kurang puas.
Kepuasan kerja merupakan penerapan khusus sikap sosial. Kepuasan kerja
merupakan kondisi internal yang diekspresikan melalui evaluasi pekerjaan
secara afektif dan kognitif terhadap pekerjaan yang ada. Kepuasan kerja
1.32 Hubungan Industrial ⚫

merupakan kondisi internal yang diekspresikan melalui evaluasi pekerjaan


secara afektif dan kognitif terhadap pekerjaan yang ada.
Pekerjaan bukan hanya serangkaian kegiatan yang harus dilakukan dari
hari ke hari, melainkan juga membutuhkan interaksi dengan pimpinan dan
bawahan atau rekan sekerja lainnya. Oleh karena itu, penilaian kepuasan
terhadap pekerjaan merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks. Ada
banyak hal yang mempengaruhi kepuasan kerja. Menurut Robbins dan Judge
(2011), beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja itu antara lain
pekerjaan itu menantang atau membutuhkan keterampilan dan keahlian yang
sangat kompleks, pekerjaan tersebut menjanjikan pemberian penghargaan
yang adil dan pantas, pekerjaan tersebut dikerjakan pada kondisi kerja yang
mendukung, baik secara fisik maupun psikis, dalam pekerjaan tersebut
terdapat rekan kerja yang mendukung dan bersahabat, dan yang tidak kalah
penting adalah adanya kesesuaian pekerjaan tersebut dengan kepribadian
orang yang mengerjakannya.
Sikap merupakan fungsi psikologis yang penting termasuk membantu
atau mendukung pengetahuan, pembentukan skema, penyediaan strategi
evaluatif bagi penyelesaian masalah, membantu mengorganisir dan
menyiapkan memori serta mempengaruhi jenis dukungan karyawan. Sikap
juga mempengaruhi cara memproses informasi, penajaman pemahaman
terhadap persepsi individu, dan menyederhanakan pengalaman. Secara
singkat, sikap membantu dalam membuat pemahaman atau logika tentang
dunia yang kompleks. Anteseden kepuasan kerja meliputi faktor situasional,
misalnya kondisi kerja dan disposisional, misalnya kepribadian.
Morgeson dan Hofmann (1999) berpendapat bahwa interaksi sosial
karyawan secara bersama-sama merupakan proses kunci yang mencatat
bagaimana fenomena dalam diri individu dapat menjadi karakteristik unit
kerja. Hal tersebut disebut dengan interaksi ganda (double interact). Double
interact merupakan proses pemberian tanggapan dan tindakan dalam
kebersamaan. Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory)
menyatakan bahwa sikap orang pada perilaku dipengaruhi oleh seberapa
penting orang lain terikat pada perilaku tersebut. Oleh karena itu, apabila
terdapat keterlibatan orang lain, individu akan lebih berhati-hati dalam
berperilaku dan mau berperilaku yang lebih baik dibandingkan ketika tidak
ada keterlibatan orang lain. Sementara itu, melalui teori pembelajaran sosial
orang belajar bersikap dengan mengobservasi orang lain atau berkaca dari
pengalaman orang lain. Teori Keseimbangan menyatakan bahwa karyawan
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.33

akan mengatur hubungan dengan karyawan lain sehingga mereka dapat


mencapai konsistensi dan keseimbangan dalam sikap. Para ahli teori
hubungan antarkaryawan mengatakan bahwa kepuasan karyawan merupakan
bagian integral dari pencapaian produktivitas dan keefektifan organisasi.
Menurut teori pertukaran sosial, karyawan akan selalu membentuk
hubungan di tempat kerja, baik hubungan pertukaran ekonomis yang lebih
pendek jangka waktunya maupun hubungan pertukaran sosial yang jangka
waktunya lebih panjang. Namun, hubungan antara individu dengan organisasi
lebih menekankan pertukaran sosial daripada pertukaran ekonomi dan hasil.
Bila individu membentuk pertukaran sosial dengan organisasi, maka
individu-individu tersebut cenderung mempunyai kinerja tugas dan perilaku
kewargaan organisasional yang lebih baik serta keinginan meninggalkan
organisasi yang lebih rendah (Wayne et al., 1997). Banyak bukti empiris
menunjukkan bahwa tanpa adanya hubungan pertukaran sosial akan
menimbulkan perputaran kerja tinggi, kinerja tugas rendah, dan kurangnya
pelaksanaan perilaku kewargaan organisasional terhadap organisasi dan
supervisor (Konovsky & Pugh, 1994; Setoon et al., 1996; Moorman et al.,
1998).
Pemahaman terhadap struktur kepuasan bersama juga membantu dalam
memahami fungsinya pada kinerja bersama karena karyawan secara bersama-
sama berinteraksi. Level kepuasan bersama yang tinggi akan membantu
individu dalam sistem masuk ke dalam situasi yang kompleks dengan cara
yang membantu kooperasi, mengantisipasi karyawan dan rekan kerja, serta
menerima dan mencapai sasaran organisasi. Lingkungan kerja bersama
dengan harmonisasi hubungan sosial dan penerimaan sasaran organisasi
merupakan norma yang harus dicapai ketika unit memiliki tingkat kepuasan
kolektif yang tinggi. Sebaliknya, rendahnya kepuasan kolektif akan
menghasilkan konflik dan ketidaksepakatan dalam hubungan sosial.
Kepuasan kerja bersama berdampak positif pada kinerja bersama. Unit-
unit dengan kepuasan tinggi memiliki kecenderungan dalam rekrutmen
internal dan eksternal, sehingga kinerja kolektif dapat meningkatkan
kedewasaan dan kualitas karyawan lebih tinggi. Kualitas hubungan,
kohesivitas, dan peningkatan kinerja merupakan tiga hal yang sama. Menurut
Whitman et al. (2010), produktivitas pada level unit atau kelompok
merupakan fungsi produktivitas karyawan yang dipengaruhi oleh norma yang
dihasilkan dari tindakan dan interaksi anggota kelompok secara bersama-
sama. Kepuasan bersama karyawan aktivitas akan membentuk lingkungan
1.34 Hubungan Industrial ⚫

kerja di mana norma produktivitas tinggi. Sebaliknya, rendahnya kepuasan


bersama akan meningkatkan konflik dan kemalasan sosial yang berdampak
negatif pada produktivitas.

2. Modal Sosial
Konsep modal sosial telah menjadi semakin populer pada lingkup yang
luas dalam disiplin ilmu sosial. Sejumlah ahli sosiologi, ilmuwan bidang
politik, ekonom, dan ahli teori organisasi merujuk pada konsep modal sosial
dalam penelitian untuk menjawab berbagai bidang yang luas yang masih
menimbulkan pertentangan di dalam praktik. Modal sosial ini didasari oleh
teori pertukaran sosial dengan adanya sistem sosial yang merupakan kegiatan
yang saling tergantung yang dikarakteristikkan dengan peran, norma, dan
nilai yang terintegrasi, bukan terdiferensiasi (Katz & Kahn, 1966). Putnam
mendefinisikan modal sosial sebagai ciri atau karakteristik organisasi sosial
seperti jaringan kerja, norma, dan kepercayaan sosial yang membantu
koordinasi dan kerja sama untuk dapat saling menguntungkan (Kostova &
Roth, 2003).
Menurut Cohen dan Prusak (2001), modal sosial merupakan jaringan
kerja hubungan sosial yang diikat oleh rasa saling percaya, saling memahami,
saling mendukung, dan adanya kesamaan nilai dan perilaku sehingga dapat
menyusun kerja sama. Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-
aspek struktur sosial yang menciptakan nilai dan membantu kegiatan individu
dalam struktur sosial tersebut (Seibert, et al., 2001). Fukuyama menyatakan
bahwa modal sosial adalah kemampuan individu untuk bekerja sama dengan
orang lain untuk tujuan umum dalam kelompok dan organisasi (Kostova &
Roth, 2003). Modal sosial dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
keberadaan seperangkat nilai atau norma informal yang dianut oleh anggota
kelompok yang bekerja sama dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa modal
sosial merupakan nilai atau norma yang melekat dalam diri individu untuk
dapat berhubungan dengan orang lain.
Sementara itu, Kostova dan Roth (2003) mendefinisikan modal sosial
sebagai nilai-nilai potensial yang berasal dari kondisi psikologis tertentu,
persepsi, dan perilaku yang diharapkan bahwa bentuk aktor sosial merupakan
hasil dari struktur sosial dan ciri hubungannya dalam struktur tersebut.
Tingkat modal sosial yang tinggi menunjukkan motivasi bagi aktor sosial
untuk mempertahankan hubungan tersebut, perasaan bertanggung jawab
untuk membalas kebaikan di masa lalu dari aktor sosial lain, harapan bahwa
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.35

aktor sosial lain juga akan membalas kebaikannya, dan kenyamanan psikis
penggunaan sumber daya dengan menyediakan, menerima, dan meminta
bantuan dari aktor sosial lain.
Selanjutnya, ada tiga dimensi dalam modal sosial, yaitu struktural,
relasional, dan kognitif. Dimensi struktural merupakan interaksi sosial dan
menunjukkan pada sebuah model hubungan antaraktor atau pelaku yang
meliputi siapa yang berhubungan dan bagaimana berhubungan dengan
mereka. Dimensi ini menjelaskan model hubungan seperti pengukuran
keeratan, hubungan, hierarki, dan organisasi yang sesuai. Dimensi struktural
dijelaskan sebagai hubungan interaksi sosial yang mendorong untuk saling
percaya yang merupakan dimensi relasional. Studi terdahulu menyatakan
bahwa hubungan kepercayaan berevolusi dari interaksi sosial.
Menurut McFayden dan Canella (2004), dimensi struktural menyangkut
kedekatan dan adanya hubungan antaranggota jaringan kerja baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dimensi struktural ini lebih memfokuskan
pada kekuatan hubungan sosial dan pada model hubungan (Seibert et al.,
2001). Hubungan antaranggota kelompok dapat menjadi kuat bila ada
interaksi sosial yang dilakukan secara intensif dan dalam berbagai jenis
hubungan, baik dengan teman, anak buahnya, ataupun pimpinannya. Dimensi
struktural juga disebutkan sebagai dasar bagi dimensi relasional dan kognitif,
sehingga dikatakan bahwa ketiga dimensi tersebut berhubungan erat (Liao &
Welsch, 2005). Hubungan yang dimiliki individu dengan orang lain dalam
organisasi akan mendorong individu untuk berperilaku di luar kontrak atau
deskripsi pekerjaan atau yang disebut perilaku kewargaan organisasional.
Teori jaringan kerja sosial memfokuskan perhatian pada perlengkapan
struktural jaringan kerja (Adler & Kwon, 2002) seperti rongga struktural
pada jaringan kerja dan kekuatan hubungan pada level hubungan minimal
dua orang. Hubungan yang kuat dapat meyakinkan individu untuk menjadi
penolong dan menggunakan pengetahuan. Hubungan yang kuat ini disusun
melalui interaksi yang intensif dan berulang serta komunikasi yang efektif
dan efisien (Whittaker et al., 2003). Sementara itu, pendekatan rongga
struktural menyatakan bahwa, ketika terdapat perbedaan kelompok dari
hubungan antarindividu hanya disebabkan hubungan yang jarang dilakukan
satu dengan yang lain.
Dimensi struktural juga menunjukkan adanya kontak fisik (Tsai &
Ghoshal, 1998). Semakin sering individu mengadakan kontak dengan orang
lain, semakin sering mereka melakukan kegiatan bersama dan bekerja sama.
1.36 Hubungan Industrial ⚫

Hubungan antarindividu atau hubungan struktural yang diciptakan melalui


interaksi sosial antarindividu dalam jaringan kerja merupakan prediksi
penting dalam tindakan kolektif (Wasko & Faraj, 2005). Oleh karena itu,
kebersamaan dicirikan dengan level yang tinggi dalam modal sosial
struktural atau keeratan hubungan dalam kebersamaan. Dimensi struktural
menunjukkan interaksi sosial yang mendukung kepercayaan, sehingga
pertukaran informasi dan pengetahuan lebih mudah. Dimensi struktural juga
mencakup kestabilan jaringan kerja yang merupakan perubahan dalam
keanggotaan jaringan kerja tersebut (Inpen & Tsang, 2005). Ketidakstabilan
jaringan kerja menunjukkan seringnya individu meninggalkan jaringan kerja
sehingga hubungan antarindividu tersebut lemah.
Dimensi relasional juga menjelaskan jenis hubungan personal yang
dikembangkan satu dengan yang lain. Dimensi relasional menunjukkan
kemampuan yang berakar pada hubungan kepercayaan. Dimensi relasional
juga mencakup tanggapan dan pertemanan. Semakin tinggi interaksi, semakin
banyak jaringan komunikasi yang tersedia, dan semakin mudah timbulnya
jiwa kewirausahaan dengan saling percaya, serta semakin mudah
mendapatkan informasi dan sumber daya yang memudahkan berbagai
kegiatan atau transaksi (Liao & Welch, 2005). Dimensi relasional modal
sosial menunjukkan aset yang diciptakan dan dipengaruhi melalui hubungan
dan mencakup berbagai variabel lain. Kepercayaan merupakan atribut
perilaku individu yang terlibat dalam hubungan tersebut. Kepercayaan
memainkan peran yang sangat penting yang menunjukkan keinginan untuk
mendapat kritikan dari orang lain, dan mendapatkan harapan yang baik.
Hubungan personal ini sering kali bertujuan sebagai kemampuan
bersosialisasi, persetujuan atau kesepakatan, dan gengsi.
Dimensi relasional ini merupakan dimensi modal sosial yang dapat
menciptakan dan mempengaruhi hubungan dibandingkan dengan dimensi
struktural dan paralel dengan berbagai sisi dari dimensi ini, seperti
kepercayaan, norma dan sangsi, kewajiban dan pengharapan, serta identitas
dan identifikasi. Dimensi relasional mencakup pertukaran antarindividu,
rekan-rekan kerja yang saling mengenal atau saling bertukar pendapat, dan
adanya kesamaan dalam bahasa, norma, pengalaman, kewajiban, dan harapan
(McFayden & Canella, 2004). Dimensi ini juga mencakup kepercayaan
berdasar kebaikan dan kepercayaan berdasarkan kesadaran atau pemahaman.
Dimensi ketiga modal sosial adalah dimensi kognitif yang melekat pada
atribut seperti peraturan milik bersama dan paradigma milik bersama.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.37

Dimensi kognitif membantu pemahaman umum mengenai sasaran bersama


dan cara yang tepat untuk melakukan kegiatan dalam sistem sosial. Dimensi
ketiga ini menunjukkan pada penyediaan, penyebaran, interpretasi, dan
pemberian arti. Dimensi kognitif menunjukkan interpretasi yang sama dalam
sistem dan tata nilai (Nahapiet & Ghoshal, 1998) yang memungkinkan
individu dalam jaringan kerja menggunakan dan mengartikan informasi serta
mengklasifikasinya ke dalam kategori perseptual (De Carolis & Saparito,
2006).

3. Komitmen Organisasional
Menurut Mowday et al., komitmen dalam organisasi didefinisikan
sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatannya dalam
organisasi (Aldag & Reschke, 1997). Komitmen organisasional terdiri dari
kesukaan atau ketertarikan karyawan terhadap organisasi tempat karyawan
itu bekerja (Laschinger, 2001). Menurut Kreitner dan Kinicki (2004),
komitmen organisasional adalah keberpihakan individu pada organisasi dan
tujuan organisasi. Hasil penelitian Somers dan Birnbaum (1998)
menunjukkan adanya hubungan antara komitmen dan kinerja tugas.
Komitmen dapat mempengaruhi kinerja melalui dua variabel antara, yaitu
usaha dan pencapaian, sehingga nampak adanya perbedaan antara komitmen,
motivasi, pencapaian, dan sebagainya yang memberikan pemahaman
mengenai hubungan empiris antara komitmen yang berhubungan dengan
kerja dengan kinerja (Somers & Birnbaum, 1998).
Herscovitch dan Meyer (2002) mendefinisikan komitmen secara umum
sebagai kekuatan atau cara pikir yang mengikat individu ke dalam
serangkaian kegiatan yang relevan dengan satu atau beberapa target. Dalam
penelitian ini, komitmen didefinisikan sebagai kemauan untuk mencapai
kinerja. Menurut Bateman dan Strasser (1984), organisasi yang anggotanya
mempunyai komitmen akan menunjukkan kinerja dan produktivitas yang
lebih tinggi, serta ketidakhadiran dan kelambanan yang rendah (Cohen,
1992).
Selanjutnya, menurut Meyer dan Allen, komitmen mempunyai tiga
bentuk, yaitu komitmen afektif, komitmen berkelanjutan atau abadi, dan
komitmen normatif (Herscovitch & Meyer, 2002). Komitmen afektif adalah
ketertarikan emosi individu, memihak, dan terlibat dalam organisasi secara
khusus (Laschinger et al., 2001). Komitmen afektif juga merupakan perasaan
suka atau tertarik pada organisasi (Meyer et al., 1993). Karyawan dengan
1.38 Hubungan Industrial ⚫

komitmen afektif yang kuat bekerja dalam organisasi karena “mereka ingin”.
Komitmen afektif dalam organisasi berhubungan positif dengan kinerja
tugas.
Komitmen yang abadi menggambarkan kesadaran karyawan terhadap
biaya yang berhubungan dengan meninggalkan organisasi (Laschinger et al.,
2001). Individu dengan komitmen abadi yang tinggi yakin akan manfaat
untuk menetap atau bertahan dalam organisasi daripada menerima
konsekuensi jika meninggalkan organisasi karena “mereka membutuhkan”.
Meskipun karyawan dengan komitmen abadi yang tinggi juga
memungkinkan meninggalkan organisasi, rendahnya perputaran terjadi atas
biaya perjanjian karyawan, kepuasan kerja, dan rasa percaya diri. Hackett et
al. (1994) menyatakan bahwa komitmen afektif dalam organisasi
berhubungan secara positif dengan kinerja, namun hubungan antara
komitmen abadi dalam organisasi dengan kinerja tidak signifikan. Hal ini
juga dinyatakan bahwa hubungan antara komitmen abadi dengan kinerja
tidak signifikan (Hackett et al., 1994).
Sementara itu, komitmen normatif menggambarkan perasaan kewajiban
individu untuk tetap berada dalam organisasi (Laschinger, 2001). Karyawan
mempunyai komitmen normatif tinggi karena mereka merasa bahwa mereka
harus melakukan hal tersebut (Meyer et al., 1993). Pengalaman yang positif
akan memberikan kontribusi terhadap komitmen, khususnya komitmen
afektif. Namun, pengalaman yang sama tersebut akan berpengaruh negatif
bila berhubungan dengan komitmen abadi. Baik komitmen afektif maupun
komitmen normatif berhubungan positif dengan kinerja maupun perilaku
kewargaan organisasional, sementara komitmen abadi tidak berhubungan
atau berhubungan negatif dengan kinerja dan perilku kewrgaan
organisasional (Meyer et al., 1993).
Selain itu, Aldag dan Reschke (1997) berpendapat bahwa komitmen
afektif juga merupakan komitmen yang disebabkan adanya emosi positif
mengenai organisasi, sedang komitmen abadi merupakan komitmen terhadap
organisasi karena persepsi yang tinggi terhadap biaya karena meninggalkan
organisasi. Komitmen normatif merupakan komitmen karena internalisasi
terhadap nilai dan sasaran organisasi yang berhubungan dengan perasaan
kewajibannya. Mereka juga mengungkapkan beberapa hal yang dipengaruhi
oleh ketiga dimensi komitmen tersebut. Komitmen afektif tergantung pada
tantangan pekerjaan, kejelasan peran, penerimaan manajemen, kepaduan
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.39

dengan rekan kerja, persepsi yang sama, terdapat umpan balik pada kinerja,
dan mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.
Komitmen abadi tergantung terutama pada keahlian, pendidikan,
investasi diri dalam organisasi, alternatif yang dipersepsikan, dan biaya
meninggalkan organisasi. Komitmen normatif dipengaruhi oleh pengalaman
bersosialisasi di tempat kerja dan oleh norma dalam organisasi yang
berhubungan dengan tanggung jawab. Dunham et al. (1994) mengatakan
bahwa komitmen afektif dan normatif berhubungan secara signifikan dengan
perilaku bertanggung jawab, sedangkan komitmen abadi sedikit atau tidak
berhubungan dengan perilaku bertanggung jawab.
Penelitian yang dilakukan oleh Meyer et al., 1993 menyatakan bahwa
komitmen baik pada organisasi maupun pada pekerjaan akan mempengaruhi
hasil yang relevan, seperti keinginan untuk keluar atau berpindah pekerjaan,
kewargaan, dan kinerja. Hal ini juga didukung oleh penelitian Clugston
(2000) yang menyatakan bahwa tanggung jawab memediasi hubungan antara
kepuasan kerja dengan salah satu hasil dari kegiatan organisasi yaitu
keinginan untuk pindah atau meninggalkan pekerjaan dan tempat kerjanya.
Hasil penelitian Meyer dan Schoorman (1992) yang menggunakan dua
komponen komitmen dari March dan Simon (1958) menyatakan bahwa
perputaran kerja secara signifikan lebih berkorelasi dengan komitmen abadi,
sementara kinerja, perilaku kewargaan organisasional, dan kepuasan kerja
secara signifikan lebih berkorelasi dengan komitmen nilai.
Sementara itu, Robert et al. (2000) juga menyatakan bahwa bukti
mengenai hubungan antara kinerja dengan konstruk seperti kepuasan kerja
dan komitmen memang masih lemah, kedua konstruk ini biasanya banyak
dihubungkan dengan keinginan untuk berpindah kerja atau keluar dari
pekerjaannya sekarang. Namun, penelitian Bozeman dan Perrewe (2001)
dengan tegas menyatakan bahwa komitmen tersebut akan berpengaruh pada
kinerja maupun perputaran kerja. Selain itu, Meyer dan Allen (1991) juga
mengusulkan model komitmen yang menghubungkan setiap komponen
komitmen dengan hasil kerja tertentu. Variabel hasil tersebut meliputi
perputaran kerja dan perilaku di tempat kerja seperti kinerja, ketidakhadiran,
dan perilaku kewargaan organisasional.

4. Kepercayaan dan Keadilan


Kepercayaan dalam manajemen merupakan suatu elemen penting dalam
penentuan iklim organisasi, kinerja karyawan, dan komitmen terhadap
1.40 Hubungan Industrial ⚫

organisasi. Cook dan Wall (1980) mendefinisikan kepercayaan organisasi


sebagai satu keinginan untuk menganggap maksud yang baik dan memiliki
keyakinan dalam kata dan perbuatan terhadap orang lain. Kepercayaan
menunjukkan adanya kepercayaan pada tujuan lain yang dapat dipercaya, dan
menunjukkan keyakinan pada kemampuan orang lain dalam menghasilkan
kemampuan dan keyakinan. Kepercayaan antar individu merupakan inti dari
pengendalian dan pengoordinasian organisasi (McAllister, 1995).
Selanjutnya, kepercayaan dimulai dengan kepercayaan pribadi untuk
memperhatikan orang lain dan membuat orang lebih serius dan ikut bangkit
ketika orang melihat pemimpin mewujudkan integritasnya ke dalam
keyakinan atau kepercayaan organisasi. Usaha membangun kepercayaan
merupakan hubungan seseorang dengan seorang lainnya, hubungan antara
satu tim dan tim lain, antara satu departemen dan departemen lain, antara satu
divisi dan divisi lain, antara manajer dan manajer lain, dan sebagainya. Setiap
hubungan membutuhkan waktu dan perhatian. Ada berbagai kondisi yang
mendukung kepercayaan, yaitu perbedaan, ketersediaan, kemampuan yang
meliputi pengetahuan dan keahlian, konsisten, kejujuran dan keadilan,
integritas, nilai-nilai, loyalitas, keterbukaan, komunikasi, kerja sama,
kolaborasi, kepercayaan menyeluruh, pemenuhan terhadap janji, dan
kesediaan untuk menerima (Laschinger et al., 2001).
Kepercayaan dalam organisasi tergantung pada asumsi yang digunakan
pengikut dalam menerima pemimpin. Tingkat kepercayaan dalam organisasi
tergantung dari filosofi manajerial, struktur dan kegiatan organisasi, dan
harapan timbal balik dari para karyawan (Laschinger et al., 2001).
Kepercayaan dapat berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif
dalam organisasi sebagai hasil berbagi ide, informasi, perasaan, kredibilitas
organisasi, dan peningkatan produktivitas atau kinerja.
Sementara itu, kepercayaan menekankan bukan hanya keyakinan
seseorang pada orang lain, tetapi juga keinginannya menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya sebagai dasar melakukan kegiatan.
Kepercayaan antarpribadi mempunyai dasar kognitif dan afektif (McAllister,
1995). Kepercayaan berdasar kesadaran adalah bahwa seseorang
mempercayai orang lain karena pilihan tertentu, atau dengan alasan yang
baik, sedang kepercayaan berdasar pengaruh adalah keberadaannya yang
dipengaruhi oleh perasaan atau emosional. Kepercayaan berdasarkan
kesadaran berkaitan dengan keyakinan individu mengenai reliabilitas,
ketergantungan, dan kompetensi, sedangkan kepercayaan berdasar pengaruh
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.41

lebih berhubungan dengan hubungan emosional yang diciptakan oleh saling


mengurus dan saling perhatian antar individu (MCAllister, 1995).
Dalam penelitian, kepercayaan biasanya merupakan variabel yang
memoderasi antara kepemimpinan dengan kinerja, maupun memoderasi
keadilan, baik keadilan pendistribusian maupun keadilan prosedural (Aryee
et al., 2002). Namun demikian, pemberdayaan juga memerlukan kepercayaan
agar dapat menghasilkan sikap dan perilaku karyawan seperti kepuasan kerja
dan perasaan bertanggung jawab dalam organisasi (Laschinger et al., 2001).
Kepercayaan juga mempunyai pengaruh signifikan pada faktor-fakor
kepentingan organisasi seperti kohesi kelompok, keadilan dalam keputusan
persepsian, perilaku kewargaan organisasional, kepuasan kerja, dan
keefektifan organisasi (Laschinger et al., 2001). Tanpa adanya kepercayaan,
orang tidak dapat bekerja kecuali dikendalikan atau diawasi secara keras.
Karyawan akan dapat bekerja apabila mendapatkan kepercayaan dari
pimpinan. Hubungan dalam organisasi akan meningkat dengan adanya
kepercayaan. Apabila organisasi akan mengadakan perubahan, maka faktor
kepercayaan sangat penting, misalnya dalam desain organisasi dari struktur
organisasi vertikal menjadi struktur organisasi horizontal atau flat.
Sementara itu, Kanter berpendapat bahwa kepercayaan melibatkan saling
memahami berdasarkan pada nilai-nilai bersama dan penting bagi loyalitas
dan komitmen karyawan (Laschinger et al., 2001). Selain itu, kepercayaan
juga merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan dalam aliansi
strategi. Adanya kepercayaan yang diberikan pimpinan ataupun rekan sekerja
dan kepercayaan yang diterima dari orang lain akan menghasilkan outcome
yang baik. Hasil yang dimaksud adalah kinerja maupun kepuasan kerja
(Laschinger et al., 2003).

LA TIH AN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan hubungan antara hubungan industrial dan manajemen sumber
daya manusia!
2) Jelaskan hubungan antara hubungan industrial dan strategi organisasi!
1.42 Hubungan Industrial ⚫

3) Jelaskan dua pendekatan, yaitu pendekatan universal dan situasional


dalam membahas hubungan antara praktik hubungan industrial dan
strategi!
4) Jelaskan hubungan antara hubungan industrial dan perilaku
organisasional!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Tujuan utama manajemen sumber daya manusia adalah menciptakan


organisasi yang lebih produktif, efisien, dan kompetitif. Manajemen
sumber daya manusia dipandang sebagai tantangan bagi keberadaan dan
operasi serikat pekerja. Karyawan yang merasa puas akan memiliki
komitmen tinggi dan mau bekerja sama dalam perserikatan. Keberadaan
serikat pekerja penting dalam menjamin keberhasilan kebijakan
manajemen sumber daya manusia. Serikat pekerja memiliki keamanan
kerja yang lebih formal dan menjamin hak individu, serta mendorong
individu menyampaikan pendapatnya. Serikat pekerja menyediakan
mekanisme tempat karyawan dapat menggunakan hak suaranya dalam
merancang dan menerapkan program.
2) Strategi organisasi/perusahaan terkait dengan pengendalian kinerja
karyawan. Peran manajemen dalam hubungan industrial yang penting
adalah mencapai tingkat usaha kerja fisik dan mental karyawan.
Manajemen menjamin bahwa karyawan secara nyata melakukan
pekerjaan yang harus dilakukan dan mencapai standar tertentu. Struktur
organisasi biasanya sesuai dengan strateginya. Fungsi struktur adalah
menyediakan mekanisme untuk menyusun dan menerapkan strategi dan
kebijakan hubungan industrial.
3) Dalam pendekatan universal, praktik manajemen sumber daya manusia
mencakup hubungan industrial atau hubungan antara berbagai pihak di
dalam dan di luar perusahaan. Sementara itu, dalam pendekatan
situasional, hubungan antarkaryawan diperlukan bagai keberhasilan
organisasi. Strategi hubungan antarkaryawan mendukung strategi bisnis
dan strategi korporasi dengan berbagai teknik yang digunakan yang
berkaitan dengan kekuatan kerja dan sasaran yang ditetapkan.
4) Kinerja karyawan yang tinggi akan menyebabkan karyawan merasa
puas. Kepuasan tersebut mendorong karyawan memiliki komitmen dan
bersedia berkomunikasi dengan baik, sehingga serikat kerja berfungsi
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.43

dengan baik pula. Hal yang sama juga terjadi bila karyawan merasakan
adanya hubungan yang baik dengan rekan kerja atau pimpinan atau
bawahan, berarti memiliki modal sosial kuat dan kepercayaan tinggi
akan mendorong eksistensi serikat pekerja.

RA NGK UMA N

1. Hubungan industrial terkait dengan berbagai disiplin ilmu lain,


seperti manajemen sumber daya manusia, strategi organisasi, dan
perilaku organisasional.
2. Hubungan industrial merupakan hubungan kerja yang banyak
menimbulkan konflik, karena ada berbagai kepentingan yang
bertentangan. Manajemen sumber daya manusia memiliki empat
elemen kunci, yaitu keyakinan dan asumsi yang mendasari;
berkaitan dengan strategi; tanggung jawab manajerial dalam
manajemen sumber daya manusia; dan perhatian pada tuas
organisasional yang digunakan dalam implementasi kebijakan.
Manajemen sumber daya manusia memiliki dua pendekatan, yaitu
model keras yang berfokus pada organisasi dan model lunak yang
berfokus pada karyawan. Manajemen sumber daya manusia dapat
sebagai tantangan dalam keberadaan serikat pekerja, namun
manajemen sumber daya manusia juga didukung keberadaannya
oleh serikat pekerja.
3. Strategi juga mengendalikan kinerja karyawan dan berpengaruh
dalam perilaku karyawan melalui struktur organisasi yang sesuai
dengan strategi organisasi. Pengaturan karyawan melalui strategi
organisasi menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan
universal dan pendekatan situasional.
4. Hubungan industrial juga dipengaruhi oleh konsep perilaku
organisasional seperti kepuasan kerja dan kinerja, modal sosial,
komitmen organisasional, kepercayaan, keadilan, pertukaran
pemimpin dan pengikut, dan dukungan organisasi persepsian.
Karyawan yang merasa puas, kinerjanya baik, mempunyai modal
sosial atau hubungan yang baik dengan rekan kerja, pimpinan, dan
anak buahnya, komitmen organisasional yang tinggi, saling percaya
dengan orang lain, dan merasakan keadilan dalam organisasi maka
hubungan industrialnya lebih baik dan serikat pekerja dapat tumbuh
subur.
1.44 Hubungan Industrial ⚫

TES FO RMA TIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Manajemen sumber daya manusia mempunyai empat elemen kunci,


kecuali ….
A. keyakinan dan asumsi
B. elemen yang terkait dengan strategi
C. tanggung jawab manajerial
D. keadilan dan komitmen

2) Model yang digunakan dalam manajemen sumber daya manusia


adalah….
A. model keras dan model lunak
B. komitmen dan fleksibilitas
C. kualitas dan strategi
D. individualistik dan kolektivistik

3) Strategi yang digunakan dalam mengendalikan kinerja karyawan


adalah….
A. concililatory dan concessionary
B. direct control dan responsible autonomy
C. scientific management, collective bargaining
D. decentralization dan flexilbility

4) Praktik-praktik manajemen sumber daya manusia secara langsung


berpengaruh terhadap kinerja perusahaan merupakan inti pendekatan ….
A. universal
B. situasional
C. hubungan antarkaryawan
D. situasional

5) Karyawan yang merasa puas akan dapat berkomunikasi dengan baik dan
dapat bekerja sama dalam perserikatan merupakan penjelasan hubungan
antara konsep hubungan industrial dengan ….
A. manajemen sumber daya manusia
B. strategi organisasi
C. perilaku organisasional
D. hubungan antarindividu
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.45

6) Berikut adalah teori yang dapat menjelaskan hubungan industrial dari


kacamata perilaku organisasional, kecuali teori ….
A. keseimbangan
B. pertukaran sosial
C. ekonomi
D. keadilan

7) Kemampuan individu bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai


tujuan umum dalam kelompok dan organisasi adalah inti dari ….
A. modal sosial sebagai inti hubungan industrial
B. negosiasi sebagai inti hubungan industrial
C. kesepakatan bersama sebagai inti hubungan industrial
D. prinsip hubungan industrial

8. Berikut adalah dimensi dalam modal sosial, kecuali ….


A. struktural
B. kepercayaan
C. relasional
D. kognitif

9) Komitmen organisasional berhubungan erat dengan hubungan industrial


karena komitmen ….
A. mempunyai tiga dimensi
B. mendasari perilaku kewargaan
C. menunjukkan kepuasan kerja
D. merupakan kekuatan individu untuk terlibat dalam organisasi

10) Kepercayaan berhubungan erat dengan hubungan industrial karena


kepercayaan ….
A. menggerakkan perilaku organisasional
B. mempengaruhi kohesivitas kelompok
C. mendasari komitmen untuk bekerja sama
D. membutuhkan perubahan
1.46 Hubungan Industrial ⚫

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Modul 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus
mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.47

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) A 1) D
2) B 2) A
3) A 3) B
4) C 4) A
5) C 5) C
6) B 6) C
7) A 7) A
8) B 8) B
9) C 9) D
10) B 10) B
1.48 Hubungan Industrial ⚫

Daftar Pustaka

Adler, P.S. dan Kwon, S.W. (2002). Social Capital: Prospects for A New
Concept. Academy of Management Review, 27 (1): 17-40.

Aldag, R. dan Reschke, W. (1997). Employee Value Added: Measuring


Discretionary Effort and Its Value to the Orgaization. Employee and
Value Added. Center of Organization Effectiveness, Inc.

Allen, N.J. dan Meyer, J.P. (1990). The Mesurement and Antecedents of
Affective, Continuance, and Normative Commitment to the
Organization. Journal of Occupational Psychology, 62, 1-18.

Aryee, S.; Budhwar, P.S. dan Chen, Z.X. (2002). Trust as a Mediator of the
Relationship Between Organizational Justuice and Work Outcomes: Test
of A Social Exchange Model. Journal of Organizational Behavior, 23:
267-285.

Atkinson, S. dan Butcher, D. (2003). Trust in Managerial Relationship.


Journal of Managerial Psychology, 18 (4) : 282-304.

Bateman, T.S. dan Strasser, S. (1984). A Longitudinal Analysis of the


Antecedents of Organizational Commitment. Academy of Management
Journal, 27 (1), 95-112.

Batubara, C. (2008). Hubungan Industrial. Jakarta: PPM Manajemen.

Bolino, M.C.; Turnley, W.H.; dan Bloodgood, J.M. (2002). Citizenship


Behavior and the Creation of Social Capital. Academy of Management
Review, 27 (4): 505-522.

Cardona, P.; Lawrence, B.S.; dan Bentler, P.M. (2003). The Influence of
Social and Work Exchange Relationships on Organizational Citizenship
Behavior. Barcelona: IESE Business School – University of Navarra.
Working Paper.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.49

Clugston, M. (2000). The Mediating Effects of Multidimensional


Commitment on Job Satisfaction and Intent to Leave. Journal of
Organizational Behavior, 21, 477-486.

Cohen, A. (1992). Antecedents of Organizational Commitment Across


Occupational Groups: A Meta-Analysis. Journal of Organizational
Behavior, 13, 539-558.

Cohen, D. dan Prusak, L. (2001). In Good Company: How Social Capital


Makes Organizations Work. Massachusetts Harvard Business School
Press.

Cook, J dan Wall, T. (1980). New Work Attitude Measures of Trust,


Organizational Comitment, and Personal Need Non-Fulfillment. Journal
of Occupational Psychology, 53 : 39-52

De Leede, J.; Looise, J.K.; dan van Riemsdijk, M. (2004). Collectivism


versus Individualism in Dutch Employment Relations. Human Resource
Management Journal, 14 (1): 25-39.

Deery, S.; Plowman, D.; dan Walsh, J. (1998). Industrial Relations: A


Contemprary Analysis. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Dunham R.B.; Grube, J.A.; dan Castaneda, M.B. (1994). Organizational


Commitment: The Utility of An Integrative Definition. Journal of
Applied Psychology, 79 (3), 370-380.

Edgar, F. (2003). Employee – Centered Human Resource Management in


Practices. New Zeland Journal of Industrial Relation, 28 (3): 230-240.

Fossum, J.A. (1987). Labor Relations: Research and Practice in Transition.


Journal of Management, 13 (2): 281-299.

Fossum, J.A. (2009). Labor Relations: Development, Structure, Process, 10th


Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin.
1.50 Hubungan Industrial ⚫

Godard, J dan Delaney, J.T. (2000). Reflections on the High Performance


“Paradigms” Implications for Industrial Relations as a Field. Industrial
& Labor Relations Review, 53 (3): 482-502.

Goodman, J.P. dan Sandberg, W.R. (1987). A Contingency Approach to


Labor Relations Strategic. Academy of Management Journal, 6 (1): 145-
154.

Hackett, R.D.; Bycio, P.; dan Hausdorf, P.A. (1994). Further Assessment of
Meyer and Allen’s (1991) Three-Component Model of Organizational
Commitment. Journal of Applied Psychology, 79 (1), 15-23.

Herscovitch, L. dan Meyer, J.P. (2002). Commitment to Organizational


Change: Extension of a Three-Component Model. Journal of Applied
Psychology, 87 (3), 474-487.

Inkpen, A.C. dan Tsang, E.W.K. (2005). Social Capital Networks and
Knowledge Transfer. Academy of Management Review, 30 (1): 146-165.

Katz, D. dan Kahn, R.L. (1966). The Social Psychology of Organization.


New York: John Wiley and Sons, Inc.

Katz, H.C.; Kochan, T.A.; dan Weber, M.R. (1985). Assessing the Effects of
Industrial Relations Systems and Effects of Industrial Relations Systems
and Efforts to Improve the Quality of Working Life on Organizational
Effectiveness. Academy of Management Journal, 28 (3): 509-526.

Kochan, T.A. (2000). Communications: On the Paradigm Guiding Industrial


Relations Theory and Research. Industrial and Labor Relations Review,
53 (4): 704-711.

Konovsky, M.A. dan Pugh, S.D. (1994). Citizenship Behavior and Social
Exchange. Academy of Management Journal, 37 (3): 656-669.

Kostova, T. dan Roth, K. (2003). Social Capital in Multinational Corporation


and Micro-Macro Model of Its Formation. Academy of Management
Review: 297-317.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.51

Kreitner, R. dan Kinicki, A. (2004). Organizational Behavior, Sixth edition.


Singapore: McGraw-Hill & Irwin.

Lansbury, R.D. (2009). Work and Industrial Relations: Towards a New


Agenda. Relations Industrielle, 64 (2): 326-339.

Laschinger, H.K.; Finegan, J.; dan Shamian, J. (2001). The Impact of


Workplace Empowerment, Organizational Trust on Staff Nurses’ Work
Satisfaction and Organizational Commitment. Health Care Management
Review, 26 (3), 7-23. Dari CD-ROM.

Lawler dan Thyre. (1999). Briging Emotions into Social Exchange Theory.
Annual Review Social, 25: 217-244.

Leana, C.R. dan Van Buren, H.J. (1999). Organizational Social Capital and
Employment Practices. Academy of Management Review, 24(3), 538-
555.

Liao, J. dan Welsch, H. (2005). Roles of Social Capital in Venture Creation:


Key Dimensions and Research Implications. Journal of Small Business
Management, 43 (4): 345-362.

Locke, E.A. (1982). The Ideas of Frederick W. Taylor: An Evaluation.


Academy of Management Jounal, 2 (1): 14-24.

Locke, E.A.; Shaw, K.N.; Saari, L.M.; dan Latham, G.P. (1981). Goal Setting
and Task Performance: 1969-1980. Psychological Bulletin, 90(1): 125-
152.

McAllister, D.J. (1995). Affect and Cognition - Based Trust As Foundations


and Interpersonal Cooperation in Organizations. Academy of
Management Journal, 38 (1): 24-59.

McFayden, M.A. dan Canella, A.A. (2004). Social Capital and Knowledge
Creation: Diminishing of Returns of the Number and Strength of
Exchange Relationships. Academy of Management Journal, 47 (5): 735-
746.
1.52 Hubungan Industrial ⚫

Meyer, J.P.; Allen, N.J.; dan Smith, C.A. (1993). Commitment to


Organizations and Occupations: Extension and Test of A Three-
Component Conceptualization. Journal of Applied Psychology, 78 (4),
538-551.

Moorman, R.H.; Blakely, G.L.; dan Niehoff, B.P. (1998). Does Perceived
Organizational Support Mediate the Relationship Between Procedural
Justice and Organizational Citizenship Behavior? Academy of
Management Journal, 41 (3): 351-357.

Morgeson, F.P. dan Hoffman, D.A. (1999). The Structure and Function of
Collective Constructs: Implications for Multilevel Research and Theory
Development. Academy of Management Review, 24: 249-265.

Nahapiet, J. dan Ghoshal, S. (1998). Social Capital, Intellectual Capital, and


the Organizational Advantage. Academy of Management Journal, 23
(2): 242-266.

Ostroff, C. (1992). The Relationship Between Satisfaction, Attittudes, and


Performance: An Organizational Analysis. Journal of Applied
Psychology, 77: 963-974.

Pugh, S.D. dan Dietz, I. (2008). Employee Engagement at the Organizational


Level of Analysis. Industrial and Organizational Psychology, 1: 45-48.

Robbins, S. P. dan Judge, T.A. (2011). Organizational Behaviour 14th


edition. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Robert, C.; Probst, T.M.; Martocchio, J.J.; Drasgow, F.; dan Lawler, J.J.
(2000). Empowerment and Continuous Improvement in the United
States, Mexico, Poland and India: Predicting Fit on the Basis of the
Dimensions of Power Distance and Individualism. Journal of Applied
Psychology, 85 (5): 643-658.

Seibert, S.E., Kraimer, M.I., dan Liden, R.C. (2001). A Social Capital Theory
of Career Success. Academy of Management Journal, 44 (2), 219-237.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.53

Setoon, R.P.; Bennett, N.; dan Liden, R.C. (1996). Social Exchange in
Organization: Perceived Organizational Support, Leader-Member
Exchange, and Employee Reciprocity. Journal of Applied Psychology,
81 (3): 219-227.

Somers, M.J. dan Birnbaum, D. (1998). Work-related Commitment and Job


Performance: It’s also About the Nature of the Performance that Counts.
Journal of Organizational Behavior, 19: 621-634.

Thompson, J.A. (2005). Proactive Personality and Job Performance: A Social


Capital Perspective. Journal of Applied Psychology, 90 (5): 1011-1017.

Tsai, W. dan Ghoshal, S. (1998). Social Capital and Value Creation: the Role
of Intraform Networks. Academy of Management Journal, 41 (4): 464-
476.

Wasko, M.M. dan Faraj, S. (2005). Why Should I Share? Examining Social
Capital and Knowledge Contribution in Electonic Networks and
Practice. MIS Quarterly, 29 (1): 35-377.

Wayne, S.J., Shore, L.M, dan Liden, R.C. (1997). Perceived Organizational
Support and Leader-Member Exchange: A Social Exchange Perspective.
Academy of Management Journal, 40 (1): 82-111.

Whitener, E.M.; Brodt, S.E.; Korsgaard, M.A.; dan Werner, J.M. (1998).
Managers as Initiators of Trust: An Exchange Relationship Framework
for Understanding Managerial Trustworthy Behavior. Academy of
Management Journal, 23 (3): 513-530.

Whitman, D.S; Van Rooy, D.L.; dan Viswesvaran, C. (2010). Satisfaction,


Citizenship Behavior, and Performance in Work Unit: A Meta-Analysis
of Collective Construct Relations. Personnel Psychology, 63:41-81.
1.54 Hubungan Industrial ⚫

Whittaker, J.; Burns, M.; dan Van Beveren, J (2003). Understanding and
Measuring the Effect of Social Capital on Knowledge Transfer Whitin
Clusters of Small-Medium Entreprise. 16th Annual Conference of Social
Entrepreneur Association of Australia and New Zelland. Paper
Presentation.
Modul 2

Serikat Pekerja
Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E., M.T.

P E N D A HU L UA N

S etiap negara selalu mempunyai undang-undang atau peraturan yang


mengatur hubungan industrial tersebut. Dalam undang-undang tersebut
dijabarkan bagaimana teknik pelaksanaan hubungan industrial yang sesuai
dengan filosofi yang dianut oleh negara tersebut. Walaupun demikian,
organisasi buruh internasional (ILO) juga mempunyai berbagai peraturan dan
kesepakatan yang dipatuhi dan diakui di seluruh dunia.
Sesuai dengan UUD 1945, perekonomian Indonesia disusun berdasarkan
demokrasi ekonomi dengan unit-unit usaha dan perekonomian dibentuk
berasaskan usaha bersama dan sistem kekeluargaan. Sistem pemilikan usaha
dan pengusaha perlu memberikan peluang bagi pekerja untuk memiliki
saham perusahaan. Ini berarti bahwa Indonesia mengutamakan kesejahteraan
masyarakat umum di atas kesejahteraan individu. Dalam jaringan kerja yang
demikian harus dipupuk rasa tanggung jawab bersama atas proses produksi
sehingga setiap pihak yang berkepentingan atau stakeholders mendapat hasil
yang setimpal dengan kontribusi masing-masing.
Sesuai dengan prinsip Hubungan Industrial Pancasila maka pengusaha
dan pekerja harus sama-sama mempunyai sikap sosial yang mencerminkan
kesatuan dan kesepakatan nasional, kerja sama, sukarela, toleransi, rasa
saling menghormati, keterbukaan, rasa saling tolong-menolong, dan mawas
diri. Pandangan hidup ini memberi peluang untuk konsultasi, pembahasan,
dan negosiasi dalam menyelesaikan perbedaan pandangan ataupun
perselisihan antara pengusaha dan pekerja melalui pertemuan informal atau
melalui jalur formal dalam forum konsultasi atau Lembaga Kerja Sama
Bipartit.
Pembahasan hubungan industrial memang tidak akan terlepas dari
serikat pekerja yang mewadahi hubungan industrial tersebut. Tujuan
pembentukan serikat pekerja adalah memberikan perlindungan, pembelaan
hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
2.2 Hubungan Industrial

keluarganya. Serikat pekerja bersifat bebas berarti serikat pekerja bebas


melaksanakan hak dan kewajibannya, tidak di bawah pengaruh atau tekanan
dari pihak lain. Setiap pekerja berhak membentuk dan atau menjadi anggota
serikat pekerja atas kehendak bebas pekerja sendiri tanpa paksaan atau
tekanan pengusaha atau pemerintah atau oleh serikat pekerja sendiri. Pekerja
juga bebas untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja.
Modul 2 ini merupakan kelanjutan dari Modul 1 yang masih membahas
mengenai serikat pekerja, baik serikat pekerja secara umum maupun yang
khusus dan sesuai dengan praktek yang terjadi di Indonesia. Secara lebih
terinci, Kegiatan Belajar 1 membahas mengenai pengertian serikat pekerja,
sedangkan Kegiatan Belajar 2 membahas serikat pekerja di Indonesia. Kedua
materi tersebut akan menghantarkan Anda untuk mempelajari materi-materi
berikutnya mengenai kesepakatan kerja bersama, pengupahan, dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Secara umum, setelah
mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan mengenai
serikat pekerja dan praktek serikat pekerja di Indonesia. Secara khusus,
setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan:
1. Konsep Serikat Pekerja.
2. Teori yang Mendasari Serikat Pekerja.
3. Tanggung Jawab dan Wewenang Serikat Pekerja.
4. Struktur Serikat Pekerja.
5. Peran Serikat Pekerja.
6. Konsep Serikat Pekerja Nasional.
7. Pembentukan Serikat Pekerja.
8. Keanggotaan Serikat Pekerja.
9. Hak Individu dalam Serikat Pekerja.
10. Perkembangan Serikat Pekerja di Indonesia.
11. Kebijakan Publik dan Organisasi Industrial.
EKMA4367/MODUL 2 2.3

Kegiatan Belajar 1

Pengertian tentang Serikat Pekerja

A. KONSEP SERIKAT PEKERJA

Dalam perusahaan terdapat serikat pekerja atau sering disebut dengan


serikat pekerja lokal. Serikat pekerja menunjukkan hubungan karyawan
sehari-hari dengan pengusaha atau majikan, atau pemilik perusahaan. Hak
hukum serikat kerja lokal tersebut dipengaruhi oleh empat dimensi, yaitu
jenis pekerjaan atau industri tempat perusahaan bergerak; area geografis
khusus; jenis kegiatan yang diikuti (misal pengorganisasian, kesepakatan, dan
sebagainya); dan tingkat penerapan hukum dalam serikat kerja (Fossum,
2009). Hak hukum serikat kerja dalam perusahaan mempengaruhi ukuran,
konstitusi, pengaturan, dan struktur organisasi.
Pembentukan serikat pekerja merupakan upaya mengadakan perbaikan
secara bersama-sama. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pembentukan serikat pekerja, yaitu kohesivitas kelompok, kesadaran masuk
dalam suatu kelas, dan ancaman eksternal. Karakteristik kohesivitas
kelompok adalah tingkat kesamaan dalam nilai dan perilaku anggotanya.
Umur, senioritas, dan karakteristik yang melatarbelakangi lainnya dianggap
sama. Kelompok yang kohesif biasanya memiliki pemimpin atau kelompok
pemimpin yang secara kuat merefleksikan nilai-nilai kelompok dan dipatuhi
oleh anggota kelompok. Kohesivitas juga merupakan fungsi dari ancaman
eksternal, serta merupakan solidaritas selama periode tertentu.
Kesadaran akan kelas merupakan katalisator untuk pembentukan serikat
pekerja. Karyawan dan pemilik perusahaan biasanya berasal dari kelas yang
berbeda. Pembentukan serikat pekerja dipandang sebagai cara penyamaan
kekuasaan. Sementara itu, jika ancaman eksternal meningkat maka
kohesivitas kelompok akan naik. Hal ini disebabkan adanya perasaan senasib
atau sama tersebut akan mendorong pekerja maupun pengusaha bersatu
melawan ancaman eksternal tersebut. Serikat pekerja dalam perusahaan
sering kali menyewa agen bisnis yang bertugas menjamin bahwa kontrak
tersebut diikuti dan digunakan oleh anggota dalam penyediaan kesempatan
2.4 Hubungan Industrial

kerja. Serikat kerja lokal juga memungkinkan terjadinya permainan politik di


kota kecil.
Bagaimana karyawan dapat masuk dalam organisasi serikat pekerja?
Karyawan baru biasanya melakukan orientasi di tempat kerjanya.
Kebanyakan mereka mulai dipekerjakan di awal periode gajian. Mereka
biasanya datang ke pertemuan kelompok setelah mendapatkan informasi
mengenai perusahaan, kebijakan dan prosedur yang berlaku, manfaat
keterlibatannya dalam kelompok tersebut, dan sebagainya. Karyawan baru
tersebut juga menemui supervisornya, ditugaskan di tempat kerjanya, dan
memulai pelatihan di tempat kerjanya atau mengikuti pelatihan formal
sebelum memulai pekerjaannya. Karyawan baru akan diterima sebagai
pegawai tetap setelah mengalami masa percobaan atau masa adaptasi.
Adakalanya, sebelum diangkat sebagai pegawai tetap pun karyawan tersebut
harus diangkat sebagai pegawai kontrak.
Setelah melewati masa percobaan, karyawan tersebut segera bergabung
dengan serikat kerja yang ada. Pada umumnya pihak serikat pekerja
mendaftar anggota baru pada unit kerja mereka. Serikat pekerja menjelaskan
bagaimana serikat pekerja tersebut dapat mewadahi para karyawan dan
bagaimana perjanjian kesepakatan kolektif bermanfaat bagi mereka. Pihak
serikat pekerja juga menjelaskan kegiatan-kegiatan serikat pekerja dan
mencoba mengajak karyawan untuk terlibat di dalamnya. Serikat pekerja
harus menunjukkan dukungan pada karyawan. Sosialisasi yang baik
mengenai serikat pekerja akan berpengaruh pada sikap anggota terhadap
serikat pekerja dan komitmen karyawan terhadap program dan kegiatan
serikat pekerja.
Partisipasi para karyawan dalam serikat pekerja ditunjukkan dengan
menjadi bagian dalam kegiatan administratif, menghadiri berbagai pertemuan
dalam serikat pekerja, dan memberikan suaranya dalam pemilihan pengurus,
maupun melawan otorisasi, dan pengesahan kontrak. Partisipasi dalam serikat
pekerja juga tampak dalam kemauannya bekerja untuk serikat pekerja dan
kepemimpinan dalam serikat pekerja. Kemauan dalam serikat pekerja
ditunjukkan dengan loyalitas dan perasaan bertanggung jawab terhadap
serikat pekerja. Tanggung jawab diprediksi dengan loyalitas dan keyakinan
kerja. Selanjutnya, komitmen terhadap serikat pekerja merupakan investasi
psikologis dalam sasaran. Komitmen tersebut direfleksikan dalam perilaku
EKMA4367/MODUL 2 2.5

dengan partisipasi, mendukung sasaran serikat pekerja, dan mendorong orang


lain bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Keanggotaan serikat pekerja adalah sukarela, sehingga komitmen
terhadap serikat pekerja difasilitasi oleh keterlibatan awal dan sosialisasi
kegiatan serikat pekerja, seperti program orientasi anggota baru, komunikasi
dengan anggota, dan partisipasi secara terus-menerus sebagai anggota.
Kepuasan kerja merupakan prediktor komitmen terhadap serikat pekerja.
Selain komitmen organisasional dan kepuasan kerja, komitmen terhadap
serikat pekerja juga dipengaruhi oleh sikap mendukung serikat pekerja
tersebut. Sikap mendukung serikat pekerja juga dipengaruhi oleh persepsi
terhadap instrumen serikat pekerja. Komitmen terhadap serikat pekerja inilah
yang mendorong partisipasi karyawan atau pekerja dalam serikat pekerja.
Karyawan di perusahaan dahulu digolongkan dalam dua kelompok,
yaitu. karyawan operasional atau kadang-kadang disebut pekerja kasar dan
karyawan yang melakukan kegiatannya di kantor. Karyawan operasional
pada umumnya bekerja dengan mesin-mesin sehingga pakaiannya cepat
kotor. Oleh karena itu, pakaian pekerja operasional tersebut biasanya diberi
warna biru, sehingga dinamakan blue-collar workers atau pekerja kerah biru.
Karyawan yang melakukan kegiatan di kantor biasanya memakai baju kerah
putih atau white-collar workers, karena sifat pekerjaannya, pakaian putih
tersebut tidak cepat kotor. Karyawan kantor sering kali disebut employees
atau karyawan. Secara umum, karyawan atau pekerja, mencakup karyawan
kerah putih dan karyawan kerah biru di perusahaan, karyawan mandiri dan
karyawan keluarga.
Dalam pembentukan serikat kerja, hubungan kerja karyawan
merupakan pertukaran yang berlangsung secara terus-menerus antara serikat
pekerja dan pengusaha atau majikan. Pertukaran tersebut mengidentifikasi
minat atau keinginan dan menciptakan mekanisme untuk mengklarifikasi,
mengelola, mengurangi, dan menyelesaikan konflik melalui kepeminatan
khusus tersebut. Berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, dan hukum
yang ada telah menyusun peraturan dasar dan mendefinisikan hak dan
kewajiban karyawan. Hukum dan peraturan yang digunakan tersebut
dipengaruhi oleh budaya, kinerja perekonomian, dan keyakinan mengenai
bagaimana hak individu dilindungi dan keadilan sosial ditingkatkan.
Dasar dalam mempraktekkan hubungan kerja karyawan dalam
pembentukan serikat kerja adalah adanya kontrak yang merupakan hasil
2.6 Hubungan Industrial

negosiasi beberapa pihak. Kontrak tersebut menjabarkan hak dan kewajiban


masing-masing pihak selama periode waktu tertentu. Kontrak tersebut
dibicarakan secara periodik untuk mengadakan penyesuaian apabila ada
perubahan tujuan dan sasaran dari para pihak dan adanya perubahan kondisi
ekonomi dan sosial atau masyarakat. Praktek hubungan kerja karyawan diatur
oleh seperangkat hukum dan peraturan yang cukup stabil. Pelaksanaannya
dilakukan oleh pengusaha atau pihak perusahaan secara relatif sama dengan
menyesuaikannya dengan sasaran khusus masing-masing perusahaan.
Pembentukan serikat pekerja menawarkan kepada karyawan berbagai
metode untuk menghitung kekuasaan karyawan untuk perubahan kondisi
pekerjaan secara unilateral. Anggota serikat pekerja memilih dan dapat
menyewa beberapa pihak untuk mengadakan tawar-menawar kontrak dengan
pengusaha atau pemilik perusahaan. Pembentukan serikat kerja
memperkenalkan demokrasi dalam hubungan antarkaryawan. Karyawan
dapat menentukan (1) keinginan utama apa yang akan ditunjukkan; (2)
siapakah yang memilih pemimpin atau menyewa agen; (3) isu penting apakah
yang ada di tempat kerja; dan (4) apakah kontrak dapat diterima (Fossum,
2009).
Hal lain yang penting dalam mempelajari hubungan kerja karyawan
adalah karyawan dapat ada tanpa serikat pekerja, tetapi serikat pekerja tidak
bisa ada tanpa karyawan. Beberapa pengusaha mencoba menghindari
pembentukan serikat pekerja, menjauhkan serikat pekerja dari tempat kerja
karyawan, dan meminimalkan keefektifan serikat pekerja. Di sisi lain, serikat
pekerja jarang atau tidak pernah berupaya menghilangkan serikat pengusaha.
Serikat pekerja merupakan organisasi ekonomi dan politik secara simultan.
Sebagai aktor perekonomian, serikat pekerja berupaya mengendalikan
penawaran karyawan terhadap pengusaha atau pemilik perusahaan untuk
memperbaiki kondisi keuangan anggota organisasi.
Para pengusaha atau pemilik perusahaan memiliki sasaran atau tujuan
perusahaan atau korporasi yang menyangkut serikat pekerja dan berkaitan
dengan pembentukan serikat pekerja dan kesepakatan bersama. Manajer lini
memiliki sasaran produksi dan pemasaran yang harus dicapai yang dapat
didukung atau dihalangi oleh hubungan kerja karyawan.
Apa yang dilakukan serikat pekerja? Serikat pekerja dapat menimbulkan
kontroversi. Beberapa orang memiliki pendapat positif atau negatif yang
kuat. Pembentukan serikat pekerja menciptakan monopoli kekuasaan melalui
EKMA4367/MODUL 2 2.7

kontrak. Serikat pekerja juga memberikan kesempatan pada karyawan untuk


menyuarakan bagaimana hubungan yang terkait dengan pekerjaan tersebut
diterapkan di tempat kerja mereka. Serikat pekerja memberikan manfaat bagi
anggotanya (kekuasaan monopoli) pada biaya yang lebih tinggi dan
masyarakat umum dengan menyaratkan bahwa pengusaha menanggapi
keluhan karyawan (kekuasaan bersuara).
Seorang karyawan di satu perusahaan hanya boleh menjadi anggota satu
serikat pekerja di perusahaan tersebut dan tidak boleh menjadi anggota
serikat pekerja lain di perusahaan yang sama ataupun di perusahaan lain.
Serikat pekerja harus bersifat bebas, sehingga serikat pekerja bebas
melaksanakan hak dan kewajibannya, tidak di bawah pengaruh atau tekanan
dari pihak lain. Setiap karyawan berhak membentuk dan atau menjadi
anggota serikat pekerja atas kehendaknya sendiri, tanpa paksaan atau tekanan
pengusaha atau Pemerintah ataupun oleh serikat pekerja sendiri. Karyawan
juga boleh untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja. Serikat pekerja harus
terbuka dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan kepentingan
pekerja, tidak membedakan anggota menurut aliran politik, agama, suku
bangsa, dan jenis kelamin. Serikat pekerja mendirikan, menjalankan, dan
mengembangkan organisasi secara mandiri atau atas kekuatan sendiri, tidak
dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.
Serikat pekerja harus didirikan secara demokratis. Pemilihan pengurus,
memperjuangkan dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan
sesuai dengan prinsip demokrasi. Dalam mencapai tujuan dan melaksanakan
hak dan kewajibannya, serikat pekerja bertanggung jawab kepada anggota,
masyarakat, dan negara. Tujuan pembentukan serikat pekerja adalah
memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan ketidakpuasan pada serikat
pekerja berhubungan dengan penurunan partisipasi. Kehadiran dalam
pertemuan diprediksi oleh ketidakpuasan, tanggapan serikat pekerja
persepsian, kekuatan serikat pekerja persepsian, dan tingkat pendidikan
anggota. Keinginan berpartisipasi dalam kegiatan serikat pekerja ini dapat
memprediksi tingkat keterlibatan karyawan, menilai serikat pekerja dengan
tinggi, dan minat pada serikat pekerja. Partisipasi sesungguhnya diprediksi
oleh status tenaga kerja, tingkat pendidikan karyawan yang lebih tinggi,
senioritas, dan keinginan berpartisipasi.
2.8 Hubungan Industrial

B. TEORI YANG MENDASARI SERIKAT PEKERJA

Ada beberapa teori yang mendasari perburuhan atau serikat pekerja,


yaitu teori kemakmuran umum, teori pemasaran tenaga kerja, teori
produktivitas, teori perundingan atau kesepakatan, dan teori oposisi loyal
terhadap manajemen.

1. Teori Kemakmuran Umum


Menurut teori ini, perjuangan serikat pekerja untuk meningkatkan upah
dapat mendorong dan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Hal ini
disebabkan setiap kenaikan upah akan mendorong ke arah ekspansi dan
pertumbuhan. Menurut serikat pekerja, kenaikan upah akan menaikkan
produktivitas. Produktivitas yang tinggi akan menurunkan biaya produksi.

2. Teori Pemasaran Tenaga Kerja


Menurut teori ini, kondisi di tempat para pekerja itu bekerja ditentukan
oleh kekuatan dan pengaruh pekerja di pasar dan tenaga kerja. Serikat pekerja
menganggap dirinya sebagai agen ekonomi di pasar-pasar kerja. Bila
persediaan tenaga kerja lebih besar daripada permintaan akan tenaga kerja,
maka harga tenaga kerja menjadi rendah.

3. Teori Produktivitas
Menurut teori ini, upah ditentukan oleh produktivitas karyawan.
Semakin tinggi produktivitas maka upah akan semakin tinggi pula.

4. Teori Perundingan/Tawar-menawar
Menurut Teori Perundingan atau tawar-menawar, pasar tenaga kerja
ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berlawanan dari karyawan dan
pengusaha. Oleh karena itu, harga tenaga kerja juga ditentukan oleh kekuatan
tawar-menawar antara pengusaha dan karyawan. Bila karyawan
meningkatkan kekuatan ekonominya dengan bertindak bersama-sama melalui
serikat pekerja, maka karyawan memiliki agen perundingan atau tawar-
menawar (bargaining agent) untuk dapat meningkatkan upah mereka.
Kekuatan ekonomi diukur dari kemampuan mengekang karyawan sehingga
memaksa pengusaha mencari pengganti karyawan yang baru.
EKMA4367/MODUL 2 2.9

Teori Perundingan modern menyatakan bahwa baik pengusaha maupun


karyawan akan memasuki pasar tenaga kerja tanpa harga permintaan atau
penawaran yang pasti, walaupun ada batas harga permintaan/penawaran
tertinggi dan terendah. Dalam batas harga tersebut tingkat upah ditentukan
oleh kekuatan tasar-menawar pengusaha dan karyawan. Karyawan yang
kekuatan tawar-menawarnya lemah harus menerima tingkat upah yang
rendah, dan yang memiliki kekuatan ekonomi lebih besar akan menuntut
tingkat upah yang lebih tinggi.

5. Teori Oposisi Loyal terhadap Manajemen


Menurut teori ini, serikat pekerja harus menolak tanggung jawab atas
manajemen dan tidak mau menjadi manajer. Hal ini disebabkan oleh
pandangan awal yang mengatakan bahwa fungsi manajemen adalah
mengelola, sedangkan serikat pekerja mempunyai tanggung jawab
pengawasan atau pengendalian atas kualitas manajemen. Tanggung jawab ini
memaksa manajemen untuk selalu berusaha bekerja sebaik-baiknya terutama
dalam penggunaan tenaga kerja. Oleh karena itu, Teori Oposisi Loyal
terhadap Manajemen ini menganjurkan serikat buruh menolak tanggung
jawab atas manajemen.
Tujuan utama serikat pekerja adalah menciptakan dan mempertahankan
serikat pekerja yang berwenang dan kuat, yang berbicara atas nama
anggotanya, dan melaksanakan persetujuan yang telah dicapai. Untuk
bertindak secara efektif, serikat pekerja harus dapat bertindak tegas mengenai
apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para
anggotanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada berbagai macam kegiatan
yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari para majikan. Teori
perburuhan memang berkembang di negara Eropa dan Amerika. Cara-cara
yang ditempuh untuk mendapatkan pengakuan dari pengusaha antara lain:
a. Melarang para anggota untuk bekerja atau memberi bantuan keuangan
kepada pekerja yang sedang mengadakan pemogokan.
b. Memberikan skorsing atau pemecatan terhadap anggota yang melakukan
tindakan membangkang, menentang kebijakan serikat pekerja, atau
tindakan yang dianggap membahayakan keefektifan serikat pekerja, atau
tindakan yang melanggar disiplin lainnya.
2.10 Hubungan Industrial

Komitmen terhadap serikat pekerja dan pengusaha merupakan dua hal


yang saling tergantung. Komitmen terhadap pengusaha diprediksi oleh masa
kerja, persepsi imobilitas, dukungan supervisor, kesempatan promosi, dan
pengaruh pada pengusaha. Komitmen pada serikat pekerja berhubungan
dengan persepsi terhadap imobilitas, kepercayaan bahwa serikat pekerja
harus menggunakan keluhan untuk menghukum pengusaha, keterlibatan
dalam kegiatan serikat pekerja dan pembuatan keputusan, serta penyusunan
yang lebih besar. Komitmen terhadap serikat pekerja tersebut ditunjukkan
oleh hasil sektor ekonomi yang rendah, keterlibatan pada serikat pekerja, dan
kurangnya dukungan pengusaha. Komitmen pada pengusaha dan pada serikat
pekerja ditunjukkan dalam keterlibatan karyawan dalam membuat keputusan,
persepsi terhadap imobilitas dan pengaruh pada pengusaha, dan karyawan
menjadi tidak ahli.
Menurut Arthur dan Dworkin (1991), penurunan keanggotaan serikat
pekerja dijelaskan oleh enam hal seperti berikut ini.
a. Penjelasan struktural: berkurangnya anggota serikat pekerja berkaitan
dengan perubahan struktur ekonomi.
b. Taktik penindasan serikat pekerja: berkurangnya anggota serikat pekerja
merupakan kegiatan manajerial legal dan ilegal yang bertujuan
mengurangi kesempatan serikat pekerja.
c. Penggantian serikat pekerja oleh pengusaha menunjukkan penyediaan
jenis pelayanan yang biasanya berhubungan dengan serikat pekerja.
d. Melalui kebijakan sumber daya manusia yang berpengalaman,
pengusaha dapat bertahan terhadap permintaan serikat pekerja.
e. Beberapa manfaat yang berkaitan dengan serikat pekerja bisa disediakan
melalui proses penggantian serikat pekerja oleh pemerintah.
f. Nilai, ideologi, dan faktor-faktor yang ada dalam serikat pekerja (faktor
internal serikat pekerja) berpengaruh pada kegiatan internal tersebut
seperti masalah imej, kepemimpinan, instrumen, dan seterusnya.

Hubungan industrial telah berubah pada dekade terakhir ini yang secara
wajar akan berpengaruh pada karyawan di luar serikat pekerja. Sektor
pemanufakturan saat ini melemah, sedangkan sektor jasa atau layanan
tumbuh dengan cepat. Pelayanan berbeda dari perusahaan manufaktur karena
pekerjaan tidak dipisahkan menurut pekerjanya. Fungsi memberi saran,
perhatian, dan penyampaian harus dilakukan oleh individu. Pelayanan tidak
EKMA4367/MODUL 2 2.11

dapat dipatenkan dan proses produksinya dapat ditransfer antar perusahaan.


Investasi utama juga bergeser dari model fisik ke modal sumber daya
manusia sebagai industri jasa dengan penekanan utama pada pelatihan dan
pengembangan karyawan.
Serikat pekerja lebih mudah dijumpai pada perusahaan manufaktur
karena pada umumnya serikat pekerja lebih banyak terdapat pada sektor yang
lebih lama atau mapan daripada sektor jasa yang relatif masih baru. Selain
itu, sektor pemanufakturan merupakan sektor yang menerima kriteria
keefektifan organisasi. Kriteria keefektifan organisasi tersebut meliputi
kriteria ekonomi dan kriteria keperilakuan (Goodman & Sandberg, 1987).
Kriteria ekonomi meliputi dapat dipertimbangkan, menguntungkan,
pertumbuhan, dan keberlanjutan. Kriteria keperilakuan meliputi kepuasan
pelanggan, nilai kemasyarakatan, kohesi, dan hubungan interpersonal.
Kriteria lain yang juga sering digunakan terkait dengan keperilakuan adalah
absen, kecelakaan, perputaran kerja, kelambanan, dan keluhan.

C. TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG SERIKAT PEKERJA

Menurut Arthur dan Dworkin (1991), serikat pekerja dapat


meningkatkan keefektifannya dengan cara: memfokuskan pada komunikasi
yang lebih baik dari anggota yang merasa tidak puas pada anggota baru, dan
menempatkan sumber daya berdasarkan rekrutmen dan seleksi individu yang
baik pada posisi organisasi tertentu. Hubungan antara serikat pekerja dan
manajemen mempengaruhi keefektifan praktek manajerial. Pengaruh serikat
pekerja pada produktivitas dinilai dengan menggunakan pendekatan
situasional dengan beberapa kondisi yang mempengaruhi adalah ukuran
perusahaan, ciri pasar produk (publik atau privat), dan sejarah hubungan
tenaga kerja dan manajemen. Serikat Secara teoritis, tanggung jawab dan
wewenang Serikat Pekerja dikelompokkan menjadi tiga, yaitu keamanan
perserikatan, sarana serikat pekerja menghadapi pengusaha, serta
pengendalian internal dan disiplin.

1. Keamanan Perserikatan
Ada beberapa tahap pengakuan pengusaha terhadap serikat pekerja
dalam sejarah, yaitu anti union shop, open shop, exclusive bargaining agent,
preferential shop, maintenance of membership, agency shop, union shop,
2.12 Hubungan Industrial

closed shop, dan check off. Pada tahap anti union shop, serikat pekerja tidak
diakui sama sekali. Perusahaan menolak memberikan pekerjaan kepada para
anggota serikat pekerja tersebut. Pada tahap open shop, pengusaha masih
belum mengakui adanya serikat pekerja, sehingga apabila berurusan dengan
pekerja, para pengusaha langsung menemui pekerja secara individual. Pada
tahap exclusive bargaining agent, serikat pekerja diakui sebagai satu-satunya
wakil pekerja. Serikat pekerja bertanggung jawab atas perundingan atau
kesepakatan mengenai kondisi semua karyawan, termasuk karyawan yang
tidak menjadi anggota serikat pekerja.
Selanjutnya, pada tahap preferential shop, pengusaha memberikan
prioritas bagi pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja. Pada tahap
maintenance of membership, semua karyawan yang menjadi anggota serikat
pekerja pada atau setelah tanggal tertentu harus menjadi anggota selama
jangka waktu persetujuan kerja. Pada tahap agency shop, semua karyawan
harus membayar iuran kepada serikat pekerja meskipun tidak menjadi
anggota serikat pekerja. Sementara itu, pada tahap union shop, semua
karyawan harus menjadi anggota serikat pekerja. Pengusaha dapat
mempekerjakan karyawan yang bukan anggota serikat pekerja tetapi telah
diterima sebagai karyawan harus menjadi anggota serikat pekerja. Pada tahap
closed shop, pengusaha hanya mau menerima dan mempekerjakan karyawan
yang telah menjadi anggota serikat pekerja. Pada tahap check off, pengusaha
memotong upah pekerja sejumlah tertentu untuk dimasukkan dalam kas
serikat pekerja sebagai iuran pekerja.

2. Sarana Menghadapi Pengusaha


Pada dasarnya, ada tiga hal yang menjadi perhatian serikat pekerja, yaitu
pemogokan, pemagaran, dan pemboikotan. Pemogokan pada umumnya
digunakan untuk memaksakan kenaikan upah. Selain itu, serikat pekerja
sering kali menghentikan kerja mereka sebagai bentuk protes bila karyawan
yang ingin masuk menjadi anggota serikat pekerja dihalangi oleh pengusaha,
atau apabila pengusaha melakukan praktek diskriminasi dalam pengangkatan
karyawan atas dasar keanggotaan serikat pekerja. Pemogokan juga dilakukan
sebagai cara mendukung anggota serikat pekerja lain yang juga sedang
melakukan pemogokan kerja di tempat kerja mereka. Namun demikian, ada
pula yang disebut dengan pemogokan liar, yaitu pemogokan tanpa adanya
instruksi dari pimpinan serikat pekerja atau bahkan mengadakan pemogokan
EKMA4367/MODUL 2 2.13

kerja tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Pemogokan kerja karyawan juga
dapat dilakukan dengan tidak meninggalkan tempat kerjanya, yaitu dengan
tetap bekerja namun memperlambat kecepatan kerjanya.
Pemagaran dilakukan oleh para wakil serikat buruh dengan memasang
plakat-plakat yang memberitahukan kepada umum bahwa di perusahaan
tersebut sedang terjadi perselisihan perburuhan. Tujuan pemagaran adalah
agar warga masyarakat umum memberi dukungan kepada serikat pekerja.
Selain itu, pemagaran juga dilakukan untuk menghalangi kegiatan
operasional perusahaan. Harapannya, dengan terhentinya kegiatan
operasional, maka pengusaha akan menuruti kehendak serikat pekerja.
Pemboikotan dilakukan dengan cara menghalangi pengusaha menjual
barang atau jasa hasil produksinya dengan menganjurkan dalam majalah atau
surat kabar untuk tidak membeli barang atau jasa perusahaan tersebut.
Pemboikotan dapat bersifat primer atau sekunder. Pemboikotan primer
ditujukan pada perusahaan yang tidak mau memenuhi tuntutan serikat
pekerja dengan tidak membeli barang atau jasa yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut. Pemboikotan sekunder adalah pemboikotan dengan
melibatkan pihak ketiga yang tidak secara langsung membeli barang atau jasa
perusahaan tersebut.

3. Pengendalian dan Disiplin Internal


Anggaran dasar serikat pekerja memberi kekuasaan kepada pengurus
serikat pekerja untuk bertindak terhadap anggotanya yang menentang
pimpinan atau menolak menaati persyaratan dalam perjanjian atau
kesepakatan kerja bersama. Mereka yang menentang tersebut dikenai denda
atau pemecatan dari keanggotaan serikat pekerja. Antara pengusaha dan
serikat pekerja juga terdapat persetujuan atau perjanjian kolektif. Dalam
perjanjian tersebut terdapat beberapa klausul, yaitu upah dan gaji, jam kerja,
jaminan sosial karyawan, pengakuan terhadap serikat pekerja, hak-hak
pimpinan perusahaan, disiplin yang jelas dan tegas, keluhan, serta kesehatan
dan keselamatan kerja.

D. STRUKTUR SERIKAT PEKERJA

Serikat pekerja merupakan asosiasi para karyawan untuk jangka waktu


yang panjang dan berlangsung secara terus menerus. Tujuan dibentuknya
2.14 Hubungan Industrial

serikat pekerja adalah untuk mengembangkan kerja sama dan tanggung


jawab antarkaryawan maupun antara karyawan dan pengusaha. Tujuan
serikat pekerja dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tujuan yang bersifat
internal maupun eksternal. Tujuan internal serikat pekerja adalah
mengembangkan kerja sama dan tanggung jawab antaranggota serikat
pekerja. Adapun tujuan eksternal serikat pekerja adalah mengembangkan
kerja sama dan tanggung jawab terhadap pengusaha dan lingkungannya
Serikat pekerja akan mempengaruhi kebijakan perusahaan dan kebijakan
pemerintah. Dengan adanya serikat pekerja, maka kebijakan-kebijakan yang
diambil perusahaan harus mempertimbangkan tenaga kerja (bottom-up).
Dalam kegiatan sehari-hari, manajer tidak dapat menghindari pengaruh
serikat pekerja. Serikat pekerja ini mempengaruhi sistem dan proses
manajemen yang ada di perusahaan. Manajer perlu memahami serikat
pekerja, alasan mengapa seseorang bergabung dalam serikat pekerja, praktek
serikat kerja, dan kebijakan yang ada dalam serikat tersebut.
Serikat pekerja merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
manajer. Manajer harus mengelola suatu iklim di mana serikat pekerja
mempunyai pengaruh, kekuatan, dan otoritas. Di samping itu, manajer harus
memperkirakan reaksi serikat pekerja terhadap suatu kebijakan manajemen.
Sebagai contoh, dalam hal kebijakan, seleksi, promosi, transfer, keselamatan
dan kesejahteraan karyawan, pemecatan, pensiun, dan kompensasi ditentukan
secara bersama-sama antara pihak perusahaan/manajemen dengan serikat
pekerja. Kebijakan pemerintah dalam hal ketenagakerjaan juga
mempertimbangkan masukan dari serikat pekerja. Misalnya dalam
menentukan upah minimum propinsi (UMP). Besarnya UMP ditentukan
secara bersama-sama antara pihak serikat pekerja, perusahaan/pengusaha,
dan pemerintah.
Mengapa seorang pekerja atau karyawan membentuk, bergabung, dan
mendukung serikat pekerja? Monopoli dan kekuasaan bersuara merupakan
dua hal yang menarik untuk karyawan. Namun demikian, isi pekerjaan,
pengalaman, umur yang muda, keyakinan politis demokrasi sosial,
pendidikan yang lebih rendah, dan pendapatan personal yang lebih rendah
juga berhubungan dengan keinginan membentuk perserikatan (Fossum,
2009). Minat karyawan bergabung dalam serikat pekerja juga berhubungan
dengan faktor demografi, ekonomi, dan sikap terhadap prospek karier dan
EKMA4367/MODUL 2 2.15

persepsi ketidakpuasan yang tinggi terhadap stres kerja berhubungan dengan


kepeminatan.
Ada dua kondisi yang dapat memprediksi keinginan mereka bergabung
dalam serikat kerja. Pertama, karyawan merasa tidak puas dan yakin bahwa
mereka secara individu tidak dapat mempengaruhi perubahan kondisi
tersebut. Kedua, mayoritas karyawan yakin bahwa kesepakatan kolektif akan
memperbaiki kondisi yang lebih baik daripada perubahan pekerjaan.
Ketidakpuasan secara konsisten berkaitan dengan minat membentuk serikat
pekerja dan berhubungan dengan keinginan keluar dari tempat kerja. Model
pembentukan serikat kerja menunjukkan adanya perbedaan antara harapan
dan motif pencapaian. Serikat pekerja dan para pemimpinnya pasti memiliki
penjelasan terhadap perilaku mereka, termasuk dalam membentuk,
bergabung, dan mendukung serikat pekerja. Secara psikologis, pekerja
percaya bahwa dalam satu kelompok, mereka merasa lebih kuat dari pada
bila mereka masing-masing berdiri sendiri. Dalam kelompok tersebut,
mereka mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berhubungan dengan
pihak perusahaan dalam membahas isu-isu sosial maupun ekonomi. Mereka
dapat menjelaskan organisasinya sebagai alat untuk mengembangkan
demokrasi dalam hubungan kerja dan melindungi individu pekerja dari
perlakuan semena-mena pihak pengusaha.
Setiap organisasi serikat pekerja biasanya mempunyai filosofi yang
berbeda-beda, namun secara umum filosofi organisasi serikat pekerja akan
mencakup kebebasan individu, demokrasi, dan sistem perusahaan. Mereka
memperkenalkan hubungan kerja yang ideal yang sesuai dengan filosofi
mereka, baik kepada anggota organisasi serikat pekerja itu sendiri maupun ke
pihak eksternal. Serikat pekerja merupakan salah satu sarana dan pelaksana
utama hubungan industrial, sehingga serikat pekerja mempunyai peranan dan
fungsi penting berikut ini.
1. Menampung aspirasi dan keluhan pekerja, baik anggota maupun bukan
anggota serikat pekerja yang bersangkutan;
2. Menyalurkan aspirasi dan keluhan tersebut kepada manajemen atau
pengusaha baik secara langsung atau melalui Lembaga Bipartit;
3. Mewakili pekerja di Lembaga Bipartit;
4. Mewakili pekerja di Tim Perunding untuk merumuskan Perjanjian Kerja
Bersama;
2.16 Hubungan Industrial

5. Mewakili pekerja di lembaga-lembaga kerja sama ketenagakerjaan


sesuai dengan tingkatannya seperti Lembaga Tripartit, Dewan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Dewan Pelatihan Kerja, dan lain-lain;
6. Memperjuangkan hak dan kepentingan anggota, baik secara langsung
kepada pengusaha maupun melalui lembaga-lembaga ketenagakerjaan;
7. Membantu menyelesaikan perselisihan industrial;
8. Meningkatkan disiplin dan semangat kerja anggota;
9. Aktif mengupayakan menciptakan atau mewujudkan hubungan industrial
yang aman, harmonis, dinamis dan berkeadilan; dan
10. Menyampaikan saran kepada manajemen baik untuk penyelesaian keluh
kesah pekerja maupun untuk penyempurnaan sistem kerja dan
peningkatan produktivitas perusahaan.

E. PERAN SERIKAT PEKERJA

Pengusaha memiliki konsesi atau kelonggaran dengan serikat pekerja


berdasarkan keharusan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan kerja atau partisipasi karyawan dalam mengambil keputusan.
Selain itu, kelonggaran tersebut juga mencakup rencana pemberian
penghargaan berupa pemberian bagian pendapatan dan pemberian bagian
keuntungan. Kelonggaran manajemen mencakup pengurangan atau
pembekuan gaji atau manfaat manajer, keterbukaan laporan keuangan, dan
tumbuhnya partisipasi serikat pekerja dalam mengambil keputusan
manajemen. Rencana kooperatif antara kedua pihak mencakup program
kualitas kehidupan kerja, gugus kualitas, pemberian bagian pendapatan dan
pemberian bagian keuntungan (Plovnick & Chaison, 1985). Terdapat
hubungan positif antara kualitas hubungan karyawan dan manajemen, serta
bukti diperlukannya program konsensus dan kooperatif manajemen.
Program konsesi atau kelonggaran dan kerja sama berhubungan dengan
perbaikan pada kualitas persepsian dari hubungan manajemen dan karyawan.
Walaupun kausalitas sulit dicapai atau diwujudkan, namun hal tersebut
tampak bahwa program konsesi dan kerja sama manajemen dapat
meningkatkan persepsi kualitas hubungan tersebut. Kesepakatan kerja
bersama tampak lebih kondusif daripada orang lain dalam membahas konsesi
serikat pekerja pada upah, penghargaan, penjadwalan, dan seterusnya.
Manajemen konsesi akan dapat mempengaruhi pengurangan karyawan,
EKMA4367/MODUL 2 2.17

penetapan upah, program kerja sama seperti kualitas kehidupan kerja, gugus
kualitas, pembagian keuntungan, dan lain-lain.
Serikat pekerja atau serikat buruh dilindungi dengan Undang-undang
No. 20 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Dalam
rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja atau buruh membentuk
dan mengembangkan serikat pekerja atau serikat buruh yang bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab. Serikat pekerja atau serikat
buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan, melindungi dan membela
kepentingan dan kesejahteraan karyawan atau pekerja beserta keluarganya
serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
berkeadilan. Pengertian istilah diatur dalam Pasal 1 yaitu serikat pekerja atau
serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk karyawan
atau buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokrasi dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan karyawan
atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan karyawan atau pekerja dan
keluarganya. Serikat pekerja atau serikat buruh di perusahaan adalah serikat
pekerja atau buruh yang didirikan oleh para karyawan atau buruh di satu
perusahaan atau di beberapa perusahaan. Serikat pekerja atau serikat buruh
di luar perusahaan adalah serikat pekerja atau serikat buruh yang didirikan
oleh para karyawan atau buruh yang tidak bekerja di perusahaan. Federasi
serikat pekerja atau serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja atau
serikat buruh. Konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh adalah gabungan
federasi. Serikat pekerja atau serikat buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Tujuan serikat pekerja atau serikat buruh federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak
dan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan yang layak untuk
karyawan atau pekerja dan keluarganya. Fungsi serikat pekerja atau serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh adalah
sebagai berikut.
1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial.
2. Sebagai wakil karyawan atau pekerja dalam lembaga kerja sama di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatan.
2.18 Hubungan Industrial

3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,


dinamis dan berkeadilan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
4. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya.
5. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan
karyawan atau pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Praktek hubungan industrial merupakan sumber stres. Serikat pekerja


dapat menimbulkan ambiguitas peran dan konflik peran bagi individu yang
menjadi anggota serikat pekerja dibanding yang tidak (Bluen & Jubiler-Lurie,
1990). Kesepakatan kerja bersama juga merupakan inti kegiatan hubungan
industrial yang memfokuskan pada konflik dan perubahan dalam hubungan
karyawan dan manajemen. Kesepakatan kerja bersama juga merupakan
sumber stres karena meningkatkan potensi konflik karyawan dan manajemen.
Oleh karena itu, negosiasi juga merupakan sumber stres karena mengandung
ketidakpastian.
Selain itu, berdasarkan literatur hubungan industrial, kepuasan kerja
karyawan yang tergabung dalam serikat pekerja lebih rendah daripada
karyawan yang tidak tergabung dalam serikat pekerja, tetapi tingkat
perputaran kerja karyawan yang tidak tergabung dalam serikat pekerja lebih
tinggi daripada yang tidak tergabung dalam serikat pekerja (Gordon &
Denisi, 1993). Karyawan yang melakukan kesepakatan kerja bersama tingkat
ketidakpuasannya tinggi.

L AT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan serikat pekerja atau serikat buruh?
2) Jelaskan teori-teori yang mendasari serikat pekerja!
3) Jelaskan fungsi serikat kerja atau serikat buruh!
4) Jelaskan tanggung jawab dan wewenang serikat pekerja!
5) Jelaskan fungsi serikat pekerja, federasi, dan konfederasi serikat pekerja!
EKMA4367/MODUL 2 2.19

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Serikat pekerja menunjukkan hubungan karyawan sehari-hari dengan


pengusaha atau manajer atau pemilik perusahaan.
2) Teori yang mendasari serikat pekerja adalah:
a. Teori Kemakmuran Umum
Menurut teori ini, perjuangan serikat pekerja adalah untuk
meningkatkan upah dapat mendorong dan memperkuat pertumbuhan
ekonomi.
b. Teori Pemasaran Tenaga Kerja
Menurut teori ini, kondisi di tempat para pekerja itu bekerja
ditentukan oleh kekuatan dan pengaruh pekerja di pasar dan tenaga
kerja.
c. Teori Produktivitas
Menurut teori ini, upah ditentukan oleh produktivitas karyawan.
Semakin tinggi produktivitas, maka upah akan semakin tinggi pula.
d. Teori Perundingan/Tawar-menawar
Menurut Teori Perundingan atau tawar-menawar, pasar tenaga kerja
ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berlawanan dari karyawan
dan pengusaha.
e. Teori Oposisi Loyal terhadap Manajemen
Menurut teori ini, serikat pekerja harus menolak tanggung jawab
atas manajemen dan tidak mau menjadi manajer.
3) Fungsi serikat pekerja atau serikat buruh adalah melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban untuk kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, dan ikut memajukan
perusahaan, serta menyejahterakan pekerja dan keluarganya.
4) Tanggung jawab dan wewenang serikat pekerja dibagi menjadi
keamanan perserikatan, sarana serikat pekerja menghadapi pengusaha,
dan pengendalian internal.
5) Fungsi serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh adalah sebagai berikut.
a. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial.
b. Sebagai wakil karyawan atau pekerja dalam lembaga kerja sama di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatan.
2.20 Hubungan Industrial

c. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,


dinamis dan berkeadilan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
d. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya.

Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan


karyawan atau pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

R A NG KU M AN

Serikat pekerja menunjukkan hubungan antara karyawan, pengusaha


atau manajemen atau pemilik perusahaan sehari-hari. Hubungan
antaranggota serikat kerja dilakukan secara terus-menerus, Serikat
pekerja didasari oleh lima teori yang menjelaskan peran serikat pekerja,
yaitu Teori Kemakmuran Umum, Teori Pemasaran Tenaga Kerja, Teori
Produktivitas, Teori perundingan atau Tawar-menawar, dan Teori
Oposisi Loyal terhadap Manajemen. Tanggung jawab serikat pekerja
juga dibagi menjadi tiga, yaitu keamanan perserikatan, sarana serikat
pekerja menghadapi pengusaha, dan pengendalian internal dan disiplin.
Biasanya karyawan mau bergabung dalam serikat pekerja karena mereka
merasa tidak puas dan merasa yakin bahwa mereka akan membawa
perubahan kondisi organisasi. Tujuan serikat pekerja adalah memberikan
perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan serta meningkatkan
kesejahteraan yang layak untuk karyawan dan keluarganya.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan serikat kerja,


kecuali ....
A. kohesivitas kelompok
B. ancaman eksternal
C. tanggung jawab karyawan
D. kesadaran masuk dalam suatu kelas
EKMA4367/MODUL 2 2.21

2) Berikut ini pernyataan mengenai serikat pekerja, kecuali ....


A. keanggotaannya sukarela
B. kepuasan merupakan prediktor komitmen terhadap serikat pekerja
C. hubungan kerja antarkaryawan berlangsung terus-menerus
D. seorang karyawan boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja

3) Serikat pekerja diharapkan dapat meningkatkan upah dan mendorong


pertumbuhan ekonomi, adalah inti dari ....
A. teori kemakmuran umum
B. teori pemasaran tenaga kerja
C. teori produktivitas
D. teori Perundingan/tawar-menawar

4) Pemogokan dilakukan untuk ....


A. meningkatkan kepuasan kerja
B. memaksa kenaikan upah dan mendukung anggota serikat pekerja
lain
C. meminta dukungan warga
D. menghalangi pengusaha

5) Berikut ini merupakan peran dan fungsi serikat pekerja, kecuali ....
A. menampung aspirasi pekerja
B. mewakili lembaga kerja sama bipartit dan tripartit
C. mewakili pengusaha dalam negosiasi
D. memperjuangkan hak dan kepentingan anggota

6) Undang-Undang yang mengatur tentang serikat pekerja adalah ....


A. UU No. 13 Tahun 2003
B. UU No. 21 Tahun 2000
C. UU No. 21 tahun 2003
D. UU No. 13 Tahun 2000

7) Berikut merupakan pengelompokan serikat pekerja, kecuali ....


A. keamanan perserikatan
B. sarana menghadapi pengusaha
C. pengendalian dan disiplin internal
D. pencegahan pemogokan
2.22 Hubungan Industrial

8) Yang merupakan kondisi yang dapat memprediksi keinginan karyawan


bergabung dalam serikat pekerja antara lain ....
A. kepuasan kerja
B. tidak menyukai perbaikan
C. perintah dari atasan atau pimpinan
D. ketidakpuasan karyawan

9) Filosofi serikat pekerja pada umumnya mencakup ....


A. kebebasan individu
B. sistem produksi
C. penjelasan keperilakuan
D. otoriter

10) Serikat pekerja dibentuk untuk berbagai tujuan berikut, kecuali ….


A. dari, oleh, dan untuk pekerja
B. memperjuangkan kepentingan pekerja
C. meningkatkan kesejahteraan pekerja
D. aliran politik khusus

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = × 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
EKMA4367/MODUL 2 2.23

Kegiatan Belajar 2

Serikat Pekerja di Indonesia


A. KONSEP SERIKAT PEKERJA NASIONAL

Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000, serikat pekerja/serikat buruh


merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk karyawan atau
pekerja baik di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan karyawan
atau pekerja, serta meningkatkan kesejahteraan karyawan dan keluarganya.
Pembentukan serikat pekerja Indonesia telah diatur dalam UU No. 21
Tahun 2000.
Karyawan berarti setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan lainnya. Karyawan melakukan kegiatan atas perintah kerja dari
pengusaha. Sebagai imbalan atas jasa kerja yang diberikan, karyawan
mendapat upah atau imbalan lain seperti tunjangan anak dan istri, dan
jaminan, berupa kesehatan, rekreasi, dan jaminan sosial lainnya. Besar upah
dan imbalan lain yang diterima karyawan sangat tergantung pada
kesepakatan atau hasil perundingan karyawan atau kelompok karyawan
dengan pengusaha atau pemberi kerja. Dengan demikian dalam suatu
perusahaan terjalin hubungan yang terus menerus antara karyawan dan
pengusaha. Hubungan tersebut dinamakan hubungan industrial. Hubungan
industrial terdapat hanya di perusahaan yang secara formal mempekerjakan
sejumlah orang dengan memberikan imbalan upah atau imbalan lainnya.
Selanjutnya, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja memuat
ketentuan tentang cara pembentukan serikat pekerja, pencatatan serikat
pekerja dan perlindungan hak pembentukan serikat pekerja. Serikat pekerja
atau serikat buruh dibentuk oleh pekerja di satu perusahaan secara bebas,
terbuka, mandiri, demokratis guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan karyawan serta meningkatkan kesejahteraan
karyawan dan keluarganya. Serikat pekerja di perusahaan dapat dibentuk bila
didukung oleh paling sedikit sepuluh orang anggota di perusahaan yang
bersangkutan. Implikasi dari undang-undang ini adalah bahwa di setiap
perusahaan dapat dibentuk lebih dari satu serikat pekerja. Masing-masing
2.24 Hubungan Industrial

serikat pekerja tersebut dapat bergabung dengan federasi serikat pekerja


terkait atau berdiri sendiri (non federasi).
Pengusaha dilarang menghalang-halangi pembentukan serikat pekerja
atau setiap karyawan untuk menjadi anggota dan pengurus serikat pekerja,
dengan cara antara lain:
1. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara,
menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi.
2. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja.
3. Melakukan berbagai bentuk intimidasi.
4. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja.

Pengusaha juga diwajibkan memberi kesempatan kepada pengurus dan


atau serikat pekerja untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja dalam jam
kerja yang disepakati oleh kedua belah pijak. Setiap serikat pekerja
diwajibkan mencatatkan keberadaannya kepada instansi pemerintah setempat
dengan melampirkan:
1. Daftar nama anggota pembentuk.
2. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
3. Susunan dan nama pengurus.

Instansi pemerintah dimaksud memberikan nomor bukti pencatatan.


Serikat pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak:
1. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha.
2. mewakili pekerja menyelesaikan perselisihan industrial.
3. mewakili pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan.

Selanjutnya, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mencakup


beberapa aspek yang sangat luas mengenai:
a. Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
b. Pelatihan kerja
c. Penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja;
d. Penggunaan tenaga kerja asing;
e. Hubungan kerja dan perjanjian kerja;
f. Perlindungan tenaga penyandang cacat, anak dan perempuan;
g. Ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat;
h. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
EKMA4367/MODUL 2 2.25

i. Ketentuan pengupahan dan perlindungan upah;


j. Lembaga-lembaga hubungan industrial;
k. Peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama;
l. Ketentuan mogok dan penutupan perusahaan;
m. Pemutusan hubungan kerja dan pesangon;
n. Pembinaan dan pengawasan, serta
o. Penyidikan dan sanksi.

B. PEMBENTUKAN SERIKAT PEKERJA

Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara


lisan maupun tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
merupakan hak setiap warga negara termasuk karyawan. Dengan perkataan
lain, karyawan sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan
dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam satu organisasi, serta
mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja.
Hak menjadi anggota serikat pekerja merupakan hak asasi karyawan
yang telah dijamin di dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan hak tersebut, kepada setiap karyawan harus diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendirikan dan menjadi anggota
serikat pekerja. Serikat pekerja berfungsi sebagai sarana untuk
memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan meningkatkan
kesejahteraan karyawan dan keluarganya. Dalam menggunakan hak tersebut,
karyawan dituntut bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan yang
lebih luas yaitu kepentingan semua pemangku kepentingan perusahaan,
kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu, penggunaan hak tersebut
dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang aman dan harmonis,
dinamis dan berkeadilan.
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak untuk berorganisasi, dan Konvensi ILO No. 98 tentang Hak untuk
Berorganisasi dan Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia
menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional, yaitu masing-
masing dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1998, dan Undang-undang
No. 18 Tahun 1956. Dengan perkataan lain, kedua konvensi tersebut
2.26 Hubungan Industrial

menjamin hak pekerja untuk membentuk atau menjadi anggota serikat


pekerja.
Pembentukan serikat pekerja Indonesia telah diatur dalam Undang-
undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Sesuai dengan undang-
undang tersebut, serikat pekerja dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja di
perusahaan secara bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan karyawan dan
keluarganya. Undang-undang menyatakan bahwa serikat pekerja di suatu
perusahaan dapat didirikan oleh paling sedikit sepuluh orang karyawan di
perusahaan itu sendiri. Ini juga berarti bahwa seorang karyawan di satu
perusahaan hanya boleh menjadi anggota satu serikat pekerja di perusahaan
yang bersangkutan, tidak boleh menjadi anggota serikat pekerja lain di
perusahaan yang sama atau di perusahaan lain.
Serikat pekerja bersifat bebas berarti serikat pekerja bebas melaksanakan
hak dan kewajibannya, tidak di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak lain.
Setiap karyawan berhak membentuk dan atau menjadi anggota serikat
pekerja atas kehendak bebas karyawan sendiri tanpa paksaan atau tekanan
pengusaha atau pemerintah atau oleh serikat pekerja sendiri. Karyawan juga
bebas untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja. Serikat pekerja harus
terbuka dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan kepentingan
karyawan, tidak membedakan menurut aliran politik, agama, suku bangsa,
dan jenis kelamin. Serikat pekerja mendirikan, menjalankan, dan
mengembangkan organisasi secara mandiri atau atas kekuatan sendiri, tidak
dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi. Organisasi serikat pekerja
harus didirikan secara demokratis. Pemilihan pengurus, memperjuangkan dan
melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip
demokrasi. Dalam mencapai tujuan dan melaksanakan hak dan
kewajibannya, serikat pekerja bertanggung jawab kepada anggota,
masyarakat, dan negara.
Fungsi serikat pekerja atau serikat buruh adalah melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban untuk kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, dan ikut memajukan
perusahaan, serta menyejahterakan pekerja dan keluarganya. Kebijakan dan
praktek hubungan antarkaryawan mengatur partisipasi karyawan dalam
keputusan yang berkaitan dengan masalah pekerjaan (Heaney et al., 1993).
EKMA4367/MODUL 2 2.27

Berbagai penelitian yang banyak dilakukan dalam serikat pekerja tidak hanya
digunakan untuk memahami pengaruh perubahan institusional pada serikat
pekerja.
Eaton (1990) mengidentifikasi dua faktor tentang partisipasi karyawan
yang relevan dengan partnership, yaitu (1) kemampuan serikat pekerja
mengendalikan proses partisipasi yang mencakup perluasan unionisasi
(anggota serikat pekerja) dan struktur tawar-menawar; serta (2) keinginan
serikat pekerja mengendalikan proses yang mencakup kebijakan serikat
pekerja, ancaman yang dipersepsikan, dan tersedianya alternatif.
Serikat pekerja membantu dalam melakukan kesepakatan kerja bersama
atau tawar-menawar. Karyawan harus didorong untuk terlibat dalam
kelompok, di mana serikat pekerja berperan di dalamnya. Serikat pekerja
harus mempertahankan integritas organisasional dan menjadi bagian dari
semua proses dan kesepakatan yang dilakukan. Selain itu, adanya kebutuhan
yang bertentangan dengan manajemen mengharuskan serikat pekerja
mempunyai hak veto dalam perubahan organisasi (Wells, 1993). Serikat
pekerja harus disusun dengan jelas dan sasaran bagi karyawan harus dapat
dipertanggung jawabkan. Serikat pekerja juga harus dikoordinir di dalam
perusahaan, sektoral, dan level internasional.
Serikat pekerja adalah organisasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk
pekerja dengan tujuan untuk membela pekerja dan memperjuangkan
kepentingan dan kesejahteraan para pekerja. Serikat pekerja harus bebas dari
pengaruh pengusaha dan pengaruh lain termasuk pemerintah. Membela nasib
pekerja dalam arti organisasi pekerja senantiasa mengikuti dan mengawasi
nasib pekerja di perusahaan yang bersangkutan. Apalagi kalau pekerja
diperlakukan secara tidak wajar, maka serikat pekerja perlu secara aktif
membelanya. Di samping itu, serikat pekerja berkewajiban membela pekerja
manakala pekerja menghadapi perselisihan.
Dalam pembelaan ini seharusnya serikat pekerja harus dapat bersikap
dan melihat persoalan secara jernih. Hal ini perlu benar-benar dipahami agar
serikat pekerja tidak terlalu kaku membela pekerja yang sudah jelas
melakukan kesalahan. Dalam arti memperjuangkan kepentingan dan
peningkatan kesejahteraan pekerja secara umum, maka serikat pekerja harus
mampu melakukan perundingan untuk merumuskan perjanjian kerja bersama
(PKB). Fungsi pokok serikat pekerja adalah melakukan perundingan
sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 1956 yang merupakan
2.28 Hubungan Industrial

ratifikasi Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 tentang Kebebasan Berserikat


dan Perundingan Bersama.
Hubungan industrial pada era reformasi dimulai tahun 1998 dengan
terjadinya perubahan yang sangat mendasar dalam bidang hubungan
industrial pada umumnya dan keserikatpekerjaan pada khususnya. Serikat
pekerja tumbuh dengan pesat khususnya di tingkat nasional yang merupakan
hasil dari dikembalikannya semangat demokrasi, kebebasan berserikat, serta
pelaksanaan hak asasi manusia. Pada era reformasi ini terdapat tiga peraturan
perundang-undangan yang sangat berpengaruh. Dua di antaranya adalah
Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 mengenai ratifikasi konvensi ILO
No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi
dan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Keppres dan Undang-
undang tersebut memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pekerja untuk
berorganisasi membentuk serikat pekerja. Dengan demikian, di era reformasi
kebebasan berserikat benar-benar dijamin. Pada saat ini ada sekitar 202
serikat pekerja tingkat nasional dan federasi. Sedangkan di tingkat
perusahaan tidak terjadi perkembangan yang cukup berarti di dalam
kaitannya dengan pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB), lembaga kerja
sama bipartit, dan sebagainya. Dengan perkembangan kebebasan berserikat
diharapkan akan diikuti dengan praktek hubungan industrial secara utuh.
Hubungan industrial di era reformasi ini juga mengalami perkembangan
yang sangat berarti dengan diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Dengan UU ini berbagai aspek ketenagakerjaan termasuk
hubungan industrial memperoleh pengaturan dan arahan baru. Perkembangan
politik yang terjadi pada tahun-tahun terakhir memberikan pengaruh kepada
dunia ketenagakerjaan. Perkembangan politik tersebut berawal dari adanya
krisis moneter dan ekonomi, yang secara langsung berdampak pada dunia
usaha. Secara umum, ketenagakerjaan senantiasa dipengaruhi oleh kondisi
politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Krisis moneter dan ekonomi
yang berpengaruh pada dunia usaha membawa dampak yang sangat besar
terhadap kesempatan kerja. Sejumlah besar perusahaan pada sektor-sektor
tertentu mengalami kemunduran. Hal ini berakibat langsung bagi
kesempatan kerja, bukan hanya terciptanya kesempatan kerja baru, tetapi
kesempatan kerja yang mestinya ada menjadi hilang.
Permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan sampai saat ini tetap
berkisar soal kesempatan kerja atau pengangguran, tingkat pendidikan,
EKMA4367/MODUL 2 2.29

keterampilan, dan produktivitas tenaga kerja yang rendah, serta situasi


hubungan industrial yang tidak kondusif untuk menciptakan hubungan kerja
yang aman dan dinamis. Dalam era reformasi sekitar 5 tahun terakhir, dunia
ketenagakerjaan semakin mengalami problem yang serius. Bukan hanya
masalah pengangguran, tetapi juga hubungan industrial, di mana salah satu
sisinya adalah kebebasan berserikat.
Pada saat ini, di era reformasi kebebasan berserikat secara luas dijamin
sepenuhnya. Peraturan perundang-undangan yang ada memberi kesempatan
untuk tumbuh dan berkembangnya kebebasan berserikat, yang praktis tanpa
batas. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berserikat.
Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Right) tahun 1948 secara khusus menyebutkan tentang hak berserikat ini.
Demikian pula ILO, mengeluarkan dua konvensi mengenai kebebasan
berserikat.
Di sisi lain, menurunnya kemampuan perusahaan mengakibatkan
menciutnya kesempatan kerja yang juga menimbulkan masalah dalam bidang
hubungan industrial seperti adanya pemutusan hubungan kerja.
Perkembangan politik yang lebih memberikan tempat kepada pelaksanaan
hak asasi manusia, termasuk kebebasan berserikat dan demokratisasi
membawa pengaruh langsung bagi kebijakan ketenagakerjaan.
Perkembangan sosial kemasyarakatan akibat krisis ekonomi khususnya
berkaitan dengan meningkatnya angka pengangguran berpengaruh pada
ketenagakerjaan, di mana implikasi lanjutannya adalah pengaruhnya terhadap
keamanan seperti meningkatnya kriminalitas.
Keinginan pemerintah untuk melaksanakan hak asasi manusia sebagai
amanat MPR dalam bidang ketenagakerjaan terlihat secara nyata dengan
diratifikasinya 8 konvensi ILO tentang hak-hak dasar karyawan. Kedelapan
konvensi tersebut diakui oleh masyarakat internasional sebagai salah satu
bentuk pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Dua dari delapan konvensi ILO
tersebut menyangkut kebebasan berserikat bagi karyawan. Sebagai
pelaksanaan lebih nyata dari ratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Terhadap Hak Berorganisasi,
maka diterbitkan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Sebagai
konsekuensi hal tersebut maka wajarlah apabila kemudian tumbuh berbagai
serikat pekerja, sehingga mencerminkan perubahan yang sangat mendasar
2.30 Hubungan Industrial

dalam bidang keserikatpekerjaan, yaitu dari menganut sistem serikat pekerja


tunggal menjadi serikat pekerja majemuk.

B. KEANGGOTAAN SERIKAT PEKERJA

Keanggotaan serikat pekerja terbuka, yaitu menerima anggota tanpa


membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin baik
serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi yang diatur dalam
anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Seorang karyawan atau
pekerja tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja atau
serikat buruh di satu perusahaan. Dalam hal seorang karyawan atau pekerja
dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja
atau serikat buruh. Karyawan harus menyatakan salah satu serikat pekerja
atau serikat buruh yang dipilihnya. Karyawan atau pekerja yang menduduki
jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan
pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan karyawan atau pekerja,
tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja atau serikat buruh di perusahaan
yang bersangkutan. Setiap serikat pekerja atau serikat buruh hanya dapat
menjadi anggota dari satu federasi serikat pekerja atau serikat buruh.
Setiap federasi serikat pekerja atau serikat buruh hanya dapat menjadi
anggota dari satu konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh. Karyawan
atau pekerja dapat berhenti sebagai anggota serikat pekerja atau serikat buruh
dengan pernyataan tertulis. Karyawan atau pekerja dapat diberhentikan dari
serikat pekerja atau serikat buruh sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
dan atau anggaran rumah tangga serikat pekerja atau serikat buruh yang
bersangkutan. Karyawan atau pekerja baik sebagai pengurus maupun sebagai
anggota serikat pekerja atau serikat buruh yang berhenti atau diberhentikan
dan tetap harus bertanggung jawab atas kewajiban yang belum dipenuhinya
terhadap serikat pekerja atau serikat buruh. Selanjutnya, pemberitahuan dan
pencatatan, serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh yang telah terbentuk memberikan laporan
secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat untuk dicatat. Pemberitahuan dengan dilampiri
dengan:
EKMA4367/MODUL 2 2.31

1. Daftar nama anggota pembentuk;


2. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; dan
3. Susunan dan nama pengurus.

Nama dan lambang serikat pekerja atau serikat buruh federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang akan diberitahukan tidak
boleh sama dengan nama dan lambang serikat pekerja atau serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah tercatat
terlebih dahulu. Instansi pemerintah wajib mencatat dan memberikan nomor
bukti pencatatan terhadap serikat pekerja atau serikat buruh yang memenuhi
ketentuan selambat-lambatnya 21 hari kerja terhitung tanggal diterima
pemberitahuan. Instansi pemerintah dapat menangguhkan pencatatan dan
pemberian nomor bukti pencatatan dalam hal serikat pekerja atau serikat
buruh belum memenuhi ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 5 (2), Pasal 6 (2),
Pasal 7 (2), Pasal 11, Pasal 18 (2) dan Pasal 19. Penangguhan dan alasan-
alasannya diberitahukan secara tertulis kepada serikat pekerja atau serikat
buruh yang bersangkutan selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak
tanggal diterima pemberitahuan (Pasal 20 ayat 3).
Sementara itu, dalam hal perubahan anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga, pengurus serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh memberitahukan kepada instansi
pemerintah paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran
dasar dan atau anggaran rumah tangga tersebut. Instansi pemerintah harus
mencatat serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh yang telah memenuhi ketentuan dalam buku
pencatatan memelihara dengan baik. Buku pencatatan harus dapat dilihat
setiap saat dan terbuka untuk umum. Pengurus serikat pekerja atau serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah
mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis
keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.
Hak dan kewajiban, serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah mempunyai nomor
bukti pencatatan berhak:
1. Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha.
2. Mewakili karyawan atau pekerja dalam menyelesaikan perselisihan
industrial.
2.32 Hubungan Industrial

3. Mewakili karyawan atau pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan.


4. Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
usaha peningkatan kesejahteraan, karyawan atau pekerja.
5. Melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan hak-hak, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-


undangan yang berlaku. Serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh dapat berafiliasi dan atau
bekerja sama dengan serikat pekerja dan atau bekerja sama dengan serikat
pekerja atau serikat buruh internasional dan atau organisasi internasional
lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah mempunyai nomor
bukti pencatatan berkewajiban seperti berikut.
1. Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan
memperjuangkan kepentingannya.
2. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
3. Mempertanggung jawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya
sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Perlindungan hak berorganisasi, siapa pun dilarang menghalang-halangi


atau memaksa karyawan atau pekerja untuk membentuk atau tidak
membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota
atau tidak menjadi anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan
kegiatan serikat pekerja atau serikat buruh dengan cara seperti berikut.
1. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara,
menurunkan jabatan atau melakukan mutasi.
2. Tidak membayar atau mengurangi upah karyawan atau pekerja.
3. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun.
4. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja atau serikat
buruh.

Pengusaha harus memberikan kesempatan kepada pengurus dan atau


anggota serikat pekerja atau serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat
pekerja atau serikat buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah
EKMA4367/MODUL 2 2.33

pihak dan atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama. Dalam
kesepakatan kedua belah pihak dan atau perjanjian kerja bersama harus diatur
mengenai:
1. Jenis kegiatan yang diberi kesempatan.
2. Tata cara pemberian kesempatan.
3. Pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat
upah.

Keuangan dan kekayaan, keuangan serikat pekerja atau serikat buruh,


federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh bersumber dari:
1. Iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau
anggaran rumah tangga.
2. Hasil usaha yang sah dan
3. Bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.

Dalam hal bantuan pihak lain, berasal dari luar negeri, pengurus serikat
pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau
serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bantuan itu digunakan untuk
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan anggota. Keuangan dan harta
kekayaan serikat pekerja atau serikat buruh., federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan
pribadi pengurus dan anggotanya. Pemindahan atau pengalihan keuangan
dan harta kekayaan kepada pihak lain serta investasi dana dan usaha lain
yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar dan atau anggaran
rumah tangga serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh yang bersangkutan.
Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan
keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh. Pengurus wajib membuat
pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala
kepada anggotanya menurut anggaran dasar dan atau anggaran rumah tangga
serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja
atau serikat buruh yang bersangkutan.
2.34 Hubungan Industrial

Pada Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


mengenai hubungan industrial diatur dalam Pasal 102 sampai dengan Pasal
107 dan Pasal 116 sampai dengan Pasal 132. Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Dalam melaksanakan hubungan industrial tersebut,
karyawan dan serikat pekerja buruhnya mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,
mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi
pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan
usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja/
karyawan secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan. Hubungan industrial
dilaksanakan melalui sarana:
1. serikat pekerja/serikat buruh;
2. organisasi pengusaha;
3. lembaga kerja sama bipartit;
4. lembaga kerja sama tripartit;
5. peraturan perusahaan;
6. perjanjian kerja bersama;
7. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
8. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Setiap karyawan berhak membentuk dan menjadi anggota serikat


pekerja. Kebebasan untuk membentuk, masuk, atau tidak masuk menjadi
anggota serikat pekerja merupakan salah satu hak dasar karyawan. Dalam
melaksanakan fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya, serikat pekerja berhak menghimpun dan mengelola keuangan
serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
EKMA4367/MODUL 2 2.35

Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok diatur dalam anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja yang bersangkutan.
Sementara itu, setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota
organisasi pengusaha. Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap
perusahaan yang mempekerjakan lima puluh orang karyawan atau lebih
wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. Pada perusahaan dengan
jumlah karyawan kurang dari lima puluh orang, komunikasi dan konsultasi
masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada
perusahaan dengan jumlah karyawan lima puluh orang atau lebih,
komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan.
Lembaga kerja sama tripartit bertugas memberikan pertimbangan, saran,
dan pendapat kepada pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam
menyusun kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga
kerja sama tripartit terdiri dari lembaga kerja sama tripartit nasional, propinsi,
kabupaten atau kota, dan keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja dengan tata susunan organisasi
yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara itu, perusahaan yang memiliki sekurang-kurangnya sepuluh
orang karyawan wajib membuat peraturan perusahaan yang disusun dan
menjadi tanggung jawab pengusaha. Peraturan perusahaan tersebut disusun
dengan mempertimbangkan saran dan usulan dari wakil karyawan yang
dipilih secara demokratis atau pengurus serikat pekerja bila sudah ada.
Namun, kewajiban membuat peraturan tersebut tidak berlaku bagi
perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. Peraturan
perusahaan minimal memuat:
1. hak dan kewajiban pengusaha;
2. hak dan kewajiban karyawan;
3. syarat kerja;
4. tata tertib perusahaan; dan
5. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Peraturan perusahaan disahkan oleh menteri atau pejabat yang telah


ditunjuk dan masa berlakunya dua tahun. Apabila selama masa berlakunya
tersebut serikat pekerja menginginkan ada pembuatan perjanjian kerja
bersama, maka pengusaha wajib melayani. Apabila dalam perundingan
2.36 Hubungan Industrial

pembuatan perjanjian kerja bersama tersebut tidak tercapai kesepakatan,


maka peraturan perusahaan tetap harus diberlakukan hingga masa berlakunya
habis. Perubahan peraturan perusahaan yang telah habis masa berlakunya
hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan wakil
karyawan. Ketentuan tentang tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan
perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri. Dalam mewujudkan
pelaksanaan hak dan kewajiban karyawan dan pengusaha, pemerintah wajib
melakukan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenaga-
kerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab
karyawan, pengusaha, dan pemerintah.
Pengusaha dapat dianggap menghalang-halangi pembentukan atau
menjadi serikat pekerja bila menekan pengurus atau anggotanya misalnya
dengan cara:
a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara,
menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. Tidak membayar atau mengurangi upah kerja
c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja.

Dengan perkataan lain, tindakan seperti itu harus dihindari oleh


pengusaha. Sebaliknya, pengusaha harus memberi kesempatan kepada
pengurus dan atau anggota serikat pekerja untuk menjalankan kegiatan
serikat pekerja, termasuk dalam waktu kerja disepakati oleh kedua belah
pihak dan atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama. Kesepakatan
tersebut mencakup:
a. Jenis kegiatan yang diberikan kesempatan,
b. Tata cara pemberian kesempatan
c. Pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat
upah.

Di samping menerima iuran anggota dan hasil usaha yang sah, serikat
pekerja dapat menerima bantuan pihak lain yang tidak mengikat termasuk
dari luar negeri. Bantuan yang berasal dari luar negeri, harus diberitahukan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
EKMA4367/MODUL 2 2.37

D. PERKEMBANGAN SERIKAT PEKERJA DI INDONESIA

Pembentukan serikat pekerja di Indonesia sudah mulai sejak awal


kolonialisme Belanda. Serikat Pekerja pertama didirikan adalah Nederland
Indische Onderwijs Genootschap (NIOG) pada tahun 1897 sebagai
perserikatan guru-guru bangsa Belanda. Mereka pada umumnya termasuk
pegawai pemerintah kolonial Belanda. Selanjutnya, disusul dengan
pembentukan serikat pekerja juga di sektor pemerintah yaitu Postbond di
bidang pos pada tahun 1905. Di sektor swasta juga didirikan beberapa
serikat pekerja seperti: Suikerbond di perkebunan gula tahun 1906 dan
Cultuurbond di perkebunan karet pada tahun 1907, serta Vereniging Spoor
en Tram Personeel (VSTP).
Setelah pendirian beberapa serikat kerja tersebut, timbullah organisasi
yang bersifat gerakan kebangsaan seperti Budi Utomo tahun 1902, Serikat
Dagang Islam pada tahun 1911, Partai Komunis Indonesia tahun 1920, dan
Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927. Bersamaan dengan gerakan
nasional tersebut, beberapa organisasi pekerja baru juga dibentuk seperti
Handelsbond di sektor perdagangan tahun 1909, Tiong Hoa Sim Gie pada
tahun 1909, Perserikatan Guru Hindia Belanda pada tahun 1912, Spoorbond
tahun 1913, dan Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi Putera tahun 1914. Pada
tahun 1914, Social Democratische Party mendirikan Serikat Pekerja Indische
Social Democratische Vereniging. Serikat Pegawai Pekerjaan Umum
terbentuk pada tahun 1917. Sementara itu, pada tanggal 23 Maret 1918,
organisasi-organisasi serikat pekerja di sektor Pemerintah bergabung dalam
Verbond van Landsdienaren (VvL). Organisasi serikat pekerja yang ada di
perusahaan swasta tanggal 6 Juli 1919 bergabung dalam Federatie van
Europeesche Worknemers.
Pada tanggal 26 Desember 1919, Perserikatan Pegadaian Bumi Putera
(PPBP) mengadakan kongresnya di Bandung dan mencetuskan gagasan agar
serikat-serikat pekerja yang ada bergabung dalam satu wadah, sehingga
terbentuklah persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Wadah ini hanya
berumur kurang dari dua tahun, karena tahun 1921 sebagian pengurusnya
keluar dan membentuk Persatuan Vakbond atau yang disebut Revolutionaire
Vakcentrale dengan ketuanya Semaun. Pada bulan September 1922, dibentuk
kembali federasi baru yaitu Persatuan Vakbond Hindia (PVH).
2.38 Hubungan Industrial

Pada saat itu, beberapa serikat pekerja telah melakukan kerjasama


dengan serikat pekerja internasional seperti VSTP dengan Red Internasional
Labour Union di Moskow (1923), Posbond dengan Internationale des
Personals der Pos, Telegraphen und Telephon Betrcbs di Wiena, dan
Spoorbond dengan International Transortworkers Federation di Amsterdam.
Pada tahun 1921 terjadi kemerosotan ekonomi (malaise) di Eropa yang
mengakibatkan banyak pemutusan hubungan kerja hubungan kerja (PHK) di
Indonesia. Untuk merespons tindakan PHK tersebut, beberapa serikat pekerja
melakukan aksi mogok. Untuk menghindari pemogokan yang
berkepanjangan, pada tanggal 10 Mei 1923 pemerintah kolonial
menambahkan artikel 161 pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
intinya melarang pemogokan yang dapat menyebabkan terganggunya
ketertiban umum atau dapat melumpuhkan penghidupan ekonomi. Dengan
menggunakan artikel tersebut, banyak pimpinan serikat pekerja yang ditahan,
terutama yang memimpin pemogokan atau gerakan yang dianggap bernuansa
atau berakitan dengan politik
Sejak tahun 1927, gerakan serikat pekerja mulai marak lagi dengan
secara bersamaan terjadi pembentukan Persatuan Beambte Spoor dan Tram
(PBST) di Bandung dan di Jakarta didirikan Persatuan Guru Hindia Belanda
(PGHB) yang menghimpun beberapa organisasi guru-guru: Hogere
Kweekscholieren Bond (HKSB), Perserikatan Nomaal School (PNS),
Persatuan School Opziener (PSO), Kweekschool Bond (KB), Perhimpunan
dan Perserikatan Guru Bantu (PGB), Persatuan Guru Ambachts School
(PGAS), dan Persatuan Guru Desa (PGD). Pada tahun 1929 beberapa Serikat
Pekerja mendirikan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) dengan
ketuanya Soeroso di Yogyakarta, dan bulan Mei 1930 di Surabaya didirikan
Persatuan Serikat Sekerja Indonesia (PSSI) dengan pimpinan Mr. Soewono
dan Roeslan Wongsokoesoemo. Pada kongresnya tanggal 4-7 Mei 1933,
PSSI berubah nama menjadi Central Perhimpunan Buruh Indonesia (CPBI).
Pegawai Belanda kelahiran di Belanda mendirikan organisasi
Verenigingen van Overheidspersoneel (VVO) sementara pegawai orang
Belanda kelahiran di Indonesia mendirikan Centrale van Indische
Verenigingen van Overheids personeel (CIVO). Dalam tahun 1940, di
Semarang didirikan Gabungan Serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI),
yang disusul dengan pembentukan GASPI di kota-kota lain. Kemudian
tanggal 26-27 Juli 1941, mereka mengadakan Konferensi di Semarang dan
EKMA4367/MODUL 2 2.39

memilih Pengurus Pusat yang terdiri dari: RP Suroso, Mr. Hendromartono,


Mr.Suprapto, Sukarto, Mr. Samsudin, SK Trimurti dan lain-lain.
Haji Agus Salim sebagai anggota delegasi Indonesia menghadiri Sidang
International Labor Organization (ILO) tahun 1929 di Geneva. Dalam
kesempatan itu, Haji Agus Salim berkenalan dengan delegasi Nederlandsche
Vak Verbond (NVV) dari Belanda dan pejabat-pejabat ILO sendiri. Sebagai
tindak lanjut pertemuan tersebut, pada bulan April 1931, wakil NVV
berkunjung ke Indonesia dan mengadakan pertemuan dengan pimpinan
beberapa Serikat Pekerja seperti PPPB, PVPN, dan PSSI. Demikian juga
pada bulan Oktober 1937, Direktur ILO, Harold B. Butler, berkunjung ke
Indonesia, dan bertemu dengan pimpinan beberapa Serikat Pekerja dan Partai
Politik. Pada tahun 1939 Dr. Soekiman dari PPBB menjadi delegasi buruh
menghadiri sidang ILO di Genewa, dan pada tahun 1941, Mr.Hendromartono
dari GAPSI delegasi Indonesia ke Sidang ILO di New York.
Pada tanggal 21 Mei 1932 didirikan Gabungan Politik Indonesia yang
mendapat dukungan dari beberapa Serikat Pekerja dan pada tanggal 7
Oktober 1938 didirikan Indische Partj van Werknemers (IPW). Dalam rangka
mengantisipasi dan mengakomodasikan tuntutan perlindungan pekerja, pada
tahun 1940 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Peraturan
Ketenagakerjaan dalam bentuk Ordonansi Regeling Arbeedsverhoding.
Pembentukan serikat kerja di Indonesia didasarkan pada Pasal 28 UUD
1945 yang menyatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan
berpendapat baik secara lisan maupun tulisan. Hak menjadi anggota serikat
pekerja merupakan hak asasi pekerja. Serikat pekerja berfungsi sebagai
sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan
pekerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Serikat
pekerja juga dituntut untuk bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan
semua pemangku kepentingan (stakeholders), dan kepentingan bangsa dan
negara.
Selain itu, konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan
perlindungan hak untuk berorganisasi, dan konvensi ILO No. 98 tentang hak
untuk berorganisasi dan berunding bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia
menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional, yaitu masing-
masing dengan Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1998, dan Undang-undang
No. 18 Tahun 1956. Dengan perkataan lain, kedua konvensi tersebut
menjamin hak pekerja untuk membentuk atau menjadi anggota serikat
2.40 Hubungan Industrial

pekerja. Pembentukan serikat pekerja Indonesia telah diatur dalam Undang-


Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Sesuai dengan undang-
undang tersebut, serikat pekerja dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja di
perusahaan secara bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.
Serikat pekerja harus terbuka dalam menerima anggota, mau
memperhatikan kepentingan pekerja, dan tidak membedakan anggotanya
menurut agama, suku, gender, dan aliran politik. Pemilihan pengurus serikat
pekerja juga harus memperjuangkan dan melaksanakan tugasnya dengan
prinsip demokrasi dan tidak berada di bawah tekanan atau pengaruh pihak
lain.

E. KEBIJAKAN PUBLIK DAN ORGANISASI INDUSTRIAL

Fase pertumbuhan dan kedewasaan dalam banyak industri tampak


mengikuti model umum. Selama masa pertumbuhan industri, produksi adalah
padat karya. Karakteristik produk relatif berbeda. Pilihan atau referensi
pelanggan dinyatakan oleh beberapa produsen sebagai hal yang berada di luar
bisnis bila produk mereka tidak memenuhi kebutuhan pelanggan. Metode
produksi terstandarisasi, modal dan karyawan yang lebih murah diganti oleh
orang ahli, dan produsen yang lebih efisien menurunkan harga untuk
mendapatkan pangsa pasar sehingga dapat mengendalikan produsen yang
memiliki margin kecil. Dari waktu ke waktu industri didominasi oleh
beberapa perusahaan dan kurang dominan dalam kepemimpinan pasar.
Kekuatan tawar-menawar dikonseptualisasikan sebagai biaya
ketidaksepakatan relatif terhadap biaya kesepakatan. Struktur tawar-menawar
untuk negosiasi sering kali merupakan struktur karyawan secara keseluruhan
baik merupakan sekelompok karyawan yang beroperasi pada industri yang
sama atau menyatakan sebagai unit yang terpisah secara geografis. Karyawan
sendiri mempunyai minat yang berbeda-beda. Peminatan karyawan pada
pencapaian sasaran organisasi di sektor swasta adalah memaksimumkan
keuntungan jangka panjang. Karyawan ingin memaksimumkan hasil jangka
panjang untuk investasi mereka dalam keahlian dan usaha mereka dalam
kesempatan kerja. Karyawan memberikan keahliannya kepada manajemen
EKMA4367/MODUL 2 2.41

atau pengusaha sekarang, sedangkan hasil jangka panjangnya tergantung


pada keamanan kerja dan kemampuan pengusaha atau manajer dalam
membayar karyawan. Berbagai macam hasil yang dicapai tersebut penting
untuk karyawan dalam serikat pekerja. Setiap karyawan selalu memiliki
keinginan mempunyai pengaruh di tempat kerja, dapat bekerja sama dengan
manajemen, dan menjadi anggota atau wakil serikat pekerja. Mereka juga
tertarik dalam pembayaran gaji dan keamanan kerja. Ketika pemutusan
hubungan kerja (PHK) meningkat, keamanan kerja dirasakan lebih penting
daripada upah.
Selanjutnya, dalam kekuatan tawar-menawar untuk mencapai
kesepakatan kerja bersama, dilakukan negosiasi. Struktur perundingan untuk
negosiasi merupakan agregasi para pengusaha atau manajer, baik dalam
pengumpulan sejumlah pimpinan atau majikan pada industri yang sama pada
bidang atau kesamaan lingkungan geografis pada unit yang berbeda. Serikat
kerja mewakili karyawan pada manajemen yang sama yang mempunyai
perundingan yang terkoordinasi. Beberapa fenomena yang sering terjadi
dalam perundingan, seperti penurunan pendekatan korporasi dalam
perundingan, peningkatan desentralisasi dalam perundingan, dan peningkatan
isu ekonomi dalam perundingan.
Menurut pandangan perserikatan lokal, isu keamanan kerja lebih
menonjol daripada sasaran ekonomi. Desentralisasi dalam perundingan akan
meningkatkan pengendalian manajemen karena majikan atau pemilik dapat
menekan kelompok lokal untuk menerima konsesi dengan karyawan.
Beberapa pengusaha atau manajer mengenal konsep organisasi kerja dengan
kinerja tinggi di tempat kerja. Dari berbagai konsep organisasi kerja, yang
paling banyak dikenal adalah think thank dikelola secara mandiri (self-
managed work teams) dan metode produksi langsung (lean production
methods).
Sementara itu, untuk menghindari permasalahan monopoli dalam
perundingan, pelanggan, pengusaha atau majikan atau pemilik perusahaan,
dan serikat pekerja membentuk unit kesepakatan banyak karyawan. Dalam
multi-employer bargaining unit tersebut, sekelompok negosiator berbicara
pada semua pemilik. Negosiasi mengenai upah diterapkan untuk semua
anggota atau pihak-pihak yang melakukan perundingan. Kedaluwarsanya
kontrak terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga semua orang
menemukan risiko ekonomi yang sama.
2.42 Hubungan Industrial

Perundingan dengan banyak pihak terjadi ketika para pengusaha atau


pemilik perusahaan mempunyai biaya non tenaga kerja yang dapat
diperbandingkan secara kasar, atau bila semua karyawan berada dalam
serikat pekerja, atau bila perusahaan masih mempunyai standar biaya masuk
yang relatif tinggi. Perundingan multi-employer dilakukan dalam wilayah
geografis yang relatif kecil. Namun, apabila mencakup bidang yang lebih
luas, maka kesepakatannya menjadi struktur perundingan industri yang luas.
Semakin banyak karyawan terlibat, ukuran dan kemampuan untuk melakukan
pemogokan menjadi tidak sama. Pada beberapa perusahaan, upah dan gaji
dinegosiasi berdasarkan perusahaan, walaupun ada yang mendasarkan pada
lokasi.
Ada perbedaan antara perusahaan baru atau modern dan perusahaan
tradisional secara substansial. Manajemen perusahaan yang baru lebih
informasional dan secara esensial beroperasi minimum menggunakan
peraturan internal (Kozina, 2008). Pada perusahaan baru atau modern,
manajemen sering kali cenderung menggunakan kontrak kerja yang tidak
terbatas sebagai cara yang paling sederhana untuk memformalisasikan
hubungan kerja karyawan. Oleh karena itu, dalam perusahaan diperlukan
deskripsi pekerjaan dan berbagai dokumentasi pengaturan kerja yang
merupakan mekanisme pengelolaan. Tidak adanya deskripsi pekerjaan yang
jelas akan membuat karyawan baru membuat justifikasi bahwa ketiadaan
peraturan formal akan membantu meningkatkan fleksibilitas fungsi pekerjaan
pada karyawan.
Sumber daya perusahaan merupakan variabel independen karena
berpengaruh pada keuntungan perusahaan. Keagresifan perusahaan
merupakan hasil dari beberapa faktor lain di samping kondisi keuangan
perusahaan. Kekuatan tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan dalam
hubungan dengan serikat pekerja sangat tergantung pada posisi keuangan dan
strategik (Goodman & Sandberg, 1981). Serikat pekerja dan pengusaha dapat
menggunakan kewargaan politik yang merupakan kegiatan politik yang
menunjukkan kebijakan sosial atau kewargaan industrial yang merupakan
kegiatan ekonomi dan kesepakatan kolektif (Trampusch, 2007).
Pengembangan kesepakatan industrial menunjukkan pembentukan
kewargaan politik dan industrial yang berbeda.
Selanjutnya, ada berbagai dasar hukum untuk menjamin kebebasan
berserikat di Indonesia, yaitu:
EKMA4367/MODUL 2 2.43

1. UUD 1945
Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan
berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kemerdekaan atau
kebebasan berserikat yang diamanatkan oleh UUD 1945 dimaksudkan
untuk masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks karyawan,
kebebasan berserikat ini merupakan kebebasan dalam membentuk serikat
pekerja. Namun demikian, kebebasan tersebut tidak langsung
penerapannya melainkan harus diatur terlebih dahulu dengan undang-
undang.
2. Lampiran TAP MPR II/1998 (Hak Asasi Manusia)
Pasal 19 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Rumusan ini
merupakan arahan umum dari Pasal 28 UUD 1945.
3. UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai
Tenaga Kerja
Pasal 11 ayat (1) UU tersebut menyebutkan bahwa tiap tenaga kerja
berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja. Ayat
(2) pasal ini menyebutkan pembentukan perserikatan tenaga kerja
dilakukan secara demokratis. Pasal 11 ini mengakui hak berserikat bagi
karyawan tetapi pengaturannya masih sangat umum, baru menyangkut
prinsip dasar. Oleh karena itu, pasal ini belum dianggap sebagai
peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan yang diamanatkan
oleh Pasal 28 UUD 1945.
Pasal 12 UU ini menyatakan bahwa perserikatan tenaga kerja berhak
mengadakan perjanjian perburuhan dengan pemberi kerja. Hal ini
memberikan penekanan bahwa perjanjian kerja bersama merupakan
fungsi utama serikat pekerja di dalam melaksanakan perjuangan
meningkatkan dan mempertahankan kepentingan karyawan. Perjanjian
Kerja Bersama ini telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan. Dengan terbitnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, maka UU No. 14 Tahun 1969 dan UU No. 21 Tahun
1954 tersebut dicabut maka tentang hak berserikat dan pembuatan PKB
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tersebut.
4. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Hak Berserikat dan Berunding Bersama
merupakan ratifikasi konvensi ILO No. 98 Tahun 1949. Di samping itu,
2.44 Hubungan Industrial

hak berserikat juga ditegaskan dalam Keppres No. 83 Tahun 1998 yang
merupakan ratifikasi konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang
Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi. Kedua konvensi tersebut
pada dasarnya memberi kebebasan bagi karyawan dan pengusaha untuk
berorganisasi, dan tidak adanya campur tangan dari pihak mana pun atas
hak tersebut. Kebebasan dan hak berserikat ini justru mendapatkan
perlindungan..
5. UU No. 21 Tahun 2000
Setelah 55 tahun Indonesia merdeka, baru pada tahun 2000 memiliki
undang-undang tentang Serikat Pekerja, walaupun hal tersebut secara
jelas telah diamanatkan dalam UUD 1945. Hak karyawan untuk menjadi
anggota serikat pekerja juga merupakan salah satu sisi pelaksanaan hak
asasi manusia. Undang-undang tentang keserikatpekerjaan senantiasa
membawa kontroversi dalam masyarakat. Bahkan undang-undang
semacam ini selalu memiliki muatan politik yang cukup besar. Di
samping itu, materi yang termuat di dalamnya dapat bernuansa
perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, dalam proses pembuatannya
mulai dari penyusunan rancangan sampai dengan pembahasan di DPR
selalu terjadi berbagai protes dari kalangan karyawan atau kelompok
lain. Setelah disahkan oleh DPR pun masih memperoleh protes dari
beberapa kalangan masyarakat.

L AT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan serikat pekerja berdasarkan UU
No. 21 Tahun 2000!
2) Jelaskan dasar pembentukan serikat pekerja!
3) Jelaskan hak serikat kerja yang mempunyai nomor bukti pencatatan!
4) Jelaskan kewajiban serikat kerja yang mempunyai nomor bukti
pencatatan!
5) Jelaskan bagaimana awal mula terbentuknya serikat pekerja di
Indonesia!
EKMA4367/MODUL 2 2.45

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000, serikat pekerja/ serikat buruh


merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk karyawan atau
pekerja baik di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan
karyawan atau pekerja, serta meningkatkan kesejahteraan karyawan dan
keluarganya.
2) Serikat Pekerja di Indonesia didasarkan pada:
a. Pasal 28 UUD 1945
b. Konfensi ILO No. 87 dan No. 98
c. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1998
d. UU No. 21 Tahun 2000
3) Serikat pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan, sesuai
dengan ketentuan yang berlaku berhak:
a. Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. Mewakili karyawan dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. Mewakili karyawan dalam lembaga ketenagakerjaan
d. Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan usaha peningkatan kesejahteraan karyawan antara lain
dengan mendirikan koperasi, yayasan, dan lain-lain.
4) Serikat pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
berkewajiban:
a. Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan
memperjuangkan kepentingannya;
b. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan
keluarganya;
c. Mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggota
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga.
5) Terbentuknya serikat pekerja di Indonesia dimulai sejak jaman
kolonialisme Belanda, dengan nama Nederland Indische Onderwijs
Genootschap (NIOG) pada tahun 1897 sebagai perserikatan guru-guru
bangsa Belanda. Selanjutnya, disusul dengan pembentukan serikat
pekerja juga di sektor pemerintah yaitu Postbond di bidang pos pada
2.46 Hubungan Industrial

tahun 1905. Di sektor swasta juga didirikan beberapa serikat pekerja


seperti: Suikerbond di perkebunan gula tahun 1906 dan Cultuurbond di
perkebunan karet pada tahun 1907, serta Vereniging Spoor en Tram
Personeel (VSTP). Setelah pendirian beberapa serikat kerja tersebut,
timbullah organisasi yang bersifat gerakan kebangsaan seperti Budi
Utomo tahun 1902, Serikat Dagang Islam pada tahun 1911, Partai
Komunis Indonesia tahun 1920, dan Partai Nasional Indonesia pada
tahun 1927. Bersamaan dengan gerakan nasional tersebut, beberapa
organisasi pekerja baru juga dibentuk.

R A NG KU M AN

Serikat pekerja merupakan bagian dari Hubungan Industrial


Pancasila, yang juga diatur dalam perundang-undangan yang berlaku,
dan undang-undang yang khusus mengenai serikat pekerja di Indonesia
adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 2000. Pasal 28 UUD 1945,
Konvensi ILO No. 87 dan No. 98., dan Keputusan Presiden No. 80
Tahun 1998. Serikat pekerja yang telah mempunyai nomor bukti
pencatatan mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang diatur
pelaksanaannya.
Terbentuknya serikat pekerja di Indonesia dimulai sejak jaman
kolonialisme Belanda, dengan nama Nederland Indische Onderwijs
Genootschap (NIOG) pada tahun 1897 sebagai perserikatan guru-guru
bangsa Belanda. Selanjutnya, disusul dengan pembentukan serikat
pekerja juga di sektor pemerintah yaitu Postbond di bidang pos pada
tahun 1905. Di sektor swasta juga didirikan beberapa serikat pekerja
seperti: Suikerbond di perkebunan gula tahun 1906 dan Cultuurbond di
perkebunan karet pada tahun 1907, serta Vereniging Spoor en Tram
Personeel (VSTP). Setelah pendirian beberapa serikat kerja tersebut,
timbullah organisasi yang bersifat gerakan kebangsaan seperti Budi
Utomo tahun 1902, Serikat Dagang Islam pada tahun 1911, Partai
Komunis Indonesia tahun 1920, dan Partai Nasional Indonesia pada
tahun 1927. Bersamaan dengan gerakan nasional tersebut, beberapa
organisasi pekerja baru juga dibentuk.
EKMA4367/MODUL 2 2.47

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) UU No. 21 Tahun 2000 memuat ….


A. cara pembentukan serikat pekerja
B. pencatatan serikat pekerja
C. perlindungan hak
D. jawaban A,B,C benar

2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mencakup berbagai


aspek, kecuali ….
A. pelatihan kerja
B. pembinaan dan pengawasan
C. hubungan kerja dan perjanjian kerja
D. lembaga pemasyarakatan

3) Serikat pekerja bersifat ….


A. sukarela
B. terbuka
C. tugas dari pimpinan
D. A dan B benar

4) Hak serikat pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan


adalah ….
A. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
B. memaksa kenaikan upah dan mendukung anggota serikat pekerja
lain
C. meminta dukungan warga
D. menghalangi pengusaha

5) Kewajiban serikat pekerja yang telah mempunyai bukti pencatatan,


kecuali ….
A. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan
keluarganya
B. mewakili pekerja dan lembaga ketenagakerjaan
C. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak
D. memperjuangkan kepentingan anggota
2.48 Hubungan Industrial

6) Undang-Undang yang mengatur tentang serikat pekerja adalah ….


A. UU No. 13 Tahun 2003
B. UU No. 21 Tahun 2000
C. UU No. 21 tahun 2003
D. UU No. 13 Tahun 2000

7) Beberapa hal yang mendasari pembentukan serikat pekerja adalah ….


A. Pasal 28 UUD 1945
B. Konvensi ILO No. 87
C. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1998
D. jawaban A,B,C benar

8) Serikat pekerja pertama kali adalah ….


A. NIOG
B. Budi Utomo
C. Postbond
D. A dan C benar

9) Peraturan Perusahaan minimal memuat beberapa hal berikut ini,


kecuali ….
A. syarat kerja
B. tata tertib perusahaan
C. hak dan kewajiban pemerintah
D. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan

10) Serikat pekerja dibentuk untuk berbagai tujuan berikut, kecuali ….


A. dari, oleh, dan untuk pekerja
B. memperjuangkan kepentingan pekerja
C. meningkatkan kesejahteraan pekerja
D. aliran politik khusus

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = × 100%
Jumlah Soal
EKMA4367/MODUL 2 2.49

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
2.50 Hubungan Industrial

Kunci Jawaban Tes Formatif


Tes Formatif 1 Tes Formatif 2
1) C 1) D
2) D 2) D
3) A 3) C
4) B 4) A
5) C 5) B
6) B 6) B
7) D 7) D
8) D 8) A
9) A 9) C
10) D 10) D
EKMA4367/MODUL 2 2.51

Daftar Pustaka
Abdussalam, H.R. (2009). Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan).
Jakarta: Restu Agung.

Arthur, J.B. dan Dworkin, J.B. (1991). Current Topics in Industrial Labor
Relations Research and Practice. Journal of Management, 17(3):515-
551.

Batubara, C. (2008). Hubungan Industrial. Jakarta: PPM Manajemen.

Bluen, S.D. dan Jubiler-Lurie, V.G. (1990). Some Consequenes of Labor-


Management Negotiations: Laboratory Fields Study. Journal of
Organizational Behavior, 11: 105-118.

Fossum, J.A. (2009). Labor Relations: Development, Structure, Process, 10th


edition. New York: McGraw-Hill/ Irwin.

Goodman, J.P. dan Sandberg, W.R. (1987). A Contingency Approach to


Labor Relations Strategic. Academy of Management Journal, 6 (1): 145-
154.

Gordon, M.E. dan Denisi, A.S (1993). Reexamination of the Relationship


Between Union Membership and Job Satisfaction. Industrial & Labor
Relations Review, 48 (2).

Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.

Haryani. S. (2002). Hubungan Industrial di Indonesia. Yogyakarta: AMP


YKPN.

Heaney, C.A; Israel, B.A.; Schurman, S.I; Baker, E.A.; House, J.S.; dan
Hugentobler, M. (1993). Industrial Relations, Worksite Stres Reduction
2.52 Hubungan Industrial

and Employee Well-Being: A Participatory Action Research


Investigation. Journal of Organizational Behavior, 14: 495-510.

Kozina, L.M. (2008). Social Labor Relations in Small and Medium Size
Business. Sociological Research, 47 (6): 76-90.

Plovnick, M.S. dan Chaison, G.N. (1985). Relationship Between Concession


Bargaining and Labor-Management Cooperation. Academy of
Management Journal, 28 (3): 695-704.

Simanjuntak, P.J. (2009). Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Jala


Permata Aksara.

Trampusch, C. (2007). Industrial Relations as A Source of Social Policy: A


Typology of the Institutional Conditions for Industrial Agreements on
Social Benefits. Social Policy & Administration, 41 (3): 251-270.

Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat


Buruh.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat


Buruh.

Wells, D. (1993). Are Strong Unions Compatible with The New Model of
HRM? Relations Industrielles/Industrial Relations, 48 (1): 56-85.
Modul 3

Perjanjian Kerja Bersama dan


Negosiasi Perjanjian
Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E., M.T.

PE NDAHUL UA N

H ubungan kerja merupakan hubungan yang terjalin antara penerima kerja


atau karyawan dan pemberi kerja atau manajemen berdasarkan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja, baik untuk waktu tertentu maupun
waktu tidak tertentu yang mengandung unsur pekerjaan, upah, dan hubungan
di bawah perintah. Hubungan kerja merupakan hubungan hukum atau
perikatan antara pengusaha dengan karyawan, karena adanya perjanjian kerja.
Perjanjian kerja bersama merupakan pedoman hubungan karyawan dengan
pengusaha yang baik, karena disusun bersama-sama antara karyawan dengan
pengusaha, sehingga hak dan kewajiban masing-masing pihak dapat
diperhatikan secara proporsional. Perjanjian kerja bersama perlu dilakukan
untuk merumuskan peran masing-masing, yaitu pengusaha atau manajemen
dan karyawan.
Perjanjian kerja masing-masing negara berbeda-beda. Pelaksanaan
perjanjian kerja di Indonesia diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang
mengatur berbagai ketentuan. Dalam perjanjian kerja bersama terdapat
lembaga-lembaga yang terlibat, seperti lembaga kerja sama bipartit dan
tripartit, maupun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Beberapa pemangku kepentingan dalam perjanjian kerja bersama antara lain
pemerintah, pengusaha, serikat pekerja dan kerja sama, serta konsumen dan
masyarakat. Hak dan kewajiban, serikat pekerja atau serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah mempunyai
nomor bukti pencatatan antara lain berhak membuat perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha.
Modul 3 yang merupakan kelanjutan dari Modul 2 ini membahas
mengenai perjanjian kerja bersama dan negosiasi perjanjian. Secara lebih
terinci, Kegiatan Belajar 1 memaparkan tentang bagaimana mengadakan unit
perjanjian kerja, sedangkan Kegiatan Belajar 2 membahas negosiasi dalam
3.2 Hubungan Industrial ⚫

hubungan industrial. Kedua materi tersebut akan menghantarkan Anda untuk


mempelajari materi-materi berikutnya mengenai berbagai praktek hubungan
ketenagakerjaan khususnya yang menyangkut masalah pengupahan dan
penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial.
Secara umum, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat
menjelaskan mengenai perjanjian kerja bersama dan negosiasi perjanjian.
Secara khusus, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu
menjelaskan:
1. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama
2. Teori yang Mendasari Perjanjian Kerja Bersama
3. Pembentukan Perjanjian Kerja Bersama
4. Perjanjian Kerja Bersama di Indonesia
5. Badan/Lembaga Hubungan Industrial Nasional
6. Negosiasi di Tempat Kerja
7. Jenis dan Tipe Negosiasi
8. Peran Pihak Ketiga dalam Negosiasi
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.3

Kegiatan Belajar 1

Mengadakan Unit Perjanjian


Kerja Bersama
A. PENGERTIAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Perjanjian kerja bersama (PKB) pada dasarnya merupakan salah satu


bentuk pengaturan hak dan kewajiban serta tata tertib kerja bagi pekerja
secara keseluruhan atau sesuai dengan cakupan yang termuat dalam PKB
dengan manajemen atau pengusaha. Hak dan kewajiban yang diatur dalam
PKB disebut dengan syarat kerja dan merupakan aspek yang belum diatur
dalam peraturan perundang-undangan. PKB disusun melalui perundingan
antara pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja dan wakil manajemen. PKB
merupakan hasil suatu proses di mana manajemen dan unsur serikat pekerja
berusaha menentukan syarat kerja secara bersama yang tidak lain adalah
untuk mencegah timbulnya perselisihan atau konflik yang kesemuanya
digunakan untuk memelihara dan meningkatkan hubungan baik di antara
keduanya. Dalam proses perundingan ini, kedua belah pihak merupakan
pihak-pihak yang bebas untuk merumuskan kesepakatan, dan yang lebih
penting dalam proses ini juga untuk memahami persepsi pihak lain dalam
mencari rumusan yang menguntungkan kedua belah pihak. Perundingan yang
berhasil manakala kedua belah pihak merasa menang atau berhasil dalam
memperoleh sesuatu. Dengan demikian, perundingan ini paling tidak dapat
meningkatkan saling percaya di antara kedua belah pihak. Menurut Suwarto
(2009), rumusan pengaturan hak dan kewajiban melalui perundingan PKB
mengandung banyak kelebihan, antara lain:
1. Perundingan pembuatan PKB dapat berlangsung atas dasar kemauan
kedua belah pihak untuk saling bertemu, berkomunikasi, dan saling
memberi masukan. Hal ini merupakan unsur penting dalam membina
hubungan selanjutnya.
2. Dalam proses perundingan terjadi interaksi aktif, saling tukar informasi,
dan saling mengajukan pendapat. Di sini terjadi proses saling memahami
posisi pihak lain, dan akan menjurus penyamaan persepsi antara kedua
belah pihak.
3.4 Hubungan Industrial ⚫

3. Hasil perundingan merupakan komitmen kedua belah pihak, dan


seharusnya tidak ada yang merasa ditekan. Dengan demikian,
pelaksanaan hasil perundingan tersebut juga dapat berjalan lancar. Oleh
karena itu, selama kurun waktu berlakunya PKB dapat dihindari
perselisihan yang besar atau serius.

Perjanjian kerja bersama merupakan cara pengaturan bersama oleh


pengusaha atau pihak manajemen dan karyawan organisasi (Prasad, 2009).
Tanggapan terhadap persatuan karyawan dan pengusaha tersebut tergantung
pada formulasi perjanjian kerja bersama tersebut. Perjanjian kerja bersama
menyediakan kesempatan untuk merumuskan peran masing-masing dengan
ada persetujuan antara kedua belah pihak tersebut. Perjanjian kerja bersama
juga merupakan proses pada saat kondisi karyawan ditentukan secara
bersama-sama oleh pengusaha dan karyawan. Tujuan utama perjanjian kerja
bersama adalah menentukan kondisi tenaga kerja melalui negosiasi dan
proses take and give. Perjanjian kerja bersama harus berubah dan dinamis.
Setiap negara berbeda dalam mengadakan perjanjian kerja bersama.
Hubungan antara karyawan dan pengusaha merupakan faktor
pendukung dalam perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja bersama
membahas tidak hanya hubungan pengusaha dan karyawan, tetapi merupakan
kondisi yang digunakan untuk memainkan peran dalam pengaturan berbagai
aspek dalam perjanjian kerja bersama, yang meliputi pemilihan agen
perjanjian, penentuan perjanjian bersama, kewajiban pengusaha dan serikat
pekerja, dan dampak hambatannya pada kegiatan industrial. Ciri perjanjian
kerja bersama adalah berubah dan dinamis dalam hal perubahan teknologi,
ekonomi, lingkungan politik, struktur organisasi serikat pekerja, kepemilikan
individual, peran pemerintah, dan sebagainya.
Secara tradisional, proses kesepakatan atau tawar-menawar dimulai
dengan permintaan untuk bertukar oleh tim manajemen dan serikat pekerja
(Cutcher-Gersenfeld et al., 1996). Perjanjian kerja bersama secara tradisional
dikarakteristikkan secara relatif kecil, yaitu sepertiga dari negosiasi dalam
perusahaan atau dalam kelompok kecil dengan keseimbangan antara proses
kerja sama dan pertarungan. Dalam struktur institusi tradisional, negosiasi
dengan kerja sama yang tinggi akan meningkatkan penggunaan kekuatan
kerja bersama, perjanjian kerja yang terus-menerus, sehingga kekuatan kerja
lebih terdidik.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.5

Menurut Barbash (1976), yang diatur dalam perjanjian kerja bersama


mengenai karyawan adalah (1) harga karyawan (upah dan metode penentuan
upah); (2) penggunaan tenaga kerja (klasifikasi, masa kerja, usaha, dan jam
kerja); (3) hak kerja karyawan (hak yang diperoleh karyawan di tempat kerja
sesuai dengan perjanjian kerja bersama); (4) hukum institusional serikat
pekerja dan manajemen; dan (5) administrasi dan pelaksanaan perjanjian.
Perjanjian kerja bersama juga dapat meliputi perjanjian individu dan
perjanjian kolektif (Flanders, 1976). Perjanjian individual merupakan
perjanjian antara karyawan dan majikan atau pengusaha, sedangkan
perjanjian kolektif merupakan perjanjian yang dapat menggantikan perjanjian
individual terutama dalam proses pengambilan keputusan beserta
karakteristiknya.
Perjanjian kerja bersama juga dapat dilakukan karena terjadi
ketidaksamaan antara pimpinan atau manajer dan karyawan, terutama adalah
hal akses terhadap sumber daya material dan finansial, pendidikan,
pengetahuan institusional, dan keahlian yang diperlukan. Perbedaan tersebut
menunjukkan interaksi antara struktur ekonomi, status sosial, dan sistem
pendidikan. Manajemen dapat dipecah pengelolaannya dengan cara
spesialisasi atau pemisahan horizontal dan pemisahan vertikal (Harre, 1999).
Pemisahan horizontal berarti memisahkan menurut fungsinya, operasi,
sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran, sedangkan pemisahan
secara vertikal meliputi alokasi tanggung jawab, rantai komando,
pengendalian aliran informasi, dan operasi hari ke hari.
Berbagai perubahan dalam hubungan industrial terkait dengan
pergeseran hubungan antar manusia secara khusus. Pertama, perlunya
pendekatan yang lebih holistik untuk mempelajari pekerjaan dan hubungan
dengan institusi lain dalam masyarakat, khususnya hubungan antara
pekerjaan dan keluarga. Kedua, kontrak sosial diperlukan karena merupakan
karier jangka panjang, sehingga meningkatkan loyalitas dan kinerja. Strategi
manajemen disusun untuk memfokuskan pada kompetensi inti dan
melakukan outsourcing untuk fungsi dan kegiatan lain. Ketiga, serikat
pekerja di masa mendatang membutuhkan fungsi yang lebih luas. Berbagai
perubahan dalam hubungan industrial melibatkan modal insani, keahlian, dan
pengetahuan merupakan sumber daya yang penting bagi perusahaan atau
organisasi. Pemerintah juga turut berperan dalam hubungan industrial
tersebut.
3.6 Hubungan Industrial ⚫

B. TEORI YANG MENDASARI PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Teori Kesepakatan atau Perjanjian atau Tawar-menawar cenderung


berkonsentrasi pada organisasi. Perjanjian selalu diformalkan dengan
prosedur yang jelas (eksplisit). Literatur mengenai kesepakatan bersama
antara karyawan dan manajemen telah membangun pandangan teoritis dalam
riset pendidikan. Walton dan McKersie membuat perbedaan antara perjanjian
distributif dan perjanjian integratif (O’Donoghue & Clarke, 1999). Perjanjian
distributif adalah perjanjian dalam pembagian kerja dan pendapatan atau
hasil, sedangkan perjanjian integratif adalah perjanjian dalam mengadakan
perbaikan untuk meningkatkan kinerja. Walaupun demikian, kedua jenis
perjanjian tersebut sulit dibedakan. Menurut Fossum (1987), perjanjian kerja
bersama muncul sekitar tahun 1980-an dengan munculnya berbagai konsep
seperti pengorganisasian, negosiasi, kebuntuan dalam pengambilan
keputusan, dan mengelola kontrak, serta berbagai penelitian dengan berbagai
unit analisis seperti masyarakat serikat industri dan nasional, serta serikat
perusahaan lokal atau individual. Teori Perilaku menyediakan kerangka kerja
analitikal yang digunakan untuk mengorganisasi adanya perbedaan antara
perjanjian distributif dan perjanjian integratif. Dari teori tersebut nampak
bahwa perjanjian distributif lebih menekankan pada aspek perjanjian dalam
memberikan penghargaan, sedangkan perjanjian integratif lebih menekankan
pada perjanjian pengupahan yang terkait dengan peningkatan kinerja
karyawan.
Perjanjian kerja bersama juga merupakan inti hubungan industrial yang
berfokus pada konflik dan perubahan dalam pengaturan hubungan antara
manajemen dan karyawan. Kegiatan yang terkait dengan perjanjian kerja
bersama juga merupakan sumber stres seperti taktik negosiasi distributif yang
meningkatkan konflik antara karyawan dan manajemen (Bluen & Jubiler-
Lurie, 1990). Hubungan industrial adalah hubungan antarkaryawan yang ada
dalam sistem produksi dan mempunyai dampak pada efisiensi dan
produktivitas yang terdiri dari sejumlah hubungan dalam organisasi. Dalam
pengertian sempit, hubungan industrial menunjukkan hubungan serikat
pekerja dan manajemen atau hubungan kolektif antara manajemen dan
karyawan. Dalam pengertian luas, hubungan industrial mencakup agen
institusional seperti pemerintah. Hubungan industrial yang baik akan dapat
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.7

membantu restrukturisasi organisasi dan proses untuk perbaikan


produktivitas dan persaingan.
Menurut Bacharach dan Lawler, kesepakatan merupakan kegiatan take
and give yang terjadi ketika dua atau lebih pihak yang independen
mengalami konflik kepentingan (O’Donoghue & Clarke, 1999). Mereka juga
mengidentifikasi tacit bargaining atau perjanjian yang bersifat implisit dan
explicit bargaining atau perjanjian yang bersifat eksplisit. Perjanjian yang
implisit merupakan kesepakatan yang sulit diucapkan. Perjanjian yang
bersifat eksplisit merupakan wujud dari perjanjian yang disadari dan
dikonseptualisasikan untuk menemukan solusi terhadap konflik yang dapat
diterima semua pihak. Konsep perjanjian eksplisit dikarakteristikkan dengan
keterbukaan komunikasi dan dalam hubungan tersebut terdapat suatu
kesepakatan. Sementara perjanjian yang bersifat implisit terjadi ketika
komunikasi terhalang oleh pihak-pihak, dan hubungan perjanjian tersebut
tidak diketahui tujuannya. Perjanjian yang bersifat implisit biasanya terjadi
terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh perjanjian yang bersifat eksplisit.
Esensi perjanjian adalah tindakan atau kegiatan praktis dan
penggambaran manifestasi informasi. Shaw menyatakan bahwa perjanjian
perusahaan menawarkan kesempatan untuk mencapai fleksibilitas,
peningkatan kualitas, mendorong kualitas kerja, konsesi antara manajemen
dan karyawan, dan budaya kerja sama di tempat kerja, dengan melebarkan
lingkup partisipasi karyawan dalam proses pengambilan keputusan
(O’Donoghue & Clarke, 1999). Perjanjian perusahaan bukan merupakan
suatu norma, tetapi merupakan upaya mencapai perjanjian perusahaan secara
matang dan mendapatkan manfaat. Hasil perjanjian kerja bersama adalah
kesepakatan atau perjanjian kolektif dan perjanjian harus terkait dengan
hukum (Nomden et al., 2003).
Isu penting dalam hubungan antarkaryawan untuk melakukan pelayanan
adalah apakah perjanjian kerja bersama tersentralisasi ataukah
terdesentralisasi (Nomden et al., 2003). Perjanjian yang terdesentralisasi akan
membuat perjanjian tersebut lebih fleksibel, terfragmentasi, dan dapat
meningkatkan efisiensi dan keefektifan dalam pelayanan. Desentralisasi
dilakukan untuk area yang lebih luas. Kemitraan antara karyawan dan
pengusaha atau manajer sering kali didengungkan, namun jarang tercapai dan
merupakan objek untuk diteliti secara intensif bila akan diterapkan (Clarke &
Haiven, 1999). Kemitraan ini melibatkan kombinasi perubahan dalam
3.8 Hubungan Industrial ⚫

organisasi kerja dan dalam hubungan perjanjian antara manajemen dan


serikat pekerja yang mewakili karyawan.
Perubahan yang terjadi di tempat kerja melibatkan implementasi kinerja
yang tinggi dalam sistem kerja, meliputi kebersamaan dalam kekuasaan dan
tanggung jawab antara serikat pekerja dan manajemen di tempat kerja.
Perubahan dalam hubungan pertukaran melibatkan fokus pada sasaran
bersama dan penyelesaian masalah dalam perjanjian formal dan informal
(atau kesepakatan berdasarkan peminatan) meskipun hal ini dapat
berdampingan dengan karyawan independen dan agenda manajemen.
Perjanjian kerja bersama lebih fleksibel daripada perjanjian tradisional
atau episodic bargaining of long. Perjanjian secara mendetail merupakan
kombinasi perjanjian informal selama kontrak, sehingga mampu berinovasi.
Dalam teori, perjanjian yang terus-menerus dan berkesinambungan
memperluas tempat kerja. Manajemen ingin bernegosiasi untuk mendapatkan
kerja sama karyawan. Perjanjian terus-menerus menciptakan kolaborasi
antara kepemimpinan serikat pekerja dan manajemen yang menghasilkan
hilangnya pandangan terhadap keinginan dan hak anggota.
Sementara itu, pertemanan di tempat kerja merupakan hubungan
interaksi informal dan personal di tempat kerja (Mao et al., 2009). Hubungan
pertemanan tersebut bersifat positif dan mempunyai fungsi positif seperti
mendukung penyebaran informasi dan meningkatkan sikap kerja yang
penting termasuk kepuasan kerja, kinerja atau prestasi kerja, keterlibatan
kerja, komitmen organisasional, dan pengurangan keinginan keluar dari
organisasi tersebut. Tanpa ada hubungan pertemanan, kesempatan kerja turun
yang berpengaruh pada perkembangan atau kemajuan kerja. Pertemanan di
tempat kerja juga mengandung hal negatif, misalnya gosip. Menurut Mao et
al. (2009), ada dua faktor utama yang mempengaruhi pertemanan di tempat
kerja, yaitu faktor personal dan faktor kontekstual. Faktor personal meliputi
gender, kepribadian, dan kesamaan. Sementara itu, faktor kontekstual
meliputi faktor tempat kerja seperti kesamaan pekerjaan, budaya organisasi,
kohesivitas, perkiraan tempat kerja, posisi dalam organisasi, dan pembagian
kerja dan faktor eksternal seperti kegiatan sosial atau kegiatan yang santai.
Struktur organisasi birokratis yang ditandai dengan hierarki, prosedur atau
peraturan formal yang kaku, dan impersonality berhubungan negatif dengan
pertemanan di tempat kerja.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.9

C. PEMBENTUKAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

Proses perjanjian kerja bersama karyawan dan manajemen dipandang


sebagai suatu kegiatan politik paling tidak pada tiga cara. Meskipun
demikian, tidak ada upaya yang akan dilakukan untuk memformalkan konten
politik dari suatu teori. Menurut Perry dan Angel (1986), ketiga cara tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Politik tradisional yang berfokus pada pengaruh alokasi sumber daya
langka seperti siapa yang mendapatkan, apa yang diperoleh, serta kapan
dan di mana memperolehnya. Perjanjian kerja bersama seperti kekuatan
personal lainnya yang memiliki implikasi pada alokasi sumber daya
yang langka.
2. Meskipun dibatasi pada teori organisasi dan perilaku organisasional,
terdapat paralel yang dekat antara teori politik dan teori organisasi.
Perjanjian kerja bersama merupakan fenomena dalam organisasi yang
berkonotasi politik.
3. Fenomena tentang bargaining dipandang sebagai manifestasi politik
dalam organisasi. Politik dan organisasi merupakan pengelolaan
pengaruh untuk mendapatkan sangsi.

Harre (1999) menyatakan, ada dua teknik dalam perjanjian kerja


bersama, yaitu (1) karyawan mencoba mengurangi kelemahannya di pasar
tenaga kerja dan dalam hubungan sosial dengan pemimpin atau pengusaha;
dan (2) tindakan politis karena ada dua pihak yang saling berhubungan, baik
secara terencana maupun secara spontan.
Perjanjian kerja bersama tentu didahului oleh pembentukan serikat
pekerja atau secara khusus melalui tahap pertemuan para karyawan.
Pertemuan dilanjutkan dengan keputusan untuk menyusun serikat pekerja,
merekrut anggota dan mengumpulkan para anggota, pembagian kerja, dan
negosiasi kontrak formal dengan pengusaha. Satu hal yang menarik dalam
proses tersebut adalah bukan keterlibatan ekonomi yang menekankan pada
pengusaha, melainkan adanya kesenjangan sosial yang berasal dari hierarki
divisi karyawan. Dengan membentuk serikat pekerja, karyawan dapat
menciptakan kendaraan atau cara untuk pengumpulan memori dan sumber
informasi yang dapat menggambarkan negosiasi dengan pengusaha di masa
mendatang. Serikat pekerja pasti menyadari kelemahan posisinya dalam
3.10 Hubungan Industrial ⚫

hierarki sosial dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi bargaining


powernya di pasar kerja.
Hal kedua yang menarik adalah perjanjian kerja bersama yang didahului
oleh proses pembentukan serikat pekerja. Karyawan perlu tahu bahwa
mereka harus menghilangkan ketidakseimbangan sosial dan politik sebelum
berhasil menghilangkan ketidakseimbangan ekonomi. Hasil perjanjian kerja
bersama adalah perjanjian bersama (Harre, 1999). Penggunaan istilah
perjanjian lebih baik daripada kontrak. Setelah ada perjanjian tersebut,
barulah dilakukan kontrak. Kontrak berisi sesuatu yang disepakati oleh
karyawan dan pengusaha. Kontrak dibuat secara individu, sehingga diakhiri
secara individu pula, baik dengan berlebihan atau redundansi, pembubaran,
atau pengunduran diri (Harre, 1999).
Perjanjian kerja bersama menunjukkan minat jangka panjang dari
karyawan untuk membuat pasar tenaga kerja lebih adil daripada berdasarkan
pada kontrak individual. Serikat pekerja dan perjanjian kerja bersama dapat
memperbaiki posisi tawar-menawarnya di tempat kerja. Menurut Glassman
(1986), pembentukan organisasi karyawan dilakukan bersamaan dan
penyusunan hubungan perjanjian kerja bersama dengan manajemen dapat
dipandang sebagai proses yang dilakukan secara berurutan yang berisi tiga
tahap, yaitu:
1. Pengenalan dan penentuan unit perjanjian yang tepat.
2. Penggambaran lingkup kesepakatan negosiasi dan pemahaman partisipan
dalam menyelesaikannya.
3. Administrasi kontrak.

Struktur pembuatan perjanjian kerja bersama sering kali menyeluruh


bagi berbagai unit yang meliputi sejumlah orang yang beroperasi dalam
industri yang sama. Perjanjian kerja bersama dapat terjadi antara serikat
pekerja dan satu orang pengusaha atau majikan atau antara serikat pekerja
dan semua pimpinan perusahaan. Dalam perjanjian ini negosiator berbicara
pada semua majikan atau pimpinan perusahaan.
Menurut Fossum (2009), isu-isu perjanjian meliputi tiga kategori, yaitu
bersifat perintah, mengizinkan, dan larangan. Isu perjanjian atau kesepakatan
yang bersifat perintah berkaitan dengan upah, jam kerja, dan kondisi
pekerjaan lainnya. Isu perjanjian atau kesepakatan yang bersifat memberi izin
tidak memperoleh tanggapan karena tidak berhubungan langsung dengan
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.11

biaya manajemen dan tenaga kerja. Isu perjanjian atau kesepakatan yang
bersifat pemberian larangan secara hukum tidak sah, seperti permintaan
bahwa karyawan menggunakan hanya barang-barang yang diproduksi
bersama. Perbedaan lain antara mandatory issues dan permissive issues
adalah tidak adanya bagian yang bisa menemui jalan buntu atau menolak
menyetujui kontrak melebihi permissive issues. Gambar 1 berikut
menjelaskan perbedaan antara mandatory dan permissive issues.

Ciri Keputusan

Kerjasama Internal: Domain Manajemen: Isu-isu Pekerjaan:


Masalah yang berkaitan Masalah yang Masalah yang
dengan hubungan antara berhubungan dengan berhubungan dengan
karyawan dan serikat fungsi entrepreneurial Hubungan antara Pekerja
kerja dan Pengusaha

Pengaruh Pengaruh Tidak Pengaruh Pengaruh Tidak


Signifikan pada Langsung/ Tidak Pasti Signifikan pada Signifikan pada
Karyawan pada Karyawan (P) Karyawan (M) Karyawan (M)

Keputusan Terhadap Keputusan terutama pada


Biaya Tenaga Kerja (M) Faktor-faktor lain di luar Biaya
Tenaga Kerja (P)

Sumber: Fossum, 2009.

Gambar 3.1.
Penentuan Status Mandatory dan Permissive Bargaining

D. PERJANJIAN KERJA BERSAMA DI INDONESIA

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja bersama adalah


perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau
beberapa serikat pekerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
3.12 Hubungan Industrial ⚫

di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha, atau


perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Perjanjian kerja bersama disusun oleh serikat kerja dan dilaksanakan
secara musyawarah.
2. Perjanjian kerja tersebut harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin
dan menggunakan bahasa Indonesia.
3. Apabila dalam perjanjian kerja bersama tidak dapat dicapai kata sepakat
maka penyelesaiannya dilakukan dengan prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
4. Apabila dalam perusahaan hanya terdapat satu serikat buruh yang
beranggotakan lebih dari 50% karyawan di perusahaan tersebut, maka
serikat pekerja tersebut berhak mewakili pekerja dalam pembuatan
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha.
Namun demikian, bila anggotanya kurang dari 50% pekerja di
perusahaan tersebut maka serikat pekerja tersebut tetap dapat mewakili
perjanjian kerja asalkan mendapat dukungan dari 50% karyawan
perusahaan tersebut.
5. Apabila dalam perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja, maka
yang berhak mewakili karyawan dalam melakukan perundingan dengan
pengusaha adalah serikat pekerja yang beranggotakan lebih dari 50%
karyawan perusahaan tersebut. Serikat kerja yang anggotanya kurang
dari 50% dari jumlah karyawan perusahaan tersebut dapat mengadakan
koalisi untuk berhak mewakili dalam kesepakatan kerja bersama dengan
pengusaha. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka dibuat tim
perundingan yang anggotanya ditentukan secara proporsional dengan
jumlah keanggotaan dalam serikat pekerja.
6. Perjanjian kerja bersama berlaku selama dua tahun dan dapat
diperpanjang paling lama satu tahun.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPa), Pasal 1601a,


menyebutkan bahwa perjanjian atau kesepakatan kerja adalah perjanjian
dengan mana pihak yang ke satu yaitu karyawan mengikatkan diri untuk di
bawah pimpinan pihak yang lain yaitu pengusaha atau majikan selama jangka
waktu tertentu untuk melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Kalau
dicermati, materi rumusan perjanjian kerja tersebut hanya satu pihak saja
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.13

yang mengikatkan diri yaitu karyawan, sedang pengusaha tidak terikat


dengan perjanjian kerja tersebut. Sesuai ketentuan perjanjian kerja yang
berlaku secara universal, kedua belah pihak harus saling mengikatkan diri
tanpa membedakan kedudukan, status, ras, suku, agama maupun golongan
dan bangsa. Buruh juga punya hak sipil dan politik seperti hak atas hidup,
dan hak ekonomi seperti hak atas pekerjaan dan penghidupan. Tidak hanya
pengusaha yang mempunyai hak hidup dan hak ekonomi, dan tidak hanya
pengusaha yang mendapatkan perlindungan hukum.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada
Pasal 50 sampai dengan Pasal 66 mengatur ketentuan perjanjian kerja.
Perjanjian kerja merupakan hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dan karyawan atau pekerja. Pada prinsipnya
perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat
yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. Perjanjian kerja
yang dilakukan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti perjanjian kerja waktu tertentu,
antar kerja antardaerah, antarnegara, dan perjanjian kerja laut.
Perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud
dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau
cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak
yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya, adanya
pekerjaan yang diperjanjikan, adanya pekerjaan yang diperjanjikan yang
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh
para pihak tersebut bertentangan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan
demi hukum.
Selain itu, segala hal dan atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan
pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab
pengusaha. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya
memuat:
1. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/karyawan;
3. Jabatan atau jenis pekerjaan;
4. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
3.14 Hubungan Industrial ⚫

5. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan


pekerja atau karyawan;
6. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
7. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
8. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut di atas, tidak boleh


bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan tidak
boleh bertentangan adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama maka isi perjanjian kerja baik
kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Perjanjian
kerja tersebut di atas sekurang-kurangnya rangkap dua, yang mempunyai
kekuatan hukum yang sama. Karyawan atau pekerja dan pengusaha masing-
masing mendapat satu perjanjian kerja. Perjanjian kerja tidak dapat ditarik
kembali dan atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu tertentu atau untuk jangka
waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu tersebut
didasarkan atas jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk jangka
waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan tersebut di atas
dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dalam hal
perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing. Apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja tersebut
di atas masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.15

3. Pekerjaan yang bersifat musiman.


4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru kegiatan baru atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Perjanjian kerja tersebut dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab


di bidang ketenagakerjaan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan
pekerjaan yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus,
tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu
proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung
cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan
yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan
merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau
pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, maka
pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk
pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang
atau diperbaharui.
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir harus telah memberitahukan maksudnya secara tertulis
kepada karyawan yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga
puluh hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan satu kali dan paling
lama dua tahun.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
tersebut di atas, demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Perjanjian kerja untuk tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama tiga bulan. Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan
dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka
syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada karyawan yang
bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak
dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan maka
3.16 Hubungan Industrial ⚫

ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dalam masa percobaan
kerja tersebut di atas, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah
minimum yang berlaku.
Selanjutnya, perjanjian kerja berakhir apabila: (a) karyawan meninggal
dunia; (b) berakhirnya jangka waktu perjanjian; (c) adanya putusan
pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap; dan (d) adanya keadaan atau kejadian tertentu dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Keadaan atau kejadian
tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau
hibah.
Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak karyawan
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak karyawan. Dalam hal
pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/ karyawan.
Dalam hal karyawan meninggal dunia, ahli waris pekerja/ karyawan berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Yang dimaksud hak-hak yang
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan
menguntungkan karyawan yang bersangkutan.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu
tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak lainnya membayar
sebesar upah karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara
lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi karyawan
yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut di atas, sekurang-kurangnya
memuat keterangan: (a) nama dan alamat pekerja atau karyawan; (b) tanggal
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.17

mulai bekerja; (c) jenis pekerjaan dan (d) besarnya upah. Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa karyawan
yang dibuat secara tertulis. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan
kepada perusahaan lain tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.
1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Selanjutnya, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. D1/Men/1985


mengenai perjanjian kerja bersama menyatakan bahwa:
1. Kewajiban dan tanggung jawab kedua belah pihak untuk
menyebarluaskan serta menjelaskan kepada para anggotanya untuk
diketahui dan melaksanakan isi perjanjian kerja bersama.
2. Kewajiban masing-masing pihak untuk menaati isi kesepakatan kerja
bersama dan menertibkan anggota-anggotanya serta dapat menegur
pihak lain apabila tidak mengindahkan isi perjanjian kerja bersama.
3. Pengakuan terhadap serikat pekerja yang mengadakan perjanjian kerja
bersama.
4. Saling menghormati dan tidak mencampuri urusan intern masing-masing
pihak.
5. Menyediakan fasilitas.
6. Kesediaan perusahaan untuk melakukan pemotongan iuran anggota
serikat pekerja.

Syarat-syarat materiil kesepakatan kerja bersama meliputi:


1. Dilarang memuat aturan yang mewajibkan seorang pengusaha supaya
hanya menerima atau menolak karyawan dari suatu golongan, baik
berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun
karena keyakinan politik.
3.18 Hubungan Industrial ⚫

2. Dilarang memuat aturan yang mewajibkan seorang karyawan hanya


bekerja atau tidak boleh bekerja pada majikan dari suatu golongan, baik
berkenan dengan agama, golongan, warga negara atau bangsa, maupun
keyakinan politik.
3. Dilarang memuat aturan yang bertentangan dengan undang-undang
tentang ketertiban umum atau kesusilaan. Syarat-syarat formal antara
lain harus diadakan secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah
pihak atau dengan resmi, yaitu di hadapan seorang notaris.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 66 ayat 1


dan ayat 2 tentang hubungan kerja dinyatakan:
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
(mengenai jangka waktu perjanjian kerja) dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani
oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/ buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.19

Berdasarkan pasal tersebut, maka hubungan kerja antara pengusaha dan


karyawan dan hubungan kerja antarkaryawan menjadi hal yang penting
dalam melaksanakan proses produksi di perusahaan. Selain itu, perjanjian
kerja atau yang sering disebut dengan kesepakatan kerja bersama merupakan
hal yang penting yang dapat mendukung proses produksi dalam perusahaan
atau organisasi tersebut.

E. BADAN/LEMBAGA HUBUNGAN INDUSTRIAL NASIONAL

1. Lembaga Kerja Sama Bipartit


Lembaga kerja sama bipartit merupakan lembaga kerja sama antara
pengusaha dan organisasi karyawan. Setiap perusahaan yang mempekerjakan
lima puluh orang karyawan atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama
bipartit. Fungsi lembaga tersebut adalah sebagai forum komunikasi dan
konsultasi mengenai permasalahan ketenagakerjaan di perusahaan. Anggota
lembaga tersebut meliputi unsur pengusaha dan unsur karyawan yang
ditunjuk secara demokratis untuk mewakili kepentingan karyawan di
perusahaan tersebut.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 106, setiap perusahaan yang
mempekerjakan lima puluh orang karyawan atau lebih harus mempunyai
lembaga kerja sama bipartit yang beranggotakan antara tiga hingga sepuluh
orang sesuai skala perusahaan, kompleksitas dan diversifikasi pekerjaan dan
jabatan, serta tugas yang diserahkan ke lembaga kerja sama bipartit. Bila
dalam perusahaan terdapat satu serikat pekerja dan semua pekerja menjadi
anggota serikat pekerja tersebut, maka pengurus serikat pekerja tersebut
merupakan wakil dalam lembaga kerja sama bipartit. Bila ada lebih dari satu
serikat pekerja tetapi tidak semua karyawan menjadi anggota serikat pekerja
tersebut, maka wakil karyawan dalam lembaga kerja sama bipartit ditunjuk
secara proporsional menurut jumlah anggota. Ketua lembaga kerja sama
bipartit dipilih secara bergantian dari wakil pengusaha dan wakil karyawan.
Kepengurusan lembaga tersebut dua tahun dan dapat dipilih kembali untuk
periode berikutnya. Peranan lembaga kerja sama bipartit antara lain:
a. Menampung dan menyalurkan aspirasi karyawan;
b. Menampung dan menyelesaikan keluh kesah;
c. Mempersiapkan bahan dan menjelaskan peraturan perusahaan untuk
ditetapkan oleh pengusaha dan manajemen;
3.20 Hubungan Industrial ⚫

d. Mempersiapkan bahan untuk tim perunding dalam merumuskan


perjanjian kerja bersama;
e. Menjelaskan isi dan cara pelaksanaan peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama;
f. Mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan peraturan pemerintah atau
perjanjian kerja bersama;
g. Menyelenggarakan pelatihan kepemimpinan serikat pekerja dan
pelatihan tenaga supervisi;
h. Menyelenggarakan program koperasi karyawan;
i. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan program keluarga
berencana;
j. Mengoordinasikan program Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja;
k. Mengoordinasikan program gugus kendali mutu;
l. Meningkatkan partisipasi karyawan dan produktivitas perusahaan; dan
m. Membangun hubungan industrial yang aman, harmonis, dinamis dan
berkeadilan.

Lembaga kerja sama bipartit memfokuskan kegiatannya pada fungsi


tradisional dan konvensional, yaitu menampung, membahas, dan
menyelesaikan keluh kesah karyawan, serta mempersiapkan bahan dan
memonitor pelaksanaan peraturan pemerintah dan perjanjian kerja bersama.
Bidang lain yang dapat ditangani secara ad hoc misalnya

2. Lembaga Kerja Sama Tripartit


Lembaga kerja sama tripartit merupakan lembaga kerja sama yang
anggota-anggotanya terdiri dari unsur-unsur pemerintah, organisasi
karyawan, dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga kerja sama tripartit
adalah sebagai forum konsultasi, komunikasi, dan negosiasi baik ke dalam
maupun ke luar. Maksud konsultasi, komunikasi, dan negosiasi ke dalam
yaitu apabila ada permasalahan antara ketiga pihak tersebut maka antara
karyawan, pengusaha, dan pemerintah akan dilakukan konsultasi,
komunikasi, dan negosiasi, sehingga di antara mereka sendiri akan timbul
satu kesepakatan. Adapun maksud konsultasi, komunikasi, dan negosiasi ke
luar adalah apabila berhubungan dengan pihak luar, lembaga kerja sama
tripartit akan mewakili kepentingan karyawan, pengusaha, dan pemerintah.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.21

Lembaga kerja sama tripartit dibentuk di tingkat pusat/nasional, propinsi, dan


kabupaten/kota. Di tingkat nasional diketuai oleh menteri tenaga kerja, di
tingkat propinsi oleh gubernur, dan di kabupaten/kota diketuai oleh bupati/
walikota.
Lembaga kerja sama tripartit merupakan forum bagi wakil-wakil ketiga
unsur, yaitu pemerintah, pengusaha atau asosiasi pengusaha, dan serikat
karyawan untuk bertukar informasi, berdialog, berkomunikasi, berkonsultasi,
berunding, dan mengambil kesepakatan bersama secara konsensus di bidang
ketenagakerjaan, termasuk hubungan industrial dan mengenai bidang
kebijakan ekonomi sosial pada umumnya. Lembaga kerja sama tripartit
dibentuk di tingkat internasional (ILO), regional, nasional, propinsi,
kabupaten/kota, dan pada tingkat gabungan beberapa perusahaan. Kehadiran
pemerintah dalam lembaga kerja sama tripartit digunakan untuk
memfasilitasi dan mengefektifkan dialog serta menampung saran dan harapan
pengusaha dan serikat pekerja. Pemerintah dapat turut serta dalam
pengesahan peraturan perusahaan, menyaksikan penandatanganan perjanjian
kerja bersama, menerbitkan berbagai peraturan, dan melakukan mediasi atau
pemerantaraan bila kedua belah pihak tidak dapat mencapai kesepakatan.
Saling bertukar informasi merupakan fungsi lembaga kerja sama tripartit
yang paling dasar dan merupakan titik awal untuk melaksanakan berbagai
bentuk kerja sama lainnya. Konsultasi tripartit pada dasarnya merumuskan
saran untuk ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Tujuan lembaga kerja
sama tripartit adalah sebagai berikut.
a. Menciptakan pemahaman bersama mengenai masalah ketenagakerjaan;
b. Menciptakan kerja sama unsur tripartit memecahkan masalah tenaga
kerja;
c. Merumuskan saran kebijakan ekonomi dan sosial;
d. Membangun konsensus untuk kebijakan dan melaksanakannya;
e. Membangun iklim kerja sama dan mengurangi konflik;
f. Menciptakan hubungan industrial yang aman dan harmonis;
g. Mendorong peningkatan produktivitas pertumbuhan perusahaan.

Struktur organisasi dan keanggotaan lembaga kerja sama tripartit diatur


dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2005. Anggota lembaga tersebut
diangkat presiden untuk masa jabatan tiga tahun, yang terdiri dari dua belas
orang dari unsur pemerintah, enam orang wakil pengusaha, dan enam orang
3.22 Hubungan Industrial ⚫

wakil serikat pekerja. Lembaga kerja sama tripartit tingkat nasional diketuai
oleh menteri yang membidangi ketenagakerjaan dan tiga orang wakil ketua,
satu orang dari setiap unsur. Lembaga kerja sama tripartit di tingkat propinsi
diangkat untuk masa jabatan tiga tahun, yang terdiri dari delapan orang dari
unsur pemerintah, empat orang mewakili pengusaha, dan empat orang
mewakili karyawan. Ketua lembaga kerja sama tripartit adalah gubernur yang
dibantu oleh tiga orang wakil ketua, satu orang dari setiap unsur. Lembaga ini
bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai kebijakan dan
pemecahan masalah ketenagakerjaan di propinsi tersebut.
Selanjutnya, lembaga kerja sama tripartit di tingkat kabupaten/kota
diangkat oleh bupati/walikota untuk masa jabatan tiga tahun, yang terdiri dari
empat orang unsur pemerintah, dua orang unsur pengusaha, dan dua orang
unsur karyawan. Ketua lembaga kerja sama tripartit pada level ini adalah
bupati/walikota, dibantu oleh tiga orang wakil ketua, dan satu orang dari
setiap unsur. Lembaga ini bertugas memberikan saran dan pertimbangan
mengenai kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan kabupaten/
kota tersebut. Ketua lembaga kerja sama tripartit baik di tingkat nasional,
propinsi, maupun kabupaten/kota dapat membentuk beberapa lembaga kerja
sama sektoral yang bertugas memberikan saran kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan di sektor yang bersangkutan, baik nasional,
propinsi, maupun kabupaten/kota.

3. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Selain lembaga kerja sama bipartit dan tripartit, terdapat lembaga lain
yang terkait dengan hubungan industrial, yaitu lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial adalah
perbedaan pendapat antara pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja
mengenai syarat-syarat kerja seperti hak karyawan atau serikat pekerja,
harapan atau kepentingan karyawan, dan pemutusan hubungan kerja.
Perselisihan hubungan industrial pada umumnya menyangkut perselisihan
hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat
pekerja. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut harus
dilakukan oleh pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja secara
musyawarah untuk mufakat. Apabila langkah musyawarah untuk mufakat
tidak tercapai, maka digunakan prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan undang-undang.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.23

Sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan


hubungan industrial, dinyatakan bahwa perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara bipartit di tingkat perusahaan, sesuai dengan jenis
perselisihannya dapat diselesaikan melalui bantuan pihak ketiga, yaitu
arbitrer, konsiliator, atau mediator. Bila tidak dapat diselesaikan konsiliator
atau mediator dilanjutkan untuk diselesaikan di Pengadilan Hubungan
Industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial selalu menekankan
peranan Lembaga Kerja sama Bipartit atau penyelesaian di tingkat bipartit.
Masalah hubungan industrial yang tidak terselesaikan secara bipartit
dinyatakan sebagai perselisihan hubungan industrial dan terpaksa melibatkan
atau membutuhkan campur tangan pihak ketiga seperti dikemukakan di atas.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 menekankan supaya setiap masalah
dan penyelesaian dapat diselesaikan secara damai dengan jalan perundingan
di tingkat bipartit. Kesepakatan yang dicapai melalui perundingan tersebut
dapat dirumuskan dalam bentuk perjanjian kerja bersama.
Apabila penyelesaian secara bipartit tidak tercapai, maka bagi pengusaha
dan karyawan dan atau serikat pekerja terbuka alternatif penyelesaian yaitu
melalui arbitrase oleh juru pemisah atau melalui jasa perantaraan oleh
pegawai perantara. Atas kesepakatan bersama, pengusaha dan serikat pekerja
dapat memilih arbitrase tertentu untuk menyelesaikan kasus mereka.
Keputusan arbitrase bersifat final dan wajib diterima dan dilaksanakan oleh
kedua belah pihak. Bila kedua belah pihak tidak sepakat, dapat memilih
arbitrase. Salah satu pihak atau secara bersama-sama dapat meminta bantuan
perantaraan dari pegawai perantara. Bila pengusaha dan serikat pekerja
sepakat menerima anjuran pegawai perantara tersebut. Kesepakatan
dimaksud dituangkan dalam perjanjian kerja bersama. Bila pengusaha dan
serikat pekerja tidak sepakat untuk menerima anjuran pegawai perantara,
alternatif penyelesaian perselisihan adalah, pertama, melalui Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Daerah dan atau P4 Pusat atau,
kedua, dengan cara pemaksaan sepihak melalui pemogokan atau penutupan
perusahaan.
Pihak yang tidak menerima keputusan P4 daerah dapat mengajukan
peninjauan ulang (banding) kepada P4P. Keputusan P4P pada dasarnya tidak
dapat diminta banding, akan tetapi, menteri dapat membatalkan atau
menunda pelaksanaan keputusan P4P bila keputusan tersebut dianggap dapat
mengganggu ketertiban umum dan atau kepentingan negara. Pengusaha dapat
3.24 Hubungan Industrial ⚫

merencanakan untuk penutupan perusahaan hanya bila dapat dibuktikan


bahwa upaya perundingan yang telah dilakukan gagal. Rencana tersebut
harus diberitahukan kepada serikat pekerja dan P4D. Rencana penutupan
perusahaan dapat dilakukan hanya bila P4D menerbitkan tanda terima
pemberitahuan rencana penutupan perusahaan.

4. Penetapan Unit Perjanjian Kerja Bersama


Hubungan industrial mencakup tiga level, yaitu level strategik,
fungsional, dan operasional. Pilihan strategik disusun dalam level korporasi.
Negosiator profesional dan manajer sumber daya manusia menerapkan
rencana bisnis, termasuk justifikasi kasus bisnis utama. Negosiasi strategik
merupakan kegiatan inti pada semua negosiasi. Menurut Fisher (2007),
negosiasi strategik mencakup diagnosis situasi secara strategik, membuat
pilihan strategik untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan
cara yang terbaik, bagaimana menyusun proses negosiasi untuk
menghasilkan resolusi masalah yang diinginkan, dan menghindari kegagalan
dalam negosiasi.

5. Menetapkan Unit Perjanjian Kerja Bersama Di Sektor Publik


Kewargaan industrial mencakup hak dan tanggung jawab warga. Hal ini
meliputi hak berpartisipasi dalam kegiatan bersama seperti kesepakatan dan
kebutuhan untuk memiliki tanggung jawab terhadap anggota. Satu dari
permasalahan inti dalam kerja sama adalah perilaku bersama. Nilai
kebersamaan dapat meliputi saling atau berbalasan dan saling membantu
(Peetz, 2005). Kolektivisme menunjukkan cara pada saat minat, orientasi,
dan perilaku lebih didasarkan pada kelompok dominan daripada perilaku
dominan. Minat, orientasi, dan perilaku bersama tersebut terjadi pada semua
konteks dalam kegiatan masyarakat, bisnis, politik, dan hubungan industrial
di rumah dan keluarga.

F. PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PERJANJIAN KERJA


BERSAMA

Beberapa pemangku kepentingan dalam perjanjian kerja bersama antara


lain pemerintah, pengusaha, serikat pekerja dan kerja sama, serta konsumen
dan masyarakat (Prasad, 2009).
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.25

1. Pemerintah
Dalam negara kolektif, perjanjian kerja bersama jarang ditemui. Dalam
sistem perekonomian terpusat ada ketakutan bahwa jika kesepakatan kerja
bersama hilang, akan ada distorsi dalam upah dan biaya karyawan. Oleh
karena itu, ada kecenderungan pemerintah mengatur peningkatan upah. Upah
merupakan pengendalian jangka pendek, sedangkan pengendalian jangka
panjang adalah mendapatkan penghasilan dan harga. Dalam sistem
pemerintahan demokrasi, perjanjian kerja bersama merupakan kebijakan
publik yang bertujuan mempromosikan hubungan harmonisasi dan kerja
sama, serta mendukung pertumbuhan.

2. Pengusaha
Pandangan manajer dan karyawan atau pengusaha dan serikat pekerja
berbeda dan bertentangan dalam situasi perjanjian kerja bersama. Jika
manajemen dan karyawan merealisasikan nilai kerja sama dan kolaborasi,
mereka suka menjadi konsultan yang lebih besar. Peningkatan upah dapat
dilakukan apabila ada perbaikan produktivitas dan profitabilitas perubahan/
organisasi. Menurut karyawan, upah harus selalu meningkat, padahal
peningkatan upah akan menyebabkan inflasi.

3. Karyawan dan Serikat Perdagangan


Perusahaan manufaktur pada umumnya mengadakan perjanjian kerja
bersama dalam menentukan upah, sedangkan dalam perusahaan jasa tidak
pernah ada perjanjian kerja bersama untuk menentukan tingkat upah. Oleh
karena itu, jarang perusahaan jasa yang tergabung dalam serikat pekerja.
Kekuatan tawar-menawar serikat pekerja tinggi bila input dan output
karyawan tidak dapat digantikan. Tujuan serikat pekerja adalah menjamin
upah dan manfaat bagi anggota. Semakin tinggi koordinasi dan sentralisasi
dalam perjanjian atau kesepakatan, maka semakin besar kecenderungan
untuk melihat beberapa moderasi dalam upah yang lemah dan kuat bagi
karyawan pada tingkat keahlian dan kesempatan yang sama.

4. Karyawan dan Masyarakat


Beberapa proses produksi dalam perusahaan sering kali di outsorcing ke
perusahaan lain yang memberikan kerja dan mengurangi biaya. Perjanjian
kerja bersama sering kali dipersepsikan sebagai konflik kepentingan.
3.26 Hubungan Industrial ⚫

Dampak perjanjian kerja bersama terhadap hubungan manajer dan karyawan


sulit digeneralisasi. Kesepakatan kerja bersama tidak dapat menyelesaikan
masalah manajer dan karyawan.
Negosiasi dilakukan bila ada kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga
dampaknya pada organisasi, perusahaan, atau serikat pekerja. Bila negosiasi
mengalami kemacetan karena pengaruh faktor luar seperti pemerintah, maka
pengendalian juga dijauhkan dari perusahaan. Perjanjian kerja bersama
merupakan metode untuk melindungi serikat pekerja dan mengamankan dan
memperbaiki kondisi kehidupan kerja para anggota. Partisipan dalam
perjanjian kerja bersama adalah karyawan atau perwakilan karyawan.
Perjanjian kerja bersama menyediakan peran prosedural dan substansial.
Peran prosedural mempunyai perhatian utama pada mekanisme yang terkait
dengan interpretasi dan implementasi perjanjian seperti menyelesaikan
konflik. Sementara peran substansial mempunyai perhatian utama pada
substansi perjanjian pada pasar dan hubungan manajerial. Perjanjian kerja
bersama lebih dipandang sebagai proses take and give daripada proses giving.
Oleh karena itu, perjanjian kerja bersama di masa mendatang tergantung pada
transformasi ke dalam proses kerja sama.
Penelitian mengenai perjanjian kerja bersama selalu lebih daripada studi
tentang proses negosiasi kontrak formal dan administrasi keluhan. Pada
intinya, studi perjanjian kerja bersama berhubungan dengan institusi di mana
karyawan, serikat pekerja, dan para karyawan menggunakannya untuk
menunjukkan minat, negosiasi, dan menyelaikan konflik dan bekerja
bersama. Yang mendasari perjanjian kerja bersama adalah tanggung jawab,
seperti menjelaskan secara akurat peristiwa dan perubahan penting, serta
menginterpretasikan dengan cara yang konsisten dengan nilai normatif dalam
studi tersebut.
Inovasi di tempat kerja yang baru menurut Ichinowski et al. (1996)
terdiri dari (a) yang berfokus pada usaha dan motivasi karyawan dan
kelompok kerja; (b) yang berfokus pada penggunaan informasi, pengetahuan,
dan keahlian karyawan; dan (c) yang menekankan perubahan pada struktur
organisasi dan praktek-praktek manajemen sumber daya manusia seperti
pengambilan keputusan, investasi dalam pelatihan, pengurangan supervisi
dan manajer, integrasi teknologi informasi dengan proses kerja dan desain
pekerjaan, dan sebagainya. Dari ketiga inovasi tersebut, penggunaan
informasi, pengetahuan, dan keahlian karyawan serta yang menekankan
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.27

perubahan pada struktur organisasi dan praktek-praktek manajemen sumber


daya manusia merupakan fokus utama. Namun demikian, yang berfokus pada
usaha dan motivasi karyawan dan kelompok kerja adalah yang paling sesuai
dengan Taylorisme (bekerja lebih keras) atau hubungan antar karyawan
(usaha atau motivasi lebih tinggi). Hal ini dapat meningkatkan usaha
karyawan (bekerja lebih keras) dan merupakan bagian dari proses tersebut,
serta dapat meningkatkan keterlibatan kerja dan komitmen. Penggambaran
sistem hubungan industrial atau pandangan teori pasar tenaga kerja
menekankan komplementaritas yang dihasilkan ketika faktor-faktor tersebut
dikombinasikan untuk menghasilkan sistem baru dan praktek-praktek di
tempat kerja.
Penelitian dalam hubungan industrial menggunakan berbagai asumsi
normatif seperti hubungan antarkaryawan yang melekat pada motif, berisi
konflik dan ketertarikan atau minat bersama yang mendapatkan solusi secara
periodik dan merupakan cara mencapai hasil yang terintegrasi. Memahami
bagaimana memerankan praktek ketenagakerjaan yang mempengaruhi minat
karyawan, pengusaha, dan masyarakat tetap merupakan tugas dalam teori dan
rekomendasi kebijakan institusional yang harus diinformasikan dengan
pemahaman. Karena ada konflik, kekuatan tetap merupakan pusat model
hubungan industrial.
Berbagai perubahan dalam hubungan industrial yang terkait dengan
pergeseran hubungan antarmanusia secara khusus. Untuk itu, diperlukan
pendekatan yang lebih holistik untuk mempelajari pekerjaan dan
hubungannya dengan institusi lain dalam masyarakat, khususnya hubungan
antara pekerjaan dan keluarga. Kontrak sosial diperlukan karena merupakan
karier jangka panjang, sehingga dapat meningkatkan loyalitas dan kinerja.
Strategi manajemen disusun untuk memfokuskan pada kompetensi inti dan
melakukan outsourcing untuk fungsi dan kegiatan lain.
Berbagai perubahan dalam hubungan industrial di abad 20 adalah
melibatkan modal karyawan atau manusia, menggunakan pengetahuan dan
keahlian yang merupakan sumber daya yang penting bagi perusahaan atau
organisasi. Perserikatan di masa mendatang dapat menimbulkan fungsi yang
lebih luas. Teori hubungan industrial yang baru dapat membantu hubungan
yang erat dengan pasar atau industri lain. Peran pemerintah sebagai aktor
dalam hubungan ketenagakerjaan dirasakan sangat penting.
3.28 Hubungan Industrial ⚫

LA TIH AN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan kesepakatan kerja bersama!
2) Jelaskan perbedaan antara kesepakatan integratif dan distributif!
3) Jelaskan proses kesepakatan kerja bersama karyawan dan manajemen
sebagai kegiatan politik!
4) Bagaimana pengaturan kesepakatan kerja bersama di Indonesia
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003?
5) Jelaskan peran lembaga-lembaga dalam hubungan industrial nasional
dalam kesepakatan kerja bersama!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Kesepakatan kerja bersama merupakan cara pengaturan bersama oleh


pengusaha atau pihak manajemen dan karyawan dalam organisasi.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, kesepakatan atau perjanjian kerja
bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara
serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja yang tercatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha,
atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
2) Kesepakatan integratif merupakan kesepakatan bersama untuk berbagi
informasi dan memperbaiki kinerja, sedangkan kesepakatan distributif
merupakan kesepakatan untuk menangkap kemampuan berbagi hasil.
3) Proses kesepakatan kerja bersama karyawan dan manajemen dipandang
sebagai suatu kegiatan politik paling tidak pada tiga cara. Meskipun
demikian, tidak ada upaya yang akan dilakukan untuk memformalkan
konten politik dari suatu teori. Menurut Perry dan Angel (1986), ketiga
cara tersebut adalah:
a. Politik tradisional yang berfokus pada pengaruh alokasi sumber
daya langka seperti siapa yang mendapatkan, apa yang diperoleh,
serta kapan dan dimana memperolehnya. Kesepakatan kerja bersama
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.29

seperti kekuatan personal lainnya yang memiliki implikasi pada


alokasi sumber daya yang langka.
b. Meskipun dibatasi pada teori organisasi dan perilaku organisasional,
terdapat paralel yang dekat antara teori politik dan teori organisasi.
Kesepakatan kerja bersama merupakan fenomena dalam organisasi
yang berkonotasi politik.
c. Fenomena tentang bargaining dipandang sebagai manifestasi politik
dalam organisasi. Politik dan organisasi merupakan pengelolaan
pengaruh untuk mendapatkan sangsi.
4) Pengaturan kesepakatan kerja bersama di Indonesia diatur dalam UU
No. 13 Tahun 2003 Pasal 50 sampai dengan Pasal 66.
5) Peran lembaga hubungan industrial dalam kesepakatan kerja bersama
adalah:
a. Lembaga kerja sama bipartit berfungsi sebagai forum komunikasi
dan konsultasi mengenai permasalahan ketenagakerjaan di
perusahaan
b. Lembaga kerja sama tripartit berfungsi sebagai forum komunikasi,
konsultasi, dan negosiasi baik ke dalam maupun ke luar organisasi.
c. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial berfungsi
menyelesaikan perselisihan karena perbedaan pendapat antara
pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja. Perselisihan tersebut
meliputi perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja,
dan perselisihan antarserikat pekerja.

RA NGK UMA N

1. Adanya kesepakatan kerja bersama menunjukkan bahwa hubungan


industrial yang ada dalam perusahaan tersebut telah berjalan dengan
baik. Tujuan utama kesepakatan kerja bersama adalah menentukan
kondisi tenaga kerja melalui negosiasi dan proses take and give.
2. Kesepakatan kerja bersama didasarkan pada berbagai teori yang ada
dan pembentukannya dipandang sebagai suatu proses politik dan
didahului oleh pembentukan serikat pekerja. Kesepakatan kerja
bersama dibentuk sebagai proses yang dilakukan secara berurutan.
3. UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 50 sampai dengan Pasal 66 mengatur
kesepakatan kerja bersama tersebut muai dari pemahaman
3.30 Hubungan Industrial ⚫

kesepakatan kerja bersama, pembentukan dan keanggotaan,


pelaksanaan, hingga pengakhiran kesepakatan kerja bersama
tersebut.
4. Di Indonesia dan di berbagai negara di dunia ini pada umumnya
memiliki lembaga-lembaga untuk melaksanakan kesepakatan kerja
bersama, baik antara pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja
maupun antara pihak internal dan eksternal perusahaan, serta
lembaga yang bertugas menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial. Pemangku kepentingan dalam kesepakatan kerja bersama
meliputi karyawan, pengusaha atau manajemen, pemerintah, dan
masyarakat.

TES FO RMA TIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Kesepakatan kerja bersama adalah ….


A. pengaturan kerja atau pekerjaan di tempat kerja
B. pengaturan kerja sama manajemen dan karyawan
C. pengaturan hubungan dan suasana di tempat kerja
D. penyediaan sumber informasi organisasi

2) Kesepakatan kerja bersama merupakan ….


A. kesepakatan formal dan informal
B. kesepakatan individual dan kolektif
C. kesepakatan yang timbul karena berbagai kesamaan
D. jawaban A dan B saja yang benar

3) Perlunya keterbukaan komunikasi, pengenalan bahwa hubungan tersebut


merupakan kesepakatan, dan memperhatikan kompromi adalah inti
dari ….
A. kesepakatan eksplisit
B. tacit bargaining
C. saling dapat menerima
D. kesepakatan perusahaan

4) Kesepakatan kerja bersama didahului dengan pembentukan ….


A. tindakan politis
B. pengenalan antarunit
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.31

C. pembentukan serikat pekerja


D. pembentukan hubungan industrial

5) Isu-isu kesepakatan meliputi hal-hal berikut, kecuali bersifat ….


A. perintah
B. mengizinkan
C. mensyaratkan
D. larangan

6) Berikut ini adalah beberapa ketentuan yang ada di dalam kesepakatan


kerja bersama, kecuali ….
A. dilaksanakan secara musyawarah
B. menggunakan Huruf Latin dan Bahasa Indonesia
C. bila tidak ada kesepakatan, maka dilakukan di pengadilan
D. bila ada satu serikat pekerja yang beranggotakan lebih dari 50%
anggota maka serikat pekerja tersebut berhak mewakil kesepakatan
kerja

7) Berikut adalah peran lembaga kerja sama bipartit, kecuali ….


A. menampung dan menyelesaikan keluh kesah
B. meningkatkan partisipasi pemerintah
C. mengoordinasi program gugus kendali mutu
D. menampung dan menyalurkan aspirasi pekerja

8) Tujuan lembaga kerja sama tripartit adalah ….


A. merumuskan saran kebijakan ekonomi dan sosial
B. menciptakan konflik membangun
C. mendorong peningkatan kualitas produk
D. melimpahkan kebijakan kepada yang relevan

9) Pemangku kepentingan dalam kesepakatan kerja adalah ….


A. pemerintah
B. pengusaha
C. serikat pekerja
D. semua jawaban tersebut benar

10) Fokus utama dalam inovasi adalah ….


A. praktek manajemen sumber daya manusia
B. modernisasi peralatan
C. penggunaan informasi
D. kondisi masa mendatang
3.32 Hubungan Industrial ⚫

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.33

Kegiatan Belajar 2

Negosiasi Perjanjian
A. NEGOSIASI DI TEMPAT KERJA

Negosiasi adalah proses yang terdiri dari minimal dua pihak dengan
kebutuhan dan pandangan yang berbeda yang mencoba mencapai
kesepakatan untuk mendapatkan keinginan bersama (Lee, 2005). Negosiasi di
tempat kerja dipandang sebagai kelompok penyelesaian masalah atau
sebagai pemrosesan konsensus (Fells, 1998), meskipun di dalamnya terdapat
dimensi persaingan. Negosiasi merupakan interaksi yang dilakukan dengan
sengaja dari dua atau lebih unit-unit sosial yang mencoba mendefinisikan
adanya saling ketergantungan atau interdependensi. Negosiasi merupakan
proses yang digunakan untuk menyelesaikan konflik antarberbagai pihak
dalam satu penyelesaian. Proses negosiasi dipandang sebagai bagian dari
pertukaran antar personal secara umum, sehingga dapat didukung dengan
program pelatihan yang baik yang dapat mendorong komunikasi
interpersonal (Watson et al, 1996). Negosiasi juga merupakan keahlian yang
dapat dipelajari dan merupakan bagian yang dapat disiapkan dengan baik
untuk mencapai tujuan.
Ada beberapa hal yang harus dipertahankan dalam negosiasi, yaitu
masalah bias gender, bila wanita menjadi bagian dalam negosiasi, dan adanya
hambatan bahasa. Negosiasi digunakan untuk mengidentifikasi elemen-
elemen situasi tawar-menawar atau kesepakatan yang mendorong
penyelesaian konflik (Neale & Bazerman, 1985). Secara rutin, negosiasi
berfokus pada perbedaan negosiator, proses yang menekankan pihak ketiga,
atau berbagai model normatif yang memprediksi perilaku negosiator. Akhir-
akhir ini, pendekatan saling mendapatkan dikembangkan untuk
meningkatkan kerja sama dalam negosiasi manajemen dan serikat pekerja
(Cutcher-Gershenfeld et al., 1996).
Menurut Kelleher (2003), ada empat pendekatan dalam negosiasi, yaitu
pembangunan yang tidak terkondisikan, menang-menang atau tanpa ada
kesepakatan, mediator oleh pihak ketiga, dan pendekatan sederhana untuk
bernegosiasi. Pendekatan pembangunan yang tidak terkondisikan dilakukan
bila tindakan organisasi merekonsiliasi perbedaan dengan mengabaikan
3.34 Hubungan Industrial ⚫

apakah bagian atau departemen atau orang lain menanggapi. Pendekatan


menang-menang atau tanpa kesepakatan dilakukan bila pihak-pihak yang
terlibat memperhatikan kolaborasi atau tidak ada keputusan. Sementara itu,
pendekatan negosiasi oleh pihak ketiga dilakukan bila ada pihak ketiga yang
dilibatkan dalam arbitrase. Pendekatan dasar negosiasi dilakukan bila satu
pihak memegang prinsip etika.
Tugas mencapai kesepakatan melalui negosiasi merupakan tugas yang
kompleks dengan mempertimbangkan pilihan dan hubungan yang terjadi di
antara berbagai pihak. Literatur mengenai negosiasi juga menyediakan
kerangka kerja untuk strategi bersaing dan penyelesaian masalah. Negosiator
mengharapkan adanya saling memberi dan menerima. Namun, ketika tiba
waktunya harus memberi, hal tersebut sulit dilakukan. Ada dua penyebab
yang dapat diidentifikasi (Fells, 2000). Pertama, para negosiator mungkin
setuju namun tidak mau mengatakannya. Kedua, negosiator hanya
memberikan tanda-tanda perubahan sikap.
Istilah hubungan industrial dan hubungan antarkaryawan merupakan
dua istilah yang dapat saling dipertukarkan (Karassavidou & Markovits,
1996). Aktor kunci dalam hubungan tersebut semula adalah perserikatan
dagang dan asosiasi majikan atau pengusaha, sekarang disebut manajemen
yang mencakup tanggung jawab individu, kelompok, atau organisasi untuk
mempromosikan tujuan atau sasaran pengusaha dan organisasi. Kegiatan
hubungan industrial sering kali didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda.
Pertama, hubungan industrial didefinisikan sebagai cara yang statis dan
restriktif yang hanya menekankan hubungan kolektif formal antara
manajemen dan karyawan yang berhubungan dengan distribusional termasuk
penghargaan ekonomi yang berhubungan dengan proses kerja dan pengaturan
kerja. Melalui pendekatan tersebut, inti hubungan industrial adalah adanya
konflik, sehingga hubungan industrial juga mencakup penyelesaian konflik.
Pengaturan karyawan dilakukan dengan cara:
1. Kesepakatan kerja bersama atau pengaturan bersama serikat pekerja dan
manajer, dipandang secara prinsip sebagai mekanisme untuk
menyelesaikan konflik dan pembuatan peraturan.
2. Keputusan unilateral oleh pengusaha atau serikat pekerja.
3. Keputusan individual (dalam ketiadaan hambatan pasar tenaga kerja).
4. Konsultasi bersama (adanya kesepakatan kerja bersama, aturan bersama
atau pengaturan bersama, dan aturan manajerial.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.35

Kedua, definisi hubungan industrial yang lebih luas merupakan bidang


studi interdisipliner dan praktek yang menekankan semua aspek hubungan
karyawan. Dalam pandangan ini terdapat studi sistematis karyawan sebagai
individu, kelompok karyawan, manajemen, serikat pekerja dan hubungan
antarmanajer, antarhubungan yang bersifat formal, informal, terstruktur, tidak
terstruktur dan lingkungan tempat semuanya ini berinteraksi. Definisi
hubungan industrial memang mengandung sifat pandangan keanekaan dalam
sasaran, minat, aspirasi, harapan, nilai, ideologi, partisipan, dan
ketergantungan antarlevel analisis yang berbeda, baik mikro, meso, maupun
makro.
Hubungan industrial dikonsentrasikan pada hubungan dan konflik antara
tiga faktor kunci, yaitu hubungan antara tenaga kerja, manajemen, dan
pemerintah. Fokus hubungan industrial meliputi pertukaran politik,
pertukaran ekonomi, dan pertukaran sosial. Pertukaran politik meliputi
corporatism dan neocorporatism. Pertukaran ekonomi meliputi sumber daya
yang dapat dihitung, minat, kewajiban khusus dan jangka pendek antara
manajemen dan karyawan. Pertukaran sosial menekankan pada perilaku
karyawan dan berada di luar sumber daya keuangan yang menunjukkan
sumber daya emosional seperti minat bersama yang tergantung pada tingkat
kepercayaan.
Struktur kesepakatan saat ini semakin terdesentralisasi. Meskipun
demikian, struktur tersebut mengalami perkembangan jangka panjang atau
lebih dari 13 tahun. Struktur kesepakatan menentukan (1) lingkup pasar
produk dan tenaga kerja; (2) ) isu-isu negosiasi; (3) isu-isu organisasi
internal; (4) kebijakan pemerintah; dan (5) pertimbangan faktor-faktor
kekuasaan (Eaton & Kriesky, 1998). Pemahaman teoritis tentang struktur
kesepakatan adalah merefleksikan pilihan karyawan dan manajemen ketika
preferensinya berbenturan dengan kekuasaan relatif dari satu bagian dan
menjatuhkan preferensinya pada bagian yang lain. Hendricks dan Kahn
(1982) menggunakan pendekatan empiris kuantitatif dan berfokus pada
karakteristik pasar produk dan tenaga kerja. Ada tiga faktor yang dapat
menjelaskan preferensi struktur kesepakatan, yaitu pasar atau ekonomi,
taktikal, dan organisasional.
3.36 Hubungan Industrial ⚫

B. JENIS DAN TIPE NEGOSIASI

Negosiasi merupakan proses dua atau lebih bagian saling berdebat,


saling menyerang, dan mengadakan konsesi untuk mendapatkan kesepakatan
yang dapat diterima. Pengertian negosiasi atau kesepakatan bersifat dapat
saling dipertukarkan. Walton dan McKensie memandang negosiasi sebagai
dua tahap proses, yaitu kesempatan awal untuk penyelesaian masalah
bersama yang diikuti dengan negosiasi untuk menyetujui perubahan Feels,
1998). Tiap tahapan dikarakteristikkan dengan kerja sama (kooperatif) atau
hubungan konfliktual. Ada empat tipe negosiasi (Bacon & Blyton, 2007),
yaitu kooperasi, konflik, campuran kooperasi mempengaruhi konflik, dan
campuran konflik mempengaruhi kooperasi. Pendekatan kooperasi dalam
penyelesaian masalah disebut dengan kesepakatan lunak untuk berbagi hasil.
Pendekatan konfliktual dalam penyelesaian masalah yang disebut
kesepakatan keras untuk berbagi hasil. Pendekatan ketiga, yaitu pendekatan
campuran, atau pendekatan kooperatif yang mempengaruhi konflik.
Pendekatan tersebut merupakan pendekatan kooperatif dalam penyelesaian
masalah dan kesepakatan keras untuk berbagi hasil. Pendekatan keempat
adalah pendekatan campuran, yaitu konflik yang mempengaruhi kooperatif.
Pendekatan tersebut merupakan pendekatan konfliktual untuk penyelesaian
masalah dan merupakan soft bargaining untuk berbagi hasil.
Ada beberapa teori yang mendasari pemahaman tentang negosiasi, yaitu
teori monopoli bilateral, yang digunakan oleh para ahli ekonomi dan
mendasari konsep kesepakatan distributif dan teori permainan (McKersie &
Walton, 1992). Negosiasi merupakan cara terpenting mengenai bagaimana
transaksi dilakukan dalam organisasi yang kompleks. Sementara itu,
negosiasi merupakan satu ciri hubungan industrial. Manajemen dan serikat
pekerja menggunakan proses negosiasi untuk dapat menangani isu. Ada dua
strategi kesepakatan Walton dan McKersie yaitu kesepakatan distributif dan
kesepakatan integratif yang merupakan dua strategi yang bersifat berurutan
dan bukan merupakan alternatif pembeda (Fells, 2000). Ada dua jenis
negosiasi, yaitu distributif dan integratif. Namun demikian, dalam
perkembangannya, negosiasi dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu
negosiasi distributif, integratif, sikap, dan negosiasi di dalam organisasi.
Teori keperilakuan Watson dan McKersie menyatakan adanya empat sistem
dalam kesepakatan bersama, yaitu kesepakatan distributif, kesepakatan
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.37

integratif, penstrukturan sikap, dan kesepakatan antarorganisasional (Smith


& Turkington, 1996 ).
Negosiasi distributif merupakan pendekatan yang berdasarkan pada
pandangan bahwa satu bagian hanya mendapatkan bagian yang mendasari
persaingan. Kesepakatan distributif merupakan proses untuk menyelesaikan
konflik kepentingan, dengan memaksimumkan kepentingan salah satu pihak.
Negosiasi distributif terjadi ketika masing-masing pihak mencoba
memaksimumkan hasil dengan mengalahkan apa yang dimenangkan bagian
lain. Negosiasi distributif berusaha membagi sumber daya yang jumlahnya
tetap atau disebut situasi menang-kalah. Tujuan negosiasi distributif adalah
mendapatkan bagian sebanyak mungkin dan motivasinya menang-kalah.
Negosiasi ini digunakan untuk melawan pihak lain, sehingga tidak ada
pembagian informasi dan jangka waktu negosiasinya pendek. Hasil penelitian
Peterson dan Tracy menunjukkan bahwa kesepakatan distributif akan sukses
apabila:
1. Negosiator merasa bahwa posisi atau kekuasaannya kuat.
2. Negosiator dapat mengestimasi bahwa kemacetan kerja tidak mahal.
3. Tim yang dimilikinya mempunyai komitmen terhadap posisinya.
4. Tim yang dimiliki jelas dan khusus pada posisi tertentu.

Negosiasi integratif merupakan proses dengan para pihak mencoba


mengeksplorasi pihak-pihak mereka untuk meningkatkan hasil bersama.
Negosiasi ini dilandasi oleh alasan bahwa kedua negosiator dapat bekerja
sama dan berkomunikasi secara terbuka serta dapat menemukan solusi yang
akan mendamaikan keinginan atau minatnya. Perdebatan strategi distributif
dan integratif menunjukkan dua pendekatan dengan dua alternatif yang jelas
dan dapat dipahami. Kesepakatan integratif menghendaki keterbukaan,
kepercayaan, dan komitmen terhadap proses (keterbukaan dan fleksibilitas).
Negosiasi integratif lebih memperhatikan kepentingan bersama atau saling
berkomplemen dan menyelesaikan masalah konfrontasi antara dua pihak.
Negosiasi integratif atau penyelesaian masalah tidak mengasumsikan konflik
fundamental atau sasaran antar bagian dan keberhasilannya tergantung pada
adanya beberapa kondisi psikologis seperti motivasi, informasi dan bahasa,
iklim, kepercayaan, dan dukungan. Keberhasilan negosiasi integratif
tergantung pada setiap pihak, karena setiap pihak harus mampu memberikan
informasi dan alternatif solusi.
3.38 Hubungan Industrial ⚫

Tujuan negosiasi integratif adalah memperbanyak bagian sehingga


semua pihak yang bernegosiasi mengalami kepuasan. Motivasi dalam
negosiasi ini adalah tercapainya kesepakatan menang-menang, sehingga
posisi para pihak yang bernegosiasi adalah sama. Dalam negosiasi integratif,
para pihak yang bernegosiasi saling berbagi informasi. Proses negosiasi
integratif tersebut merupakan proses yang lama dan mempertimbangkan
hubungan jangka panjang. Aspek kombinasi dalam negosiasi adalah
konfliktual murni dan kooperatif secara murni (Fells, 1998).
Selanjutnya, negosiasi mengenai sikap atau yang disebut penyusunan
sikap, menunjukkan upaya negosiator untuk mempengaruhi kualitas dan
bentuk atau ciri hubungan secara formal. Strukturisasi sikap merupakan
proses interpersonal dan sosioemosional di mana pihak-pihak mencoba
mengubah persepsi, sikap, dan iklim negosiasi orang lain. Dalam hal ini,
kepercayaan menjadi hal yang utama. Penstrukturan sikap merupakan proses
yang mempengaruhi model hubungan antarbagian atau antarpihak dengan
orientasi sikap sebagai teman, saling percaya, mau menanggapi, dan
motivasional. Penstrukturan sikap juga merupakan suatu sistem instrumen
kegiatan untuk mencapai kehidupan kerja antara berbagai pihak.
Penstrukturan sikap dapat berhasil apabila:
1. Pihak lain menilai kita sebagai rekan kerja yang ramah, dapat dipercaya,
mau menanggapi, dan logis.
2. Pihak lain mau memberikan pujian.
3. Kedua belah pihak bersikap bijaksana dalam menyikapi hubungan kerja
kedua belah pihak tersebut.
4. Semua pihak mau melakukan tindakan konstruktif dan suportif.

Negosiasi yang keempat adalah negosiasi di dalam organisasi, yaitu


menghargai keterbatasan peran beberapa negosiator dan merupakan sumber
konflik internal dalam negosiasi. Kesepakatan di dalam organisasi
merupakan proses yang mempengaruhi harapan tim untuk mencapai
kompromi yang diperlukan untuk keberhasilan negosiasi. Kesepakatan
integratif dijelaskan menggunakan teori konflik peraturan yang digunakan
untuk menyelesaikan ketidaksepakatan.
Negosiasi berdasarkan minat (interest-based negotiation atau IBN)
merupakan pendekatan terstruktur dalam penyelesaian masalah yang telah
digunakan lebih dari separo negosiator, baik karyawan dalam serikat pekerja
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.39

maupun manajemen terutama di sektor swasta (Cutcher-Gershenfeld et al.,


2004). IBN dipopulerkan oleh Fisher dan Ury (1981). Mereka mengusulkan
penggantian posisi negosiasi. Ada berbagai kesepakatan yang dapat dicapai
dalam IBN, yaitu:
1. Identifikasi isu dan minat penting setiap pihak.
2. Memperoleh dan memberikan informasi untuk menganalisis masalah.
3. Menyusun pilihan untuk menyelesaikan masalah.
4. Menentukan pilihan yang mendapatkan mutual gains tertinggi untuk
kedua pihak.

Perdebatan yang muncul dalam pendekatan tersebut adalah apakah IBN


merupakan teori negosiasi atau merupakan penerapan kesepakatan integratif
yang diperkenalkan pertama kali oleh Watson dan McKersie pada tahun
1965. Kritikannya adalah bagaimana praktek IBN berinteraksi dengan
dimensi negosiasi lain seperti kesepakatan distributif, kesepakatan
intraorganisasional, dan penstrukturan sikap. Selain itu, apakah IBN dapat
berinteraksi dengan teknik-teknik lain tersebut atau mengubah hubungannya
atau menggantinya sebagai pedoman baru dalam kesepakatan bersama.
Kenyataannya, IBN merupakan teknik yang digunakan dalam kesepakatan
integratif (McKersie et al., 2008).

C. PERAN PIHAK KETIGA DALAM NEGOSIASI

Apabila negosiasi antara dua pihak tidak mencapai kata sepakat,


kelompok atau organisasi yang bernegosiasi dapat melakukan langkah
alternatif dengan mengundang pihak lain. Pihak lain tersebut dapat
berkedudukan sebagai mediator, arbitrator, konsiliator, dan konsultan
(Robbins & Judgge, 2011). Menurut pemahamannya, pihak ketiga biasanya
tidak memiliki posisi keterlibatan kuat dalam penyelesaian perselisihan,
namun mencoba membantu pihak-pihak yang konflik.
Mediator merupakan pihak ketiga yang membantu memfasilitasi solusi
atas negosiasi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai alasan dan
persuasi, memberikan saran terhadap berbagai alternatif. Mediator berusaha
bertemu dengan pihak yang sedang berkonflik, baik secara bersama-sama
maupun secara terpisah untuk menemukan pemahaman mendasar yang
memuaskan semua pihak (Greenberg & Baron, 2008). Mediator tidak akan
3.40 Hubungan Industrial ⚫

menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi menemukan
tahapan untuk mencari solusi. Mediator tidak memiliki kekuasaan dan tidak
menentukan kesepakatan. Keberhasilan mediasi merupakan kunci
keberhasilan negosiasi.
Mediasi melibatkan pihak ketiga untuk membantu kesepakatan antara
pihak-pihak yang konflik. Mediasi merupakan teknik yang disusun untuk
menyelesaikan konflik dalam pengelolaan karyawan dan bidang-bidang yang
bersifat internasional, serta merupakan pendekatan yang populer dalam
menyelesaikan konflik interpersonal seperti mediasi dalam masyarakat. Ada
dua cara menilai keberhasilan mediasi, yaitu keberhasilan jangka pendek dan
keberhasilan jangka panjang. Keberhasilan jangka pendek dilihat dengan
memperhatikan hasil yang segera dapat diobservasi pada waktu mediasi,
misalnya kesepakatan, kualitas kesepakatan, dan perasaan puas setelah
kesepakatan dilakukan dengan mediasi. Sementara itu, keberhasilan jangka
panjang dilihat dengan memperhatikan penerapan hasil yang dapat
diobservasi setelah interval waktu tertentu, misalnya, apakah para pihak yang
berkonflik tunduk atau mematuhi kesepakatan; atau apakah ada perbaikan
hubungan dan tidak timbulnya permasalahan lebih lanjut setelah dilakukan
mediasi. Keberhasilan jangka pendek didukung atau diciptakan dengan
motivasi untuk mencapai kesepakatan dan komitmen terhadap mediasi.
Tujuan mediasi adalah mencapai kesepakatan, mencapai win-win solution,
dan semua pihak merasa puas terhadap mediasi tersebut.
Menurut Zubek et al. (1992), ada tiga cara mediator dapat
mengintervensi secara efektif untuk memfasilitasi penyelesaian konflik,
yaitu:
1. Menyusun laporan dengan pihak yang berselisih. Beberapa metode
penyusunan laporan, yaitu:
a. Memproyeksikan citra mengenai keahlian yang mendorong persepsi
kredibilitas dan legitimasi mediator.
b. Menyediakan jaminan mengenai bahaya suatu cara kerja.
c. Menunjukkan empati terhadap para pihak melalui ekspresi verbal
dan nonverbal mengenai perhatian pada kesejahteraan, pemahaman
situasi, dan penentuan reaksi emosional.
2. Mengarahkan isu-isu dan mendorong para pihak yang sedang berselisih/
berkonflik untuk berpikir tentang isu tersebut. Mediator dapat membantu
mengidentifikasi dan membantu menentukan isu tersebut sebagai
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.41

permasalahan yang dapat diselesaikan. Mediator juga dapat mendorong


pikiran dan menantang pihak yang berkonflik untuk menyusun ide-ide
baru atau meminta reaksi terhadap ide baru yang dilontarkan dari sumber
lain.
3. Menekan pihak yang sedang berselisih/berkonflik untuk mencapai
kesepakatan khusus yang mengarah ke bentuk kesepakatan umum.
Pengalaman mediator cenderung mempengaruhi persepsi para pihak
sebagai kredibel dan dapat dipercaya.

Sementara itu, arbitrator merupakan pihak ketiga yang mempunyai


otoritas menentukan kesepakatan. Arbitrase dapat bertindak secara sukarela,
karena diminta, ataupun kewajiban. Kewenangan arbitrator bervariasi sesuai
dengan peran yang disusun oleh negosiator. Ada empat jenis arbitrase, yaitu
arbitrase mengikat, arbitrase sukarela, arbitrase konvensional, dan arbitrase
penawaran akhir (Greenberg & Baron, 2008). Arbitrase mengikat merupakan
bentuk arbitrase oleh dua pihak yang setuju untuk menerima apapun yang
diusulkan oleh arbitrator. Arbitrase sukarela merupakan arbitrase oleh kedua
pihak yang bebas menerima atau menolak kesepakatan yang direkomendasi
oleh arbitrator kepada pihak yang konflik. Arbitrase konvensional merupakan
bentuk arbitrase yang menawarkan seperangkat kesepakatan. Arbitrase
penawaran akhir merupakan bentuk arbitrase oleh arbitrator yang memilih di
antara beberapa tawaran kesepakatan yang dibuat oleh pihak yang berkonflik.
Konsiliator merupakan pihak ketiga yang menyediakan hubungan
komunikasi informal antara negosiator dan lawannya. Konsiliasi digunakan
dalam perselisihan keluarga, karyawan, dan masyarakat. Konsultan
merupakan pihak ketiga yang ahli dan tidak memihak yang membantu
memfasilitasi penyelesaian masalah melalui komunikasi dan analisis, yang
didukung pengetahuan mengenai manajemen konflik.
Hasil mediasi adalah kepuasan semua pihak. Penyelesaian masalah
memerlukan upaya bersama dengan mengembangkan adanya saling sepakat.
Penyelesaian masalah bersama hanya dimungkinkan bila para pihak saling
percaya dan berkomunikasi secara terbuka. Dalam konflik yang meluas,
perubahan teknologi sulit terjadi, meskipun bukan tidak mungkin akan
menggantinya. Selanjutnya, terdapat perilaku yang menghambat keberhasilan
negosiasi, yaitu perilaku permusuhan dan perilaku suka bertengkar. Kedua
perilaku tersebut menunjukkan perilaku membela diri dan kepercayaan diri
3.42 Hubungan Industrial ⚫

yang rendah yang menyebabkan negosiasi dan kesepakatan tidak dapat


tercapai. Membela diri adalah mengalihkan energi dari tugas menyelesaikan
masalah dan ketidakpercayaan menyebabkan para pihak tidak mau berbagi
informasi dan mengubah informasi, sehingga sulit mengembangkan solusi
tingkat tinggi. Permusuhan dan pertengkaran juga dapat mengurangi
perhatian pada orang lain dan motivasinya dalam menyelesaikan masalah.
Permasalahan lain dalam negosiasi adalah adanya isu yang sifatnya
tampak (tangibles) dan isu yang tidak tampak (intangible) (Zubek et al.,
1992). Isu yang tampak merupakan elemen konkret dalam suatu kasus yang
cenderung merupakan agenda formal seperti uang, properti, dan perilaku
yang tidak menyenangkan. Isu yang tidak tampak merupakan isu
nonsubstantif dalam negosiasi yang diturunkan dari kebutuhan psikologis
berbagai pihak, misalnya perhatian pada pemaparan diri, kebutuhan untuk
rasa aman atau dikenal, isu emosional mengenai masalah hubungan, dan
persepsi benar-salah yang berasal dari nilai keyakinan mengenai dunia. Isu
strategik dapat merefleksikan masalah prinsip seperti pesan moral, keyakinan
tentang hak, dan standar normatif.
Sementara itu, persepsi mengenai hubungan yang meluas ke arah
kecenderungannya di masa mendatang yang mendorong motivasi untuk
menyelesaikan masalah dan meningkatkan potensi integratif persepsian.
Kepercayaan merupakan kondisi yang penting dalam penyelesaian masalah
yang merupakan hasil persepsi bahwa dua pihak telah berbagi minat atau
keinginan. Norma kerja sama meningkat ketika para pihak mengantisipasi
interaksi masa mendatang daripada ketika mereka tidak mengantisipasi
interaksi tersebut sehingga dapat mengembangkan solusi menang-menang.
Dalam lingkungan yang terdapat serikat pekerja, terdapat tiga bentuk
restrukturisasi sektor publik yang dapat diidentifikasi dengan keterlibatan,
yaitu dengan pendekatan kerja sama, kesepakatan permusuhan, atau solusi
melalui perundang-undangan atau peraturan (Hebdon & Mazcrolle, 2003).
Dalam konteks restrukturisasi, terdapat kebutuhan untuk menguji kelemahan
dalam prosedur penyelesaian perselisihan di sektor publik. Arbitrase
kepentingan misalnya, merupakan bentuk umum penyelesaian konflik yang
menekankan pada konflik sektor publik dan memiliki beberapa mekanisme
yang efektif untuk menyelesaikan keluhan melalui perubahan fundamental
dalam kondisi kerja karyawan.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.43

Selain itu, arbitrase kepentingan merupakan suatu konteks di mana


arbitrase hanya merupakan suatu konteks atau hanya merupakan satu pilihan
di antara berbagai prosedur penyelesaian keluhan. Beberapa kriteria
keefektifan penyelesaian keluhan dapat diterapkan, seperti pandangan para
pihak yang berkonflik, frekuensi penggunaan prosedur penyelesaian keluhan
dan dampaknya bagi kesepakatan kolektif, kemampuan mengurangi konflik
dan mencegah pemogokan, serta keberhasilan dalam penyelesaian keluhan
atau masalah.
Kesepakatan atau perjanjian bersama dan arbitrase keluhan dikenal
sebagai komponen utama dalam sistem pelayanan yang dikendalikan oleh
serikat pekerja dan majikan. Perjanjian bersama menyusun sistem dan norma
untuk mengatur hubungan di tempat kerja. Arbitrase keluhan menyusun
bentuk keputusan hakim pribadi untuk menjamin aplikasi norma-norma
tersebut dari keinginan semua pihak. Paradigma klasik mengenai arbitrase
keluhan memperlakukan perjanjian bersama sebagai bentuk pengaturan
pribadi yang mengatur karyawan dalam kesepakatan anggota unit. Serikat
pekerja dan manajer memiliki akses dalam arbitrase yang dapat memperbesar
perjanjian bersama.

LA TIH AN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan negosiasi!
2) Jelaskan hubungan antara hubungan industrial dan negosiasi!
3) Jelaskan empat tipe negosiasi!
4) Jelaskan teori-teori yang mendasari negosiasi!
5) Jelaskan peran pihak ketiga dalam negosiasi!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Negosiasi adalah proses yang terdiri dari minimal dua pihak dengan
kebutuhan dan pandangan yang berbeda yang mencoba mencapai
kesepakatan untuk mendapatkan keinginan bersama. Negosiasi di tempat
kerja dipandang sebagai kelompok penyelesai masalah atau sebagai
3.44 Hubungan Industrial ⚫

proses kesepakatan, meskipun di dalamnya terdapat dimensi persaingan.


Negosiasi merupakan interaksi yang dilakukan dengan sengaja dari dua
atau lebih unit-unit sosial yang mencoba mendefinisikan adanya saling
ketergantungan atau interdependensi.
2) Pertama, hubungan industrial didefinisikan sebagai cara yang statis dan
restriktif yang hanya menekankan hubungan kolektif formal antara
manajemen dan karyawan yang berhubungan dengan distribusional
termasuk penghargaan ekonomi yang berhubungan dengan proses kerja
dan pengaturan kerja. Melalui pendekatan tersebut, inti hubungan
industrial adalah adanya konflik, sehingga hubungan industrial juga
mencakup penyelesaian konflik. Pengaturan karyawan dilakukan dengan
cara:
a. Kesepakatan kerja bersama atau pengaturan bersama serikat pekerja
dan manajer, dipandang secara prinsip sebagai mekanisme untuk
menyelesaikan konflik dan pembuatan peraturan.
b. Keputusan unilateral oleh pengusaha atau serikat pekerja.
c. Keputusan individual (dalam ketiadaan hambatan pasar tenaga
kerja).
d. Konsultasi bersama (adanya kesepakatan kerja bersama, aturan
bersama dan aturan manajerial.
Kedua, definisi hubungan industrial yang lebih luas merupakan bidang
studi interdisipliner dan praktek yang menekankan semua aspek
hubungan karyawan.
3) Ada empat tipe negosiasi, yaitu kooperasi, konflik, campuran kooperasi
mempengaruhi konflik, dan campuran konflik mempengaruhi kooperasi.
Pendekatan kooperasi dalam penyelesaian masalah disebut dengan soft
bargaining untuk berbagi hasil. Pendekatan konfliktual dalam
penyelesaian masalah yang disebut hard bargaining untuk berbagi hasil.
Pendekatan ketiga, yaitu pendekatan campuran, atau pendekatan
kooperatif yang mempengaruhi konflik. Pendekatan tersebut merupakan
pendekatan kooperatif dalam penyelesaian masalah dan hard bargaining
untuk berbagi hasil. Pendekatan keempat adalah pendekatan campuran,
yaitu konflik yang mempengaruhi kooperatif. Pendekatan tersebut
merupakan pendekatan konfliktual untuk penyelesaian masalah dan
merupakan soft bargaining untuk berbagi hasil.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.45

4) Ada beberapa teori yang mendasari pemahaman tentang negosiasi, yaitu


teori monopoli bilateral (bilateral monopoly theory), yang digunakan
oleh para ahli ekonomi dan mendasari konsep kesepakatan distributif dan
teori permainan. Negosiasi merupakan cara terpenting mengenai
bagaimana transaksi dilakukan dalam organisasi yang kompleks.
Sementara itu, negosiasi merupakan satu ciri hubungan industrial.
Manajemen dan serikat pekerja menggunakan proses negosiasi untuk
dapat menangani isu. Ada dua strategi kesepakatan Walton dan
McKersie yaitu kesepakatan distributif dan kesepakatan integratif. Dua
strategi yang bersifat berurutan dan bukan merupakan alternatif berbeda.
Ada dua jenis negosiasi, yaitu distributif dan integratif. Namun
demikian, dalam perkembangannya, negosiasi dapat dibagi menjadi
empat jenis, yaitu negosiasi distributif, integratif, sikap, dan negosiasi di
dalam organisasi. Teori keperilakuan Watson dan McKersie menyatakan
adanya empat sistem dalam kesepakatan bersama, kesepakatan
distributif, kesepakatan integratif, penstrukturan sikap, dan kesepakatan
intraorganisasional.
5) Pihak lain dapat berkedudukan sebagai mediator, arbitrator, konsiliator,
dan konsultan. Menurut pemahamannya, pihak ketiga biasanya tidak
memiliki posisi keterlibatan kuat dalam penyelesaian perselisihan,
namun mencoba membantu pihak-pihak yang konflik. Mediator
merupakan pihak ketiga yang membantu memfasilitasi solusi atas
negosiasi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai alasan dan
persuasi, memberikan saran terhadap berbagai alternatif. Mediator
berusaha bertemu dengan pihak yang sedang berkonflik, baik secara
bersama-sama maupun secara terpisah untuk menemukan pemahaman
mendasar yang memuaskan semua pihak.
Mediator tidak akan menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah,
tetapi menemukan tahapan untuk mencari solusi. Mediator tidak
memiliki kekuasaan dan tidak menentukan kesepakatan. Keberhasilan
mediasi merupakan kunci keberhasilan negosiasi.
Arbitrator merupakan pihak ketiga yang mempunyai otoritas
menentukan kesepakatan. Arbitrase dapat bertindak secara sukarela,
karena diminta, ataupun kewajiban. Kewenangan arbitrator bervariasi
sesuai dengan peran yang disusun oleh negosiator. Ada empat jenis
arbitrase, yaitu arbitrase mengikat, arbitrase sukarela, arbitrase
3.46 Hubungan Industrial ⚫

konvensional, dan arbitrase penawaran akhir. Arbitrase mengikat


merupakan bentuk arbitrase. Kedua pihak setuju untuk menerima apapun
yang diusulkan oleh arbitrator. Arbitrase sukarela merupakan arbitrase
oleh kedua pihak yang bebas menerima atau menolak kesepakatan yang
direkomendasi oleh arbitrator kepada pihak yang konflik. Arbitrase
konvensional merupakan bentuk arbitrase yang menawarkan seperangkat
kesepakatan. Sedangkan arbitrase penawaran akhir merupakan bentuk
arbitrase oleh arbitrator yang memilih di antara beberapa tawaran
kesepakatan yang dibuat oleh pihak yang berkonflik.
Konsiliator merupakan pihak ketiga yang menyediakan hubungan
komunikasi informal antara negosiator dan lawannya. Konsiliasi
digunakan dalam perselisihan keluarga, karyawan, dan masyarakat.
Konsultan merupakan pihak ketiga yang ahli dan tidak memihak yang
membantu memfasilitasi penyelesaian masalah melalui komunikasi dan
analisis, yang didukung pengetahuan mengenai manajemen konflik.

RA NGK UMA N

Negosiasi adalah proses yang terdiri dari minimal dua pihak


dengan kebutuhan dan pandangan yang berbeda yang mencoba
mencapai kesepakatan untuk mendapatkan keinginan bersama.
Negosiasi didasarkan pada beberapa teori, seperti teori monopoli
bilateral, teori permainan, dan teori keperilakuan. Ada empat
pendekatan dalam negosiasi, yaitu unconditionally constructive, win-
win or no dea, third party mediator, dan principled approach to
negotiations. Selain itu, terdapat empat tipe negosiasi yang dapat
digunakan, yaitu kooperasi, konflik, campuran kooperasi
mempengaruhi konflik, dan campuran konflik mempengaruhi
kooperasi. Kemudian, ada empat sistem dalam kesepakatan bersama
melalui negosiasi yaitu negosiasi distributif, integratif, penstrukturan
sikap, dan negosiasi intraorganisasional. Negosiasi juga membutuhkan
pihak ketiga yang memiliki peran berbeda-beda sesuai dengan
tujuannya. Pihak ketiga tersebut dapat berfungsi sebagai mediator,
arbitrator, konsiliator, dan konsultan.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.47

TES FO RMA TIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Berikut ini merupakan pendekatan dalam negosiasi, kecuali ....


A. mediasi oleh pihak ketiga
B. menang-menang
C. saling mendapatkan hasil
D. perbaikan yang tidak kondisional

2) Inti hubungan industrial adalah ....


A. damai
B. konflik
C. kerja sama
D. bersaing

3) Pengaturan karyawan dilakukan dengan cara ....


A. keputusan individual karyawan tanpa syarat
B. keputusan unilateral oleh pengusaha atau serikat pekerja
C. kesepakatan bersama untuk menyelesaikan konflik
D. jawaban B dan C benar

4) Berikut ini adalah fokus hubungan industrial, kecuali pertukaran ....


A. hasil
B. sosial
C. politik
D. ekonomi

5) Pendekatan kooperatif dalam penyelesaian masalah disebut ....


A. kesepakatan lunak
B. kesepakatan keras
C. kesepakatan yang menimbulkan konflik
D. monopoli dua pihak

6) Tujuan negosiasi adalah mendapatkan bagian sebanyak mungkin dan


motivasinya menang kalah adalah ciri ....
A. negosiasi integratif
B. negosiasi distributif
C. penyelesaian masalah
D. menimbulkan konflik secara murni
3.48 Hubungan Industrial ⚫

7) Penstrukturan sederhana berhasil apabila ....


A. kedua pihak bekerja sama
B. semua pihak konstruktif dan sportif
C. pihak lain mau memberikan pujian
D. A, B, C benar

8) Pihak ketiga yang tidak memiliki kekuasaan, tidak menentukan


kesepakatan, dan tidak menentukan siapa yang menang dan siapa yang
kalah adalah ....
A. konsultan
B. arbitrator
C. konsiliator
D. mediator

9) Pihak ketiga yang menyediakan komunikasi informal antara negosiator


dan lawannya adalah ....
A. konsultan
B. arbitrator
C. konsiliator
D. mediator

10) Berikut ini adalah jenis arbitrase, kecuali arbitrase ....


A. mengikat
B. konvensional
C. atas dasar permintaan
D. sukarela

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.49

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
3.50 Hubungan Industrial ⚫

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) B 1) C
2) D 2) B
3) A 3) B
4) C 4) A
5) C 5) A
6) C 6) B
7) B 7) D
8) A 8) D
9) D 9) C
10) A 10) C
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.51

Daftar Pustaka
Abdussalam, H.R. (2009). Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan).
Jakarta: Restu Agung.

Bacon, N. dan Blyton, P. (2007). Conflict for Mutual Gains? Journal of


Management Studies, 44 (5): 814-834.

Barbash, J. (1976). Collective Bargaining and the Theory of Conflict. British


Journal of Industrial Relations : 82-90.

Beaumont, P.B. dan Harris, R.I. (1996). Good Industrial Relations, Joint
Problem Solving and Human Resource Management. Relations
Industrielle, 51 (2): 391-4030.

Bluen, S.D. dan Jubiler-Lurie, V.G. (1990). Some Consequenes of Labor-


Management Negotiations: Laboratory Fields Study. Journal of
Organizational Behavior,11 : 105-118.

Clarke, L. dan Haiven, L. (1999). Workplace Change and Continuous


Bargaining. Relations Industrielle, 54 (1): 168-193.

Cutcher-Gersenfeld, J; McHug, P.; Power, D. (1996). Collective Bargaining


in Small Firm: Preliminary Evidence of Fundamental Change. Industrial
and Labor Relations Review, 49 (2): 195-212.

Eaton, A.E. dan Kriesky, J. (1998). Decentralization of Bargaing Structure:


for Cases from the U.S. Paper Industry. Relations Industrielle, 53 (3):
486-516.

Fells, R. (1998). Overcoming Dilemmas in Walton and McKersie’s Mixed


Bargaining Strategy. Industrial Relations, 53 (2): 300-322.

Fells, R. (2000). Labour-Management Negotiation: Some Insight Into


Strategy and Language. Relations Industrielle, 5(4): 583-608.
3.52 Hubungan Industrial ⚫

Flanders, A. (1976). Collective Bargaining: A Theoretical Analysis. British


Journal of Industrial Relations : 1-26.

Fossum, J.A. (1987). Labor Relations: Research and Practice in Transition.


Journal of Management, 13 (2) : 281-299.

Fossum, J.A. (2009). Labor Relations: Development, Structure, Process, 10th


edition. New York: McGraw-Hill/Irwin.

Glassman, A.M. (1986). Research on Collective Bargaining in The Public


Sector: New Directions. Academy of Management Journal, 15 (3): 375-
378.

Gordon, M.E. dan Denisi, A.S (1993). Reexamination of The relationship


Between Union Membership and Job Satisfaction. Industrial & Labor
Relations Review, 48 (2).

Greenberg, J. dan Barron, R.A. (2008). Behavior In Organizations, 9th


edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.

Harre, L. (1999). Why Colective Bargaining? The Alliance View. New


Zelland Journal of Industrial Relations, 24 (2): 181-196.

Haryani. S. (2002). Hubungan Industrial di Indonesia. Yogyakarta: AMP


YKPN.

Hebdon, R.P. dan Mazerolle, M. (2003). Regulating Conflict in Public Sector


Labor Relations: the Ontario Experience. Industrial and Labor Relations
Review, 58 (4): 667-705.

Hendricks, W.E. dan Kahn, L.M. (1982). The Determinants of Bargaining


Structure in US Manufacturing Industries. Industrial and Labor Relations
Review, 35 (2): 181-195.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.53

Ichinowski, C.; Kochan, T.A.; Levine, D.; Olson, C.; dan Straus, G. (1996).
What Works at Work: Overview & Assessment. Industrial Relations, 25
(3): 356-374.

Ichniowski, C. (1986). The Effects of the Grievance Acting on Productivity.


Industrial and Labor Relations Review, 40 (1): 75-89.

Karassavidou, E. dan Markovits, Y. (1996). The Evolution of Dispute


Resolution, Negotiation, and Mediation in Greece. Relations Industrielle,
51 (2): 357-389.

Kelleher, T. (2003). Personal Relations and Conflict: A Theoretical Review


and Case Study of 2010 University of Hawaii Faculty Strike. Journal of
Communication Management, 8 (2): 184-196.

Kochan, T.A. (2000). Communications: On the Paradigm Guiding Industrial


Relations Theory and Research. Industrial and Labor Relations Review,
53 (4): 704-711.

Kozina, L.M. (2008). Social Labor Relations in Small and Medium Size
Business. Sociological Research, 47 (6): 76-90.

Lee, J.C. (2005) Guidelines for Effective Negotiations with Korean


Managers: A Conceptual Analysis. International Journal of
Management, 22 (1): 11-16.

Mao, H.; Chen, C.; dan Hsieh, T. (2009). The Relationship Between
Bureaucracy and Workplace Friendship. Social Behavior and
Personality, 37 (2): 255-266.

McKersie, R. dan Walton, R. (1992). A Retrospective Bargaining on the


Behavioral. Theory of Labor Negotiations. Journal of Organizational
Behavior, 113: 277-285.
3.54 Hubungan Industrial ⚫

McKersie, R.B.; Sharpe, T.; Kochan, T.A.; Eaton, A.E.; Strauss, G.; dan
Morgenstern, M. (2008). Bargaining Theory Meets Interest-Based
Negotiations: A Case Study. Industrial Relations, 47 (1): 66-96.

Neale, M.A. dan Bazerman, M.H. (1985). The Effects of Framing and
Overconfidence on Bargaining, Behavior, and Outcome.

Nomden, K.; Farnham, D.; dan Onhee-Abbruciati, M.L. (2003). Collective


Bargaining in Public Services: Some European Comparrisons.
International Journal of Public Sector Management, 16 (6):412-423.

O’Donoghue, T.A. dan Clarke, S. (1999). School Enterprise Bargaining and


the Need for Qualitative Research: Some Reflection from Australia. The
International Journal of Educational Management, 13 (1): 45-56.

Peetz, D. (2005). Co-operative Value, Institutions, and Free Riding in


Australia: Can It Learn from Canada?. Relations Industrielle, 60 (4):
709-736.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2005.

Perry, J.L. dan Angel, H.L. (1986). The Politics of Organizational Boundary
Roles in Collective Bargaining. Academy of Management Review, 4 (4):
487-498.

Prasad, V.V.D. (2009). Collective Bargaining: Its Relationship to


Stakeholders. The Indian Journal of Industrial Relations, 43 (2): 195-
202.

Robbins, S. P. dan Judge, T.A. (2011). Organizational Behaviour 14th


edition). New Jersey : Prentice-Hall International, Inc.

Simanjuntak, P.J. (2009). Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Jala


Permata Aksara.
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.55

Smith, D.F. dan Turkington, D.J. (1996). Testing of Behavioral Theory of


Bargaining: An International Comparative Study. British Journal of
Industrial Relations.

Suwarto (2009). Hubungan Industrial dalam Praktek. Jakarta: Asosiasi


Hubungan Industrial Indonesia.

Trampusch, C. (2007). Industrial Relations as A Source of Social Policy: A


Typology of the Institutional Conditions for Industrial Agreements on
Social Benefits. Social Policy & Administration, 41 (3): 251-270.

Undang-undang No. 20 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat


Buruh.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat


Buruh.

Watson, R.K.; Hairnes, H.M.; Bretherton, D. (1996). Effects of Interpersonal


Communication ProcessVariables on Outcomes in An International
Conflict Negotiation. The Journal of Social Psychology, 136(4): 483-
291.

Zubek, J.M.; Pruitt, D.G.; dan Peites, R.S. (1992). Disputant and Mediator
Behaviors Affecting Short-Term Success in Mediation. The Journal of
Conflict Resolution, 36 (3): 546-572.
Modul 4

Biaya Kontrak Perburuhan

Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E., M.T.

PEN D A HU L UA N

P emberian penghargaan kepada karyawan merupakan salah satu upaya


memotivasi karyawan. Ada berbagai dasar pemberian penghargaan bagi
karyawan, misalnya berdasarkan prestasi kerja atau kinerja, masa kerja, jam
kerja, dan masih banyak lagi. Penghargaan yang diberikan juga meliputi
pemberian upah atau gaji yang meliputi upah minimum, gaji pokok, upah
berdasarkan produktivitas karyawan, dan masih banyak lagi. Selain itu,
pengusaha atau manajer memberikan perlindungan berupa keselamatan,
kesehatan, dan kesejahteraan karyawan, serta memberikan jaminan sosial
bagi karyawan.
Modul 4 ini merupakan kelanjutan dari Modul 3 yang membahas
mengenai pemberian penghargaan kepada karyawan dan isu mengenai gaji
dan upah serta tunjangan. Secara khusus, setelah mempelajari modul ini,
Anda diharapkan mampu menjelaskan:
1. Kualitas Kehidupan Kerja Karyawan.
2. Pemberian Penghargaan dan Pemberdayaan Karyawan.
3. Upah atau Gaji.
4. Keamanan, Keselamatan, dan Kesehatan Kerja.
5. Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
6. Isu-isu Gaji, Upah, dan Berbagai Jaminan Bagi Karyawan.
4.2 Hubungan Industrial ⚫

Kegiatan Belajar 1

Pemberian Penghargaan pada Karyawan

A. KUALITAS KEHIDUPAN KERJA KARYAWAN

Kualitas kehidupan kerja membahas masalah frustrasi, kebosanan,


marah, dan seterusnya yang berpengaruh pada biaya individu dan organisasi.
Pembahasan kualitas kehidupan kerja karyawan berkaitan dengan pemberian
penghargaan. Penghargaan yang diberikan kepada karyawan harus
menggunakan dasar pertimbangan yang dapat dijelaskan kepada karyawan
secara terbuka. Pengetahuan tentang pemberian penghargaan berhubungan
positif dengan kinerja karyawan, sedangkan pengetahuan tentang pemberian
penghargaan di masa lalu berhubungan positif dengan harapan di masa
mendatang (Fossum, 1979). Menurut Walton (1986), ada delapan kriteria
kualitas kehidupan kerja, yaitu:
1. Kecukupan dan Keadilan Kompensasi
Keadilan berarti kesesuaian dengan evaluasi pekerjaan dan tanggung
jawab pekerjaan.
2. Keamanan dan Kesehatan Kondisi kerja
Hal ini meliputi aturan kepegawaian, standar kerja, kondisi fisik tempat
kerja yang aman dan terhindar dari kecelakaan, dan batasan umur
minimal bekerja.
3. Kesempatan Menggunakan dan Mengembangkan Kemampuan
Karyawan
Merupakan tingkat otonomi karyawan, kemungkinan mengembangkan
keahlian dan pengetahuan karyawan
4. Kesempatan masa mendatang untuk melanjutkan pertumbuhan dan
keamanan merupakan kesempatan promosi, tahapan jenjang karier
karyawan, dan kesempatan pengembangan pengetahuan.
5. Integrasi sosial dalam organisasi kerja
Integrasi sosial dalam organisasi kerja ini, meliputi:
a. Kebebasan dari prasangka, yaitu penerimaan karyawan sesuai
dengan yang terkait dengan pekerjaan seperti sifat atau kepribadian,
keahlian, pengetahuan atau kemampuan, dan menghindari perlakuan
yang berbeda berdasarkan ras, gender, negara atau asal, agama, gaya
hidup, dan penampilan fisik.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.3

b. Egalitarianisme, yaitu tidak adanya pembagian atau pengelom-


pokkan dalam organisasi dalam hal status dan struktur hierarki.
c. Mobilitas, yaitu keberadaan mobilitas seperti persentase karyawan
pada berbagai tingkatan yang berpotensi meningkatkan kualitasnya.
d. Dukungan kelompok utama, yaitu keanggotaan dalam kelompok
kerja secara langsung (tatap muka) dengan saling membantu,
memberikan dukungan sosial, dan emosional dalam keunikan setiap
individu.
e. Komunitas, yaitu merasa menjadi anggota komunitas suatu
organisasi.
f. Keterbukaan interpersonal, yaitu cara anggota organisasi di tempat
kerjanya saling terbuka dalam ide dan perasaan.
6. Undang-undang di tempat kerja (dalam organisasi kerja)
Terkait dengan aspek-aspek konstitusionalisme, terdapat empat kualitas
kehidupan kerja.
a. Privacy, yaitu hak mendapat personal privacy seperti perilaku di
luar tempat kerja atau tindakan terhadap anggota keluarganya.
b. Kebebasan berbicara, yaitu kebebasan mengungkapkan pandangan
dalam organisasi tanpa takut ada yang balas dendam.
c. Keadilan, yaitu keadilan pemberian upah, keamanan kerja, dan
penghargaan.
d. Proses yang sesuai hak, yaitu adanya kesamaan dalam semua aspek
dalam pekerjaannya.
7. Lingkup Kerja dan Kehidupan Total
Adanya keseimbangan antara kehidupan dalam keluarga dan kehidupan
di tempat kerja walaupun kecil namun selalu menjadi perdebatan.
8. Relevansi Sosial Kehidupan Kerja
Ada manfaat atau pengaruh antara kegiatan sosial dengan kehidupan
kerja, seperti tanggung jawab terhadap proses, pemasaran, limbah,
praktek-praktek manajemen sumber daya manusia, hubungan dengan
pihak lain, persepsi politik, dan seterusnya.

Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja


karyawan, pemberian penghargaan kepada karyawan juga ditujukan untuk
menciptakan rasa keterikatan karyawan pada pekerjaan dan perusahaan atau
organisasi (Bhattacharya & Mukherjee, 2009). Keterikatan karyawan
merupakan tingkat komitmen dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi
4.4 Hubungan Industrial ⚫

dan nilai-nilainya. Keterikatan karyawan dan tingkat kontribusi karyawan


tergantung pada perasaan karyawan bahwa mereka diberi penghargaan secara
adil sesuai dengan tingkat keahlian, pengetahuan, dan kontribusi karyawan
terhadap organisasi. Karena pemberian penghargaan merefleksikan budaya
organisasional maka ada keterkaitan antara strategi pemberian penghargaan
bagi karyawan dan strategi bisnis organisasi tersebut. Karyawan sering kali
berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain selain untuk mengejar
kompensasi yang lebih baik juga untuk dapat tumbuh dan berkembang, untuk
mendapatkan lingkungan kerja yang ramah, untuk dapat berpartisipasi dalam
mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam tim kerja.
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Bab X, pengusaha wajib memberikan perlindungan kepada karyawannya,
terutama yang menyandang cacat. Anak-anak di bawah umur 14 tahun juga
tidak boleh dipekerjakan dalam perusahaan tersebut. Apabila anak yang
berumur 14 tahun atau lebih mau dipekerjakan untuk mengembangkan
bakatnya maka anak tersebut harus:
a. mendapatkan bimbingan langsung dari orang tua atau walinya;
b. bekerja paling lama tiga jam per hari;
c. kondisi dan lingkungan kerjanya tidak mengganggu perkembangan fisik,
mental, sosial, dan waktu sekolah;
d. mendapat perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;
e. dipisahkan dari karyawan dewasa.

Selain anak-anak, kaum perempuan, dan perempuan yang sedang hamil


juga mendapat perlindungan di tempat kerjanya.

B. PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN PEMBERDAYAAN


KARYAWAN

Perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang memiliki lingkungan


kerja positif. Karyawan dapat dikenal, mendapatkan penghargaan yang baik,
dapat berkomunikasi dengan baik, dan saling berbagi informasi. Peningkatan
produktivitas berarti juga meningkatnya kinerja dan penghargaan atas kinerja
tersebut juga meningkat. Pengelolaan penghargaan sebagai berikut.
1. Pengelolaan penghargaan yang diterima karyawan sehingga mereka
dapat melihat hubungan langsung antara penghargaan dan usaha. Hal ini
disebut pengelolaan kinerja melalui pemberian penghargaan.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.5

2. Berkaitan dengan identifikasi strategi, kebijakan, dan sistem yang


memungkinkan organisasi mencapai sasaran dengan melihat kebutuhan
karyawan dan meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan.

Penghargaan dapat berpengaruh memperkuat perilaku atau tidak


memperkuat perilaku (Bhattacharya & Mukherjee, 2009). Penguatan dapat
didefinisikan dengan segala sesuatu yang meningkatkan kekuatan respons
dan cenderung menyebabkan pengulangan perilaku yang didahului dengan
penguatan tersebut. Penghargaan juga merupakan segala sesuatu yang
memperkuat atau mempertahankan perilaku karyawan dalam perusahaan dan
dapat bersifat ekstrinsik atau intrinsik (Goodale et al., 1997). Penghargaan
meliputi penghargaan eksternal atau penghargaan ekstrinsik dan penghargaan
internal atau penghargaan intrinsik. Penghargaan ekstrinsik atau eksternal
seperti penghargaan yang berupa keuangan, keamanan kerja, pujian,
hubungan yang baik dengan supervisor dan dengan rekan kerja ini diturunkan
dari tindakan orang lain dan dikendalikan oleh manajer (Gkorezis &
Petridou, 2008). Penghargaan intrinsik yang meliputi informasi, kepercayaan,
variasi keahlian, pengenalan, kepuasan, pencapaian, dan sebagainya
merupakan penghargaan yang kurang tampak namun berpengaruh dalam
perilaku.
Penghargaan merupakan katalisator perbaikan kinerja dan produktivitas
yang lebih baik, sehingga keterlibatan karyawan lebih besar. Karis dan Katrin
(2007) menyatakan bahwa insentif merupakan inti penguatan terhadap
perilaku yang mengasumsikan bahwa ketergantungan pada penghargaan
berhubungan dengan insentif untuk kerja sama antaranggota kelompok.
Pemberian upah finansial dapat dilakukan baik untuk kelompok maupun
individu. Pemberian penghargaan juga mendukung dukungan organisasi
menurut persepsi karyawan. Beberapa hal yang dapat mendukung dukungan
organisasi yang dipersepsikan oleh karyawan antara lain keadilan, dukungan
supervisor, penghargaan dari organisasi, dan kondisi kerja yang baik.
Dukungan organisasi persepsian tersebut berhubungan dengan kepuasan
kerja, komitmen organisasional, mood positif karyawan, komitmen afektif,
dan perilaku menarik diri.
Pemberian penghargaan dapat dilakukan secara individu maupun
kelompok. Pemberian penghargaan kelompok atau tim berpengaruh pada
motivasi untuk bekerja sama dan motivasi bersama yang diberikan
berdasarkan kinerja tim. Sikap penghargaan tim merupakan evaluasi umum
4.6 Hubungan Industrial ⚫

individu untuk penerimaan penghargaan berdasarkan kinerja tim (Shaw et al.,


2001). Penghargaan terhadap sikap yang tinggi berarti terdapat evaluasi
positif dalam penerimaan penghargaan tim, sedangkan penghargaan tim yang
rendah berarti terdapat evaluasi positif dalam penerimaan penghargaan
individual dalam situasi tim. Kepercayaan didasarkan pada prinsip kesamaan
dan keadilan. Penghargaan yang tinggi terhadap individu mengevaluasi
secara positif distribusi penghargaan dalam tim secara adil atau sama, dan
mengevaluasi pemberian penghargaan berdasarkan keadilan.
Sistem pendistribusian penghargaan individu secara adil menekankan
pada perbedaan individual dalam kinerja individu di dalam tim.
Konsekuensinya, penghargaan antaranggota tim akan berbeda-beda.
Sementara itu, sistem pemberian penghargaan berdasar tim secara sama
menjelaskan elemen-elemen umum dan kesamaan di antara anggota,
sehingga penghargaan antaranggota sama. Menurut Mamman (1997), ada
berbagai faktor yang mempengaruhi sistem pembayaran upah, yaitu sistem
pembayaran upah berdasarkan umur, posisi atau jabatan, dan pendidikan.
Pemberian upah juga dapat didasarkan pada budaya dan dapat dihubungkan
dengan upah fleksibel dengan cara menghubungkan sistem pembayaran
dengan kepuasan terhadap pembayaran.
Sementara itu, pemberdayaan secara signifikan juga dapat membantu
organisasi dan karyawan, serta merupakan praktek manajemen yang dapat
diterapkan pada setiap organisasi atau sektor. Ada dua macam pendekatan
dalam pemberdayaan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan
psikologikal (Gkoreziz & Petridou, 2008). Pendekatan struktural merupakan
pendekatan pada praktek-praktek manajemen yang bertujuan untuk mengakui
atau memberi kekuasaan dan keputusan dengan membuat kewenangan pada
karyawan untuk berpartisipasi dalam organisasi. Bowen dan Lower (1995)
mendefinisikan pemberdayaan sebagai pengakuan empat karakteristik, yaitu:
1. Informasi tentang kinerja organisasional;
2. Penghargaan yang didasarkan pada kinerja organisasional;
3. Pengetahuan yang mampu memahami dan memberikan kontribusi pada
kinerja organisasional;
4. Kekuasaan untuk membuat keputusan yang mempengaruhi prosedur
kerja dan arah organisasional;
5. Pemberdayaan dihasilkan dari desentralisasi, kurangnya level hierarki,
dan dari partisipasi karyawan.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.7

Sementara itu, menurut pendekatan psikologis, pemberdayaan


merupakan kondisi psikologis dan kemungkinan psikologis. Menurut
pendekatan tersebut, pemberdayaan adalah proses mendorong perasaan
mampu melakukan pekerjaan karena sering melakukannya (self-efficacy) di
antara anggota organisasi melalui identifikasi kondisi melalui organisasi
formal dan teknik informal. Thomas dan Velthouse (1990) menyatakan
bahwa kekuasaan adalah energi. Pemberdayaan merupakan pemberian energi
dan berhubungan dengan perubahan dalam variabel kognitif atau penilaian
pekerjaan/tugas yang menentukan motivasi karyawan. Spreitzer (1995)
menggunakan model yang didasarkan pada pendekatan bahwa pemberdayaan
merupakan motivasi tugas intrinsik yang dimanifestasikan pada empat
kognisi, yaitu pengartian, kompetensi, penentuan diri, dan dampak.
Pengartian berarti nilai pekerjaan atau tujuan pekerjaan yang berhubungan
dengan standar individual dan memperhatikan faktor intrinsik. Kompetensi
atau self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya
melaksanakan pekerjaan atau kegiatan dengan keahliannya. Sementara itu,
penentuan diri merupakan perasaan individu yang mempunyai pengenalan
dan pengaturan tindakan. Penentuan diri tersebut melibatkan otonomi dalam
pengenalan dan kelanjutan perilaku dan proses. Adapun dampak merupakan
tingkat kemampuan individu untuk mempengaruhi strategi, administratif,
atau hasil operasional. Pendekatan psikologikal menguji apa gunanya
karyawan diberdayakan karena pemberdayaan merupakan variabel kontinu.
Sistem pemberian penghargaan yang paling disukai baik oleh karyawan
secara individu maupun dalam serikat pekerja adalah upah berdasarkan
kinerja. Upah dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kesempatan, pekerjaan,
dan posisi dalam hierarki organisasional. Dasar pemberian upah adalah teori
keadilan dan teori perbandingan sosial (Mamman, 1997). Berdasarkan teori
keadilan, input individu (kinerja, keahlian) dibandingkan dengan upah yang
diterima orang lain. Karena organisasi merupakan institusi sosial, maka
penghargaan dan sistem yang menentukannya dievaluasi berdasarkan
perbandingan sosial (Katz & Kahn, 1978).
Karyawan memilih menggunakan berbagai faktor untuk menentukan
upah, misalnya umur, kesempatan/posisi, dan capaian pendidikan. Hal ini
sering disebut sebagai sistem pemberian penghargaan yang bersifat
kastemisasi, sehingga memerlukan sistem pemberian penghargaan fleksibel
untuk mengakomodasi perbedaan sikap karyawan yang berkontribusi pada
kepuasan pengupahan. Sistem upah perlu dimonitor. Manajemen
4.8 Hubungan Industrial ⚫

penghargaan partisipatif memungkinkan karyawan memberikan perhatian


pada sistem manajemen penghargaan. Sistem pemberian penghargaan juga
harus diperluas untuk mengakomodasi input karyawan.

C. GAJI DAN UPAH

Upah adalah imbalan yang diterima pekerja atas pekerjaan yang


diberikannya dalam proses produksi barang atau memberikan layanan di
perusahaan. Berdasar UU No. 13 Tahun 2003, upah merupakan hak pekerja
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan untuk pekerja dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah memang
sangat diharapkan oleh pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, pekerja dan
serikat pekerja selalu mengharapkan upah yang lebih besar untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. Di sisi lain, pengusaha mengharapkan
upah hanya merupakan sebagian dari biaya, sehingga pengusaha sering kali
enggan atau berhati-hati dalam meningkatkan upah. Upah dapat bersifat tetap
ataupun variabel. Upah variabel meliputi insentif individu, pembagian
pendapatan, pembagian keuntungan, kepemilikan saham perusahaan oleh
karyawan, dan sebagainya. Penghargaan dan pengenalan harus adil,
transparan, inklusif, tepat waktu, dan bervariasi. Bentuk pengenalan harus
tepat dan dapat memberikan kontribusi.
Pemerintah juga mempunyai kepentingan dengan penetapan upah
pekerja karena ingin tetap dapat menjamin standar kehidupan yang layak
untuk pekerja dan keluarganya, meningkatkan produktivitas, dan
meningkatkan daya beli masyarakat. Namun demikian, kebijakan
pengupahan juga dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
perluasan kesempatan kerja, dan menahan laju inflasi. Upah yang layak
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gizi karyawan sehingga produktivitas
kerjanya meningkat. Peningkatan upah dan penghasilan pekerja akan
meningkatkan daya beli masyarakat pada umumnya dan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Namun, kenaikan upah tanpa diikuti kenaikan
produktivitas juga akan menyulitkan pengusaha.
Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi pekerja dan keluarganya, pemerintah menetapkan kebijakan
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.9

pengupahan yang melindungi pekerja. Kebijakan pengupahan yang


melindungi pekerja meliputi:
1. Upah minimum;
2. Upah kerja lembur;
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. Bentuk dan cara pembayaran upah;
7. Denda dan potongan upah;
8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
10. Upah untuk pembayaran pesangon;
11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Upah minimum didasarkan pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota.


Pengusaha tidak diperbolehkan memberikan upah di bawah upah minimum
tersebut. Pengaturan pengupahan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Pengusaha menyusun struktur
dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi. Komponen upah meliputi upah pokok dan
tunjangan tetap.
Upah minimum memiliki dampak pada pasar tenaga kerja terutama jika
perusahaan tidak mampu menaatinya. Menurut Rama (2001), dalam kasus di
Indonesia, ada dua sumber utama tidak terpenuhinya upah minimum, yaitu:
1. Perusahaan yang tidak dapat memenuhi upah minimum dapat meminta
surat pernyataan pembebasan tuntutan upah minimum dari kementerian
yang berkuasa.
2. Alasan yang lebih penting mengapa perusahaan tidak dapat memenuhi
upah minimum adalah kelemahan pelaksanaan pemberian upah
minimum.

Kelemahan substansial di Indonesia adalah pemberian upah minimum di


sektor formal yang tidak dapat dilakukan.
4.10 Hubungan Industrial ⚫

1. Penentuan Upah
Penentuan upah pokok dapat ditentukan menurut satuan waktu atau
menurut satuan produk yang dihasilkan. Upah menurut satuan waktu bisa
dalam jam, hari, minggu, atau bulan. Upah yang dihitung dengan satuan jam
biasanya untuk pekerjaan yang tidak memakan waktu lama atau bersifat
temporer atau paruh waktu, seperti konsultan. Upah per hari biasanya
diberlakukan untuk pekerjaan yang bersifat temporer atau yang dilakukan
untuk pekerja yang tidak tetap, seperti pekerja bangunan, pekerja panen, dan
perkebunan. Upah per minggu juga diberikan pada pekerjaan yang sifatnya
temporer tetapi perlu dilakukan oleh pekerja yang sama secara terus-menerus
dalam beberapa minggu. Selanjutnya, upah per bulan biasanya diberlakukan
untuk pekerjaan yang sifatnya tetap, mempunyai ikatan waktu lama atau
tetap, sehingga disebut juga sebagai pegawai atau pekerja tetap. Sementara
itu, upah menurut satuan produk adalah imbalan yang diberikan kepada
pekerja setiap jumlah tertentu produk yang dihasilkan. Selain upah, pada
umumnya perusahaan juga memberikan tunjangan, seperti tunjangan istri,
anak, keahlian, dan lain-lain.
Penetapan upah setiap satu atau dua tahun sekali di setiap kabupaten/
kota disebut dengan upah minimum. Upah minimum ini ditetapkan untuk:
a. Menghindari/mengurangi persaingan yang tidak sehat antarpekerja
terutama pada kondisi pasar kerja surplus;
b. Mengurangi/menghindari kemungkinan eksploitasi pekerja oleh
pengusaha yang memanfaatkan kondisi pasar kerja untuk akumulasi
keuntungannya;
c. Menjaga tingkat upah karena adanya satu dan lain hal, upah akan turun
lagi;
d. Mengurangi tingkat kemiskinan absolut pekerja;
e. Mendorong peningkatan produktivitas melalui perbaikan gizi dan
kesehatan pekerja dan melalui upaya manajemen memperoleh
kompensasi atas peningkatan upah minimum;
f. Meningkatkan daya beli masyarakat sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara umum;
g. Menciptakan hubungan industrial yang aman dan harmonis.

Dalam menetapkan dan menerapkan ketentuan upah minimum tersebut,


negara berkembang pada umumnya menghadapi dua masalah. Pertama,
adanya kesenjangan yang cukup tinggi antara karyawan dan pimpinan
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.11

perusahaan atau antarkaryawan di beberapa sektor yang berbeda atau daerah


yang berbeda, sehingga sulit dalam menyeragamkan ketentuan upah
minimum. Kedua, pendapatan per kapita negara berkembang rendah, tingkat
pengangguran tinggi, sehingga pertumbuhan ekonomi dan perluasan
kesempatan kerja lebih mendapatkan pertimbangan daripada upah minimum.
Beberapa negara telah membentuk lembaga yang menentukan upah
minimum. Di Indonesia, ketentuan upah minimum dimulai sejak 1956
dengan Keputusan Presiden No. 58 Tahun 1960, yaitu membentuk Dewan
Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN). Dewan tersebut memiliki anggota
yang meliputi wakil Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Keuangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertambangan,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Bank Sentral,
Bappenas, Universitas, Serikat Pekerja, dan Organisasi Pengusaha.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 98 dinyatakan bahwa pemerintah
membentuk Dewan Pengupahan Nasional (DPN), Dewan Pengupahan
Propinsi (DPP), dan Dewan pengupahan Kabupaten/Kota (DPK) dengan
anggota yang terdiri dari wakil pemerintah, organisasi pengusaha, serikat
pekerja, perguruan tinggi, dan para pakar. Fungsi DPP dan DPK pada
dasarnya meliputi:
a. Melakukan penelitian harga dan menghitung kebutuhan fisik minimum
(KFM) atau yang disebut kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja;
b. Melakukan penelitian secara periodik atau setiap tahun mengenai
kemampuan perusahaan untuk menghitung dan mengusulkan upah
minimum propinsi dan upah minimum kabupaten/kota;
c. Memberikan bahan atau saran kepada gubernur dan bupati/ walikota
untuk penyusunan kebijakan pengupahan dan ketetapan upah minimum
propinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten (UMK).

Hasil penelitian dan kajian tersebut kemudian diserahkan kepada


pemerintah daerah yang setingkat. Sebagai contoh, DPP menyerahkan hasil
penelitian dan kajian ke gubernur, sedangkan DPK menyerahkannya pada
bupati. Untuk menetapkan besarnya upah minimum, DPP dan DPK
menggunakan lima kelompok kebutuhan, yaitu kelompok makanan dan
minuman, bahan bakar dan penerangan, perumahan dan peralatan, pakaian,
dan kelompok lain-lain.
4.12 Hubungan Industrial ⚫

Upah minimum memang ditentukan berdasarkan pertimbangan


kebutuhan hidup yang layak (KHL), indeks harga konsumen (IHK), upah
pada umumnya, produktivitas dan kemampuan perusahaan, kondisi pasar
kerja, dan tingkat perkembangan perekonomian. Dalam kenyataannya, upah
minimum selalu dinaikkan secara periodik, satu atau dua tahun sekali.
Peningkatan upah tersebut memerlukan penyesuaian yang dilakukan dengan
tiga cara, yaitu menaikkan upah rata-rata secara proporsional, secara lumsum,
atau dengan kenaikan upah dengan persentase menurun. Selanjutnya, untuk
tetap menjamin kelangsungan arus penghasilan pekerja, upah tetap
dibayarkan pada saat pekerja berhalangan bekerja karena mengalami
kecelakaan, sakit, melakukan kegiatan sosial keluarga tertentu, menjalankan
kewajiban negara, hari libur resmi, dan menjalankan hak cuti.

2. Gaji Pokok dan Tunjangan


Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan satu
jabatan atau pekerjaan tertentu pada golongan pangkat dan waktu tertentu.
Gaji pokok suatu perusahaan disusun menurut jenjang jabatan dan jenjang
kepangkatan. Jenjang jabatan menunjukkan tingkat kesulitan dalam
melaksanakan pekerjaan tersebut dan intensitas persyaratan yang harus
dipenuhi untuk menjalankan jabatan tersebut. Sedangkan jenjang
kepangkatan menunjukkan kompetensi atau kualifikasi seseorang.
Kompetensi dan kualifikasi yang lebih tinggi menyebabkan orang tersebut
mendapatkan golongan pangkat yang lebih tinggi dan dianggap mampu
menjalankan jabatan atau melaksanakan pekerjaan dengan persyaratan yang
lebih berat, sehingga patut menerima imbalan yang lebih besar. Sesuai
dengan kondisi perusahaan masing-masing dan hubungan antara pengusaha
dan para pekerja, pengusaha memberikan beberapa jenis tunjangan dan
fasilitas, antara lain:
a. Tunjangan kemahalan yang diberikan untuk kompensasi laju inflasi dan
atau tingkat biaya hidup yang relatif tinggi di beberapa daerah tertentu;
b. Tunjangan jabatan, baik tunjangan jabatan struktural maupun tunjangan
jabatan fungsional;
c. Tunjangan transportasi;
d. Tunjangan perumahan;
e. Tunjangan istri atau tunjangan suami;
f. Tunjangan anak;
g. Tunjangan pemeliharaan atau asuransi kesehatan;
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.13

h. Tunjangan hari tua atau dana pensiun;


i. Tunjangan cuti;
j. Tunjangan hari keagamaan; dan lain-lain.

Berdasarkan jenisnya, tunjangan tersebut ada yang berhubungan


langsung dengan pekerjaan atau produk, atau mempunyai sifat penunjang,
mempunyai fungsi sosial, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa upah bukan hanya mempunyai fungsi ekonomis yaitu
sebagai imbal atas jasa kerja yang diberikan, tetapi juga mempunyai fungsi
sosial dan fungsi insentif atau pendorong bagi pekerja untuk bekerja
produktif. Semua gaji atau upah yang dinyatakan dalam bentuk uang
dinamakan upah atau gaji kotor. Upah atau gaji tersebut biasanya dipotong
pajak penghasilan, atau iuran dana pensiun atau kewajiban lain, sehingga
pekerja akan menerima upah bersih yang disebut dengan upah bersih yang
diterima.
Pemberian upah atau gaji juga memperhatikan jenjang jabatan yang
dimiliki karyawan tersebut. Jabatan menunjukkan sifat dan kekompleksan
pekerjaan, nilai output yang dihasilkan, serta kompetensi kerja atau
kualifikasi orang yang diperlukan untuk mengisi jabatan tersebut. Semakin
kompleks pekerjaan dalam satu jabatan, semakin tinggi syarat jabatan,
semakin tinggi kompetensi kerja atau kualifikasi pekerja yang menjadi
pelaksananya. Oleh karena itu, jenjang jabatan yang disusun dari yang
terendah hingga yang tertinggi disusun berdasarkan kompetensi kerja atau
kualifikasi yang harus dimiliki pejabat yang bersangkutan. Jabatan struktural
misalnya, dimaksudkan sebagai jabatan puncak di satu unit yang terdiri dari
beberapa jabatan, yang berfungsi mengoordinasikan pekerjaan yang
dilakukan di semua jabatan di unit tersebut. Sementara itu, jabatan fungsional
lebih menuntut persyaratan kemampuan pelaksanaan tugas secara teknis
operasional yang menuntut pendalaman pengetahuan, keahlian, dan
kemampuan melaksanakan tugas di bidang-bidang tertentu tanpa selalu
memperoleh hubungan dan pengawasan langsung dari atasan.
Selain memperhatikan jabatan dan kepangkatan, beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menyusun upah adalah:
a. Harus mencerminkan keadilan, yaitu sesuai atau sebanding dengan jasa
kerja yang diberikan oleh masing-masing pekerja.
b. Harus berimbang, yaitu pada jabatan yang sama pekerja akan menerima
upah yang sama.
4.14 Hubungan Industrial ⚫

c. Harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan


keluarganya.
d. Harus memuat sistem insentif untuk menarik tenaga berkualitas,
mendorong peningkatan prestasi dan produktivitas kerja, menumbuhkan
inovasi dan kreativitas, dan menurunkan perpindahan kerja karyawan
e. Harus mampu menjamin kelangsungan perusahaan.
f. Harus disusun setara dengan struktur jabatan dan struktur kepangkatan
g. Harus ada keseimbangan antara gaji pokok, tunjangan, dan jaminan
sosial lainnya.

3. Sistem Pengupahan berdasarkan Produktivitas


Sistem pengupahan berdasar produktivitas merupakan sistem pemberian
upah kepada pekerja sesuai dengan produktivitas masing-masing pekerja,
kelompok pekerja, dan kondisi perusahaan. Bila produktivitas meningkat,
maka perusahaan pantas menaikkan upahnya. Sistem pengupahan
berdasarkan produktivitas terdiri dari dua kelompok komponen upah, yaitu
komponen upah tetap dan komponen upah variabel. Komponen upah tetap
selalu diterima tanpa mempertimbangkan kondisi perusahaan. Upah variabel
diberikan hanya bila produktivitas pekerja meningkat dan kondisi perusahaan
baik. Sistem pemberian upah berdasarkan produktivitas dimaksudkan untuk
memberikan penghargaan kepada pekerja berdasarkan prestasi dan
peningkatan produktivitas pekerja dengan tujuan:
a. Mempertahankan pekerja;
b. Menjamin perusahaan tetap mempunyai daya saing dengan secara
fleksibel;
c. menyesuaikan diri dengan kondisi bisnis yang selalu berubah;
d. Menjamin keseimbangan biaya dan pendapatan perusahaan dengan
mengaitkan pengeluaran dengan keuntungan perusahaan;
e. Meningkatkan motivasi kerja dengan mengaitkan penghargaan yang
diterima dengan kinerja setiap pekerja.

4. Sistem Pemberian Penghargaan Lain


Pemberian penghargaan dengan membagi keuntungan sama besar
kepada semua anggota perusahaan atau organisasi (profitsharing) membuat
upah menjadi fleksibel karena upah tersebut secara otomatis mengurangi
biaya tenaga kerja di bawah kondisi pasar. Harga faktor non-tenaga kerja
menjadi tampak tinggi dan permintaan tenaga kerja menjadi rendah. Dalam
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.15

kondisi pasar yang baik, upah secara otomatis akan meningkat melalui
perubahan komponen profit sharing (Azfar & Danninger, 2001). Mekanisme
ini mengurangi kemungkinan keinginan pengunduran diri karyawan. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa pembagian keuntungan akan mengurangi
perputaran kerja dan membuat upah lebih fleksibel.
Pembagian keuntungan juga dapat meningkatkan stabilitas karyawan
dan pekerjaan, serta meningkatkan produktivitas karyawan, sehingga dapat
mengurangi perputaran kerja karyawan (Azfar & Danninger, 2001). Dengan
mengurangi perputaran kerja, masa kerja yang diharapkan dapat meningkat
dan meningkatkan periode amortisasi investasi modal insani. Secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa pembagian keuntungan dapat
meningkatkan stabilitas pekerjaan, sehingga hasil yang diharapkan pada
investasi modal insani meningkat, produktivitas lebih tinggi, dan
pertumbuhan upah lebih cepat.
Selanjutnya, pemberian penghargaan untuk setiap unit yang dihasilkan
(piece rate) berhubungan negatif dengan output masa lalu. Hal ini disebabkan
kinerja masa lalu merupakan indikator kesulitan tugas tertentu. Jika karyawan
bekerja dengan baik sejak awal, karyawan yakin bahwa tugasnya relatif
mudah maka standar kinerja dapat dinaikkan. Menurut Parent (1999),
pemberian penghargaan untuk setiap unit yang dihasilkan menunjukkan:
a. Semakin produktif karyawan, maka mereka akan memilih pekerjaan
yang menghasilkan unit output. Ada hubungan positif antara pemberian
penghargaan per unit dan upah yang dihubungkan dengan seleksi diri
untuk sebagian karyawan.
b. Pemberian penghargaan per unit memberikan kompensasi karyawan
secara langsung terhadap output, variasi upah harus lebih besar bagi
pekerjaan dengan hasil per unit daripada pekerjaan dengan upah setiap
jenis pekerjaan.
c. Pengaruh pemberian penghargaan per unit harus dapat memperkuat
hubungan antarkaryawan.

Pemberian penghargaan per unit atau kontrak komisi bersifat eksplisit.


Sementara itu, bonus diberikan kepada karyawan yang mampu melampaui
target penjualan. Namun demikian, karyawan juga akan mendapatkan bonus
berdasarkan hal-hal yang telah disepakati bersama di luar target penjualan.
Ada pula kontrak implisit antara karyawan dan perusahaan dengan ketentuan
4.16 Hubungan Industrial ⚫

bahwa kinerja yang mempertimbangkan kepuasan oleh pengusaha atau


manajemen akan diberikan upah dengan pemberian bonus.
Kegiatan perusahaan seperti promosi dan konsekuensi dari promosi
biasanya tidak terukur, sehingga dapat diabaikan. Untuk banyak karyawan,
kondisi ketenagakerjaan yang terkait dengan upah, manfaat, dan lingkungan
kerja merupakan aspek pekerjaan yang penting, selain posisi karyawan dalam
organisasi atau perusahaan tersebut. Promosi digunakan untuk memotivasi
karyawan, khususnya untuk perusahaan yang mempunyai supervisi ketat atau
sulit (Pergamit & Veum, 1999). Promosi merupakan hadiah bagi karyawan,
sedangkan probabilitas menjadi pemenang merupakan fungsi dari
produktivitas. Pemenang terhadap hadiah tersebut menerima gaji, manfaat,
dan martabat dengan menduduki posisi yang lebih tinggi.
Peningkatan upah juga berhubungan dengan promosi, sedangkan
besaran upah yang meningkat mendorong perusahaan lain mau bersaing.
Promosi juga merupakan konsekuensi modal insani atau refleksi kesuksesan
pekerjaan yang baik. Model modal insani menyatakan bahwa karyawan
menerima pelatihan untuk pekerjaan tertentu yang membuat mereka lebih
merasa berharga bagi manajer. Namun demikian, ada kalanya pekerja
ditugaskan berdasarkan senioritas dan upah diberikan hanya pada pekerjaan
yang telah tercapai. Hal ini dapat mendorong perilaku pengunduran diri
karyawan. Teori Kesesuaian Pekerjaan menyatakan bahwa informasi
mengenai kualitas pekerjaan akan menyesuaikan diri dari waktu ke waktu.
Promosi merupakan respons optimal setelah pembelajaran mengenai
produktivitas karyawan. Model konseptual dan teoretikal mengenai promosi
bersifat saling meniadakan dan sulit mengujinya. Konsekuensi dari promosi
adalah meningkatkan upah, menyederhanakan mekanisme kerja dan struktur
pembayaran, mau menerima pelatihan, meningkatkan tanggung jawab, dan
meningkatkan kepuasan kerja.
Sementara itu, penghargaan yang tergantung dari kinerja akan
mendorong usaha dan semangat karyawan, menarik talenta karyawan, dan
meningkatkan kinerja organisasional (Zenger & Marshall, 2000). Insentif
yang mempunyai kekuasaan besar seperti pemberian penghargaan berdasar
unit yang dihasilkan, sistem komisi, dan bonus manajerial dibatasi bagi
karyawan. Pemberian penghargaan berdasarkan prestasi kelompok seperti
pembagian keuntungan, pemberian pendapatan, dan pemberian penghargaan
tim diberikan bagi prestasi kerja tim atau kelompok.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.17

D. KEAMANAN, KESELAMATAN, DAN KESEHATAN KERJA

Sebelum adanya hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan


keamanan kerja semula menjadi tanggung jawab para pekerja. Dengan
adanya hukum perburuhan, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha juga
termasuk penjagaan supaya buruh melakukan pekerjaan yang layak bagi
kemanusiaan, sehingga para pekerja terhindar dari bahaya kecelakaan.
Keamanan kerja adalah keamanan yang bertalian dengan mesin, pesawat alat
kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan
lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. UU No. 1 Tahun 1970,
tanggal 12 Januari 1970, dapat dikatakan yang mengatur keamanan kerja
yang berlaku untuk semua tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada di wilayah
kekuasaan hukum Indonesia:
a. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat,
perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat
menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.
b. Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkat atau
disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar,
menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.
c. Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk
bangunan perairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan
sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan
d. Dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan
kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan, dan lapangan
kesehatan.
e. Dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam atau
biji logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya baik di
permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan.
f. Dilakukan pengangkutan barang, binatang, atau manusia baik di daratan
melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara.
g. Dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam
air.
h. Dilakukan pekerjaan pada ketinggian di atas permukaan tanah atau
perairan.
4.18 Hubungan Industrial ⚫

i. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau
rendah.
j. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah,
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut
atau terpelanting
k. Dilakukan pekerjaan di dalam tangki, sumur atau lobang.
l. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap,
gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
m. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau lembah.
n. Dilakukan pemancaran, penyiaran, atau penerimaan radio, radar, televisi
atau telepon.
o. Dilakukan pendidikan, pembinaan percobaan, penyelidikan atau riset
yang menggunakan alat teknis.
p. Dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minyak atau air.
q. Diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi
lainnya yang memakai peralatan listrik atau mekanik.

Sasaran keamanan kerja adalah keamanan di segala tempat kerja, baik


darat, dalam tanah, permukaan air, dalam air maupun di udara. Tempat-
tempat kerja tersebut pada segenap kegiatan ekonomi, seperti pertanian,
industri, pertambangan, perhubungan, pekerjaan umum, jasa dan lain-lain.
Salah satu aspek penting sasaran keamanan kerja mengingat risiko bahayanya
adalah penerapan teknologi terutama teknologi terakhir. Tujuan peraturan
keamanan kerja, sebagai berikut.
a. Melindungi pekerja dari risiko kecelakaan pada saat pekerja melakukan
pekerjaan.
b. Menjaga supaya orang-orang yang berada di sekitar tempat kerja
terjamin keamanannya.
c. Menjaga supaya sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara
aman dan berdaya guna.

Kecelakaan kerja dapat mengakibatkan rusaknya alat-alat produksi,


sehingga hasil produksi terganggu, tertunda, ataupun terhenti. Akibatnya
adalah terganggunya kebutuhan masyarakat, polusi, dan kerusakan
lingkungan.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.19

Secara konstitusional perlindungan terhadap pekerja telah dituangkan


dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan perlindungan yang layak bagi kemanusiaan”. Hal ini
berarti selain diperlukan penyediaan dan perluasan lapangan kerja,
dibutuhkan pula lapangan kerja yang memenuhi syarat keselamatan kerja,
agar tenaga kerja selalu dan sedapat mungkin terhindar serta terlindungi dari
bahaya kecelakaan. Berkaitan dengan situasi dan kondisi di Indonesia,
keselamatan kerja dinilai sebagai berikut: ”Keselamatan kerja adalah sarana
utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat, dan kematian sebagai akibat
kecelakaan kerja”.
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan bagian
dari manajemen total yang bersifat lintas sektoral di setiap perusahaan. Hal
ini melibatkan semua unit-unit, pimpinan puncak hingga tenaga supervisi dan
seluruh staf dengan tujuan menghindari terjadinya kecelakaan dan atau
penyakit kerja. Manajemen K3 melakukan semua fungsi-fungsi manajemen
secara utuh, yaitu sebagai berikut.
1. Menyusun rencana kerja pencegahan dan mengatasi kasus kecelakaan
dan penyakit kerja;
2. Menyusun organisasi K3 dan menyediakan alat perlengkapannya;
3. Melaksanakan berbagai program termasuk antara lain:
a. menghimpun informasi dan data kasus kecelakaan secara periodik,
b. mengidentifikasi sebab-sebab kasus kecelakaan kerja, menganalisa
dampak kecelakaan kerja untuk pekerja sendiri, untuk pengusaha
dan untuk masyarakat pada umumnya,
c. merumuskan saran-saran untuk Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja
untuk menghindari kecelakaan kerja,
d. memberikan saran mengenai sistem kompensasi atau santunan bagi
mereka yang menderita kecelakaan kerja, dan
e. merumuskan sistem dan sarana pengawasan, pengamanan
lingkungan kerja, pengukuran tingkat bahaya, serta kampanye
menumbuhkan kesadaran dan penyuluhan keselamatan dan
kesehatan kerja.
4. Melakukan pengawasan program.

Pengawasan bahaya kerja secara komprehensif mencakup identifikasi


bahaya, perkiraan akibat bahaya, organisasi dan sarana pengawasan
operasional, perencanaan tindakan darurat, penyebarluasan informasi kepada
4.20 Hubungan Industrial ⚫

pemilik atau manajemen perusahaan yang diperkirakan potensial


menimbulkan bahaya, serta penyebarluasan informasi kepada masyarakat
sekitar mengenai kecenderungan timbulnya bahaya.
Untuk menghindari atau mencegah terjadinya kecelakaan kerja,
pengusaha diwajibkan melakukan usaha-usaha tertentu, dengan syarat-syarat
keamanan kerja untuk:
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
c. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian lain yang berbahaya.
e. Memberi pertolongan pada kecelakaan.
f. Memberi alat perlindungan diri pada para pekerja.
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin. cuaca, sinar
atau radiasi, suara dan getaran.
h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik
fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
j. Menyelenggarakan suhu, dan lembab udara yang baik.
k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
l. Memelihara kebersihan kesehatan dan ketertiban.
m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara
dan proses kerjanya.
n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang.
o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakukan
dan penyimpanan barang.
q. Mencegah tekanan aliran listrik yang berbahaya.
r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Untuk melaksanakan pengawasan preventif maka siapa pun yang


bermaksud menjalankan usaha dan mendirikan tempat tenaga kerja harus
minta izin terlebih dahulu kepada Kepala Pengawasan Keselamatan Kerja.
Selain itu, siapa pun yang bermaksud mengimpor bahan atau barang atau
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.21

produksi teknis atau aparat produksi dari luar Indonesia yang mengandung
dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan harus minta izin terlebih dahulu
kepada kepala pengawasan keselamatan kerja.
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan dambaan
setiap pekerja. Oleh karena itu, hubungan kerja yang awam akan selalu
diusahakan untuk dapat dipertahankan keberadaannya, baik oleh pihak
pengusaha maupun oleh pekerja. Keselamatan kerja yang baik adalah pintu
gerbang terhadap keamanan tenaga kerja. Kecelakaan selain menjadi sebab
hambatan langsung, juga merupakan kerugian secara tidak langsung yakni
kerusakan mesin dan peralatan kerja, terhentinya proses produksi untuk
beberapa saat, kerusakan pada lingkungan kerja, dan lain-lain.
Dalam memasuki pembangunan era tinggal landas, pemerintah telah
bertekad untuk meningkatkan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja
yang merupakan bagian dari pengembangan sumber daya manusia dan
pembangunan nasional secara keseluruhan. Kegigihan pemerintah, dalam hal
ini Departemen Tenaga Kerja, mulai terbukti dengan gencarnya Program
Kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( Program K3 ) di perusahaan-
perusahaan antara lain dengan makin banyak dibentuk Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( P2K3 ) di perusahaan. Pembentukan
tersebut meningkat dengan cepat, hingga kini telah terbentuk 9.552 buah
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja di 11.630 perusahaan
yang mempekerjakan 100 orang pekerja atau lebih diwajibkan membentuk
P2K3. Kampanye yang dilakukan perusahaan antara lain dengan pembuatan
peraturan-peraturan, pembuatan poster-poster, gambar-gambar, fitur-fitur,
dan sebagainya.
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003,
setiap buruh berhak memperoleh perlindungan atas (1) keselamatan dan
kesehatan kerja; (2) moral dan kesusilaan; dan (3) perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Setiap
perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

E. JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Jaminan sosial tenaga kerja diatur dalam beberapa Undang-Undang dan


berbagai Peraturan, baik pemerintah maupun menteri. UU No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
4.22 Hubungan Industrial ⚫

No. PER/04/MEN/1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja, Instruksi


Menteri Tenaga Kerja No. Ins.02/MEN/1995 tentang Pelaksanaan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja Asing di Perusahaan, dan
Peraturan Pemerintah No.36 tahun 1995 tentang Penetapan Badan
Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Sistem jaminan sosial pada dasarnya merupakan program negara yang
bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial untuk
seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan dasar dan hidup yang layak apabila terjadi hal-
hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena
menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki
usia lanjut atau pensiun.
Selama beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjalankan
beberapa program jaminan sosial. Undang-undang yang secara khusus
mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK),
yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Untuk Pegawai
negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 dan program Asuransi Kesehatan
(ASSKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1991 yang bersifat wajib untuk PNS/penerima pensiun/perintis
kemerdekaan/veteran dan anggota keluarganya. Untuk prajurit tentara
Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
(POLRI) Departemen Pertahanan/TNI/POLRI beserta keluarganya, telah
dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun
1991 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 1971.
Berbagai program tersebut di atas baru mencakup sebagian kecil
masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang
memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial
tersebut belum mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai
kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak
peserta. Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem
Jaminan Sosial Nasional yang mampu menyinkronisasikan penyelenggaraan
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.23

berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa


penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta
memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta.
Prinsip sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut.
a. Prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme
gotong-royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang
mampu dalam bentuk kepesertaan wajib untuk seluruh rakyat; peserta
yang berisiko rendah membantu yang sakit. Melalui prinsip
kegotongroyongan ini, jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk
mencari laba (nirlaba) untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan
tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil
pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kepentingan peserta.
c. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisien, dan efektivitas.
Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh
kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil
pengembangannya.
d. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan
efektivitas. Prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari
seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan
hasil pengembangannya.
e. Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan
jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau
tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
f. Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar
seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun
keikutsertaannya bersifat wajib untuk seluruh rakyat, penerapannya tetap
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta
kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari
pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat
menjadi peserta secara sukarela, sehingga dapat mencakup petani,
nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada
akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh
rakyat.
4.24 Hubungan Industrial ⚫

g. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan
titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-
baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta.
h. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam undang-
undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang
dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial. Dalam undang-
undang ini diatur penyelenggaraan sistem Jaminan Sosial Nasional yang
meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun,
jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui
iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut
diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam undang-undang ini adalah
transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang sekarang
telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru
sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.

Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas


kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. (Pasal 2). Dengan penjelasan, asas kemanusiaan berkaitan dengan
penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang
bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif.
Asas keadilan merupakan asas yang bersifat idiil. Kerja asas tersebut
dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.
Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja diatur dalam UU No. 3
Tahun 1992 Pasal 2 yang menyatakan bahwa usaha sosial dan usaha-usaha
lain yang berbentuk perusahaan diperlakukan sama dengan perusahaan,
apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang sebagaimana
layaknya perusahaan mempekerjakan tenaga kerja. Untuk memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial
tenaga kerja yang pengelolaannya dilaksanakan dengan mekanisme asuransi.
Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Program jaminan
sosial tenaga kerja tersebut wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi
tenaga kerja yang melakukan kerja di dalam hubungan kerja sesuai dengan
UU. Program jaminan sosial tenaga kerja untuk tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Persyaratan dan tata cara penyelenggaraan program jaminan
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.25

sosial tenaga kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Kebijaksanaan dan pengawasan umum program jaminan sosial tenaga kerja
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa
setiap karyawan dan keluarganya berhak memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan untuk karyawan
dan keluarganya, pengusaha atau manajer wajib menyediakan fasilitas
kesejahteraan. Pemberian fasilitas kesejahteraan tersebut dilaksanakan
dengan memperhatikan kebutuhan karyawan dan ukuran kemampuan
perusahaan. Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam
Undang-undang ini meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Pengembangan
program jaminan sosial tenaga kerja tersebut diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Jaminan sosial tenaga kerja tersebut diperuntukkan
bagi tenaga kerja dan keluarganya.

1. Jaminan Kecelakaan Kerja


Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan berhak menerima jaminan
kecelakaan kerja. Termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja
adalah sebagai berikut.
a. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima
upah maupun tidak,
b. mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong
adalah perusahaan,
c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

Jaminan Kecelakaan Kerja tersebut meliputi biaya pengangkutan,


pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan, biaya rehabilitasi, dan
santunan berupa uang yang meliputi santunan sementara tidak mampu
bekerja, santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya, santunan cacat total
untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental, dan santunan kematian.
Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga
kerja pada kantor kementerian tenaga kerja dan badan penyelenggara dalam
waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam setelah tenaga kerja yang tertimpa
4.26 Hubungan Industrial ⚫

kecelakaan oleh dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacat atau


meninggal dunia. Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa
kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-
haknya. Tata cara dan bentuk laporan tersebut ditetapkan oleh Menteri. Jenis
penyakit yang timbul karena hubungan kerja serta perubahannya ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.

2. Jaminan Kematian
Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,
keluarganya berhak atas jaminan kematian. Jaminan kematian tersebut
meliputi biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Urutan penerimaan
yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan jaminan
kematian tersebut ialah janda atau duda, anak, orang tua, cucu, dan kakek
atau nenek, saudara kandung, mertua.

3. Jaminan Hari Tua


Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian
berkala, kepada tenaga kerja karena telah mencapai usia 55 tahun atau cacat
total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal
dunia. Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim
piatu. Jaminan Hari Tua tersebut dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja
mencapai usia 55 tahun, setelah mencapai masa kepesertaan tertentu, yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Suami atau istri dan anak pekerja berhak memperoleh jaminan
pemeliharaan kesehatan. Jaminan pemeliharaan kesehatan meliputi rawat
jalan tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjut, rawat inap, pemeriksaan
kehamilan dan pertolongan persalinan, penunjang diagnostik, pelayanan
khusus, dan pelayanan gawat darurat. Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut
serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Pengusaha wajib memiliki
daftar karyawan beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahannya, dan
daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri
sendiri. Selain itu, pengusaha wajib menyampaikan data ketenagakerjaan dan
data perusahaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan program
jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara. Apabila pengusaha
dalam menyampaikan data terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.27

tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial
tenaga kerja maka pengusaha wajib memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai
dengan ketentuan.
Apabila pengusaha dalam menyampaikan data terbukti tidak benar,
sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga
kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan tersebut.
Apabila pengusaha dalam menyampaikan data tersebut terbukti tidak benar,
sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka pengusaha
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan Penyelenggara.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Jelaskan kualitas kriteria kualitas kehidupan kerja!


2) Jelaskan yang dimaksud dengan pengelolaan penghargaan!
3) Jelaskan maksud penetapan upah minimum!
4) Jelaskan hal-hal yang diperhatikan dalam menentukan upah!
5) Jelaskan jaminan sosial tenaga kerja!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Kriteria kualitas kehidupan kerja:


a. Kecukupan dan Keadilan Kompensasi
b. Keamanan dan Kesehatan Kondisi kerja
c. Kesempatan Menggunakan dan Mengembangkan Kemampuan
Karyawan
d. Kesempatan masa mendatang untuk melanjutkan pertumbuhan dan
keamanan merupakan kesempatan promosi, tahapan jenjang karier
karyawan, dan kesempatan pengembangan pengetahuan
e. Integrasi sosial dalam organisasi kerja, yang meliputi kebebasan dari
prasangka, egalitarianisme, mobilitas, dukungan kelompok utama,
komunitas, dan keterbukaan interpersonal
f. Undang-undang di tempat kerja (dalam organisasi kerja)
g. Lingkup Kerja dan Kehidupan Total
h. Relevansi Sosial Kehidupan Kerja
4.28 Hubungan Industrial ⚫

2) Pengelolaan penghargaan berarti:


a. Pengelolaan penghargaan yang diterima karyawan sehingga mereka
dapat melihat hubungan langsung antara penghargaan dan usaha.
Hal ini disebut pengelolaan kinerja melalui pemberian penghargaan.
b. Berkaitan dengan identifikasi strategi, kebijakan, dan sistem yang
memungkinkan organisasi mencapai sasaran dengan melihat
kebutuhan karyawan dan meningkatkan motivasi dan komitmen
karyawan.
3) Upah minimum ini ditetapkan untuk:
a. Menghindari/mengurangi persaingan yang tidak sehat antarpekerja
terutama pada kondisi pasar kerja surplus;
b. Mengurangi/menghindari kemungkinan eksploitasi pekerja oleh
pengusaha yang memanfaatkan kondisi pasar kerja untuk akumulasi
keuntungannya;
c. Menjaga tingkat upah karena adanya satu dan lain hal, upah akan
turun lagi;
d. Mengurangi tingkat kemiskinan absolut pekerja;
e. Mendorong peningkatan produktivitas melalui perbaikan gizi dan
kesehatan pekerja dan melalui upaya manajemen memperoleh
kompensasi atas peningkatan upah minimum;
f. Meningkatkan daya beli masyarakat sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara umum;
g. Menciptakan hubungan industrial yang aman dan harmonis.
4) Selain memperhatikan jabatan dan kepangkatan, beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menyusun upah adalah:
a. Harus mencerminkan keadilan, yaitu sesuai atau sebanding dengan
jasa kerja yang diberikan oleh masing-masing pekerja.
b. Harus berimbang, yaitu pada jabatan yang sama pekerja akan
menerima upah yang sama.
c. Harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja
dan keluarganya.
d. Harus memuat sistem insentif untuk menarik tenaga berkualitas,
mendorong peningkatan prestasi dan produktivitas kerja,
menumbuhkan inovasi dan kreativitas, dan menurunkan
perpindahan kerja karyawan.
e. Harus mampu menjamin kelangsungan perusahaan.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.29

f. Harus disusun setara dengan struktur jabatan dan struktur


kepangkatan.
g. Harus ada keseimbangan antara gaji pokok, tunjangan, dan jaminan
sosial lainnya.
5) Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang-
undang ini meliputi: jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

R A NG KU M AN

Gaji dan upah beserta berbagai tunjangan dan jaminan kerja


merupakan permasalahan yang tiada hentinya didiskusikan. Hal ini
disebabkan pemberian upah dapat memotivasi karyawan, mengembang-
kan bakat atau talenta karyawan, meningkatkan kinerja dan produktivitas
kerja karyawan, dan dapat pula meningkatkan pemogokan atau
perputaran kerja karyawan. Di sisi lain, karyawan tidak pernah merasa
puas terhadap upah yang diterimanya. Oleh karena itu, teori keadilan dan
teori perbandingan sosial banyak mendasari penentuan upah, di samping
berbagai penilaian kinerja karyawan. Setiap negara mengatur sistem
pemberian upah atau penghargaan masing-masing yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan tujuan masing-masing negara.

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Berikut adalah kriteria kualitas kehidupan kerja, kecuali ....


A. kecukupan dan keadilan kompensasi
B. keamanan dan kesehatan kondisi kerja
C. kesempatan pengembangan kemampuan karyawan
D. integrasi politik dalam organisasi kerja

2) Yang termasuk penghargaan intrinsik adalah ....


A. keamanan kerja
B. hubungan baik dengan rekan kerja
C. kepercayaan
D. pujian dari pimpinan
4.30 Hubungan Industrial ⚫

3) Pemberian penghargaan didasarkan pada ....


A. teori keadilan
B. teori perbandingan sosial
C. kinerja
D. A,B,C benar

4) Kebijakan upah yang melindungi karyawan meliputi ....


A. upah minimum
B. upah dibayar di muka
C. upah karena selalu masuk kerja
D. upah untuk makan sehari-hari

5) Tujuan pemberian penghargaan berdasarkan produktivitas adalah ....


A. mengganti karyawan
B. memotivasi karyawan
C. menjamin kemampuan perusahaan
D. meningkatkan kemampuan bayar karyawan

6) Berikut adalah tujuan peraturan keselamatan kerja, kecuali ....


A. melindungi pekerja dari risiko kecelakaan pada saat pekerja
melakukan pekerjaan
B. menjaga supaya orang-orang yang berada di sekitar tempat kerja
terjamin keamanannya
C. menjaga supaya sumber produksi dipelihara dan dipergunakan
secara aman dan berdaya guna
D. meningkatkan penghasilan perusahaan

7) Yang tidak sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 adalah ....


A. pembayaran pajak
B. keselamatan dan kesehatan kerja
C. moral dan kesusilaan
D. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama

8) Berikut ini adalah prinsip jaminan sosial nasional, kecuali ....


A. kegotongroyongan
B. keterbukaan
C. keuntungan
D. kepesertaan wajib
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.31

9) Yang termasuk jaminan sosial tenaga kerja adalah ....


A. jaminan kecelakaan kerja
B. jaminan kematian
C. jaminan kesehatan
D. semua jawaban tersebut benar

10) Sistem pemberian penghargaan yang fleksibel dan membagi keuntungan


sama besar adalah ....
A. pembagian keuntungan
B. pemberian penghargaan berdasar kinerja
C. pemberian penghargaan per unit yang dihasilkan
D. pembagian pekerjaan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
4.32 Hubungan Industrial ⚫

Kegiatan Belajar 2

Isu Pemberian Penghargaan Karyawan

A. ISU PEMBERIAN GAJI, UPAH, DAN BERBAGAI TUNJANGAN


LAIN

Gaji merupakan pembayaran atau penyerahan jasa yang dilakukan oleh


karyawan yang mempunyai jenjang jabatan dan dibayar secara tetap setiap
bulan. Sementara itu, upah merupakan pembayaran atas penyerahan jasa
yang dilakukan oleh karyawan pelaksana dan dibayarkan berdasarkan hari
kerja, jam kerja, atau jumlah satuan produk yang dihasilkan oleh karyawan.
Fungsi gaji dan upah terkait dengan fungsi kepegawaian, pencatatan waktu,
pembuat daftar gaji dan upah, keuangan, dan akuntansi. Peraturan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenkertrans) Tahun 1999
tentang upah minimum untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi
karyawan ternyata belum dilaksanakan sepenuhnya. Masih banyak karyawan
yang diberi upah atau gaji di bawah upah minimum. Hal ini merupakan
bentuk pelanggaran yang harus ditangani oleh pengadilan hubungan
industrial.
Rendahnya tingkat upah dan pendapatan masyarakat akan menurunkan
produktivitas karyawan. Semakin tinggi tingkat upah atau pendapatan,
semakin besar peluang seseorang untuk dapat memenuhi dan memperbaiki
tingkat hidupnya dengan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan,
kesehatan, rekreasi, hubungan sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam
manajemen sumber daya manusia, permasalahan upah tidak dimasukkan ke
dalam masalah biaya, namun dipandang sebagai investasi. Hal ini
dimaksudkan agar peningkatan upah, gaji, atau tunjangan bagi karyawan
tidak dipandang sebagai biaya, melainkan sebagai perbaikan atau
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan pendidikan,
pelatihan, keterampilan, disiplin kerja, dan semangat kerja juga dapat
dipandang sebagai peningkatan kualitas dan produktivitas kerja karyawan.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.33

Tabel 4.1.
UMP Tahun 2010 di 33 Provinsi di Indonesia Terhadap UMP Tahun 2009
serta Persentase Kenaikan

No Provinsi UMP 2009 (Rp) UMP 2010 (Rp) Naik


1 Aceh 1,200,000 1,300,000 8.30%
2 Sumut 905,000 965,000 6.60%
3 Sumbar 880,000 950,000 8.00%
4 Riau 901,600 1,016,000 12.70%
5 Kepulauan Riau 892,000 925,000 3.70%
6 Jambi 800,000 900,000 12.50%
7 Sumatra Selatan 824,730 927,000 12.40%
8 Bangka Belitung 850,000 910,000 7.10%
9 Bengkulu 735,000 780,000 6.10%
10 Lampung 691,000 767,500 11.10%
11 Jawa Barat 628,191 671,500 6.90%
12 Jakarta 1,069,865 1,118,009 4.50%
13 Banten 917,500 955,300 4.10%
14 Jawa Tengah 575,000 660,000 14.80%
15 Yogyakarta 700,000 745,695 6.50%
16 Jawa Timur 570,000 630,000 10.50%
17 Bali 760,000 829,316 9.10%
18 NTB 832,500 890,775 7.00%
19 NTT 725,000 800,000 10.30%
20 Kalimantan Barat 705,000 741,000 5.10%
21 Kalimantan Selatan 930,000 1,024,500 10.20%
22 Kalimantan Tengah 873,089 986,500 13.00%
23 Kalimantan Timur 955,000 1,002,000 4.90%
24 Maluku 775,000 840,000 8.40%
25 Maluku Utara masih dalam proses dewan pengupahan
26 Gorontalo 675,000 710,000 5.20%
27 Sulawesi Utara 925,500 990,000 7.00%
28 Sulawesi Tenggara 770,000 860,000 11.70%
29 Sulawesi Tengah 720,000 777,500 8.00%
4.34 Hubungan Industrial ⚫

No Provinsi UMP 2009 (Rp) UMP 2010 (Rp) Naik


30 Sulawesi Selatan 905,000 1,000,000 10.50%
31 Sulawesi Barat 909,400 944,200 3.80%
32 Papua 1,216,100 1,316,500 8.30%
33 Papua Barat 1,180,000 1,210,000 2.50%
Sumber: Dit. Pengupahan & Jamsostek, Ditjen PHI & Jamsostek,
Depnakertrans, Desember 2010.

Permasalahan dalam pengupahan yang dapat timbul adalah adanya


perbedaan antara pengusaha dan karyawan dalam hal pengertian dan
kepentingan mengenai upah. Bagi pengusaha, upah dapat dipandang sebagai
beban atau biaya yang harus dibayarkan kepada pekerja dan diperhitungkan
dalam penghitungan. Segala sesuatu yang dikeluarkan pengusaha terkait
permasalahan karyawan seperti pembayaran upah waktu libur, cuti, atau
sakit, fasilitas rekreasi, dan sebagainya selalu diperhitungkan sebagai upah.
Oleh karena itu, semakin besar upah yang dikeluarkan, maka semakin kecil
keuntungan yang diterima pengusaha. Di sisi lain, karyawan selalu
mengharapkan kenaikan upah walaupun tidak disertai dengan peningkatan
produktivitas. Hal tersebut mendorong pengusaha mengurangi jumlah
karyawan dengan menurunkan jumlah produksinya, atau menggantikan
tenaga karyawan dengan teknologi yang padat modal, dan menaikkan harga
jual barang sehingga mendorong inflasi.
Permasalahan lain yang terkait dengan pemberian penghargaan kepada
karyawan adalah masalah jaminan sosial. Selama ini jaminan sosial tenaga
kerja (jamsostek) di Indonesia dikelola oleh BUMN yang berbentuk PT,
bukan wali amanah, sehingga hanya sekitar 50% hingga 70% yang tercatat
sehingga dapat dikembalikan kepada karyawan. Persentase selebihnya tidak
dikembalikan kepada karyawan atau tidak menjadi hak karyawan, padahal
menurut aturan internasional mengenai jaminan sosial, 100% iuran peserta
harus dikembalikan kepada karyawan.
Permasalahan upah atau gaji merupakan permasalahan yang banyak
memicu terjadinya perselisihan di tempat kerja yang berakhir pada
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan hak.
Perselisihan PHK disebabkan karyawan melakukan tindakan pelanggaran,
sedangkan perselisihan hak disebabkan tuntutan pelaksanaan upah minimum
kabupaten/kota.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.35

Selain isu mengenai upah dan jaminan sosial isu mengenai outsourcing
juga menguat. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, outsourcing tidak boleh
digunakan untuk tenaga produksi utama, namun hanya tenaga tambahan atau
penunjang seperti keamanan, cleaning service, driver, dan catering. Namun
demikian, di beberapa perusahaan, tenaga outsourcing digunakan untuk
melaksanakan kegiatan atau proses produksi atau operasional yang utama.
Selain itu, upah tenaga outsourcing lebih kecil dari upah minimum dan ada
kalanya dipotong oleh lembaga penyalur tenaga kerja. Pada umumnya
mereka juga tidak mendapatkan uang pensiun dan asuransi kesehatan.

B. PENANGANAN PERMASALAHAN KHUSUS

Ada beberapa permasalahan khusus yang menyangkut ketenagakerjaan


di Indonesia khususnya dan di berbagai negara pada umumnya. Masalah
khusus adalah masalah yang perlu ditangani secara cepat dan tuntas, karena
masalah tersebut memiliki potensi menimbulkan masalah lain yang lebih
serius. Masalah khusus tersebut adalah:

1. Pengupahan
Upah merupakan hak karyawan yang seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan mereka dan keluarganya. Sistem pengupahan perlu dikembangkan
dengan memperhatikan keseimbangan antara prestasi atau produktivitas
kerja, kebutuhan pekerja, dan kemampuan perusahaan. Di samping itu, perlu
dikembangkan struktur upah yang tidak rumit dan komponen upah harus jelas
dan sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme penetapan upah dan kenaikan upah
sebaiknya diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.

2. Pemogokan
Mengingat bahwa peristiwa pemogokan menunjukkan akibat yang
merugikan banyak pihak dan lebih luas, maka kejadian tersebut harus
diusahakan secara maksimal dapat dikurangi atau bahkan dihindari. Upaya
mencegah atau menghindari adalah dengan cara-cara pembinaan dan edukasi
secara dini. Upaya melakukan pencegahan tersebut dapat dilakukan oleh
pengusaha dengan cara: (a) mengusahakan adanya keterbukaan dan
kesediaan menerima kehadiran serikat pekerja; (b) sikap tanggap terhadap
masalah pengupahan dan kesejahteraan dalam arti umum; (c) memperhatikan
4.36 Hubungan Industrial ⚫

dan memperlakukan pekerja secara manusiawi; (d) mengembangkan forum


komunikasi dan kebiasaan bermusyawarah. Sebaliknya, para pekerja perlu
bersikap dan bersedia: (a) melakukan komunikasi dengan pimpinan
perusahaan dan dapat memahami kondisi perusahaan; (b) dapat
mengendalikan diri dan mampu mengembangkan kebiasaan bermusyawarah;
dan (c) tidak bersikap konfrontatif dan menghindarkan diri dari perbuatan
destruktif.

3. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Secara umum PHK merupakan kejadian yang tidak diinginkan oleh
semua pihak karena merugikan pekerja, pengusaha, atau keduanya, dan
masyarakat. PHK harus diusahakan untuk dihindari. Namun demikian,
apabila tidak mungkin lagi dapat dicegah, PHK harus merupakan pilihan
terakhir. Apabila keadaan perusahaan benar-benar menurun, maka sebelum
sampai pada keputusan PHK, perlu diambil langkah secara bertahap, yaitu (a)
mengurangi giliran kerja; (b) membatasi atau menghapus kerja lembur; (c)
mengurangi jam kerja atau hari kerja; (d) mengadakan penghematan atau
meningkatkan efisiensi; (e) melaksanakan percepatan pensiun; (f) meliburkan
karyawan secara bergilir atau merumahkan karyawan untuk sementara.
Apabila dengan menggunakan sederetan langkah tersebut ternyata tidak
berhasil dan PHK tidak lagi dapat dihindari, maka untuk melaksanakan PHK
perlu dibicarakan dengan serikat pekerja untuk menetapkan kriteria. Untuk
selanjutnya, karyawan tersebut juga diajak bicara untuk menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya.

4. Pengawasan Ketenagakerjaan
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan merupakan sarana
perlindungan bagi karyawan yang juga mengatur mengenai hak dan
kewajiban bagi para pelaku proses produksi. Ketentuan yang diatur dapat
diterapkan dengan baik apabila karyawan mempunyai cukup pemahaman dan
kesadaran. Namun demikian, dalam prakteknya masih diperlukan
pengawasan yang dilakukan oleh pegawai pengawas dari instansi pemerintah
yang membidangi ketenagakerjaan.
Agar ketentuan yang berlaku dapat diterapkan dengan baik, pengawasan
perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak, khususnya dari karyawan
dan serikat pekerja dengan cara memberikan informasi tentang pelanggaran
yang terjadi di perusahaan. Pemberian informasi ini perlu dilakukan apabila
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.37

dengan upaya internal oleh karyawan atau serikat pekerja agar peraturan
perundang-undangan tersebut dilaksanakan ternyata tidak membuahkan hasil.
Cara ini perlu dikembangkan mengingat keterbatasan jumlah pegawai
pengawas, sehingga mereka tidak dapat mencakup seluruh perusahaan.

5. Kesejahteraan Karyawan
Kesejahteraan karyawan perlu senantiasa diperhatikan dan bila mungkin
ditingkatkan, karena hal ini memberikan pengaruh langsung terhadap
ketenangan bekerja yang pada gilirannya juga akan memberikan kontribusi
terhadap peningkatan produktivitas kerja. Upaya peningkatan kesejahteraan
ini bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pengusaha dan serikat
pekerja, tetapi karyawan sendiri juga dapat mengusahakan, misalnya melalui
pembentukan koperasi.

Dari beberapa permasalahan khusus tersebut, permasalahan khusus yang


paling sering dihadapi di Indonesia dan sangat berpengaruh pada
produktivitas kerja karyawan adalah permasalahan pemberian upah karyawan
atau yang sering disebut dengan pengupahan. Upah pada dasarnya terkait
langsung dengan masalah produktivitas. Hal ini berarti tingkat produktivitas
harus lebih tinggi daripada tingkat upah. Upah merupakan penghasilan
karyawan dan merupakan biaya produksi perusahaan. Upah juga merupakan
sumbangan karyawan dalam arti untuk meningkatkan produktivitas
karyawan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat upah, yaitu:

a. Pendidikan dan keterampilan


Secara umum, pendidikan dan keterampilan karyawan sangat
berpengaruh pada penentuan upah yang akan diterimanya. Semakin tinggi
tingkat pendidikan dan/atau keterampilan karyawan, maka semakin mudah
karyawan tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya, sehingga
produktivitasnya juga meningkat.

b. Kondisi pasar
Kondisi pasar kerja sangat mempengaruhi harga karyawan tersebut.
Apabila tingkat permintaan akan tenaga kerja rendah padahal penawaran
tenaga kerja tinggi, maka akan terjadi pengangguran. Dalam kondisi tersebut
posisi tawar-menawar pekerja rendah, sehingga tingkat upah juga rendah.
Sebaliknya, apabila permintaan tenaga kerja tinggi dan penawarannya rendah
maka posisi tawar-menawar tenaga kerja tinggi dan tingkat upah juga
meningkat.
4.38 Hubungan Industrial ⚫

c. Biaya hidup
Biaya hidup suatu daerah akan menentukan besarnya tingkat upah yang
berlaku di daerah tersebut. Hal ini terjadi untuk tetap mempertahankan
kesejahteraan karyawan/pekerja tersebut.

d. Kemampuan perusahaan
Kemampuan perusahaan dalam menentukan tingkat upah merupakan
penentu utama besarnya upah yang diterima karyawan. Bila perusahaan tidak
mampu membayar, maka perusahaan dapat disebut tidak efisien, gulung
tikar, dan harus ditutup

e. Kemampuan serikat pekerja


Fungsi utama serikat pekerja adalah membela kepentingan pekerja atau
karyawan, penyalur aspirasi karyawan, dan meningkatkan kesejahteraan
karyawan. Pelaksana fungsi tersebut pada dasarnya dilakukan melalui
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama. Bila serikat pekerja telah
cukup kuat dan profesional, maka serikat pekerja dapat memperjuangkan
perbaikan pengupahan bagi karyawan.

f. Produktivitas kerja
Kaitan antara produktivitas kerja dan pengupahan memang perlu
dipahami oleh semua pihak. Kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan
sangat tergantung dari tingkat produktivitas kerja. Pimpinan perusahaan juga
harus memahami bahwa

g. Kebijakan pemerintah
Dalam beberapa hal, pemerintah sering kali melakukan intervensi
terhadap pengupahan dan tidak hanya menyerahkannya pada mekanisme
pasar. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar upah minimum karyawan
tidak menurun dan untuk menjamin tersedianya kesempatan kerja.

C. PERMASALAHAN UPAH MINIMUM

Setiap negara mempunyai cara dalam menetapkan upah minimum yang


berlaku di negara tersebut. ILO mengeluarkan konvensi No. 131 dan
rekomendasi No. 135 mengenai Penetapan Upah Minimum di Negara
Berkembang. Standar ini digunakan sebagai pedoman dalam penetapan upah
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.39

minimum selain kebijakan nasional yang diberlakukan di negara tersebut.


Upah minimum menggunakan standar kebutuhan fisik minimum sebagai
tolok ukurnya. Pada tahun 1995 tolok ukur yang digunakan bukan lagi
kebutuhan fisik minimum melainkan kebutuhan hidup minimum. Saat ini,
upah minimum tersebut menggunakan standar kebutuhan hidup minimum.
Upah minimum digunakan sebagai jaring pengaman agar tingkat upah
khususnya untuk karyawan pada level terendah tidak merosot.
Dalam kondisi penawaran tenaga kerja lebih besar daripada permintaan
tenaga kerja, kekuatan tawar-menawar tenaga kerja menjadi sangat lemah
sehingga upah tenaga kerja menjadi rendah. Apabila upah minimum tidak
diatur, perusahaan akan membuka kesempatan kerja sangat luas walaupun
sebenarnya setiap perusahaan mempunyai batas maksimal jumlah
kesempatan kerja. Upah pada umumnya ditentukan oleh perusahaan
berdasarkan perundingan yang dilakukan melalui mekanisme perjanjian kerja
bersama antara pengusaha dengan karyawan atau serikat pekerja. Namun
demikian, hingga saat ini serikat pekerja belum mampu melakukan perjanjian
kerja bersama dengan pengusaha dalam menentukan pengupahan. Oleh
karena itu, pengaturan pengupahan internal perusahaan dipandang masih
belum efektif, sehingga kebijakan penetapan upah minimum dilakukan oleh
pemerintah pusat dengan mekanisme dari bawah. UU No. 13 Tahun 2003
menyatakan bahwa upah minimum ditetapkan oleh gubernur setempat.
Permasalahan utama mengenai penetapan upah minimum adalah
kesalahan dalam penafsiran arti upah minimum. Upah minimum adalah upah
terendah bagi karyawan tingkat terendah dalam masa kerja kurang dari satu
tahun. Karyawan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dengan masa
kerja lebih lama tentu akan mempunyai upah yang lebih besar daripada upah
minimum. Permasalahan kedua dalam penetapan upah minimum adalah
penetapan standar kebutuhan fisik minimum, kebutuhan hidup minimum, dan
kebutuhan hidup layak didasarkan pada pekerja yang masih lajang. Hal inilah
yang menyebabkan karyawan tidak setuju dengan standar tersebut terutama
karyawan yang telah berkeluarga.
Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000, pemerintah pusat berwenang
menetapkan pedoman penentuan kebutuhan fisik minimum. Pemerintah
daerah melakukan berbagai kajian khususnya mengenai tingkat harga di
daerah tersebut sebagai dasar menetapkan upah minimum berdasarkan
4.40 Hubungan Industrial ⚫

kebutuhan fisik minimum. Di masa mendatang, acuan penetapan upah


minimum adalah kebutuhan hidup layak.
Hak dan kewajiban para pelaku proses produksi di perusahaan
merupakan inti hubungan industrial tersebut. Kewajiban mencakup
kewajiban semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial tersebut,
baik pengusaha, karyawan dan/atau serikat pekerja, maupun perusahaan dan
pemerintah, serta masyarakat luas. Sementara itu, yang merupakan hak para
pihak yang terlibat dalam hubungan industrial ini adalah semua yang harus
diterima, baik diterima oleh karyawan dan/atau serikat pekerja dan
pengusaha, atau pihak lain seperti masyarakat dan pemerintah. Salah satu hak
karyawan yang sangat sensitif adalah masalah pengupahan.
Pengaturan hak dan kewajiban karyawan dapat ditemukan dalam
peraturan perundang-undangan dan pengaturan intern individu perusahaan
dalam bentuk perjanjian kerja bersama. Salah satu materi dalam perjanjian
kerja bersama adalah pengupahan dan berbagai pemberian jaminan bagi
karyawan, seperti perawatan dan pengobatan, keselamatan dan kesehatan
kerja, kesejahteraan, peningkatan keterampilan, tata tertib kerja, penyelesaian
keluhan, dan pemutusan hubungan kerja.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Apakah perbedaan gaji dan upah?


2) Apakah permasalahan yang mungkin timbul berkaitan dengan
pengupahan dan pemberian penghargaan lainnya?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Gaji adalah pembayaran yang dibayar secara tetap dan berkala setiap
bulan atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh karyawan menurut
jenjang jabatan dan faktor lainnya. Upah adalah pembayaran yang
dibayarkan berdasarkan hari kerja, jam kerja, atau jumlah satuan produk
atas pekerjaan yang dihasilkan oleh karyawan. Untuk lebih jelasnya
dapat Anda pada bagian awal Kegiatan Belajar 2.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.41

2) Permasalahan dalam pengupahan yang mungkin muncul adalah adanya


perbedaan kepentingan antara pengusaha dan karyawan. Bagi pengusaha,
upah dapat dipandang sebagai biaya yang harus dibayarkan kepada
pekerja dan diperhitungkan sebagai beban. Bagi karyawan upah selalu
diharapkan kenaikannya secara berkala meskipun terkadang
produktivitas kerja tidak meningkat. Permasalahan lain yang terkait
dengan pemberian penghargaan kepada karyawan adalah masalah
jaminan sosial. Untuk lebih jelasnya baca kembali Kegiatan Belajar 2.

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Masih banyak karyawan yang diberi upah atau gaji di bawah upah
minimum merupakan bentuk pelanggaran ....
A. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 1999
B. UU No. 13 Tahun 2003
C. Peraturan Menteri BUMN Tahun 2000
D. tidak ada jawaban yang benar

2) Upah Minimum yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010


adalah ….
A. Rp1,069,865 per bulan
B. Rp1,118,009 per bulan
C. Rp1,250,000 per bulan
D. Rp1,500,000 per bulan

3) Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa ....


A. outsourcing boleh digunakan untuk tenaga produksi utama
B. outsourcing boleh digunakan hanya untuk tenaga penunjang seperti
keamanan, cleaning service, driver, dan katering
C. outsourcing boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan atau
proses produksi yang utama
D. tidak ada pernyataan yang benar

4) Upaya yang dapat ditempuh oleh pengusaha untuk mencegah terjadinya


pemogokan antara lain ....
A. mengusahakan adanya keterbukaan dan kesediaan menerima
kehadiran serikat pekerja
B. bersikap tanggap terhadap masalah pengupahan dan kesejahteraan
dalam arti umum
4.42 Hubungan Industrial ⚫

C. memperhatikan dan memperlakukan pekerja secara manusiawi


D. Semua pernyataan benar

5) Apabila dalam keadaan terpaksa pengusaha harus menempuh jalan PHK,


perlu diambil langkah secara bertahap, yaitu ....
A. mengurangi giliran kerja
B. membatasi atau menghapus kerja lembur
C. melaksanakan percepatan pensiun
D. semua pernyataan benar

6) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat upah antara lain ....


A. pendidikan dan keterampilan
B. kondisi pasar
C. biaya hidup
D. semua pernyataan benar

7) Yang dimaksud dengan Upah Minimum adalah ....


A. upah terendah bagi karyawan tingkat terendah dalam masa kerja
kurang dari satu tahun
B. upah terendah bagi karyawan tingkat terendah dalam masa kerja
kurang dari dua tahun
C. upah terendah bagi karyawan penunjang dalam masa kerja tertentu
D. upah terendah bagi karyawan operasional terendah dalam masa kerja
tidak ditentukan

8) Pemerintah pusat berwenang menetapkan pedoman penentuan kebutuhan


fisik minimum sesuai dengan...
A. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
B. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000
C. UU No 13 Tahun 2003
D. jawaban A dan B yang benar

9) Perselisihan PHK disebabkan oleh ....


A. karyawan melakukan tindakan pelanggaran
B. pelaksanaan upah minimum tidak sesuai
C. pemberlakuan outsourcing di perusahaan tersebut
D. semua jawaban benar
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.43

10) Salah satu materi dalam perjanjian kerja bersama adalah ....
A. pengupahan dan berbagai pemberian jaminan bagi karyawan
B. peraturan perusahaan yang menyangkut tata tertib kerja
C. pemutusan hubungan kerja
D. semua jawaban benar

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul berikutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
4.44 Hubungan Industrial ⚫

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) D 1) A
2) C 2) B
3) D 3) B
4) A 4) D
5) B 5) D
6) D 6) D
7) A 7) A
8) C 8) D
9) C 9) A
10) D 10) D
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.45

Daftar Pustaka

Abdussalam, H.R. (2009). Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan).


Jakarta: Restu Agung.

Allen, T.D.; Barnard, S.; Rush, M.C.; dan Russell, J.E.A. (2000). Ratings of
Organizational Citizenship Behavior: Does the Source Make A
Difference? Human Resource Management Review, 10(1):97-114.

Azfar, O. dan Danninger, S. (2001). Profit Sharing, Employment Stabling,


and Wage Growth. Industrial and Labor Relations Review, 54(3):619-
630.

Baird, L.S. (1977). Self and Supervisor Ratings of Performance: As Related


to Self-esteem and Satisfaction with Supervision. Academy of
Management Journal, 20(2):291-300.

Bandura, A. (2001). Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective. Ann.


Rev. Psychol., 52:1-26.

Banks, C.G. dan Roberson, L. (1985). Performance Appraisers as Test


Developers. Academy of Management Review, 10(1):128-142.

Batubara, C. (2008). Hubungan Industrial. Jakarta: PPM Manajemen.

Borman, W.C. dan Motowidlo, S.J. (1997). Task Performance and


Contextual Performance: the Meaning for Personnel Selection Research.
Human Performance, 10(2):99-109.

Caderblom, D. (1982). The Performance Appraisal Interview: A Review,


Implications, and Suggestions. Academy of Management Journal, 7(2):
219-227.

Campion, M.A.; Cheraskin, L.; dan Stevens, M.J. (1994). Career-Related


Antecedents and Outcomes of Job Rotation. Academy of Management
Journal, 37(5):1518-1542
4.46 Hubungan Industrial ⚫

Decotiis, T dan Petit, A. (1978). The Performance Appraisal Process: A


Model and Some Testable Propositions. Academy of Management
Review, 3(3):635-646.

Furnham, A. dan Stringfield, P. (1994). Congruence of Self and Subordinate


Ratings of Managerial Practices as a Correlate of Supervisor Evaluation.
Journal of Occupational and Organizational Psychology, 67: 57-67.

Greenberg, J. dan Baron, R.A. (2003). Behavior in Organizations:


Understanding and Managing the Human Side of Work, 8th edition. New
Jersey: Prentice Hall.

Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.

Harris, M.M. dan Schaubroeck, J. (1988). A Meta-Analysis of Self-


Supervisor, Self-Peer, and Peer-Supervisor Ratings. Personnel
Psychology, 41:43-62.

Haryani. S. (2002). Hubungan Industrial di Indonesia. Yogyakarta: AMP


YKPN.

Ilgen, D.R dan Favero, J.L. (1985). Limits in Generalization from


Psychological Research to Performance Appraisal Processes. Academy
of Management Review, 10(2):311-321.

Jones, G.R. (2007). Organizational Theory, Design, and Change, 5th edition.
Singapore: Pearson Prentice Hall.

Judge, T.A. dan Ferris, G.R. (1993). Social Context of Performance


Evaluation Decisions. Academy of Management Journal, 36(1):80-105.

Katz, D. dan Kahn, R.L. (1978). The Social Psychology of Organization.


New York: John Wiley and Sons, Inc.

Keeley, M. (1978). A Contingency Framework for Performance Evaluation.


Academy of Management Review, 3:428-438.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.47

Khalid, S.A. dan Ali, H. (2005). Self and Superior Ratings of Organizational
Citizenship Behavior: Are There Differences in the Source of Ratings?
Problems and Perspectives in Management, 4:147-153.

Korsgaard, M.A.; Meglino, B.M.; dan Lester, S.W. (2004). The Effect of
Other Orientation on Self-Supervisor Rating Agreement. Journal of
Organizational Behavior, 25:873-891.

Lam, S.S.K.; Hui, C.; dan Law, K.S. (1999). Organizational Citizenship
Behavior: Comparing Perspectives of Supervisors and Subordinates
Across Four International Samples. Journal Of Applied Psychology, 84
(4):594-601.

LePine, J.A.; Erez, A.; dan Johnson, D.E. (2002). The Nature and
Dimensionality of Organizational Citizenship Behavior: A Critical
Review and Meta-Analysis. Journal of Applied Psychology,87(1):52-65.

LePine, J.A. dan Van Dyne, L. (2001). Voice and Cooperative Behavior as
Contrasting Forms of Contextual Performance: Evidence of Differential
Relationships With Big Five Personality Characteristics and Cognitive
Ability. Journal of Applied Psychology, 86(2):326-336.

Milliman, J.F.; Nason, S.; Lowe, K.; Kim, N; dan Huo, P. (1995). An
Empirical Study of Performance Appraisal Practices In Japan, Korea,
Taiwan, and The U.S. Academy of Management Journal.

Morrison, E.W. (1994). Role Definition and Organizational Citizenship


Behavior: The Importance of the Employee Perspective. Academy of
Management Journal, 37(6):1543-1567.

Morrison, R.F. dan Brantner, T.M. (1992). What Enhances or Inhibits


Learning a New Job? A Basic Career Issues. Journal of Applied
Psychology, 77:926-940.

Motowidlo, S.J.; Borman, W.C.; dan Schmit, M.J. (1997). A Theory of


Individual Differences in Task and Contextual Performance. Human
Performance, 10(2):71-83.
4.48 Hubungan Industrial ⚫

Motowidlo, S.J. dan Van Scooter, J.R. (1994). Evidence that Task
Performance Should be Distinguished from Contextual Performance.
Journal of Applied Psychology, 79(4):475-480.

Nathan, B.R.; Mohrman Jr., A.M.; dan Milliman, J. (1991). Interpersonal


Relations as A Context for the Effects of Appraisal Interviews on
Performance and Satisfaction: A Longitudinal Study. Academy of
Management Journal, 34(2: 352-369.

Niehoff, B.P. dan Moorman, R.H. (1993). Justice as a Mediator of the


Relationship Between Methods of Monitoring and Organizational
Citizenship Behavior. Academy of Management Journal, 36(3):527-556.

Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright. (2007). Fundamentals of Human


Resource Management. New York: McGraw-Hill.

Organ, D.W. (1997). Organizational Citizenship Behavior: It’s Construct


Clean-Up Time. Human Performance, 10(2):85-97.

Parent, D. (1999). Methods of Pay and Earnings: A Longitudinal Analysis.


Industrial and Labor Relations Review, 53(1):71-86.

Pergamit, M.R. dan Veum, J.R. (1999). What is Promotion? Industrial and
Labor Relations Review, 52(4):581-601.

Rama, M. (2001). The Consequences of Doubling the Minimum Wage: the


Case of Indonesia. Industrial and Labor Relations Review, 54(4):864-
881.

Rousseau, D.L. dan Garcia-Retamero, R. (2007). Identity, Power, and Threat


Perception: A Cross-national Experimental Study. Journal of Conflict
Resolution, 51(5):744-771.

Schnake, M. (1991). Organizational Citizenship: A Review, Proposal, Model,


and Research Agenda. Human Relations, 44:735-759.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.49

Simanjuntak, P.J. (2009). Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Jala


Permata Aksara.

Snell, S.A. dan Youndt, M.A. (1995). Human Resource Management and
Firm Performance: Testing a Contingency Model of Executive Controls.
Journal of Management, 21(4): 711-737.

Suliman, A.M.T. (2003). Self and Supervisor Ratings to Performance:


Evidence from and Individualistic Culture. Employee Relation, 25(4):
371-388.

Taylor, M.S.; Masterson, S.S.; Renard, M.K.; dan Tracy, K.B. (1998).
Manager’s Reactions To Procedurally Just Performance Management
Systems. Academy of Management Journal, 41(5):568-579.

Tziner, A.; Latham, G.P.; Price, B.S,; dan Haccoun, R. (1996). Development
and Validation of A Questionnaire for Measuring Perceived Political
Considerations in Performance Appraisal. Journal of Organizational
Behavior, 17:179-190.

Van der Heidjen, B.I.J.M. dan Nijhof, A.H.J. (2004). The Value of
Subjectivity: Problems and Prospects for 360-degree Appraisal Systems.
International Journal of Human Resource Management, 15 (3) May:
493-511.

Van Dyne, L. dan LePine, J.A. (1998). Helping and Voice Extra-Role
Behaviors: Evidence of Construct and Predictive Validity. Academy of
Management Journal, 41(1):108-119.

Welborne, T.M.; Johnson, D.E.; dan Erez, A. (1998). The Role-Based


Performance Scale: Validity Analysis of A Theory-Based Measure.
Academy of Management Journal, 41(5):540-555.

Williams, L.J. dan Anderson, S.E. (1991). Job Satisfaction and


Organizational Commitment as Predictors of Organizational Citizenship
and In-Role Behaviors. Journal of Management, 17(3):601-617.
4.50 Hubungan Industrial ⚫

Zellarrs, K.L.; Tepper, B.J.; dan Duffy, M.K. (2002). Abusive Supervision
and Subordinates Organizational Citizenship Behavior. Journal of
Applied Psychology, 87(6):1068-1076.

Zenger, T.R. dan Marshall, C.R. (2000). Determinants of Incentive Intensity


in Group-Based Rewards. Academy of Management Journal, 43(2):
149-163.
Modul 5

Konflik dan Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial
Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E., M.T.

PE NDAHUL UA N

H ubungan antarkaryawan mempunyai potensi dapat menimbulkan konflik


atau perselisihan yang dapat berpengaruh pada produktivitas kerja
karyawan dan produktivitas atau kinerja perusahaan secara keseluruhan. Pada
umumnya perselisihan di tempat kerja tersebut terjadi antara pengusaha atau
gabungan pengusaha, karyawan secara perorangan, dan serikat pekerja. Ada
berbagai macam konflik atau perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antarserikat pekerja. Selain itu, konflik atau perselisihan yang terjadi dapat
bersifat individual maupun kolektif.
Konflik didasari berbagai teori dan menggunakan berbagai pendekatan
dalam penjelasan dan penyelesaian konflik dalam organisasi. Berbagai
pandangan mengenai konflik juga mempengaruhi penyikapan terhadap
konflik, pandangan tradisional, pandangan hubungan antarkaryawan, dan
pandangan interaksional. Konflik ada yang bersifat fungsional dan konflik
yang disfungsional. Selain itu, ada konflik yang terkait dengan tugas, konflik
yang berdasarkan hubungan interpersonal, dan konflik yang terkait dengan
bagaimana tugas pekerjaan dilakukan. Konflik juga ada yang dirasakan dan
ada pula konflik persepsian.
Penyelesaian konflik atau perselisihan juga dapat dilakukan melalui
pengadilan penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau dilakukan di
luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui
mekanisme bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Berbagai persyaratan
dan peraturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik atau perselisihan
hubungan industrial juga diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004.
Modul 5 yang merupakan kelanjutan dari Modul 4 ini membahas
mengenai konflik dan perselisihan dalam hubungan industrial. Secara lebih
terinci, Kegiatan Belajar 1 memaparkan tentang konflik dan perselisihan di
5.2 Hubungan Industrial ⚫

tempat kerja, sedangkan Kegiatan Belajar 2 membahas penyelesaian


perselisihan hubungan industrial. Kedua materi tersebut merupakan materi
terakhir dalam modul Hubungan Industrial ini.
Secara umum, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat
menjelaskan mengenai konflik atau perselisihan dan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial di tempat kerja. Secara khusus, setelah
mempelajari modul ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan:
1. Hubungan Antarkaryawan di Tempat Kerja
2. Konflik di Tempat Kerja
3. Jenis dan Penyebab Konflik
4. Pendekatan dalam Konflik Organisasional
5. Perselisihan di Tempat Kerja
6. Perselisihan Hubungan Industrial
7. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.3

Kegiatan Belajar 1

Konflik dan Perselisihan di Tempat Kerja

A. HUBUNGAN ANTARKARYAWAN DI TEMPAT KERJA

Hubungan antarkaryawan di sektor swasta mempengaruhi implementasi


model normatif tempat pekerjaan profesional disadari. Beberapa kontrak
antara karyawan dan manajemen akan berpengaruh pada kinerja karyawan,
kehadiran di tempat kerja, sistem pemberian penghargaan dan hukuman yang
berkembang dengan baik (Kozina, 2009). Sesuai dengan peraturan yang ada,
karyawan baru tidak mengerjakan inovasi dalam manajemen. Labig dan
Greer (1988) menemukan lima kategori variabel yang dapat berkorelasi
dengan keluhan karyawan, yaitu faktor lingkungan (misalnya teknologi),
faktor supervisi (misalnya gaya supervisi), faktor serikat pekerja (misalnya
berbagai pengalaman dalam serikat pekerja), interaksi serikat pekerja dan
manajemen (misalnya kerja sama), dan faktor-faktor karyawan (misalnya
penilaian kerja). Keluhan yang tidak dapat diselesaikan secara informal oleh
para pihak, biasanya diselesaikan dengan kesepakatan dalam arbitrase pihak
ketiga. Pengetahuan tentang perilaku dan hasil atau prestasi pihak-pihak yang
terlibat dalam prosedur penanganan keluhan penting dalam evaluasi
keefektifan penanganan keluhan (Arthur & Dworkin, 1991).
Apabila peran karyawan dimainkan secara objektif maka perilaku
karyawan yang dimainkan oleh faktor subjektif akan meningkat. Yang
terpenting dalam studi perilaku karyawan adalah motivasi karyawan,
orientasi nilai, dan indikator kontrak karyawan secara aktif (tanggung jawab
terhadap pekerjaan, kualitas dan intensitas sumber daya, dan seterusnya)
(Temnifskill, 2004). Dalam masyarakat yang tidak stabil, perilaku karyawan
tidak dapat dilihat hanya sebagai tindakan karyawan yang lengkap dan
diterapkan secara sadar. Sementara itu, pada kondisi yang baru, karakteristik
eksternal dan konten internal perilaku karyawan akan berubah. Hubungan
antarkaryawan dipengaruhi oleh kolektivisme dan individualisme karyawan.
Selanjutnya, prinsip dalam hubungan industrial adalah adanya
pertukaran yang berorientasi pada hubungan yang relasional yang
menekankan hubungan jangka panjang (Izquierdo & Cillan, 2004). Konsep
pertukaran relasional diturunkan dari teori kontrak relasional yang
menjelaskan hubungan dengan prinsip dan norma solidaritas, mutualitas,
5.4 Hubungan Industrial ⚫

integritas fungsi, fleksibilitas, dan sebagainya) yang mengatur perilaku dalam


dua bagian, yaitu struktur dan proses. Dimensi struktural merupakan posisi
anggota dalam orientasi hubungan temporal, sedangkan dimensi proses
merupakan aspek dinamika pertukaran yang meliputi tindakan dan perilaku
dalam hubungan. Hubungan tersebut merupakan hubungan seperti integrasi
vertikal, hegemoni kekuasaan atau hubungan pemasaran, keberlanjutan
kesepakatan secara eksplisit dan implisit (tacit), serta norma-norma kerja
sama dan kesepakatan. Untuk mencapai fleksibilitas diperlukan pertukaran
yang kompleks dengan karakteristik keadaan tidak terduga, pertukaran
relasional sehingga menimbulkan level kerja sama tinggi, perencanaan
bersama, dan saling beradaptasi.
Akhir-akhir ini di negara-negara barat terdapat transisi dari hubungan
industrial tradisional yang sentralisasi dan kolektif ke hubungan industrial
yang menggunakan pendekatan yang terdesentralisasi dan individual.
Hubungan yang sentralistik dikarakteristikkan degan pengambilan keputusan
yang sebagian besar dilakukan oleh lembaga pemerintah, bersifat
kolektivistik, adanya regulasi yang seragam, integrasi institusional pada
beberapa level, dan adaptabilitas yang baik dari perubahan institusional.
Menurut Katz et al. (1985), terdapat dua kunci sistem hubungan
industrial, yaitu manajemen konflik dan sikap dan perilaku individual. Aspek
terpenting dalam kedua dimensi tersebut adalah kesepakatan bersama yang
meliputi negosiasi dan administrasi kontrak serta hubungannya terhadap
sikap dan perilaku individual karyawan. Kurang efektifnya kinerja sistem
hubungan industrial dalam kedua dimensi tersebut menyebabkan keefektifan
organisasional juga berkurang. Salah satu fungsi penting dalam sistem
hubungan industrial adalah menyusun prosedur dan proses untuk
menghilangkan permasalahan antara karyawan dan manajemen. Keefektifan
negosiasi formal dan mekanisme penyelesaian konflik berhubungan dengan
keefektifan organisasional karena:
1. Pengelolaan prosedur formal memerlukan waktu, sumber daya manusia,
dan sumber daya lain, sehingga banyaknya keluhan dan tindakan
kedisiplinan akan mempengaruhi biaya pengelolaan organisasi.
2. Banyaknya keluhan dan tindakan kedisiplinan dapat menunjukkan
keberhasilan atau kegagalan berbagai pihak untuk berkomunikasi secara
efektif atau menyelesaikan perbedaan selama tahap awal prosedur
formal. Banyaknya keluhan atau tindakan kedisiplinan menandakan
permasalahan dalam sistem organisasi untuk menyelesaikan konflik dan
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.5

penyelesaian masalah. Konsekuensinya, banyaknya keluhan dan


tindakan kedisiplinan harus secara sistematik berhubungan dengan
ukuran kinerja sistem hubungan industrial.
3. Karena keluhan formal dan proses kesepakatan memfokuskan pada isu-
isu distributif, proses tersebut memerlukan beberapa derajat politik dan
taktik. Konflik yang tinggi dapat menyebabkan kesepakatan distributif
menghancurkan kesepakatan integratif atau kooperasi.

Sistem penyelesaian konflik menunjukkan karakteristik sistem hubungan


industrial organisasi, tetapi motivasi, sikap, dan perilaku individual dan
kelompok kerja informal dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Berbagai
argumen teoritis menyatakan bahwa kemampuan, motivasi, dan partisipasi
dalam pengambilan keputusan tentang pekerjaan.
Berbagai argumen teoritis menyatakan bahwa kemampuan, motivasi, dan
partisipasi dalam pengambilan keputusan tentang pekerjaan karyawan
individual mempengaruhi keefektifan organisasional dan kepuasan karyawan
individual. Tingkat ketidakhadiran juga merupakan aspek perilaku individual
yang berpengaruh pada kinerja sistem hubungan industrial. Program kualitas
kehidupan kerja mencoba mengintervensi dan memodifikasi kinerja sistem
hubungan industrial serta meningkatkan kinerja organisasional. Peningkatan
dalam kepercayaan, keterlibatan karyawan, dan penyelesaian masalah
merupakan perbaikan dalam kepuasan karyawan dan keefektifan
organisasional. Dengan adanya perbaikan kepercayaan, penyelesaian
masalah, dan manajemen partisipatif, maka tingkat keluhan menurun, yang
berarti bahwa prosedur penanganan keluhan lebih baik. Menurut Katz et al.,
(1985), ukuran kinerja hubungan industrial meliputi:
1. Tingkat keluhan, yaitu banyaknya keluhan tiap 100 orang karyawan.
2. Tingkat ketidakhadiran, yaitu jam kerja karyawan tidak datang atau tidak
masuk kerja (dalam hari).
3. Tingkat kedisiplinan, yaitu banyaknya tindakan kedisiplinan yang
dikenakan pada 100 orang karyawan.
4. Sikap terhadap upah karyawan, yaitu sikap terhadap berbagai fasilitas
dan sarana-prasarana yang ada.
5. Partisipasi dalam sistem atau dalam program saran.
5.6 Hubungan Industrial ⚫

Bluen dan Jubile-Lurie (1990) menyatakan bahwa tekanan dalam


hubungan industrial secara signifikan berhubungan dengan ukuran stres
peran, kepuasan kerja dan supervisi, serta kecenderungan meninggalkan
organisasi. Anggota serikat pekerja mempunyai stres dalam hubungan
industrial yang lebih tinggi daripada yang bukan anggota serikat pekerja.
Shirom dan Kirmeyer (1988) juga menyatakan bahwa anggota serikat pekerja
mengalami ambiguitas peran dan konflik peran yang lebih tinggi daripada
yang bukan anggota serikat pekerja.
Selain itu, kesepakatan bersama merupakan inti kegiatan hubungan
industrial yang memfokuskan pada konflik dan perubahan dalam pengaturan
hubungan karyawan dan manajemen. Kegiatan yang berhubungan dengan
kesepakatan bersama misalnya taktik negosiasi distributif yang akan
meningkatkan konflik karyawan dan manajemen serta agresi personal yang
berpotensi menimbulkan stres. Ancaman negosiator pihak lain adalah
memodifikasi posisi kesepakatan awal, sehingga negosiasi juga dapat
menimbulkan ketidakpastian. Negosiasi antara karyawan dan manajemen
merupakan sumber stres, mempengaruhi level psikologis dan fisiologis
karyawan tersebut. Hasil penelitian Bluen dan Jubile-Lurie menunjukkan
bahwa keterlibatan dalam praktek hubungan industrial menyebabkan stres
dan memiliki konsekuensi organisasional dan psikologikal negatif. Namun
demikian, hasil penelitian tersebut tidak dapat digeneralisasi karena
pengambilan sampel tidak dilakukan secara random.
Kesepakatan bersama dan kesepakatan untuk menyelesaikan keluhan
juga dikenal sebagai komponen utama dalam sistem pelayanan yang
dikendalikan oleh serikat pekerja dan pengusaha atau majikan (Carter, 1997).
Kesepakatan bersama menyusun sistem norma-norma swasta untuk mengatur
hubungan di tempat kerja. Penyelesaian keluhan menyusun bentuk keputusan
pribadi untuk menjamin aplikasi norma-norma tersebut konsisten dengan
keinginan semua pihak. Paradigma klasik mengenai penyelesaian keluhan
memperlakukan kesepakatan kolektif sebagai bentuk legislasi privat yang
mengatur karyawan dalam keanggotaan unit kesepakatan. Dalam model ini,
hanya serikat pekerja dan manajer yang memiliki akses dalam arbitrase untuk
memperkuat kesepakatan bersama.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.7

B. KONFLIK DI TEMPAT KERJA

Konflik merupakan proses yang dimulai ketika satu pihak


memersepsikan bahwa pihak lain memiliki perasaan negatif terhadapnya atau
mengenai perasaan secara negatif pihak lain, yang oleh pihak pertama tidak
disukainya (Robbins & Judge, 2011). Menurut Greenberg dan Baron (2008),
konflik dapat didefinisikan sebagai proses memersepsikan satu pihak
terhadap pihak lain bahwa pihak lain telah melakukan atau akan melakukan
tindakan yang bertentangan dengan keinginan atau minat satu pihak tersebut.
Dapat dikatakan bahwa konflik terjadi bila terdapat perbedaan persepsian
dalam minat, pandangan, dan sasaran atau tujuan. Konflik juga terjadi bila
ada perbedaan persepsi yang berasal dari organisasi dan dapat menimbulkan
emosi beserta konsekuensinya (Bluen & Jubiler-Lurie, 1990).
Menurut Robbins & Judge (2011), ada tiga pandangan mengenai
konflik, yaitu pandangan tradisional, pandangan hubungan karyawan, dan
pandangan interaksional. Pandangan tradisional menyatakan bahwa konflik
adalah berbahaya dan harus dihindari. Dalam pandangan ini, semua konflik
adalah buruk, berbahaya, harus dihindari, dan harus dicari penyebabnya
sehingga tidak berpengaruh pada kinerja kelompok dan organisasi. Pada
umumnya, penyebab konflik adalah karena lemahnya komunikasi, kurang
keterbukaan, dan kegagalan dalam menanggapi kebutuhan karyawan.
Sementara itu, pandangan hubungan karyawan menyatakan bahwa konflik
adalah pandangan alamiah yang terjadi dalam kelompok dan organisasi dan
tidak dapat dielakkan. Karena konflik tidak dapat dihindarkan, maka
pandangan hubungan karyawan menerima adanya konflik tersebut.
Pandangan ketiga, pandangan interaksionis menyatakan bahwa konflik harus
diciptakan sebagai dasar tercapainya harmonisasi, kedamaian, ketenangan,
kerja sama dalam kelompok yang cenderung apatis, statis, tidak tanggap
terhadap perubahan dan inovasi. Pandangan interaksionis menyatakan bahwa
konflik tidak hanya merupakan kekuatan positif dalam kelompok, tetapi
konflik juga secara absolut penting untuk kelompok agar lebih efektif.
Konflik merupakan kenyataan yang sulit dihilangkan dalam kehidupan
organisasi. Dalam teori sosial awal seperti dikemukakan Marx Weber,
konflik kelompok dipandang sebagai pertumbuhan kelas sosial dan hierarki
organisasi yang tidak dapat dielakkan (Kolb & Putnam, 1992). Teori politik
mendefinisikan konflik sebagai sesuatu yang melekat pada struktur
organisasi. Konflik dapat diselesaikan dengan cara negosiasi melalui sasaran
5.8 Hubungan Industrial ⚫

dan perhatian terus-menerus terhadap keputusannya. Beberapa hal yang dapat


menyebabkan konflik adalah kesempatan, gender, etnis, budaya, dan masih
banyak lagi. Konflik merupakan sesuatu yang diperbolehkan, sah, tetapi
merupakan suatu perselisihan. Konflik yang terjadi antara karyawan dan
manajemen, antardepartemen fungsional, dan antara pimpinan dan
pengikutnya, adalah sesuatu yang umum dan layak.
Menurut Kelloway (1993), hubungan industrial baik konflik maupun
perubahan adalah dinamika hubungan industrial dan merupakan sumber stres.
Stres dalam hubungan industrial, baik positif maupun negatif dapat
mempengaruhi kepuasan kerja. Konflik terjadi ketika salah satu atau
beberapa bagian hilang. Konflik bersifat unik, dapat mengekspresikan
dirinya, dan mampu diselesaikan dalam konteks interdependensi antar bagian
(Sexton, 1996). Konflik merupakan salah satu bentuk perilaku interpersonal
dalam organisasi selain perilaku pro-sosial, kerja sama, persaingan, dan
perilaku organisasional yang menyimpang (Greenberg & Baron, 2008).
Dalam konteks interpersonal dalam hubungan industrial, konflik, tekanan,
dan keluhan melibatkan penerapan strategi atau menggunakan metode untuk
dapat mencapai solusi.
Analisis konflik berkaitan dengan prediktor konflik tersebut yang
meliputi masalah ekonomi, sosial, politik, organisasi, dan efek resiprokal
konflik pada beberapa aspek kerja dan fokus perhatian pada ekspresi konflik
seperti pemogokan dan perputaran kerja. Dalam hubungan industrial, dikenal
istilah konflik industrial model komprehensif. Menurut Hebdon dan Stern,
(1998), konflik industrial didasari pada (1) teori tentang konflik secara
universal yang tidak hanya membahas pemogokan tetapi juga perputaran
kerja, absen, sabotase, ketidakdisiplinan, atau kecenderungan laten terhadap
hasil tersebut dan (2) teori yang harus menjelaskan konflik laten dan nyata
karena ketiadaan konflik yang tampak atau nyata merupakan indikator
kesalahan dalam keefektifan manajemen.
Absen dan perputaran kerja juga merupakan ekspresi konflik. Ekspresi
konflik lainnya adalah sabotase yang merupakan tindakan kriminal atau
penyimpangan. Sabotase juga merupakan perusakan barang atau prediksi di
bawah level kualitas yang dapat diterima. Absen dan perputaran kerja
merupakan tanggapan karyawan untuk mengendalikan proses kerja. Berbagai
tindakan yang dilakukan karyawan dalam menanggapi berbagai lingkungan
yang berbeda atau dalam mengekspresikan konflik adalah: (1) keluar
sementara, meliputi absen, pengurangan usaha, dan kelambanan; (2) keluar
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.9

secara permanen, meliputi perputaran kerja dan transfer karyawan; (3) suara,
yang meliputi pemogokan, mengeluh, menyuarakan kebenaran, dan tindakan
penyelesaian masalah; dan (4) diam, yaitu tidak melakukan apapun untuk
mengekspresikan konflik dan harapan untuk menjadi lebih baik. Konflik juga
berhubungan dengan kepuasan kerja. Peningkatan konflik disebabkan oleh
adanya kesenjangan antara harapan karyawan dan pencapaiannya. Orang
yang tidak puas biasanya akan keluar atau memutuskan hubungan, atau
bersuara (protes, demonstrasi) yang mencoba mengubah hubungan (Robbins
& Judge, 2011).
Konflik juga dapat diawali dengan adanya ancaman, baik ancaman
terhadap individu maupun terhadap sekelompok individu (Rousseau &
Garcia-Retamero, 2007). Ancaman individual meliputi keamanan fisik,
kesehatan dan pendapatan personal, serta nilai dan keyakinan personal.
Ancaman kolektif meliputi ancaman militer, ekonomi, dan budaya. Teori
Identitas Sosial dan Teori Kategorisasi Diri menjelaskan penyusunan
identitas dan persepsi terhadap ancaman. Kedua teori tersebut dikembangkan
untuk menjelaskan sikap yang merugikan dan perilaku yang
mendiskriminasikan anggota di luar kelompok. Teori Identitas Sosial
memulai dengan asumsi bahwa individu secara otomatis menyortir dirinya ke
dalam beberapa kategori. Hal ini merupakan proses kognitif alami yang
terjadi di alam berbagai kondisi sosial. Teori Kategorisasi Diri menekankan
aspek kognitif konstruksi identitas daripada aspek motivasi.

C. JENIS DAN PENYEBAB KONFLIK

Ada dua jenis konflik karyawan, yaitu secara bersama-sama, yaitu


konflik mengenai hak dan konflik kepentingan (Martinez-Pecino et al.,
2008). Konflik kepentingan merupakan konflik yang berkaitan dengan
kondisi ketenagakerjaan, sedangkan konflik mengenai hak menunjukkan
aplikasi dan interpretasi norma atau hukum yang telah mapan sebelumnya.
Konflik mengenai hak dan konflik kepentingan menantang mediator dengan
cara yang berbeda, walaupun pada prinsipnya adalah menganalisis
keefektifan strategi yang digunakan mediator pada kedua konflik tersebut.
Konflik kepentingan melibatkan perselisihan melalui preferensi dan merek,
bukan subjek untuk menjelaskan peran yang membuat mereka lebih dapat
disetujui untuk mediasi.
5.10 Hubungan Industrial ⚫

Konflik mengenai hak cenderung lebih sesuai hukum dan berlawanan


karena berkaitan dengan benar dan salah. Faktor yang mempengaruhi
keefektifan mediasi adalah jenis isu dalam perselisihan, kelangkaan sumber
daya, komitmen dan kemampuan pihak-pihak yang mengadakan mediasi.
Mengenai kelangkaan sumber daya, sulit terjadi konflik karena kelangkaan
sumber daya. Keterbatasan sumber daya ini lebih berakibat pada konflik
mengenai hak daripada konflik kepentingan yang memungkinkan
kesempatan negosiasi integratif dan distributif. Berkaitan dengan isu dalam
perselisihan, mediasi isu berkaitan dengan prinsip atau fakta yang dapat
dibagi menjadi lebih sulit. Dalam konflik, hak-hak diskusi berkaitan dengan
ide benar atau salah, yang berarti kedua pihak mengadopsi posisi yang dapat
dibagikan.
Menurut Greenberg dan Baron (2008), ada tiga jenis konflik, yaitu
konflik substantif, konflik afektif, dan konflik proses. Konflik substantif
merupakan bentuk konflik yang terjadi ketika orang memiliki pandangan dan
pendapat yang berbeda berkenaan dengan keputusan yang mereka buat
bersama dengan orang lain. Dalam banyak hal, konflik substantif ini
bermanfaat dalam membantu kelompok membuat keputusan yang efektif
karena ada beberapa pendapat yang menjadi bahan pertimbangan. Konflik
afektif merupakan satu bentuk konflik yang terjadi ketika orang mengalami
ketidaksesuaian dalam kepribadian atau tekanan interpersonal, sehingga
mengalami frustrasi dan marah. Konflik terjadi karena setiap individu
mempunyai berbagai perbedaan latar belakang. Konflik akan berkurang
apabila ada saling memahami dan mau mengenal satu dengan yang lain.
Sementara itu, konflik proses merupakan konflik yang terjadi karena
perbedaan dalam pendapat mengenai bagaimana kerja kelompok dilakukan
dan bagaimana sumber daya dialokasikan, serta kepada siapa tanggung jawab
diletakkan.
Penyebab dan dampak konflik bervariasi. Konflik dapat disebabkan oleh
perasaan dendam, pandangan negatif terhadap orang lain, kritikan yang
bersifat negatif, ada ketidakpercayaan, dan persaingan untuk memperoleh
sumber daya yang langka. Selain itu, ada beberapa dampak yang timbul
setelah adanya konflik. Reaksi negatif dapat timbul dengan adanya konflik,
seperti emosi negatif, kesulitan berkomunikasi, koordinasi lemah, kinerja
organisasi menurun, dan mengakibatkan rusaknya hubungan dalam jangka
panjang. Konflik dapat diselesaikan dengan negosiasi yang memperhatikan
hubungan antarkaryawan.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.11

Selain itu, terdapat penyebab konflik yang disebut dengan konflik


pekerjaan–keluarga (Burchielly et al., 2008). Konflik tersebut merupakan
konflik antarperan di mana permintaan pekerjaan dan peran dalam keluarga
tidak sesuai, sehingga partisipasinya dalam satu peran lebih sulit karena
partisipasinya pada peran lain (Voydanoff, 2005). Teori peningkatan peran
menyatakan bahwa adanya manfaat individual yang terjadi dari komitmennya
terhadap berbagai peran, dan bahwa sumber daya dari satu domain dapat
digunakan untuk mengisi permintaan akan peran pada domain lain. Teori
tersebut mendorong keseimbangan pekerjaan–keluarga, yaitu fleksibilitas
dalam waktu kerja dan lokasi kerja. Bila keseimbangan pekerjaan dan
keluarga meningkat, hasil meningkat, komitmen organisasional meningkat,
produktivitas meningkat, mengurangi pemadaman semangat kerja,
mengurangi keinginan keluar dari tempat kerja, dan kepuasan kerja akan
meningkat.
Tingkat keluhan yang tinggi juga tampak sebagai karakteristik model
perlawanan tradisional dalam hubungannya di tempat kerja. Resolusi
informal yang lebih cepat menunjukkan perbaikan sistem model hubungan
industrial yang menunjukkan peningkatan kinerja organisasional (Katz et al.,
1985; Ichniowski, 1986; Cutcher-Gershenfeld, 1991). Ada tiga cara yang
berbeda dalam penggunaan prosedur penyelesaian konflik (Colvin, 2004).
Pertama, memperbesar kepercayaan dan kerja sama antara karyawan dan
manajemen pada sistem kerja dengan keterlibatan tinggi, sehingga
mengurangi seluruh level konflik di tempat kerja. Hal ini akan mengurangi
konflik dan penggunaan prosedur penyelesaian konflik di tempat kerja.
Kedua, dampak sistem keterlibatan kerja yang tinggi adalah bagaimana di
tempat kerja. Penyelesaian konflik secara informal menyebabkan penggunaan
prosedur penyelesaian konflik berkurang. Ketiga, keterlibatan karyawan
dalam pengambilan keputusan pada pembuatan keputusan oleh sistem dan
prosedur berdasar tim dan kepercayaan karyawan dan manajemen lebih
besar. Hal ini dapat menghasilkan kepercayaan yang lebih baik dan legitimasi
yang lebih besar terhadap karyawan.
Efek legitimasi diprediksi menyebabkan pengurangan keluhan dengan
sistem kerja yang lebih baik. Efek legitimasi diprediksi menyebabkan
pengurangan tingkat keluhan di bawah sistem kerja berkinerja tinggi, selain
dari pengaruh pada level konflik di tempat kerja. Mengapa efek keterlibatan
karyawan dalam penyelesaian perselisihan di tempat kerja merupakan
permasalahan organisasi? Efek langsung pada organisasi berasal dari
5.12 Hubungan Industrial ⚫

pendapat Katz et al. (1985) yang dijelaskan sebagai pengaruh pemindahan


dalam penanganan keluhan. Pandangan yang sederhana adalah semakin besar
waktu yang dicurahkan oleh manajer dan karyawan dalam menangani
keluhan, maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan karyawan untuk
melakukan kegiatan yang lebih produktif di tempat kerja. Pengaruh tersebut
didasarkan pada teori keinginan atau kemauan keluar dan teori keadilan
organisasi. Teori keinginan keluar dapat berkonfrontasi dengan permasalahan
di tempat kerja apabila karyawan dapat menggunakan mekanisme suara
seperti prosedur keluhan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Pencapaian efek organisasional yang positif tergantung pada suatu
tingkat dengan keterlibatan karyawan yang secara aktual menghasilkan
perbaikan dalam penyelesaian perselisihan di tempat kerja. Program
keterlibatan karyawan mempunyai efek berlawanan yang menyebabkan
konflik yang lebih besar di tempat kerja dan mengganggu keefektifan minat
karyawan tradisional melalui struktur seperti prosedur penyelesaian
perselisihan (Godard & Delaney, 2000). Hasil penelitian Colvin (2004)
menunjukkan bahwa semakin besar keterlibatan karyawan berkaitan dengan
pengurangan konflik di tempat kerja dan penurunan keluhan karyawan.
Praktek keterlibatan yang lebih tinggi seperti ditunjukkan oleh kelompok
penyelesaian permasalahan dengan keterlibatan kelompok kerja dalam
pengambilan keputusan yang lebih tinggi berhubungan dengan menurunnya
keluhan karyawan.

D. PENDEKATAN DALAM KONFLIK ORGANISASI

Analisis hubungan industrial memungkinkan konflik dalam hubungan


antarkaryawan menggunakan pengaruh pemogokan dan model kesepakatan
(Page et al., 2007). Model pengaruh pemogokan menilai keinginan dan
kemampuan manajemen dan karyawan untuk menopang pemogokan. Fokus
model ini adalah pada faktor ekonomi mikro yang mengendalikan aktor
individual, manajer, dan serikat pekerja. Secara umum, semakin banyak
pemogok memberi pengaruh, semakin besar kekuatan tawar menawar, dan
semakin lama mereka mampu menopang pemogokan. Sementara itu, model
kesepakatan merupakan konsep ekonomi makro yang mengeksplorasi
keputusan konflik antarkelompok. Model tersebut menawarkan efisiensi
secara signifikan melalui model kesepakatan pada negosiasi keras dan
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.13

konflik karyawan yang potensial dibatasi untuk negosiasi awal sebagai


pengganti pengulangan pada setiap negosiasi berikutnya.
Menurut Lewicki et al. (1992), terdapat enam pendekatan dalam
mempelajari konflik dalam organisasi seperti berikut ini.
1. Pendekatan level mikro atau psikologi yang memfokuskan pada konflik
di dalam dan di antara karyawan sebagai individu, khususnya variabel
perilaku intrapersonal, interpersonal, dan kelompok kecil yang
mempengaruhi penyebab dinamika konflik dan hasil konflik.
2. Pendekatan level makro atau sosiologi yang memfokuskan pada
kelompok, departemen, divisi, dan keseluruhan organisasi sebagai unit
analisis untuk memahami dinamika konflik.
3. Pendekatan dalam analisis ekonomi yang menerapkan model rasionalitas
ekonomi dan pengambilan keputusan individual hingga perilaku sosial
yang kompleks.
4. Pendekatan hubungan karyawan, yang diawali dari keinginan memahami
dan mempengaruhi praktek hubungan industrial di Amerika.
5. Pendekatan kesepakatan dan negosiasi yang berasal dari seringnya
menggunakan proses dalam hubungan antarkaryawan dan hubungan
internasional.
6. Resolusi perselisihan oleh pihak ketiga yang menekankan pada tindakan
yang dilakukan oleh pihak ketiga yang berasal dari pihak ketiga, yaitu
dari luar pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan atau memperbaiki
negosiasi yang efektif.

Peneliti konflik awal, terutama ahli psikologi sosial memperhatikan


usaha mendefinisikan konflik dan menjelaskan penyebab utamanya. Lewicki
et al (1992) juga menjelaskan bahwa konflik sebagai suatu jenis proses
interaksi sosial antar bagian yang bersifat saling meniadakan atau dipandang
nilai-nilainya tidak mencukupi. Selanjutnya, studi awal yang memfokuskan
pada pihak ketiga menekankan keefektifan dalam arbitrase, mediasi, dan
proses konsultasi. Arbitrase merupakan proses dengan pihak ketiga yang
memiliki kekuasaan untuk menentukan atau memberikan rekomendasi
terhadap kesepakatan antara dua atau lebih pihak yang berkonflik. Mediasi
merupakan proses dengan pihak netral bekerja bersama dengan beberapa
pihak yang sedang konflik untuk mencapai penyelesaian atas konflik yang
terjadi. Konsultasi merupakan bentuk pengaruh sosial tempat individu
5.14 Hubungan Industrial ⚫

meminta seseorang berpartisipasi dalam membuat keputusan atau


merencanakan perubahan.
Sementara itu, pendekatan yang lebih kontemporer mengintegrasikan
intervensi pihak ketiga dalam pemahaman yang luas mengenai penyebab dan
dinamika konflik. Ada lima tahap episode konflik, yaitu kondisi yang
mendahului atau mengawali konflik; adanya konflik tersembunyi atau
terpendam; adanya persepsi terhadap konflik yang muncul atau konflik
persepsian; adanya konflik yang mulai nyata; dan beberapa akibat yang
ditimbulkan oleh konflik.
Sementara itu, Casier dan Ruble (1985) menyatakan bahwa ada dua
dimensi konflik, yaitu ketegasan yang merupakan perilaku untuk memuaskan
satu pihak dan kerja sama yang merupakan perilaku untuk memuaskan pihak
lain. Kedua dimensi ini membentuk kombinasi yang berupa cara model
konflik. Hal tersebut digambarkan sebagai berikut.

Assertiveness
Tinggi Bersaing Berkolaborasi
(competing) (collaborating)
Berkompromi
(compromising)
Rendah Menghindari Penyesuaian diri
(avoiding) (accomodating)
Rendah Tinggi
Cooperativeness
Sumber: Cashier & Ruble, 1985

Gambar 5.1.
Model Konflik

Teori yang mendasari konflik adalah Teori Perhatian Dua Hal yang pada
awalnya digunakan oleh Blake dan Mouton dan menjadi teori kerja sama dan
persaingan orang Belanda. Manajemen konflik merupakan fungsi dari
perhatian yang rendah atau tinggi terhadap diri sendiri dan perhatian yang
rendah atau tinggi terhadap orang lain. Kombinasi keduanya tersebut
menghasilkan berbagai jenis konflik. Kombinasi perhatian tinggi pada diri
sendiri dan rendah pada orang lain disebut dengan FORCING, yaitu
mengesankan keinginan seseorang pada orang lain, berupa gertakan,
ancaman, argumen persuasif dan komitmen posisional. Kombinasi perhatian
rendah pada diri sendiri dan tinggi pada orang lain disebut dengan
YIELDING, yaitu penerimaan dan penggabungan keinginan orang lain,
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.15

konsesi unilateral, harapan mutlak tanpa syarat, dan menawarkan bantuan.


Sementara itu, kombinasi perhatian rendah pada diri sendiri dan orang lain
disebut dengan AVOIDING, yaitu pengurangan isu-isu penting dan mencoba
menindas pemikiran tentang isu-isu tersebut. Selanjutnya, kombinasi
perhatian tinggi pada diri sendiri dan orang lain disebut dengan PROBLEM
SOLVING, yang berorientasi ke arah kesempatan yang memuaskan aspirasi
dirinya dan orang lain. Kombinasi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

Tinggi YIELDING PROBLEM


SOLVING
Perhatian pada Orang lain COMPROMISING
Rendah AVOIDING FORCING

Rendah Tinggi
Perhatian pada Diri Sendiri
Sumber: De Drew et al., 2001

Gambar 5.2.
Kombinasi Perhatian Yang Menyebabkan Konflik

Perdebatan yang muncul adalah apakah kompromi merupakan bentuk


dari penyelesaian masalah? Perdebatan tersebut merupakan perdebatan
konseptual, bukan empirikal. Perhatian pada diri sendiri dan perhatian pada
orang lain dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor situasional. Individu
dengan nilai sosial pada orang lain tinggi akan lebih tinggi perhatiannya pada
orang lain. Para pihak yang berkonflik dengan orientasi sosial juga lebih
tinggi perhatiannya pada orang lain daripada individu yang individualistik
atau lebih menggunakan orientasi nilai bersaing yang tinggi. Konflik juga
dapat disebabkan oleh kondisi kepribadian yang brutal, sadis, agresi,
kekerasan individual. Kekerasan interpersonal dijelaskan oleh faktor
situasional, bukan faktor struktural. Namun demikian, faktor budaya dan
struktur juga berpengaruh dalam teori kekerasan. Perilaku kekerasan banyak
dilakukan oleh orang muda dan pada umumnya pria muda.
Menurut Robbins dan Judge (2011), ada berbagai macam konflik di
tempat kerja, seperti konflik tugas, konflik hubungan, konflik proses, konflik
yang dipersepsikan, dan konflik yang dirasakan. Konflik tugas merupakan
konflik yang terkait dengan tugas dan sasaran kerja. Konflik hubungan
merupakan konflik yang timbul karena hubungan antarpersonal. Kemudian,
5.16 Hubungan Industrial ⚫

konflik proses merupakan konflik yang disebabkan oleh cara melaksanakan


pekerjaan. Sementara itu, konflik persepsian merupakan kesadaran terhadap
satu atau lebih kondisi yang ada yang menciptakan kesempatan munculnya
konflik. Konflik yang dirasakan merupakan keterlibatan emosional dalam
konflik yang menciptakan kegelisahan atau frustrasi. Semua jenis atau tipe
konflik tersebut harus dikelola dengan manajemen konflik. Manajemen
konflik merupakan teknik resolusi dan stimulasi untuk mencapai level
konflik yang diinginkan.
Konflik dapat dikelola dengan berbagai cara, baik dengan memperbaiki
pengelolaan sumber daya manusianya maupun dengan pengelolaan
organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia dilakukan berbagai cara,
misalnya penyelesaian masalah secara bersama-sama, menghindari konflik,
mengadakan kompromi, dan berkomunikasi dengan baik. Sementara itu,
pengelolaan organisasi dilakukan dengan cara mengubah variabel sumber
daya dan variabel struktural, dan memperbanyak sumber daya.

E. PERSELISIHAN DI TEMPAT KERJA

Pada perusahaan kecil, pengelolaan karyawan lebih mudah, sehingga


kesepakatan dan negosiasi antara kedua belah pihak fleksibel dan lebih
merupakan hubungan sosial daripada hubungan ekonomis (Marlow, 2002).
Hal ini dapat dikatakan bahwa dalam perusahaan kecil, hubungan industrial
sedikit diabaikan. Namun, dengan bertambah besarnya organisasi atau
perusahaan, kecenderungannya bentuk organisasi berubah ke arah bentuk
rasional dan birokratis. Selain itu, terjadi pertumbuhan autokrasi yang
menyebabkan ukuran perusahaan semakin besar sehingga pengaturannya
lebih ketat. Pertumbuhan tersebut akan mengarahkan perusahaan atau
organisasi menjadi lebih formal. Kebijakan, peran, dan peraturan juga
menjadi lebih identifiabel atau dapat diidentifikasi dengan jelas. Peraturan
tersebut digunakan untuk menentukan dan mengendalikan hubungan
antarkaryawan.
Pada perusahaan kecil, terdapat saling ketergantungan antara karyawan
dan pemilik yang mendukung fleksibilitas informal yang lebih besar daripada
perusahaan kecil. Bila hubungan antar karyawan yang terstruktur dan
tersupervisi maka pemilik mempunyai hak prerogatif yang mendominasi,
sementara, karyawan harus menyadari hal tersebut. Karyawan merasa bahwa
mereka akan melanjutkan untuk memanipulasi hubungan antara manajer dan
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.17

karyawan, di mana kesuksesan strategi tersebut tergantung pada hubungan


personal antarpemilik atau manajer dan antarkaryawan.
Ada beberapa jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan
hak, perselisihan kepentingan (Martinez-Pecino et al., 2008), perselisihan
antarserikat pekerja dalam satu perusahaan, dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja. Perselisihan hak timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. Perselisihan kepentingan merupakan perselisihan yang timbul
dalam hubungan kerja karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai
perbuatan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan merupakan
perselisihan yang terjadi karena ketidaksesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan. Sementara
itu, perselisihan pemutusan hubungan kerja merupakan perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Dalam hubungan industrial juga terdapat lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat
pekerja secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Namun, bila
mufakat tidak tercapai maka pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja
menyelesaikannya melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur oleh undang-undang. Perselisihan antarserikat pekerja
atau antarserikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat
buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh dan serikat pekerja atau
serikat buruh lain, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai
keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban ke serikat pekerja.
Selanjutnya, dalam hal penyelesaian perselisihan, setiap perselisihan
antara serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh diselesaikan secara musyawarah oleh serikat
pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau
serikat buruh yang bersangkutan. Dalam hal musyawarah tidak mencapai
kesepakatan, perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh
diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.18 Hubungan Industrial ⚫

Sementara itu, dalam hal pembubaran, serikat pekerja atau serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh bubar karena:
1. Dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga.
2. Perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya
yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja untuk seluruh pekerja
atau buruh di perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap
pekerja atau buruh diselesaikan menurut peraturan perundangan-
undangan yang berlaku.
3. Dinyatakan dengan putusan pengadilan.

Pengadilan dapat membubarkan serikat pekerja atau serikat buruh,


federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh dalam hal:
1. Serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh mempunyai asas yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945.
2. Pengurus dan atau anggota atas nama serikat pekerja atau serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh terbukti
melakukan kejahatan terhadap keamanan negara dan dijatuhi pidana
penjara sekurang-kurangnya 5 tahun yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.

Dalam hal putusan yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana
lama hukumannya tidak lama, maka sebagai dasar gugatan pembubaran
serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja
atau serikat buruh digunakan keputusan yang memenuhi syarat. Gugatan
pembubaran serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh diajukan oleh instansi pemerintah kepada
pengadilan tempat serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh yang bersangkutan berkedudukan.
Bubarnya serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh tidak melepaskan para pengurus dari
tanggung jawab dan kewajibannya, baik terhadap anggota maupun terhadap
pihak lain. Pengurus dan atau anggota serikat pekerja atau serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang terbukti
bersalah menurut keputusan pengadilan yang menyebabkan serikat pekerja
atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.19

dibubarkan, tidak boleh membentuk dan menjadi pengurus serikat pekerja


atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh
lain selama tiga tahun sejak putusan pengadilan mengenai pembubaran
serikat pekerja atau serikat buruh telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengawasan dan penyidikan digunakan untuk menjamin hak pekerja atau
buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja atau serikat buruh melaksanakan
kegiatannya. Pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain penyidik
yang merupakan pejabat kepolisian Negara RI juga kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
Tujuan pembentukan serikat pekerja adalah memberikan perlindungan,
pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan karyawan
dan keluarganya. Serikat pekerja dapat merencanakan pemogokan bila:
1. Telah dilakukan perundingan yang intensif dengan pengusaha, dengan
sepengetahuan atau dengan perantaraan pegawai perantara, akan tetapi
sangat diragukan mencapai kesepakatan, atau
2. Permintaan serikat pekerja untuk berunding dalam 2 kali 2 minggu tidak
diindahkan atau telah ditolak oleh pengusaha.

Dalam hal pemogokan, rencana pemogokan tersebut harus diberitahukan


secara tertulis kepada pengusaha dan kepada P4D, dilengkapi dengan isi
tuntutan dan bukti kegagalan upaya perundingan. Bila syarat tersebut
dipenuhi, P4D dalam maksimum tujuh hari menerbitkan tanda terima
pemberitahuan rencana mogok. Serikat pekerja dapat melakukan pemogokan
hanya bila setelah menerima tanda terima pemberitahuan tersebut.

LA TIH AN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Jelaskan prinsip dalam hubungan industrial!


2) Jelaskan mengapa keefektifan organisasi formal dan mekanisme
penyelesaian konflik berhubungan dengan keefektifan organisasional!
5.20 Hubungan Industrial ⚫

3) Jelaskan maksud konflik dan tiga pandangan mengenai konflik!


4) Jelaskan enam pendekatan dalam mempelajari konflik!
5) Jelaskan berbagai teori yang menjelaskan konflik dalam organisasi!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Prinsip dalam hubungan industrial adalah adanya pertukaran yang


berorientasi pada hubungan yang relasional dengan menekankan
hubungan jangka panjang.
2) Keefektifan negosiasi formal dan mekanisme penyelesaian konflik
berhubungan dengan keefektifan organisasional karena:
a. Pengelolaan prosedur formal memerlukan waktu, sumber daya
manusia, dan sumber daya lain, sehingga banyaknya keluhan dan
tindakan kedisiplinan akan mempengaruhi biaya pengelolaan
organisasi.
b. Banyaknya keluhan dan tindakan kedisiplinan dapat menunjukkan
keberhasilan atau kegagalan berbagai pihak untuk berkomunikasi
secara efektif atau menyelesaikan perbedaan selama tahap awal
prosedur formal. Banyaknya keluhan atau tindakan kedisiplinan
menandakan permasalahan dalam sistem organisasi untuk
menyelesaikan konflik dan penyelesaian masalah. Konsekuensinya,
banyaknya keluhan dan tindakan kedisiplinan harus secara
sistematik berhubungan dengan ukuran kinerja sistem hubungan
industrial.
c. Karena keluhan formal dan proses kesepakatan berfokus pada isu-
isu distributif, proses tersebut memerlukan beberapa derajat politik
dan taktik. Konflik yang tinggi dapat menyebabkan kesepakatan
distributif menghancurkan kesepakatan integratif atau kooperasi.
3) Konflik merupakan proses yang dimulai ketika satu pihak
memersepsikan bahwa pihak lain memiliki perasaan negatif terhadapnya
atau mengenai perasaan secara negatif pihak lain, yang oleh pihak
pertama tidak disukainya (Robbins & Judge, 2011). Menurut Greenberg
dan Baron (2008), konflik dapat didefinisikan sebagai proses dengan
satu pihak memersepsikan pihak lain telah melakukan atau akan
melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginan atau minat satu
pihak tersebut. Dapat dikatakan bahwa konflik terjadi bila terdapat
perbedaan yang dipersepsikan dalam minat, pandangan, dan sasaran atau
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.21

tujuan. Menurut Robbins dan Judge (2011), ada tiga pandangan terhadap
konflik, yaitu pandangan tradisional, pandangan hubungan karyawan,
dan pandangan interaksional. Pandangan tradisional menyatakan bahwa
semua konflik itu berbahaya dan harus dihindari. Pada umumnya,
penyebab konflik adalah komunikasi yang lemah, kurangnya
keterbukaan, dan kegagalan dalam menanggapi kebutuhan karyawan.
Pandangan hubungan karyawan menyatakan bahwa konflik bersifat
alamiah dan tidak dapat dielakkan. Sementara itu, pandangan
interaksional menyatakan bahwa konflik tidak hanya merupakan
kekuatan positif dalam kelompok tetapi bahwa konflik secara absolut
penting untuk kelompok agar lebih efektif. Konflik dapat bersifat
fungsional dan yang tidak fungsional. Konflik fungsional merupakan
konflik yang mendukung kelompok dan memperbaiki kinerja. Adapun
konflik yang tidak fungsional merupakan konflik yang menyembunyikan
biaya kelompok.
4) 6 (enam) pendekatan dalam mempelajari konflik dalam organisasi.
a. Pendekatan level mikro atau psikologi yang berfokus pada konflik
di dalam dan di antara karyawan sebagai individu, khususnya
variabel perilaku intrapersonal, interpersonal, dan kelompok kecil
yang mempengaruhi penyebab dinamika konflik dan hasil konflik.
b. Pendekatan level makro atau sosiologi yang memfokuskan pada
kelompok, departemen, divisi, dan keseluruhan organisasi sebagai
unit analisis untuk memahami dinamika konflik.
c. Pendekatan dalam analisis ekonomi yang menerapkan model
rasionalitas ekonomi dan pengambilan keputusan individual hingga
perilaku sosial yang kompleks.
d. Pendekatan hubungan karyawan, yang diawali dari keinginan
memahami dan mempengaruhi praktek hubungan industrial di
Amerika.
e. Pendekatan kesepakatan dan negosiasi yang berasal dari seringnya
menggunakan proses dalam hubungan antarkaryawan dan hubungan
internasional.
f. Resolusi perselisihan oleh pihak ketiga yang menekankan pada
tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang berasal dari pihak
ketiga, yaitu dari luar pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan
atau memperbaiki negosiasi yang efektif.
5.22 Hubungan Industrial ⚫

5) Ada berbagai teori yang mendasari konflik dalam organisasi, antara lain:
a. Teori kontrak relasional menjelaskan hubungan antarkaryawan
dengan prinsip dan norma solidaritas, mutualitas, integritas fungsi,
fleksibilitas yang mengatur perilaku dalam struktur dan proses.
b. Teori identitas sosial menyatakan bahwa individu secara otomatis
menyortir dirinya ke dalam beberapa kategori.
c. Teori kategorisasi diri menyatakan aspek kognitif lebih mendasari
konstruksi identitas daripada aspek motivasi.
d. Teori kemauan keluar menyatakan bahwa konfrontasi karyawan di
tempat kerja disebabkan oleh mekanisme suara seperti keluhan
karyawan.

RA NGK UMA N

Hubungan kerja antarkaryawan ditandai dengan berbagai isu, seperti


penilaian kinerja, pemberian penghargaan, kesepakatan atau perjanjian,
penanganan keluhan, konflik, dan penyelesaian konflik atau perselisihan
di tempat kerja. Konflik dapat terjadi di tempat kerja, walaupun sumber
konflik dapat berasal dari individu tersebut, rekan kerja atau kelompok
kerja, tempat kerja atau pekerjaan, keluarga, dan masih banyak lagi.
Jenis konflik juga bermacam-macam, seperti konflik hak dan
kepentingan; konflik substantif, afektif, dan proses; konflik antarperan,
konflik fungsional, dan non-fungsional. Enam pendekatan dalam
mempelajari konflik dalam organisasi, seperti pendekatan level mikro
atau psikologi, level makro atau sosiologi, pendekatan dalam analisis
ekonomi, pendekatan hubungan antarkaryawan, pendekatan kesepakatan
dan negosiasi, dan pendekatan penyelesaian atau resolusi perselisihan
oleh pihak ketiga. Model konflik menggunakan kombinasi ketegasan dan
kerja sama dan kombinasi perhatian yang menyebabkan konflik.
Pembentukan serikat pekerja dimaksudkan agar dapat mencegah dan
menyelesaikan konflik yang terjadi di tempat kerja.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.23

TES FO RMA TIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Berikut adalah teori yang mendasari konflik dalam organisasi, kecuali


teori ....
A. kontrak relasional
B. identitas sosial
C. keyakinan diri mampu melaksanakan tugas
D. kategorisasi diri

2) Konflik karyawan meliputi ....


A. hak
B. kepentingan
C. proses
D. jawaban A, B, dan C benar

3) Ukuran kinerja industrial menurut Katz et al. (1985) meliputi ....


A. tingkat kehadiran
B. kepuasan karyawan
C. sikap terhadap rekan kerja
D. tingkat kedisiplinan

4) Konflik yang terjadi ketika orang memiliki pandangan yang berbeda


mengenai keputusan yang mereka buat bersama dengan orang lain
disebut konflik ….
A. substantif
B. afektif
C. proses
D. peran

5) Pendekatan konflik yang berfokus pada konflik yang terjadi


antarkaryawan disebut sebagai pendekatan ….
A. hubungan karyawan
B. level mikro
C. negosiasi
D. analisis ekonomi
5.24 Hubungan Industrial ⚫

6) Berikut ini termasuk dalam lima tahap atau episode konflik, kecuali ….
A. kondisi akibat konflik
B. konflik laten atau yang tersembunyi
C. konflik yang nyata
D. konflik yang dipersepsikan

7) Dalam teori perhatian pada dua hal, kombinasi mengesankan keinginan


seseorang pada orang lain berupa gertakan, ancaman, argumen persuasif,
dan komitmen posisional adalah ….
A. yielding
B. forcing
C. avoiding
D. problem solving

8) Berikut ini terdapat dalam model konflik yang menggunakan dua


dimensi, yaitu ketegasan dan kerja sama, kecuali ….
A. competing
B. avoiding
C. conflicting
D. accomodating

9) Pandangan bahwa konflik adalah alami dan tidak dapat dihindari


adalah ….
A. pandangan tradisional
B. pandangan hubungan antarkaryawan
C. pandangan interaksionis
D. semua jawaban tersebut benar

10) Berbagai tindakan yang dilakukan karyawan dalam menanggapi


perubahan lingkungan yang berbeda adalah ….
A. keluar secara permanen
B. perputaran kerja
C. pemogokan
D. kerja sama
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.25

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
5.26 Hubungan Industrial ⚫

Kegiatan Belajar 2

Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
A. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Bagaimana harmonisnya hubungan antara pengusaha dengan pekerja


pasti timbul perselisihan-perselisihan di antara mereka. Perselisihan ada
yang bisa diselesaikan secara musyawarah secara mufakat tetapi ada juga
yang harus diselesaikan melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan
pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial merupakan
masalah yang sangat penting dalam hubungan industrial. Hubungan industrial
yang harmonis akan menciptakan produktivitas dan kesejahteraan pekerja.
Namun demikian, dalam kenyataannya tidak mudah untuk mewujudkan
hubungan industrial yang harmonis tadi, karena adanya kepentingan yang
berbeda antara pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak lain, hal ini
terbukti masih banyak kasus-kasus perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja. Untuk mencegah agar kasus atau perselisihan perburuhan itu tidak
berkepanjangan dan dapat diselesaikan dengan baik maka dibentuklah
Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial menggantikan Undang-undang No. 22 Tahun 1957.
Berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2004, perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja
karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan
kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
atau kesepakatan kerja bersama. Adapun perselisihan kepentingan adalah
perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat
kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian atau kesepakatan kerja bersama. Perselisihan pemutusan hubungan
kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.27

satu pihak. Sementara itu, perselisihan antarserikat pekerja merupakan


perselisihan antara serikat pekerja dan serikat pekerja lain dalam satu
perusahaan yang disebabkan tidak adanya kesesuaian paham mengenai
keanggotaan dan pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja. Dalam
perselisihan hubungan industrial, para pihak yang berada dalam perselisihan
tersebut adalah pengusaha atau gabungan pengusaha, pekerja secara individu,
dan serikat pekerja.
Undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengatur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan
industrial dan penyelesaian di luar pengadilan. Pengaturan tersebut
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelimpahan perselisihan kepada
pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengutamakan
penyelesaian menang-menang, yaitu dengan musyawarah untuk mufakat.
Sebagaimana diuraikan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial meliputi penyelesaian:
1. perselisihan hak,
2. perselisihan kepentingan
3. perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
4. perselisihan antarserikat pekerja.

Penyelesaian setiap perselisihan pertama-tama diupayakan secara


bipartit. Bila perselisihan tidak dapat diselesaikan secara bipartit, akan
didaftarkan di Dinas Ketenagakerjaan setempat. Setelah memeriksa
kelengkapan berkas perselisihan dan bukti bahwa upaya perundingan secara
maksimal dilakukan, Dinas Ketenagakerjaan menawarkan kepada pihak yang
berselisih bantuan penyelesaian melaLui arbitrase atau konsolidasi, kasus
perselisihan dilimpahkan untuk dimediasi oleh mediator.
Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dibedakan menjadi dua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak
dan perselisihan kepentingan. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang
timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau perjanjian
perburuhan tidak mematuhi isi perjanjian itu. Kemudian, perselisihan
kepentingan yaitu mengenai usaha mengadakan perubahan dalam syarat-
syarat perburuhan yang oleh organisasi buruh dituntutkan kepada pihak
majikan.
Menurut Bendersky (2007), terdapat tiga jenis prosedur resolusi
perselisihan (dispute resolution procedures). Ketiga jenis komponen
5.28 Hubungan Industrial ⚫

penyelesaian perselisihan tersebut diperkenalkan atau diperluas ketika


pemimpin organisasi memutuskan untuk melakukan formalisasi terhadap
praktek-praktek manajemen konflik, yaitu proses berdasarkan hak, netralitas
berdasarkan minat, dan pelatihan manajemen konflik atau negosiasi. Proses
berdasarkan hak seperti arbitrase, investigasi formal, penilaian rekan kerja,
keterlibatan pihak ketiga dalam menentukan hasil perselisihan berdasarkan
hukum, kontrak, atau standar perilaku. Sementara itu, netralitas berdasarkan
peminatan meliputi mediator, pelatihan dan membantu proses penyelesaian
perselisihan secara langsung atau tidak langsung, tetapi meninggalkan
kewenangan dalam pengambilan keputusan. Adapun pelatihan manajemen
konflik atau negosiasi dapat meningkatkan kemampuan individu untuk
menyelesaikan konflik tanpa intervensi pihak ketiga. Manajemen konflik
yang proaktif akan dapat membantu dalam penyelesaian konflik.
Sistem penyelesaian perselisihan menyatakan bahwa kombinasi ketiga
komponen penyelesaian perselisihan tersebut akan lebih efektif dalam
memperbaiki sikap anggota organisasi terhadap konflik dan tanggapan
perilaku terhadap sistem penyelesaian perselisihan dapat meningkatkan
perasaan mampu melaksanakan tugasnya dan meningkatkan penghargaan diri
individu. Individu akan lebih yakin terhadap kemampuan mengelola konflik
yang dimilikinya karena manajemen konflik proaktif dipandang sebagai
kegiatan di tempat kerja yang sah atau logis, tidak menakutkan, dan usaha
mereka akan memiliki reaksi negatif. Komponen penyelesaian perselisihan
mempengaruhi sikap individu yang didefinisikan sebagai keyakinan terhadap
kemampuan menyelesaikan konflik, kemampuan melaksanakan tugas/
pekerjaannya, dan persepsi terhadap keadilan prosedural dan keadilan
distributif.
Satuan ukuran keefektifan sistem penyelesaian perselisihan adalah
adanya perubahan perilaku konflik dari pendekatan proaktif ke manajemen
konflik. Keberadaan netralitas berdasarkan kepentingan yang menambahkan
proses berdasarkan kebenaran dan pelatihan negosiasi berdasarkan
kepentingan akan memperbaiki sikap karyawan terhadap konflik,
meningkatkan kegiatan berbagai macam manajemen konflik, meningkatkan
kemungkinan bahwa konflik dapat diselesaikan, dan pengurangan perilaku
penghindaran konflik.
Fungsi pengendalian konflik adalah membuat kedamaian dan
membangun kedamaian yang memerlukan keahlian dalam hal negosiasi,
mediasi. Fasilitasi, konsultasi, konsiliasi, dan komunikasi (Smith et al.,
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.29

1998). Pendekatan operasi yang menekankan kedamaian dikerjakan dalam


kerangka kerja teoretikal yang ada dalam literatur manajemen konflik dan
penyelesaian konflik. Implikasi proses penyelesaian konflik juga diturunkan
dari dua model seperti negosiasi dan mediasi sebagai pendekatan dalam
penyelesaian masalah. Penyelesaian konflik dengan mediasi rekan kerja
merupakan cara tercepat dalam menanggapi permasalahan perselisihan di
tempat kerja (Smith & Daunit, 2002). Oleh karena itu, pelatihan dalam
negosiasi dan mediasi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan dan
strategi tuntutan verbal.

B. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 penyelesaian perselisihan


dapat dilakukan di luar pengadilan (Pengadilan Hubungan Industrial).
Mekanisme ini tentunya lebih cepat dan dapat memenuhi rasa keadilan para
pihak karena penyelesaiannya berdasarkan musyawarah untuk mencapai
mufakat. Terdapat lima bentuk penyelesaian, yaitu melalui bipartit, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan.

1. Penyelesaian melalui Bipartit


Penyelesaian melalui perundingan bipartit merupakan perundingan
antara karyawan dan serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Lembaga kerja sama bipartit merupakan
forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan industrial di satu perusahaan. Hal ini berarti bahwa sebelum pihak-
pihak yang berselisih mengundang pihak ketiga untuk menyelesaikan
persoalan di antara mereka, maka harus terlebih dahulu melalui tahapan
perundingan para pihak yang biasa disebut sebagai bipartit. Penyelesaian
secara bipartit adalah wajib, sehingga kedua belah pihak yang berselisih
harus mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan dengan melampirkan bukti bahwa upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Penyelesaian
melalui perundingan tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan menjadi
kekuatan hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak bila telah mencapai
kata sepakat.
5.30 Hubungan Industrial ⚫

2. Penyelesaian melalui Mediasi


Mediasi hubungan industrial merupakan penyelesaian perselisihan hak,
kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral. Dalam perundingan bipartit tidak
mencapai kesepakatan, maka salah satu atau kedua belah pihak
memberitahukan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan (mediator) setempat dan mediator tersebut
menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian
melalui arbitrase atau konsiliasi. Mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditunjuk oleh menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran
tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat kerja dalam satu perusahaan.
Ada tiga strategi dasar mediasi yang dapat diterapkan oleh mediator,
yaitu strategi kontekstual, strategi substantif, dan strategi reflektif. Strategi
kontekstual merupakan intervensi yang diarahkan untuk memfasilitasi proses
penyelesaian konflik dengan mengubah keadaan di mana mediasi terjadi.
Para pihak yang berkonflik boleh mencari solusi yang dapat diterima
menggunakan inisiatifnya sendiri. Dalam strategi kontekstual, peran mediator
sedikit, sehingga mediator tidak secara langsung menggunakan
pendekatannya dalam perselisihan atau konflik, tetapi mencoba memfasilitasi
proses, sehingga para pihak yang konflik menemukan sendiri solusi yang
dapat diterima. Strategi substantif merupakan intervensi yang berkaitan
secara langsung dengan isu perselisihan atau konflik dengan mencoba
menggerakkan negosiasi ke arah penyelesaian. Sementara itu, strategi
refleksif merupakan intervensi yang dirancang untuk mengorientasi atau
mengarahkan mediator pada perselisihan, dapat masuk dan menerima
perselisihan, membangun kepercayaan pada mediator dan proses mediasi,
dan menciptakan dasar atau landasan untuk mengembangkan kegiatan
mereka.
Keberhasilan mediasi meliputi keberhasilan jangka pendek dan
keberhasilan jangka panjang (Zubek et al., 1992). Keberhasilan jangka
pendek memperhatikan hasil yang segera dapat diobservasi pada waktu
mediasi seperti kesepakatan, kualitas kesepakatan, dan perasaan puas setelah
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.31

kesepakatan dicapai. Keberhasilan jangka panjang dilihat dari apakah para


pihak mematuhi kesepakatan melalui mediasi tersebut dan apakah terdapat
perbaikan hubungan dan tidak timbul masalah setelah mediasi dilakukan.
Mediator bertugas melakukan mediasi kepada para pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan. Mediator mempunyai kewajiban:
a. memanggil para pihak yang sedang berselisih untuk dapat didengar
keterangan yang diperlukan;
b. mengatur dan memimpin mediasi;
c. membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai kesepakatan;
d. membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian;
e. membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
f. membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Mediator mempunyai kewenangan:


a. menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding
terlebih dahulu dengan itikad baik sebelum dilakukan mediasi;
b. meminta keterangan, dokumen, dan surat-surat yang berkaitan dengan
perselisihan;
c. mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan;
d. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para pihak
dan instansi atau lembaga terkait;
e. menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila
ternyata tidak memiliki surat kuasa.

3. Penyelesaian melalui Konsiliasi


Konsiliasi adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
sebagai konsiliator dan ditunjuk oleh menteri yang bertugas melakukan
konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antarserikat kerja dalam satu
perusahaan. Konsiliasi hubungan industrial merupakan penyelesaian
perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antarserikat pekerja dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
5.32 Hubungan Industrial ⚫

Konsiliator adalah satu atau beberapa orang yang dianggap ahli di


bidang hubungan industrial dan hukum ketenagakerjaan, diberi kewenangan
mengkonsiliasi pihak yang berselisih karena perselisihan kepentingan,
perselisihan hak dan perselisihan antarserikat pekerja. Bila konsiliator atau
mediator tidak berhasil mengajak pihak yang berselisih mencapai
kesepakatan maka salah satu pihak mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Keputusan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial atas perselisihan kepentingan
dan perselisihan antarserikat pekerja bersifat final dan wajib diterima dan
dilaksanakan oleh pihak yang berselisih.
Konsiliator bertugas melakukan konsiliasi kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan. Konsiliator memiliki kewenangan:
a. meminta keterangan kepada para pihak;
b. menolak mewakili para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat
kuasa;
c. menolak melakukan konsiliasi terhadap para pihak yang belum
melakukan perundingan secara bipartit;
d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan;
e. memanggil saksi atau saksi ahli;
f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para pihak
dan instansi/lembaga terkait.

Selain itu, konsiliator mempunyai kewajiban:


a. memanggil para pihak yang sedang berselisih untuk dapat didengar
keterangan yang diperlukan;
b. mengatur dan memimpin konsiliasi;
c. membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai kesepakatan;
d. membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian;
e. membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
f. membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang
ditangani;
g. membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial
kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.33

4. Penyelesaian melalui Arbitrase


Arbitrase adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbitrer yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat kerja dalam satu perusahaan
yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final. Menurut Bigoness dan DuBose
(1985), baik karyawan maupun manajemen mempunyai dorongan
mengadakan arbitrase sebagai langkah akhir dalam prosedur penanganan
keluhan. Arbitrase hubungan industrial merupakan penyelesaian perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan di
luar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada
arbitrer yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Arbitrer hubungan industrial atau yang disebut dengan arbitrer adalah
seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar
arbitrer yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja dalam satu
perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat formal.
Menurut Chelius dan Dworkin (1980), arbitrator memilih fleksibilitas
dengan arbitrase konvensional. Hal ini menimbulkan dua masalah, yaitu:
a. Hanya pihak yang langsung berhubungan dengan konflik yang mampu
mencapai kemapanan dengan secara akurat merefleksikan nilai-nilai
mereka. Nilai-nilai tersebut disembunyikan sebagai taktik bargaining.
Banyak pihak yang mengadakan kesepakatan tidak ingin mengaitkan
interpretasi dari keinginannya ketika mencapai kemapanan.
b. Penggunaan arbitrase kepentingan konvensional mencegah pihak-pihak
dari keterikatan dalam kesepakatan yang sungguh-sungguh.

Arbitrase diberi kewenangan memutus perselisihan kepentingan dan


perselisihan antarpekerja, dan putusan tersebut bersifat final dan wajib
diterima dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berselisih. Menurut
Dickinson (2004), ada tiga bentuk arbitrase, yaitu arbitrase konvensional,
arbitrase perintah akhir, dan prosedur inovatif yang menggunakan kombinasi
arbitrase konvensional dan arbitrase perintah akhir. Dalam arbitrase
konvensional, arbitrator bebas menentukan cara penyelesaian perselisihan.
5.34 Hubungan Industrial ⚫

Sementara itu, dalam arbitrase perintah akhir, arbitrator dibatasi untuk


memilih satu dari berbagai penyelesaian akhir yang ditawarkan.

5. Pengadilan Hubungan Industrial


Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk
di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Untuk
pertama kali dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap
Pengadilan Negeri di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi
provinsi yang bersangkutan.
Selanjutnya, dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tersebut prosedur
penyelesaian setiap perselisihan hubungan industrial harus terlebih dahulu
dilakukan melalui perundingan bipartit dan jika perundingan tidak mencapai
hasil maka ditempuh prosedur sebagai berikut.
a. Penyelesaian Perselisihan Hak.
Dalam hal perundingan tidak tercapai kesepakatan maka penyele-
saiannya dilakukan oleh Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI) dan putusannya bersifat final.
b. Penyelesaian Perselisihan Kepentingan dan Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja.
1) Dalam hal perundingan tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian dengan mediasi,
konsiliasi, atau arbitrase.
2) Jika pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai
penyelesaian maka penyelesaian selanjutnya dilakukan dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI). Jika salah satu pihak tidak puas,
selanjutnya putusan Pengadilan PPHI ini selanjutnya dapat
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
3) Dalam hal pihak-pihak sepakat memilih penyelesaian melalui
arbitrase akan tetapi putusan arbitrase ditolak (tidak diterima) oleh
salah satu atau pihak-pihak yang berselisih maka penyelesaian
selanjutnya dapat dilakukan dengan mengajukan upaya hukum.
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
4) Dalam hal pihak-pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan
perselisihan melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase, maka atas
kesepakatan kedua belah pihak atau atas kemauan salah satu pihak
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.35

penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan PPHI. Perundingan


paling lama 30 (tiga puluh) hari harus diselesaikan sejak tanggal
dimulainya perundingan.

Penyelesaian yang dilakukan melalui mediasi atau konsiliasi harus sudah


selesai dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari
kerja terhitung sejak mediator atau konsiliator menerima permintaan
penyelesaian perselisihan. Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial, arbitrer wajib menyelesaikannya selambat-lambatnya dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan penunjukan arbitrer.
Perpanjangan waktu penyelesaian dapat dimungkinkan atas kesepakatan para
pihak dengan jangka waktu perpanjangan 1 (satu) kali perpanjangan yaitu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari.
Penyelesaian perselisihan di tingkat Pengadilan PPHI selambat-
lambatnya 50 (lima puluh) hari terhitung sejak sidang pertama dilakukan.
Penyelesaian di tingkat Mahkamah Agung baik dalam proses kasasi maupun
Peninjauan Kembali (PK) harus selesai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi atau peninjauan
kembali. Dengan ditetapkannya batas waktu penyelesaian perselisihan
hubungan industrial diharapkan bahwa setiap perselisihan telah memperoleh
kepastian hukum dalam waktu maksimal 8 (delapan) bulan. Dengan
dihapuskannya Undang-undang Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan dan digantikan dengan Undang-undang No. 4
Tahun 2004, diharapkan penyelesaiannya tidak berlarut-larut, cepat, tepat dan
murah.
Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan
industrial dan mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, serasi, dan
selaras maka ada beberapa sarana yang dapat digunakan, yaitu:

a. Lembaga kerja sama bipartit


Lembaga kerja sama bipartit merupakan forum komunikasi dan
konsultasi di satu perusahaan yang anggotanya terdiri atas pengusaha dan
serikat kerja. Penyelesaian secara bipartit adalah penyelesaian yang paling
baik. Karena dapat diselesaikan di tingkat perusahaan secara musyawarah
untuk mencapai mufakat. Serikat pekerja dan karyawan saling berkonsultasi
dengan membentuk lembaga kerja sama bipartit dan tripartit dengan peran
5.36 Hubungan Industrial ⚫

sebagai pemberi nasihat, sebagai konsultan, atau berfungsi menyusun standar


(Mako et al., 2006)

b. Perjanjian kerja
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan
pekerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk
syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayarannya. Perjanjian kerja
merupakan sarana yang paling baik karena memuat kesepakatan para pihak
pada saat memulai hubungan kerja. Dengan adanya perjanjian kerja, timbul
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak (pekerja dan pengusaha) yang
harus dipatuhi dan dilaksanakan. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

c. Perjanjian kerja bersama


Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh serikat kerja
atau beberapa serikat kerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja. Penyusunan perjanjian kerja bersama
tersebut dilaksanakan secara musyawarah dan memuat antara lain hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja karena perjanjian kerja maka isinya telah
mendekati keinginan mereka. Masa berlakunya perjanjian kerja bersama
paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun
lagi, setelah itu dibuat perjanjian kerja sama yang baru.

d. Peraturan perusahaan
Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Untuk pengusaha yang mempekerjakan pekerja sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Peraturan
perusahaan juga merupakan sarana yang sangat penting untuk mencegah
terjadinya perselisihan industrial karena memuat hak dan kewajiban para
pihak serta syarat kerja yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh kedua
belah pihak.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.37

e. Serikat pekerja/serikat buruh


Serikat pekerja adalah organisasi yang dibentuk oleh pekerja di
perusahaan yang bersifat mandiri, demokrasi, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela, melindungi hak dan kepentingan pekerja, serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Menurut Undang-
undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, memberikan kebebasan
kepada pekerja-pekerja untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan.
Serikat kerja merupakan penghubung antara pekerja dengan pengusaha yaitu
dengan menampung semua aspirasi pekerja untuk disampaikan kepada
pengusaha, dan sebaliknya, menyampaikan kebijakan pengusaha kepada
pekerja. Dalam perselisihan hubungan industrial serikat kerja buruh juga
dapat membela dan mendampingi pekerja, sekaligus diharapkan perselisihan
dapat dikurangi.

LA TIH AN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Jelaskan pengertian perselisihan hubungan industrial!


2) Jelaskan empat cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial!
3) Jelaskan lima bentuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial!
4) Jelaskan prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial!
5) Jelaskan sarana yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
perselisihan hubungan industrial yang harmonis, serasi, dan selaras!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2004, perselisihan hubungan


industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat
pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan,
pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat pekerja
dalam satu perusahaan.
2) Berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial meliputi penyelesaian: perselisihan
5.38 Hubungan Industrial ⚫

hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,


dan perselisihan antarserikat pekerja.
3) Terdapat lima bentuk penyelesaian, yaitu melalui bipartit, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan.
a. Penyelesaian melalui Bipartit.
Penyelesaian melalui perundingan bipartit merupakan perundingan
antara karyawan dan serikat pekerja dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Lembaga kerja
sama bipartit merupakan forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu
perusahaan.
b. Penyelesaian melalui Mediasi.
Mediasi hubungan industrial merupakan penyelesaian perselisihan
hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
c. Penyelesaian melalui Konsiliasi.
Konsiliasi adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
sebagai konsiliator dan ditunjuk oleh menteri yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat kerja dalam satu perusahaan. Konsiliasi
hubungan industrial merupakan penyelesaian perselisihan hak,
kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
d. Penyelesaian melalui Arbitrase.
Arbitrase adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak
yang berselisih dari daftar arbitrer yang ditetapkan oleh menteri
untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat kerja dalam satu perusahaan yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.39

e. Pengadilan Hubungan Industrial.


Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial. Untuk pertama kali dibentuk
Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri di
setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi
yang bersangkutan.
4) Dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tersebut prosedur
penyelesaian setiap perselisihan hubungan industrial harus terlebih
dahulu dilakukan melalui perundingan bipartit dan jika perundingan
tidak mencapai hasil maka ditempuh prosedur sebagai berikut.
a. Penyelesaian Perselisihan Hak.
Dalam hal perundingan tidak tercapai kesepakatan maka penyele-
saiannya dilakukan oleh Pengadilan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI) dan putusannya bersifat final.
b. Penyelesaian Perselisihan Kepentingan dan Perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja.
1. Dalam hal perundingan tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian dengan mediasi,
konsiliasi, atau arbitrase.
2. Jika pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak
tercapai penyelesaian maka penyelesaian selanjutnya dilakukan
dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Jika salah satu pihak
tidak puas, selanjutnya putusan Pengadilan PPHI ini selanjutnya
dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung.
3. Dalam hal pihak-pihak sepakat memilih penyelesaian melalui
arbitrase akan tetapi putusan arbitrase ditolak (tidak diterima)
oleh salah satu atau pihak-pihak yang berselisih maka
penyelesaian selanjutnya dapat dilakukan dengan mengajukan
upaya hukum. Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
4. Dalam hal pihak-pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan
perselisihan melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase maka
atas kesepakatan kedua belah pihak atau atas kemauan salah
satu pihak penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan PPHI.
5.40 Hubungan Industrial ⚫

Perundingan paling lama 30 (tiga puluh) hari harus


diselesaikan sejak tanggal dimulainya perundingan.
5) Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan
industrial dan mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, serasi,
dan selaras maka ada beberapa sarana yang dapat digunakan, yaitu:
1. Lembaga Kerja Sama Bipartit
Lembaga kerja sama bipartit merupakan forum komunikasi dan
konsultasi di satu perusahaan yang anggotanya terdiri atas
pengusaha dan serikat kerja. Penyelesaian secara bipartit adalah
penyelesaian yang paling baik. Karena dapat diselesaikan di tingkat
perusahaan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
2. Perjanjian Kerja.
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan
pekerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,
termasuk syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayarannya.
Perjanjian kerja merupakan sarana yang paling baik karena memuat
kesepakatan para pihak pada saat memulai hubungan kerja. Dengan
adanya perjanjian kerja, timbul hak dan kewajiban dari masing-
masing pihak (pekerja dan pengusaha) yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
3. Perjanjian Kerja Bersama.
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh serikat
kerja atau beberapa serikat kerja yang tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha
atau beberapa pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja.
Penyusunan perjanjian kerja bersama tersebut dilaksanakan secara
musyawarah dan memuat antara lain hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja karena perjanjian kerja maka isinya telah mendekati
keinginan mereka. Masa berlakunya perjanjian kerja bersama
paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1
(satu) tahun lagi, setelah itu dibuat perjanjian kerja sama yang baru.
4. Peraturan Perusahaan.
Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis
oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan. Untuk pengusaha yang mempekerjakan pekerja
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.41

sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan


perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Peraturan perusahaan juga merupakan sarana
yang sangat penting untuk mencegah terjadinya perselisihan
industrial karena memuat hak dan kewajiban para pihak serta syarat
kerja yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak.
5. Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Serikat pekerja adalah organisasi yang dibentuk oleh pekerja di
perusahaan yang bersifat mandiri, demokrasi, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela, melindungi hak dan
kepentingan pekerja, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya. Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja, memberikan kebebasan kepada pekerja-pekerja
untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan. Serikat kerja
merupakan penghubung antara pekerja dengan pengusaha yaitu
dengan menampung semua aspirasi pekerja untuk disampaikan
kepada pengusaha, dan sebaliknya, menyampaikan kebijakan
pengusaha kepada pekerja. Dalam perselisihan hubungan industrial
serikat kerja buruh juga dapat membela dan mendampingi pekerja,
sekaligus diharapkan perselisihan dapat dikurangi.

RA NGK UMA N

Hubungan industrial memang tidak terlepas dari konflik atau


perselisihan yang dapat terjadi. Perselisihan hubungan industrial dapat
meliputi perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan
antarserikat pekerja. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat
melalui pengadilan dan dapat di luar pengadilan. Penyelesaian
perselisihan di luar pengadilan dilakukan melalui bipartit, mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase. Sarana yang dapat digunakan untuk mencegah
terjadinya perselisihan hubungan industrial, yaitu pembentukan lembaga
kerja sama bipartit, dengan mengadakan perjanjian kerja, perjanjian
kerja bersama, menyusun peraturan perusahaan, dan pembentukan
serikat pekerja.
5.42 Hubungan Industrial ⚫

TES FO RMA TIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Perselisihan hubungan industrial meliputi perselisihan ….


A. hak dan kepentingan
B. antarserikat pekerja
C. pemutusan hubungan kerja
D. jawaban A, B, C benar

2) Menurut Bandersky, yang bukan merupakan prosedur resolusi


perselisihan berdasarkan hak adalah ….
A. arbitrase
B. penilaian rekan kerja
C. investigasi formal
D. pelatihan

3) Ukuran keefektifan sistem penyelesaian perselesaian hubungan industrial


adalah ada perubahan ….
A. sikap
B. perilaku
C. kewajiban
D. keadilan

4) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan


meliputi ….
A. bipartit
B. mediasi
C. konsiliasi
D. jawaban A, B, C benar

5) Mediasi dilakukan bila penyelesaian ..... tidak tercapai.


A. arbitrase
B. konsiliasi
C. bipartit
D. pengadilan
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.43

6) Berikut strategi dasar yang ditetapkan mediator, kecuali ….


A. kontekstual
B. empirikal
C. substantif
D. reflektif

7) Strategi mediasi dengan peran mediator sedikit dan tidak secara langsung
terlibat dalam penyelesaian perselisihan tetapi dengan memfasilitasi
proses adalah ….
A. kontekstual
B. empirikal
C. substantif
D. reflektif

8) Menurut Dickinson, berikut adalah tiga bentuk arbitrase, kecuali ….


A. konvensional
B. kesepakatan
C. perintah akhir/final
D. prosedur inovatif

9) Berikut adalah upaya mencegah terjadinya perselisihan hubungan


industrial ….
A. perjanjian kerja
B. kesepakatan bersama
C. peraturan perusahaan
D. semua jawaban tersebut benar

10) Undang-Undang yang mengatur penyelesaian perselisihan hubungan


industrial adalah ….
A. UU No. 2 Tahun 2004
B. UU No. 13 Tahun 2003
C. UU No. 21 Tahun 2000
D. UU No. 8 Tahun 2005
5.44 Hubungan Industrial ⚫

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.45

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) C 1) D
2) D 2) D
3) D 3) B
4) A 4) D
5) B 5) C
6) A 6) B
7) B 7) A
8) C 8) B
9) B 9) D
10) A 10) A
5.46 Hubungan Industrial ⚫

Daftar Pustaka

Abdussalam, H.R. (2009). Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan).


Jakarta: Restu Agung.

Arthur, J.B. dan Dworkin, J.B. (1991). Current Tactics in Industrial and
Labor Relations Research and Practice. Journal of Management, 17 (3):
515-551.

Batubara, C. (2008). Hubungan Industrial. Jakarta: PPM Manajemen.

Bendersky, C. (2007). Complementarities in Organizational Dispute


Resolution Systems: How System Characteristics Affect Individual’s
Conflict Experiences. Industrial and Labor Relations Review, 60 (2):
204-224.

Bigoness, W.J. dan DuBose, P.B. (1985). Effects of Gender on Arbitrator’s


Decisions. Academy of Management Journal, 28 (2): 485-491.

Bluen, S.D. dan Jubile-Lurie, V.G. (1990). Some Consequences of Labour –


Management Negotiation: Laboratory and Field studies. Journal of
Organizational Behavior, 11: 105-118.

Burchielly, R.; Bartram, T. dan Thanacoody, R. (2008). Work-Family


Balance on Greedey Organization. Relations Industrielle, 62 (1): 108-
162.

Carter, D.D. (1997). The Duty of Accommodate: It’s Growing Impact on The
Grievance Arbitration Process. Relations Industrielle, 52(1): 185-207.

Casier, R.A. dan Ruble, T.H. (1985). Research on Conflict Handling


Behavior. Academy of Management Journal, 24 (4): 816-83.

Chelius, J.R. dan Dworkin, J.B. (1980). An Economic Analysis of Final-


Offer Arbitration as a Conflict Resolution Device. Journal of Conflict
Resolution, 24 (2), June: 293-310.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.47

Colvin, A.J.S. (2004). The Relationship Between Employee Involvement and


Workplace Dispute Resolution. Relations Industrielle, 59 (4): 681-704.

Cutcher-Gersenfeld, J (1991). The Impact on Economic Performance of A


Transformation In Workplace Relations. Industrial and Labor Relations
Review, 44 (2): 241-260.

DeDrew, C.K.W; Evers, A.; Bersma, B.; Kluwer, E.S., dan Nauta, A. (2001).
A Theory-Based Measure of Conflict Management Strategies in The
Workplace. Journal of Organizational Behavior, 22: 645-668.

Dickinson, D.L. (2004). A Comparison of Conventional, Final Offer, and


Combined Arbitration for Dispute Resolution. Industrial and Labor
Relations Review, 57 (2): 288-301.

Diehl, P.F., Druckman, D.; dan Wall, J. (1998). International Peacekeeping


and Conflict Resolution. The Journal of Conflict Resolution, 42 (1),
February: 33-55.

Godard, J. dan Delaney, J.T. (2000). Reflections on the High Performance


‘Paradigm’s Implications for Industrial Relations at a Field. Industrial
and Labor Relations Review, 53 (3): 482-502.

Greenberg, J. dan Barron, R.A. (2008). Behavior In Organizations, 9th


edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.

Haryani. S. (2002). Hubungan Industrial di Indonesia. Yogyakarta: AMP


YKPN.

Hebdon, R.P. dan Stern, R.N. (1998). Trade Offs among Expressions of
Industrial Conflict: Public Sector Strike Bans and Grievance
Arbitrations. Industrial and Labor Relations Review, 51 (2): 204-221.
5.48 Hubungan Industrial ⚫

Ichniowski, C. (1986). The Effects of Grievance Activity on Productivity.


Industrial and Labor Relations Review, 40 (1): 75-89.

Izquierdo, C.C. dan Cillan, J.G. (2004). The Interaction of Dependence and
Trust in Long-Term Industrial Relationships. European Journal of
Marketing, 38(8): 974-994.

Katz, H.C.; Kochan, T.A.; dan Weber, M.R. (1985). Assessing the Effects of
Industrial Relations Systems and Effort to Improve the Quality of
Working Life in Organizational Effectiveness. Academy of Management
Journal, 28 (3): 509-526.

Kelloway, E.K. (1993). Industrial Relations Stress and Job Satisfaction:


Concurrent Effects and Mediation. Journal of Organizational Behavior,
14(5): 447-457.

Kolb, D.M. dan Putnam, L.L. (1992). The Multiple Faces of Conflict in
Organization. Journal of Organizational Behavior, 13: 311-324.

Kozina, L.M. (2009). Social and Labor Relations in Small and Medium Size
Business. Sociological Research, 47 (6): 76-90.

Labig, C.E. dan Greer, C.R. (1988). Grievance Initiation: A Literature Survey
and Suggestions for Future Research. Journal of Labor Research, 9:1-
27.

Lewicki, R.J.; Weiss, S.E.; dan Lewin, D. (1992). Models of Conflict dalam
Negotiation, and Third Party Intervention: A Review & Synthesis.
Journal of Organizational Behavior, 13: 209-252.

Mako, C.; Csizmadi, P.; dan Illesty, M. (2006). Labour Relations in


Comparative Perspective – Special Focus on The SME Sector (Part II).
Journal of East European Management Studies, 11 (3): 267-287.

Marlow, S. (2002). Regulating Labor Management in Small Firms. Human


Resources Management Journal, 12 (3): 25-34.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.49

Martinez-Pecino, R. Munduate, L., Medina, F.J., dan Euwema, M.C. (2008).


Effectiveness of Mediation Strategies in Collective Bargaining.
Industrial Relations, 47(3): 480-495.

Page, R.A; Hernandez, E.; dan Petrosky, E. (2007). Integrating Strategic


Models of Labor Conflict: Strike Leverage and Pattern Bargaining.
Competition Forum, 5 (1):97-103.

Robbins, S. P. dan Judge, T.A. (2011). Organizational Behavior 14th edition).


New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Rousseau, D.L. dan Garcia-Retamero, R. (2007). Identity, Power, and Threat


Perception: A Cross-National Experimental Study. Journal of Conflict
Resolution, 51 (5): 744-771.

Sexton, J. (1996). New Models of Negotiation, Dispute, Resolution, and


Joint Problem Solving. Relations Industrielle, 51 (2): 273-280.

Shirom, A. dan Kirmeyer, S. (1988). The Effects of Unions on Blue Collar


Role Stress and Somatic Strain. Journal of Organizational Behavior, 9:
20-42.

Simanjuntak, P.J. (2009). Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Jala


Permata Aksara.

Smith, S.W. dan Daunit, A.P. (2002). Conflict Resolution and Peer
Mediation in Middle Schools: Extending the Process and Outcome
Knowledge Base. The Journal of Social Psychology, 142 (5): 567-586.

Temnifskill, A.L. (2004). Sociocultural Factors of the Labor Behavior of


Industrial Workers in The 1990’s.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial.
5.50 Hubungan Industrial ⚫

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat


Buruh.

Voydanoff, P. (2005). Toward Conceptualization Perceived Work-Family Fit


and Balance: A Demand and Resource Approach. Journal of Marriage
and Family, 67 (4): 822-836.

Zubek, J.M.; Pruitt, D.G.; dan Peites, R.S. (1992). Disputant and Mediator
Behaviors Affecting Short-Term Success in Mediation. The Journal of
Conflict Resolution, 36 (3): 546-572.
Modul 6

Praktik Hubungan Industrial


di Indonesia
Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E., M.T.

P E N D A HU L UA N

S etiap negara selalu mempunyai undang-undang atau peraturan yang


mengatur hubungan industrial. Dalam undang-undang tersebut
dijabarkan bagaimana teknik pelaksanaan hubungan industrial yang sesuai
dengan filosofi yang dianut oleh negara tersebut. Walaupun demikian,
organisasi buruh internasional (ILO) juga mempunyai berbagai peraturan dan
kesepakatan yang dipatuhi dan diakui di seluruh dunia.
Hubungan industrial di Indonesia disebut dengan Hubungan Industrial
Pancasila (HIP). Hubungan Industrial Pancasila atau HIP adalah hubungan
industrial yang didasarkan pada kelima sila yang menjadi falsafah bangsa
Indonesia. Hubungan Industrial Pancasila merupakan satu sistem hubungan
industrial yang berdasarkan kelima sila tersebut secara bulat dan utuh. Ini
merupakan pelaksanaan murni dari UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila.
Ini juga merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 di lingkungan
perusahaan dalam bentuk keamanan bekerja dan ketenangan berusaha.
Sesuai dengan UUD 1945, perekonomian Indonesia disusun berdasarkan
demokrasi ekonomi dengan unit-unit usaha dan perekonomian yang dibentuk
berasaskan usaha bersama dan sistem kekeluargaan. Sistem kepemilikan
usaha dan pengusaha perlu memberikan peluang bagi pekerja untuk memiliki
saham perusahaan. Ini berarti bahwa Indonesia mengutamakan kesejahteraan
masyarakat umum di atas kesejahteraan individu. Dalam jaringan kerja yang
demikian harus dipupuk rasa tanggung jawab bersama atas proses produksi
sehingga setiap pemangku kepentingan (stakeholders) mendapat hasil yang
setimpal dengan kontribusi masing-masing.
Pembahasan hubungan industrial secara umum dan khususnya Hubungan
Industrial Pancasila tidak dapat terlepas dari Hukum Perburuhan atau Hukum
Ketenagakerjaan yang ada di negara tersebut. Hukum Ketenagakerjaan
6.2 Hubungan Industrial

dibentuk berdasarkan teori yang ada secara umum dan perkembangan sejarah
mengenai ketenagakerjaan di negara tersebut. Penerapan hukum ketenaga-
kerjaan juga disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan negara tersebut.
Modul 6 ini merupakan kelanjutan dari Modul 5 yang masih membahas
mengenai hubungan industrial khususnya hubungan industrial di Indonesia,
namun disertai dengan berbagai hukum ketenagakerjaan yang berlaku,
khususnya yang sesuai dengan praktek yang terjadi di Indonesia. Secara lebih
terinci, Kegiatan Belajar 1 membahas tinjauan hubungan industrial di
Indonesia, sedangkan Kegiatan Belajar 2 membahas perkembangan dan
praktek hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Kedua materi tersebut akan
menghantarkan Anda untuk mempelajari materi-materi berikutnya mengenai
serikat pekerja, kesepakatan kerja bersama, negosiasi, pemberian
penghargaan bagi karyawan, maupun penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Secara umum, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan
dapat menjelaskan praktek hubungan industrial, perkembangan dan praktek
hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Secara khusus, setelah mempelajari
modul ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan:
1. Pengertian dan Konsep Hubungan Industrial di Indonesia
2. Perjalanan Hubungan Industrial di Indonesia
3. Hubungan Industrial Pancasila
4. Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
5. Perkembangan Teori Gerakan Buruh dalam Hubungan Perburuhan
6. Riwayat Awal Perburuhan di Indonesia
7. Perundang-undangan yang Memihak Kaum Buruh di Indonesia
8. Persoalan Pokok dalam Hukum Ketenagakerjaan
9. Penerapan Hukum Ketenagakerjaan
EKMA4367/MODUL 6 6.3

Kegiatan Belajar 1

Tinjauan Hubungan Industrial di Indonesia

A. PENGERTIAN DAN KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL DI


INDONESIA

Pengertian Hubungan Industrial berdasarkan Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah suatu
sistem hubungan yang terbentuk di antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, karyawan atau
pekerja, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hubungan
industrial juga sering dikenal dengan istilah hubungan perburuhan.
Berdasarkan pengertian dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tersebut, ada
berbagai pihak yang terlibat dalam hubungan industrial tersebut, yaitu
pengusaha, karyawan, dan pemerintah.
Pengelolaan tenaga kerja membahas pelaksanaan syarat-syarat kerja dan
berbagai permasalahan serta pemecahannya. Proses ini terjadi setelah
karyawan bekerja di perusahaan tersebut. Pelaksanaan syarat-syarat kerja,
permasalahan-permasalahan dalam pekerjaan dan cara pemecahannya dapat
diterapkan pada karyawan baik secara individual maupun untuk seluruh
karyawan melalui organisasi pekerja atau serikat pekerja. Beberapa hal yang
diatur dalam syarat-syarat kerja, permasalahan pemecahannya dalam
pekerjaan meliputi penarikan tenaga kerja, pengembangan tenaga kerja, upah
atau kompensasi, integrasi, dan pemeliharaan
Selanjutnya, menurut Batubara (2008), ada tujuh prinsip hubungan
industrial, yaitu:
1. Kepentingan bersama pengusaha, pekerja, masyarakat, dan pemerintah;
2. Kemitraan dan saling ketergantungan;
3. Hubungan fungsional dan pembagian tugas;
4. Kekeluargaan;
5. Penciptaan ketenangan berusaha dan ketenteraman kerja;
6. Peningkatan produktivitas; dan
7. Peningkatan kesejahteraan bersama.
6.4 Hubungan Industrial

Kepentingan pengusaha meliputi (1) menjaga atau mengamankan semua


asetnya; (2) mengembangkan modal atau aset untuk memberi nilai tambah;
(3) meningkatkan penghasilan pengusaha; (4) meningkatkan kesejahteraan
karyawan; dan (5) aktualisasi diri sebagai pengusaha yang sukses.
Kepentingan pengusaha tersebut yang akan mendorong pengusaha
menetapkan berbagai kebijakan untuk mewujudkan pemenuhan
kepentingannya. Kebijakan tersebut akan dilaksanakan oleh karyawan,
meskipun karyawan juga mempunyai beberapa kepentingan, yaitu (1)
mendapatkan kesempatan kerja; (2) mendapatkan penghasilan; (3)
mempunyai sarana melatih diri, memperkaya pengalaman, dan meningkatkan
keterampilan; (4) mempunyai tempat untuk mengembangkan karakter; dan
(5) dapat mengaktualisasikan keberhasilannya dalam berkarier.
Selain pengusaha dan karyawan, ada pihak lain yang terlibat dalam
hubungan industrial tersebut, yaitu pemerintah. Pemerintah merupakan pihak
ketiga yang mendukung dan mengatur hubungan tersebut dengan seperangkat
peraturan, undang-undang, dan tentu saja mempunyai kepentingan terutama
untuk memajukan bangsa dan negara. Beberapa kepentingan pemerintah
terhadap hubungan industrial tersebut adalah: (1) membuka kesempatan kerja
yang luas; (2) menambah sumber penghasilan masyarakat; (3) menjamin
tersedianya barang dan jasa bagi masyarakat luas; (4) merupakan sumber
pertumbuhan ekonomi; (5) menambah sumber devisa negara; dan (6)
menambah sumber pendapatan negara yang berupa pajak.
Di samping mempunyai kepentingan, pemerintah juga membantu
hubungan industrial yang ada dengan memberikan berbagai dukungan, yaitu
(1) menyediakan sarana dan prasarana ekonomi (seperti transportasi,
komunikasi, perbankan, informasi, keamanan, dan stabilitas); (2) kebijakan
(seperti produksi, investasi, distribusi, fiskal, moneter, harga, upah,
perdagangan, dan ekspor-impor); dan (3) ketenagakerjaan dan hubungan
industrial. Hubungan industrial didasarkan pada prinsip dan pemahaman
bahwa semua pemangku kepentingan mempunyai kepentingan bersama atas
keberhasilan dan kelangsungan perusahaan.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Bab XI Pasal 102, dalam
melaksanakan hubungan industrial, terdapat beberapa ayat yang mengatur
hubungan industrial tersebut, antara lain: (1) dalam melaksanakan hubungan
industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan
EKMA4367/MODUL 6 6.5

penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan


ketenagakerjaan; (2) dalam melaksanakan hubungan industrial, para
karyawan atau pekerja dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai
fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya; dan (3) dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha
dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan
kesejahteraan karyawan/pekerja secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pengusaha adalah orang atau persekutuan, atau badan hukum yang
bebas mempekerjakan orang lain (karyawan) dengan memberi upah untuk
bekerja pada perusahaannya. Pengusaha tersebut dapat meliputi:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan miliknya sendiri.
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan yang bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Karyawan atau pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan


menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Karyawan juga diartikan
sebagai orang yang bekerja di bawah perintah orang lain, melakukan
pekerjaan di perusahaan dengan menerima upah. Istilah yang sering
digunakan untuk menyebut karyawan atau pekerja atau buruh adalah
pegawai. Pegawai merupakan istilah karyawan bagi pemerintah, sedangkan
karyawan berarti orang yang berkarya atau melakukan karya secara umum.
Perintah mengandung arti bentuk pekerjaan yang diberikan oleh pengusaha
kepada pekerjanya.
Selain ketiga hal tersebut, ada faktor lain yang berpengaruh dalam
hubungan industrial, yaitu organisasi mereka yang meliputi organisasi buruh
atau serikat pekerja dan organisasi pengusaha atau organisasi majikan.
Serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh,
dan untuk karyawan baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
6.6 Hubungan Industrial

bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna


memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan
karyawan, serta meningkatkan kesejahteraan karyawan dan keluarganya.
Organisasi pengusaha merupakan wadah bagi para pengusaha yang ikut serta
dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dengan menjalin kerja sama antara
pemerintah, pengusaha, dan karyawan.
Pengusaha dan pekerja bukan merupakan dua pihak yang berbeda
kepentingan dan masing-masing berjuang untuk menang. Pengusaha dan
karyawan ini justru harus saling membutuhkan dan mau bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan. Serikat pekerja merupakan
asosiasi para karyawan untuk jangka waktu yang panjang, berlangsung secara
terus-menerus, dan bertujuan mengembangkan tanggung jawab bersama
antarkaryawan dan antara karyawan atau pekerja dan pengusaha.

B. PERJALANAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA

Menurut Suwarto (2009), praktek hubungan industrial memang


senantiasa berkembang sesuai perkembangan kondisi sosial, ekonomi, dan
politik dalam masyarakat. Pada zaman penjajahan Belanda misalnya, sistem
yang dianut di Indonesia sesuai dengan praktek di negeri Belanda. Pada saat
industrialisasi tumbuh dengan pesat, pertumbuhan hubungan industrial
dipengaruhi oleh peningkatan jumlah angkatan kerja yang terlibat dalam
proses produksi. Terlebih lagi, dengan tumbuhnya berbagai kawasan industri,
maka sejumlah karyawan juga berkumpul di suatu lokasi yang relatif tidak
begitu luas. Dengan demikian, timbul berbagai kerawanan dalam hubungan
industrial yang perlu dicermati oleh pengusaha, pemerintah, dan para
pimpinan serikat karyawan.
Pada saat Indonesia menghadapi pertumbuhan industri dan ekonomi,
Indonesia mengembangkan hubungan industrial yang diyakini sesuai dengan
kondisi sosial budaya bangsa Indonesia yang dikenal dengan Hubungan
Industrial Pancasila (HIP). Sistem Hubungan Industrial Pancasila ini
menekankan semangat kekeluargaan, gotong-royong, dan musyawarah untuk
mencapai kata mufakat. Semua masalah yang dihadapi dalam HIP perlu
diselesaikan dengan berlandaskan pada semangat tersebut. Antara pengusaha
dan karyawan memiliki kepentingan yang sama, sehingga di dalam proses
produksi keduanya merupakan mitra. Di dalam prakteknya, sistem ini
EKMA4367/MODUL 6 6.7

berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya tidak dijaminnya


kebebasan berserikat bagi karyawan. Dapat dikatakan bahwa dalam konsep
Hubungan Industrial Pancasila sendiri menghambat kebebasan berserikat ini.
Perkembangan pelaksanaan hubungan industrial selanjutnya dipengaruhi
oleh semangat reformasi. Semangat reformasi di dalam praktek hubungan
industrial adalah dihormatinya kebebasan berserikat, demokratisasi, yang
dikaitkan dengan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pelaksanaan
selanjutnya adalah hak berserikat dijamin seluas-luasnya, hal ini diperkuat
dengan tidak diratifikasinya konvensi ILO No. 87 tentang ”Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Terhadap Hak Berorganisasi” dengan
Keputusan Presiden No. 83 tahun 1999, serta diterbitkannya UU No. 21
Tahun 2000 tentang ”Serikat Pekerja”. Implikasi lanjutan dengan ratifikasi
konvensi dan diterbitkannya undang-undang tersebut adalah tumbuhnya
secara pesat serikat karyawan khususnya di tingkat nasional.
Sejarah perkembangan keserikatpekerjaan di Indonesia memang
mengalami pasang surut. Pada zaman penjajahan Belanda, kebebasan
berserikat hanya dinikmati oleh bangsa kulit putih (bangsa Belanda). Pada
pergerakan kemerdekaan, gerakan pekerja/buruh ikut berjuang memper-
tahankan kemerdekaan. Pada zaman awal kemerdekaan, serikat buruh yang
ada murni memperjuangkan kepentingan buruh, tetapi kemudian gerakannya
didominasi oleh gerakan politik, sampai akhirnya menyatukan diri setelah
G30S/PKI dan kembali menjadi serikat pekerja atau serikat buruh majemuk
pada era reformasi.
Di dalam praktek hubungan industrial adalah wajar apabila terjadi
perselisihan. Perselisihan hubungan industrial dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Dengan
keadaan di mana rancangan undang-undang tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial belum dapat disahkan maka mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial tetap menggunakan UU No. 22
Tahun 1957 tentang ”Penyelesaian Perselisihan Perburuhan”.
Untuk mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial, pengusaha
dapat mengambil berbagai langkah strategis. Untuk itu, memang diperlukan
perhatian khusus dari pengusaha berkaitan dengan hak-hak pekerja,
pemeliharaan hubungan baik dengan pekerja, dan hubungan industrial secara
umum. Perhatian yang kurang memadai dari pengusaha terhadap hal-hal
tersebut, tidak mustahil dapat menimbulkan pemogokan. Pada dasarnya,
6.8 Hubungan Industrial

secara umum penyebab pemogokan tidak jauh berbeda dengan penyebab


perselisihan, demikian pula strategi mengantisipasi atau mencegahnya.
Mengembangkan deteksi dini adalah cara yang tidak sukar dan hasilnya
cukup efektif.
Pengupahan merupakan salah saru sisi yang paling rawan di dalam
hubungan industrial. Di satu sisi, upah merupakan hak pekerja sebagai
imbalan atas tenaga atau jasa yang diberikan, di lain pihak pengusaha melihat
upah sebagai biaya. Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
pekerja atas jumlah penghasilan yang diperolehnya, maka ditetapkan upah
minimum oleh pemerintah. Masalah yang paling sering muncul di samping
pemberian upah minimum juga akibat kenaikan upah minimum terhadap
tingkat upah yang sudah berada di atas upah minimum, yang biasa disebut
upah sundulan.
Dengan berlakunya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
banyak terjadi perubahan di dalam pengaturan hubungan industrial yang
cukup berarti. Beberapa hal penting antara lain berkaitan dengan perjanjian
kerja waktu tertentu, perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa
pekerja, istirahat panjang, haid, pengupahan, dan fasilitas kesejahteraan. Di
samping itu, permasalahan yang mungkin timbul juga terkait dengan
bipartisme, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, pemogokan,
pemutusan hubungan kerja, pensiun, dan lain-lain.
Hubungan industrial memiliki kaitan yang sangat erat dengan hubungan
internasional. Perhatian dunia internasional khususnya serikat pekerja
internasional terhadap praktek hubungan industrial di suatu negara,
khususnya pelaksanaan kebebasan berserikat dan perlindungan bagi pekerja
sangat sensitif. Melalui organisasi ketenagakerjaan internasional (ILO) juga
diciptakan mekanisme pengawasan praktek hubungan industrial di negara
anggota. Salah satu cara meningkatkan standar ketenagakerjaan internasional
adalah menciptakan konvensi atau rekomendasi. Akhir-akhir ini, praktek
hubungan industrial di suatu negara disoroti lebih intensif oleh masyarakat
internasional terutama yang terkait dengan hak asasi manusia.
Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 1998 ILO mengeluarkan
deklarasi tentang Fundamental Principles and Rights at Work and Its Follow
Up dengan menetapkan tujuh konvensi hak-hak dasar pekerja tersebut yang
harus dihormati dan dilaksanakan oleh negara anggota walaupun negara yang
bersangkutan tidak meratifikasi konvensi tersebut. Tahun 1999, tujuh
EKMA4367/MODUL 6 6.9

konvensi hak-hak dasar tersebut bertambah satu, yaitu mengenai


penghapusan pekerja anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk.
Pengaturan dan kejelasan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang
terlibat di dalam proses produksi merupakan esensi di dalam hubungan kerja
dan hubungan industrial. Pengaturan hak dan kewajiban dapat dilihat pada
peraturan perundang-undangan yang bersifat mendasar dan umum serta
standar yang tercantum hanya minimal. Hal demikian dengan tujuan agar
dapat dilaksanakan oleh seluruh perusahaan tanpa memandang lokasi, sektor,
ukuran usaha, dan seterusnya. Di samping itu, pengaturan hak dan kewajiban
juga tertuang di dalam perjanjian kerja perorangan. Perjanjian kerja yang
dibuat oleh perusahaan dan disetujui oleh pekerja yang biasanya dibuat dan
ditandatangani pada saat penerimaan sebagai karyawan baru juga memuat
hak dan kewajiban bagi pekerja dan perusahaan. Mekanisme lain mengenai
pengaturan hak dan kewajiban adalah perjanjian kerja bersama. Penyusunan
PKB dilakukan melalui perundingan antara serikat pekerja dengan
pengusaha, sehingga unsur partisipasi di dalam mengatur hak dan kewajiban
tersebut sangat menonjol. Di sisi lain, dengan unsur partisipasi tersebut juga
berarti mengandung aspek tanggung jawab terhadap perusahaan demi
kelangsungan hidupnya. Dengan berlakunya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, cakupan PKB adalah seluruh pekerja perusahaan yang
bersangkutan.
Untuk dapat melakukan perundingan, pihak-pihak perlu memiliki rasa
saling percaya dan menghindari sikap kecurigaan, apriori, apalagi
permusuhan. PKB pada dasarnya merupakan penentu nasib semua pihak
untuk masa ke depan. Materi yang perlu dimuat di dalam PKB adalah
persyaratan kerja yang memang benar-benar diperlukan oleh para pekerja.
Apabila di perusahaan belum dapat dibuat PKB karena berbagai alasan, maka
di perusahaan yang bersangkutan dibuat peraturan perusahaan (PP). Pada
dasarnya materi atau substansi PP sama dengan PKB. Perbedaannya adalah
pada proses pembuatan PP sepenuhnya dibuat oleh pengusaha dengan
sekedar konsultasi dengan pekerja atau serikat pekerja, sedangkan PKB
mutlak harus dilakukan melalui perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja.
6.10 Hubungan Industrial

C. HUBUNGAN INDUSTRIAL PANCASILA

Pelaksanaan hubungan industrial di setiap negara tergantung dari tatanan


sosial dan politik negara tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan hubungan
industrial tidak sama setiap negara. Pelaksanaan hubungan industrial juga
tergantung kepada lingkungan, yaitu negara atau masyarakat tempat
hubungan industrial dilaksanakan. Operasionalisasi hubungan industrial
berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem politik yang dianut oleh pelaku
hubungan industrial tersebut. Di Indonesia misalnya, kajian tentang
hubungan industrial selama masa pemerintahan Soeharto dan sesudahnya,
khususnya sekitar dekade sembilan puluhan, kemudian di tahun 2000-an
dengan lingkungan sosialnya, juga berbeda. Untuk itu perlu mengangkat
kerangka konsep hubungan industrial yang dioperasikan.
Sejak awal tahun tujuh puluhan Indonesia mengenal hubungan industrial
berdasarkan pada Pancasila. Hubungan industrial tidak dapat dipisahkan dari
pandangan hidup dan sistem politik yang dianut pelaku hubungan industrial.
Hubungan industrial di Indonesia didasarkan pada Pancasila atau yang lebih
dikenal sebagai Hubungan Industrial Pancasila, yaitu hubungan industrial
dengan berlandaskan pada Pancasila.
Berdasarkan asas kerja hubungan industrial yang dikemukakan tersebut
dapat dilihat adanya penekanan terhadap sifat kemitraan antarpelaku
hubungan industrial, terutama antara pengusaha dan karyawan. Pemerintah
dituntut sebagai pengasuh, pembimbing, pelindung dan pendamai. Dalam
kerangka berpikir Hubungan Industrial Pancasila tidak ada tempat untuk
saling bermusuhan dan penindasan di antara para pelaku hubungan industrial
tersebut. Pendekatan yang ada di dalam Hubungan Industrial Pancasila
adalah pendekatan kesatuan, yaitu pendekatan yang selalu menekankan
kepada kebersamaan, kemitraan, dan keharmonisan antara para pelaku
hubungan industrial. Pendekatan kesatuan ini termasuk dalam lingkup
perspektif fungsional.
Indonesia menggunakan istilah Hubungan Industrial Pancasila dalam
menjelaskan hubungan antara karyawan, pengusaha, pemerintah, dan
organisasinya. Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang meliputi karyawan,
pengusaha, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, tujuan
EKMA4367/MODUL 6 6.11

Hubungan Industrial Pancasila adalah mengemban cita-cita proklamasi


kemerdekaan RI dalam membangun dan mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang berdasarkan Pancasila, serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan
keadilan sosial. Hal ini dicapai apabila hubungan antara pengusaha dan
karyawan dapat menciptakan ketenangan dan ketertiban dalam berusaha dan
meningkatkan produksi atau hasil kerja, dan kesejahteraan karyawan.
Hubungan Industrial Pancasila didasarkan pada tiga landasan utama
negara Indonesia, yaitu landasan idiil Pancasila, landasan konstitusional
UUD 1945, dan landasan operasionalnya yaitu Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dan ketentuan lain yang diatur pemerintah. Selain itu,
Hubungan Industrial Pancasila juga didasarkan pada berbagai kebijakan
pemerintah, sehingga tercipta keamanan dan stabilitas nasional,
meningkatnya partisipasi sosial, dan terwujudnya program pembangunan
nasional yang berkelanjutan. Ada beberapa hal yang selalu ditekankan dalam
Hubungan Industrial Pancasila, yaitu:
1. Mendasarkan pada seluruh nilai Pancasila secara utuh dan tidak dapat
dipisah-pisahkan.
2. Bekerja bukan hanya mencari nafkah, melainkan sebagai cara
pengabdian manusia pada Tuhan.
3. Pekerja atau karyawan bukan merupakan faktor produksi, melainkan
sebagai suatu pribadi yang memiliki harkat, martabat, dan kodratnya.
4. Tidak membedakan antara karyawan dan pengusaha karena golongan,
keyakinan, politik, aliran, paham, suku, dan gender, karena Hubungan
Industrial Pancasila berorientasi pada kepentingan nasional.
5. Meyakini bahwa perbedaan yang ada dan perselisihan yang timbul
adalah untuk mencapai keharmonisan dan dapat diselesaikan dengan
musyawarah dan mufakat dengan ikhlas tanpa memaksakan pihak lain.
6. Hasil yang dicapai dalam perusahaan dimanfaatkan secara adil,
seimbang, dan merata untuk kepentingan semua pihak, yaitu pekerja dan
pengusaha.

Hubungan Industrial Pancasila menggunakan GBHN dalam mencapai


cita-citanya dengan menggunakan beberapa asas, seperti asas manfaat, asas
usaha bersama, asas kekeluargaan, asas keadilan, asas pemerataan, asas
keseimbangan, dan sebagainya. Dalam hubungan industrial Pancasila,
6.12 Hubungan Industrial

pekerja dan pengusaha merupakan mitra dalam proses produksi, dalam


menikmati hasil usahanya, dan dalam tanggung jawab. Karyawan dan
pengusaha harus bekerja sama dan saling membantu dalam kelancaran proses
produksi di perusahaan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dan
kesejahteraan bersama.
Karyawan dan pengusaha juga secara bersama-sama menikmati hasil
usaha mereka dengan pembagian hasil yang layak dan serasi. Karyawan dan
pengusaha juga menjalankan tugas dan peran masing-masing dengan tetap
mengutamakan tanggung jawabnya kepada Tuhan, kepada bangsa dan
negara, kepada masyarakat di sekelilingnya, kepada karyawan dan
keluarganya, dan kepada perusahaan tempat karyawan tersebut berkarya.
Hubungan Industrial Pancasila merupakan hubungan industrial yang
didasarkan pada kelima sila yang menjadi falsafah bangsa Indonesia.
Pertama, hubungan industrial berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
menyatakan bahwa pengusaha menerima dan percaya bahwa perusahaan
yang pengusaha miliki dan perusahaan tempat para karyawan berkarya
adalah berkat Allah dan merupakan kesempatan yang diberikan Tuhan bagi
mereka, supaya mereka dapat melayani sesama manusia dan dapat berbakti
pada nusa dan bangsa. Oleh karena itu, pengusaha dan karyawan harus saling
menghormati kebebasan beragama dan beribadah, secara bersama-sama
membangun dan menjaga kerukunan antarumat beragama, dan tidak boleh
bertindak diskriminatif atas perbedaan tersebut.
Kedua, hubungan industrial berdasarkan kemanusiaan yang adil dan
beradab menyatakan bahwa setiap karyawan tidak diperlakukan hanya
sebagai faktor produksi akan tetapi sebagai makhluk individu yang memiliki
kepribadian, perasaan, kehormatan, harga diri, keterbatasan fisik dan mental,
membutuhkan waktu istirahat, dan membutuhkan dukungan. Pengusaha
harus memberikan imbalan yang sesuai dengan kontribusi karyawan pada
perusahaan. Oleh karena itu, perlu disusun sistem pembagian kerja masing-
masing pihak dengan mempertimbangkan keterbatasan manusia dan nilai-
nilai kemanusiaan. Ketiga, hubungan industrial berdasarkan persatuan
Indonesia menunjukkan bahwa semua warga negara berhak bekerja di
seluruh pelosok Indonesia tanpa diskriminasi. Pengusaha dan karyawan
secara bersama-sama membangun kebersamaan dalam perusahaan,
meningkatkan rasa cinta tanah air dan masyarakat pribadi dan kelompok.
EKMA4367/MODUL 6 6.13

Keempat, hubungan industrial berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa pengusaha harus membuka
kesempatan bagi karyawan secara demokratis memilih wakilnya untuk
berhubungan dengan pengusaha dan untuk memperjuangkan kepentingan
mereka. Salah satu wujud sila keempat ini adalah pembentukan serikat
pekerja atau serikat buruh. Pengusaha harus menyediakan waktu untuk
mendengar saran dan keluhan karyawan atau wakilnya. Pengusaha dan
karyawan harus membuka diri untuk berdialog dan mengutamakan
permusyawaratan dalam membuat keputusan bagi kepentingan bersama.
Kelima, hubungan industrial berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia mempunyai arti bahwa para karyawan harus diperlakukan secara
adil. Pengusaha dan karyawan secara bersama-sama berusaha meningkatkan
produktivitas perusahaan dan dapat meningkatkan kesejahteraan pengusaha,
karyawan dan keluarganya.
Tujuan Hubungan Industrial Pancasila adalah mengemban cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan RI dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Menyukseskan pembangunan dalam rangka mengemban cita-cita bangsa
Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur.
2. Ikut berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
3. Menciptakan ketenangan, ketenteraman, dan ketertiban kerja, serta
ketenangan usaha.
4. Meningkatkan produksi dan produktivitas kerja.
5. Meningkatkan kesejahteraan karyawan dan derajatnya sesuai martabat
manusia.

Untuk mencapai tujuan dalam hubungan industrial Pancasila, diperlukan


sikap toleransi, gotong-royong, tenggang rasa, terbuka, saling membantu,
saling menghormati, mampu mengendalikan diri, dan saling memahami hak
dan kewajibannya dalam proses produksi. Dalam hubungan industrial
Pancasila, pemerintah berperan sebagai pembimbing, pelindung, pendamai,
pengasuh, pengayom, dan pamong dalam melaksanakan berbagai
kegiatannya. Selain menjalankan perannya yang bersifat sosial, pengusaha
juga berhak mendapatkan laba usaha dan mengelola modalnya.
Dalam melaksanakan hubungan Industrial Pancasila selalu
mengutamakan asas pembangunan nasional yang tertuang dalam GBHN,
6.14 Hubungan Industrial

seperti asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, demokrasi, adil dan
merata, keseimbangan, dan lain-lain. Selain itu, Hubungan Industrial
Pancasila juga mendasarkan pada asas kerja, yaitu:
1. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam proses produksi, yang
berarti keduanya harus bekerja sama saling membantu dalam kelancaran
usaha perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas.
2. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam menikmati hasil
perusahaan, yang berarti hasil perusahaan harus dinikmati secara
bersama dengan bagian yang layak dan serasi.
3. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada bangsa dan negara, kepada
masyarakat sekelilingnya, kepada pekerja dan keluarganya, dan kepada
perusahaan tempat mereka bekerja.

Selanjutnya, untuk mewujudkan pokok pikiran dan tujuannya,


diperlukan sikap sosial dalam mengembangkan Hubungan Industrial
Pancasila, seperti gotong-royong, toleransi, tenggang rasa, saling terbuka,
saling membantu, dan mampu mengendalikan diri dan sikap mental seperti
kemitraan, saling menghormati, saling mengerti kedudukan dan perannya,
dan saling memahami hak dan kewajibannya dalam proses produksi. Dalam
Hubungan Industrial Pancasila, pemerintah berperan sebagai pengasuh,
pembimbing, pendamai, pelindung, atau dapat dikatakan sebagai pengayom
dan pamong bagi semua pihak yang terlibat dalam proses produksi.
Di sisi lain, serikat pekerja juga bukan hanya sebagai penyalur aspirasi
karyawan dengan hak berorganisasi, hak menyampaikan pendapat
kolektifnya mengenai kondisi kerja, hak untuk mengadakan kesepakatan
kerja bersama atau hak atas perlindungan lainnya, tetapi serikat pekerja juga
berkewajiban membawa para karyawan berpartisipasi dalam tugas
pembangunan nasional. Dalam Hubungan Industrial Pancasila, pengusaha
berhak atas miliknya dan mengembangkan usaha untuk mendapatkan
keuntungan dan meningkatkan modal.
Untuk dapat mencapai tujuannya, ada beberapa sarana yang digunakan
sebagai penunjang terlaksananya hubungan industrial Pancasila, yaitu:
1. Lembaga kerja sama bipartit, yaitu forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dalam hubungan industrial di satu
perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja
EKMA4367/MODUL 6 6.15

atau serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung


jawab di bidang ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003).
Kesalahpahaman yang terjadi antara kedua pihak tersebut (pengusaha
dan pekerja) dapat dihindarkan dan dapat diselesaikan dengan saling
memahami dan mengerti kepentingan masing-masing dan
mengutamakan kepentingan bersama untuk mencapai produktivitas yang
tinggi.
2. Lembaga kerja sama tripartit, yaitu forum komunikasi, konsultasi, dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri
dari unsur organisasi, pengusaha, serikat pekerja atau serikat buruh, dan
pemerintah (UU No. 13 Tahun 2003). Hal ini dapat terlaksana bila
kebijakan yang dilakukan pemerintah berasal dari kepentingan dan
aspirasi karyawan dan pengusaha.
3. Perjanjian kerja bersama adalah hasil perundingan atau kesepakatan
antara warga satu serikat pekerja dan pengusaha, atau antarserikat
pekerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan pengusaha, atau beberapa atau sekumpulan
pengusaha yang menyangkut syarat kerja, hak dan kewajiban pihak-
pihak yang mengadakan kesepakatan tersebut. Perjanjian atau
kesepakatan tersebut tentu saja mengutamakan terwujudnya proses
musyawarah dan mufakat dalam mewujudkan kesepakatan kerja
bersama. Perjanjian atau kesepakatan tersebut pada umumnya berisi
persoalan pengupahan, persyaratan kerja, dan jaminan sosial.
4. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan
industrial merupakan perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan karyawan
atau pekerja atau serikat pekerja atau serikat buruh karena adanya
perselisihan dalam hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antarserikat kerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan
(UU No. 13 Tahun 2003). Untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial, perlu kelembagaan yang menangani perselisihan hubungan
industrial selain lembaga kerja sama bipartit dan tripartit.
5. Peraturan perundangan mengenai ketenagakerjaan merupakan peraturan
perundangan yang melindungi pihak yang lemah, menciptakan
ketenangan kerja, dan memberi kepastian hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang dijiwai oleh falsafah Hubungan Industrial Pancasila.
6.16 Hubungan Industrial

6. Peraturan pemerintah yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang


memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan dan merupakan
tanggung jawab pengusaha. Dalam peraturan perusahaan terdapat hak
dan kewajiban pengusaha dan pekerja, syarat kerja, tata tertib
perusahaan, dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
7. Serikat pekerja/serikat buruh, yang memperjuangkan, membela, dan
melindungi hak dan kepentingan karyawan/pekerja/buruh, serta
meningkatkan kesejahteraan karyawan/pekerja/ buruh dan keluarganya.
8. Organisasi pengusaha, merupakan organisasi para pengusaha yang
berusaha memberikan layanan dalam bidang sosial dan ekonomi dengan
menciptakan kesatuan dalam melaksanakan kebijakan perburuhan dan
mengusahakan peningkatan produktivitas kerja.
9. Sosialisasi hubungan industrial Pancasila melalui pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan baik kepada karyawan, pengusaha, serikat pekerja, dan
pemerintah.

Ada beberapa permasalahan khusus yang harus dipecahkan dalam


melaksanakan Hubungan Industrial Pancasila, yaitu masalah pengupahan dan
pemogokan. Upah merupakan biaya yang harus dibayar pengusaha kepada
karyawan. Pengusaha selalu ingin menekan jumlah upah, sedangkan
karyawan menginginkan upahnya selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Masalah pemogokan juga merupakan permasalahan yang mengganggu
hubungan antara pengusaha dan karyawan, karena merugikan semua pihak.
Pemogokan bukan merupakan cara terbaik dalam menyelesaikan masalah,
sehingga masalah pemogokan harus segera diselesaikan secara tuntas dengan
mengembangkan kelembagaan bipartit, tripartit, kesepakatan atau perjanjian
kerja bersama, dan penyelesaian perselisihan lain yang sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 103 UU No. 13
Bab XI Bagian Kesatu dinyatakan bahwa hubungan industrial dilakukan
melalui sarana:
a. serikat pekerja/serikat buruh;
b. organisasi pengusaha;
c. lembaga kerja sama bipartit;
d. lembaga kerja sama tripartit;
e. peraturan perusahaan;
f. perjanjian kerja bersama;
EKMA4367/MODUL 6 6.17

g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan


h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan


untuk pekerja atau karyawan baik di dalam perusahaan maupun di luar
perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak
dan kepentingan karyawan, serta meningkatkan kesejahteraan karyawan dan
keluarganya. Organisasi pengusaha merupakan sekumpulan pengusaha yang
berjuang secara bersama-sama untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan,
pengusaha, dan perusahaan. Sementara itu, lembaga kerja sama bipartit
merupakan forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja yang sudah tercatat di instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur karyawan. Lembaga
kerja sama tripartit merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan
musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari
unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah.
Peraturan perusahaan merupakan peraturan secara tertulis yang dibuat
oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Peraturan
perundang-undangan tentang tenaga kerja merupakan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai segala hal yang terkait dengan
permasalahan ketenagakerjaan. Sementara itu, lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial merupakan lembaga yang menangani
permasalahan perselisihan hubungan industrial yang meliputi masalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dan karyawan atau serikat pekerja karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antarserikat pekerja hanya
dalam satu perusahaan. Kedelapan sarana tersebut secara terinci telah dibahas
pada modul-modul sebelumnya dan pada pembahasan sebelumnya dalam
modul ini.
6.18 Hubungan Industrial

D. UPAYA, SARANA, DAN MASALAH DALAM PELAKSANAAN


HIP

Agar Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dapat dilaksanakan dengan


baik, maka perlu upaya yang dilakukan oleh pengusaha, pekerja, maupun
pemerintah. Untuk itu maka HIP perlu dibudayakan, yang keberhasilannya
diukur dengan menggunakan indikator-indikator yang terjadi pada
masyarakat industri. Untuk melaksanakan HIP, ada tiga hal yang perlu
dipahami secara mendalam, yaitu:
1. Perangkat lunak yang berupa falsafah HIP yang menuntut adanya sikap
mental dan sikap sosial dari para pelaku proses produksi.
2. Perangkat keras yang berupa sarana pelaksanaan HIP. Sarana ini relatif
mudah dilaksanakan, mudah dirasakan, dan mudah pula mengukur dan
mengevaluasi keberhasilannya.
3. Penanganan masalah khusus, yaitu adanya perhatian khusus terhadap
berbagai masalah di dalam praktek hubungan industrial, di mana apabila
masalah tersebut tidak ditangani secara baik akan dapat berakibat
timbulnya permasalahan yang lebih besar.

Baik perangkat lunak, perangkat keras, maupun penanganan masalah


khusus perlu berjalan secara simultan agar HIP dapat terlaksana dengan baik.
Sementara itu, sarana utama dalam pelaksanaan HIP adalah:
1. Lembaga kerja sama Bipartit merupakan suatu lembaga di tingkat
perusahaan yang terdiri dari wakil pekerja dan pengusaha. Fungsi LKS
Bipartit adalah sebagai forum konsultasi dan komunikasi, khususnya
untuk: (a) mengetahui secara pasti apa yang berkembang di kalangan
pekerja; (b) melakukan antisipasi dan mencegah timbulnya masalah;
(c) mencari jalan meningkatkan produktivitas kerja; (d) meningkatkan
partisipasi pekerja dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
2. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan salah satu rumusan syarat
kerja yang dibuat melalui proses perundingan, sehingga ada unsur
partisipasi pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja. PKB memiliki
kelebihan antara lain: (a) penerapan demokrasi di perusahaan; (b)
peningkatan tanggung jawab atau komitmen pekerja terhadap
perusahaan; (c) merupakan praktek pengembangan musyawarah untuk
mencapai mufakat.
EKMA4367/MODUL 6 6.19

3. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya


mengatur perlindungan hak dan kewajiban yang sifatnya makro minimal,
yang artinya bersifat umum dan merupakan norma minimal yang wajib
dilaksanakan oleh setiap perusahaan.
4. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dilakukan dengan
mencegah perselisihan bila di tingkat perusahaan terdapat mekanisme
penampungan keluh kesah atau kanalisasi aspirasi pekerja. Apabila
perselisihan hubungan industrial terjadi, maka penyelesaiannya melalui
mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Pendidikan dan Penyuluhan Hubungan Industrial,merupakan upaya
untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman agar HIP diterapkan
dengan baik khususnya oleh pengusaha, pekerja, dan organisasinya.
6. Serikat Pekerja, yaitu organisasi pekerja yang dibentuk secara
demokratis oleh, dari, dan untuk pekerja dengan fungsi utama sebagai
penyalur aspirasi, melindungi kepentingan, dan meningkatkan
kesejahteraan anggota. Di samping itu, serikat pekerja juga merupakan
media komunikasi dengan pengusaha dan pemerintah.
7. Organisasi Pengusaha, merupakan organisasi yang dibentuk oleh para
pengusaha yang bertujuan untuk berpartisipasi dalam mengembangkan
hubungan industrial pada umumnya dan sebagai aspirasi pengusaha di
dalam bidang hubungan industrial.
8. Kelembagaan Lain yang dibentuk untuk meningkatkan rasa
kebersamaan, mengembangkan komunikasi informal, serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja. Kegiatan kelembagaan ini misalnya
melakukan kegiatan bersama seperti rekreasi, kesenian, olah raga, dan
sebagainya, dan pengembangan koperasi pekerja/karyawan.

Selanjutnya, ada beberapa permasalahan yang rawan di dalam Hubungan


Industrial Pancasila yang perlu menjadi perhatian. Pertumbuhan
industrialisasi membawa konsekuensi semakin besar jumlah dan proporsi
angkatan kerja yang terlibat di dalam hubungan kerja. Apalagi dengan
tumbuhnya kawasan industri maka berkumpullah sejumlah besar tenaga kerja
dalam suatu lokasi. Dengan demikian, masalah hubungan industrial menjadi
semakin rawan yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
6.20 Hubungan Industrial

1. Kondisi angkatan kerja pada umumnya:


a. Tingkat pendidikan yang relatif rendah, sehingga mudah
dipengaruhi tanpa adanya alasan yang rasional;
b. Bagi mereka yang berpendidikan relatif tinggi, misalnya SLTA
merasa tidak memiliki masa depan yang baik, terbukti setelah
bekerja dalam waktu yang cukup lama kondisinya tidak mengalami
kemajuan yang berarti, bahkan jenis pekerjaan yang dilakukan
sering tidak memerlukan tingkat pendidikan tersebut;
c. Adanya semangat kebersamaan atau solidaritas pekerja yang tinggi
karena merasa mempunyai nasib yang sama;
d. Adanya perasaan kesenjangan sosial-ekonomi yang cukup tinggi
antara tingkat pimpinan dan pekerja pada umumnya di perusahaan;
e. Peningkatan kebutuhan pekerja sebagai akibat kemajuan dan
tuntutan konsumsi masyarakat pada umumnya;
f. Semakin tingginya kesadaran pekerja dalam menuntut hak mereka,
bahkan tuntutan juga terjadi terhadap berbagai fasilitas
kesejahteraan yang sebenarnya belum menjadi hak mereka;
g. Pengaruh internasional yang mengangkat masalah hak asasi manusia
yang menjadi bagian dari kebebasan berserikat serta semangat
demokrasi.
2. Dari kalangan pengusaha:
a. Berbagai hak normatif pekerja tidak diberikan oleh pengusaha,
sehingga memicu timbulnya ketidakpuasan;
b. Masih banyak pengusaha yang tidak memahami secara benar
peraturan perundang-undangan, sehingga tidak diterapkan secara
baik;
c. Program kesejahteraan pekerja oleh sementara pengusaha dianggap
sebagai beban biaya;
d. Memperlakukan pekerja sebagai alat produksi semata, dan kurang
menghargai bahwa mereka sebagai manusia dengan segala harkat
dan martabatnya.
3. Dari kalangan pejabat pemerintah:
a. Sering tidak dapat melakukan tugas secara obyektif, bahkan dalam
menyelesaikan masalah sering memihak;
b. Kurangnya pemahaman secara mendalam terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan, terutama pemahaman terhadap latar
EKMA4367/MODUL 6 6.21

belakang filosofi diterbitkannya peraturan perundang-undangan


yang bersangkutan;
c. Kurangnya kemampuan menjelaskan berbagai prinsip hubungan
industrial pada umumnya dan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan pada khususnya;
d. Lemahnya dan tidak konsistennya penegakan hukum.

HIP merupakan suatu sistem yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial


budaya bangsa. Oleh karena itu, sejak dirumuskannya pada tahun 1974,
semua yang terlibat di dalam hubungan industrial mengharapkan agar dengan
diterapkannya sistem hubungan industrial ini benar-benar dapat memenuhi
harapan semua pihak, dan tercapai ketenangan kerja dan perusahaan, serta
meningkatnya kesejahteraan, khususnya kesejahteraan pekerja dari waktu ke
waktu.
Para ahli hubungan industrial internasional mengakui bahwa praktek
hubungan industrial yang paling sesuai dilaksanakan di suatu negara, apabila
sistem hubungan industrial tersebut berlandaskan pada nilai-nilai sosial
budaya bangsa yang bersangkutan. Namun demikian, komponen-komponen
hubungan industrial pada dasarnya bersifat universal, tetapi dalam
pelaksanaannya bervariasi dari satu negara dengan negara lain.
HIP sebagai suatu sistem seharusnya tepat dilaksanakan di Indonesia,
karena sistem ini berlandaskan pada Pancasila sebagai falsafah bangsa. HIP
pada dasarnya dikembangkan dari semangat kekeluargaan, gotong-royong,
dan kebersamaan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat di antara para
pelaku di dalam proses produksi. Apabila hal tersebut benar-benar dapat
dilaksanakan maka sebenarnya timbulnya konflik atas dasar perbedaan
kepentingan dapat dihindari.
HIP dapat dilaksanakan dengan baik apabila semua pihak yang
berkepentingan memahami serta menerapkan falsafah yang melandasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Falsafah tersebut merupakan dasar dari sikap
mental dan sikap sosial bagi para pelaku proses produksi. Secara garis besar,
falsafah HIP berlandaskan pada dua asas kerja pokok, yaitu semangat
kekeluargaan dan gotong-royong serta sementara musyawarah untuk
mencapai mufakat.
Apabila semua pihak terkait memahami secara mendalam akan
mempraktekkannya, maka semua persoalan hubungan industrial akan dapat
6.22 Hubungan Industrial

diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Asas tersebut kemudian


dijabarkan menjadi tiga kemitraan, yaitu mitra dalam produksi mitra dalam
tanggung jawab dalam menikmati hasil.

L AT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan hubungan industrial berdasarkan


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan!
2) Jelaskan beberapa kepentingan pengusaha dan kepentingan karyawan
dalam hubungan industrial!
3) Jelaskan hal-hal yang menjadi penekanan dalam Hubungan Industrial
Pancasila!
4) Jelaskan tujuan Hubungan Industrial Pancasila!
5) Jelaskan asas kerja Hubungan Industrial Pancasila!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Yang dimaksud hubungan industrial menurut UU No. 13 Tahun 2003


adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk di antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, karyawan, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
2) Kepentingan pengusaha dalam hubungan industrial meliputi:
a. menjaga atau mengamankan semua asetnya;
b. mengembangkan modal atau aset untuk memberi nilai tambah;
c. meningkatkan penghasilan pengusaha;
d. meningkatkan kesejahteraan karyawan; dan
e. aktualisasi diri sebagai pengusaha yang sukses.
EKMA4367/MODUL 6 6.23

Karyawan juga mempunyai beberapa kepentingan, yaitu:


a. mendapatkan kesempatan kerja;
b. mendapatkan penghasilan;
c. mempunyai sarana melatih diri, memperkaya pengalaman, dan
meningkatkan keterampilan;
d. mempunyai tempat untuk mengembangkan karakter; dan
e. dapat mengaktualisasikan keberhasilannya dalam berkarier.
3) Ada beberapa hal yang selalu ditekankan dalam hubungan industrial
Pancasila, yaitu:
a. Mendasarkan pada seluruh nilai Pancasila secara utuh dan tidak
dapat dipisah-pisahkan.
b. Bekerja bukan hanya mencari nafkah, melainkan sebagai cara
pengabdian manusia pada Tuhan.
c. Pekerja atau karyawan bukan merupakan faktor produksi, melainkan
sebagai suatu pribadi yang memiliki harkat, martabat, dan
kodratnya.
d. Tidak membedakan golongan, keyakinan, politik, aliran, paham,
suku, dan gender di antara karyawan dan pengusaha karena
Hubungan Industrial Pancasila berorientasi pada kepentingan
nasional.
e. Meyakini bahwa perbedaan yang ada dan perselisihan yang timbul
adalah untuk mencapai keharmonisan dan dapat diselesaikan dengan
musyawarah dan mufakat dengan ikhlas tanpa memaksakan pihak
lain.
f. Hasil yang dicapai dalam perusahaan dimanfaatkan secara adil,
seimbang, dan merata untuk kepentingan semua pihak, yaitu pekerja
dan pengusaha.
4) Tujuan Hubungan Industrial Pancasila adalah mengemban cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan RI dalam pembangunan nasional yaitu:
a. Menyukseskan pembangunan dalam rangka mengemban cita-cita
bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur.
b. Ikut berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
c. Menciptakan ketenangan, ketenteraman, dan ketertiban kerja, serta
ketenangan usaha.
d. Meningkatkan produksi dan produktivitas kerja.
6.24 Hubungan Industrial

e.
Meningkatkan kesejahteraan karyawan dan derajatnya sesuai
martabat manusia.
5) Hubungan Industrial Pancasila juga mendasarkan pada asas kerja, yaitu:
a. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam proses produksi,
yang berarti keduanya harus bekerja sama saling membantu dalam
kelancaran usaha perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
produktivitas.
b. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam menikmati hasil
perusahaan, yang berarti hasil perusahaan harus dinikmati secara
bersama dengan bagian yang layak dan serasi.
c. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada bangsa dan negara, kepada
masyarakat sekelilingnya, kepada pekerja dan keluarganya, dan
kepada perusahaan tempat mereka bekerja.

R A NG KU M AN

Hubungan industrial yang dilaksanakan di Indonesia adalah


Hubungan Industrial Pancasila, yang merupakan sistem hubungan di
antara para pelaku dalam proses produksi yang meliputi pengusaha atau
manajemen, karyawan, dan pemerintah yang didasari oleh nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Hubungan Industrial Pancasila dilaksanakan
untuk mencapai tujuan mengembangkan cita-cita proklamasi
kemerdekaan RI dalam pembangunan nasional dan menggunakan
beberapa asas kerja serta memperhatikan berbagai kepentingan
pengusaha dan karyawan. Untuk mencapai tujuannya, Hubungan
Industrial Pancasila menggunakan beberapa sarana penunjang, yaitu
lembaga kerja sama bipartit dan tripartit, perjanjian kerja bersama,
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serikat pekerja, organisasi
pengusaha, dan berbagai peraturan pemerintah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
EKMA4367/MODUL 6 6.25

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Hubungan industrial Pancasila adalah ….


A. pengaturan kerja atau pekerjaan di tempat kerja yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
B. proses rekrutmen terhadap anggota organisasi/perusahaan
C. pengaturan hubungan dan suasana di tempat kerja
D. penyediaan sumber informasi organisasi

2) Berikut merupakan prinsip hubungan industrial, kecuali ….


A. faktor politik
B. kekeluargaan
C. kemitraan dan saling tergantung
D. hubungan fungsional dan pembagian tugas

3) Berikut ini merupakan dukungan pemerintah, kecuali ….


A. menyediakan sarana dan prasarana ekonomi
B. menindak pelanggaran peraturan perusahaan
C. mengeluarkan kebijakan
D. mendukung ketenagakerjaan dan hubungan industrial

4) Pendukung atau penunjang Hubungan Industrial Pancasila antara lain….


A. sistem kerja perusahaan/organisasi
B. lembaga kerja sama bipartit dan tripartit
C. hubungan antarkaryawan
D. prinsip sosial

5) Salah satu cara sosialisasi Hubungan Industrial Pancasila adalah ….


A. pendekatan keseragaman
B. pendekatan hubungan antarkaryawan
C. pendidikan dan pelatihan
D. intervensi dan intimidasi

6) Fungsi karyawan dalam melaksanakan hubungan industrial adalah ….


A. mengadakan pertukaran antar individu
B. mengadakan hubungan antar karyawan
C. memperluas lapangan kerja
D. mengembangkan keterampilan dan keahliannya
6.26 Hubungan Industrial

7) Fungsi pengusaha dalam hubungan industrial adalah ….


A. pengorganisasian, negosiasi, kontrak administrasi
B. negosiasi, kesepakatan kerja, komunikasi
C. menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha
D. mencukupi kebutuhan biaya transaksi, keagenan prinsip

8) Undang-undang yang mengatur hubungan industrial adalah ….


A. UU No. 12 Tahun 2003
B. UU No. 5 Tahun 2004
C. UU No. 23 Tahun 2004
D. UU No. 13 Tahun 2003

9) Karyawan dan pengusaha merupakan mitra yang berarti ….


A. saling bekerja sama dan membantu
B. hubungan sosial
C. tidak pernah ada konflik
D. saling menertibkan

10) Lembaga kerja sama yang merupakan forum konsultasi dan komunikasi,
tempat anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja adalah ….
A. tripartit
B. pluralis
C. bipartit
D. multikultural

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = × 100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
EKMA4367/MODUL 6 6.27

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
6.28 Hubungan Industrial

Kegiatan Belajar 2

Praktik Hukum Ketenagakerjaan


di Indonesia

A. PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA

Hukum perburuhan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua masa, yaitu


masa sebelum kemerdekaan dan masa setelah kemerdekaan. Pada masa
sebelum kemerdekaan ditandai dengan kedatangan Belanda yang menjajah
Indonesia pada abad 18. Para buruh atau budak tersebut digunakan oleh
Belanda untuk memelihara kebun cengkih dan pala. Pada masa penjajahan
Inggris, Raffles sebenarnya adalah seorang yang anti terhadap perbudakan.
Namun karena Raffles harus meninggalkan Indonesia, maka Indonesia
kembali diserahkan ke Belanda dan berlanjutlah perbudakan tersebut di
Indonesia.
Perbudakan terbesar terjadi pada masa kerja rodi, baik rodi umum (tidak
setiap hari) maupun khusus (untuk pekerjaan sehari-hari) atau rodi
gubernermen (untuk keperluan gubernur dan pegawainya), perorangan (untuk
kepentingan para kepala dan pembesar Indonesia), dan rodi desa (untuk
keperluan desa). Pada masa Belanda, diberlakukan tiga jenis hukum perdata
menurut penggolongan RAS, yaitu golongan Eropa dan timur asing Tionghoa
menggunakan seluruh hukum perdata barat; golongan timur asing bukan
Tionghoa menggunakan sebagian hukum perdata barat, sedangkan golongan
pribumi berlaku hukum adat. Dengan demikian, mulailah babak baru dalam
hukum perburuhan di Indonesia. Tahun 1927, dimulailah hukum perburuhan
yang berlaku lebih umum, tidak hanya bagi orang Eropa, namun berlaku pula
bagi orang Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, hukum perburuhan atau ketenaga-
kerjaan mulai diatur secara lebih baik dengan mengutamakan kepentingan
pihak pekerja dan pengusaha. Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan
didasarkan pada UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33. Pasal
27 ayat (2) berbunyi tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara Pasal 33 menyatakan
bahwa (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
EKMA4367/MODUL 6 6.29

asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara; (3) bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UUDS 1950 dalam pasal 10 menyatakan bahwa tiada seorang pun boleh
diperbudak, diperulur, dan diperhamba. Pada saat kemerdekaan Indonesia,
tidak mungkin segera diciptakan hukum perburuhan yang sesuai dengan alam
kemerdekaan. Pada tahun 1948, pemerintah RI baru memberlakukan
Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 yang dikenal dengan Undang-Undang
tentang Kerja, yang mengatur tentang:
1. Pekerjaan anak dan orang muda;
2. Pekerjaan wanita;
3. Waktu kerja dan waktu istirahat;
4. Tempat kerja dan perumahan buruh;
5. Tanggung jawab majikan.

Undang-Undang lain yang lahir di awal masa kemerdekaan adalah


Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja dan Undang-
Undang No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan. Pada era 1950
hingga 1960, ada banyak disahkan dan diberlakukan undang-undang
khususnya yang menyangkut pekerja.
Setiap perkembangan situasi baru dapat memberikan dampak terhadap
berbagai segi kehidupan yang berpengaruh terhadap penetapan kebijakan.
Dampak tersebut dapat besar atau kecil, ataupun lamanya dampak yang
dirasakan tergantung dari kondisi masyarakat yang bersangkutan. Perubahan
kebijakan ketenagakerjaan pada beberapa tahun terakhir juga dipengaruhi
oleh situasi yang berkembang, apalagi sifat ketenagakerjaan yang multi-
dimensional. Oleh karena itu, perubahan kebijakan juga menimbulkan akibat,
baik makro maupun mikro bagi kehidupan perusahaan.
Pada dasarnya perubahan kebijakan ketenagakerjaan bertujuan untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik, dalam arti peningkatan kesejahteraan
karyawan dan masyarakat, serta kelangsungan hidup perusahaan. Oleh karena
itu, perubahan kebijakan mengacu baik pada standar internasional berupa
berbagai konvensi ILO maupun arahan UUD 1945. Dengan kata lain,
perubahan yang menggunakan dua acuan tersebut telah berada dalam jalur
6.30 Hubungan Industrial

yang benar, walaupun untuk mencapai tujuan yang diharapkan memang


memerlukan proses serta jalan yang panjang.
Kebijakan ketenagakerjaan tidak lepas dari perkembangan situasi di
masyarakat. Di era reformasi pada dasarnya perjuangan masyarakat menuntut
perbaikan pelaksanaan hak asasi manusia dan demokratisasi. Kedua hal
tersebut bukan hanya merupakan tuntutan masyarakat Indonesia, tetapi telah
menjadi komitmen masyarakat internasional. Dalam bidang politik
ketenagakerjaan, kedua hal tersebut sangat menonjol. Untuk dapat
menampung kedua aspirasi tersebut, maka kebijakan ketenagakerjaan adalah
dengan memberikan hak kebebasan berserikat. Kebebasan ini pada dasarnya
mengandung dua unsur, yaitu HAM dan demokratisasi. Dalam hak asasi
manusia dijabarkan bahwa kebebasan berserikat diakui sebagai pelaksanaan
hak asasi manusia, bahkan tertuang di dalam deklarasi PBB tahun 1948
tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, kebebasan berserikat juga merupakan
pelaksanaan demokratisasi karena merupakan prinsip bahwa pembentukan
organisasi karyawan maupun pengusaha harus dilakukan secara demokratis.
Untuk itulah, Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO tentang kebebasan
berserikat yang sejalan dengan TAP MPR No. IV Tahun 1999 dalam Bab IV
mengenai Arah Kebijakan Hukum. Dengan kata lain, pelaksanaan hak asasi
manusia telah merupakan kebijakan nasional.
Kondisi sosial kemasyarakatan, khususnya kondisi sosial karyawan juga
merupakan pertimbangan di dalam penetapan kebijakan ketenagakerjaan.
Dengan krisis ekonomi yang berpengaruh terhadap inflasi dan harga
kebutuhan serta kemampuan karyawan untuk memenuhi kebutuhannya, maka
upah karyawan khususnya upah minimum nilai riilnya semakin turun. Oleh
karena itu karyawan menuntut kenaikan upah minimum yang angkanya
sering di luar kewajaran. Untuk itulah, pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan dengan nilai nominal yang lebih tinggi. Di samping itu, dengan
berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka
penetapan besarnya upah minimum menjadi kewenangan pemerintah
propinsi.
Masalah ketenagakerjaan yang terkait dengan keamanan adalah
pengangguran. Meningkatnya angka pengangguran akan meningkatkan
angka kriminalitas. Oleh karena itu, kebijakan ketenagakerjaan yang
berkaitan dengan hal ini adalah meningkatkan kesempatan kerja. Peningkatan
kesempatan kerja terkait dengan kondisi ekonomi secara keseluruhan, bukan
EKMA4367/MODUL 6 6.31

hanya masalah sektor ketenagakerjaan. Tanpa adanya kondisi ekonomi yang


kondusif dengan pertumbuhan yang memadai, tidak mungkin tercipta
kesempatan kerja yang memadai. Pengalaman menunjukkan bahwa setiap
1% pertumbuhan ekonomi akan menciptakan kesempatan kerja baru.
Selanjutnya, ide dasar kebijakan otonomi daerah adalah agar pelayanan
pemerintah dapat mendekati masyarakat yang dilayani. Di lain pihak, dengan
otonomi daerah, maka kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan adanya UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom,
maka kewenangan pemerintah pusat menjadi sangat terbatas. Pemerintah
pusat hanya berwenang di dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, dan kewenangan lain.
Sedangkan bidang ketenagakerjaan menjadi kewenangan daerah. PP No 25
Tahun 2000 sebagai pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 khusus mengenai
tenaga kerja menyebutkan bahwa pemerintah propinsi berwenang
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan upah minimum. Dengan kata lain
bahwa kewenangan lainnya ada pada pemerintah otonom kabupaten dan kota.

B. PERKEMBANGAN TEORI GERAKAN BURUH DALAM


HUBUNGAN PERBURUHAN

Organisasi perburuhan muncul dan tumbuh tidak dapat dipisahkan


dengan proses industrialisasi. Organisasi perburuhan berusaha
memperjuangkan kondisi kerja, kebijakan dan praktek pengelolaan
perusahaan, dan kebijakan pemerintah yang menyangkut kondisi dan
persyaratan kerja dan hubungan kerja. Organisasi perburuhan ini juga
dibentuk pengusaha untuk mengimbangi pengaruh serikat pekerja. Pada
umumnya, para pekerja/buruh mengadakan berbagai gerakan untuk
memperbaiki kondisi kerja mereka. Gerakan buruh tersebut dapat bersifat
sementara dan dapat bersifat permanen. Gerakan tersebut juga dapat
berkembang menjadi serikat pekerja atau serikat buruh. Beberapa teori yang
berhubungan dengan gerakan buruh, yaitu teori revolusi, teori demokrasi
industri, teori kesatuan bisnis, teori sosio-psikologis, dan teori perubahan.
6.32 Hubungan Industrial

1. Teori Revolusi
Revolusi merupakan perubahan yang terjadi secara serentak, bukan
perlahan-lahan. Teori revolusi muncul dari pergerakan buruh sosialis dan
komunis untuk mencapai tujuan dalam proses industrialisasi. Oleh karena itu,
teori revolusi muncul dari negara sosialis dan komunis. Dalam sistem
sosialis, masyarakat dikelompokkan ke dalam kelas-kelas sosial tertentu,
sehingga dikenal adanya kelas pekerja, kelas majikan, kelas pegawai
pemerintah, dan lain-lain. Gerakan buruh/pekerja ini ditujukan untuk
menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat, sehingga tercipta masyarakat/
dunia tanpa kelas dan kemakmuran ekonomi untuk semua orang.

2. Teori Demokrasi Industri


Teori demokrasi industri menggunakan unsur demokrasi dalam
hubungan kerja industri. Perkembangan serikat buruh dalam hubungan kerja
industri sejajar dengan pertumbuhan demokrasi dalam pemerintahan.
Gerakan buruh merupakan alat atau sarana yang digunakan buruh untuk
menghadapi pengusaha atau majikan yang memiliki kedudukan politis dan
ekonomis yang lebih baik. Teori ini bersifat melindungi para pekerja dari
kesewenangan pengusaha.

3. Teori Kesatuan Bisnis


Teori kesatuan bisnis lebih mengutamakan aspek ekonomis daripada
aspek politis. Karyawan bersedia bergabung menjadi anggota serikat buruh
agar dapat menjadi wakil dalam perundingan dan tawar-menawar mengenai
persyaratan kerja, kondisi kerja, kontrak kerja, dan hubungan kerja.
Karyawan ingin agar dengan dibentuknya serikat buruh tersebut upah dan
jaminan ekonomisnya meningkat, jam kerja menurun, kesehatan karyawan
terlindungi, dan kesewenang-wenangan pengusaha dapat dicegah.

4. Teori Sosio-Psikologis
Teori sosio-psikologis menganggap bahwa serikat buruh akan membuat
karyawan mampu memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya.
Kebutuhan atau keinginan karyawan tersebut meliputi kebebasan, kekuatan,
rasa aman dan terjamin, dan rasa memiliki. Walaupun didasari oleh teori
sosial dan teori psikologi, teori sosio-psikologis juga berhubungan dengan
EKMA4367/MODUL 6 6.33

aspek ekonomi, terutama adalah gaji yang dapat digunakan untuk


memuaskan kebutuhan ekonomi, seperti sandang, pangan, dan papan.

5. Teori Perubahan
Sesuai dengan teori perubahan, tujuan serikat buruh akan selalu
berubah-ubah sesuai dengan perubahan kondisi kerja dalam perusahaan dan
perubahan masyarakat. Kondisi kerja merupakan faktor internal perusahaan
yang terdiri dari risiko kecelakaan dalam pekerjaan, penerangan, ventilasi,
dan lain-lain. Adapun lingkungan kerja antara lain mencakup interaksi
dengan orang lain dan pengaturan jadwal kerja.
Tujuan pokok hukum perburuhan adalah pelaksanaan keadilan sosial
dalam perburuhan yang diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh
terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan. Hukum
perburuhan merupakan himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang
berkenaan dengan suatu kejadian tempat seseorang bekerja pada orang lain
dengan menerima upah. Hukum Perburuhan menghendaki keadilan sosial
dalam keseimbangan antara kepentingan buruh dengan kepentingan majikan.
Sesuai dengan perkembangan sosial, politik, serta perkembangan dunia ilmu
pengetahuan itu sendiri, hukum perburuhan pada saat ini telah merupakan
cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri. Hukum perburuhan tidak semata-
mata menyangkut hubungan kemasyarakatan yang lebih luas berkaitan
dengan masyarakat dan negara ikut secara langsung dalam masalah-masalah
perburuhan. Hukum perburuhan merupakan cabang ilmu hukum yang secara
praktis bermanfaat sekali bagi masyarakat, karena dapat mengetahui bentuk-
bentuk hukum dari hubungan kerja bidang Perburuhan.
Hukum perburuhan tidak hanya meliputi pegawai negeri. Walaupun
secara yuridis teknis pegawai negeri adalah buruh yaitu bekerja pada pihak
lain (negara) dengan menerima upah (gaji), namun secara yuridis politik
terhadap mereka tidak diberlakukan peraturan-peraturan, tetapi diadakan
peraturan-peraturan tersendiri, yakni melalui Hukum Kepegawaian. Ada
empat perbedaan antara hukum perburuhan dan hukum kepegawaian, yaitu:
a. Hukum Perburuhan mengatur soal hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha di lingkungan swasta, sedangkan Hukum Kepegawaian
mengatur soal hubungan kerja di lingkungan pemerintah, yakni antara
pegawai negeri dengan lembaga-lembaga/kantor-kantor pemerintah dan
antara karyawan dengan badan-badan usaha milik negara (BUMN).
6.34 Hubungan Industrial

b. Hukum Perburuhan termasuk dalam ruang lingkup Hukum Perdata,


sedangkan Hukum Kepegawaian termasuk dalam ruang lingkup Hukum
Administrasi Negara.
c. Pelaksanaan Hukum Perburuhan berada di bawah wewenang
Departemen Tenaga Kerja, sedangkan Hukum Kepegawaian di bawah
wewenang Sekretaris Negara.
d. Dalam Hukum Perburuhan, yang lebih dominan adalah sistem
desentralisasi dan dekonsentrasi, sedangkan dalam Hukum Kepegawaian
yang dominan ialah pengaturan menurut sistem sentralisasi.

Tujuan pokok hukum perburuhan adalah pelaksanaan keadilan sosial


dalam perburuhan dan pelaksanaan itu diselenggarakan dengan jalan
melindungi buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan,
maka jelas pulalah agaknya, bagaimana sifat hukum perburuhan itu. Pekerja
dan pengusaha sama-sama memiliki kebebasan dalam membuat peraturan
masing-masing. Namun demikian peraturan-peraturan tersebut tidak boleh
saling bertentangan.

C. RIWAYAT AWAL PERBURUHAN DI INDONESIA

Perburuhan di Indonesia yang berkembang saat ini perlu ditinjau kembali


keberadaannya. Walaupun tidak diketahui kapan munculnya, namun dapat
dipastikan bahwa perburuhan di Indonesia dimulai pada zaman perbudakan,
zaman rodi, dan zaman punale sanksi (Gultom, 2008).

1. Zaman Perbudakan
Pada zaman perbudakan, orang bekerja di bawah pimpinan orang lain,
tidak mempunyai hak apapun, tidak terkecuali hak atas hidupnya. Mereka
hanya miliki kewajiban menuruti semua perintah, petunjuk, dan peraturan
yang berasal dari pihak pemilik budak. Pada zaman ini terdapat kebiasaan
perdagangan budak belian. Keadaan ini terus berlangsung bahkan semakin
parah sampai meletusnya Perang Budak pada tahun 1861. Para budak diberi
fasilitas berupa pondokan dan makan. Namun, fasilitas tersebut bukan
merupakan kewajiban bagi pemilik budak, melainkan kebijaksanaan yang
timbul dari “keluhuran budi”. Pemeliharaan para budak bukan kewajiban
EKMA4367/MODUL 6 6.35

pemilik budak, karena baik sosiologis maupun yuridis tidak ada aturan yang
menetapkan demikian.
Di Indonesia, praktek perbudakan tidak separah negara lain karena
adanya aturan tata susila masyarakat Indonesia yang tidak sekejam seperti di
negara lain. Pada zaman penjajahan Belanda, Pemerintah Hindia Belanda
juga memulai ikut serta mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817.
Peraturan tentang budak dan perdagangan budak tahun 1825 mengandung
maksud meringankan nasib para budak, antara lain membatasi bertambahnya
jumlah budak lain daripada kelahiran; melarang perdagangan budak dan
mendatangkan dari luar; menjaga agar anggota budak bertempat tinggal
bersama-sama, yaitu seorang budak yang sudah menikah tidak boleh
dipisahkan dari istri dan anaknya; kepada mereka ini harus diberi cukup
makan dan pakaian; mengatur kewajiban para budak, yaitu para budak tidak
boleh meninggalkan kewajiban para budak dengan kata lain (para budak
tidak boleh meninggalkan pekerjaan mereka, tidak boleh menolak pekerjaan
yang layak); pelanggaran diancam dengan pidana pukulan dengan rotan
sebanyak-banyaknya 30 kali atau pidana penjara selama-lamanya 14 hari;
mengenai kejahatan para budak diadili oleh pengadilan umum. Satu-satunya
penyelesaian ialah mendudukkan para budak itu pada kedudukan manusia
merdeka, baik sosiologi maupun yuridis dan ekonomis. Setelah tahun 1992,
dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara resmi tidak terdapat perbudakan
lagi, maka proses penghapusan itu memerlukan waktu lebih dari 60 tahun,
lebih dari 1 generasi.

2. Zaman Rodi
Pada kerajaan di Jawa, rodi dilakukan untuk kepentingan raja dan
anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai lainnya, serta
kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan, dan
sebagainya. Pelaksanaan kerja rodi yang paling besar terjadi pada masa
pemerintahan Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Daedels,
yakni antara tahun 1808–1811, zaman pembuatan jalan dari Anyer sampai
Panarukan. Kompeni pandai menggunakan rodi itu untuk kepentingan
sendiri. Kerja rodi digunakan untuk segala macam keperluan, seperti
mendirikan benteng, pabrik, jalan, dan sebagainya. Rodi dilakukan tanpa
bayaran dan dimintakan untuk memenuhi segala keperluan dari gubernur dan
keperluan pegawai-pegawainya. Di sini terlihat beratnya rodi itu melebihi
6.36 Hubungan Industrial

perbudakan. Dalam pemeliharaan budak berupa perumahan, sandang, dan


pangan menjadi tanggungan pemilik budak, sedangkan dalam rodi
pemeliharaan para pekerja dipikul oleh mereka itu sendiri. Proses
terhapusnya rodi itu juga memakan waktu yang lama, yaitu sejak tanggal
1 Februari 1938.

3. Zaman Punale Sanksi


Zaman ini ditandai dengan pemberian kepada pengusaha suatu
kekuasaan terhadap buruhnya yang dapat menimbulkan perlakuan tidak baik
dan keadaan perburuhan yang buruk. Pokok perjuangan dalam hukum
perburuhan baik yang dilakukan oleh pihak resmi maupun pihak tidak resmi,
hanya meliputi usaha membebaskan buruh dari kekangan pihak majikan yang
tidak wajar, yaitu membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan;
membebaskan dari rodi atau kerja paksa; dan membebaskan (buruh) dari
punale sanksi. Pada masa punale sanksi, kedudukan buruh sudah diakui
sebagai tenaga kerja yang berhak menerima upah atau imbalan kerja
(meskipun masih dalam taraf yang minim). Pada tanggal 1 Januari 1942
punale sanksi lenyap dari dunia perburuhan di Indonesia.

D. PERUNDANG-UNDANGAN YANG MEMIHAK KAUM BURUH


DI INDONESIA

Komitmen bangsa Indonesia dalam menghargai hak asasi manusia juga


ada pada hubungan pengusaha dan pekerja. Berbagai Undang-Undang
tentang ketenagakerjaan atau kepegawaian disusun untuk membuat kebijakan
baik yang menyangkut penerimaan atau pengangkatan karyawan, pada masa
bekerja, dan pada masa pascabekerja atau masa pensiun. Pada UU No. 13
Tahun 2003 Pasal 86 dan Pasal 87 dinyatakan tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja menunjukkan bahwa pekerja di Indonesia mendapatkan
perlindungan dari pemerintah. Setiap pekerja mempunyai hak untuk
memperoleh keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama. Perlindungan terhadap pekerja ini dimaksudkan agar dapat
diwujudkan produktivitas kerja yang optimal.
Selain itu, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen
EKMA4367/MODUL 6 6.37

perusahaan. Hal ini berarti sistem manajemen keselamatan dan kesehatan


kerja merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan secara
keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
penerapan, pencapaian, pengkajian, pemeliharaan, dan pengembangan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja.
Selain persoalan keselamatan dan kesehatan kerja yang memihak para
pekerja, pemerintah melalui UU No. 12 Tahun 1948 juga mengatur pekerjaan
anak, orang muda, dan wanita. Anak yang berumur kurang dari empat belas
tahun tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan. Namun demikian,
pengusaha wajib bertanggung jawab terhadap anak yang terpaksa bekerja dan
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan:
1. Tidak mempekerjakan lebih dari empat jam sehari;
2. Tidak mempekerjakan pada malam hari;
3. Memberikan upah sesuai dengan peraturan pengupahan yang berlaku;
4. Memelihara daftar nama, umur, dan tanggal lahir, tanggal mulai bekerja,
dan jenis pekerjaan yang dilakukan.

Dalam UU No. 12 Tahun 1948 juga dinyatakan bahwa orang muda


(antara 14–18 tahun) tidak boleh bekerja, atau apabila terpaksa bekerja, harus
memperhatikan ketentuan bahwa orang muda boleh melakukan pekerjaan
pada malam hari apabila pekerjaan pada malam hari tidak dapat dihindarkan
karena berkaitan dengan kepentingan atau kesejahteraan umum. Hal ini juga
berlaku untuk para wanita.
Para pekerja juga mendapat dukungan dalam hal waktu kerja dan waktu
istirahat. Waktu kerja para pekerja adalah tidak boleh lebih dari 7 jam sehari
dan 40 jam per minggu. Waktu kerja tersebut harus berlaku secara umum,
baik di perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, perkebunan, pertambangan,
dan sebagainya. Waktu istirahat juga diatur agar pekerja terhindar dari risiko
kecelakaan kerja yang disebabkan oleh kelelahan kerja. Waktu istirahat
diberikan setelah pekerja bekerja selama empat jam berturut-turut. Selain itu,
ada waktu istirahat sekali dalam seminggu, dan waktu libur hari besar,
kecuali jika pekerja itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari
raya. Istirahat tahunan juga disediakan sekurang-kurangnya dua minggu
setiap tahun. Cuti hamil dan haid untuk para wanita juga wajib diberikan.
6.38 Hubungan Industrial

Cuti haid selama dua hari dan istirahat hamil selama tiga bulan (satu setengah
bulan sebelum dan sesudah melahirkan).
Secara lebih rinci, beberapa peraturan perundang-undangan kepegawaian
dan ketenagakerjaan yang ada dan bermaksud melindungi para pekerja antara
lain:
1. UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. UU RI No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
3. UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
4. UU RI No, 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
5. UU RI No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
6. UU RI No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial;
7. UU RI No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
8. Keputusan Presiden RI No. 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor
Lowongan Kerja;
9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 48 Tahun
2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 235 Tahun
2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan, dan Moral Anak;
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 49 Tahun
2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah;
12. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 157 Tahun
2003 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.

E. PERKEMBANGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN NASIONAL

Hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan meliputi semua


peraturan perundang-undangan yang menyangkut pekerja, pekerjaan,
pemberi kerja atau pengusaha, dan tempat kerja, baik selama bekerja dalam
hubungan kerja maupun selama mempersiapkan diri untuk bekerja dan
setelah purna kerja. Dengan demikian mudah dipahami bahwa di semua
Negara di dunia, hukum ketenagakerjaan mempunyai cakupan yang sangat
luas. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia relatif masih muda dan dikenal
dengan istilah hukum perburuhan. Hukum perburuhan mengatur hubungan
EKMA4367/MODUL 6 6.39

kerja antara pekerja yang disebut buruh dan pengusaha yang disebut majikan.
Hukum perburuhan tersebut merupakan peninggalan zaman penjajahan
Hindia Belanda atau lebih dikenal dengan Zaman Kolonial.
Hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan. Hukum
ketenagakerjaan tersebut memuat ketentuan mulai mempersiapkan orang
memasuki kerja, selama bekerja, dan purna kerja. Hukum ketenagakerjaan
digunakan untuk melindungi setiap orang sebelum menjadi pekerja, selama
bekerja, dan setelah purna kerja. Hukum perburuhan hanya mengatur
pengusaha dalam rangka melindungi orang yang bekerja dalam hubungan
kerja atas perintah atau dipekerjakan orang lain. Hukum perburuhan tidak
mengatur proses mempersiapkan memasuki kerja dan setelah tidak bekerja.
Abdussalam (2009) memaparkan tujuan dan manfaat hukum
ketenagakerjaan. Tujuan hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan
adalah:
1. Untuk kepentingan diri sendiri, akan lebih mengenal dan memahami
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai pekerja. Bila hak-haknya
tidak dipenuhi oleh pihak pengusaha, maka pekerja dapat menyampaikan
dan menanyakan secara langsung kepada pengusaha mengenai hak yang
belum diterima atau belum dipenuhi tersebut.
2. Untuk kepentingan masyarakat yang ingin menjadi pekerja, memberikan
informasi-informasi mengenai hak-haknya yang mendapat jaminan dan
perlindungan hukum dari pemerintah, serta kewajiban yang harus
dilaksanakan.
3. Untuk kepentingan pengusaha dan pejabat pemerintah untuk
memberikan informasi mengapa pekerja mengadakan unjuk rasa dan
mogok massal. Hal ini biasanya disebabkan pengusaha belum memenuhi
hak-hak normatif yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum atau
undang-undang, bahkan pejabat pemerintah memihak pengusaha yang
bertentangan dengan ketentuan hukum.

Selanjutnya, manfaat hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan


adalah:
1. Mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.
2. Terpenuhinya kehidupan para pekerja secara layak, sesuai dengan
standar hidup dan sesuai dengan ketentuan hukum.
6.40 Hubungan Industrial

3. Terciptanya kehidupan yang harmonis antara para pekerja dan


pengusaha dan adanya rasa memiliki dari perusahaan, sehingga
perusahaan lebih pesat perkembangannya dalam memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraannya.

Hukum ketenagakerjaan atau perburuhan mengalami perkembangan


sejak zaman Belanda atau merupakan peninggalan Kolonial Belanda,
kemudian berkembang di periode awal kemerdekaan, periode orde baru, dan
yang terakhir adalah hukum ketenagakerjaan di era reformasi.

1. Hukum Perburuhan Peninggalan Kolonial Belanda


Hukum perburuhan bersumber pada hukum Belanda yang dikenal
dengan Indische Staatsregeling (Undang-undang Dasar Hindia Belanda)
yang diberlakukan di Indonesia sebagai kerangka dasar hukum di Indonesia
(hukum organis) dengan asas konkordansi. Artinya, ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku di negeri asalnya. Kerangka dasar hukum untuk Indonesia dari
Indische Staatsregeling terdiri dari:
a. Burgelijk Wetbook (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer);
b. Wetbook van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD)
c. Wetbook van Straafrech (WvS) atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).

Di samping Burgelijk Wetbook (BW), terdapat pula peraturan perundang-


undangan produk Kolonial yang tidak termasuk di dalam BW seperti dalam
bentuk: ordonnantie, yang dimuat dalam staatsblad, wervingsordonnantie
(staatsblad/bijblad), verordening (staatssblad), peraturan-peraturan khusus
dari Ordonnantie, peraturan-peraturan yang berdiri sendiri, dan sebagainya.
Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perburuhan dalam BW sebagian
besar terdapat pada Buku III Titel 7 A yang antara lain mengatur:
(a) ketentuan tentang perjanjian, (b) perjanjian kerja pada umumnya,
(c) kewajiban pengusaha, (d) kewajiban pekerja, (e) cara-cara berakhirnya
hubungan kerja dan (f) perjanjian kerja. Dengan perkataan lain, hukum
perburuhan yang selama ini kita kenal memuat aturan tentang hubungan kerja
EKMA4367/MODUL 6 6.41

seorang pekerja yang mengikatkan diri untuk bekerja untuk pengusaha


dengan menerima upah. Hubungan kerja tersebut terjadi karena adanya:
a. Perjanjian antara pekerja dan pengusaha;
b. Kewajiban pekerja untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah
pengusaha dan merupakan kewenangan pengusaha atas hasil pekerjaan
pekerja;
c. Kewajiban pengusaha untuk membayar upah kepada pekerja, dan hak
bagi pekerja atas upah;
d. Berakhirnya hubungan kerja dan cara-cara penyelesaian perselisihan
antara pihak pekerja dan pengusaha.

KUHPer mengatur segi-segi perlindungan bagi pekerja di perusahaan di


sektor formal, sedangkan KUHD khusus berlaku bagi pekerja pelaut.
Di samping itu, diberlakukan pula Wetbook van Straafrecht (Kitab Undang-
undang Hukum Pidana) yang lebih dikenal dengan KUHP khususnya yang
menyangkut ketentuan pidana. Berdasarkan Pasal II UUD 1945, kaidah-
kaidah hukum sebagaimana dimaksud di atas masih diberlakukan sebagai
hukum positif nasional khususnya di bidang ketenagakerjaan, di samping
peraturan-peraturan yang diterbitkan sesudah tahun 1945 sebagai produk-
produk hukum nasional.
Pemerintah kolonial Belanda juga meratifikasi empat konvensi
International Labour Organisation (ILO). Setelah proklamasi kemerdekaan,
keempat Konvensi tersebut juga merupakan bagian hukum positif di
Indonesia, yaitu:
a. Konvensi ILO No. 19 Tahun 1925 tentang pemberian perlakuan yang
sama kepada pekerja asing dan pekerja domestik atas kompensasi
kecelakaan kerja, diratifikasi tanggal 13 September 1927.
b. Konvensi ILO No. 27 Tahun 1929 tentang pemberian label yang
menunjukkan berat barang sebesar satu ton atau lebih pada bagian luar
kemasan barang untuk dikirim melalui kapal air, diratifikasi tanggal 4
Januari 1933.
c. Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang larangan kerja paksa
diratifikasi tahun 1933
d. Konvensi ILO No. 45 Tahun 1935 tentang larangan mempekerjakan
perempuan untuk pekerjaan tambang di bawah tanah, diratifikasi tahun
1937.
6.42 Hubungan Industrial

2. Hukum Perburuhan Periode Awal Kemerdekaan


Untuk mengisi kekosongan hukum pada awal kemerdekaan, pemerintah
pada dasarnya mengadopsi peraturan perundang-undangan yang masih
bernafaskan pemerintah kolonial, seperti berikut ini.
a. Ordonansi Nomor 9 tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak;
b. Undang-undang No.1 tahun 1951 tentang pemberlakuan UU No. 12
Tahun 1948 mengenai ketentuan kerja, mencakup hari kerja dan waktu
kerja, cuti, perlindungan tenaga kerja perempuan dan usia muda;
c. Undang-undang No. 2 Tahun 1951 tentang kewajiban pengusaha
memberikan ganti rugi atau santunan kepada pekerja akibat kecelakaan
kerja. Undang-undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek);
d. Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Tenaga Pengawas dan
Pengawasan Kerja.

Di samping itu, hingga menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Baru,


telah diterbitkan beberapa peraturan perundangan yang penting, antara lain:
a. Undang-undang No. 21 Tahun 1954 mengenai Penyusunan Perjanjian
Kerja Bersama melalui perundingan serikat pekerja dan pengusaha;
b. Undang-undang No. 22 Tahun 1957 mengenai Penyelesaian Perselisihan
yang kemudian menjadi dasar pembentukan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan di tingkat Daerah (P4D) dan di tingkat Pusat
(P4P);
c. Undang-undang No. 3 Tahun 1958 mengenai Penempatan Tenaga Kerja
Asing;
d. Undang-undang No. 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana;
e. Undang-undang No. 12 Tahun 1964 mengenai Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta.

Dalam periode ini, Indonesia telah meratifikasi 3 konvensi ILO yang


menjadi hukum positif Indonesia, yaitu:
a. Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 mengenai Hak Berorganisasi dan
Berunding Bersama, diratifikasi melalui Undang-undang No. 18 Tahun
1956;
EKMA4367/MODUL 6 6.43

b. Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951, mengenai pemberian gaji yang
sama kepada pekerja perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang
sama diratifikasi melalui Undang-undang No. 80 Tahun 1957;
c. Konvensi No. 106 Tahun 1957 mengenai istirahat mingguan di sektor
perdagangan dan kantor-kantor, diratifikasi melalui Undang-undang
No. 3 Tahun 1961.

3. Hukum Perburuhan Era Orde Baru


Konsep ketenagakerjaan pada dasarnya mulai dipergunakan pada awal
pemerintahan Orde Baru tahun 1966, yaitu dengan pembentukan departemen
tenaga kerja. Sejak pemerintahan Orde Baru (tahun 1966-Mei 1998), telah
terjadi perubahan mendasar dalam hukum ketenagakerjaan yang dimulai
dengan adanya Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang ketentuan pokok
mengenai tenaga kerja. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan UUD
1945 Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan
diterbitkannya UU No. 14 Tahun 1969 ini, istilah perburuhan diganti
ketenagakerjaan, dan istilah buruh diganti pekerja. Dengan demikian, apa
yang sebelumnya disebut dengan ”hukum perburuhan” disebut juga dengan
“hukum ketenagakerjaan”.
Menurut UU No. 14 Tahun 1969, tenaga kerja adalah tiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja
untuk menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Ciri khas hubungan kerja ialah bekerja di bawah perintah orang
lain dengan menerima upah (Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1969 dan
Penjelasannya). Selanjutnya, dijelaskan bahwa yang dirumuskan dalam UU
No. 14 Tahun 1969 ialah pokok-pokok untuk menjamin kedudukan sosial
ekonomi tenaga kerja sesuai cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia dengan
asas gotong-royong sebagai ciri khas kepribadian bangsa dan unsur pokok
Pancasila (Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 1969). Hukum
ketenagakerjaan dengan bertitik tolak dari UU No. 14 Tahun 1969
mempunyai lingkup yang lebih luas, tidak hanya mengatur hubungan kerja,
akan tetapi juga pra-kerja atau sebelum memasuki hubungan kerja dan purna-
kerja atau sesudah selesai hubungan kerja.
Jangkauan hukum perburuhan yang bertitik tolak dari BW, hanya
mengatur hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha
6.44 Hubungan Industrial

dalam pengertian bahwa pekerja melakukan pekerjaan setiap orang yang


tidak ada kaitannya dengan pengusaha dengan menerima upah. Dengan
demikian pekerjaan setiap orang yang tidak ada kaitannya dengan pengusaha
dapat dianggap tidak termasuk lingkup hukum perburuhan. Artinya bahwa
hukum perburuhan membatasi diri pada hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan kerja. UU No. 14 Tahun 1969 sebagai pelaksanaan Pasal 27
ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap tenaga kerja berhak atas
pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 3 UU 14
Tahun 1969). Hak tersebut bersifat distributif artinya setiap tenaga kerja
dapat memperoleh haknya setelah memenuhi persyaratan tertentu.

4. Hukum Ketenagakerjaan di Era Reformasi


Di era reformasi sejak bulan Mei 1998, Indonesia lebih memfokuskan
ratifikasi Konvensi Dasar ILO dan mempersiapkan Rancangan Undang-
undang pelaksanaan Konvensi tersebut dan sebagai pengganti UU No.25
tahun 1997. Pada periode reformasi ini Indonesia telah berturut-turut
meratifikasi:
a. Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak Berorganisasi, diratifikasi melalui Keputusan Presiden
No. 83 tanggal 5 Juni 1998;
b. Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957 tentang Larangan Kerja Paksa,
diratifikasi melalui UU No. 19 Tahun 1999;
c. Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja, diratifikasi melalui UU No. 20 Tahun 1999;
d. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 tentang Larangan Diskriminasi
menyangkut Pekerjaan dan Jabatan, diratifikasi melalui UU No.21 tahun
1999;
e. Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 tentang Bentuk Terburuk
Mempekerjakan Anak, diratifikasi melalui UU No. 1 Tahun 2000;
f. Konvensi ILO No. 88 Tahun 1948 tentang Lembaga Pelayanan
Penempatan Tenaga Kerja, diratifikasi melalui Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 2002;
g. Konvensi ILO No. 81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan di sektor
Industri dan Perdagangan diratifikasi dengan UU No. 21 Tahun 2003.
EKMA4367/MODUL 6 6.45

Tanggal 4 Agustus 2000, Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang


serikat pekerja/serikat buruh diundangkan. Undang-undang ini antara lain
memuat ketentuan pembentukan serikat pekerja di perusahaan, federasi dan
konfederasi serikat pekerja, larangan intervensi pengusaha, dan sanksi atas
pelanggaran. Undang-undang lain yang sangat penting adalah UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; UU No. 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri; dan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

F. PERSOALAN POKOK DALAM HUKUM PERBURUHAN

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa para pihak yang terutama


terlibat langsung sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan
berlakunya Hukum Perburuhan ialah pihak pengusaha sebagai pihak yang
memberi pekerjaan dan memberi imbalan (gaji/upah) tertentu dan pihak
pekerja sebagai pihak yang melaksanakan pekerjaan tersebut dengan
menerima imbalan (gaji/upah) tertentu tersebut. Di antara pihak pengusaha
dan pihak pekerja sebenarnya masih ada pihak lain yang turut mengawasi
jalannya pelaksanaan atau penerapan Hukum Perburuhan, yaitu pihak
pemerintah, yaitu Kementerian Tenaga Kerja yang bertugas secara utama
untuk senantiasa memantau, apakah pihak majikan atau pihak buruh telah
melakukan kewajiban mereka dengan baik atau belum.
Ada beberapa pihak terkait yang ikut dalam pelaksanaan dan penerapan
Hukum Perburuhan, yaitu:
1. Pihak pengusaha yang bila bersekutu dalam jumlah tertentu juga
membentuk organisasi pengusaha;
2. Pihak pekerja yang bila jumlahnya telah cukup besar dapat membentuk
organisasi buruh atau serikat pekerja;
3. Pihak pemerintah sebagai penguasa (misal Kementerian Tenaga Kerja)
yang bertugas mengatur, membimbing, dan mengawasi pelaksanaan
hubungan antara pihak majikan dan pihak buruh.

Beberapa hal yang merupakan persoalan pokok dalam pengaturan


Hukum Perburuhan ialah sebagai berikut.
6.46 Hubungan Industrial

1. Hal Perjanjian Kerja.


2. Hal Peraturan Perusahaan.
3. Hal Kesepakatan Kerja Bersama.

1. Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang diadakan antara pengusaha
dengan pekerja yang pada umumnya berkenan dengan segala persyaratan
yang harus dipenuhi kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban
mereka masing-masing terhadap satu sama lain. Suatu perjanjian kerja pada
dasarnya harus berlandaskan pada persyaratan kerja yang telah diatur dalam
kesepakatan kerja bersama. Perjanjian kerja menimbulkan kewajiban suatu
pihak untuk bekerja. Perjanjian kerja berbeda dengan kesepakatan kerja
bersama. Kesepakatan kerja bersama tidak menimbulkan hak atas dan
kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat tentang syarat-syarat
kerja yang harus dilaksanakan dalam perjanjian kerja. Bagi suatu perjanjian
kerja tidak dimintakan/dilakukan secara lisan melainkan dengan surat
pengangkatan dari pihak majikan secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian kerja dilakukan antara
pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Perjanjian kerja bersama minimal
meliputi:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja dan serikat pekerja;
c. jangka waktu berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.

Berdasarkan waktu, perjanjian kerja dibagi menjadi dua yaitu perjanjian


kerja waktu tertentu sedangkan perjanjian kerja dengan waktu tidak tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu merupakan perjanjian kerja yang jangka
berlakunya ditentukan dalam perjanjian kerja tersebut (UU No. 13 Tahun
2003), tidak ada masa percobaan, dan merupakan suatu pekerjaan yang sudah
dapat diperkirakan pada suatu saat akan selesai, walaupun ada kemungkinan
perpanjangan. Sementara itu, perjanjian kerja dengan waktu tidak tertentu
merupakan suatu perjanjian yang jangka waktunya tidak disebutkan dalam
perjanjian kerja, tidak menyebutkan untuk berapa lama pekerja harus
menyelesaikan pekerjaan, dan ada masa perpanjangan.
EKMA4367/MODUL 6 6.47

2. Peraturan Perusahaan
Peraturan perusahaan pada dasarnya merupakan peraturan atau
ketentuan-ketentuan kerja yang disusun oleh pihak pekerja perusahaan
sebagai pedoman atau pegangan bagi para pekerja dalam melaksanakan tugas
mereka masing-masing. Peraturan perusahaan dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, serta
syarat kerja dan ketentuan pokok mengenai tata tertib perusahaan. Secara
garis besar, peraturan perusahaan umumnya memuat berbagai tata cara yang
harus diindahkan atau dituruti oleh tiap-tiap pekerja. Tetapi peraturan
perusahaan tidak dapat dibuat dan dipaksakan untuk diindahkan secara
sepihak oleh perusahaan saja. Bagi pengusaha dan pekerja untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing, menciptakan
hubungan kerja yang harmonis, aman, dan dinamis antara pekerja dan
pengusaha. Tujuan peraturan perusahaan adalah:
a. Menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja.
b. Menjamin keseimbangan antara kewenangan dan kewajiban pengusaha.
c. Memberikan pedoman bagi pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya.
d. Menciptakan hubungan kerja yang harmonis, aman, dan dinamis antara
pekerja dan pengusaha.
e. Memajukan dan menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
f. Meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Peraturan perusahaan berisi antara lain kriteria penerimaan pegawai,


kriteria penerimaan pegawai, hari dan waktu kerja, waktu kerja lembur dan
upah lembur, hak cuti, skala upah dan tunjangan, program keselamatan dan
kesehatan kerja, perawatan kesehatan dan pengobatan, ketentuan dan
tindakan disiplin, pemutusan hubungan kerja dan pesangon, penyelesaian
perselisihan, serta dana jaminan sosial dan pensiun. Supaya dapat
diberlakukan, suatu peraturan perusahaan itu harus memenuhi persyaratan
berikut ini.
a. Peraturan pemerintah harus dapat dipenuhi atau diindahkan oleh pihak
pekerja tanpa merugikan hak atau kepentingan mereka, sehingga mereka
tidak akan merasa keberatan untuk mematuhinya.
6.48 Hubungan Industrial

b. Peraturan perusahaan itu dibagi-bagikan kepada setiap pekerja secara


cuma-cuma, agar mereka dapat mengetahui dengan pasti seluruh
persyaratan yang ada.
c. Peraturan tersebut hendaknya diserahkan pula ke Kementerian Tenaga
Kerja untuk dinilai dan diteliti kadar pemenuhan syaratnya sebagai suatu
peraturan yang layak untuk diberlakukan dan sebagai suatu pendaftaran,
sehingga departemen tenaga kerja dapat secara seksama mengikuti,
mengawasi, dan mengarahkan pekerja dan pengusaha yang bersangkutan
agar hubungan kerja antarmereka dapat berjalan lebih baik.
d. Untuk lebih menjamin bahwa peraturan perusahaan tersebut senantiasa
mengikuti perkembangan zaman, maka dianjurkan bahwa pengajuannya
ke departemen tenaga kerja untuk dinilai dan diteliti itu dilakukan setiap
dua tahun.

3. Kesepakatan Kerja Bersama


Kesepakatan Kerja Bersama Diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Pasal
116 sampai dengan Pasal 135. Kesepakatan kerja bersama merupakan
perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja yang telah didaftarkan
pada Kementerian Tenaga Kerja dan pengusaha, yang pada umumnya atau
semata-mata memuat syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan di dalam
perjanjian kerja. Kesepakatan Kerja Bersama hanya dapat dirundingkan dan
sebagian besar pekerja di perusahaan didukung yang bersangkutan. Manfaat
dari KKB:
a. Terciptanya ketenangan dan ketenteraman kerja dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja.
b. Adanya kepastian kerja, upah, dan promosi di tahun-tahun berikutnya
dan terdapat keselamatan kerja dan jaminan sosial.
c. Adanya kepastian usaha karena ada kepastian ongkos, sehingga
pengusaha dapat merencanakan suatu perluasan produksi.

G. PENERAPAN HUKUM PERBURUHAN

Pada masa lalu boleh dikatakan bahwa rata-rata pengusaha memasang


jarak dan perbedaan derajat yang tajam dengan para karyawannya. Saat ini,
meskipun penilaian perbedaan derajat antara pekerja dan pengusaha masih
tetap ada, namun perlakuan majikan terhadap buruh atau karyawannya sudah
EKMA4367/MODUL 6 6.49

jauh lebih baik dibandingkan dengan masa lalu. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan zaman kemajuan dalam sejarah perburuhan ialah zaman
atau masa telah majunya tata dan dasar pandangan umum mengenai
kedudukan pekerja dan pengusaha.
Pada masa sekarang ini pemerintah langsung mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan perburuhan di bawah pimpinan pengusaha melalui
Kementerian Tenaga Kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
diperhatikannya hak-hak pekerja atau karyawan. Pada masa sekarang ini
pun, istilah buruh telah diganti dengan istilah karyawan atau pegawai. Hal ini
bertujuan agar kesan terlampau jauhnya perbedaan derajat antara karyawan
dengan pengusaha sedapat mungkin dihilangkan. Hak-hak karyawan atau
pegawai pada masa kini lebih mendapat perhatian dan secara formal yuridis
telah ditentukan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha
melalui berbagai peraturan perundang-undangan perburuhan, adalah:
1. Hak karyawan untuk memperoleh imbalan kerja yang layak atau selaras
dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya.
2. Hak karyawan untuk dapat hidup layak dan wajar sebagai manusia
sedapat mungkin berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan primer
hidupnya sebagai ukuran minimal (beserta keluarga yang menjadi
tanggungannya) dalam arti bahwa karyawan tersebut setidaknya mampu
untuk memenuhi:
a) keperluan sandang pangan;
b) keperluan perumahan atau tempat tinggal yang layak, beserta
seperangkat perkakas dan isinya yang baik;
c) keperluan lainnya yang masih tergolong primer, tergantung pada
kedudukan dan tugas yang bersangkutan dalam kehidupan masing-
masing.
3. Hak karyawan untuk dapat beristirahat dengan layak, selaras dengan
berat atau ringannya pekerjaan, serta jarak tempat tugasnya dari alamat
asal (dalam hal ini termasuk cuti).
4. Hak karyawan untuk memperoleh bantuan pembiayaan pengobatan
untuk dirinya dan/atau keluarganya sampai pada batas yang layak.
5. Hak karyawan untuk memperoleh upah lembur serta restriksi atau
pembatasan lembur yang sekiranya dapat melewati batas sehingga dapat
berakibat buruk bagi karyawan sendiri.
6.50 Hubungan Industrial

6. Hak karyawan untuk memperoleh jaminan kepastian kerja sehingga


karyawan tidak dapat diberhentikan dengan semena-mena oleh pihak
majikan.
7. Hak karyawan untuk memperoleh jawaban yang pasti mengenai alasan
pemberhentian di saat karyawan diberhentikan.
8. Hak karyawan untuk memperoleh jaminan tunjangan kehidupan,
sementara ia masih menganggur di saat ia diberhentikan di luar
kehendaknya dan di luar kesalahannya. Dalam hal ini, karyawan
memperoleh jaminan tunjangan kehidupan berupa uang pesangon yang
bila beralasan layak ditambah dengan penghargaan berupa uang jasa.
9. Hak karyawan untuk memperoleh dana bantuan tunjangan kehidupan
dan/atau pengobatan dan perawatan apabila karyawan atau di luar
kesalahannya, selama ia belum mampu bekerja kembali.
10. Berbagai hak lain yang patut digunakan oleh karyawan bersangkutan.

Namun demikian, dengan kemajuan zaman yang terjadi, masih banyak


pengusaha yang memperlakukan pekerja atau karyawannya dengan semena-
mena. Oleh karena itu, pencanangan Hubungan Industrial Pancasila kian
dirasa penting. Hubungan industrial tersebut merupakan pengejawantahan
semua sila dalam Pancasila, sehingga bentuk dan wujud hubungan
perburuhan di Indonesia semakin tertata dengan baik.
Selanjutnya, hukum ketenagakerjaan dapat digolongkan dalam tiga
kelompok, yaitu hukum atau ketentuan pra-kerja, ketentuan selama bekerja,
dan ketentuan purna kerja.

1. Ketentuan Pra-Kerja
Ketentuan pra-kerja mencakup peraturan mengenai penyediaan tenaga
kerja dan pelatihan tenaga kerja. Penyediaan, penyebaran dan penggunaan
tenaga kerja dimaksudkan untuk:
a. Menyediakan tenaga kerja dalam kuantitas dan kualitas yang memadai;
b. Menyebarkan tenaga kerja sedemikian rupa sehingga memberi dorongan
ke arah penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif;
c. Mendayagunakan tenaga kerja secara penuh dan produktif untuk
mencapai kemanfaatan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan
prinsip “tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat”.
EKMA4367/MODUL 6 6.51

Sebenarnya sejak pemerintah kolonial Belanda sudah ada beberapa


peraturan mengenai pengerahan tenaga kerja seperti Ordonansi Pengaturan
Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Stb.No. 208 Tahun 1936) dan Pengerahan
Orang Indonesia Melakukan Pekerjaan di Luar Negeri (Stb. No. 8 Tahun
1887) Menteri Muda Perburuhan juga telah menerbitkan Peraturan No.11
tanggal 17 November 1959 tentang Antar Kerja Antar Daerah.
Ketentuan penempatan tenaga kerja di dalam negeri diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 203 Tahun 1999, sedangkan ketentuan
penempatan tenaga kerja keluar negeri diatur dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 204 Tahun 1999. Ketentuan mengenai penempatan dan
penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun
1958, Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1968, dan Keputusan Presiden No. 75
Tahun 1995.
Selain memperhatikan penempatan tenaga kerja, perusahaan juga harus
memperhatikan pembinaan dan peningkatan pendidikan dan keahlian
karyawan. Pembinaan keahlian dan kejuruan melalui program latihan kerja
terutama untuk pekerja operasional dimaksudkan untuk:
a. Membekali tenaga kerja dengan kemampuan dan keterampilan kerja
sehingga memenuhi persyaratan jabatan mengisi lowongan di
perusahaan atau mampu melakukan pekerjaan mandiri;
b. Membina dan meningkatkan keahlian dan keterampilan pekerja, baik
dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja;
c. Membina keahlian dan keterampilan pekerja sesuai dengan
perkembangan teknik, teknologi dan perkembangan masyarakat pada
umumnya.

Dalam rangka pembagian tanggung jawab fungsional mengenai


pembinaan pendidikan dan pelatihan kerja telah diterbitkan Keputusan
Presiden No. 34 tanggal 18 April 1972 dan Instruksi Presiden No. 15 tanggal
13 September 1974. Dalam hubungan ini digariskan bahwa:
a. Menteri Pendidikan secara fungsional bertanggung jawab dalam
perumusan kebijakan dan pembinaan pendidikan umum dan kejuruan;
b. Menteri Tenaga kerja secara fungsional bertanggung jawab dalam
perumusan kebijakan dan pembinaan latihan keahlian dan kejuruan
tenaga kerja bukan pegawai negeri; dan
6.52 Hubungan Industrial

c. Ketua Lembaga Administrasi Negara secara fungsional bertanggung


jawab merumuskan kebijakan dan melakukan pembinaan pendidikan dan
latihan pegawai negeri. hukum ketenagakerjaan dapat digolongkan
dalam 3 kelompok, yaitu hukum atau ketentuan pra-kerja, ketentuan
selama bekerja, dan ketentuan purna kerja.

2. Ketentuan Selama Bekerja


Ketentuan selama hubungan kerja menyangkut norma kerja, keselamatan
dan kesehatan kerja, upah dan jaminan sosial, hubungan industrial, dan
pengawasan ketenagakerjaan. Fokus hukum ketenagakerjaan dalam periode
pemerintahan kolonial hingga periode awal kemerdekaan adalah mengatur
ketentuan dalam hubungan kerja. Undang-undang No. 1 Tahun 1951
mengatur ketentuan antara lain mengenai waktu kerja dan istirahat, istirahat
mingguan dan cuti tahunan, kerja lembur dan upah lembur, perlindungan
pekerja wanita dan usia muda.
Untuk memulai satu pekerjaan, pengusaha dan pekerja harus diikat
dalam satu ketentuan dan perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
Undang-undang No. 21 Tahun 1945 mengatur ketentuan perjanjian kerja
bersama antara pengusaha dengan serikat pekerja, baik untuk pekerjaan
dalam waktu yang tidak tertentu maupun untuk waktu tertentu. Berdasarkan
Undang-undang ini, Pedoman pembuatan Perjanjian atau Kesepakatan Kerja
Bersama (untuk waktu yang tak tertentu) diatur dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1985. Kesepakatan kerja untuk waktu tertentu
termasuk kerja kontrak untuk maksimum 3 tahun diatur dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 02 Tahun 1993.
Lebih lanjut, semua produk hukum ketenagakerjaan yang diterbitkan
setelah UU No. 14 Tahun 1969 mengacu kepada konsep ketenagakerjaan.
Hukum ketenagakerjaan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
b. Undang-undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenaga-
kerjaan di Perusahaan;
c. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah; dan
d. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
EKMA4367/MODUL 6 6.53

Ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana


diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 yang antara lain mengatur
syarat keselamatan kerja, pembentukan Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3), kewajiban pengusaha dan pekerja, program K3
perusahaan serta pengawasannya. Perusahaan harus memperhatikan dan
menaati syarat dan program K3 perusahaan serta pengawasannya. Syarat dan
program K3 perusahaan tersebut dimaksudkan untuk:
a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b. mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c. mencegah dan mengurangi bahaya kebakaran;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar
radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik
maupun psikis, peracunan, inflasi dan penularan;
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup
l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara
dan proses kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang,
tanaman atau barang;
o. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan
dan penyimpanan barang;
p. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Mengacu pada UU No. 1 Tahun 1970 tersebut telah diterbitkan beberapa


peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain:
6.54 Hubungan Industrial

a. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas


Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida;
b. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan
Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan;
c. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja
terhadap Radiasi.

Sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1981, setiap perusahaan


diwajibkan melaporkan kondisi perusahaannya dalam menerapkan peraturan
perundangan ketenagakerjaan, terutama mengenai hari dan waktu kerja, kerja
lembur dan pengupahan. Ketentuan mengenai perlindungan upah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981, antara
lain dirinci dengan Keputusan Menteri Tenaga kerja No. 72 Tahun 1984
tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur, Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. 03 Tahun 1987 tentang Upah pada Hari Libur Resmi, dan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1999 tentang Upah Minimum.
UU No. 25 Tahun 1997 mengenai ketenagakerjaan merupakan
momentum penting mengenai reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia
yang mencoba menampung, mengintegrasikan bahkan memperluas ruang
lingkup enam ordonansi produk pemerintahan kolonial Belanda dan lima
Undang-undang yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
masyarakat sekarang ini. Undang-undang ini menampung materi dan
mencabut 6 Ordonansi tersebut dan lima undang-undang yaitu UU No. 1
Tahun 1951, UU No. 21 Tahun 1954, UU No. 3 Tahun 1958, UU No. 7
Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan di Perusahaan Vital, dan UU
No. 14 tahun 1969.
Di samping menampung dan mengintegrasikan materi enam ordonansi
dan 5 undang-undang seperti disebutkan di atas, UU No. 25 Tahun 1997 ini
juga memuat landasan hukum dan pengaturan beberapa aspek baru yang
sangat penting yang belum pernah diatur seperti berikut ini.
a. Informasi Pasar Kerja dan Perencanaan Tenaga kerja;
b. Pelatihan dan Pemagangan;
c. Lembaga Kerja Sama Bipartit dan Tripartit;
d. Hubungan Industrial Pancasila;
e. Peningkatan Produktivitas, dan
f. Hubungan Kerja Sektor Informal.
EKMA4367/MODUL 6 6.55

UU No. 25 Tahun 1997 ini juga telah mengatur perlindungan hak dasar
pekerja untuk mendirikan atau menjadi anggota serikat pekerja yang tidak
boleh dihalang-halangi oleh pengusaha, Pemerintah atau pihak ketiga.
Undang-undang ini juga membuka peluang untuk membentuk undang-
undang yang secara khusus mengatur pembentukan serikat pekerja dan
mengatur penyelesaian perselisihan industrial.
Sayang sekali, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat secara apriori
menolak Undang-undang tersebut. Untuk menghindari kerawanan keamanan,
Pemerintah secara bijak sudah dua kali menunda pelaksanaan undang-undang
tersebut hingga bulan September 2002, sambil menunggu pembahasan
Rancangan Undang-undang di DPR untuk menggantikannya. RUU tersebut
kemudian disahkan dan menjadi UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan

3. Ketentuan Purna Kerja


Hukum ketenagakerjaan menyangkut purna kerja terutama dimaksudkan
untuk menjamin kelangsungan pendapatan orang yang bersangkutan dan atau
keluarganya pada saat dia tidak mampu lagi bekerja akibat kecelakaan kerja,
sakit, sudah tua dan pensiun, atau meninggal dunia. Dalam hubungan ini
terdapat dua undang-undang yang penting yaitu UU No.3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 11 Tahun 1992 tentang
Program Pensiun.
1) UU No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja meliputi
program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian
dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Lebih rinci diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 79 Tahun 1998 sebagai pengganti No. 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang
kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun
2000.
2) Peraturan Menteri Tenaga kerja No. 4 Tahun 1993 tentang Jaminan
Kecelakaan Kerja;
3) Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul
Karena Hubungan Kerja.
6.56 Hubungan Industrial

Selain itu, program dana pensiun juga diatur dalam UU No. 11 Tahun
1992. Program dana pensiun dapat dikelola melalui badan tersendiri yang
dibentuk secara khusus oleh Badan Pendiri atau melalui lembaga keuangan
yang sudah ada.

L AT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan beberapa teori yang berhubungan dengan gerakan buruh!
2) Jelaskan riwayat awal perburuhan di Indonesia!
3) Jelaskan perkembangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia!
4) Jelaskan hak-hak karyawan di masa kini yang harus dipenuhi melalui
Undang-Undang Ketenagakerjaan!
5) Jelaskan tiga kelompok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Teori Gerakan Buruh meliputi:


a. Teori Revolusi, yang menjelaskan pergerakan buruh yang serentak,
bukan perlahan-lahan.
b. Teori Demokrasi Industri yang menjelaskan penggunaan unsur
demokrasi dalam hubungan kerja industri.
c. Teori Kesatuan Bisnis yang mengutamakan aspek ekonomis dalam
perundingan.
d. Teori Sosio-psikologis yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan
dan keinginan karyawan dalam serikat pekerja.
e. Teori Perubahan yang menyatakan bahwa tujuan serikat pekerja
berubah sesuai dengan kondisi kerja perusahaan dan perubahan
masyarakat.
2) Perburuhan di Indonesia dimulai dari zaman perbudakan, zaman rodi,
dan zaman punale sanksi. Pada zaman perbudakan, orang bekerja di
bawah pimpinan orang lain, tidak mempunyai hak, kecuali hak hidup.
Pada zaman rodi, pekerjaan rodi digunakan untuk kepentingan raja. Pada
zaman penjajahan Belanda, kerja rodi digunakan untuk kepentingan
EKMA4367/MODUL 6 6.57

pemerintahan Hindia Belanda. Zaman punale sanksi ditunjukkan dengan


kekuasaan yang besar pada para pengusaha yang menyebabkan mereka
berperilaku buruk terhadap karyawan
3) Hukum Ketenagakerjaan merupakan peninggalan kolonial Belanda yang
berkembang menjadi hukum perburuhan di awal kemerdekaan, hukum
perburuhan di era orde baru, dan hukum ketenagakerjaan di era
reformasi.
4) Berbagai hak karyawan antara lain hak memperoleh imbalan,
memperoleh hidup layak, beristirahat layak, memperoleh bantuan biaya
pengobatan, memperoleh upah lembur, memperoleh jaminan kepastian
kerja, memperoleh jawaban pasti mengenai alasan pemberhentian
karyawan, memperoleh jaminan tunjangan kehidupan, memperoleh dana
tunjangan kehidupan, dan sebagainya.
5) Tiga kelompok Hukum Ketenagakerjaan, yaitu ketentuan pra-kerja,
ketentuan selama bekerja, dan ketentuan purna kerja. Ketentuan pra-
kerja meliputi peraturan mengenai penyediaan tenaga kerja dan pelatihan
kerja. Ketentuan selama kerja meliputi ketentuan yang menyangkut
norma kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, upah dan jaminan sosial,
hubungan industrial, dan pengawasan ketenagakerjaan. Ketentuan purna
kerja meliputi ketentuan yang menjamin kelangsungan pendapatan orang
yang bersangkutan atau keluarganya pada saat karyawan tidak mampu
bekerja karena sakit, tua, pensiun, atau meninggal dunia.

R A NG KU M AN

Pelaksanaan hubungan industrial tidak terlepas dari sejarah


perkembangan negara tersebut, kondisi negara tersebut, dan peraturan
atau hukum ketenagakerjaan negara tersebut. Selain itu, Hukum
Ketenagakerjaan juga disusun berdasarkan teori pergerakan buruh yang
ada dan tujuan Hukum Ketenagakerjaan yang melindungi karyawan
terhadap kekuasaan majikan atau pengusaha. Riwayat Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia mengikuti tiga zaman yang ada, yaitu
zaman perbudakan, zaman rodi, dan zaman punale sanksi dan empat
masa, yaitu masa kolonial Belanda, awal kemerdekaan, orde baru, dan
masa reformasi. Secara umum, Hukum Ketenagakerjaan mengatur
berbagai ketentuan di masa pra-kerja, selama bekerja, dan purna kerja.
6.58 Hubungan Industrial

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Hukum Ketenagakerjaan Indonesia didasarkan pada UUD 1945 pada ....


A. Pasal 28 dan 34
B. Pasal 27 dan 33
C. Pasal 27 dan 28
D. Pasal 33 dan 36

2) Teori yang menganggap bahwa serikat pekerja membuat karyawan


mampu memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya adalah teori ....
A. revolusi
B. demokrasi industri
C. kesatuan bisnis
D. sosio-psikologis

3) Riwayat awal perburuhan di Indonesia ditandai dengan tiga zaman,


yaitu zaman ....
A. perbudakan, rodi, dan punale sanksi
B. Belanda, Jepang, dan Merdeka
C. revolusi, demokrasi, dan bisnis
D. penjajahan, merdeka, dan orde baru

4) Suatu zaman yang ditandai dengan pemberian kekuasaan kepada


pengusaha terhadap buruh adalah zaman ....
A. perbudakan
B. rodi
C. punale sanksi
D. romusha

5) Hukum Ketenagakerjaan meliputi semua peraturan perundangan yang


menyangkut beberapa pihak berikut ini, kecuali ....
A. pekerja dan pekerjaan
B. pekerja dan pengusaha
C. tempat kerja dan purna kerja
D. tempat rekreasi pekerja
EKMA4367/MODUL 6 6.59

6) Berikut merupakan persoalan pokok dalam Hukum Perburuhan atau


Hukum Ketenagakerjaan, kecuali ....
A. perjanjian kerja
B. negosiasi
C. peraturan perusahaan
D. kesepakatan kerja bersama

7) Tujuan peraturan perusahaan antara lain ....


A. menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja
B. menjamin keseimbangan berbagai kepentingan
C. menciptakan hubungan kerja yang berdasarkan undang-undang
D. meningkatkan kesejahteraan masyarakat

8) Hukum Ketenagakerjaan meliputi ketentuan ....


A. pra-kerja
B. pasca-rekrutmen
C. penugasan kerja
D. penyelesaian pekerjaan

9) Ketentuan Selama bekerja meliputi ....


A. norma kerja dan keselamatan kerja
B. upah dan jaminan sosial
C. pengawasan ketenagakerjaan
D. jawaban A, B, dan C benar

10) Ketentuan yang digunakan untuk menjamin kelangsungan pekerja atau


keluarganya pada saat sakit, pensiun, atau meninggal diatur dalam
ketentuan ....
A. pra-kerja
B. selama kerja
C. purna kerja
D. rekrutmen

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan = × 100%
Jumlah Soal
6.60 Hubungan Industrial

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Selamat! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
EKMA4367/MODUL 6 6.61

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1 Tes Formatif 2


1) A 1) B
2) A 2) D
3) B 3) A
4) B 4) C
5) C 5) D
6) D 6) B
7) C 7) A
8) D 8) A
9) A 9) D
10) C 10) C
6.62 Hubungan Industrial

Daftar Pustaka

Abdussalam, H.R. (2009). Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan).


Jakarta: Restu Agung.

Batubara, C. (2008). Hubungan Industrial. Jakarta: PPM Manajemen.

Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.

Haryani. S. (2002). Hubungan Industrial di Indonesia. Yogyakarta: AMP


YKPN

Simanjuntak, P.J. (2009). Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Jala


Permata Aksara.

Suwarto (2009). Hubungan Industrial dalam Praktek. Jakarta: Asosiasi


Hubungan Industrial Indonesia.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat


Buruh.

Anda mungkin juga menyukai