Edisi Kesatu
Cetakan pertama, September 2011 Cetakan kedelapan, November 2016
Cetakan kedua, April 2012 Cetakan kesembilan, Mei 2017
Cetakan ketiga, April 2014 Cetakan kesepuluh, November 2017
Cetakan keempat, Juni 2014 Cetakan kesebelas, April 2018
Cetakan kelima, September 2014 Cetakan kedua belas, Juni 2018
Cetakan keenam, Juni 2015 Cetakan ketiga belas, Februari 2019
Cetakan ketujuh, Mei 2016
338
ARI ARIANI, Dorothea Wahyu
m Materi pokok hubungan industrial; 1 – 6; EKMA4367/
2 sks/ Dorothea Wahyu Ariani. -- Cet.13; Ed.1 --.
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2019.
334 hal; ill; 21 cm
ISBN: 978-979-011-640-5
1. industrial
I. Judul
Dicetak oleh
iii
Daftar Isi
Kegiatan Belajar 2:
Berbagai Disiplin Ilmu yang Berpengaruh pada Konsep Hubungan
Industrial ............................................................................................. 1.21
Latihan …………………………………………............................... 1.41
Rangkuman ………………………………….................................... 1.43
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 1.44
Kegiatan Belajar 2:
Serikat Pekerja di Indonesia ............................................................... 2.23
Latihan …………………………………………............................... 2.44
iv
Kegiatan Belajar 2:
Negosiasi Perjanjian ........................................................................... 3.33
Latihan …………………………………………............................... 3.43
Rangkuman ………………………………….................................... 3.46
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 3.47
Kegiatan Belajar 2:
Isu Pemberian Penghargaan Karyawan ............................................. 4.32
v
Kegiatan Belajar 2:
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ................................. 5.26
Latihan …………………………………………............................... 5.37
Rangkuman ………………………………….................................... 5.41
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 5.42
Kegiatan Belajar 2:
Praktik Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ................................... 6.28
Latihan …………………………………………............................... 6.56
Rangkuman ………………………………….................................... 6.57
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 6.58
Berdasarkan tujuan khusus yang akan dicapai serta bobot sks mata kuliah
Hubungan Industrial, yakni 2 sks maka materi mata kuliah ini disajikan
dalam 6 modul, yang disusun sebagai berikut.
Modul 1. Karakteristik dan Konteks Hubungan Industrial
Modul 2. Serikat Pekerja
Modul 3. Perjanjian Kerja Bersama dan Negosiasi Perjanjian
viii
P et a Ko m pe ten si
Hubungan Industrial/EKMA4367/2 sks
Modul 6
Menjelaskan praktik hubungan industrial,
perkembangan dan praktik hukum
ketenagakerjaan di Indonesia
Modul 5
Menjelaskan konflik dan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial
di tempat kerja
Modul 1
Menjelaskan konteks hubungan
industrial secara umum dan
keterkaitan hubungan industrial
dengan berbagai bidang ilmu lain
Modul 1
PE NDAHUL UA N
Kegiatan Belajar 1
a. Manajemen ilmiah
Tokoh dalam manajemen ilmiah adalah Frederick W. Taylor yang
merupakan perumus teori perilaku industrial. Prinsip yang dikembangkannya
adalah menciptakan iklim industrial dengan terjadinya kemitraan antara
modal dan karyawan sehingga tercapai peningkatan efisiensi organisasi.
Taylor menyatakan bahwa manajemen harus mempelajari pekerjaan yang
harus dilakukan agar menjadi satu cara terbaik dalam mengerjakan tugas.
Taylor juga menyatakan bahwa dengan maksimisasi efisiensi produk setiap
karyawan, manajemen ilmiah akan memaksimumkan penghasilan karyawan
dan pengusaha. Menurut Taylor, dengan rancangan dan pembayaran tugas
yang tepat, sumber konflik sistem dapat dikurangi.
b. Hubungan antarkaryawan
Aliran hubungan antarkaryawan merupakan isu awal dalam psikologi
industri yang berfokus pada individu. Para ahli teori hubungan antarkaryawan
kurang tertarik dengan struktur insentif ekonomi, namun lebih tertarik pada
penciptaan kepuasan dalam hubungan sosial dalam kelompok kerja.
Karyawan yang puas akan memiliki kinerja yang tinggi dan mau bekerja
sama. Karyawan memang harus diperlakukan sebagai manusia, sedangkan
manajer harus menyadari keinginan karyawan untuk dipahami perasaan dan
emosinya dan berusaha menciptakan rasa memiliki dan identifikasi personal
dalam organisasi.
Selanjutnya, supervisi yang baik dan keterbukaan dalam komunikasi
akan menginspirasi rasa percaya diri dan meningkatkan komitmen terhadap
pencapaian sasaran organisasi. Manajer harus menyediakan lingkungan kerja
yang mampu menanggapi kebutuhan emosional dan personal individu dalam
kelompok kerja. Penelitian mengenai hubungan antarkaryawan telah
dilakukan oleh Elton Mayo dengan Studi Howthorne. Tujuan studi tersebut
adalah mengobservasi pengaruh produktivitas karyawan yang diukur dalam
lingkungan kerja yang berubah.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas
bukan dipengaruhi faktor yang logis seperti pencahayaan atau jam kerja yang
dipersingkat, melainkan justru disebabkan oleh perasaan menyenangkan dan
mempunyai keinginan kuat dalam mencapai keinginannya. Studi Howthorne
menunjukkan bahwa motivasi seseorang dapat dipengaruhi oleh hubungan
antarkaryawan atau yang disebut dengan faktor sosial (Locke, 1982).
Sementara itu, Locke et al., 1981 menyatakan bahwa ada empat cara atau
1.10 Hubungan Industrial ⚫
2. Pendekatan Keberagaman
Berbeda dengan pendekatan keberagaman yang memiliki satu sumber
kekuasaan yang memiliki kekuasaan legitimasi, pendekatan keberagaman
memungkinkan terjadinya perbedaan kelompok peminatan dan berbagai
bentuk loyalitas. Kerangka kerja keberagaman menyatakan bahwa karyawan
dalam organisasi yang berbeda dapat memiliki kepeminatan yang sama.
Dengan menciptakan hubungan mendatar atau ke samping dengan kelompok
di luar keanggotaan organisasi dalam bentuk perserikatan yang lebih
mengembangkan loyalitas dan komitmen terhadap pemimpin daripada
pengelolaan organisasinya. Pengelolaan yang penting adalah mengenal
sumber kepemimpinan yang sah dan berfokus pada loyalitas dalam
organisasi, serta memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan.
Pandangan keberagaman mempunyai perspektif teoritis dalam hubungan
industrial. Ada dua asumsi yang mendasari. Pertama, kekuasaan tampak
sebagai penyebaran kelompok yang sama-sama mendominasi. Dengan
perkataan lain, persaingan kekuatan menghambat dan memeriksa kekuasaan
absolut. Kedua, kondisi yang berkaitan dengan pelindung peminatan
masyarakat dan peran melindungi kelemahan dan mengendalikan kekuasaan.
Pendekatan keberagaman cenderung memusatkan perhatian pada jenis
peraturan, regulasi, dan proses yang memungkinkan memberikan kontribusi
pada kepeminatan organisasi dan menjamin bahwa perbedaan minat secara
efektif akan mempertahankan keseimbangan sistem. Pendekatan ini
menekankan pada stabilitas sosial, sehingga hubungan industrial dipandang
sebagai peraturan yang menekankan pada aspek hubungan antara pengusaha
dan karyawan dan hubungan antara manajemen dan serikat pekerja, sehingga
1.12 Hubungan Industrial ⚫
konflik dalam pengendalian di pasar tenaga kerja dan proses yang terjadi
merupakan manifestasi peminatan fundamental dan bersifat terus-menerus.
3. Pandangan Radikal
Pandangan ini mengenal konflik fundamental dan melekat pada konflik
kepentingan antara karyawan dan pengusaha di tempat kerja. Tempat kerja
merupakan suatu tempat terjadinya konflik dengan adanya konflik
kepentingan yang radikal yang mendasari adanya hubungan industrial. Tidak
seperti dalam pendekatan keragaman, pendekatan radikal memandang
hubungan industrial sebagai totalitas hubungan sosial dalam produksi.
Pendekatan radikal memandang ketidakseimbangan kekuasaan dalam
masyarakat dan di tempat kerja sebagai inti hubungan industrial
konflik. Konflik ini dapat berupa konflik kelas dan dapat berupa konflik
kepentingan. Dalam studi tentang hubungan industrial yang menjadi sorotan
adalah bagaimana konflik kepentingan itu dapat diselesaikan. Kalau ada
konflik, berarti akan ada penggunaan kekuasaan yang dimiliki oleh suatu
organisasi.
Ruang lingkup hubungan industrial secara umum merupakan hubungan
antara pekerja dan pengusaha dengan berbagai permasalahan, seperti
ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Ruang lingkup tersebut dibedakan
menjadi dua, yaitu pemasaran tenaga kerja dan pengelolaan tenaga kerja.
Pendekatan biaya transaksi membuat sejumlah asumsi mengenai perilaku
karyawan dan lingkungan ekonomi.
Ada dua asumsi perilaku yang penting, yaitu rasionalitas yang terbatas
dan paham oportunis. Keterbatasan rasionalitas menunjukkan adanya
keterbatasan pandangan individu sehingga individu tidak dapat memproses
informasi yang tidak terbatas dan tidak mampu mengomunikasikan informasi
tersebut kepada orang lain dengan sempurna. Selain itu, individu juga
memiliki sifat menjadi seorang yang oportunis, sehingga individu cenderung
memiliki kepentingan sendiri yang berbeda-beda. Keterbatasan rasionalitas
individu, kompleksitas, dan ketidakpastian lingkungan ekonomi
menunjukkan bahwa kontrak karyawan yang detail dan komprehensif
tersebut tidak layak. Sementara itu, perilaku oportunis muncul ketika
karyawan memiliki tingkat tawar-menawar dalam keahlian khusus. Konsep
kerangka kerja hubungan industrial mendorong pengembangan tipologi
dengan tiga level kegiatan hubungan industrial, yaitu level strategi,
kebijakan, dan tempat kerja. Hal ini dipaparkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1.
Tiga Level Kegiatan Hubungan Industrial
Level Pengusaha Serikat Pekerja Pemerintah
Strategi jangka Strategi Bisnis Strategi Politik Kebijakan
panjang dan Strategi Investasi Strategi Representasi Makroekonomi dan
penyusunan Strategi Sumber Daya Strategi Organisasi sosial
kebijakan Manusia
Kesepakatan Kebijakan Personalia Strategi Kesepakatan Hukum dan
bersama dan Strategi Negosiasi Bersama Administrasi
kebijakan personal Tenaga Kerja
Hubungan tempat Gaya Supervisi Administrasi Kontrak Standar Karyawan
kerja dan individu/ Partisipasi karyawan Partisipasi Karyawan Partisipasi
organisasi Desain Pekerjaan dan Desain Pekerjaan dan Karyawan
Organisasi Kerja Organisasi Kerja Hak Individual
Sumber: Deery et al., 1998.
1.16 Hubungan Industrial ⚫
LA TIH AN
RA NGK UMA N
Kegiatan Belajar 2
bagaimana pekerjaannya dibentuk. Contoh dari struktur ini adalah tim lintas
fungsi, rotasi pekerjaan, dan gugus kendali mutu.
Sementara itu, dari penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa ada
beberapa hal yang mempengaruhi perputaran kerja atau yang dapat
memprediksi perputaran kerja. Faktor tersebut antara lain persepsi terhadap
keamanan kerja, kehadiran serikat kerja, kepuasan kerja, senioritas kerja,
variabel demografis seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, banyaknya
tanggungan, komitmen organisasional, apakah pekerjaan memenuhi harapan
individu, perhatian terhadap pekerjaan lain, intervensi pengayaan pekerjaan,
dan peninjauan pekerjaan. Faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah
biaya yang lebih rendah, produktivitas yang lebih tinggi, dan jam kerja
karyawan.
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh bagi
produktivitas, yaitu pelatihan, penyusunan tujuan/sasaran, desain sistem
sosial dan teknik, dan perputaran kerja karyawan. Youndt et al., (1996)
menjelaskan hubungan antara manajemen sumber daya manusia, strategi
manufaktur, dan kinerja, sehingga perlu terlebih dahulu pemahaman dua
pendekatan atau teori mengenai hal tersebut, yaitu pendekatan universal dan
pendekatan kontingensi atau situasional.
1. Pendekatan Universal
Berbagai penelitian empiris telah menyatakan bahwa praktik-praktik
manajemen sumber daya manusia secara langsung berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan. Kegiatan pemilihan dan pelatihan sering kali berkorelasi
dengan produktivitas dan kinerja perusahaan. Tema pokok yang mendasari
penelitian tersebut adalah bahwa perusahaan harus menciptakan konsistensi
internal yang tinggi atau kesesuaian antar kegiatan sumber daya manusia.
Sesuai dengan pandangan sistem dan kesesuaian internal ditemukan bahwa
praktik-praktik difokuskan pada mendorong komitmen karyawan (misal
desentralisasi pengambilan keputusan, pelatihan yang komprehensif,
pemberian penghargaan, dan partisipasi karyawan) berhubungan dengan
kinerja yang lebih tinggi.
Di sisi lain, praktik sumber daya manusia yang berfokus pada
pengendalian, efisiensi, dan pengurangan keahlian dan keleluasaan
berhubungan dengan peningkatan perputaran kerja dan kinerja yang buruk.
Selain itu, investasi dalam kegiatan-kegiatan seperti pemberian insentif atau
kompensasi, teknik pemilihan staf, dan partisipasi karyawan akan
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.29
2. Pendekatan Situasional
Melalui pendekatan situasional, pengaruh praktik-praktik sumber daya
manusia pada kinerja perusahaan dikondisikan oleh sikap strategik
organisasi. Jika pendekatan perusahaan pada persaingan tergantung pada
karyawan atau membuat kemampuan karyawan maka praktik-praktik sumber
daya manusia akan lebih memungkinkan memiliki dampak pada kinerja.
Melalui perspektif perilaku, karakteristik organisasi seperti strategi
menghendaki sikap yang unik dan perilaku peran jika kinerja menjadi efektif,
dan kegiatan-kegiatan sumber daya manusia merupakan alat utama yang
digunakan untuk memperoleh dan memperkuat perilaku karyawan dalam
perusahaan. Demikian pula pendapat dari teori pengendalian yang
menyatakan bahwa kinerja efektif tergantung pada kesesuaian yang tepat
1.30 Hubungan Industrial ⚫
2. Modal Sosial
Konsep modal sosial telah menjadi semakin populer pada lingkup yang
luas dalam disiplin ilmu sosial. Sejumlah ahli sosiologi, ilmuwan bidang
politik, ekonom, dan ahli teori organisasi merujuk pada konsep modal sosial
dalam penelitian untuk menjawab berbagai bidang yang luas yang masih
menimbulkan pertentangan di dalam praktik. Modal sosial ini didasari oleh
teori pertukaran sosial dengan adanya sistem sosial yang merupakan kegiatan
yang saling tergantung yang dikarakteristikkan dengan peran, norma, dan
nilai yang terintegrasi, bukan terdiferensiasi (Katz & Kahn, 1966). Putnam
mendefinisikan modal sosial sebagai ciri atau karakteristik organisasi sosial
seperti jaringan kerja, norma, dan kepercayaan sosial yang membantu
koordinasi dan kerja sama untuk dapat saling menguntungkan (Kostova &
Roth, 2003).
Menurut Cohen dan Prusak (2001), modal sosial merupakan jaringan
kerja hubungan sosial yang diikat oleh rasa saling percaya, saling memahami,
saling mendukung, dan adanya kesamaan nilai dan perilaku sehingga dapat
menyusun kerja sama. Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-
aspek struktur sosial yang menciptakan nilai dan membantu kegiatan individu
dalam struktur sosial tersebut (Seibert, et al., 2001). Fukuyama menyatakan
bahwa modal sosial adalah kemampuan individu untuk bekerja sama dengan
orang lain untuk tujuan umum dalam kelompok dan organisasi (Kostova &
Roth, 2003). Modal sosial dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
keberadaan seperangkat nilai atau norma informal yang dianut oleh anggota
kelompok yang bekerja sama dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa modal
sosial merupakan nilai atau norma yang melekat dalam diri individu untuk
dapat berhubungan dengan orang lain.
Sementara itu, Kostova dan Roth (2003) mendefinisikan modal sosial
sebagai nilai-nilai potensial yang berasal dari kondisi psikologis tertentu,
persepsi, dan perilaku yang diharapkan bahwa bentuk aktor sosial merupakan
hasil dari struktur sosial dan ciri hubungannya dalam struktur tersebut.
Tingkat modal sosial yang tinggi menunjukkan motivasi bagi aktor sosial
untuk mempertahankan hubungan tersebut, perasaan bertanggung jawab
untuk membalas kebaikan di masa lalu dari aktor sosial lain, harapan bahwa
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.35
aktor sosial lain juga akan membalas kebaikannya, dan kenyamanan psikis
penggunaan sumber daya dengan menyediakan, menerima, dan meminta
bantuan dari aktor sosial lain.
Selanjutnya, ada tiga dimensi dalam modal sosial, yaitu struktural,
relasional, dan kognitif. Dimensi struktural merupakan interaksi sosial dan
menunjukkan pada sebuah model hubungan antaraktor atau pelaku yang
meliputi siapa yang berhubungan dan bagaimana berhubungan dengan
mereka. Dimensi ini menjelaskan model hubungan seperti pengukuran
keeratan, hubungan, hierarki, dan organisasi yang sesuai. Dimensi struktural
dijelaskan sebagai hubungan interaksi sosial yang mendorong untuk saling
percaya yang merupakan dimensi relasional. Studi terdahulu menyatakan
bahwa hubungan kepercayaan berevolusi dari interaksi sosial.
Menurut McFayden dan Canella (2004), dimensi struktural menyangkut
kedekatan dan adanya hubungan antaranggota jaringan kerja baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dimensi struktural ini lebih memfokuskan
pada kekuatan hubungan sosial dan pada model hubungan (Seibert et al.,
2001). Hubungan antaranggota kelompok dapat menjadi kuat bila ada
interaksi sosial yang dilakukan secara intensif dan dalam berbagai jenis
hubungan, baik dengan teman, anak buahnya, ataupun pimpinannya. Dimensi
struktural juga disebutkan sebagai dasar bagi dimensi relasional dan kognitif,
sehingga dikatakan bahwa ketiga dimensi tersebut berhubungan erat (Liao &
Welsch, 2005). Hubungan yang dimiliki individu dengan orang lain dalam
organisasi akan mendorong individu untuk berperilaku di luar kontrak atau
deskripsi pekerjaan atau yang disebut perilaku kewargaan organisasional.
Teori jaringan kerja sosial memfokuskan perhatian pada perlengkapan
struktural jaringan kerja (Adler & Kwon, 2002) seperti rongga struktural
pada jaringan kerja dan kekuatan hubungan pada level hubungan minimal
dua orang. Hubungan yang kuat dapat meyakinkan individu untuk menjadi
penolong dan menggunakan pengetahuan. Hubungan yang kuat ini disusun
melalui interaksi yang intensif dan berulang serta komunikasi yang efektif
dan efisien (Whittaker et al., 2003). Sementara itu, pendekatan rongga
struktural menyatakan bahwa, ketika terdapat perbedaan kelompok dari
hubungan antarindividu hanya disebabkan hubungan yang jarang dilakukan
satu dengan yang lain.
Dimensi struktural juga menunjukkan adanya kontak fisik (Tsai &
Ghoshal, 1998). Semakin sering individu mengadakan kontak dengan orang
lain, semakin sering mereka melakukan kegiatan bersama dan bekerja sama.
1.36 Hubungan Industrial ⚫
3. Komitmen Organisasional
Menurut Mowday et al., komitmen dalam organisasi didefinisikan
sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatannya dalam
organisasi (Aldag & Reschke, 1997). Komitmen organisasional terdiri dari
kesukaan atau ketertarikan karyawan terhadap organisasi tempat karyawan
itu bekerja (Laschinger, 2001). Menurut Kreitner dan Kinicki (2004),
komitmen organisasional adalah keberpihakan individu pada organisasi dan
tujuan organisasi. Hasil penelitian Somers dan Birnbaum (1998)
menunjukkan adanya hubungan antara komitmen dan kinerja tugas.
Komitmen dapat mempengaruhi kinerja melalui dua variabel antara, yaitu
usaha dan pencapaian, sehingga nampak adanya perbedaan antara komitmen,
motivasi, pencapaian, dan sebagainya yang memberikan pemahaman
mengenai hubungan empiris antara komitmen yang berhubungan dengan
kerja dengan kinerja (Somers & Birnbaum, 1998).
Herscovitch dan Meyer (2002) mendefinisikan komitmen secara umum
sebagai kekuatan atau cara pikir yang mengikat individu ke dalam
serangkaian kegiatan yang relevan dengan satu atau beberapa target. Dalam
penelitian ini, komitmen didefinisikan sebagai kemauan untuk mencapai
kinerja. Menurut Bateman dan Strasser (1984), organisasi yang anggotanya
mempunyai komitmen akan menunjukkan kinerja dan produktivitas yang
lebih tinggi, serta ketidakhadiran dan kelambanan yang rendah (Cohen,
1992).
Selanjutnya, menurut Meyer dan Allen, komitmen mempunyai tiga
bentuk, yaitu komitmen afektif, komitmen berkelanjutan atau abadi, dan
komitmen normatif (Herscovitch & Meyer, 2002). Komitmen afektif adalah
ketertarikan emosi individu, memihak, dan terlibat dalam organisasi secara
khusus (Laschinger et al., 2001). Komitmen afektif juga merupakan perasaan
suka atau tertarik pada organisasi (Meyer et al., 1993). Karyawan dengan
1.38 Hubungan Industrial ⚫
komitmen afektif yang kuat bekerja dalam organisasi karena “mereka ingin”.
Komitmen afektif dalam organisasi berhubungan positif dengan kinerja
tugas.
Komitmen yang abadi menggambarkan kesadaran karyawan terhadap
biaya yang berhubungan dengan meninggalkan organisasi (Laschinger et al.,
2001). Individu dengan komitmen abadi yang tinggi yakin akan manfaat
untuk menetap atau bertahan dalam organisasi daripada menerima
konsekuensi jika meninggalkan organisasi karena “mereka membutuhkan”.
Meskipun karyawan dengan komitmen abadi yang tinggi juga
memungkinkan meninggalkan organisasi, rendahnya perputaran terjadi atas
biaya perjanjian karyawan, kepuasan kerja, dan rasa percaya diri. Hackett et
al. (1994) menyatakan bahwa komitmen afektif dalam organisasi
berhubungan secara positif dengan kinerja, namun hubungan antara
komitmen abadi dalam organisasi dengan kinerja tidak signifikan. Hal ini
juga dinyatakan bahwa hubungan antara komitmen abadi dengan kinerja
tidak signifikan (Hackett et al., 1994).
Sementara itu, komitmen normatif menggambarkan perasaan kewajiban
individu untuk tetap berada dalam organisasi (Laschinger, 2001). Karyawan
mempunyai komitmen normatif tinggi karena mereka merasa bahwa mereka
harus melakukan hal tersebut (Meyer et al., 1993). Pengalaman yang positif
akan memberikan kontribusi terhadap komitmen, khususnya komitmen
afektif. Namun, pengalaman yang sama tersebut akan berpengaruh negatif
bila berhubungan dengan komitmen abadi. Baik komitmen afektif maupun
komitmen normatif berhubungan positif dengan kinerja maupun perilaku
kewargaan organisasional, sementara komitmen abadi tidak berhubungan
atau berhubungan negatif dengan kinerja dan perilku kewrgaan
organisasional (Meyer et al., 1993).
Selain itu, Aldag dan Reschke (1997) berpendapat bahwa komitmen
afektif juga merupakan komitmen yang disebabkan adanya emosi positif
mengenai organisasi, sedang komitmen abadi merupakan komitmen terhadap
organisasi karena persepsi yang tinggi terhadap biaya karena meninggalkan
organisasi. Komitmen normatif merupakan komitmen karena internalisasi
terhadap nilai dan sasaran organisasi yang berhubungan dengan perasaan
kewajibannya. Mereka juga mengungkapkan beberapa hal yang dipengaruhi
oleh ketiga dimensi komitmen tersebut. Komitmen afektif tergantung pada
tantangan pekerjaan, kejelasan peran, penerimaan manajemen, kepaduan
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.39
dengan rekan kerja, persepsi yang sama, terdapat umpan balik pada kinerja,
dan mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.
Komitmen abadi tergantung terutama pada keahlian, pendidikan,
investasi diri dalam organisasi, alternatif yang dipersepsikan, dan biaya
meninggalkan organisasi. Komitmen normatif dipengaruhi oleh pengalaman
bersosialisasi di tempat kerja dan oleh norma dalam organisasi yang
berhubungan dengan tanggung jawab. Dunham et al. (1994) mengatakan
bahwa komitmen afektif dan normatif berhubungan secara signifikan dengan
perilaku bertanggung jawab, sedangkan komitmen abadi sedikit atau tidak
berhubungan dengan perilaku bertanggung jawab.
Penelitian yang dilakukan oleh Meyer et al., 1993 menyatakan bahwa
komitmen baik pada organisasi maupun pada pekerjaan akan mempengaruhi
hasil yang relevan, seperti keinginan untuk keluar atau berpindah pekerjaan,
kewargaan, dan kinerja. Hal ini juga didukung oleh penelitian Clugston
(2000) yang menyatakan bahwa tanggung jawab memediasi hubungan antara
kepuasan kerja dengan salah satu hasil dari kegiatan organisasi yaitu
keinginan untuk pindah atau meninggalkan pekerjaan dan tempat kerjanya.
Hasil penelitian Meyer dan Schoorman (1992) yang menggunakan dua
komponen komitmen dari March dan Simon (1958) menyatakan bahwa
perputaran kerja secara signifikan lebih berkorelasi dengan komitmen abadi,
sementara kinerja, perilaku kewargaan organisasional, dan kepuasan kerja
secara signifikan lebih berkorelasi dengan komitmen nilai.
Sementara itu, Robert et al. (2000) juga menyatakan bahwa bukti
mengenai hubungan antara kinerja dengan konstruk seperti kepuasan kerja
dan komitmen memang masih lemah, kedua konstruk ini biasanya banyak
dihubungkan dengan keinginan untuk berpindah kerja atau keluar dari
pekerjaannya sekarang. Namun, penelitian Bozeman dan Perrewe (2001)
dengan tegas menyatakan bahwa komitmen tersebut akan berpengaruh pada
kinerja maupun perputaran kerja. Selain itu, Meyer dan Allen (1991) juga
mengusulkan model komitmen yang menghubungkan setiap komponen
komitmen dengan hasil kerja tertentu. Variabel hasil tersebut meliputi
perputaran kerja dan perilaku di tempat kerja seperti kinerja, ketidakhadiran,
dan perilaku kewargaan organisasional.
LA TIH AN
dengan baik pula. Hal yang sama juga terjadi bila karyawan merasakan
adanya hubungan yang baik dengan rekan kerja atau pimpinan atau
bawahan, berarti memiliki modal sosial kuat dan kepercayaan tinggi
akan mendorong eksistensi serikat pekerja.
RA NGK UMA N
5) Karyawan yang merasa puas akan dapat berkomunikasi dengan baik dan
dapat bekerja sama dalam perserikatan merupakan penjelasan hubungan
antara konsep hubungan industrial dengan ….
A. manajemen sumber daya manusia
B. strategi organisasi
C. perilaku organisasional
D. hubungan antarindividu
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.45
Daftar Pustaka
Adler, P.S. dan Kwon, S.W. (2002). Social Capital: Prospects for A New
Concept. Academy of Management Review, 27 (1): 17-40.
Allen, N.J. dan Meyer, J.P. (1990). The Mesurement and Antecedents of
Affective, Continuance, and Normative Commitment to the
Organization. Journal of Occupational Psychology, 62, 1-18.
Aryee, S.; Budhwar, P.S. dan Chen, Z.X. (2002). Trust as a Mediator of the
Relationship Between Organizational Justuice and Work Outcomes: Test
of A Social Exchange Model. Journal of Organizational Behavior, 23:
267-285.
Cardona, P.; Lawrence, B.S.; dan Bentler, P.M. (2003). The Influence of
Social and Work Exchange Relationships on Organizational Citizenship
Behavior. Barcelona: IESE Business School – University of Navarra.
Working Paper.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.49
Hackett, R.D.; Bycio, P.; dan Hausdorf, P.A. (1994). Further Assessment of
Meyer and Allen’s (1991) Three-Component Model of Organizational
Commitment. Journal of Applied Psychology, 79 (1), 15-23.
Inkpen, A.C. dan Tsang, E.W.K. (2005). Social Capital Networks and
Knowledge Transfer. Academy of Management Review, 30 (1): 146-165.
Katz, H.C.; Kochan, T.A.; dan Weber, M.R. (1985). Assessing the Effects of
Industrial Relations Systems and Effects of Industrial Relations Systems
and Efforts to Improve the Quality of Working Life on Organizational
Effectiveness. Academy of Management Journal, 28 (3): 509-526.
Konovsky, M.A. dan Pugh, S.D. (1994). Citizenship Behavior and Social
Exchange. Academy of Management Journal, 37 (3): 656-669.
Lawler dan Thyre. (1999). Briging Emotions into Social Exchange Theory.
Annual Review Social, 25: 217-244.
Leana, C.R. dan Van Buren, H.J. (1999). Organizational Social Capital and
Employment Practices. Academy of Management Review, 24(3), 538-
555.
Locke, E.A.; Shaw, K.N.; Saari, L.M.; dan Latham, G.P. (1981). Goal Setting
and Task Performance: 1969-1980. Psychological Bulletin, 90(1): 125-
152.
McFayden, M.A. dan Canella, A.A. (2004). Social Capital and Knowledge
Creation: Diminishing of Returns of the Number and Strength of
Exchange Relationships. Academy of Management Journal, 47 (5): 735-
746.
1.52 Hubungan Industrial ⚫
Moorman, R.H.; Blakely, G.L.; dan Niehoff, B.P. (1998). Does Perceived
Organizational Support Mediate the Relationship Between Procedural
Justice and Organizational Citizenship Behavior? Academy of
Management Journal, 41 (3): 351-357.
Morgeson, F.P. dan Hoffman, D.A. (1999). The Structure and Function of
Collective Constructs: Implications for Multilevel Research and Theory
Development. Academy of Management Review, 24: 249-265.
Robert, C.; Probst, T.M.; Martocchio, J.J.; Drasgow, F.; dan Lawler, J.J.
(2000). Empowerment and Continuous Improvement in the United
States, Mexico, Poland and India: Predicting Fit on the Basis of the
Dimensions of Power Distance and Individualism. Journal of Applied
Psychology, 85 (5): 643-658.
Seibert, S.E., Kraimer, M.I., dan Liden, R.C. (2001). A Social Capital Theory
of Career Success. Academy of Management Journal, 44 (2), 219-237.
⚫ EKMA4367/MODUL 1 1.53
Setoon, R.P.; Bennett, N.; dan Liden, R.C. (1996). Social Exchange in
Organization: Perceived Organizational Support, Leader-Member
Exchange, and Employee Reciprocity. Journal of Applied Psychology,
81 (3): 219-227.
Tsai, W. dan Ghoshal, S. (1998). Social Capital and Value Creation: the Role
of Intraform Networks. Academy of Management Journal, 41 (4): 464-
476.
Wasko, M.M. dan Faraj, S. (2005). Why Should I Share? Examining Social
Capital and Knowledge Contribution in Electonic Networks and
Practice. MIS Quarterly, 29 (1): 35-377.
Wayne, S.J., Shore, L.M, dan Liden, R.C. (1997). Perceived Organizational
Support and Leader-Member Exchange: A Social Exchange Perspective.
Academy of Management Journal, 40 (1): 82-111.
Whitener, E.M.; Brodt, S.E.; Korsgaard, M.A.; dan Werner, J.M. (1998).
Managers as Initiators of Trust: An Exchange Relationship Framework
for Understanding Managerial Trustworthy Behavior. Academy of
Management Journal, 23 (3): 513-530.
Whittaker, J.; Burns, M.; dan Van Beveren, J (2003). Understanding and
Measuring the Effect of Social Capital on Knowledge Transfer Whitin
Clusters of Small-Medium Entreprise. 16th Annual Conference of Social
Entrepreneur Association of Australia and New Zelland. Paper
Presentation.
Modul 2
Serikat Pekerja
Dr. Dorothea Wahyu Ariani, S.E., M.T.
P E N D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
3. Teori Produktivitas
Menurut teori ini, upah ditentukan oleh produktivitas karyawan.
Semakin tinggi produktivitas maka upah akan semakin tinggi pula.
4. Teori Perundingan/Tawar-menawar
Menurut Teori Perundingan atau tawar-menawar, pasar tenaga kerja
ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berlawanan dari karyawan dan
pengusaha. Oleh karena itu, harga tenaga kerja juga ditentukan oleh kekuatan
tawar-menawar antara pengusaha dan karyawan. Bila karyawan
meningkatkan kekuatan ekonominya dengan bertindak bersama-sama melalui
serikat pekerja, maka karyawan memiliki agen perundingan atau tawar-
menawar (bargaining agent) untuk dapat meningkatkan upah mereka.
Kekuatan ekonomi diukur dari kemampuan mengekang karyawan sehingga
memaksa pengusaha mencari pengganti karyawan yang baru.
EKMA4367/MODUL 2 2.9
Hubungan industrial telah berubah pada dekade terakhir ini yang secara
wajar akan berpengaruh pada karyawan di luar serikat pekerja. Sektor
pemanufakturan saat ini melemah, sedangkan sektor jasa atau layanan
tumbuh dengan cepat. Pelayanan berbeda dari perusahaan manufaktur karena
pekerjaan tidak dipisahkan menurut pekerjanya. Fungsi memberi saran,
perhatian, dan penyampaian harus dilakukan oleh individu. Pelayanan tidak
EKMA4367/MODUL 2 2.11
1. Keamanan Perserikatan
Ada beberapa tahap pengakuan pengusaha terhadap serikat pekerja
dalam sejarah, yaitu anti union shop, open shop, exclusive bargaining agent,
preferential shop, maintenance of membership, agency shop, union shop,
2.12 Hubungan Industrial
closed shop, dan check off. Pada tahap anti union shop, serikat pekerja tidak
diakui sama sekali. Perusahaan menolak memberikan pekerjaan kepada para
anggota serikat pekerja tersebut. Pada tahap open shop, pengusaha masih
belum mengakui adanya serikat pekerja, sehingga apabila berurusan dengan
pekerja, para pengusaha langsung menemui pekerja secara individual. Pada
tahap exclusive bargaining agent, serikat pekerja diakui sebagai satu-satunya
wakil pekerja. Serikat pekerja bertanggung jawab atas perundingan atau
kesepakatan mengenai kondisi semua karyawan, termasuk karyawan yang
tidak menjadi anggota serikat pekerja.
Selanjutnya, pada tahap preferential shop, pengusaha memberikan
prioritas bagi pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja. Pada tahap
maintenance of membership, semua karyawan yang menjadi anggota serikat
pekerja pada atau setelah tanggal tertentu harus menjadi anggota selama
jangka waktu persetujuan kerja. Pada tahap agency shop, semua karyawan
harus membayar iuran kepada serikat pekerja meskipun tidak menjadi
anggota serikat pekerja. Sementara itu, pada tahap union shop, semua
karyawan harus menjadi anggota serikat pekerja. Pengusaha dapat
mempekerjakan karyawan yang bukan anggota serikat pekerja tetapi telah
diterima sebagai karyawan harus menjadi anggota serikat pekerja. Pada tahap
closed shop, pengusaha hanya mau menerima dan mempekerjakan karyawan
yang telah menjadi anggota serikat pekerja. Pada tahap check off, pengusaha
memotong upah pekerja sejumlah tertentu untuk dimasukkan dalam kas
serikat pekerja sebagai iuran pekerja.
kerja tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Pemogokan kerja karyawan juga
dapat dilakukan dengan tidak meninggalkan tempat kerjanya, yaitu dengan
tetap bekerja namun memperlambat kecepatan kerjanya.
Pemagaran dilakukan oleh para wakil serikat buruh dengan memasang
plakat-plakat yang memberitahukan kepada umum bahwa di perusahaan
tersebut sedang terjadi perselisihan perburuhan. Tujuan pemagaran adalah
agar warga masyarakat umum memberi dukungan kepada serikat pekerja.
Selain itu, pemagaran juga dilakukan untuk menghalangi kegiatan
operasional perusahaan. Harapannya, dengan terhentinya kegiatan
operasional, maka pengusaha akan menuruti kehendak serikat pekerja.
Pemboikotan dilakukan dengan cara menghalangi pengusaha menjual
barang atau jasa hasil produksinya dengan menganjurkan dalam majalah atau
surat kabar untuk tidak membeli barang atau jasa perusahaan tersebut.
Pemboikotan dapat bersifat primer atau sekunder. Pemboikotan primer
ditujukan pada perusahaan yang tidak mau memenuhi tuntutan serikat
pekerja dengan tidak membeli barang atau jasa yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut. Pemboikotan sekunder adalah pemboikotan dengan
melibatkan pihak ketiga yang tidak secara langsung membeli barang atau jasa
perusahaan tersebut.
penetapan upah, program kerja sama seperti kualitas kehidupan kerja, gugus
kualitas, pembagian keuntungan, dan lain-lain.
Serikat pekerja atau serikat buruh dilindungi dengan Undang-undang
No. 20 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Dalam
rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja atau buruh membentuk
dan mengembangkan serikat pekerja atau serikat buruh yang bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab. Serikat pekerja atau serikat
buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan, melindungi dan membela
kepentingan dan kesejahteraan karyawan atau pekerja beserta keluarganya
serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
berkeadilan. Pengertian istilah diatur dalam Pasal 1 yaitu serikat pekerja atau
serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk karyawan
atau buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokrasi dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan karyawan
atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan karyawan atau pekerja dan
keluarganya. Serikat pekerja atau serikat buruh di perusahaan adalah serikat
pekerja atau buruh yang didirikan oleh para karyawan atau buruh di satu
perusahaan atau di beberapa perusahaan. Serikat pekerja atau serikat buruh
di luar perusahaan adalah serikat pekerja atau serikat buruh yang didirikan
oleh para karyawan atau buruh yang tidak bekerja di perusahaan. Federasi
serikat pekerja atau serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja atau
serikat buruh. Konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh adalah gabungan
federasi. Serikat pekerja atau serikat buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Tujuan serikat pekerja atau serikat buruh federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak
dan kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan yang layak untuk
karyawan atau pekerja dan keluarganya. Fungsi serikat pekerja atau serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh adalah
sebagai berikut.
1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaian perselisihan industrial.
2. Sebagai wakil karyawan atau pekerja dalam lembaga kerja sama di
bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatan.
2.18 Hubungan Industrial
L AT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
5) Berikut ini merupakan peran dan fungsi serikat pekerja, kecuali ....
A. menampung aspirasi pekerja
B. mewakili lembaga kerja sama bipartit dan tripartit
C. mewakili pengusaha dalam negosiasi
D. memperjuangkan hak dan kepentingan anggota
Kegiatan Belajar 2
Berbagai penelitian yang banyak dilakukan dalam serikat pekerja tidak hanya
digunakan untuk memahami pengaruh perubahan institusional pada serikat
pekerja.
Eaton (1990) mengidentifikasi dua faktor tentang partisipasi karyawan
yang relevan dengan partnership, yaitu (1) kemampuan serikat pekerja
mengendalikan proses partisipasi yang mencakup perluasan unionisasi
(anggota serikat pekerja) dan struktur tawar-menawar; serta (2) keinginan
serikat pekerja mengendalikan proses yang mencakup kebijakan serikat
pekerja, ancaman yang dipersepsikan, dan tersedianya alternatif.
Serikat pekerja membantu dalam melakukan kesepakatan kerja bersama
atau tawar-menawar. Karyawan harus didorong untuk terlibat dalam
kelompok, di mana serikat pekerja berperan di dalamnya. Serikat pekerja
harus mempertahankan integritas organisasional dan menjadi bagian dari
semua proses dan kesepakatan yang dilakukan. Selain itu, adanya kebutuhan
yang bertentangan dengan manajemen mengharuskan serikat pekerja
mempunyai hak veto dalam perubahan organisasi (Wells, 1993). Serikat
pekerja harus disusun dengan jelas dan sasaran bagi karyawan harus dapat
dipertanggung jawabkan. Serikat pekerja juga harus dikoordinir di dalam
perusahaan, sektoral, dan level internasional.
Serikat pekerja adalah organisasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk
pekerja dengan tujuan untuk membela pekerja dan memperjuangkan
kepentingan dan kesejahteraan para pekerja. Serikat pekerja harus bebas dari
pengaruh pengusaha dan pengaruh lain termasuk pemerintah. Membela nasib
pekerja dalam arti organisasi pekerja senantiasa mengikuti dan mengawasi
nasib pekerja di perusahaan yang bersangkutan. Apalagi kalau pekerja
diperlakukan secara tidak wajar, maka serikat pekerja perlu secara aktif
membelanya. Di samping itu, serikat pekerja berkewajiban membela pekerja
manakala pekerja menghadapi perselisihan.
Dalam pembelaan ini seharusnya serikat pekerja harus dapat bersikap
dan melihat persoalan secara jernih. Hal ini perlu benar-benar dipahami agar
serikat pekerja tidak terlalu kaku membela pekerja yang sudah jelas
melakukan kesalahan. Dalam arti memperjuangkan kepentingan dan
peningkatan kesejahteraan pekerja secara umum, maka serikat pekerja harus
mampu melakukan perundingan untuk merumuskan perjanjian kerja bersama
(PKB). Fungsi pokok serikat pekerja adalah melakukan perundingan
sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 1956 yang merupakan
2.28 Hubungan Industrial
Nama dan lambang serikat pekerja atau serikat buruh federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang akan diberitahukan tidak
boleh sama dengan nama dan lambang serikat pekerja atau serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah tercatat
terlebih dahulu. Instansi pemerintah wajib mencatat dan memberikan nomor
bukti pencatatan terhadap serikat pekerja atau serikat buruh yang memenuhi
ketentuan selambat-lambatnya 21 hari kerja terhitung tanggal diterima
pemberitahuan. Instansi pemerintah dapat menangguhkan pencatatan dan
pemberian nomor bukti pencatatan dalam hal serikat pekerja atau serikat
buruh belum memenuhi ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 5 (2), Pasal 6 (2),
Pasal 7 (2), Pasal 11, Pasal 18 (2) dan Pasal 19. Penangguhan dan alasan-
alasannya diberitahukan secara tertulis kepada serikat pekerja atau serikat
buruh yang bersangkutan selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak
tanggal diterima pemberitahuan (Pasal 20 ayat 3).
Sementara itu, dalam hal perubahan anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga, pengurus serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh memberitahukan kepada instansi
pemerintah paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran
dasar dan atau anggaran rumah tangga tersebut. Instansi pemerintah harus
mencatat serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh yang telah memenuhi ketentuan dalam buku
pencatatan memelihara dengan baik. Buku pencatatan harus dapat dilihat
setiap saat dan terbuka untuk umum. Pengurus serikat pekerja atau serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah
mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis
keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.
Hak dan kewajiban, serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang telah mempunyai nomor
bukti pencatatan berhak:
1. Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha.
2. Mewakili karyawan atau pekerja dalam menyelesaikan perselisihan
industrial.
2.32 Hubungan Industrial
pihak dan atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama. Dalam
kesepakatan kedua belah pihak dan atau perjanjian kerja bersama harus diatur
mengenai:
1. Jenis kegiatan yang diberi kesempatan.
2. Tata cara pemberian kesempatan.
3. Pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat
upah.
Dalam hal bantuan pihak lain, berasal dari luar negeri, pengurus serikat
pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau
serikat buruh harus memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bantuan itu digunakan untuk
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan anggota. Keuangan dan harta
kekayaan serikat pekerja atau serikat buruh., federasi dan konfederasi serikat
pekerja atau serikat buruh harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan
pribadi pengurus dan anggotanya. Pemindahan atau pengalihan keuangan
dan harta kekayaan kepada pihak lain serta investasi dana dan usaha lain
yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar dan atau anggaran
rumah tangga serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh yang bersangkutan.
Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan
keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh. Pengurus wajib membuat
pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala
kepada anggotanya menurut anggaran dasar dan atau anggaran rumah tangga
serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja
atau serikat buruh yang bersangkutan.
2.34 Hubungan Industrial
Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok diatur dalam anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja yang bersangkutan.
Sementara itu, setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota
organisasi pengusaha. Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap
perusahaan yang mempekerjakan lima puluh orang karyawan atau lebih
wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. Pada perusahaan dengan
jumlah karyawan kurang dari lima puluh orang, komunikasi dan konsultasi
masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada
perusahaan dengan jumlah karyawan lima puluh orang atau lebih,
komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan.
Lembaga kerja sama tripartit bertugas memberikan pertimbangan, saran,
dan pendapat kepada pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam
menyusun kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga
kerja sama tripartit terdiri dari lembaga kerja sama tripartit nasional, propinsi,
kabupaten atau kota, dan keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja dengan tata susunan organisasi
yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara itu, perusahaan yang memiliki sekurang-kurangnya sepuluh
orang karyawan wajib membuat peraturan perusahaan yang disusun dan
menjadi tanggung jawab pengusaha. Peraturan perusahaan tersebut disusun
dengan mempertimbangkan saran dan usulan dari wakil karyawan yang
dipilih secara demokratis atau pengurus serikat pekerja bila sudah ada.
Namun, kewajiban membuat peraturan tersebut tidak berlaku bagi
perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. Peraturan
perusahaan minimal memuat:
1. hak dan kewajiban pengusaha;
2. hak dan kewajiban karyawan;
3. syarat kerja;
4. tata tertib perusahaan; dan
5. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Di samping menerima iuran anggota dan hasil usaha yang sah, serikat
pekerja dapat menerima bantuan pihak lain yang tidak mengikat termasuk
dari luar negeri. Bantuan yang berasal dari luar negeri, harus diberitahukan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
EKMA4367/MODUL 2 2.37
1. UUD 1945
Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan
berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kemerdekaan atau
kebebasan berserikat yang diamanatkan oleh UUD 1945 dimaksudkan
untuk masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks karyawan,
kebebasan berserikat ini merupakan kebebasan dalam membentuk serikat
pekerja. Namun demikian, kebebasan tersebut tidak langsung
penerapannya melainkan harus diatur terlebih dahulu dengan undang-
undang.
2. Lampiran TAP MPR II/1998 (Hak Asasi Manusia)
Pasal 19 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Rumusan ini
merupakan arahan umum dari Pasal 28 UUD 1945.
3. UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai
Tenaga Kerja
Pasal 11 ayat (1) UU tersebut menyebutkan bahwa tiap tenaga kerja
berhak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja. Ayat
(2) pasal ini menyebutkan pembentukan perserikatan tenaga kerja
dilakukan secara demokratis. Pasal 11 ini mengakui hak berserikat bagi
karyawan tetapi pengaturannya masih sangat umum, baru menyangkut
prinsip dasar. Oleh karena itu, pasal ini belum dianggap sebagai
peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan yang diamanatkan
oleh Pasal 28 UUD 1945.
Pasal 12 UU ini menyatakan bahwa perserikatan tenaga kerja berhak
mengadakan perjanjian perburuhan dengan pemberi kerja. Hal ini
memberikan penekanan bahwa perjanjian kerja bersama merupakan
fungsi utama serikat pekerja di dalam melaksanakan perjuangan
meningkatkan dan mempertahankan kepentingan karyawan. Perjanjian
Kerja Bersama ini telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan. Dengan terbitnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, maka UU No. 14 Tahun 1969 dan UU No. 21 Tahun
1954 tersebut dicabut maka tentang hak berserikat dan pembuatan PKB
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tersebut.
4. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Hak Berserikat dan Berunding Bersama
merupakan ratifikasi konvensi ILO No. 98 Tahun 1949. Di samping itu,
2.44 Hubungan Industrial
hak berserikat juga ditegaskan dalam Keppres No. 83 Tahun 1998 yang
merupakan ratifikasi konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang
Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi. Kedua konvensi tersebut
pada dasarnya memberi kebebasan bagi karyawan dan pengusaha untuk
berorganisasi, dan tidak adanya campur tangan dari pihak mana pun atas
hak tersebut. Kebebasan dan hak berserikat ini justru mendapatkan
perlindungan..
5. UU No. 21 Tahun 2000
Setelah 55 tahun Indonesia merdeka, baru pada tahun 2000 memiliki
undang-undang tentang Serikat Pekerja, walaupun hal tersebut secara
jelas telah diamanatkan dalam UUD 1945. Hak karyawan untuk menjadi
anggota serikat pekerja juga merupakan salah satu sisi pelaksanaan hak
asasi manusia. Undang-undang tentang keserikatpekerjaan senantiasa
membawa kontroversi dalam masyarakat. Bahkan undang-undang
semacam ini selalu memiliki muatan politik yang cukup besar. Di
samping itu, materi yang termuat di dalamnya dapat bernuansa
perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, dalam proses pembuatannya
mulai dari penyusunan rancangan sampai dengan pembahasan di DPR
selalu terjadi berbagai protes dari kalangan karyawan atau kelompok
lain. Setelah disahkan oleh DPR pun masih memperoleh protes dari
beberapa kalangan masyarakat.
L AT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
Daftar Pustaka
Abdussalam, H.R. (2009). Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan).
Jakarta: Restu Agung.
Arthur, J.B. dan Dworkin, J.B. (1991). Current Topics in Industrial Labor
Relations Research and Practice. Journal of Management, 17(3):515-
551.
Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.
Heaney, C.A; Israel, B.A.; Schurman, S.I; Baker, E.A.; House, J.S.; dan
Hugentobler, M. (1993). Industrial Relations, Worksite Stres Reduction
2.52 Hubungan Industrial
Kozina, L.M. (2008). Social Labor Relations in Small and Medium Size
Business. Sociological Research, 47 (6): 76-90.
Wells, D. (1993). Are Strong Unions Compatible with The New Model of
HRM? Relations Industrielles/Industrial Relations, 48 (1): 56-85.
Modul 3
PE NDAHUL UA N
Kegiatan Belajar 1
biaya manajemen dan tenaga kerja. Isu perjanjian atau kesepakatan yang
bersifat pemberian larangan secara hukum tidak sah, seperti permintaan
bahwa karyawan menggunakan hanya barang-barang yang diproduksi
bersama. Perbedaan lain antara mandatory issues dan permissive issues
adalah tidak adanya bagian yang bisa menemui jalan buntu atau menolak
menyetujui kontrak melebihi permissive issues. Gambar 1 berikut
menjelaskan perbedaan antara mandatory dan permissive issues.
Ciri Keputusan
Gambar 3.1.
Penentuan Status Mandatory dan Permissive Bargaining
ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dalam masa percobaan
kerja tersebut di atas, pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah
minimum yang berlaku.
Selanjutnya, perjanjian kerja berakhir apabila: (a) karyawan meninggal
dunia; (b) berakhirnya jangka waktu perjanjian; (c) adanya putusan
pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap; dan (d) adanya keadaan atau kejadian tertentu dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Keadaan atau kejadian
tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau
beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau
hibah.
Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak karyawan
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak karyawan. Dalam hal
pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/ karyawan.
Dalam hal karyawan meninggal dunia, ahli waris pekerja/ karyawan berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Yang dimaksud hak-hak yang
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan
menguntungkan karyawan yang bersangkutan.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu
tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak lainnya membayar
sebesar upah karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara
lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi karyawan
yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut di atas, sekurang-kurangnya
memuat keterangan: (a) nama dan alamat pekerja atau karyawan; (b) tanggal
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.17
mulai bekerja; (c) jenis pekerjaan dan (d) besarnya upah. Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa karyawan
yang dibuat secara tertulis. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan
kepada perusahaan lain tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.
1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
wakil serikat pekerja. Lembaga kerja sama tripartit tingkat nasional diketuai
oleh menteri yang membidangi ketenagakerjaan dan tiga orang wakil ketua,
satu orang dari setiap unsur. Lembaga kerja sama tripartit di tingkat propinsi
diangkat untuk masa jabatan tiga tahun, yang terdiri dari delapan orang dari
unsur pemerintah, empat orang mewakili pengusaha, dan empat orang
mewakili karyawan. Ketua lembaga kerja sama tripartit adalah gubernur yang
dibantu oleh tiga orang wakil ketua, satu orang dari setiap unsur. Lembaga ini
bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai kebijakan dan
pemecahan masalah ketenagakerjaan di propinsi tersebut.
Selanjutnya, lembaga kerja sama tripartit di tingkat kabupaten/kota
diangkat oleh bupati/walikota untuk masa jabatan tiga tahun, yang terdiri dari
empat orang unsur pemerintah, dua orang unsur pengusaha, dan dua orang
unsur karyawan. Ketua lembaga kerja sama tripartit pada level ini adalah
bupati/walikota, dibantu oleh tiga orang wakil ketua, dan satu orang dari
setiap unsur. Lembaga ini bertugas memberikan saran dan pertimbangan
mengenai kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan kabupaten/
kota tersebut. Ketua lembaga kerja sama tripartit baik di tingkat nasional,
propinsi, maupun kabupaten/kota dapat membentuk beberapa lembaga kerja
sama sektoral yang bertugas memberikan saran kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan di sektor yang bersangkutan, baik nasional,
propinsi, maupun kabupaten/kota.
1. Pemerintah
Dalam negara kolektif, perjanjian kerja bersama jarang ditemui. Dalam
sistem perekonomian terpusat ada ketakutan bahwa jika kesepakatan kerja
bersama hilang, akan ada distorsi dalam upah dan biaya karyawan. Oleh
karena itu, ada kecenderungan pemerintah mengatur peningkatan upah. Upah
merupakan pengendalian jangka pendek, sedangkan pengendalian jangka
panjang adalah mendapatkan penghasilan dan harga. Dalam sistem
pemerintahan demokrasi, perjanjian kerja bersama merupakan kebijakan
publik yang bertujuan mempromosikan hubungan harmonisasi dan kerja
sama, serta mendukung pertumbuhan.
2. Pengusaha
Pandangan manajer dan karyawan atau pengusaha dan serikat pekerja
berbeda dan bertentangan dalam situasi perjanjian kerja bersama. Jika
manajemen dan karyawan merealisasikan nilai kerja sama dan kolaborasi,
mereka suka menjadi konsultan yang lebih besar. Peningkatan upah dapat
dilakukan apabila ada perbaikan produktivitas dan profitabilitas perubahan/
organisasi. Menurut karyawan, upah harus selalu meningkat, padahal
peningkatan upah akan menyebabkan inflasi.
LA TIH AN
RA NGK UMA N
Kegiatan Belajar 2
Negosiasi Perjanjian
A. NEGOSIASI DI TEMPAT KERJA
Negosiasi adalah proses yang terdiri dari minimal dua pihak dengan
kebutuhan dan pandangan yang berbeda yang mencoba mencapai
kesepakatan untuk mendapatkan keinginan bersama (Lee, 2005). Negosiasi di
tempat kerja dipandang sebagai kelompok penyelesaian masalah atau
sebagai pemrosesan konsensus (Fells, 1998), meskipun di dalamnya terdapat
dimensi persaingan. Negosiasi merupakan interaksi yang dilakukan dengan
sengaja dari dua atau lebih unit-unit sosial yang mencoba mendefinisikan
adanya saling ketergantungan atau interdependensi. Negosiasi merupakan
proses yang digunakan untuk menyelesaikan konflik antarberbagai pihak
dalam satu penyelesaian. Proses negosiasi dipandang sebagai bagian dari
pertukaran antar personal secara umum, sehingga dapat didukung dengan
program pelatihan yang baik yang dapat mendorong komunikasi
interpersonal (Watson et al, 1996). Negosiasi juga merupakan keahlian yang
dapat dipelajari dan merupakan bagian yang dapat disiapkan dengan baik
untuk mencapai tujuan.
Ada beberapa hal yang harus dipertahankan dalam negosiasi, yaitu
masalah bias gender, bila wanita menjadi bagian dalam negosiasi, dan adanya
hambatan bahasa. Negosiasi digunakan untuk mengidentifikasi elemen-
elemen situasi tawar-menawar atau kesepakatan yang mendorong
penyelesaian konflik (Neale & Bazerman, 1985). Secara rutin, negosiasi
berfokus pada perbedaan negosiator, proses yang menekankan pihak ketiga,
atau berbagai model normatif yang memprediksi perilaku negosiator. Akhir-
akhir ini, pendekatan saling mendapatkan dikembangkan untuk
meningkatkan kerja sama dalam negosiasi manajemen dan serikat pekerja
(Cutcher-Gershenfeld et al., 1996).
Menurut Kelleher (2003), ada empat pendekatan dalam negosiasi, yaitu
pembangunan yang tidak terkondisikan, menang-menang atau tanpa ada
kesepakatan, mediator oleh pihak ketiga, dan pendekatan sederhana untuk
bernegosiasi. Pendekatan pembangunan yang tidak terkondisikan dilakukan
bila tindakan organisasi merekonsiliasi perbedaan dengan mengabaikan
3.34 Hubungan Industrial ⚫
menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi menemukan
tahapan untuk mencari solusi. Mediator tidak memiliki kekuasaan dan tidak
menentukan kesepakatan. Keberhasilan mediasi merupakan kunci
keberhasilan negosiasi.
Mediasi melibatkan pihak ketiga untuk membantu kesepakatan antara
pihak-pihak yang konflik. Mediasi merupakan teknik yang disusun untuk
menyelesaikan konflik dalam pengelolaan karyawan dan bidang-bidang yang
bersifat internasional, serta merupakan pendekatan yang populer dalam
menyelesaikan konflik interpersonal seperti mediasi dalam masyarakat. Ada
dua cara menilai keberhasilan mediasi, yaitu keberhasilan jangka pendek dan
keberhasilan jangka panjang. Keberhasilan jangka pendek dilihat dengan
memperhatikan hasil yang segera dapat diobservasi pada waktu mediasi,
misalnya kesepakatan, kualitas kesepakatan, dan perasaan puas setelah
kesepakatan dilakukan dengan mediasi. Sementara itu, keberhasilan jangka
panjang dilihat dengan memperhatikan penerapan hasil yang dapat
diobservasi setelah interval waktu tertentu, misalnya, apakah para pihak yang
berkonflik tunduk atau mematuhi kesepakatan; atau apakah ada perbaikan
hubungan dan tidak timbulnya permasalahan lebih lanjut setelah dilakukan
mediasi. Keberhasilan jangka pendek didukung atau diciptakan dengan
motivasi untuk mencapai kesepakatan dan komitmen terhadap mediasi.
Tujuan mediasi adalah mencapai kesepakatan, mencapai win-win solution,
dan semua pihak merasa puas terhadap mediasi tersebut.
Menurut Zubek et al. (1992), ada tiga cara mediator dapat
mengintervensi secara efektif untuk memfasilitasi penyelesaian konflik,
yaitu:
1. Menyusun laporan dengan pihak yang berselisih. Beberapa metode
penyusunan laporan, yaitu:
a. Memproyeksikan citra mengenai keahlian yang mendorong persepsi
kredibilitas dan legitimasi mediator.
b. Menyediakan jaminan mengenai bahaya suatu cara kerja.
c. Menunjukkan empati terhadap para pihak melalui ekspresi verbal
dan nonverbal mengenai perhatian pada kesejahteraan, pemahaman
situasi, dan penentuan reaksi emosional.
2. Mengarahkan isu-isu dan mendorong para pihak yang sedang berselisih/
berkonflik untuk berpikir tentang isu tersebut. Mediator dapat membantu
mengidentifikasi dan membantu menentukan isu tersebut sebagai
⚫ EKMA4367/MODUL 3 3.41
LA TIH AN
1) Negosiasi adalah proses yang terdiri dari minimal dua pihak dengan
kebutuhan dan pandangan yang berbeda yang mencoba mencapai
kesepakatan untuk mendapatkan keinginan bersama. Negosiasi di tempat
kerja dipandang sebagai kelompok penyelesai masalah atau sebagai
3.44 Hubungan Industrial ⚫
RA NGK UMA N
Daftar Pustaka
Abdussalam, H.R. (2009). Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan).
Jakarta: Restu Agung.
Beaumont, P.B. dan Harris, R.I. (1996). Good Industrial Relations, Joint
Problem Solving and Human Resource Management. Relations
Industrielle, 51 (2): 391-4030.
Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.
Ichinowski, C.; Kochan, T.A.; Levine, D.; Olson, C.; dan Straus, G. (1996).
What Works at Work: Overview & Assessment. Industrial Relations, 25
(3): 356-374.
Kozina, L.M. (2008). Social Labor Relations in Small and Medium Size
Business. Sociological Research, 47 (6): 76-90.
Mao, H.; Chen, C.; dan Hsieh, T. (2009). The Relationship Between
Bureaucracy and Workplace Friendship. Social Behavior and
Personality, 37 (2): 255-266.
McKersie, R.B.; Sharpe, T.; Kochan, T.A.; Eaton, A.E.; Strauss, G.; dan
Morgenstern, M. (2008). Bargaining Theory Meets Interest-Based
Negotiations: A Case Study. Industrial Relations, 47 (1): 66-96.
Neale, M.A. dan Bazerman, M.H. (1985). The Effects of Framing and
Overconfidence on Bargaining, Behavior, and Outcome.
Perry, J.L. dan Angel, H.L. (1986). The Politics of Organizational Boundary
Roles in Collective Bargaining. Academy of Management Review, 4 (4):
487-498.
Zubek, J.M.; Pruitt, D.G.; dan Peites, R.S. (1992). Disputant and Mediator
Behaviors Affecting Short-Term Success in Mediation. The Journal of
Conflict Resolution, 36 (3): 546-572.
Modul 4
PEN D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
1. Penentuan Upah
Penentuan upah pokok dapat ditentukan menurut satuan waktu atau
menurut satuan produk yang dihasilkan. Upah menurut satuan waktu bisa
dalam jam, hari, minggu, atau bulan. Upah yang dihitung dengan satuan jam
biasanya untuk pekerjaan yang tidak memakan waktu lama atau bersifat
temporer atau paruh waktu, seperti konsultan. Upah per hari biasanya
diberlakukan untuk pekerjaan yang bersifat temporer atau yang dilakukan
untuk pekerja yang tidak tetap, seperti pekerja bangunan, pekerja panen, dan
perkebunan. Upah per minggu juga diberikan pada pekerjaan yang sifatnya
temporer tetapi perlu dilakukan oleh pekerja yang sama secara terus-menerus
dalam beberapa minggu. Selanjutnya, upah per bulan biasanya diberlakukan
untuk pekerjaan yang sifatnya tetap, mempunyai ikatan waktu lama atau
tetap, sehingga disebut juga sebagai pegawai atau pekerja tetap. Sementara
itu, upah menurut satuan produk adalah imbalan yang diberikan kepada
pekerja setiap jumlah tertentu produk yang dihasilkan. Selain upah, pada
umumnya perusahaan juga memberikan tunjangan, seperti tunjangan istri,
anak, keahlian, dan lain-lain.
Penetapan upah setiap satu atau dua tahun sekali di setiap kabupaten/
kota disebut dengan upah minimum. Upah minimum ini ditetapkan untuk:
a. Menghindari/mengurangi persaingan yang tidak sehat antarpekerja
terutama pada kondisi pasar kerja surplus;
b. Mengurangi/menghindari kemungkinan eksploitasi pekerja oleh
pengusaha yang memanfaatkan kondisi pasar kerja untuk akumulasi
keuntungannya;
c. Menjaga tingkat upah karena adanya satu dan lain hal, upah akan turun
lagi;
d. Mengurangi tingkat kemiskinan absolut pekerja;
e. Mendorong peningkatan produktivitas melalui perbaikan gizi dan
kesehatan pekerja dan melalui upaya manajemen memperoleh
kompensasi atas peningkatan upah minimum;
f. Meningkatkan daya beli masyarakat sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara umum;
g. Menciptakan hubungan industrial yang aman dan harmonis.
kondisi pasar yang baik, upah secara otomatis akan meningkat melalui
perubahan komponen profit sharing (Azfar & Danninger, 2001). Mekanisme
ini mengurangi kemungkinan keinginan pengunduran diri karyawan. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa pembagian keuntungan akan mengurangi
perputaran kerja dan membuat upah lebih fleksibel.
Pembagian keuntungan juga dapat meningkatkan stabilitas karyawan
dan pekerjaan, serta meningkatkan produktivitas karyawan, sehingga dapat
mengurangi perputaran kerja karyawan (Azfar & Danninger, 2001). Dengan
mengurangi perputaran kerja, masa kerja yang diharapkan dapat meningkat
dan meningkatkan periode amortisasi investasi modal insani. Secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa pembagian keuntungan dapat
meningkatkan stabilitas pekerjaan, sehingga hasil yang diharapkan pada
investasi modal insani meningkat, produktivitas lebih tinggi, dan
pertumbuhan upah lebih cepat.
Selanjutnya, pemberian penghargaan untuk setiap unit yang dihasilkan
(piece rate) berhubungan negatif dengan output masa lalu. Hal ini disebabkan
kinerja masa lalu merupakan indikator kesulitan tugas tertentu. Jika karyawan
bekerja dengan baik sejak awal, karyawan yakin bahwa tugasnya relatif
mudah maka standar kinerja dapat dinaikkan. Menurut Parent (1999),
pemberian penghargaan untuk setiap unit yang dihasilkan menunjukkan:
a. Semakin produktif karyawan, maka mereka akan memilih pekerjaan
yang menghasilkan unit output. Ada hubungan positif antara pemberian
penghargaan per unit dan upah yang dihubungkan dengan seleksi diri
untuk sebagian karyawan.
b. Pemberian penghargaan per unit memberikan kompensasi karyawan
secara langsung terhadap output, variasi upah harus lebih besar bagi
pekerjaan dengan hasil per unit daripada pekerjaan dengan upah setiap
jenis pekerjaan.
c. Pengaruh pemberian penghargaan per unit harus dapat memperkuat
hubungan antarkaryawan.
i. Dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau
rendah.
j. Dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah,
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut
atau terpelanting
k. Dilakukan pekerjaan di dalam tangki, sumur atau lobang.
l. Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap,
gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
m. Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau lembah.
n. Dilakukan pemancaran, penyiaran, atau penerimaan radio, radar, televisi
atau telepon.
o. Dilakukan pendidikan, pembinaan percobaan, penyelidikan atau riset
yang menggunakan alat teknis.
p. Dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minyak atau air.
q. Diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi
lainnya yang memakai peralatan listrik atau mekanik.
produksi teknis atau aparat produksi dari luar Indonesia yang mengandung
dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan harus minta izin terlebih dahulu
kepada kepala pengawasan keselamatan kerja.
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan dambaan
setiap pekerja. Oleh karena itu, hubungan kerja yang awam akan selalu
diusahakan untuk dapat dipertahankan keberadaannya, baik oleh pihak
pengusaha maupun oleh pekerja. Keselamatan kerja yang baik adalah pintu
gerbang terhadap keamanan tenaga kerja. Kecelakaan selain menjadi sebab
hambatan langsung, juga merupakan kerugian secara tidak langsung yakni
kerusakan mesin dan peralatan kerja, terhentinya proses produksi untuk
beberapa saat, kerusakan pada lingkungan kerja, dan lain-lain.
Dalam memasuki pembangunan era tinggal landas, pemerintah telah
bertekad untuk meningkatkan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja
yang merupakan bagian dari pengembangan sumber daya manusia dan
pembangunan nasional secara keseluruhan. Kegigihan pemerintah, dalam hal
ini Departemen Tenaga Kerja, mulai terbukti dengan gencarnya Program
Kampanye Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( Program K3 ) di perusahaan-
perusahaan antara lain dengan makin banyak dibentuk Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( P2K3 ) di perusahaan. Pembentukan
tersebut meningkat dengan cepat, hingga kini telah terbentuk 9.552 buah
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja di 11.630 perusahaan
yang mempekerjakan 100 orang pekerja atau lebih diwajibkan membentuk
P2K3. Kampanye yang dilakukan perusahaan antara lain dengan pembuatan
peraturan-peraturan, pembuatan poster-poster, gambar-gambar, fitur-fitur,
dan sebagainya.
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003,
setiap buruh berhak memperoleh perlindungan atas (1) keselamatan dan
kesehatan kerja; (2) moral dan kesusilaan; dan (3) perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Setiap
perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
g. Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan
titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-
baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta.
h. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam undang-
undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham yang
dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial. Dalam undang-
undang ini diatur penyelenggaraan sistem Jaminan Sosial Nasional yang
meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun,
jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui
iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut
diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam undang-undang ini adalah
transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang sekarang
telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru
sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.
2. Jaminan Kematian
Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,
keluarganya berhak atas jaminan kematian. Jaminan kematian tersebut
meliputi biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Urutan penerimaan
yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan jaminan
kematian tersebut ialah janda atau duda, anak, orang tua, cucu, dan kakek
atau nenek, saudara kandung, mertua.
tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial
tenaga kerja maka pengusaha wajib memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai
dengan ketentuan.
Apabila pengusaha dalam menyampaikan data terbukti tidak benar,
sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga
kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan tersebut.
Apabila pengusaha dalam menyampaikan data tersebut terbukti tidak benar,
sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka pengusaha
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan Penyelenggara.
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
Kegiatan Belajar 2
Tabel 4.1.
UMP Tahun 2010 di 33 Provinsi di Indonesia Terhadap UMP Tahun 2009
serta Persentase Kenaikan
Selain isu mengenai upah dan jaminan sosial isu mengenai outsourcing
juga menguat. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, outsourcing tidak boleh
digunakan untuk tenaga produksi utama, namun hanya tenaga tambahan atau
penunjang seperti keamanan, cleaning service, driver, dan catering. Namun
demikian, di beberapa perusahaan, tenaga outsourcing digunakan untuk
melaksanakan kegiatan atau proses produksi atau operasional yang utama.
Selain itu, upah tenaga outsourcing lebih kecil dari upah minimum dan ada
kalanya dipotong oleh lembaga penyalur tenaga kerja. Pada umumnya
mereka juga tidak mendapatkan uang pensiun dan asuransi kesehatan.
1. Pengupahan
Upah merupakan hak karyawan yang seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan mereka dan keluarganya. Sistem pengupahan perlu dikembangkan
dengan memperhatikan keseimbangan antara prestasi atau produktivitas
kerja, kebutuhan pekerja, dan kemampuan perusahaan. Di samping itu, perlu
dikembangkan struktur upah yang tidak rumit dan komponen upah harus jelas
dan sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme penetapan upah dan kenaikan upah
sebaiknya diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
2. Pemogokan
Mengingat bahwa peristiwa pemogokan menunjukkan akibat yang
merugikan banyak pihak dan lebih luas, maka kejadian tersebut harus
diusahakan secara maksimal dapat dikurangi atau bahkan dihindari. Upaya
mencegah atau menghindari adalah dengan cara-cara pembinaan dan edukasi
secara dini. Upaya melakukan pencegahan tersebut dapat dilakukan oleh
pengusaha dengan cara: (a) mengusahakan adanya keterbukaan dan
kesediaan menerima kehadiran serikat pekerja; (b) sikap tanggap terhadap
masalah pengupahan dan kesejahteraan dalam arti umum; (c) memperhatikan
4.36 Hubungan Industrial ⚫
4. Pengawasan Ketenagakerjaan
Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan merupakan sarana
perlindungan bagi karyawan yang juga mengatur mengenai hak dan
kewajiban bagi para pelaku proses produksi. Ketentuan yang diatur dapat
diterapkan dengan baik apabila karyawan mempunyai cukup pemahaman dan
kesadaran. Namun demikian, dalam prakteknya masih diperlukan
pengawasan yang dilakukan oleh pegawai pengawas dari instansi pemerintah
yang membidangi ketenagakerjaan.
Agar ketentuan yang berlaku dapat diterapkan dengan baik, pengawasan
perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak, khususnya dari karyawan
dan serikat pekerja dengan cara memberikan informasi tentang pelanggaran
yang terjadi di perusahaan. Pemberian informasi ini perlu dilakukan apabila
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.37
dengan upaya internal oleh karyawan atau serikat pekerja agar peraturan
perundang-undangan tersebut dilaksanakan ternyata tidak membuahkan hasil.
Cara ini perlu dikembangkan mengingat keterbatasan jumlah pegawai
pengawas, sehingga mereka tidak dapat mencakup seluruh perusahaan.
5. Kesejahteraan Karyawan
Kesejahteraan karyawan perlu senantiasa diperhatikan dan bila mungkin
ditingkatkan, karena hal ini memberikan pengaruh langsung terhadap
ketenangan bekerja yang pada gilirannya juga akan memberikan kontribusi
terhadap peningkatan produktivitas kerja. Upaya peningkatan kesejahteraan
ini bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pengusaha dan serikat
pekerja, tetapi karyawan sendiri juga dapat mengusahakan, misalnya melalui
pembentukan koperasi.
b. Kondisi pasar
Kondisi pasar kerja sangat mempengaruhi harga karyawan tersebut.
Apabila tingkat permintaan akan tenaga kerja rendah padahal penawaran
tenaga kerja tinggi, maka akan terjadi pengangguran. Dalam kondisi tersebut
posisi tawar-menawar pekerja rendah, sehingga tingkat upah juga rendah.
Sebaliknya, apabila permintaan tenaga kerja tinggi dan penawarannya rendah
maka posisi tawar-menawar tenaga kerja tinggi dan tingkat upah juga
meningkat.
4.38 Hubungan Industrial ⚫
c. Biaya hidup
Biaya hidup suatu daerah akan menentukan besarnya tingkat upah yang
berlaku di daerah tersebut. Hal ini terjadi untuk tetap mempertahankan
kesejahteraan karyawan/pekerja tersebut.
d. Kemampuan perusahaan
Kemampuan perusahaan dalam menentukan tingkat upah merupakan
penentu utama besarnya upah yang diterima karyawan. Bila perusahaan tidak
mampu membayar, maka perusahaan dapat disebut tidak efisien, gulung
tikar, dan harus ditutup
f. Produktivitas kerja
Kaitan antara produktivitas kerja dan pengupahan memang perlu
dipahami oleh semua pihak. Kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan
sangat tergantung dari tingkat produktivitas kerja. Pimpinan perusahaan juga
harus memahami bahwa
g. Kebijakan pemerintah
Dalam beberapa hal, pemerintah sering kali melakukan intervensi
terhadap pengupahan dan tidak hanya menyerahkannya pada mekanisme
pasar. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar upah minimum karyawan
tidak menurun dan untuk menjamin tersedianya kesempatan kerja.
LAT IH A N
1) Gaji adalah pembayaran yang dibayar secara tetap dan berkala setiap
bulan atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh karyawan menurut
jenjang jabatan dan faktor lainnya. Upah adalah pembayaran yang
dibayarkan berdasarkan hari kerja, jam kerja, atau jumlah satuan produk
atas pekerjaan yang dihasilkan oleh karyawan. Untuk lebih jelasnya
dapat Anda pada bagian awal Kegiatan Belajar 2.
⚫ EKMA4367/MODUL 4 4.41
TES F OR M AT IF 2
1) Masih banyak karyawan yang diberi upah atau gaji di bawah upah
minimum merupakan bentuk pelanggaran ....
A. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 1999
B. UU No. 13 Tahun 2003
C. Peraturan Menteri BUMN Tahun 2000
D. tidak ada jawaban yang benar
10) Salah satu materi dalam perjanjian kerja bersama adalah ....
A. pengupahan dan berbagai pemberian jaminan bagi karyawan
B. peraturan perusahaan yang menyangkut tata tertib kerja
C. pemutusan hubungan kerja
D. semua jawaban benar
Daftar Pustaka
Allen, T.D.; Barnard, S.; Rush, M.C.; dan Russell, J.E.A. (2000). Ratings of
Organizational Citizenship Behavior: Does the Source Make A
Difference? Human Resource Management Review, 10(1):97-114.
Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.
Jones, G.R. (2007). Organizational Theory, Design, and Change, 5th edition.
Singapore: Pearson Prentice Hall.
Khalid, S.A. dan Ali, H. (2005). Self and Superior Ratings of Organizational
Citizenship Behavior: Are There Differences in the Source of Ratings?
Problems and Perspectives in Management, 4:147-153.
Korsgaard, M.A.; Meglino, B.M.; dan Lester, S.W. (2004). The Effect of
Other Orientation on Self-Supervisor Rating Agreement. Journal of
Organizational Behavior, 25:873-891.
Lam, S.S.K.; Hui, C.; dan Law, K.S. (1999). Organizational Citizenship
Behavior: Comparing Perspectives of Supervisors and Subordinates
Across Four International Samples. Journal Of Applied Psychology, 84
(4):594-601.
LePine, J.A.; Erez, A.; dan Johnson, D.E. (2002). The Nature and
Dimensionality of Organizational Citizenship Behavior: A Critical
Review and Meta-Analysis. Journal of Applied Psychology,87(1):52-65.
LePine, J.A. dan Van Dyne, L. (2001). Voice and Cooperative Behavior as
Contrasting Forms of Contextual Performance: Evidence of Differential
Relationships With Big Five Personality Characteristics and Cognitive
Ability. Journal of Applied Psychology, 86(2):326-336.
Milliman, J.F.; Nason, S.; Lowe, K.; Kim, N; dan Huo, P. (1995). An
Empirical Study of Performance Appraisal Practices In Japan, Korea,
Taiwan, and The U.S. Academy of Management Journal.
Motowidlo, S.J. dan Van Scooter, J.R. (1994). Evidence that Task
Performance Should be Distinguished from Contextual Performance.
Journal of Applied Psychology, 79(4):475-480.
Pergamit, M.R. dan Veum, J.R. (1999). What is Promotion? Industrial and
Labor Relations Review, 52(4):581-601.
Snell, S.A. dan Youndt, M.A. (1995). Human Resource Management and
Firm Performance: Testing a Contingency Model of Executive Controls.
Journal of Management, 21(4): 711-737.
Taylor, M.S.; Masterson, S.S.; Renard, M.K.; dan Tracy, K.B. (1998).
Manager’s Reactions To Procedurally Just Performance Management
Systems. Academy of Management Journal, 41(5):568-579.
Tziner, A.; Latham, G.P.; Price, B.S,; dan Haccoun, R. (1996). Development
and Validation of A Questionnaire for Measuring Perceived Political
Considerations in Performance Appraisal. Journal of Organizational
Behavior, 17:179-190.
Van der Heidjen, B.I.J.M. dan Nijhof, A.H.J. (2004). The Value of
Subjectivity: Problems and Prospects for 360-degree Appraisal Systems.
International Journal of Human Resource Management, 15 (3) May:
493-511.
Van Dyne, L. dan LePine, J.A. (1998). Helping and Voice Extra-Role
Behaviors: Evidence of Construct and Predictive Validity. Academy of
Management Journal, 41(1):108-119.
Zellarrs, K.L.; Tepper, B.J.; dan Duffy, M.K. (2002). Abusive Supervision
and Subordinates Organizational Citizenship Behavior. Journal of
Applied Psychology, 87(6):1068-1076.
PE NDAHUL UA N
Kegiatan Belajar 1
secara permanen, meliputi perputaran kerja dan transfer karyawan; (3) suara,
yang meliputi pemogokan, mengeluh, menyuarakan kebenaran, dan tindakan
penyelesaian masalah; dan (4) diam, yaitu tidak melakukan apapun untuk
mengekspresikan konflik dan harapan untuk menjadi lebih baik. Konflik juga
berhubungan dengan kepuasan kerja. Peningkatan konflik disebabkan oleh
adanya kesenjangan antara harapan karyawan dan pencapaiannya. Orang
yang tidak puas biasanya akan keluar atau memutuskan hubungan, atau
bersuara (protes, demonstrasi) yang mencoba mengubah hubungan (Robbins
& Judge, 2011).
Konflik juga dapat diawali dengan adanya ancaman, baik ancaman
terhadap individu maupun terhadap sekelompok individu (Rousseau &
Garcia-Retamero, 2007). Ancaman individual meliputi keamanan fisik,
kesehatan dan pendapatan personal, serta nilai dan keyakinan personal.
Ancaman kolektif meliputi ancaman militer, ekonomi, dan budaya. Teori
Identitas Sosial dan Teori Kategorisasi Diri menjelaskan penyusunan
identitas dan persepsi terhadap ancaman. Kedua teori tersebut dikembangkan
untuk menjelaskan sikap yang merugikan dan perilaku yang
mendiskriminasikan anggota di luar kelompok. Teori Identitas Sosial
memulai dengan asumsi bahwa individu secara otomatis menyortir dirinya ke
dalam beberapa kategori. Hal ini merupakan proses kognitif alami yang
terjadi di alam berbagai kondisi sosial. Teori Kategorisasi Diri menekankan
aspek kognitif konstruksi identitas daripada aspek motivasi.
Assertiveness
Tinggi Bersaing Berkolaborasi
(competing) (collaborating)
Berkompromi
(compromising)
Rendah Menghindari Penyesuaian diri
(avoiding) (accomodating)
Rendah Tinggi
Cooperativeness
Sumber: Cashier & Ruble, 1985
Gambar 5.1.
Model Konflik
Teori yang mendasari konflik adalah Teori Perhatian Dua Hal yang pada
awalnya digunakan oleh Blake dan Mouton dan menjadi teori kerja sama dan
persaingan orang Belanda. Manajemen konflik merupakan fungsi dari
perhatian yang rendah atau tinggi terhadap diri sendiri dan perhatian yang
rendah atau tinggi terhadap orang lain. Kombinasi keduanya tersebut
menghasilkan berbagai jenis konflik. Kombinasi perhatian tinggi pada diri
sendiri dan rendah pada orang lain disebut dengan FORCING, yaitu
mengesankan keinginan seseorang pada orang lain, berupa gertakan,
ancaman, argumen persuasif dan komitmen posisional. Kombinasi perhatian
rendah pada diri sendiri dan tinggi pada orang lain disebut dengan
YIELDING, yaitu penerimaan dan penggabungan keinginan orang lain,
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.15
Rendah Tinggi
Perhatian pada Diri Sendiri
Sumber: De Drew et al., 2001
Gambar 5.2.
Kombinasi Perhatian Yang Menyebabkan Konflik
Sementara itu, dalam hal pembubaran, serikat pekerja atau serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh bubar karena:
1. Dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga.
2. Perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya
yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja untuk seluruh pekerja
atau buruh di perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap
pekerja atau buruh diselesaikan menurut peraturan perundangan-
undangan yang berlaku.
3. Dinyatakan dengan putusan pengadilan.
Dalam hal putusan yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana
lama hukumannya tidak lama, maka sebagai dasar gugatan pembubaran
serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja
atau serikat buruh digunakan keputusan yang memenuhi syarat. Gugatan
pembubaran serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh diajukan oleh instansi pemerintah kepada
pengadilan tempat serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh yang bersangkutan berkedudukan.
Bubarnya serikat pekerja atau serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja atau serikat buruh tidak melepaskan para pengurus dari
tanggung jawab dan kewajibannya, baik terhadap anggota maupun terhadap
pihak lain. Pengurus dan atau anggota serikat pekerja atau serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang terbukti
bersalah menurut keputusan pengadilan yang menyebabkan serikat pekerja
atau serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.19
LA TIH AN
tujuan. Menurut Robbins dan Judge (2011), ada tiga pandangan terhadap
konflik, yaitu pandangan tradisional, pandangan hubungan karyawan,
dan pandangan interaksional. Pandangan tradisional menyatakan bahwa
semua konflik itu berbahaya dan harus dihindari. Pada umumnya,
penyebab konflik adalah komunikasi yang lemah, kurangnya
keterbukaan, dan kegagalan dalam menanggapi kebutuhan karyawan.
Pandangan hubungan karyawan menyatakan bahwa konflik bersifat
alamiah dan tidak dapat dielakkan. Sementara itu, pandangan
interaksional menyatakan bahwa konflik tidak hanya merupakan
kekuatan positif dalam kelompok tetapi bahwa konflik secara absolut
penting untuk kelompok agar lebih efektif. Konflik dapat bersifat
fungsional dan yang tidak fungsional. Konflik fungsional merupakan
konflik yang mendukung kelompok dan memperbaiki kinerja. Adapun
konflik yang tidak fungsional merupakan konflik yang menyembunyikan
biaya kelompok.
4) 6 (enam) pendekatan dalam mempelajari konflik dalam organisasi.
a. Pendekatan level mikro atau psikologi yang berfokus pada konflik
di dalam dan di antara karyawan sebagai individu, khususnya
variabel perilaku intrapersonal, interpersonal, dan kelompok kecil
yang mempengaruhi penyebab dinamika konflik dan hasil konflik.
b. Pendekatan level makro atau sosiologi yang memfokuskan pada
kelompok, departemen, divisi, dan keseluruhan organisasi sebagai
unit analisis untuk memahami dinamika konflik.
c. Pendekatan dalam analisis ekonomi yang menerapkan model
rasionalitas ekonomi dan pengambilan keputusan individual hingga
perilaku sosial yang kompleks.
d. Pendekatan hubungan karyawan, yang diawali dari keinginan
memahami dan mempengaruhi praktek hubungan industrial di
Amerika.
e. Pendekatan kesepakatan dan negosiasi yang berasal dari seringnya
menggunakan proses dalam hubungan antarkaryawan dan hubungan
internasional.
f. Resolusi perselisihan oleh pihak ketiga yang menekankan pada
tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang berasal dari pihak
ketiga, yaitu dari luar pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan
atau memperbaiki negosiasi yang efektif.
5.22 Hubungan Industrial ⚫
5) Ada berbagai teori yang mendasari konflik dalam organisasi, antara lain:
a. Teori kontrak relasional menjelaskan hubungan antarkaryawan
dengan prinsip dan norma solidaritas, mutualitas, integritas fungsi,
fleksibilitas yang mengatur perilaku dalam struktur dan proses.
b. Teori identitas sosial menyatakan bahwa individu secara otomatis
menyortir dirinya ke dalam beberapa kategori.
c. Teori kategorisasi diri menyatakan aspek kognitif lebih mendasari
konstruksi identitas daripada aspek motivasi.
d. Teori kemauan keluar menyatakan bahwa konfrontasi karyawan di
tempat kerja disebabkan oleh mekanisme suara seperti keluhan
karyawan.
RA NGK UMA N
6) Berikut ini termasuk dalam lima tahap atau episode konflik, kecuali ….
A. kondisi akibat konflik
B. konflik laten atau yang tersembunyi
C. konflik yang nyata
D. konflik yang dipersepsikan
Kegiatan Belajar 2
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
A. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
b. Perjanjian kerja
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan
pekerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk
syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayarannya. Perjanjian kerja
merupakan sarana yang paling baik karena memuat kesepakatan para pihak
pada saat memulai hubungan kerja. Dengan adanya perjanjian kerja, timbul
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak (pekerja dan pengusaha) yang
harus dipatuhi dan dilaksanakan. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
d. Peraturan perusahaan
Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Untuk pengusaha yang mempekerjakan pekerja sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Peraturan
perusahaan juga merupakan sarana yang sangat penting untuk mencegah
terjadinya perselisihan industrial karena memuat hak dan kewajiban para
pihak serta syarat kerja yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh kedua
belah pihak.
⚫ EKMA4367/MODUL 5 5.37
LA TIH AN
RA NGK UMA N
7) Strategi mediasi dengan peran mediator sedikit dan tidak secara langsung
terlibat dalam penyelesaian perselisihan tetapi dengan memfasilitasi
proses adalah ….
A. kontekstual
B. empirikal
C. substantif
D. reflektif
Daftar Pustaka
Arthur, J.B. dan Dworkin, J.B. (1991). Current Tactics in Industrial and
Labor Relations Research and Practice. Journal of Management, 17 (3):
515-551.
Carter, D.D. (1997). The Duty of Accommodate: It’s Growing Impact on The
Grievance Arbitration Process. Relations Industrielle, 52(1): 185-207.
DeDrew, C.K.W; Evers, A.; Bersma, B.; Kluwer, E.S., dan Nauta, A. (2001).
A Theory-Based Measure of Conflict Management Strategies in The
Workplace. Journal of Organizational Behavior, 22: 645-668.
Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.
Hebdon, R.P. dan Stern, R.N. (1998). Trade Offs among Expressions of
Industrial Conflict: Public Sector Strike Bans and Grievance
Arbitrations. Industrial and Labor Relations Review, 51 (2): 204-221.
5.48 Hubungan Industrial ⚫
Izquierdo, C.C. dan Cillan, J.G. (2004). The Interaction of Dependence and
Trust in Long-Term Industrial Relationships. European Journal of
Marketing, 38(8): 974-994.
Katz, H.C.; Kochan, T.A.; dan Weber, M.R. (1985). Assessing the Effects of
Industrial Relations Systems and Effort to Improve the Quality of
Working Life in Organizational Effectiveness. Academy of Management
Journal, 28 (3): 509-526.
Kolb, D.M. dan Putnam, L.L. (1992). The Multiple Faces of Conflict in
Organization. Journal of Organizational Behavior, 13: 311-324.
Kozina, L.M. (2009). Social and Labor Relations in Small and Medium Size
Business. Sociological Research, 47 (6): 76-90.
Labig, C.E. dan Greer, C.R. (1988). Grievance Initiation: A Literature Survey
and Suggestions for Future Research. Journal of Labor Research, 9:1-
27.
Lewicki, R.J.; Weiss, S.E.; dan Lewin, D. (1992). Models of Conflict dalam
Negotiation, and Third Party Intervention: A Review & Synthesis.
Journal of Organizational Behavior, 13: 209-252.
Smith, S.W. dan Daunit, A.P. (2002). Conflict Resolution and Peer
Mediation in Middle Schools: Extending the Process and Outcome
Knowledge Base. The Journal of Social Psychology, 142 (5): 567-586.
Zubek, J.M.; Pruitt, D.G.; dan Peites, R.S. (1992). Disputant and Mediator
Behaviors Affecting Short-Term Success in Mediation. The Journal of
Conflict Resolution, 36 (3): 546-572.
Modul 6
P E N D A HU L UA N
dibentuk berdasarkan teori yang ada secara umum dan perkembangan sejarah
mengenai ketenagakerjaan di negara tersebut. Penerapan hukum ketenaga-
kerjaan juga disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan negara tersebut.
Modul 6 ini merupakan kelanjutan dari Modul 5 yang masih membahas
mengenai hubungan industrial khususnya hubungan industrial di Indonesia,
namun disertai dengan berbagai hukum ketenagakerjaan yang berlaku,
khususnya yang sesuai dengan praktek yang terjadi di Indonesia. Secara lebih
terinci, Kegiatan Belajar 1 membahas tinjauan hubungan industrial di
Indonesia, sedangkan Kegiatan Belajar 2 membahas perkembangan dan
praktek hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Kedua materi tersebut akan
menghantarkan Anda untuk mempelajari materi-materi berikutnya mengenai
serikat pekerja, kesepakatan kerja bersama, negosiasi, pemberian
penghargaan bagi karyawan, maupun penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Secara umum, setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan
dapat menjelaskan praktek hubungan industrial, perkembangan dan praktek
hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Secara khusus, setelah mempelajari
modul ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan:
1. Pengertian dan Konsep Hubungan Industrial di Indonesia
2. Perjalanan Hubungan Industrial di Indonesia
3. Hubungan Industrial Pancasila
4. Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
5. Perkembangan Teori Gerakan Buruh dalam Hubungan Perburuhan
6. Riwayat Awal Perburuhan di Indonesia
7. Perundang-undangan yang Memihak Kaum Buruh di Indonesia
8. Persoalan Pokok dalam Hukum Ketenagakerjaan
9. Penerapan Hukum Ketenagakerjaan
EKMA4367/MODUL 6 6.3
Kegiatan Belajar 1
seperti asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, demokrasi, adil dan
merata, keseimbangan, dan lain-lain. Selain itu, Hubungan Industrial
Pancasila juga mendasarkan pada asas kerja, yaitu:
1. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam proses produksi, yang
berarti keduanya harus bekerja sama saling membantu dalam kelancaran
usaha perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas.
2. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam menikmati hasil
perusahaan, yang berarti hasil perusahaan harus dinikmati secara
bersama dengan bagian yang layak dan serasi.
3. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada bangsa dan negara, kepada
masyarakat sekelilingnya, kepada pekerja dan keluarganya, dan kepada
perusahaan tempat mereka bekerja.
L AT IH A N
e.
Meningkatkan kesejahteraan karyawan dan derajatnya sesuai
martabat manusia.
5) Hubungan Industrial Pancasila juga mendasarkan pada asas kerja, yaitu:
a. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam proses produksi,
yang berarti keduanya harus bekerja sama saling membantu dalam
kelancaran usaha perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
produktivitas.
b. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam menikmati hasil
perusahaan, yang berarti hasil perusahaan harus dinikmati secara
bersama dengan bagian yang layak dan serasi.
c. Karyawan dan pengusaha merupakan mitra dalam tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada bangsa dan negara, kepada
masyarakat sekelilingnya, kepada pekerja dan keluarganya, dan
kepada perusahaan tempat mereka bekerja.
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
10) Lembaga kerja sama yang merupakan forum konsultasi dan komunikasi,
tempat anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja adalah ….
A. tripartit
B. pluralis
C. bipartit
D. multikultural
Kegiatan Belajar 2
asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara; (3) bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UUDS 1950 dalam pasal 10 menyatakan bahwa tiada seorang pun boleh
diperbudak, diperulur, dan diperhamba. Pada saat kemerdekaan Indonesia,
tidak mungkin segera diciptakan hukum perburuhan yang sesuai dengan alam
kemerdekaan. Pada tahun 1948, pemerintah RI baru memberlakukan
Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 yang dikenal dengan Undang-Undang
tentang Kerja, yang mengatur tentang:
1. Pekerjaan anak dan orang muda;
2. Pekerjaan wanita;
3. Waktu kerja dan waktu istirahat;
4. Tempat kerja dan perumahan buruh;
5. Tanggung jawab majikan.
1. Teori Revolusi
Revolusi merupakan perubahan yang terjadi secara serentak, bukan
perlahan-lahan. Teori revolusi muncul dari pergerakan buruh sosialis dan
komunis untuk mencapai tujuan dalam proses industrialisasi. Oleh karena itu,
teori revolusi muncul dari negara sosialis dan komunis. Dalam sistem
sosialis, masyarakat dikelompokkan ke dalam kelas-kelas sosial tertentu,
sehingga dikenal adanya kelas pekerja, kelas majikan, kelas pegawai
pemerintah, dan lain-lain. Gerakan buruh/pekerja ini ditujukan untuk
menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat, sehingga tercipta masyarakat/
dunia tanpa kelas dan kemakmuran ekonomi untuk semua orang.
4. Teori Sosio-Psikologis
Teori sosio-psikologis menganggap bahwa serikat buruh akan membuat
karyawan mampu memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya.
Kebutuhan atau keinginan karyawan tersebut meliputi kebebasan, kekuatan,
rasa aman dan terjamin, dan rasa memiliki. Walaupun didasari oleh teori
sosial dan teori psikologi, teori sosio-psikologis juga berhubungan dengan
EKMA4367/MODUL 6 6.33
5. Teori Perubahan
Sesuai dengan teori perubahan, tujuan serikat buruh akan selalu
berubah-ubah sesuai dengan perubahan kondisi kerja dalam perusahaan dan
perubahan masyarakat. Kondisi kerja merupakan faktor internal perusahaan
yang terdiri dari risiko kecelakaan dalam pekerjaan, penerangan, ventilasi,
dan lain-lain. Adapun lingkungan kerja antara lain mencakup interaksi
dengan orang lain dan pengaturan jadwal kerja.
Tujuan pokok hukum perburuhan adalah pelaksanaan keadilan sosial
dalam perburuhan yang diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh
terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan. Hukum
perburuhan merupakan himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang
berkenaan dengan suatu kejadian tempat seseorang bekerja pada orang lain
dengan menerima upah. Hukum Perburuhan menghendaki keadilan sosial
dalam keseimbangan antara kepentingan buruh dengan kepentingan majikan.
Sesuai dengan perkembangan sosial, politik, serta perkembangan dunia ilmu
pengetahuan itu sendiri, hukum perburuhan pada saat ini telah merupakan
cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri. Hukum perburuhan tidak semata-
mata menyangkut hubungan kemasyarakatan yang lebih luas berkaitan
dengan masyarakat dan negara ikut secara langsung dalam masalah-masalah
perburuhan. Hukum perburuhan merupakan cabang ilmu hukum yang secara
praktis bermanfaat sekali bagi masyarakat, karena dapat mengetahui bentuk-
bentuk hukum dari hubungan kerja bidang Perburuhan.
Hukum perburuhan tidak hanya meliputi pegawai negeri. Walaupun
secara yuridis teknis pegawai negeri adalah buruh yaitu bekerja pada pihak
lain (negara) dengan menerima upah (gaji), namun secara yuridis politik
terhadap mereka tidak diberlakukan peraturan-peraturan, tetapi diadakan
peraturan-peraturan tersendiri, yakni melalui Hukum Kepegawaian. Ada
empat perbedaan antara hukum perburuhan dan hukum kepegawaian, yaitu:
a. Hukum Perburuhan mengatur soal hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha di lingkungan swasta, sedangkan Hukum Kepegawaian
mengatur soal hubungan kerja di lingkungan pemerintah, yakni antara
pegawai negeri dengan lembaga-lembaga/kantor-kantor pemerintah dan
antara karyawan dengan badan-badan usaha milik negara (BUMN).
6.34 Hubungan Industrial
1. Zaman Perbudakan
Pada zaman perbudakan, orang bekerja di bawah pimpinan orang lain,
tidak mempunyai hak apapun, tidak terkecuali hak atas hidupnya. Mereka
hanya miliki kewajiban menuruti semua perintah, petunjuk, dan peraturan
yang berasal dari pihak pemilik budak. Pada zaman ini terdapat kebiasaan
perdagangan budak belian. Keadaan ini terus berlangsung bahkan semakin
parah sampai meletusnya Perang Budak pada tahun 1861. Para budak diberi
fasilitas berupa pondokan dan makan. Namun, fasilitas tersebut bukan
merupakan kewajiban bagi pemilik budak, melainkan kebijaksanaan yang
timbul dari “keluhuran budi”. Pemeliharaan para budak bukan kewajiban
EKMA4367/MODUL 6 6.35
pemilik budak, karena baik sosiologis maupun yuridis tidak ada aturan yang
menetapkan demikian.
Di Indonesia, praktek perbudakan tidak separah negara lain karena
adanya aturan tata susila masyarakat Indonesia yang tidak sekejam seperti di
negara lain. Pada zaman penjajahan Belanda, Pemerintah Hindia Belanda
juga memulai ikut serta mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817.
Peraturan tentang budak dan perdagangan budak tahun 1825 mengandung
maksud meringankan nasib para budak, antara lain membatasi bertambahnya
jumlah budak lain daripada kelahiran; melarang perdagangan budak dan
mendatangkan dari luar; menjaga agar anggota budak bertempat tinggal
bersama-sama, yaitu seorang budak yang sudah menikah tidak boleh
dipisahkan dari istri dan anaknya; kepada mereka ini harus diberi cukup
makan dan pakaian; mengatur kewajiban para budak, yaitu para budak tidak
boleh meninggalkan kewajiban para budak dengan kata lain (para budak
tidak boleh meninggalkan pekerjaan mereka, tidak boleh menolak pekerjaan
yang layak); pelanggaran diancam dengan pidana pukulan dengan rotan
sebanyak-banyaknya 30 kali atau pidana penjara selama-lamanya 14 hari;
mengenai kejahatan para budak diadili oleh pengadilan umum. Satu-satunya
penyelesaian ialah mendudukkan para budak itu pada kedudukan manusia
merdeka, baik sosiologi maupun yuridis dan ekonomis. Setelah tahun 1992,
dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara resmi tidak terdapat perbudakan
lagi, maka proses penghapusan itu memerlukan waktu lebih dari 60 tahun,
lebih dari 1 generasi.
2. Zaman Rodi
Pada kerajaan di Jawa, rodi dilakukan untuk kepentingan raja dan
anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai lainnya, serta
kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan, dan
sebagainya. Pelaksanaan kerja rodi yang paling besar terjadi pada masa
pemerintahan Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Daedels,
yakni antara tahun 1808–1811, zaman pembuatan jalan dari Anyer sampai
Panarukan. Kompeni pandai menggunakan rodi itu untuk kepentingan
sendiri. Kerja rodi digunakan untuk segala macam keperluan, seperti
mendirikan benteng, pabrik, jalan, dan sebagainya. Rodi dilakukan tanpa
bayaran dan dimintakan untuk memenuhi segala keperluan dari gubernur dan
keperluan pegawai-pegawainya. Di sini terlihat beratnya rodi itu melebihi
6.36 Hubungan Industrial
Cuti haid selama dua hari dan istirahat hamil selama tiga bulan (satu setengah
bulan sebelum dan sesudah melahirkan).
Secara lebih rinci, beberapa peraturan perundang-undangan kepegawaian
dan ketenagakerjaan yang ada dan bermaksud melindungi para pekerja antara
lain:
1. UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. UU RI No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
3. UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
4. UU RI No, 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
5. UU RI No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
6. UU RI No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial;
7. UU RI No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
8. Keputusan Presiden RI No. 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor
Lowongan Kerja;
9. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 48 Tahun
2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
10. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 235 Tahun
2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan, dan Moral Anak;
11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 49 Tahun
2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah;
12. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 157 Tahun
2003 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.
kerja antara pekerja yang disebut buruh dan pengusaha yang disebut majikan.
Hukum perburuhan tersebut merupakan peninggalan zaman penjajahan
Hindia Belanda atau lebih dikenal dengan Zaman Kolonial.
Hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan. Hukum
ketenagakerjaan tersebut memuat ketentuan mulai mempersiapkan orang
memasuki kerja, selama bekerja, dan purna kerja. Hukum ketenagakerjaan
digunakan untuk melindungi setiap orang sebelum menjadi pekerja, selama
bekerja, dan setelah purna kerja. Hukum perburuhan hanya mengatur
pengusaha dalam rangka melindungi orang yang bekerja dalam hubungan
kerja atas perintah atau dipekerjakan orang lain. Hukum perburuhan tidak
mengatur proses mempersiapkan memasuki kerja dan setelah tidak bekerja.
Abdussalam (2009) memaparkan tujuan dan manfaat hukum
ketenagakerjaan. Tujuan hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan
adalah:
1. Untuk kepentingan diri sendiri, akan lebih mengenal dan memahami
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai pekerja. Bila hak-haknya
tidak dipenuhi oleh pihak pengusaha, maka pekerja dapat menyampaikan
dan menanyakan secara langsung kepada pengusaha mengenai hak yang
belum diterima atau belum dipenuhi tersebut.
2. Untuk kepentingan masyarakat yang ingin menjadi pekerja, memberikan
informasi-informasi mengenai hak-haknya yang mendapat jaminan dan
perlindungan hukum dari pemerintah, serta kewajiban yang harus
dilaksanakan.
3. Untuk kepentingan pengusaha dan pejabat pemerintah untuk
memberikan informasi mengapa pekerja mengadakan unjuk rasa dan
mogok massal. Hal ini biasanya disebabkan pengusaha belum memenuhi
hak-hak normatif yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum atau
undang-undang, bahkan pejabat pemerintah memihak pengusaha yang
bertentangan dengan ketentuan hukum.
b. Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951, mengenai pemberian gaji yang
sama kepada pekerja perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang
sama diratifikasi melalui Undang-undang No. 80 Tahun 1957;
c. Konvensi No. 106 Tahun 1957 mengenai istirahat mingguan di sektor
perdagangan dan kantor-kantor, diratifikasi melalui Undang-undang
No. 3 Tahun 1961.
1. Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang diadakan antara pengusaha
dengan pekerja yang pada umumnya berkenan dengan segala persyaratan
yang harus dipenuhi kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban
mereka masing-masing terhadap satu sama lain. Suatu perjanjian kerja pada
dasarnya harus berlandaskan pada persyaratan kerja yang telah diatur dalam
kesepakatan kerja bersama. Perjanjian kerja menimbulkan kewajiban suatu
pihak untuk bekerja. Perjanjian kerja berbeda dengan kesepakatan kerja
bersama. Kesepakatan kerja bersama tidak menimbulkan hak atas dan
kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat tentang syarat-syarat
kerja yang harus dilaksanakan dalam perjanjian kerja. Bagi suatu perjanjian
kerja tidak dimintakan/dilakukan secara lisan melainkan dengan surat
pengangkatan dari pihak majikan secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian kerja dilakukan antara
pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Perjanjian kerja bersama minimal
meliputi:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja dan serikat pekerja;
c. jangka waktu berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
2. Peraturan Perusahaan
Peraturan perusahaan pada dasarnya merupakan peraturan atau
ketentuan-ketentuan kerja yang disusun oleh pihak pekerja perusahaan
sebagai pedoman atau pegangan bagi para pekerja dalam melaksanakan tugas
mereka masing-masing. Peraturan perusahaan dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, serta
syarat kerja dan ketentuan pokok mengenai tata tertib perusahaan. Secara
garis besar, peraturan perusahaan umumnya memuat berbagai tata cara yang
harus diindahkan atau dituruti oleh tiap-tiap pekerja. Tetapi peraturan
perusahaan tidak dapat dibuat dan dipaksakan untuk diindahkan secara
sepihak oleh perusahaan saja. Bagi pengusaha dan pekerja untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing, menciptakan
hubungan kerja yang harmonis, aman, dan dinamis antara pekerja dan
pengusaha. Tujuan peraturan perusahaan adalah:
a. Menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban pekerja.
b. Menjamin keseimbangan antara kewenangan dan kewajiban pengusaha.
c. Memberikan pedoman bagi pekerja dan pengusaha dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya.
d. Menciptakan hubungan kerja yang harmonis, aman, dan dinamis antara
pekerja dan pengusaha.
e. Memajukan dan menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
f. Meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
jauh lebih baik dibandingkan dengan masa lalu. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan zaman kemajuan dalam sejarah perburuhan ialah zaman
atau masa telah majunya tata dan dasar pandangan umum mengenai
kedudukan pekerja dan pengusaha.
Pada masa sekarang ini pemerintah langsung mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan perburuhan di bawah pimpinan pengusaha melalui
Kementerian Tenaga Kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
diperhatikannya hak-hak pekerja atau karyawan. Pada masa sekarang ini
pun, istilah buruh telah diganti dengan istilah karyawan atau pegawai. Hal ini
bertujuan agar kesan terlampau jauhnya perbedaan derajat antara karyawan
dengan pengusaha sedapat mungkin dihilangkan. Hak-hak karyawan atau
pegawai pada masa kini lebih mendapat perhatian dan secara formal yuridis
telah ditentukan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha
melalui berbagai peraturan perundang-undangan perburuhan, adalah:
1. Hak karyawan untuk memperoleh imbalan kerja yang layak atau selaras
dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya.
2. Hak karyawan untuk dapat hidup layak dan wajar sebagai manusia
sedapat mungkin berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan primer
hidupnya sebagai ukuran minimal (beserta keluarga yang menjadi
tanggungannya) dalam arti bahwa karyawan tersebut setidaknya mampu
untuk memenuhi:
a) keperluan sandang pangan;
b) keperluan perumahan atau tempat tinggal yang layak, beserta
seperangkat perkakas dan isinya yang baik;
c) keperluan lainnya yang masih tergolong primer, tergantung pada
kedudukan dan tugas yang bersangkutan dalam kehidupan masing-
masing.
3. Hak karyawan untuk dapat beristirahat dengan layak, selaras dengan
berat atau ringannya pekerjaan, serta jarak tempat tugasnya dari alamat
asal (dalam hal ini termasuk cuti).
4. Hak karyawan untuk memperoleh bantuan pembiayaan pengobatan
untuk dirinya dan/atau keluarganya sampai pada batas yang layak.
5. Hak karyawan untuk memperoleh upah lembur serta restriksi atau
pembatasan lembur yang sekiranya dapat melewati batas sehingga dapat
berakibat buruk bagi karyawan sendiri.
6.50 Hubungan Industrial
1. Ketentuan Pra-Kerja
Ketentuan pra-kerja mencakup peraturan mengenai penyediaan tenaga
kerja dan pelatihan tenaga kerja. Penyediaan, penyebaran dan penggunaan
tenaga kerja dimaksudkan untuk:
a. Menyediakan tenaga kerja dalam kuantitas dan kualitas yang memadai;
b. Menyebarkan tenaga kerja sedemikian rupa sehingga memberi dorongan
ke arah penyebaran tenaga kerja yang efisien dan efektif;
c. Mendayagunakan tenaga kerja secara penuh dan produktif untuk
mencapai kemanfaatan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan
prinsip “tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat”.
EKMA4367/MODUL 6 6.51
UU No. 25 Tahun 1997 ini juga telah mengatur perlindungan hak dasar
pekerja untuk mendirikan atau menjadi anggota serikat pekerja yang tidak
boleh dihalang-halangi oleh pengusaha, Pemerintah atau pihak ketiga.
Undang-undang ini juga membuka peluang untuk membentuk undang-
undang yang secara khusus mengatur pembentukan serikat pekerja dan
mengatur penyelesaian perselisihan industrial.
Sayang sekali, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat secara apriori
menolak Undang-undang tersebut. Untuk menghindari kerawanan keamanan,
Pemerintah secara bijak sudah dua kali menunda pelaksanaan undang-undang
tersebut hingga bulan September 2002, sambil menunggu pembahasan
Rancangan Undang-undang di DPR untuk menggantikannya. RUU tersebut
kemudian disahkan dan menjadi UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Selain itu, program dana pensiun juga diatur dalam UU No. 11 Tahun
1992. Program dana pensiun dapat dikelola melalui badan tersendiri yang
dibentuk secara khusus oleh Badan Pendiri atau melalui lembaga keuangan
yang sudah ada.
L AT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
Daftar Pustaka
Gultom, S.S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: Inti Prima
Promosindo.