Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

Perkawinan & Penceraian


Internasional

Dosen Pengampu : Eno Prasetiawan,S.H.,M.H


Kelompok 8
1. Annisa Riski Munanda
2. Irma Rahmayeni
3. Dwi Sutia
4. Rizki Rasyidin
Perkawinan Internasional dalam
Hukum Perdata Internasional

Menurut Pasal 57 Undang-undang No. 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah “Perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut yang dimaksud dengan perkawinan campuran
adalah perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dengan seorang
Warga Negara Asing (WNA).
SECARA TEORITIS DALAM HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL DIKENAL DUA PANDANGAN UTAMA YANG
BERUSAHA MEMBATASI PENGERTIAN
DARI PERKAWINAN CAMPURAN YAITU

a)      Pandangan yang berang apan bahwa suatu perkawinan campuran adalah
perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domicilenya
sehing a terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum intern
dari dua sistem hukum yang berbeda.
b) Pandangan yang berang apan bahwa suatu perkawinan diang ap sebagai
perkawinan campuran apabila para pihak berbeda kewarganegaraan
/nasionalitasnya.
Asas-asas hukum perdata internasional di bidanghukum keluarga/ perkawinan
adalah hukum yang harus digunakan untuk mengatur validitas materiil suatu
perkawinan adalah:

1)      Asas Lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas materiil perkawinan harus
ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat dimana perkawinan diresmikan/dilangsungkan.
2)      Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan ditentukan berdasarkan sistem
hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan dilangsungkan.
3)      Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan
sistem hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domicile sebelum perkawinan dilangsungkan.
4)      Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan
sistem hukum dan tempat dilangsungkannya perkawinan (locus celebrationis), tanpa mengabaikan
persyaratan perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum para pihak sebelumperkawinan
dilangsungkan.
Akibat
Hukum perkawinan Campuran

Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami perubahan


yang cukup signifikan dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaran Republik Indonesia. Undang –Undang yang baru ini meng antikan
UU N0.62 Tahun 1958 yang sangat diskriminatif. Undang-Undang Kewarganegaraan
yang baru ini telah diberlakukan oleh Presiden sejak tang al 1 Agustus 2006.
Dalam penjelasan undang-undang kewarganegaraan yang baru disebutkan
bahwa,Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis ,dan sosiologis
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegararaan
Republik Indonesia.
Secara filosofis,
undang-undang tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan
dengan falsafah Pancasia, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang
menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga
negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
Secara yuridis,
landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah Undang-
undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5
Juli Tahun 1959 yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
perkembangannya, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan yang
lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara
Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
Internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan
dan keadilan jender.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru memuat
asas-asas kewarganegaraan umum atau universal

1.      Asas ius Sanguinis, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan


seseorang berdasarkan keturunan bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.      Asas Ius soli, secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-
anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
3.      Asas kewarganegaraan tung al adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini.
 Hukum yang Berlaku Atas Suatu Perkawinan Campuran (validitas esensial dan
formal)
a)      Validitas Esensial Perkawinan
Asas-asas utama yang berkembang dalm HPI tentang hukum yang harus digunakan
untuk mengatur validitas materiil suatu perkawinan adalah:
i.     Asas lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas materiil perkawinan
harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat dimana perkawinan
diresmikan.         
ii.     Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga negara
sebelum perkawinan diadakan.
iii. Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak berdomisili sebelum
perkawinan diadakan. Asas
yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkan perkawinan, tanpa
mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum para
pihak sebelum perkawinan diadakan.
Validitas Formal Perkawinan

Pada umumnya di berbagai sistem hukum, berdasarkan asas locus regit actum, diterima
asas bahwa validitas/persyaratan formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan
“lex loci celebrationis\”, bahwa sepanjang yang keterkaitan dengan perkawinan,
maka berlaku “adigium”, yaitu hukum setempatlah yang mengatur segala sesuatu
mengenai formalitas-formalitas, yang mana hal ini dapat berlangsung dengan tiga
cara, yaitu:                                       
i.     Secara memaksa (compulsory), artinya
bahwa semua perkawinan dilakukan menurut hukum dari tempat dilangsungkannya
(lex loci celebretionis), baik yang dilakukan di dalam maupun yang di luar
negara, tidak ada sistem hukum lain yang diperbolehkan, dan ianya bersifat mengikat            
ii.    Secara optimal, artinya bahwa diadakan pembedaan antara perkawinan-perkawinan
yang dilakukan di dalam dan di luar negeri. Perkawinan yang dilangsungkan di dalam
wilayah forum harus tunduk
kepada formalitas-formalitas setempat. Sebaliknya, perkawinan dari pihak-pihak
di luar negeri boleh memperhatikan lex loci celebrationis atau hukum personal
mereka.
iii. Semua perkawinan yang dilangsungkan di dalam wilayah harus harus dilakukan
menurut ketentuan-ketentuan dari forum. Tidak ada bentuk-bentuk perkawinan lain yang
diperbolehkan secara mengikat
Perkawinan yang Dilakukan Diluar Indonesia
Perkawinan yang dilakukan diluar negeri menurut pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, perkawinan diluar negeri adalah perkawinan yang dilangsungkan diluar
Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia
dengan warga Negara asing.
“Menurut Prof. Waryono Darmabarata . “ Perkawinan selain harus memperhatikan hukum
negara, seperti yang tersimpul dalam pasal 2 ayat (2) UU perkawinan dan
penjelasannya, juga harus memperhatikan agama dan kepercayaan suami
isteri.Dengan demikian perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum
Negara dan kepercayaan mereka itu”. “1Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974, menentukan :

1.     Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara 2 orang warga negara


Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga Negara asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-
undang ini.
2.     Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat
tinggal mereka.
Prosedur Pernikahan di Luar Negeri
a)       Pemberitahuan Kehendak Nikah di Luar Negeri
Bagi WNI yang akan melangsungkan pernikahannya di Luar Negeriharus menyampaikan
kehendak nikahnya ke bagian konsuler Perwakilan RI di Luar Negeri, Penghulu di
Luar Negeri harus memastikan bahwa berkas pemberitahuan kehendak nikah telah
dipenuhi dengan melampirkan syarat-syarat sebagai berikut:                                     
i.   Surat keterangan untuk nikah                                               
ii.  Fotokopi Akte Kelahiran                                             
iii. Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin                                             
iv. Akte Cerai bila sudah pernah kawin                                               
v.  Akte Kematian istri bila istri meninggal                                                
vi.  Surat persetujuan mempela                                              
vii. Surat keterangan dari kedutaan                                          
viii. Pas foto terbaru terbaru berwarna ukuran 2×3 sebanyak 3  lembar.

Apabila calon pengantin WNI nya adalah seorang wanita hendaknya memastikan
kehadiran wali atau surat wakalah wali yang diketahai oleh kepala KUA/Penghulu
setempat di Indonesia dan dilegalisasi oleh pejabat yang membidangi kepenghuluan di
Departemen Agama Pusat. Dan bila calon mempelai pria yang belum mencapai umur 19
tahun dan bagi calon mempelai wanita yang belum mencapai 16 tahun hendaknya
mengurus surat dispensasi dar Pengadilan Agama Jakarta Pusat.Surat keterangan
telah diimunisasi Tetanus Toxoid dari puskesmas/rumah sakit setempat.
a)      Pengumuman Nikah di Luar Negeri
Apabila pengumuman nikah telah dipampang selama sepuluh hari kerja maka akad nikah sudah
boleh dilaksanakan. Pelaksanaan akad nikah kurang dari sepuluh hari kerja hanya dapat
dilangsungkan oleh penghulu jika terdapat keadaan-keadaan mendesak, dan itupun harus
memperoleh dispensasi dari Knator Perwakilan RI di Negara setempat terlebih dahulu.

b)      Prosesi akad nikah dan Pendaftaran Surat Bukti di Indonesia

Prosesi akad nikah yang terlaksana di Luar Negeri sama saja dengan prosesi akad nikah yang ada di
dalam Negeri, begitu juga prosedur pencatatannya sampai masing-masing suami istri memperoleh
kutipan akta nikah. Jika suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti pernikahannya harus
didaftarkan di Knator Urusan Agama Kecamatan tempat tinggal mereka, dalam waktu satu tahun
setelah berada di Indonesia ( UU No.1/1974 pasal 56 ayat (2) ).
Prosedur Perkawinan Campuran

a)      Sesuai dengan UU Yang Berlaku


Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang
Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada
persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21
tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
b)      Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan
Bila semua syarat telah terpenuhi, maka dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk
memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, “calon
mempelai wanita dan calon mempelai pria ”, (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini
berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk
melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat
keterangan, maka  yang bersangkutan dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan,
yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan)
Perceraian dan Akibat Hukum Perceraian Internasional

Perceraian di dalam sebuah perkawinan campuran adalah merupakan sebuah realitas, meskipun
tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, namun
karena pasangan suami istri masing-masing membawa kebiasaan, budaya dan hukum yang berbeda,
sudah tentu sangat rentan akan terjadi persilisihan dan pertengkaran diantara mereka, sehingga
dapat berujung pada perceraian. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya perselisihan ialah antara lain
tentang kedudukan suami istri setelah perkawinan, perselisihan dalam perkawinan campuran antara
adat yang berlatar belakang perbedaan martabat, adat-istiadat sering menimbulkan perceraian.
Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37),
yang dimaksud hukum masing-masing pihak yang didalam Undang-Undang Perkawinan iniadalah
hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
Di Indonesia terdapat dua instansi yang berwenang mencatat perkawinan dan
perceraian yang tugasnya ditentukan secara pasti yaitu: Catatanan sipil berdasarkan
Pasal 199 angka 3e dan Pengadilan Negeri (Pasal 207) . UUP memberikan sanksi yang
keras terhadap pelanggaran ketentuan pencatatan perkawinan campuran. Ketentuan
tentang sanksi pelanggaran proses perkawinan campuran berisi ancaman terhadap PPN
pada KUA dan KCS dengan maksud agar selalu tercipta suasana saling menghormati
dan koordinasi dalam melaksanakan tugas. Sedangkan sanksi terhadap pengantin
berfungsi untuk menjaga stabilitas masyarakat agar hidup dalam suasana kebersamaan
yang rukun. Ketentuan tentang sanksi ini merupakan upaya untuk menciptakan
ketenteraman hukum dan administrasi negara disebabkan adanya perbedaan instansi
pemberi pelayanan hukum perkawinan. Di samping sanksi tersebut, Pasal 45 PP. No. 9
Tahun 1975 menentukan sanksi pula terhadap perkawinan campuran. Ketentuan
tentang sanksi ini secara keseluruhan merupakan upaya untuk menciptakan
ketenteraman hukum dan kerukunan kehidupan umat beragama di Indonesia.
BUAH DURIAN BUAH SELASI
CUKUP SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai