Anda di halaman 1dari 54

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, pada masa

ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial sedikit

demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi.

Lansia atau lanjut usia adalah periode saat manusia telah mencapai

kemasakan dalam ukuran dan fungsi (Puspita harapan,2014).

Penerimaan diri adalah sikap positif individu yang ditunjukkan dengan

rasa senang dan puas pada dirinya, menerima keadaan dirinya, fakta,

realistis, baik secara fisik maupun psikis dengan segala kelemahan dan

kelebihan yang ada pada diri tanpa ada rasa kecewa dan berusaha

mengembangkan diri seoptimal mungkin. Permasalahan penerimaan diri

pada lansia biasanya berhubungan dengan anak atau keluarga yang tidak

mampu merawat ibunya sehingga menempatkan orang tuanya ke panti

jompo (Hensides,2018). Fenomena di masyarakat masih ditemukan lansia

yang masih tinggal di panti dan masih merasa belum menerima keputusan

keluarganya untuk menempatkan di panti jompo.

Secara global United Nations (PBB) telah memprediksikan

pertambahan usia lanjut hingga 2,6 %. Pertambahan jumlah ini melebihi

pertambahan populasi keseluruhan yaitu (1,2%). Jumlah usia lanjut

tersebut meningkat menjadi 700 juta ditahun 2009 dan diproyeksikan

ditahun 2009. Pertumbuhan ini terjadi lebih cepat di negara maju. Di china

sejak tahun 1999 komite aging melaporkan bahwa penduduk usia lanjut

1
2

diprediksikan mencapai 400 juta atau sekitar 30% dari total jumlah

penduduk. Badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan penduduk lansia

di Indonesia pada tahun 2020 mendatang akan mencapai angka 11,34%

atau tercatat 28,8 juta orang (Massie,2015).

Berdasarkan data penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun 1971

populasi lanjut usia 5,3 juta jiwa (4,48% dari total keseluruhan penduduk

indonesia) dan pada tahun 2009 mencapai 19,3 juta (8,37% dari total

keseluruhan penduduk indonesia) dimana terjadi suatu peningkatan.

Jumlah penduduk lanjut usia meningkat ini disebabkan Usia Harapan

Hidup (UHH) yang meningkat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statiistik

(BPS) pada tahun 2010, UHH lanjut usia di Indonesia 7,56% dan menjadi

meningkat pada tahun 2011 yaitu 7,58%. Indonesia sendiri memiliki

penduduk lanjut uisa sebesar 7,4%. Mayoritas 67% lanjut usia tinggal

bersama keluarganya dan hanya 13% yang hidup sendiri. Lansia yang

tinggal di Werdha yaitu sebanyak 35% (Massie,2015).

Menurut studi pendahuluan jumlah lansia yang terdapat pada panti

werdha tresno mukti turen sebanyak 40 orang yang terdiri dari 14 wanita

dan 26 laki-laki. Hampir secara keseluruhan keadaan lansia yang ada di

panti werdha tresno mukti dikarenakan anak yang tidak mampu merawat

dan ditinggal bekerja sehingga memasukan orang tua ke panti tersebut.

Ada 4-5 orang lansia yang masih merasa tidak nyaman dan suka marah

pada keluarga yang sudah menempatkan di panti. Ada 2 orang yang

sudah nyaman untuk tinggal di panti, merasa seperti rumah sendiri

bahkan apabila dijemput keluarga ingin segera kembali kepanti.


3

Setiap manusia pasti mengalami proses pertumbuhan dan

perkembangan dari bayi sampai tua. Masa tua merupakan masa hidup

yang terakhir, pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,

mental dan sosial. Sedikit demi sedikit tidak mampu melakukan tugasnya

sehari-hari lagi. Lansia banyak mengalami banyak masalah kesehatan

yang perlu penanganan segera dan terintegrasi. Selain itu lansia ialah

masa saat seseorang akan mengalami kemunduran dengan sejalannya

waktu. Semakin tingginya usia harapan hidup, maka individu akan hidup

lebih lama atau lebih besar untuk menjakani hidup lebih panjang.

(Hensides, 2018).

Untuk memberikan pemahaman akan penerimaan diri lansia yang

berada di panti, petugas panti harus mampu menciptkan suasana seperti

rumah dengan sebaik mungkin agar lansia merasa lebih nyaman dan tidak

merasakan banyak perbedaan. Sedangkan bagi keluarga mereka harus

mampu memberikan pemahaman bahwa apabila lansia tetap tinggal di

rumah, lansia akan kurang diperhatikan karena kurangnya waktu

penjagaan oleh anak yang sibuk bekerja dan apabila lansia tinggal dipanti

akan lebih terawat dan diperhatikan. Sehingga dengan adanya hal

tersebut mampu menambah tingkat penerimaan diri bagi lansia

(Hensides,2018). Masalah penerimaan diri sangat penting bagi

seseorang, maka penting pula untuk diteliti. Peneliti berminat untuk

menelititi sikap penerimaan lansia terhadap keluarga, karena terjadi pada

lansia yang berada pada panti jompo Werdha Tresno Mukti Turen.
4

Berdasakan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian “Gambaran Sikap Penerimaan Lansia Pada

Keluarga di Panti Jompo Werdha Tresno Mukti Turen”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah sikap penerimaan lansia pada keluarga selama masuk

di panti jompo Werdha Tresno Mukti turen.

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran sikap penerimaan lansia pada keluarga di

panti jompo Werdha Tresno Mukti Turen.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Bagi Peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

referensi dan data dasar dalam penelitian, selanjutnya terkait dengan

gambaran sikap penerimaan lansia pada keluarga di Panti Jompo Werdha

Tresno Mukti Turen.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan memanfaatkan

ilmu yang didapat selama pendidikan dan menambah pengetahuan serta

pengalaman dalam membuat penelitian ilmiah.


5

2. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan peran institusi pendidikan dalam mengembangkan

penelitian di masyarakat terutama tentang gambaran sikap penerimaan

lansia pada keluarga di panti jompo Werdha Tresno Mukti Turen.

3. Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan

Memberikan data hasil penelitian untuk selajutnya dapat digunakan

sebagai dasar dalam hal Sikap penerimaan lansia pada keluarga.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sikap

2.1.1 Definisi Sikap

Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi dalam

psikologis yang murni dari seseorang (purely psychic inner state), tetapi

sikap merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual yang berarti

proses ini terjadi pada setiap individu secara subjektif dan unik. Keunikan

ini terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai

dan norma yang ingin diperthankan dan dikelola oleh individu (Wawan &

Dewi, 2016)

2.1.2 Komponen sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2016), struktur sikap terdiri atas 3 komponen

yang saling menunjang yaitu :

1. Komponen kognitif

Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh seorang pemilik

sikap, komponen ini berisi kepercayaan sterotip yang dimiliki individu

tentang sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila

menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.

2. komponen Afektif

Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek

inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan

merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh

6
7

yang mungkin mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan

dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap seseatu.

3. komponen Konatif

Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai

dengan sikap yang dimiliki seseorang berisi tentang kecenderungan untuk

bertindak/ bereaksi terhadap sesuatu dengan cara tertentu. Berdasarkan

objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap

seseorang dicerminkan dalam bentuk perilaku.

Sedangkan menurut Baron dan Byrne juga Myers dan Gerungan

(dalam wawan dan dewi 2016), menyatakan bahwa ada 3 komponen yang

membentuk sikap yaitu :

1. Komponen Kognitif (Komponen Perseptual)

Komponen kognitif yaitu komponen yang berkaitan dnegan

pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan

dengan bagaiaman orang mempersepsi terhadap sikap.

2. Komponen Afektif (Komponen emosional)

Komponen afektif yaitu kompone yang berhubungan dengan rasa

senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan

hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang

negtaif. Komponen ini menunjukan arah sikap, yaitu sikap positif dan

negatf.

3. Komponen Konatif (Komponen Perilaku).

Komponen konatif yaitu komponen yang berhubungan dengan

kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini


8

menunjukan intensitas sikap, yaitu menunjukan besar kecilnya

kecenderungan bertindak atau berperilaku sesoorang terhadap objek

sikap.

2.1.3 Tingkatan Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2016), sikap terdiri dari berbagai

tingkatan yakni :

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan obyek.

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaiakn tugas yang diberikan merupakan indikasi sikap karena

dengan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang

diberikan. Pekerjaan itu benar atau salah berarti orang tersebut menerima

ide tersebut.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seseorang mengajak

ibu yang lain (tetangga, saudaranya) untuk menimbang anaknya ke

posandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti Bahwa si ibu

telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab ( Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya debfa

segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya


9

seorang ibu mau menjadi akseptor KB, mesikipun mendapatkan

tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

2.1.4 Sifat Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2016), sifat dapat bersifat positif dan

negatif :

a. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati,

menyenangi,mengharapkan obyek tertentu.

b. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghidari,

membenci, tidak menyukai obyek tertentu.

2.1.5 Ciri Ciri Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2016), ciri-ciri sikap sebagai berikut :

a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk dan dipelajari

sepanjang perkembangan itu dalam dalam hubungan dengan

obyeknya.

b. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan sikap

dapat berubah pada orang-orang bila keadaan keadaan dan syara-

syarat tertentu yang mempermudah sikap pada seseorang.

c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan

tertentu terhadap objek dengan kata lain, sikap terbentuk, dipelajari

atau berubah selalu berkenaan dengan suatu objek tertentu yang

dapat dirumuskan dengan jelas.

d. Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapa juga

merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.


10

e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi perasaan, sifat

alamiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau

pengetahuan yang dimiliki seseorang.

2.1.5 Faktor Yang mempengaruhi Sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2016), faktor-faktor yang

mempengaruhi sikap antara lain:

1. Pengalaman Pribadi

Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi

harus meninggalkan pesan yang kuat, karena sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi dalam situasi yang

melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, seseorang memiliki sikap yang searah dengan

sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain

dimotivasi oleh keinginan untuk berafliasi dan keinginan untuk

menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3. Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap

berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak

pengalaman masyarakatnya.

4. Media masa
11

Dalam pemberitaan hal yang seharusya faktual disampaikannya

secara objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya,

akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumenya.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lemabaga

agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah

mengherankan jika kalau pada giliranya konsep tersebut

mempengaruhi sikap.

6. Faktor Emosioanal

Bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang

berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan

bentuk mekanisme pertahanan ego.

2.1.6 Cara Pengukuran Sikap.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan

sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang

mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap.

Pernyataan sikap berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai

obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada

obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyaataan fovurable.

Sebaliknya pernyataan sikap dapat berupa hal-hal negatif mengenai

obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap

obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan anfovurable.

Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas


12

pernyataan fovurable dan anfovurable dalam jumlah yang seimbang.

(Wawan & Dewi, 2016)

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat/

pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung

dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan

pendapat responden melalui kuisinoner (Wawan & Dewi, 2016).

2.1.7 Pengukuran sikap

Menurut Wawn dan Dewi (2016), cara mengukur sikap seseorang

dapat diukur menggunakan teknik pengukuran sikap antara lain:

a. Skala Thurstone (Method Of Equel-Appearing Intervals)

Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada

rentangan kontinum dari yang snagat unforabel hingga sangat

favorabel terhadap suatu objek sikap. Caranya dengan

memberikan orang tersebut beberapa aitem sikap yang telah

ditentukan derajad favorabilitasnya. Tahap yang paling kritis dalam

menyusun alat ini seleksi awal terhadap pernyataan sikap dan

penghitunganya ukuran yang mencerminkan derajat favorabilitas

dari masing-masing pernyataan. Derajat (ukuran) favorabilitas ini

sebut nilai skala.

Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap,

pembuatan skala perlu membuat sampel pernyataan sikap sekitar

lebih dari 100 buah atau lebih. Pernyataan itu kemudian diberikan

kepada beberapa orang penilai (judges). Penilai ini bertugas untuk


13

menentukan derajat favorabilitas masing-masing pernyataan.

Favorabilitas penilai itu diekspresikan melalui titik skala rating yang

memiliki rating 1-11. Sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11.

Sangat setuju tugas penilaian ini bukan untuk menyampaikan

setuju tidaknya mereka terhadap pernyataan itu. Median ata rata-

rata perbedaan penilaian anatar penilaian tehadap aitem ini

kemudian dijadikan sebagai nilai skala masing-masing aitem.

Pembuat skala kemudian menyusun aitem mulai dari aitem yang

memiliki skala terendah hingga tertinggi. Dari aitem-aitem tersebut,

pembuatan skla kemudian memilih aitem untuk kuisioner skala

sikap yang sesungguhnya. Dalam penelitian skala yang telah

dibuat ini kemudian diberikan pada responden. Responden diminta

untuk menunjukan seberapa besar kesetujuan atau ketidaksetujuan

pada masing-masing aitem sikap tersebut.

b. Skala Likert ( Method Of Summareds Ratings)

Likert mengajukan metodenya sebagai alternatif yang lebih

sederhana dibandingkan dengan skala Thurstone. Skala Thurstone

yang terdiri dari 11 point disederhanakan menjadi dua kelompok,

yaitu yang favorable dan yang unfavorabel. Sedangkan aitem yang

netral tidak disertakan, untuk mengatasi hilangnya netral tersebut,

likert menggunakan teknik kontruksi test yang lain. Masing-masing

responden diminta melakukan egrement atau disegrementnya

untung masing-masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point

(sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju).


14

Semua aitem yang favorable kemudian diubah nilainya dalam

angka, yaitu sangat setuju nilainya 1, dan sebaliknya untuk aitem

unfavorable nilai skala sangat tidak setuju nilainya 5.

c. Unobskrusive Measures

Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat

mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan

dengan sikapnya dalam pernyataan.

d. Multidimensioanal Scaling

Teknik ini mmeberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila

dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat

unidimensional. Pengukuran ini kadang klaa menyebabkan asumsi-

asumsi mengenai stabilitas struktur dimensinal kurang valid

terutama apabila diterapkan pada orang, lain isu, dan lain skala

aitem.

e. Pengukuran Involuntary Behavior (pengukuran terselubung)

1. Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau dapat

dilkukan oleh responden.

2. Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dopengaruhi

oleh kerelaan responden.

3. Pendekataan ini merupakan pendekatan observasi terhadap

reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tetapi disadari dilakukan oleh

individu yang bersangkutan.


15

4. Observer dapat menginterpretasikan sikap invidu mulai dari fasial

reaction, voice tones, body gesture, keringat, dilatasi pupil mata,

detak jatung, dan beberapa aspek fisiologi lainya.

2.1 Konsep Panti Sosial Tresna Werdha

2.1.1 Definisi Panti Sosial Tresna Werdha

Panti Sosial Tresno Werdha adalah panti sosial yang mempunyai

tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar

agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Panti

Sosial Tresno Werdha/ Panti Sosial Lanjut Usia sebagai lembaga

pelayanan Sosial Lanjut usia berbasis panti yang dimiliki pemerintah

maupun swasta dan memiliki berbagai sumber daya yang berfungsi untuk

mengantisipasi dan merespon kebutuhan lanjut usia yang terus

meningkat. Berbagai program pelayanan lanjut usia seperti: pelayanan

subsidi silang, pelayanan harian lanjut usia (day-care service), dan

pelayanan perawatan rumah (home care service) dapat dilakukan tanpa

meninggalkan pelayanan utamanya kepada lanjut usia terlantar (Triwanti,

Ishartono, & Gutama, 2014)

2.1.2 Peran Panti Sosial Tresna Werdha

Upaya yang dilakukan untuk mencapai kondisi maksimum atau

optimal bagi lansia adalah melalui pelayanan yang diberikan. Pelayanan

yang diberikan kepada lansia tidak hanya dilakukan oleh pemerintah dan
16

masyarakat, tetapi sebagai lembaga primer maka keluarga memiliki

peranan penting dalam memenuhi kebutuhan lansia terutama untuk

meningkatkan kesejahteraan lansia itu sendiri. Adanya proses globalisasi

dan berbagai perubahan yang terjadi akibat perkembangan zaman maka

yang terjadi menimbulkan kecenderungan struktur keluarga dari keluarga

besar menjadi keluarga kecil, sehingga perubahan yang terjadi

mempengaruhi persepsi dalam merawat lansia di dalam keluarga

(Triwanti, Ishartono, & Gutama, 2014).

Adanya perubahan struktur yang terjadi di dalam keluarga dari

keluarga besar berubahan menjadi keluarga kecil maka hal ini

mempengaruhi pihak keluarga untuk menempatkan lansia di panti werdha

sebagai suatu pilihan dalam rangka memenuhi kebutuhan lansia. Upaya

yang diberikan oleh panti werdha terhadap para lansia akan mengurangi

lansia yang terlantar, walaupun pelayanan yang dilakukan oleh panti

werdha merupakan pilihan alternatif terakhir karena basis utama dari

pelayanan terhadap lansia dilakukan oleh keluarga sebagai lembaga

primer (Triwanti, Ishartono, & Gutama, 2014) .

Pemenuhan kebutuhan terhadap lansia menjadi salah satu upaya

untuk meningkatkan keberfungsian lansia dan kesejahteraan lansia.

Upaya yang dilkukan dengan mengutamakan upaya promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif dengan tujuan meningkatkan kualitas dari lansia itu

sendiri. Selain itu, melalui pelayanan yang dilakukan terhadap lansia,

maka lansia akan mendapatkan hak untuk terpenuhinya kebutuhan-

kebutuhan baik dari segi fisik, psikis maupun sosial. Pemenuhan


17

kebutuhan yang dilakukan oleh panti werdha merupakan bentuk sistem

pelayanan sosial atau sebagai primary setting. Pelayanan sosial

merupakan wujud aktivitas pekerja sosial dalam praktik profesionalnya.

Pelayanan sosial yang diberikan sebagai wujud dari jawaban terhadap

tuntunan kebutuhan dan masalah yang dialami masyarakat sebagai akibat

perubahan masyarkat itu sendiri. Sehingga bidang-bidang pelayanan

sosial akan tergantung pada bagaimana pekerja sosial memandang dan

mengidentifikasi masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam

masyarakat. (Triwanti, Ishartono, & Gutama, 2014)

Pekerja sosial sebagai pelaksana pelayanan sosial bagi lansia

berperan untuk memberikan perlindungan sosial, membantu para lansia

untuk menjangkau sumber-sumber yang diperlukan dalam rangka

meningkatkan keberfungsian sosial. Pekerja sosial juga berfokus untuk

memberikan pelayanan dan dukungan yang dibutuhkan oleh lansia di

masa tuanya. Pekerja sosial memiliki peranan penting dalam mendukung

orang tua untuk hidup mandiri dan untuk memaksimalkan kesejahteraan

mereka pada apa yang sering rentan terjadi dalam kehidupan mereka.

Pekeja sosial memiliki keahlian dan pelatihan untuk membantu para lanisa

karena ketidakmampuan, penyakit akibat proses penuaan sehingga para

lansia membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dan

mengakses pelayanan yang tepat. Pelayanan yang diberikan pekerja

sosial berdasarkan kepada Undang-Undang yang mengatur

Kesejahteraan Lansia yaitu UU No. 13 tahun 1998. Sistem pelayanan

yang diberikan salah satunya adalah pelayanan yang dilakukan didalam


18

panti. Pelayanan yang diebrikan berupa pemenuhan kebutuhan dasar

lansia yang merupakan hal penting yang harus terpenuhi dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan lansia, sehingga semakin lama perawatan

lansia didalam panti merupakan hal yang sering dijumpai di zaman yang

sudah berkembang seperti saat ini karena tidakhanya pemenuhan

kebutuhan dasar dapat terpenuhi tetapi kebutuhan lain yang tidak didapat

oleh lansia selama berada di dalam keluarganya di dapatkan di panti

werdha yang dikenal dengan panti soisal tresna werdha memiliki peran

penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan lansia (Triwanti,

Ishartono, & Gutama, 2014).

Pelayanan yang diberikan oleh panti werdha kepada lansia dengan

berbagai program yang ada mempunyai tujuan akhir yaitu untuk

meningkatkan keberfungsian sosial lansia itu sendiri dan terwujudnya

kesejahteraan lansia yang berpengaruh terhadap kemampuan lansia

untuk melewati masa tuanya dengan berbagai penurunan yang terjadi,

sehingga lansia dapat berperan aktif di berbagai kegiatan tanpa adanya

rasa beban maupun rasa bersalah karena kurangnya pendampingan dari

pihak keluarga. Keberadaan panti werdha sebagai bentuk dari pelayanan

sosial yang diberikan kepada lansia. Walaupun sistem pelayanan yang

diberikan berbeda-beda, tetapi baik pelayanan di dalam maupun luar panti

mempunyai tujuan yang sama untuk meningkatkan keberfungsian lansia

dan mencapai tingkat kesejahteraan lansia di masa tuanya, sehingga

dengan proses penuaan dan keterbatasan yang dialami oleh lansia maka

lansia dapat berfungsi secara sosial seperti dahulu sebelum memasuki


19

tahap perkembangan akhir di dalam kehidupan (Triwanti, Ishartono, &

Gutama, 2014).

2.2 Konsep Penerimaan Diri

2.2.1 Definisi Penerimaan Diri

Penerimaan diri adalah keinginan untuk memandang dirinya seperti

adanya, dan mengenali dirinya sebagaiamna adanya. Bukan berarti

kurangnya ambisi karena masih adanya keinginan-kenginan untuk

meningkatkan diri, tetapi tetap menyadari keadaan dirinya saat ini.

Individu dengan penerimaan diri yang baik akan mengetahui segala

kelebihan dan kekurangan yang dimiliknya, dan mampu mengelolanya.

(Hensides, 2018). Sedangkan menurut Any marny (2015), penerimaan diri

adalah seseorang yang memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri

sendiri, atau tidak bersikap sinis kepada diri sendiri. Penerimaan diri

berkaitan dengan kerelaan mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi

terhadap orang lain. Individu yang mampu menerima dirinya adalah

individu yang mampu menerima kekurangan dirinya sebagaimana

menerima kelebihannya.

Penerimaan diri adalah seseorang yang dapat menyadari dan

mengakui karakteristik pribadi dan menggunakanya dalam menjalani

kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukan oleh pengakuan

seseorang terhadap kelebihan-kelebihan segaligus menerima kelemahan-


20

kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan

yang terus menerus untuk mengembangkan diri (Ridha, 2012).

2.1.2 Karakteristik Individu Yang Memiliki Penerimaan Diri

Menurut Marni & Yuniawati (2015) karakteristik individu yang

memiliki penerimaan diri adalah sebagai berikut :

1. Memiliki kepercayaan atas kemampuanya untuk dapat menghadapi

hidupnya.

2. Menganggap dirinya sederajat dengan orang-orang lain.

3. Tidak pernah menganggap dirinya hebat atau aneh dan tidak

menganggap orang lain mengucilkanya.

4. Tidak pernah merasa malu-malu dan takut dicela orang lain.

5. Mempertanggungjawabkan perbuatannya.

6. Mengikuti standar pola hidupnya sendiri tidak ikut-ikutan.

7. Menerima celaan atau pujian secara objektif.

8. Tidak memanfaatkan sifat-sifat yang luar biasa.

9. Menyatakan perasaan dengan wajar.

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Gamayanti (2016), faktor-faktor yang mempengaruhi

penerimaan diri seseorang,yaitu :


21

1. Pemahaman diri (self-understanding), merupakan persepsi diri

yang ditandai oleh genuiness, realita, dan kejujuran. Semakin

seseorang memahami dirinya, semakin baik penerimaan dirinya.

2. Harapan yang realistis, ketika seseorang memiliki harpan yang

realistis dalam mencapai sesuatu, hal ini kan mempengaruhi

kepuasan diir yang merupakan esensi penerimaan diri. Harapan

akan realistis jika dibuat oleh diri sendiri.

3. Tidak adanya hambatan dari lingkungan ( absence of environment

obstacles ), yaitu ketidakmampuan dalam mencapai tujuan yang

realistis, dapat terjadi karena hambatan dari lingkungan yang tidak

mampu dikontrol oleh seseorang sepertii deskrimisi ras, jenis

kelamin dan agama. Apabila hambatan- hambatan tersebut dapat

dihilangkan dan keluarga atau orang-orang disekelilingnya

memberikan motivasi dalam mencapai tujuan, maka seseorang

akan memperoleh kepuasan dengan apa yang telah dicapainya.

4. Sikap sosial yang positif, yaitu jika seseorang memiliki sikap sosial

yang positif maka seseorang tersebut akan lebih mampu untuk

menerima dirinya.

5. Tidak adanya stres yang berat, tidak ada stres atau tekanan

emosional yang berat membuat seseorang bekerja secara optimal

dan lebih berorientasi pada lingkungan dari pada berorientasi pada

diri sendiri dan lebih tenang dan bahagia.


22

6. Pengaruh keberhasilan, yaitu pengalaman gagal akan

menyebabkan penolakan diri sedangkan meraih kesuksesan akan

menghasilkan penerimaan diri.

7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

, Sikap ini akan menghasilkan penilaian diri yang baik dan

penerimaan diri.

8. Perspektif diri yang luas, yaitu seseorang yang memandang dirinya

sebagaimana orang lain memandangnya akan mampu

mengembangkan pemahaman diri paa seseorang yang perspektif

dirinya sempit.

9. Konsep diri yang stabil, konsep diri yang positif mampu

mengarahkan seseorang untuk melihat dirinya secara tidak stabil.

2.1.4 Dampak Penerimaan Diri

Gamayanti (2016) membagi dampak penerimaan diri menjadi dua

kategori :

a. Dalam penyesuaian diri, mampu mengenali kelebihan dan

kekuranganya, memiliki keyakinan diri (self confidience) dan harga

diri (self esteem), lebih bisa menerima kritik, penerimaan diri yang

disertai dengan rasa aman memungkinkan seseorang untuk menilai

dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan

potensinya secara efektif.

b. Dalam penyesuaian social, orang yang memiliki penerimaan diri

akan merasa aman untuk menerima orang lain, memberikan


23

perhatiannya pada orang lain., menaruh minat pada orang lain

seperti menunjukan rasa empati dan simpati.

2.2.5 Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Menurut Ridha (2012), penerimaan diri berkaitan dengan :

a. Kerelaan untuk membuka atau mengungkapkan aneka pikiran,

perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain, pertama-tama harus

melihat bahwa diri kita tidak seperti apa yang dibayangkan, dan

pembukaan diri yang akan kita lakukan tersebut diterima atau tidak

oleh orang lain. Kalau kita sendiri menolak diri (self-rejecting), maka

pembukaan diri akan sebats dengan pemahaman yang kita punya

saja. Dalam penerimaan diri individu, terciptanya suatu penerimaan

diri yang baik terhadap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki,

dapat dilihat dari bagaimana ia mampu untuk mengahrgai dan

menyayangi dirinya sendiri, serta terbuka pada orang lain.

b. Kesehatan psikologis

Berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri sendiri.

Orang yang sehta secara psikologis memandang dirinya disenangi,

mampu berharga dan diterima orang lain. Orang yang menolak

dirinya biasaya tidak bahagia dan tidak mampu membangun serta

melestarikan hubungan baik dengan orang lain.Maka,agar kita

tumbuh dan berkembang secara psikologis, kita harus menerima

diri kita. Untuk menolong orang lain tumbuh dan berkembang

secara psikologis, kita harus menolongnya dengan cara


24

memberikan pemahaman terhadap kesehatan psikologis, agar

menjadi lebih bersikap menerima diri.

c. Penerimaan terhadap orang lain.

Orang yang menerima diri biasanya lebih menerima orang lain. Bila

kita berpikiran positif tentag diri kita, maka kita pun akan berfikir

positif tentang orang lain. Sebaliknya bila kita menolak diri kita,

maka kita pun akan menolak orang lain.

2.3 Konsep Lansia

2.3.1 Definisi Lansia

Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada

kehidupan manusia. Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun

1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang

yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari,

Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, 2011). Sedangkan menurut Puspita

Harapan (2014) Lanjut usia merupakan tahap akhir dari kehidupan

manusia yang dianggap sebagai seseorang yang mengalami berbagai

penurunan fungsi kehidupanya.

Usia tua adalah periode penutupan dalam rentang kehidupan

seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari

periode terdahulu yang lebih menyenangkan. Apabila seseorang telah

beranjak jauh dari periode hidupnya, ia akan melihat masa lalunya dengan
25

penuh penyesalan dan ingin cenderung hidup dimasa sekarang. Orang

berusia 60 an biasa dikategorikan sebagi usia tua, yang berarti antara

sedikit lebih tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka

mencapai usia 70 (Marni & Yuniawati, 2015)

Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan manusia

yang dianggap sebagai seseorang yang mengalami berbagi penurunan

fungsi kehidupannya. Proses menua didalam perjalanan hidup manusia

merupakan suatu peristiwa yang akan dialami oleh semua orang yang

dikaruniai umur panjang dan berlangsung secara terus-menerus (puspita

harapan, 2014).

2.3.2 Klasifikasi Lansia

Menurut R. Siti maryam (2011), ada lima klasifikasi pada lansia

yaitu sebagai berikut :

1. Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59

tahun.

2. Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau

lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan

masalah kesehatan.

4. Lansia potensial, yaitu Lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat mengahsilka barang/ jasa.

5. Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari

nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.3.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia.


26

Menurut R. Siti Maryam (2011), perubahan pada lansia dibagi

menajdi 3 yaitu sebagai berikut :

1. Perubahan fisik

a. Sel : Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh

menurun, dan cairan intraseluler menurun.

b. Kardiovaskuler: katup jantung menebal dan kaku,

kemmapuan memompa darah menurun (menurunya

kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun,

serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer

sehingga tekanan darah meningkat.

c. Respirasi : otot-otot pernafasan kekuatannya menurun dan

kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu menigkat

sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan

jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta

terjadi penyempitan pada bronkus.

d. Persyarafan : saat pancaindra mengecil sehingga fungsinya

menurun serta lambat dan merespon dan waktu berinteraksi

khususnya yang berhubungan dengan stres. Berkurang atau

hilangnya lapisan mielin akson, sehingga menyebabkan

berkranya respons motorik dan reflek.

e. Muskuloskaletal : Cairan tulang menurun sehingga mudah

rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian

membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor,

tendon mengerut dan mengalami sklerosis.


27

f. Gastrointestinal : esofagus melebar, asam lambung

menurun, lapar menurun, dan peristaltik menurun, sehingga

daya absorbsi juga menurun. Ukuran lambung mengecil

serta fungsi organ aksesori menurun sehingga

menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim

pencernaan.

g. Genitourinaria : ginjal mengecil,aliran darah ke ginjal

menurun, penyaringan di glomerulus menurun,fungsi tubulus

menurun sehingga kemampuan mengosentrasi urin ikut

menurun.

h. Vesikau urinaria : otot-otot melemah, kapasitasnya menurun

dan resistensi urine menurun. Prostat hipertrofi pada 75%

lansia

i. Vagina : selaput lendir mengering dan sekresi menurun.

j. Pendengaran : membran timpani atrofi sehingga terjadi

gangguan pendengaran. Tulang-tulang pendengaraan

mengalami kekakuan.

k. Penglihatan : respons terhadap sinar menurun, adaptasi

terhadap gelap menurun, akomodasi menurun, lapang

pandang menurun, dan katarak.

l. Endokrin : produksi hormon menurun.

m. Kulit : keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut

dalm hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun,

vasklularisasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar


28

keringat menurun, serta kuku kai tumbuh berlebihan seperti

tanduk.

n. Belajar dan memori : kemampuan belajar masih ada tetapi

relatif menurun. Memori (daya ingat) menurun karena proses

encoding menurun .

o. Intelegensi : secara umum tidak banyak berubah

p. Personality dan Adjusment (pengaturan): tidak banyak

perubahan, hampir seperti saat muda.

q. Pencapaian (achievement) : sains, filosofi, seni, dan musik

sangat mempengaruhi.

2. Perubahan Sosial

a. Peran : post power syndrome, single woman, dan single parent.

b. Kelurga: Kesendirian, dan kehampaan.

c. Teman : Ketika lansia lainhya meninggal, maka muncul

perasaan kapan aku akan meninggal dan berada dirumah terus

akan cepat pikun (tidak berkembang).

d. Abuse : Kekerasan dalam bentuk verbal (dibentak), dan non

verbal (dicubit,tidak diberi makan).

e. Masalah humum: Berkaitan dengan perlindungan aset dan

kekayaan pribadi yang dikumpulkan sejak masih muda.

f. Pensiun : kalau menjadi PNS akan ada tabungan (dana

pensiun). Kalau tidak, anak dan cucu yang akan meberi uang.

g. Ekonomi : Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang

cocok bagi lansia dan income security.


29

h. Rekreasi : Untuk ketenangan batin.

i. Keamanan : jatuh terpleset.

j. Transportasi : kebutuhan kan transportasi yang cocok bagi

lansia.

k. Politk : kesempatan yang sama untuk terlibat dan memberikan

masukan dalam sistem politik yang berlaku.

l. Pendidikan : berkaitan dnegan pengentasan buta kasara dan

kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi

manusia.

m. Agama : Melaksanakan ibadah

n. Panti jompo : merasa dibuang/diasingkan.

3. Perubahan psikologis

Perubahan psikologi pada lansia meliputi short term

memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut

menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan

kecemasan.

Dalam psikologi perkembangan,lansia dan perubahan yang

dialaminya akibat proses penuaan digambarkan oleh hal-hal

berikut:

a. Masalah-masalah umum yang sering dialami oleh lansia

- Keadaan fisk lemah dan tak berdaya, sehingga harus

bergantung pada orang lain.


30

- Status ekonominya sangat terancam, sehingga cukup

beralasan untuk emlakukan berbagai perubahan

besar dalam pola hidupnya.

- Menentkan kondisi hidup yang sesuai dengan

perubahan status ekonomi dan kondisi fisik.

- Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau

istri ayng telah meninggal atau pergi jauh dan atau

cacat.

- Mengembangkan kegiatan baru baru untuk mengisi

waktu luang yang semakin bertambah.

- Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar

sebagai orang dewasa.

- Mulai terlihat dalam kegiatan masyarakat yang secara

khusus direncanakan untuk orang dewasa.

- Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang

sesai untuk lansia dan memiliki kemauan untuk

mengganti kegiatan lama yang berat dengan yang

lebih cocok.

- Menjadi sasaran atau dimanfaatkan oleh para penjual

obat, buaya darat, dan kriminalitas karena mereka

tidak sanggup lagi untuk mempertahankan diri.

b. Perubahan-perubahan umum dalam penampilan lansia.

- Pada bagian kepala, bentuk mulut berubah akibat

kehilangan gigi atau karena harus emmakai gigi


31

palsu, penglihatan agak kabur, mata tak bercahaya

dan sering mengeluarkan cairan, dagu mengendur

tampat berlipat, pipi berkerut, kulit berkerut dan kering

bintik hitam pada kulit tampak lebh banyak, serta

rambut menipis dan berubah menjadi putih atau abau-

abu.

- Pada bagian tubuh, bahu membungkuk dan tampak

mengecil, perut membesar dan tampak membuncit,

pinggul tampak lebih lebar dibandingkan waktu

sebelumya, garis pinggang melebar menjadikan

badan tampak seperti terisap, serta payudara bagi

wanita menjadi kendur.

- Pada bagian persendian, pangakal tangan menjadi

kendur dan terasa berat, sedangkan ujung angan

tampak mengerut. Kaki menjadi kendur dan pembuluh

darah balik menonjol, terutama ada disekitar

pergelangan kaki. Tangan menjadi kurus kering dan

pembuluh darah vena disepanjang bagian belakang

tangan menonjol. Kaki membesar karena otot-otot

mengendur, timbul benjolan-benjolan, serta ibu jari

membengkak dan bisa meradang serta timbul kelosis.

Kuku tangan dan kaki menebal, mengerasdan

mengapur.

c. Perubahan umum fungsi pancaindra lansia


32

- Sistem penglihatan, ada penurunan yang konsisten

dalam kemampuan untuk melihat objek pada tingkat

penerangan yang kemampuan untuk melihat objek

pada tingkat penerangan yang rendah serta

menurunya sensitivitas terhadap warna.Orang pada

usia lanjut pada umumnya menderita prespiop atau

tidak dapat melihat jarak jauh dengan jelas yang

terjadi karena elastisitas lensaa mata berkurang.

- Sistem pendengaran, orang berusia lanjut usia

kehilangan kemampuan mendengar bunyi dengan

nada yang sangat tinggi sebagai akibat dari

berhentinya pertumbuhan saraf dan berkahirnya

pertumbuhan organ basal yang mengakibatkan

matinya rumah siput didalam teliga. Mereka pada

umumnya tetap dapat mendengar suara rendah dari

pada nada C sejelas orang yang lebih muda.

- Sistem perasa, perubahan penting dalam alat perasa

usia lanjut adalah sebagai akibat dari berhentinya

pertumbuhan tunas perasa yang terletak dilidah dan

dipermukaan bagian dalam pipi. Saraf perasa yang

berhenti tumbuh ini semakin bertambah banyak

sejalan dengan bertambahnya usia. Selain itu

penurunan sensivitas papil-papil penegcap terutama

terhadap rasa manis dan asin.


33

- Sistem penciuman, daya penciuman menajdi kurang

tajam sejalan dengan bertambahnya usia, sebagiam

karena pertumbuhan sel didalam hidung berhenti dan

sebagaian lagi karena semakin lebatnya bulu rambut

dilubang hidung.

- Sistem peraba, kulit menjadi semakin kering dan

keras, maka indra peraba dikulit semakin peka.

Sensivitas terhadap sakit dapat terjadi akibat

penurunan ketahanan terhadap rasa sakit. Rasa sakit

tersebut berbeda untuk bagian tubuh. Bagian tubuh

yang ketahananya sangat menurun, antara lain

adalah bagian dahi dan tangan, sedangkan pada kaki

tidak seburuk kedua organ tersebut.

d. Perubahan umum kemampuan motorik pada lansia

- Kekuatan motorik, penurunan kekuatan yang paling

nyata adalah pada kelenturan otot-otot tanagn bagian

depan dan otot-otot yang menopang tegaknya tubuh.

Orang berusia lanjut lebih cepat merasa lelah dan

memerlukan waktu waktu yang lebih lama untuk

memulihkan diri dari keletihan dibanding orang yang

lebih muda.

- Kecepatan motorik, penurunan kecepatan dalam

bergerak bagi lansia dapat dilihat dari tes terhadap

waktu,reaksi, dan ketrampilan dalam bergerak seperti


34

dalam menulis. Kecepatan dalam bergerak tamapk

sangat menurun setelah usia 60-an.

- Belajar ketrampilan baru, bahakan pada waktu orang

berusia lanjut percaya bahwa belajar ketrampilan baru

akan menguntungkan pribadi mereka, mereka lebih

lambat dalam belajar dibanding orang yang lebih

muda dan hasil akhirnya cenderung kurang

memuaskan.

- Kekakuan motorik, lansia cenderung menjadi

canggung dan kaku. Hal ini menyebabkan sesuatu

yang dibawa dipegangannya tertumpah dan terjatuh.

Lansia melakukan sesuatu dengan tidak hati hati dan

dikerjakan secara tidak teratur. Kerusakan dalam

ketrampilan motorik terjadi susunan terbalik terhadap

berbagai ketrampilan yang telah dieplajari.

Kertrampilan yang lebih dulu dipelajari jsutru lebih

sulit dilupakan dan ketrampilan yang baru dipelajari

lebih cepat dilupakan

2.3.4 Dampak perubahan yang terjadi pada lansia

Perubahan dan penurunan fungsi tubuh pada lansia mempunyai

dampak terhadap tingkah laku dan perasaan orang yang memasuki lanjut

usia.Jika berbicara tentang menjadi tua, penurunan fungsi tubuh yang

paling banyak dikemukakan. Selain berbagai penurunan,ada sesuatu

yang dapat meningkat dalam proses menua,yaitu sensivitas emosional


35

seseorang.Hal ini yang akhirnya menjadi sumber banyak masalah pada

masa tua. Dapat dilihat mengenai beberapa dampak penurunan, misalnya

pada penurunan fisik yang berpengaruh terhadap penampilan seseorang.

Pada umumnya, saat usia dewasa, seseorang dianggap alami tampil

paling cakep,tampak atau paling cantik. Penurunan fisik tersebut yang

terjadi pada diri membuat seseorang akan berkesimpulan bahwa

kecantikan atau ketmapanan yang mereka miliki mulai hilang. Baginya, hal

ini berrati kehilangan daya tarik dirinya (H. wahjudi nugroho, 2015 ).

Gejala yang sering timbul pada masa lansia meliputi :

a. Gangguan pada haid, haid menajdi tidak teratur, kadang terjadi

perubahan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit.

b. Gelombang rasa panas (hot flush),kdang-kadang timbul rasa

panas pada wajah, leher, dan dada bagian atas, disusul dengan

keluarnya keringat yang banyak. Perasaan panas ini berlangsung

beberapa detik saja, tetapi bisa berlangsung sampai 30-60 menit.

c. Gejala psikologis berupa rasa takut, tegang, depresi, mudah sedih,

cepat marah, mudah tersinggung, gugup, dan mental yang, kurang

mantap. Bila masa mudanya mempunyai kecendurangan mudah

dipengaruhi keadaan emosional, wanita tersebut akan lebih

mengalami gangguan psikologis pada masa ini.


36

d. Keletihan, yaitu rasa ellah yang diakibatkan berhentinya fungsi

ovarium. Namun, tidak semua rasa lelah dapat diartikan sebagai

tanda menapouse.

e. Keadaan atrofi jaringan.

f. Rasa gatal pada genetalia disebabkan kulit menajdi kering dan

keriput.

g. Sakit dapat dirasakan diseluruh badan atau pada bagian tubuh

tertentu.

h. Pusing atau sakit kepala, keluhan ini dapat disebabkan karena

tekanan darah tinggi, adanya gangguan penglihatan, atau adanya

stres mental.

i. Insomnia atau kesulitan saat tidur. Hal ini dapat disebakan oleh

penyebab fisik dan psikis (40% dialami oleh lanjut usia).

- Penyebab faktor fisik: sering kecing,kram betis,sakit gigi,

nyeri seperti atritis, sindrom tungkai bergerak (akatisia)

- Penyebab faktor sosial : pertengkaran keluarga, menonton tv

sampai larut malam

- Penyebab faktor emosional : kecemasan, depresi,stres,

marah tidak tersalurkan, masalah pribadi.

- Penyebab faktor medis, penyakit jantung, penyakit paru,

diabetes melitus, apnea tidur.

- Penyebab faktor iatrogenik: teofilin, kartikostiroid,

anthipertensi, diuretik, antidepresi.


37

- Penyebab faktor perilaku: teralau banyak minum kopi, waktu

tidur berubah-ubah.

- Palpitasidan perubahan pada gairah seksual. Hal ini

disebabkan oleh pengaruh hormonal dan penagruh psikis.

Gejala kejiwaan yang timbul sangat berbariasi, mulai dari

yang ringan sampai berat. Keluhan yang sering timbul

adalah adanya rasa takut, tegang, gelisah, cepat marah,

mudah gugup, sukar konsentrasi, cepat lupa, dan susah

tidur. Wanita yang mengalami menapouse, terkadang

menafsirkan sebagai kehilangan fungsinya sebagai wanita

karena tidak bisa hamil dan mendaptkan anak lagi. Di lain

pihak ada yang menafsirkan akan berhentinya kehidupan

seksual.Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kerisauan

menghadapi masa tua sering kali juga menyangkut

kehidupan seksual.

2.4 Penelitian Terdahulu

1. Hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada lansia

di panti werdha budhi dharma Yogyakarta.

Marni & Yuniawati (2015) melakukan penelitian yang berjudul

hubungan antara dukungan sosial dengan penerimaan diri pada lansia di

panti werdha budhi dharma Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukan

diterimanya hipotesis awal yang diajukan oleh peneliti. Hasil pengujian

koefisien korelasi yaitu (r) sebesar 0,604 dan F sebesar 23,764 dengan

tarif signifikan (p) sebesar 0,000 (p<0,01) yang menunjkan bahwa adanya
38

hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan

penerimaan diri pada lansia di panti Wreda Budhi Dharma Yogyakarta.

Dengan demikian variabel dukungan sosial dapat digunakan sebagai

variabel bebas untuk memprediksi tingkat penerimaan diri pada lansia.

Berdasarkan kategorisasi skor variabel penerimaan drii, subjek yang

mempunyai penerimaan dri dalam kategori rendah sebabnyak 13,3%

kategori sedang sebanyak 68,9 % dan kategori tinggi sebanyak 17,8%

sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa penerimaan diri yang

diperoleh subjek dalam penelitian ini berada pada kategori sedang.

2. Penerimaan diri dalam menghadapi masa pendisun ditinjau dari status

sosial ekonomo.

Mutia (2016), penelitian ini menggunakan penelitian kuantitaif.

Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel

terikat. Adapun data penelitian ini diperoleh dari instrument penelitian

menggunakan model skala. Pada skala penerimaan diri menggunakan

skala likert dan pada status sosial ekonomi menggunakan model skala

guttman. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai

koefisien F sebesar 3,667 dengan nilai p sebesar 0,029<0,05 yang artinya

adanya perbedaan penerimaan dalam menghadapi masa pensiun ditinjau

dari status sosial ekonomi. Subjek dengan status sosial ekonomi tinggi

memiliki rata-rata penerimaan diri dari 96,581, status sosial ekonomi

sedang dengan rata-rata penerimaan diri 93,771, sedangkan subjek


39

dengan sosial ekonomi rendah memiliki rata-rata penerimaan diri yang

rendah pula yaitu 90,778. Subjek dengan status sosial ekonomi tinggi

lebih menerima dirinya dalam menghadapi pensiun, sedangkan subjek

yang berstatus sosial ekonomi rendah lebih merasa kehilangan pekerjaan

dan penghasilan keseharianya yang semakin berkurang untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari.

2.5 Kerangka Konsep


Lansia

Perubahan pada lansia

Perubahan fisik Perubahan sosial Perubahan


psikologi
Faktor yang
mempengaruhi Penerimaan diri lansia :
penerimaan diri:
Memiliki gambaran yang positif tentang
- Pemahaman diri dirinya, dapat mengatur dan dapat
- Harapan yang bertoleransi dengan rasa frustasi dan
realistispositif kemarahanya, dapat berinteraksi
- Tidak adanay dengan orang lain tanpa memusuihi
hambatan dari mereka apabila orang lain
lingkungan menyampaikan kritik, dan dapat
- Sikap sosial yang mengatur keadaan emosi.
positif
- Tidak adanya
stres yang berat Skala penerimaan diri
- Penagruh
keberhasilan
- Identifikasi
dengan orang
40

Deskripsi tentang
penerimaan diri:

- Tinggi
- Sedang
- rendah

Keterangan:

= Diteliti

= Tidak diteliti
= Yang saling Berhubungan
Gambar 2.1 kerangka konsep

2.5.1 Deskripsi Kerangka Konsep

Dari kerangka konsep diatas dijelaskan bahwa lansia mengalami

berbagai perubahan fisisk,sosial, dan psikologi. Perubahan yang terjadi

pada lansia terutama lansia yang tinggal dipanti jompo mengalami

perubahan sosial, dan permasalahan yang didapat adalah penerimaan diri

lansia. Dimana penerimaan diri pada lansia dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu, pemahaman diri, harapan yang realistis ,tidak adanya

hambatan dari lingkungan, sikap sosial yang positif, tidak adanya stres

yang berat, pengaruh keberhasilan, Identifikasi dengan orang yang

memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif diri yang baik, pola asuh

yang baik. Dalam penelitian ini, peneliti mengukur dengan skala

penerimaan diri, dengan mengkategorikan penerimaan diri

rendah,sedang, dan tinggi.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah hasil akhir dari satu tahap keputusan yang

dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa

diterapkan. Desain penelitian memberikan prosedur untuk mendapatkan

informasi yang diperlukan untuk menyusun atau menyelesaikan masalah

dalam penelitian. Desain penelitian merupakan dasar dalam melakukan

penelitian. Oleh sebab itu, desain penelitian yang baik akan menghasilkan

penelitian yang efektif dan efisien (Nursalam, 2010).

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mendiskripsikan

yakni menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat

(Notoadmodjo, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

gambaran sikap penerimaan lansia pada keluarga di Panti Werdha Tresno

Mukti Turen.

32
33

3.2 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan pentahapan suatu penelitian. Pada

kerangka kerja disajikan alur penelitian terutama variable yang akan

digunakan dalam penelitian.

Populasi: Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah lansia yang
tinggal di panti Werdha Tresno Mukti Turen sejumlah 40 orang.

Sampel: Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah lansia yang
tinggal di panti Werdha Tresno Mukti Turen sejumlah 40 orang.

Desain Penelitian: Deskriptif

Sampling: Total Sampling

Variabel: Sikap penerimaan lansia

Instrument pengumpulan data: Kuesioner

Pengolahan dan analisa data:

Coding, scoring, tabulasi,analisa univariate

Penyajian data

Penarikan Kesimpulan

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Gambaran Sikap Penerimaan Diri Lansia

Pada Keluarga di Panti Werdha Tresno Mukti Turen


34

3.3 Populasi, Sampel, Dan Sampling

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (notoatmodjo, 2018). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia

yang tinggal di Panti Werdha Tresno Mukti Turen sejumlah 40 lansia.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (notoatmodjo, 2018). Sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah lansia yang tinggal di Panti Werdha Tresno Mukti Turen

sejumlah 40 lansia.

3.3.3 Sampling

Sampling adalah proses seleksi dalam kegiatan observasi. Teknik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini total sampling yaitu teknik

penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai

sampel (Sugiyono, 2012). Peneliti menggunakan total sampling karena

peneliti mengambil semua anggota populasi untuk dijadikan sampel.


35

3.4 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

3.4.1 Identifikasi Variabel

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota

suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain

(Notoatmodjo, 2010). Variabel dalam penelitian ini yakni sikap penerimaan

diri lansia.

3.4.2 Definisi Operasional Variabel

Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian dari varibel-variabel

yang diamati atau diteliti, perlu sekali variabel-variabel tersebut diberi

batasan atau “Definisi Operasional” (Notoatmodjo, 2010).


Variabel Definisi Operasional Indikator Alat Ukur Skor Skala Variabel

Sikap penerimaan Sikap penerimaan Sikap penerimaan diri Kuesioner Ordinal a. Pernyataan positif (+)

diri lansia. diri lansia terhadap lansia  Sangat sering : score 5

perasaan yang  Sering : score 4

dirasakan saat  Kadang-kadang : score 3

berada di panti  Jarang : score 2

Werdha tresno  Tidak pernah: score 1


mukti. b. Pernyataan Negatif (-)

 Sangat sering : score 1

 Sering : score 2

 Kadang-kadang : score 3

 Jarang : score 4

 Tidak pernah: score 5

36
37

Kategori Score:

a. Tinggi : 76%-100%

b. Sedang : 56%-75%

c. Rendah : <56%
37

3.5 Pengumpulan dan Analisa Data

3.5.1 Proses Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam

suatu penelitian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui kuisioner penerimaan diri. Dalam hal ini peneliti menggunakan

kuisioner Mutia (2016), kuisioner ini digunakan untuk mengetahui

penerimaan diri lansia. Data diambil dengan prosedur sebagai berikut:

a. Peneliti mengajukan ijin penelitian untuk mendapatkan surat

pengantar dari institusi kepada Panti werdha Tresno Mukti Turen.

b. Setelah mendapatkan ijin penelitian dari Panti Werdha tresno Mukti

Turen, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

c. Peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan untuk

mendapatkan gambaran awal masalah penelitian di Panti werdha

Tresno Mukti Turen.

d. Kemudian mengidentifikasi letar belakang penyebab lansia di

tempatkan di Panti Werdha Tresno Mukti Turen.

e. Sebelum melakukan penelitian, peneliti mendatangi lansia atau

responden ke kamar lansia masing-masing.

f. Kemudian peneliti menjelaskan maksud dan tujuan kepada

responden atau lansia.

g. Jika subjek penelitian bersedia menjadi responden, peneliti

mengajukan persetujuan dengan menggunakan informed consent

pada lembar persetujuan.


38

h. Kemudian peneliti menjelaskan petunjuk pengisian kuisioner

kepada responden.

i. Selanjutnya peneliti akan membantu dalam pengisian data umum

hingga kuisioner.

j. Hasil penelitian penerimaan diri lansia dari masing-masing

resonden kemudian disusun dan dibuat rekapitulasi, selanjutnya di

olah dengan menggunakan master tabel di Ms. Excel.

3.5.2 Instrumen Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan

instrument penelitian dengan kuisioner. Penelliti menggunakan kuisioner

Mutia (2016), dibuat berdasarkan delapan aspek penerimaan diri. Pada

skala penerimaan diri menggunakan skala likert. Skala likert yang

digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur sikap lansia

terkait dengan penerimaan diri. Data dalam instrumen penelitian ini

dihasilkan dengan menggunakan pengukuran skala likert dalam bentuk

ceklis. Item dalam kuisioner ini terdapat jenis item yang favorable yaitu

item yang menunjukan pernyataan positif , dan unfavorable yaitu

pernyataan negatif.

Item- item dalam skala ini merupakan pernyataan dengan lima pilihan

jawaban, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), STS

(sangat tidak setuju).

3.5.3 Waktu dan Tempat Pengumpulan Data

Waktu dan tempat penelitian dilakukan pada bulan september di

panti Werdha Tresno Mukti Turen.


39

3.5.4 Analisa Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data

ringkasan dengan cara atau rumus tertentu. Pengolahan data meliputi :

1. Coding (pengkodean)

Coding adalah pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang

termasuk kategori sama.

Teknik pemberian kode dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Jenis Kelamin

1) Laki-laki diberi kode 1

2) Perempuan diberi kode 2

b. Umur

1) < 60 tahun diberi kode 1

2) 60-65 tahun diberi kode 2

3) 66-70 tahun diberi kode 3

4) >70 tahun diberi kode 4

c. Urutan responden

1) Responden pertama diberi kode n1

2) Responden kedua, dan seterusnya

2. Scoring

Pengukuran sikap penerimaan diri dilakukan melalui kuisioner yang

mencangkup aspek-aspek penerimaan diri. Pada skala penerimaan diri

menggunakan skala likert. Dalam penggunaan skala likert, terdapat dua

bentuk pernyataan positif untuk mengukur skala positif, dan bentuk

pernyataan negatif untuk mengukur skala negatif (Maryuliana,2016).


40

 Berdasarkan scorenya, ada lima pilihan skala yaitu :

a. Pernyataan positif

- Sangat sering : score 5

- Sering : score 4

- Kadang-kadang : score 3

- Jarang : score 2

- Tidak pernah: score 1

b. Pernyataan Negatif

- Sangat sering : score 1

- Sering : score 2

- Kadang-kadang : score 3

- Jarang : score 4

- Tidak pernah: score 5

 Dikategorikan dengan menggunakan rumus :

Sp
𝑁= 𝑥 100%
Sm

Keterangan :

N : Nilai

Sp : Skor yang didapat

Sm : Skor total

 Kategori Score:

a. Tinggi : 76%-100%

b. Sedang : 56%-75%

c. Rendah : <56%
41

3. Tabulasi

Pembuatan tabel-tabel yang berisi data yang telah diberi kode sesuai

dengan analisis yang dibutuhkan.

4. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa data

univariate.

3.6 Etika Penelitian

Dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan atau kelompok apapun,

manusia tidak terlepas dari etika atau moral. Demikian juga dalam

kegiatan keilmuan yang berupa penelitian, manusia sebagai pelaku

penelitian dengan manusia yang lain sebagai objek penelitian juga tidak

terlepas dari etika atau sopan santun. Dalam setiap hubungan anatar

kedua belah pihak, masing-masing terikat dalam hak dan kewajibanya.

Contoh yang paling sederhana dalam praktik kedokteran dimana selalu

terkait dnegan hubungan anatar dua pihak: dokter dan pasien. Dimana

masing-masing pihak ini, baik dokter maupun pasien selalu melekat hak

da kewajiban yang harus mereka akui dan patuhi. Apabila pihak yang satu

ingin menuntut haknya, ia juga harus melakukan kewajibanya terhadap

pihak yang lain (notoatmodjo, 2018).

Menurut Notoatmodjo (2018), beberapa prinsip dasar dan kaidah

etika penelitian adalah sebagai berikut :


42

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human

dignity)

Penelti perlu mempertimbangakanhak-hak subjek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan

penelitian tersebut. Disamping itu, peneliti juga memberikan

kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi atau tidak

memberikan informasi (berpartisipasi).

Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality).

Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi

dan kebebasan individu dalam memeberikan informasi. Setiap

orang berhak untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya

kepada orang lain.

2. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice an

inclusiveness).

Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan

kejujuran, keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan

peneliti dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan,

yakni dengan menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini

menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh perlakuan

dan keuntungan yang sama, tanpa membedakan jender, agama,

etnis, dan sebagainya.

3. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan

(balancing harms and benefits).


43

Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal

mungkin bagi amsyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian

pada khusunya. Peneliti hendaknya berusaha meminimalisasi

dampak yang merugikan bagi subjek.


37

Anda mungkin juga menyukai