Anda di halaman 1dari 4

Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8) pemberian nama gangguan jiwa biasanya sesuai dengan budaya

mereka masing-masing seperti misalnya:

1. Kesurupan (umum)

Kesurupan berasal dari bahasa Jawa yang berarti kemasukan sesuatu hal yang gaib. Kesurupan memang
selalu dikaitkan dengan fenomena gaib, yaitu seseorang yang kerasukan makhluk halus sehingga manusia
yang kerasukan mempunyai kepribadian ganda dan mulai berbicara sebagai individu lain. Menurut ilmu
medis modern, kondisi ini adalah suatu keadaan perubahan kesadaran yang disertai tanda–tanda yang
tergolong dalam gangguan disosiatif atau kepribadian ganda atau dapat pula merupakan gejala serangan
akut dari gangguan psikotik schizophreniform. Masyarakat JawaTimur misalnya selalu menggunakan
bantuan para dukun atau kyai dalam mengobati seseorang yang kesurupan. Dukun atau kyai
menggunakan efek-efek sound therapy dengan membacakan suluk dan para kyai biasanya membacakan
doa-doa dalam bahasa arab. Menurut pandangan mereka suluk maupun doa mampu mengusir roh halus
yang masuk dan menguasai raga dari penderita kesurupan.Suluk ataupun doa yang diucapkan atau
dilantunkan dengan intonasi yang baik dan teratur merupakan sound therapy sehingga dapat
menimbulkan ketenangan gangguan kejiwaan seseorang dengan ciri banyak mendengar suara-suara atau
teriakan di dalam dirinya Suluk adalah mantra yang dilantunkan dalam bentuk tembang mempunyai
nada, intonasi dan ritme yang teratur tersendiri bagi si penderita. Kalangan bangsa Barat menyebut
kesurupan dengan nama “exorcist”.

Beberapa penelitian mengenai kesurupan adalah sebagai berikut.

a. Prayitno dan Banunaek (1968) melaporkan kasus seorang wanita sekolah perawat gigi di Jakarta yang
mengalami sakit perut, pingsan, dan tidak ingat. Sesudah sadar, ia tidak ingat kejadian tersebut dan
merasa seperti dalam keadaan tidur. Kejadian ini berulang setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.

b. Djamaludin (1971) melaporkan mengenai fenomena hasolopan pada suku Batak di Medan, yang mirip
dengan kesurupan. Fenomena semacam ini lebih sering dialami wanita dari pada pria, kebanyakan anak-
anak pubertas, terjadi pada semua strata sosial, perasaan frustasi dan depresi. Penderita seolah-olah
hidup dalam dua dunia (gaib dan nyata).

c. Manus (1971) melaporkan fenomena kesurupan yang disengaja dilakukan oleh tonaas dengan tujuan
pengobatan. Tonaas adalah orang yang dikaruniai kemampuan yang dapat berkomunikasi dengan arwah
nenek moyang (opoopo), yang dianggap mempunyai kekuatan magis-mistik.

2. Bebainan (Bali)
Bebainan adalah kemasukkan “bebai“, yaitu roh yang dapat menguasai manusia, menyakiti, atau
membunuh. Bebai diperoleh dengan pemeliharaan dari kecil sampai dewasa, kemudian siap dipakai oleh
yang memelihara. Yang dapat mengobati bebainan adalah “balian“ (dukun). Gejalanya adalah perubahan
kesadaran, tingkah laku agitatif yang terjadi mendadak, disertai kebingungan, halusinasi dan gejolak
emosi. Episode ini cepat menghilang dan disertai periode amnesia. Penelitian mengenai bebainan ini
adalah dari Suryani (1981) mengenai fenomena bebainan di beberapa desa di Bali. Suryani melaporkan
bahwa lebih sering wanita usia muda atau belum kawin pernah mengalami bebainan. Hal ini disebabkan
oleh pengaruh hari raya Bali dan stress emosional.

3. Cekik (Jawa Tengah)

Cekik adalah suatu histeria konversi dengan kejang–kejang seluruh badan dan kesadaran menurun,
sebelum jatuh kejang selalu menunjukkan seperti orang tercekik lehernya. Sebagian besar mengalami
halusinasi visual menjelang atau saat serangan. Terjadi di desa Babalan, kecamatan Wedung, kabupaten
Demak, Jawa Tengah, pada setiap tahun dalam bulan puasa menjelang lebaran. Santoso dan Pranowo
menyebutnya sebagai “sindroma tekak“. Penelitian mengenai cekik ini adalah penelitian Sumitro (1981)
di desa Babalan, dan melaporkan bahwa wanita lebih sering mengalami cekik dari pada pria, hampir
merata pada umur dewasa, tingkat pendidikan dan sosial-ekonomi rendah, serta berhubungan dengan
kepercayaan mistik bahwa roh halus akan mengambil orang-orang tertentu di desa. Ternyata epidemi ini
hilang dengan sendirinya sesudah bulan Puasa terlewati. Masyarakat lokal Demak manganalisa
fenomena cekik sebagai gangguan dari hantu cekik yang muncul setahun sekali. Analisa tersebut terjadi
karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit-penyakit gangguan kejiwaan akibat budaya.

4. Koro (Sulawesi Selatan)

Koro adalah sindroma anxietas yang mendadak sampai dengan panik disebabkan oleh adanya waham
bahwa alat kelaminnya akan mengkerut masuk dan menghilang ke dalam tubuhnya sehingga dirinya
akan mati, pada umumnya terjadi pada laki–laki. Orang itu berusaha mencegah dengan cara memegang
erat– erat alat kelaminnya atau mengikat dengan tali, kalau perlu minta bantuan orang lain memegang
alat kelaminnya secara terus menerus. Dalam keadaan koro, orang–orang jenis kelamin berlawanan
dilarang berada di sekitar pasien, oleh karena dapat menyebabkan kematiannya. Serangan ini pada suatu
saat dapat menghilang sendiri dan pasienpun menjadi tenang kembali.

Beberapa penelitian mengenai koro ini adalah sebasgai berikut.

a. Baasir (1974) melaporkan mengenai penelitiannya di Sulawesi Selatan. Ia berpendapat perlunya


dibedakan antara “ koro like symdrome” dengan gangguan koro yang murni. Koro like syndrome
merupakan tambahan gejala dari gangguan jiwa lain, sedangkan koro murni merupakan culture bound
syndrome yang terikat pada budaya.
b. Tanumiharja (1984) melaporkan penelitiannya di Sulawesi Selatan. Ia membantah bahwa koro hanya
terjadi pada orang keturunan Cina. Koro dalam budaya Bugis dianggap penyakit syaraf yang tegang, yang
disebabkan oleh kelelahan fisik dan mental (alat kelamin adalah simbol vitalitas).

5. Amok ( Umum)

Amok terjadi pada suatu episode tunggal dimana terdapat kegagalan menekan impuls atau rangsangan,
yang mengakibatkan suatu tindak kekerasan yang ditujukan ke luar dirinya sehingga mengakibatkan
malapetaka bagi orang lain. Derajat tindak kekerasan yang terjadi sangat hebat bila dibandingkan dengan
stressor psikososial yang mendahuluinya. Setelah episode itu selesai, pasien tenang kembali dan
menyesal. Ia mengalami amnesia tentang sebagian atau seluruh perbuatannya itu. Menurut Arianto
(2004) Amok tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi juga di Malaysia, Singapore dan negara-
negara Melayu lainnya.

6. Latah (Umum)

Latah adalah suatu keadaan yang sering timbul pada wanita setengah tua, tidak bersuami yang biasanya
berasal dari kalangan rendah dengan kehidupan dan cara berpikir yang sederhana, gejalanya sering
diawali dengan mimpi–mimpi tentang alat kelamin laki–laki atau sesuatu yang melambangkan alat
kelamin yang bergantungan di dinding atau di dalam kamar tidurnya, dan apabila ia dikagetkan oleh
suara atau gerakan ia segera bereaksi koprolalia, echolalia atau echopraxia (hiper sugestibilitas). Setelah
episode ini berakhir, ia merasa malu, menyesal dan minta maaf atau menyalahkan orang yang telah
mengejutkan dirinya. Oleh masyarakat keadaan ini tidak dianggap sebagai gangguan jiwa dan terbanyak
terdapat di pulau Jawa. Penelitian mengenai latah ini adalah dari Soestiantoro (1985) yang mengulas
latah secara historis dengan mengambil kasus di Palembang. Menurutnya, fenomena latah belum banyak
diketahui, baik mengenai mekanisme psikopatologinya maupun hubungan dengan masalah budaya yang
kompleks. Namun akhir dekade ini latah seakan menjadi suatu trend di kalangan anak muda, karena
dianggap sebagai hal yang lucu dan gaul. Menurut analisa penulis, fenomena trend latah ini tidak lepas
dari perkembangan dunia hiburan pertelevisian. Para public figure seakan memakai latah sebagai alat
untuk melucu, sehingga masyarakatpun dengan mudah meniru dan menganggap latah sebagai “penyakit
yang keren”. Latah sendiri juga bisa terjadi dengan sengaja, saat seseorang ingin eksistensinya diakui di
masyarakat, dia berpura-pura menjadi seorang yang latah saat dikejutkan agar dilabeli sebagai orang
yang lucu dan gaul. Saat kejadian tersebut berlangsung kontinum, maka latah dalam arti penyakit
kejiwaan yang asli akan timbul dalam individu tersebut.

7. Gemblakan (Jawa Timur)

Gemblakan adalah suatu aktivitas homoseksual di kalangan pemuda yang diterima oleh tradisi
masyarakat setempat di Ponorogo, Jawa Timur. Aktivitas ini akan berakhir setelah mereka kawin.
Penelitian mengenai gemblakan adalah dari Yusuf dan Husodo (1982) di desa Bancar, Kabupaten
Ponorogo. Mereka menemukan bahwa gemblakan tersebut mempunyai dampak positif dalam
masyarakat, dengan timbulnya rasa kekeluargaan dan gotong royong. Karena orang yang melakukan
gemblakan biasanya orang-orang berpengaruh di kampung setempat, sehingga yang di gemblak merasa
bangga.

8. Ludruk (Jawa Timur)

Ludruk adalah kesenian panggung Jawa Timur, dahulu semua pemainnya adalah pria, termasuk mereka
yang memainkan peranan wanita, sebagian tergolong dalam “male transvestite“, sampai-sampai dalam
masyarakat Jawa Timur, seorang pria yang berpenampilan seperti wanita disebut “ wedhokan ludruk ”
atau dalam bahasa Indonesia berarti wanita ludruk. Jadi, dalam hal ini seorang pria yang memerankan
peran wanita baik dalam karakter fisik maupun tingkah laku dengan alasan apapun juga dianggap
mempunyai sutau gangguan jiwa yang disebut dengan ludruk. Penelitian mengenai ludruk adalah dari
Prasadio (1972) pada 38 pemain ludruk di Jawa Timur. Sekarang ini kesenian ludruk mengalami
perkembangan dengan mengambil wanita asli untuk memerankan tokoh wanita. Pemain ludruk wanita
yang terkenal saat ini adalah Kastini dari Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai