Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik, menurut Thomas


Bernard untuk menempatkan kedua teori ini dalam konteks pembahasan yang
lebih luas antara teori consensus (salah satu diantaranya adalah fungsionalisme
struktural) dan teori konflik.
Teori consensus memandang norma dan nilai sebagai landasan
masyarakat, memusatkan perhatian kepada keteraturan social berdasarkan atas
kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan social terjadi secara lambat
dan teratur, sebaliknya, teori konflik menekankan pada dominasi kelompok
social tertentu oleh kelompok lain, melihat keteraturan social didasarkan atas
manipulasi dan control oleh kelompok dominan dan memandang perubahan
social terjadi secara cepat dan menurut cara yang tak teratur ketika
kelompok-kelompok subordinat menggulingkan kelompok yang semula
dominan.
Meski criteria tersebut mendefinisikan perbedaan esensial antara teori
sosiologi fungsionalisme structural dan teori konflik, tidak boleh lupa bahwa
mereka mempunyai kesamaan yang penting. Dan seorang tokoh sosiolog
Bernard menyatakan bahwa “area kesamaan di antara keduanya jauh lebih
ekstensif ketimbang perbedaannya”. Misalnya, kedua-duanya sama-sama berada
di tingkat makro yang memusatkan perhatian pada “Struktur Social” dan
“Institusi Sosial” berskala luas. Akibatnya kedua teori itu ada dalam paradigma
“fakta social” atau sosiologi yang sama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Teori Fungsionalisme Struktural

2. Apa yang dimaksud dengan Teori Konflik

3. Bagaimana implikasinya bagi masyarakat indonesia

C. Tujuan

1
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosial Budaya

2. Untuk mengetahui apa itu teori Fungsionalisme Sttruktural

3. Untuk mengetahui apa itu teori Konflik

4. Untuk mengetahui implikasi dari teori fungsionalisme Struktural dan


teori konflik dalam ranah masyarakat Indonesia bersatu

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Teori Fungsionalisme Struktural

Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas


dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat
sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.
Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi
dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi.
Fungsionalisme Stuktural juga merupakan salah satu paham atau perspektif di
dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri
dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang
satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain.
Kemudian, perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan
ketidak -seimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada
bagian yang lain. Asumsi dasar teori ini [5] ialah bahwa semua elemen atau
unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga
masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya dengan baik.

Secara ekstrim teori ini mengatakan bahwa segala sesuatu di dalam


masyarakat ada fungsinya, termasuk hal-hal seperti kemiskinan, peperangan,
atau kematian. Teori ini juga menekankan kepada keteraturan (order) dan
mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi
manifest dan keseimbangan

Robert K. Merton berpendirian bahwa semua dalil fungsional tersebut


bersandar pada penegasan-penegasan nonempiris yang didasarkan pada
sistem-sistem teoritis abstrak. Sejak awal Merton menjelaskan bahwa analisis
fungsional struktural berfokus pada kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi, masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan.
Dia mengatakan bahwa setiap objek yang dapat ditundukkan kepada analisis
fungsional struktural harus “menggambarkan suatu item yang distandarkan”
(yakni, terpola dan berulang).

3
Teori Struktural Fungsional dalam menjelaskan perubahan-perubahan
yang terjadi di masyarakat mendasarkan pada tujuh asumsi:

1. Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri
dari berbagai bagian yang sering berinteraksi.

2. Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat
timbal balik.

3. Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, di mana penyesuaian yang ada
tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.

4. Integrasi yang sempurna di masyarakat tidak pernah ada, oleh karenanya


di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan
penyimpangan-penyimpangan.

5. Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahan-lahan


sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian.

6. Perubahan adalah merupakan suatu hasil penyesuaian dari luar, tumbuh


oleh adanya diferensiasi dan inovasi.

7. Sistem diintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.

Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri
atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu
dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan
membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Penganut teori ini
cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa
terhadapa sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa
suatu peristiwa atau suatu sistem dapat menentang fungsi-fungsi lainnya
dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan
bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu
masyarakat. Maka jika terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme
struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Singkatnya adalah masyarakat menurut kaca mata teori (fungsional)
senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan

4
tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur
fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada,
diperlukan oleh sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial
sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dalam keseimbangan.

Teori Fungsionalisme Struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat


bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini
disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah
masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu
sosiologi dan para ahli teori kontemporer. Secara garis besar fakta social
yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur
social dan pranata social. Menurut Teori Fungsionalisme Struktural, struktur
sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem social yang
berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan
menyatu dalam keseimbangan. Teori Fungsionalisme Struktural
menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa
setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya
kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan
sendirinya. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang
tergantung. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan
diri atau keseimbangan. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh
terhadap bentuk bagian-bagian lain. Sistem memelihara batas-batas dengan
lingkungan. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang
diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem cenderung
menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan pemeliharaan
hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan
lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah
sistem dari dalam.

B. Teori Konflik

5
Teori konflik bertentangan dengan fungsionalisme struktural.Hal itu karena
teori konflik memandang tidak mungkin terjadi keseimbangan
atau equilibrium jika dalam masyarakat atau sistem sosial terdapat
konflik.Konflik lahir karena keterbatasan sumber daya dan menurut Hobbes
naluri alamiah manusia untuk memenuhi ego. Sehingga konflik akan senantiasa
ada dalam sistem sosial.
Tokoh teori konflik adalah Karl Marx dan Max weber.Keduanya memiliki
pandangan yang berbeda mengenai konflik.Perbedaan gagasan keduanya terletak
pada Marx yang cenderung memandang konflik dari sudut pandang material
sementara Weber non-material. Oleh karena itu, teori konflik modern pun
terpecah menjadi dua tipe utama, yaitu teori konflik neo-Marxian dan teori
konflik neo-Weberian.
Pemikiran Marx memandang masyarakat dalam pendekatan kelas.Karl Mark
(stepehen K. Anderson, 1993:12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik
yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui
terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi.Sampai pada titik
tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dalam
produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan
produksi.Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelas-kelas sosial
berdasarkan kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka tidak memiliki
kekuatan-kekuatan produksi. Dalam masyarakat yang telah terbagi berdasarkan
kelas, maka kelas sosial yang memiliki kekuatan-kekuatan produksi dapat
mensub-ordinasikan kelas-kelas sosial yang lain sekaligus memaksanya untuk
bekerja memenuhi kepentingannya. Jadilah kelas dominan menjalin hubungan
dengan kelas-kelas yang tersub-ordinasi dalam sebuah proses eksploitasi
ekonomi. Secara alamiah saja, kelas-kelas yang tersub-ordinasi ini akan marah
karena dieksploitasi dan terdorong untuk memberontak dari kelasnya. Dalam
situasi ini, hanya Negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan
kekuatan.
Dengan pemikiran demikian, Marx telah melakukan pendekatan konflik.
Artinya masyarakat terpecah dan akan berkonflik ketika kelas tertentu memiliki
faktor produksi sementara kelas yang lain tidak memiliki faktor produksi. Dalam
uraian selanjutnya, Marx menyebut kelas yang memiliki faktor produksi adalah

6
kaum borjuis dan kelas yang tidak memilikifaktor produksi adalah kaum
proletar. Maka yang terjadi adalah adanya “penindasan” oleh kaum borjuis
kepada kaum proletar.“Penindasan” itu berupa pemaksaan terhadap kaum
proletar untuk memenuhi kepentingan kaum borjuis.Inilah yang disebut
ekploitasi ekonomi. Sekeras apapun usaha kaum proletar justru akan
memperkaya kaum borjuis. Dampaknya, akanada kemarahan yang berujung
revolusi untuk membuat ketertiban sosial dari kaum proletar.
Analisis Marx menjadi inspirasi pendekatan konflik modern. Dalam hal ini
Stephen k Sanderson (1993:12) menyebutkan bahwa, beberapa strategi konflik
marsian-modern adalah sebagai berikut:
1. Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik atau pertentangan
diantara dan didalam kelompok-kelompok yang bertentangan.
2. Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan-kekuasaan politik merupakan
hal penting, sehingga berbagai kelompok berusaha merebutnya.
3. Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah pembagian masyarakat menjadi
kelompok yang determinan secara ekonomi dan kelompok yang
tersubordinasi.
4. Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh
sosial dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang
determinan.
5. Konflik dan pertentangan sosial didalam dan diantara berbagai masyarakat
melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakan perubahan sosial.
6. Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial,
maka perubahan sosial menjadi hal yang umum dan sering terjadi.

Selanjutnya Weber memiliki pandangan yang berbeda. Menurut R. Collins


(Stephen K. Anderson 1993: 13), Weber meyakini bahwa konflik terjadi dengan
cara yang jauh lebih dari sekedar kondisi-kondisi material. Weber mengakui
bahwa konflik dalam memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri
dasar kehidupan sosial. Tetapi jangan dilupakan bahwa banyak tipe-tipe konflik
lain yang juga terjadi. Diantara berbagai tipe konflik tersebut, Weber
menekankan dua tipe yang sangat penting.

7
Pertama, yaitu bahwa konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang
sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan
pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu
dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak menganggap
pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya Weber
melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan untuk memperoleh
keuntungan ekonomi. Lebih jelasnya Weber melihat dalam kadar tertentu
sebagai tujuan pertentangan itu sendiri ; ia berpendapat bahwa pertentangan
untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi- organisasi
politik formal, tetapi juga terjadi di dalam setiap tipe kelompok seperti organisasi
keagamaan dan pendidikan. Jadi, secara subtansial perbedaan antara Marx dan
Weber adalah:
1. Marx berpendapat bahwa konflik disebabkan adanya pertentangan antar
kelas.Dalam hal ini antara kaum proletar dan kaum borjuis.Konflik tersebut
disebabkan karena faktor kepemilikan faktor produksi. Sehingga menurut
Marx ketika kapitalis dihentikan dan diganti dengan sosialis maka konflik
akan terhenti.
2. Weber berpendapat bahwa pertentangan adalah kesemestian dalam
kehidupan masyarakat. Ia percaya sistem apapun, baik kapitalis ataupun
sosialis orang akan senantiasa berkonflik untuk mendapatkan sumber daya
yang terbatas.

C. Implikasinya terhadap masyarakat Indonesia

Implikasi terhadap masyarakat Indonesia bersatu dari sudut pandang Teori


Fungsionalisme Struktural, masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari
para anggotanya akan nilai nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai
kemampuan mengatasi perbedaan perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu
keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan kumpulan
sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.

Menurut teori Struktural Fungsional jika di hubungkan dengan Indonesia,


bangsa Indonesia adalah suatu sistem sosial besar yang terbentuk karena adanya

8
konsensus nilai-nilai yang disepakati oleh seluruh komponen sistem. Meskipun
komponen-komponen yang membentuk sistem sosial tersebut mempunyai latar
belakang yang berbeda-beda, mereka telah membangun struktur ketergantungan
satu sama lain. Akibat adanya saling ketergantungan itulah terbentuk
keseimbangan yang membuat bertahannya sistem kebangsaan Indonesia dan
terbentuknya masyarakat Indonesia bersatu

Sedangkan menurut teori Konflik jika di hubungkan dengan Indonesia,


negara kita akhir-akhir ini tengah diuji dengan berbagai kerusuhan yang
memuncak dengan keinginan sebagian wilayah untuk lepas dari NKRI.
Munculnya polarisasi daerah yang cenderung menguat tersebut dipicu oleh
adanya perbedaan kepentingan yang saling bertentangan antara mereka yang
menguasai dan yang dikuasai. Kepentingan daerah yang seringkali tidak
terpenuhi melahirkan perasaan tidak diperlakukan secara adil.

Sebuah sistem sosial tidak bisa lepas dari konflik. Namun, teori konflik juga
bisa dianggap terlalu pesimistis. Bagaiamana tidak, konflik dalam sudut tertentu
bisa saja positif dan membangun. Karena dengan adanya konflik manusia akan
berpikir. Berpikir untruk mencari pemecahan. Dan, Pemecahan konflik akan
berujung konsensus yang tentu saja akan berdamapak pada pembaharuan nilai
sosial yang jauh lebih baik. Memang pandangan Coser sedikit lebih halus karena
berbicara akan fungsionalisme konflik. Sehingga cakupannya lebih kepada
konflik yang berasal dari ketegangan yang tidak terinstitusionalisasi. Namun,
teori konflik juga berhasil memaparkan realitas sosial apa adanya dan tidak
normatif.
Adapun mengenai fungsi dari adanya konflik dalam implikasi masyarakat
indonesia bersatu, yaitu:

1. Sebagai alat untuk solidaritas. Konflik dapat mendorong menguatnya


solidaritas kelomppok ketika sebuah konflik terjadi, masing-masing
kelompok akan berusaha memperkuat solidaritas dari masing-masing
anggota kelompoknya. Selain itu, ketika persaingan dilakukan dengan
benar dan jika kejujuran diutamakan, maka akan ada keselarasan dalam
kelompok sehingga tercipta kekompakan.

9
2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain. Sama
halnya dengan memunculkan sebuah kompromi baru apabila pihak yang
berkonflikdalam kekuatan yang seimbang.

3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.

4. Fungsi komunikasi. Sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak


mengetahhui posisi lawaan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas
antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara
pasti dimana mereka berdiri dan karena itu dapat mengambil keputusan
lebih baik untuk bertindak dengan lebih cepat.

10
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Teori Fungsionalisme Struktural

Teori ini menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan


perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamnya adalah
fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Menurut
teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa
perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa
setiap struktur sosial dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain dan
dapat diartikan bahwa setiap peristiwa dan semua struktur sosial adalah
fungsional bagi suatu masyarakat.

2. Teori Konflik

Teori ini dibangun untuk menentang secara langsung terhadap teori


fungsionalisme struktural. Dalam teori konflik masyarakat senantiasa berada
dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus
di antara unsur-unsurnya. Teori Konflik melihat bahwa setiap elemen
memberikan sumbangan terhadap diintegrasi sosial. Keteraturan dalam
masyarakat hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan
kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Pertentangan terjadi
dikarenakan golongan berkuasa berusaha untuk mempertahakan status quo
sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan
perubahan-perubahan.

11
3. Implikasi

Implikasi terhadap masyarakat Indonesia bersatu dari sudut pandang


Teori Fungsionalisme Struktural, masyarakat terintegrasi atas dasar
kesepakatan dari para anggotanya akan nilai nilai kemasyarakatan tertentu
yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan perbedaan sehingga
masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional
terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat
merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan
dan saling ketergantungan, bangsa Indonesia adalah suatu sistem sosial besar
yang terbentuk karena adanya konsensus nilai-nilai yang disepakati oleh
seluruh komponen sistem. Meskipun komponen-komponen yang
membentuk sistem sosial tersebut mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda, mereka telah membangun struktur ketergantungan satu sama
lain. Akibat adanya saling ketergantungan itulah terbentuk keseimbangan
yang membuat bertahannya sistem kebangsaan Indonesia dan mendorong
terbentuknya masyarakat Indonesia bersatu

Impikasi dalam masyarakat Indonnesia bersatu menunrut teori konflik,


konflik dalam sudut tertentu bisa saja positif dan membangun. Karena
dengan adanya konflik manusia akan berpikir. Berpikir untruk mencari
pemecahan. Dan, Pemecahan konflik akan berujung konsensus yang tentu
saja akan berdampak pada pembaharuan nilai sosial yang jauh lebih baik.
Adapun mengenai fungsi dari adanya konflik dalam implikasi masyarakat
indonesia bersatu, yaitu

a) Sebagai alat untuk solidaritas.

b) Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.

c) Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.

d) Fungsi komunikasi

12
DAFTAR PUSTKA

Marzali, Amri. 2006. Struktural-Fungsionalisme. ANTROPOLOGI INDONESIA,


30(2), 127-128.

Mila, Chusnul. 2018. makalah sistem sosial " pendekatan stuktural fungsional dalam
sistem sosial.
https://www.academia.edu/36406099/makalah_sistem_sosial_pendekatan_stuktural_f
ungsional_dalam_sistem_sosial. diakses pada 16 Oktober 2019.

Ritzer, George. 2011. SOSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN BERPARAADIGMA


GANDA. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Situmorang, Patricia. 2015. Teori fungsionalisme struktural.


https://www.academia.edu/24633321/Teori_fungsionalisme_struktural. diakses pada
16 Oktober 2019.

13

Anda mungkin juga menyukai