Anda di halaman 1dari 16

Laporan Praktikum

Agroklimatologi

KLASIFIKASI CURAH HUJAN

Nama : Andi Rifdah Rosyadah Saad


NIM : G021181316
Kelas : Agroklimatologi B
Kelompok :4
Asisten : 1. Yopie Brian Suryadi Panggebean
2. Liana Irene Mangetan

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48'
-122°36' Bujur Timur. Luas wilayahnya 45.764,53 km². Pola iklim di Sulawesi
Selatan sangat unik karena kondisi iklim di Sulawesi Selatan hanya dipengaruhi
oleh faktor lokal seperti angin barat, kondisi geografis serta kondisi topografi
seperti daerah pegunungan, berlembah dan banyaknya pantai. Secara klimatologis
wilayah Sulawesi Selatan terdapat 28 pola hujan, dimana 24 pola merupakan Zona
Musim (ZOM) yang terbagi dengan jelas antara musim hujan dan musim
kemarau, dan 4 pola Non Zona Musim (ZOM).
Kabupaten Enrekang adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi
Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Enrekang. Kabupaten
ini memiliki luas wilayah 1.786,01 km² dan berpenduduk sebanyak ± 190.579
jiwa.
Hujan adalah sebuah peristiwa presipitasi (jatuhnya suatu cairan dari
atmosfer yang berwujud cair maupun beku ke permukaan bumi) berwujud cairan.
Curah hujan atau yang sering disebut presipitasi adalah jumlah air hujan yang
turun pada daerah tertentu dalam waktu tertentu. Curah hujan juga dapat
dikatakan sebagai air hujan yang terkumpul di tempat datar yang tidak menguap,
tidak meresap dan tidak mengalir setelah hujan turun.
Klasifikasi iklim merupakan usaha untuk mengidentifikasi dan mencirikan
perbedaan iklim yang terdapat di bumi. Akibat perbedaan latitudo (posisi relatif
terhadap khatulistiwa, garis lintang), letak geografi, dan kondisi topografi, suatu
tempat memiliki kekhasan iklim.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilaksanakan praktikum ini untuk
mengetahui cara menginput data curah hujan, menghitung curah hujan, cara
penentuan tipe iklim, cara menentukan peluang dan cara menentukan
perengkinan.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui keadaan iklim atau
curah hujan suatu wilayah dan untuk mengetahui cara menghitung data dari hasil
pengamatan curah hujan suatu wilayah.
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar dapat dijadikan sebagai informasi
keadaan curah hujan pada suatu wilayah tertentu sehingga kita dapat menentukan
waktu yang tepat dalam melakukan suatu kegiatan dalam hal bercocok tanam.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hujan dan Curah Hujan


Hujan ialah bentuk umum dari semua bentuk air yang jatuh dari atmosfer ke
suatu permukaan bumi. Hujan atau yang disebut dengan istilah prespitasi
merupakan bentuk pengendapan atau pengembalian air yang telah diuapkan ke
atmosfer jatuh kembali menuju ke permukaan bumi baik itu berupa daratan
maupun suatu lautan. Hujan berlangsung setelah massa air yang terangkat ke
atmosfer telah mengalami proses kejenuhan atau kondensasi atau mengalami
pengembunan sehingga terjadi suatu pembentukan butir-butir air yang terjadi di
daerah tropis atau lintang rendah dan butir es di daerah kutub atau lintang tinggi
sehingga mempunyai kecepatan jatuh dan ukuran butir yang cukup untuk dapat
mengimbangi suatu gaya gradient ke atas (Sabaruddin, 2014).
Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam
waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain gauge.
Curah hujan diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan. Curah hujan juga dapat
dikatakan sebagai air hujan yang terkumpul di tempat datar yang tidak menguap,
tidak meresap dan tidak mengalir setelah hujan turun.Curah hujan yang jatuh di
wilayah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah bentuk
medan/topografi, arah lereng medan, arah angin yang sejajar dengan garis pantai
dan jarak perjalanan angin diatas medan datar (Handoko, 2013).
Curah hujan didefinisikan sebagai tinggi air hujan (dalam mm) yang diterima
di permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan
atau perembesan ke dalam tanah. Jumlah hari hujan dibatasi oleh jumlah hari
dengan tinggi curah hujan 0,5 mm atau lebih. Jumlah hari hujan dapat dinyatakan
per minggu, dekade, bulan, tahun atau satu periode tanam. Sedangkan jumlah
curah hujan dicatat dalam inci atau mm (1 inci = 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1
mm, menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan bumi 1 mm, jika air
tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer (Hermawan, 2009).
2.2. Tipe-Tipe Hujan
Kurnia (2016) mengatakan bahwa ada beberapa jenis hujan yang lazim
yaitu:
1. Hujan Siklonal
Hujan ini terjadi karena adanya udara yang panas, suhu tinggi yang disertai
pula dengan angin yang berputar. Hal ini terjadi karena adanya pertemuan antara
angin pasat timur laut dan juga angin pasat tenggara, yang kemudian angin itu
akan naik dan terjadi sebuah penggumpalan diatas awan yang berada pada garis
khatulistiwa.
2. Hujan Frontal
Hujan ini terjadi karena adanya pertemuan antara massa udara yang dingin
suhu yang rendah dan massa udara pabnas suhu tinggi. Biasanya perbedaan kedua
massa tersebut bertemu di front yaitu salah satu tempat yang paling mudah terjadi
kondensasi dan pembentukn awan. Berbagai jenis cuaca dapat ditemukan di
sepanjang front tutupan denga kemungkinan terjadinya badai petir, namun
biasanya jalur mereka dikaitkan dengan penguapan massa air.
3. Hujan Muson
Hujan muson ini terjadi karena adanya pergerakan semu matahari dengan gars
balik utara dan selatan, hujan ini turun dalam kurun waktu tertentu. Dan biasanya
musim kemarau dan hujan, seperti yang terjadi di indonesia.
4. Hujan Zenithal (Hujan Konveksi)
Hujan ini terjadi karena adanya pertemuan angin pasat timur laut danangin
pasat tenggara. Hal ini menyebabkan awan yang memiliki massa berat mengalami
penurunan suhu yang berakibat terjadinya kondensasi, dan terjadi turun hujan.
Biasanya hujan ini terjadi didaerah tropis.
5. Hujan Orografis
Merupakan hujan yang terjadi karena adanya angin yang mengandung uap air,
kemudian arah pergerkannya secara horizontal.perjalanan angin tersebut harus
melewati pegunungan yang menyebabkan suhu angin menjadi dingin akibat
adanya proses kondensasi (saat melewati pegunungan tadi).
2.3. Macam-Macam Klasifikasi Curah Hujan
2.3.1. Schmidt-Ferguson
Tipe iklim ini menggolongkan iklim dengan indikator utama bulan basah,
bulan lembab, bulan kering. Indikator yang digunakan untuk menentukan bulan
basah, bulan kering dan bulan basah adalah sebagai berikut: - Bulan Basah (BB) :
curah hujan > 100 mm per bulan. - Bulan Lembab (BL) : curah hujan 60-100 mm
per bulan - Bulan Kering (BK) : curah hujan < 60 mm per bulan Schmidt-
Ferguson melakukan penelitian untuk menentukan kategori bulan di atas lalu
dihitung rata-ratanya, hasilnya muncul angka di atas tadi (Susanto, 2017).
Rumus untuk menghitung iklim ini menggunakan Model Q yaitu:
Q = banyak bulan kering x 100%
banyak bulan basah
Schmidt-Fergoson membagi tipe iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di
tipe iklim tersebut sebagai berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya
adalah hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan
hujan tropis, tipe iklim C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan
jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau, tipe iklim
D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak kering) jenis
vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan savana,
tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan tipe iklim H
(ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang (Lakitan, 2002).
Tipe Hujan Rasio Q Kelas Iklim
A 0 ≤ Q < 0,143 Sangat basah
B 0,143 ≤ Q < 0,333 Basah
C 0,333 ≤ Q < 0,6 Agak basah
D 0,6 ≤ Q < 1,0 Sedang
E 1,0 ≤ Q < 1,67 Agak kering
F 1,67 ≤ Q < 3,0 Kering
G 3,0 ≤ Q < 7,0 Sangat basah
H Q ≥ 7,0 Luar biasa kering
Sumber: Susanto, 2017
2.3.2. Oldeman
Menurut Yani (2009), pembagian wilayah iklim Oldeman berdasarkan data
curah hujan menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Iklim A : Jika terdapat lebih dari 9 bulan basah berturut-turut.
2. Iklim B : Jika terdapat 7 – 9 bulan basah berurutan.
3. Iklim C : Jika terdapat 5 – 6 bulan basah berurutan.
4. Iklim D : Jika terdapat 3 – 4 bulan basah berurutan.
5. Iklim E : Jika terdapat kurang dari 3 bulan basah berurutan.
Dalam sistem klasifikasi ini, unsur iklim yang digunakan adalah hujan dan
berhubungan dengan pertanian. Tanaman pertanian dibedakan menjadi tanaman
padi sawah dan tanaman palawija yang memiliki kebutuhan air yang berbeda.
Tanaman padi sawah membutuhkan air rata-rata 200 mm/bulan pada musim
penghujan sedangkan tanamanpalawija membutuhkan air rata-rata 100 mm/bulan
pada musim kemarau (Widyatmanti dan Dini, 2009).
Selain didasarkan pada bulan basah, Oldeman juga memperhitungkan
bulan kering yang ditempatkan sebagai subregion dari kelima tipe iklimtersebut.
Simbol yang digunakan tidak lagi berupa huruf, tetapi berupa angka. Berdasarkan
stratifikasi kedua, dengan memperhitungkan bulan keringnya, Oldeman membagi
wilayah iklimnya atau yang disebut zone agroklimat (Yani 2008).
Menurut Yani (2009), zone agroklimat dapat dilihat pembagiannya seperti
di bawah ini:
o Zona A :Jika terdapat > 9 bulan basah berurutan.
o Zona B1 :Jika terdapat 7 – 9 bulan basah berurutan dan < 2 bulan kerinh.
o Zona B2 :Jika terdapat 7 – 9 bulan basah berurutan dan 2 – 4 bulan kering.
o Zona C1 :Jika terdapat 5 – 6 bulan basah berurutan dan < 2 bulan kering.
o Zona C2 :Jika terdapat 5 – 6 bulan basah berurutan dan 2 – 4 bulan kering.
o Zona C3 :Jika terdapat 5 – 6 bulan basah berurutan dan 5 – 6 bulan kering.
o Zona D1 :Jika terdapat 3 – 4 bulan basah berurutan dan < 2 bulan kering.
o Zona D2 :Jika terdapat 3 – 4 bulan basah berurutan dan 2 – 4 bulan kering.
o Zona D3 :Jika terdapat 3 – 4 bulan basah berurutan dan 5 – 6 bulan kering.
o Zona D4 :Jika terdapat 3 – 4 bulan basah berurutan dan > 6 bulan kering.
o Zona E1 :Jika terdapat < 3 bulan basah berurutan dan < 2 bulan kering.
o Zona E2 :Jika terdapat < 3 bulan basah berurutan dan 2 – 4 bulan kering.
o Zona E3 :Jika terdapat < 3 bulan basah berurutan dan 5 – 6 bulan kering.
o Zona E4 :Jika terdapat < 3 bulan basah berurutan dan > 6 bulan kering.
2.3.3. Koppen
Klasifikasi iklim menurut Koppen berdasarkan rata-rata curah hujan dan
temperatur, baik bulanan maupun tahunan. Hal itu disebabkan curah hujan dan
temperatur merupakan unsur yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan di
permukaan bumi. Berdasarkan alasan tersebut Koppen membagi permukaan bumi
menjadi lima golongan iklim (Suryanto, 2013).
MenurutSuryanto (2013), Kelompok A yaitu iklim tropis/megatermal,
dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Iklim hutan hujan tropis (Af):
Mengalami kelembaban 60 mm (2.4 in) ke atas sepanjang 12 bulan. Iklim ini
terjadi pada garis lintang 5-10° dari khatulistiwa. Di beberapa wilayah pantai
timur, dapat pula mencapai 25° dari khatulistiwa. Iklim ini didominasi oleh
Sistem Tekanan Rendah Doldrums sepanjang tahun, oleh sebab itu tidak
mengalami perubahan musim.
2. Iklim monsun tropis (Am):
Jumlah hujan pada bulan-bulan basah dapat mengimbangi kekurangan hujan
pada bulan-bulan kering, sehingga pada daerah ini masih terdapat hutan yang
sangat lebat dan curah hujan yang lebat.
3. Iklim basah dan kering atau sabana tropis (Aw):
Jumlah hujan pada bulan-bulan basah tidak dapat mengimbangi kekurangan
hujan pada bulan-bulan kering, sehingga vegetasi yang ada hanyalah padang
rumput dengan pohon-pohon yang jarang.
Menurut Suryanto (2013), Kelompok B yaitu iklim kering
(gersang/semigersang), dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Stepa (Bs):
Daerah setengah kering yang terletak antara daerah sabana dan daerah padang
pasir pada lintang rendah.
2. Iklim padang pasir
Menurut Suryanto (2013), Kelompok C yaitu iklim sedang/mesotermal, dibagi
menjadi 4 yaitu:
1. Iklim mediterania (Csa, Csb):
Iklim Mediterania adalah iklim pada kebanyakan wilayah cekungan
mediterania sebagai bagian dari iklim subtropis. Di luar Mediterania, iklim jenis
ini terdapat di wilayah California, sebagian Australia barat dan selatan, Afrika
Selatan bagian barat daya dan sebagian dari Chili tengah.
2. Iklim subtropis (Cfa, Cwa):
Kondisi iklim subtropis diwarnai dengan gangguan dan rintangan dari alam
seperti badai, hujan salju, atau tornado. Daerah beriklim subtropis memiliki 4
musim yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin.
3. Iklim sedang maritim atau iklim laut (Cfb, Cwb):
Iklim yang biasanya ditemukan di sepanjang pantai barat di area garis lintang
tengah di beberapa benua di dunia, dan juga di area tenggara Australia. Iklim
dekat lautan mengalami musim panas yang sederhana dingin dan musim dingin
yang agak hangat dibandingkan musim dingin dalam iklim lain.
4. Iklim subarktik maritim atau iklim laut subkutub (Cfc):
Kawasan beriklim Samudera Subkutub bercirikan iklim lautan, cuma terletak
lebih dekat dengan area Kutub. Oleh itu, area ini lebih dingin dibandingkan iklim
lautan yang lain. Iklim Samudera Subkutub mengalami selebih-lebihnya tiga
bulan suhu rata-rata bulanan melebihi 10° C (50° F). Seperti iklim lautan, tidak
suhu rata-rata bulanan yang kurang dari -3° C (26.6° F).
Menurut Suryanto (2013), Kelompok D yaitu iklim benua/mirkotermal,
dibagi 4 yaitu:
1. Iklim benua musim panas (Dfa, Dwa, Dsa)
2. Iklim benua musim panas hangat atau hemiboreal (Dfb, Dwb, Dsb)
3. Iklim subarktik kontinental atau boreal (taiga) (Dfc, Dwc, Dsc)
4. Iklim subarktik kontinental dengan musim dingin ekstrem (Dfd, Dwd)
MenurutSuryanto (2013), Kelompok E yaitu iklim kutub, bibagi 2 yaitu:
1. Iklim tundra (ET)
Tundra adalah suatu area dimana pertumbuhan pohon terhambat dengan
rendahnya suhu lingkungan sekitar karena itu disebut daerah tanpa pohon. Pada
area ini, mayoritas tumbuhan yang hidup biasanya berupa lumut, rerumputan.
Tundra biasanya hidup di daerah dingin.
2. Iklim kutub es (EF)
Iklim kutub adalah iklim dingin yang terdapat di daerah kutub. Di daerah
itu musim dingin berlangsung lama, musim panas yang sejuk berlangsung singkat,
udaranya kering, tanahnya selalu membeku sepanjang tahun, saat musim dingin
seluruh tanah ditutupi es, memiliki jenis vegetasi berupa lumut-lumutan dan
semak-semak.

2.3.4. Mohr
Iklim Mohr adalah penggolongan iklim berdasarkan rata-rata
pengelompokan jumlah bulan basah dan bulan kering pertahun lalu dirata-ratakan.
Bulan basah adalah bulan yang curah hujannya melebihi 100 mm, sedangkan
bulan kering adalah bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm. Antara bulan
basah dan bulan kering disebut bulan lembab. Bulan lembab ini tidak termasuk
dalam perhitungan menurut tipe ilkim dari Mohr (Kertasapoetra, 2009).
Tabel 1. Bulan Basah dan Bulan Kering Menurut Mohr
Zona Jumlah Bulan Basah Jumlah Bulan Kering
Ia 12 0
Ib 7 – 11 0
II 4 – 11 1–2
III 4–9 2–4
IV 4–7 4–6
V 4–5 6–7
Sumber: Kertasapoetra, 2009
BAB III

METODOLOGI

1.1 Tempat dan Waktu


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 8, 15 dan 22 Oktober
2019 pukul 08.00 WITA-selesai di Laboratorium Ekofisiologi dan Nutrisi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
1.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah laptop dan proyektor atau
LCD sebagai alat persentase
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah data curah hujan Kabupaten
Wajo 19 tahun terakhir dan alat tulis menulis.
3.3 Prosedur kerja
3.3.1. Klasifikasi iklim Schmidt- Ferguson
Adapun prosedur kerja klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson dalah sebagai
berikut :
1. Menyiapkan data mentah pada kecamatan tertentu yang telah ditentukan oleh
asisten.
2. Menentukan jumlah curah hujan yang terjadi dalam satu decade.
3. Membuat tabel pembobotan pada decade 3.
4. Membuat tabel perengkingan di urut dari urutan terbesar hingga terkecil.
5. Membuat tabel peluang dengan persentase 40%, 50% dan 60%.
6. Membuat grafik berdasarkan tabel peluang.
7. Menghitung dan memilih jumlah bobot hujan yang ada dengan ketetapan
Schmidt-Ferguson yaitu:
a. Bulan basah (BB) > 100 mm/bulan
b. Bulan lembab (BL) 60-100 mm/bulan
c. Bulan kering (BK) < 60 mm/bulan
3.3.2. Klasifikasi iklim menurut Oldeman
Adapun prosedur kerja klasifikasi iklim Menurut Oldeman sebagai berikut :
1. Menyiapkan data mentah pada kecamatan tertentu yang tekah ditentukan oleh
asisten.
2. Menentukan jumlah curah hujan yang terjadi dalam satu dekade.
3. Membuat tabel pembobotan pada dekade 3.
4. Membuat tabel perengkingan di urut dari terbesar ke terkecil.
5. Membuat tabel peluang dengan persentase 40%, 50% dan 60%.
6. Membuat grafik berdasarkan tabel peluang.
7. Menghitung dan memilih jumlah bobot hujan yang ada dengan ketetapan
Oldeman, yaitu:
a. Bulan basah (BB) > 200 mm/bulan
b. Bulan lembab (BL) 100-200 mm/bulan
c. Bulan kering (BK) <100 mm/bulan
8. Menentukan tipe utama iklim Oldeman, yaitu:
a. Iklim A : jika ada > 9 bulan basah berturut-turut
b. Iklim B : jika ada 7-9 bulan basah berturut-turut
c. Iklim C : jika ada 5-6 bulan basah berturut-turut
d. Iklim D : jika ada 3-4 bulan basah berturut-turut
e. Iklim E : jika ada <3 bulan basah berturut-turut
9. Menentukan sub tipe Oldeman seperti:
a. Tipe 1 : bulan kering berjumlah ≤ 1
b. Tipe 2 : bulan kering 2-3 kali
c. Tipe 3 : bulan kering 4-6 kali
d. Tipe 4 : ada > 6 bulan kering
3.3.3. Cara Penentuan Klasifikasi Curah Hujan
1. Mengambil data curah hujan selama 12 tahun pada tempat yang telah
ditentukan.
2. Mengetik ulang data curah hujan.
3. Mengetik data curah hujan per dekade serta jumlahnya.
4. Mencari bobot dari data curah hujan pada dekade ketiga serta jumlahnya
dengan formula pada Microsoft Excel sebagai berikut:
a. Untuk dekade ketiga digunakan formula =10/jumlah hari dekade
ketiga*(nilai dekade ketiga)
b. Untuk jumlah digunakan formula =30/jumlah hari dalam satu bulan*(nilai
jumlah curah hujan dalam satu bulan)
5. Membuat rangking data curah hujan serta jumlahnya dari yang paling besar
sampai yang paling kecil nilainya.
6. Membuat grafik dari rangking data curah hujan per bulan selama 12 tahun.
7. Membuat peluang 40%, 50%, dan 60% data curah hujan per dekade serta
jumlahnya dengan formula pada Microsoft Excel.
a. Untuk peluang 40% digunakan formula =(jumlah tahun+1)*40%;
b. Untuk peluang 50% digunakan formula =(jumlah tahun+1)*50%;
c. Untuk peluang 60% digunakan formula =(jumlah tahun+1)*60%;
8. Membuat rataan data curah hujan per dekade serta jumlahnya dengan formula
pada Microsoft Excel =Rangking awal-(Rata-rata per dekade atau jumlah).
9. Menentukan peluang data curah hujan per dekade serta jumlahnya untuk
peluang 40%, 50%, dan 60% dengan formula pada Microsoft Excel =(Nilai
rataan/jumlah tahun+1)*100
10. Membuat grafik dari masing-masing peluang data curah hujan 40%, 50%, dan
60% dan grafik dari gabungan peluang data curah hujan 40%, 50%, dan 60%.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.2. Pembahasan
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca berdasarkan waktu yang panjang.
Sedangkan curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada daerah
tertentu dalam waktu tertentu.
2. Berdasarkan klasifikasi iklim Scmidht-Ferguson, didapatkan hasil bahwa
Kabupaten Wajo termasuk dalam tipe iklim F atau tipe iklim kering.
Schmidt-Ferguson mengklasifikasikan iklim berdasarkan jumlah rata-rata
bulan kering dan jumlah rata-rata bulan basah.
3. Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, didapatkan hasil bahwa Kab. Wajo
termasuk dalam tipe iklim E2. Oldeman mengklasifikasikan bulan basah dan
bulan kering dikaitkan dengan kegiatan pertanian di daerah tertentu sehingga
penggolongan iklimnya disebut juga zona agroklimat.
5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum ini praktikum dilakukan dengan tertib agar
praktikan mampu mehami materi dengan jelas.
DAFTAR PUSTAKA

Handoko. 2003. Klimatologi Dasar. Bogor: FMIPA-IPB


Hermawan Eddy. 2009. Analisis Perilaku Curah Hujan di Atas Kototabang Saat
Bulan Basah dan Bulan Kering. Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Yogyakarta.

Kertasapoetra, Ince Gunarsih. 2009. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah


dan Tanaman. Jakarta: BUMI AKSARA.
Kurnia Hidayat Asep Et Al 2016, Analisis Curah Hujan Efektif Dan Curah Hujan
Dengan Berbagai Periode Ulang Untuk Wilayah Kota Tasikmalaya Dan
Kabupaten Gabut. Jurnal Siliwangi, Vol. 2, No. 2, November 2016.
Sabaruddin, Laode. 2014. Agroklimatologi.Alfabeta:Bandung.
Susanto Tri. 2017. Analisis Curah Hujan, Tipe Iklim, dan Evaprotranspirasi
Potensial di Kota Medan Kab/Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Medan:
Universitas Negeri Medan. Diakses pada tanggal 21 April 2019.
Suryanto,2013. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi Pertanian dan
Strategi Adaptasi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas
Maret. Jurnal Ekonomi Dan Studi Pembangunan, vol. 2 (1), hal.42-52.
Yani, Ahmad dan Mamat Ruhimat. 2008. Geografi: Menyingkap Fenomena
Geosfer 1. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Anda mungkin juga menyukai