Anda di halaman 1dari 3

UPACARA NGABUKTI DI MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIPTAGELAR

Mendengar nama “kampung adat


Ciptagelar” barangkali sudah tak asing lagi
ditelinga kengkawan mahasiswa Prodi Sastra
Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Bahkan beberapa angkatan khususnya pada
Prodi Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati
Bandung telah melakukan riset di kampung
adat tersebut. Kampung adat Ciptagelar
sendiri merupakan sedikit dari komunitas subsistem Sunda yang masih bertahan hingga
kini. Kampung adat Ciptagelar merupakan satu dari sepuluh kampung adat yang
“tertinggal”, yakni diantaranya; kampung Naga, kampung Dukuh, kampung adat Cireundeu,
kampung Citorek, kampung Cikondang, kampung Pulo, kampung Baduy, kampung Urug,
dan kampung Kuta.
Kampung adat Ciptagelar ini tepatnya berlokasi di Desa Sirna Resmi, Kecamatan
Cisolok, Sukabumi, kira-kira sekitar 25 km dari Pelabuhan Ratu. Kampung adat Ciptagelar
sendiri, jika dihitung dari berlangsungnya upacara Seren Taun,1 telah ada dari sekitar 649
tahun yang lalu dan mewarisi adat-istiadat
Sunda terutama dalam hal pertanian.
Pertanian dalam adat-istiadat Ciptagelar,
terdiri dari beberapa prosesi yang
diantaranya ialah Mabay2, Mipit3, Ngaseuk4,
Ngunjal5, Lantaian6, Seren Taun dan
Ngabukti.

1 Upacara adat yang dilangsungkan sebagai sebuah perayaan panen (pesta panen).
2 Upacara mengawinkan padi.
3 Upacara memanen padi.
4 Upacara menanam padi.
5 Prosesi membawa padi dari sawah dan huma untuk kemudian dimasukkan ke leuit (lumbung padi).
6 Menjemur padi pada tiang bambu.
Ngabukti ialah prosesi adat yang
merupakan salah satu rangkaian dalam pesta
panen masyarakat Ciptagelar. Upacara
Ngabukti merupakan upacara menanak nasi
hasil panen pertama hingga dihidangkan
sebagai bentuk laporan hasil panen setelah
semua padi di sawah dan huma7 dituai. Pada
prosesi Ngabukti yang diselenggarakan
tepatnya pada tanggal 27 Agustus 2018 lalu, prosesi adat dimulai dengan menumbuk padi,
mencuci beras, dan menanak nasi hasil panen yang dilakukan oleh seluruh ibu-ibu
masyarakat Ciptagelar pada sejak pukul 06.00 hingga pukul 07.00 pagi. Disisi lain,
kelompok pemburu yang ditunjuk oleh Rorokan Paninggaran8, terdiri dari para pemuda
dan bapak-bapak berburu mencek9 sejak
pukul 03.00 dini hari hingga pukul 07.00 pagi.
Pada prosesi menumbuk padi,
mencuci beras hingga menanak nasi ini,
prosesi dilakukan terpusat di dapur Imah
Gede10 dan tidak ada seorang pria pun yang
boleh memasuki area dapur tersebut. Seluruh
pria pada saat prosesi tersebut terpusat dipelataran dapur menyiapkan lauk pauk untuk
makan malam bersama; dimulai dari menyembelih hewan buruan, hewan ternak dan
mencuci sayuran.
Selagi menunggu prosesi memasak untuk makan malam bersama selepas magrib
berlangsung, di depan Imah Gede berlangsung juga berbagai hiburan-hiburan khas
masyarakat Ciptagelar seperti pertunjukkan angklung buncis, wayang, bajidoran dan
jaipongan tak henti-henti dari sekitar pukul 09.00 pagi hingga sekitar pukul 05.00 sore hari.
Selepas margib, sebelum prosesi makan malam berlangsung, seluruh Rorokan berkumpul
dan melaporkan hasil panen ke ketua adat (Abah Ugi). Dalam prosesi pelaporan hasil panen

7 Ladang padi di tanah kering.


8 Rorokan, semacam menteri (orang kepercayaan ketua adat yang mengurusi bidang-bidang keahlian
tertentu). Rorokan Paninggaran ialah menteri dalam bidang berburu.
9 Menjangan atau rusa.
10 Balai pertemuan seluruh masyarakat Ciptagelar sekaligus juga tempat bagi menjamu tamu.
ini, tidak ada yang boleh memasuki Imah Gede selain Abah Ugi dan ketujuh Rorokan sampai
prosesi pelaporan panen tersebut selesai.
Acara puncak pada upacara Ngabukti, yakni makan malam bersama di Imah Gede
pun dimulai setelah prosesi laporan selesai. Seluruh masyarakat Ciptagelar mulai
memasuki Imah Gede. Semua warga duduk berbanjar mengelilingi sudut-sudut ruangan
Imah Gede. Piring-pring yang berisi lauk pauk dan boboko11 pun estafet dimulai dari dapur
hingga berpindah dari satu tangan warga ke tangan yang lain hingga seluruh warga
mendapatkan hidangan santap malamnya. Tak berhenti pada prosesi makan malam saja,
upacara Ngabukti kembali dilanjutkan dengan suguhan hiburan wayang, angklung buncis,
bajidoran, jaipongan, dan dangdut hingga pukul 03.00 dini hari.

NB: Foto merupakan karya Handar Wibyan dan hasil dokumentasi upacara adat Ngabukti
pada penelitian Pantun Munding Jalingan Pada Upacara Mipit di Masyarakat Ciptagelar yang
diketuai oleh Lili Awaludin dan Bunyamin Fasya.

Wanda Anggara. Alumni Prodi Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan
2013. Mahasiswa aktif Program Magister Ilmu Sastra Pascasarjana Universitas Padjajaran.

11 Tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu.

Anda mungkin juga menyukai