Anda di halaman 1dari 10

SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Hilda Destiyana1

A. Pendahuluan
Peradilan di Indonesia adalah merupakan salah satu institusi pelaksana kekuasaan
kehakiman, yakni suatu kekuasaan Negara yang merdekan untuk menyelenggarakan paradilan
guna menegaskan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara
hukum republik Indonesia. Di mana dalam tata hukumnya, UU No. 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan
agama adalah merupakan tiang pancang dan dasar genggaman keberadaan agama di negara kita
Hukum acara adalah aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana beracara di depan
persidangan pengadilan.2 Hukum acara disebut juga hukum formil sebagai kebalikan dari hukum
materiil. Hukum formil yaitu aturan-aturan yang mengatur tata cara untuk mempertahankan
hukum materiil. Sedangkan hukum acara peradilan agama adalah segala peraturan baik yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat islam yang mengatur
bagaimana cara bertindak di persidangan pengadilan agama dan juga mengatur bagaimana cara
pengadilan agama menyelesaikan perkaranya untuk mewujudkan hukum materiil Islam yang
menjadi kekuasaan peradilan agama.3
Hukum acara peradilan agama selain mengatur tata cara beracara di persidangan bagi
para pihak yang berperkara dipengadilan, juga mengatur tata cara pengadilan unutk memeriksa
dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan agar tercapai keadilan dan ketertiban hukum.
Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama menyatakan: “hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang”.
Hukum acara perdata sebagaumana yang berlaku pada peradilan umum. Hukum acara
perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantara hakim4

1
Mahasiswa HES 5H Hukum Ekonomi Syariah fakultas Syariah IAIN Surakarta
2
Gatot asaupramono. Hukum Pembuktian di peradilan Agama, Alumni, Bandung, 1993, hlm.13
3
Raihan A. rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Press, Jakarta, 1991, hlm. 10
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 2.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Hukum Acara Peradilan Agama?
2. Apa hubungan Hukum Acara Peradilan Agama dengan Hukum Acara Perdata?
3. Apa saja sumber Hukum Acara Peradilan Agama?
C. Pembahasan
1. Pengertian hukum acara peradilan agama
Sumber hukum acara peradilan agama adalah aturan-aturan yang mengatur tentang
bagaimana beracara di depan persidangan pengadilan. Hukum acara peradilan agama selain
mengatur tata cara beracara dipersidangan bagi para pihak yang berperkara dipengadilan,
juga mengatur tata cara pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan ke
pengadilan agar tercapai keadilan dan ketertiban hukum.
2. Kedudukan peradilan agama dalam Negara Hukum RI
Realisasi pada penegasan UU Dasar tersebut adalah UU No. 14 Tahun 1970 yang telah di
tambah dan diubah dengan UU No. 35 TAHUN 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman. Sebelumnya, pada permulaan Indonesia merdeka dilaksanakan antara
lainoleh UU No.1 tahun 1950 tentang susunan, kekuasaan dan jalan pengadilan Mahkamah
Agung Indonesia, UU No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Karena UU yang terakhir itu UU No. 19 tahun 1964 masih berbau Nasakom
(Nasional, Agma, dan Komunis) dan tidak mencerminkan pelaksaan kekuasaan kehakiman
secara murni dan konsekuen sesuai ketentuan UU Dasar 1945, UU tersebut diganti oleh UU
No. 14 tahun 1970 tersebut di atas yang sekarang telah ditambah dan diubah dengan UU No.
35 tahun 1999.
Kekuasaan kehakiman dimkasud menurut pasal 10 No. 14 tahun 1970 yang telah di
tambah dan diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tersebut dalah dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer, dan
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Keempat bada peradilan tersebut, satu sama lainnya mempunyai kedudukan sama dan
sejajar, yang kesemuanya berpuncak pada mahkamah agung sebagai penagdilan negara tertinggi
5
untuk susunan kekuasaan dan acara dari badan peradilan sebagaimana ditegaskan di atas yaitu
Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara berdasarkan pasal 12 UU No. 14 Thuan 1970 di

5
Drs. Taufiq Hamami, S.H, kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, PT
Alumni, Bandung, 2003, hlm. 44
atur oleh UU tersendiri. Reaksi daripada ketentuan pasal ini yang pada hakikatnya untuk
melaksanakan UU Dasar 1945 (pasal 24 dan 25) untuk:
1. Peradilan umum, telah dikeluarkan UU No.2 tahun 1982, lembaran negara No. 2
tahun 1982, lembaran negara no. 20 tahun 1986 tentang peradilan umum.
2. Peradilan agama telah dikeluarkan UU no. 7 tahun 1989, lembaran No. 49 tahun
1989 tentang peradilan agama.
3. Peradilan militer, telah dikeluarkan UU No. 31 tahun 1992. Acaranya di atur
dengan ketentuan-ketentuan khushs tentang acara yang berlaku di lingkungan
peradilan militer.
4. Peradilan Tata Usaha Negara telah di keluarkan UU No. 5 tahun 1986, lembaran
Negara No. 77 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, mengenai acara
sekaligus di muat di dalam acara UU tersebut6
3. Hukum acara perdata
Sumber hukum acara perdata di peradilan umum masih tersebar dalam berbagai
peraturan-peraturan yang sebagian merupakan peninggalan pemerintahan colonial belanda dan
sebagian lagi merupakan produk hukum pemerintah Republik Indonesia.
Adapun sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut:
 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau disebut juga reglemen Indonesia Baru (RIB)
atau reglemen Indonesia diperbaharui, yaitu hukum acara perdata yang berlaku bagi
golongan bumiputera dan timur asing bukan tionghoa di wilayah jawa dan Madura
 Rechtsreglement Buitengeweten (RBg) yaitu hukum acar perdata bagi golongan
bumiputera dan timur asing selain wilayah tionghoa di wilayah luar jawa dan Madura.
 UU No. 20 tahun 1947 tentang pengadilan peradilan ulangan.
 Reglement op de burgerlijke Rechtsvordering (BRV atau RV) yaitu hukum acara perdata
yang berlaku bagi golongan eropa dan timur asing tionghoa.
 Burgerlijke Wetboek (BW) perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa) yang
memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-
hubungan hukum.
 Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleider Yustitie (RO) peraturan yang
mengatur tentang organisasi kehakiman.
 UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan beserta peraturan pemerintah nomor 9 tahun
1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1975 tentang pelaksaan UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan.
 UU No. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung dirubah menjadi UU No. 5 tahun 2004
tentang perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang mahkaman agung dan UU No. 3

6
Ibid, pasal 2.
tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU no. 14 tahun 1986 tentang mahkamah
agung7.
 UU No. 2 tahun 1986tentang peradilan umum dirubah menjadi UU No. 8 tahun 2004
tentang perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan UU NO. 49
tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU no. 2 tahun 1986 tentang peradilan Umum
dan UU No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 2 tahun 1986 tentang
peradilan umum.8
 Peraturan mahkamah agung (PERMA) dan surat edaran mahkamah agung (SEMA) yang
khusus ditujukan kepada pengadilan-pengadilan di bawahnya (pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi) yang berisi instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk bagi para hakim
menghadapi perkara perdata, mempengaruhi hukum acara perdata.
 Yurisprudensi, yaitu putusan hakim agung yang diikuti oleh hakim-hakim dalam
memberikan putusannya dalam kasus yang serupa.
4. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi hukum islam merupakan salah satu sumber hukum acara di peradilan agama
selain hukum acara yang diatur dalam UU no. 7 tahun 1989 dan hukum acara yang berlaku pada
pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Dalam menangani perkara-perkara di pengadilan agama para hakim pengadilan agama
berpegangan pada kitab-kitab fikih karangan para ulama fikih sehingga dalam penanganan suatu
perkara yang sama terdapat perbedaan dalam penetapan maupun putusan pengadilan agama
sebagai produk-produk pengadilan agama 9
Terjadinya perbedaan produk peradilan agama digambarkan oleh M. yahya Harahap
sebagai berikut:
“akibat sikap dan perilaku para hakim yang mengidentikkan fikih dengan syariah atau hukum
islam, lahirlh berbagai produk putusan pengadilan agama sesuai dengan latar belakang
madzhab yang dianut dan digandrungi.” 10
Pada tahun 1991 tercapaikan keseragaman dan standardisasi hukum materiil di
pengadilan agama dengan adanya kompilasi hukum islam dengan instruksi presiden Nomor 1
tahun 1991 yang menginstrusikan menteri agama agar menyebarluaskan kompilasi hukum islam
yang terdiri dari:
1. Buku I tentang Hukum Perkawinan
2. Buku II tentang Hukum Kewarisan

7
Munawir Sadzali, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, dalam Moh. Mahfud, M.D., dkk (editor) peradilan
agama dan kompilasi hukum islam dalam tata hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 2
8
Ibid
9
Munawir Sadzali, peradilan agama dan kompilasi hukum islam, dalam Moh. Mhfud, M.D., dkk (editor), peradilan
agama dan kompilasi hukum islam dalam tata hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 2.
10
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam
Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Al-Hikmah dan Direktorat Binbaga PAI, Jakarta,1992, hlm.21.
3. Buku III tentang Hukum Perwakafan.
5. penjelasan produk peradilan agama
(a) Putusan
Pengertian putusan
Putusan disebut vonnis (belanda) atau al-qadha’(arab) yaitu produk
pengadilan agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara,
yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk pengadilan semacam ini dapat
diistilahkan dengan “produk pengadilan yang sesungguhnya” atau jurisdiction
cententiosa.11
Macam-macam putusan
Mengenai macam-macam putusan, HIR tidak mengaturnya secara
terperinci. Diberbagai literature, pembagian macam atau jenis putusan tersebut
terdapat keaneragaman. Tentang macam-macam putusan ini tidak terdapat
keseragaman dalam penjabarannya.
 Jenis putusan dilihat dari segi fungsinya
a. Putusan Akhir ialah putusan- putusan yang mengakhiri pemeriksaan
di persidangan, baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan
maupun yang belum menempuh semua tahap pemeriksaan 12
b. Putusan Sela ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses
pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalan
pemeriksaan.
 Jenis putusan dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak.
a. Putusan Gugur13 ialah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak hadir.
b. Putusan Verstek 14adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat
tidak hadir15. Keputusan Verstek diatur dalam pasal 125 HIR dan 196-
197 HIR, pasal 148-153 R.Bg. dan 207-208 R.Bg. UU nomor 20 tahun
1947 dan SEMA nomor 9 tahun 1964.
 Jenis putusan dilihat dari sifatnya menurut sifatnya16, putusan dibagi
menjadi tiga macam, yaitu;
a. putusan declaratoir yaitu putusan yang menyatakan atau
menerangkan keadaan atau status hukum.
b. Putusan constitutive yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan
hukum dan menibulkan suatu keadaan hukum yang baru.

11
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2007), 203
12
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Pernikahan dan Realita (Malang: UIN-Malang Press,
2009), 270
13
Pasal 124 HIR/pasal 148 R.Bg.
14
Pasal 125 HIR/pasal 49 R.Bg.
15
Gemala Dewi,Op.,Cit.204
16
Hammami, 2003: 174-177
c. Putusan condematoir yaitu putusan yang bersifat menghukum
kepada salah satu pihak

 Asas pelaksanaan putusan


1. Putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, kecuali
pelaksanaan putusan uitvoerbaar bij voorad, putusan provinsi 17,
putusan perdamaian18,dan eksekusi berdasarkan Grose akta19
2. putusan tidak dilaksanakan secara sukarela20, meskipun sudah
dilakukan teguran oleh ketua pengadilan agama.
3. Putusan mengandung amar condematoir. Ciri putusan yang
bersifat condematoir mengandung salah satu amar diawali dengan
kata menghukum atau memerintahkan.
4. eksekusi dibawah pimpinan ketua pengadilan agama.21
(b) Penetapan
a. Pengertian penetapan
Penetepan disebut al-isbat (arab) atau beschiking (belanda). Yaitu
pernyataan hakim yang dituangkan dalm bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam siding terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara permohonan/volountair22
b. Macam-macam penetapan
Apabila dilihat dari sisi kemurnian bentuk vlountaria dari suatu penetapan,
maka penetapan ini dapat kita bagi menjadi dua macam yaitu:
 Penetepan murni dalam bentuk voluntaria. Sebgaimana telah
dijelaskan bahwa penetapan merupakan hasil dari perkara permohonan
(vlonutair) yang bersifat tidak berlawanan dari para pihak. Inilah yang
dimaksud dengan perkara murni voluntaria.
 Penetapan bukan dalam bentuk voluntaria. Selain penetapan dalam
bentuk murni voluntaria, di lingkungan peradilan agama ada bebrapa
jenis perkara di bidang perkawinan yang produk pengadilan agamanya
berupa penetapan, tapi bukan voluntaria murni. Didalam produk
penetapan tersebut ada pihak pemohon dan termohon, teteapi para
pihak tersebut harus dianggap sebagai penggugat dan tergugat,
sehingga penetapan ini harus dianggap sebagai putusan.
c. Bentuk dan isi Penetapan

17
Pasal 180 ayat (2) HIR/pasal 191 ayat (1) R.Bg.
18
Pasal 180 ayat (2) HIR/pasal 191 ayat (1) R.Bg. dan Pasal 54 Rv.
19
Pasal 130 ayat (2) HIR/pasal 154 ayat (2) R.Bg.
20
Pasal 224 HIR/ pasal 258 R.Bg.
21
Pasal 195 ayat (1) HIR/pasal 206 ayat (1) R.Bg.
22
Lihat pasal 60 UU Nomor 7 Tahun 1989.
Bentuk da nisi penetapan hampir sama saja dengan bentuk da nisi
putusan walaupun ada juga sedikit perbedaan. Di antaranya adalah:
1. Identitas pihak-pihak pada penetapan hanya memuat identitas
pemohon. Kalaupun disitu dimuat identitas termohon, tapi termohon di
situ bukan pihak.
2. Tidak ada kata-kata “berlawanan dengan”.
3. Tidak akan ditemui kata-kata “tentang duduk perkaranya” seperti pada
putusan, melainkan langsung diuraikan apa permohon pemohon.
4. Amar penetapan hanya bersifat declaratoir
d. Kekuatan Penetepan
Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun
untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetepan hanya berlaku untuk pemohon
sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh haknya.
6. Dasar Hukum dan wewenang peradilan agama
Keberadaan peradilan agama selain didasarkan kepada peraturan perundang-
undangan yang telah ada sebelumnya (pada masa orde baru) juga terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan peradilan agama
atau kewenangan peradilan agama. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah: 1.
UU nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan UU nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-
pokok kekuasaan kehakiman di Indonesia. 2. UU nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakikamn di Indonesia. 3. UU nomor 18 tahun 2001 tentang pembentukan
mahkamah syariah di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. 4. Kepres RI nomor 21 tahun
2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan peradilan
umum, tata usaha negara dan peradilan agama ke mahkamah agung. 5. Undang-Undang
tahun 2006 tentang perubahan atas UU nomor 7 1989 tentang peradilan agama23.
7. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Dalam perkara ekonomi syariah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan dan
penyelesaian sengekta ekonomi syariah, dikeluarkan peraturan mahkamah agung nomor 2
tahun 2008 tentang peraturan mahkamah agung republic Indonesia tentang kompilasi
hukum ekonomi syariah. Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:
1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, menggunakan sebagai
pedoman prinsip syariah dalam kompilasi hukum ekonomi syariah.
2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam kompilasi hukum ekonomi
syariah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk
menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

23
Asasriwarni, peradilan agama di Indonesia, (padang:hayfa Press, 2008), hal.88
Kompilasi hukum ekonomi syariah terdiri dari:
 Buku I tentang subjek Hukum dan amwat
 Buku II tentang akad
 Buku III tentang zakat dan hibah
 Buku IV tentang akuntansi syariah
8. Qanun
Terdapat pengkhususan dalam lingkungan peradilan agama di Indonesia dengan adanya
undang-undang ini, yaitu untuk daerah Nangroe Aceh Darussalam, pelaksana peradilan di NAD
adalah mahkamah syar’iyah untuk peradilan tingkat pertama dan mahkamah syar’iyah propinsi
sebagai pengadilan tingkat banding dan untuk tingkat kasasi dilakukan oleh mahkamah agung
sebagai peradilan tertinggi.
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syariat islam dalam system hukum
nasional yang diatur dalam Qanun Nangroe Aceh Darussalam Nomor 10 tahun 2002 tentang
perailan syariat islam.24
Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan
syariat islam, kewenangan peradilan agama di Aceh meliputi:
- Ahwal syahsiyah (hukum keluarga)
- Muamalah (hukum perdata)
- Jinayah (hukum pidana)
Yang didasarkan atas syariat islam dan akan diatur dalam Qanun Aceh.
9. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Sebelum adanya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan UU no. 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama belum ada peraturan resmi yang mengatur tentang hukum acara di peradilan
agama. Para hakim dilingkungan peradilan agama menggunakan kitab-kita fikih yang berisi ilmu
pengetahuan hukum yang ditulis oleh para ahli fikih sebagai dasar untuk memeriksa dan
mengadili perkara dipengadilan. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan penerapan hukum
antara satu pengadilan agama dengan pengadilan agama yang lain.25
Adanya perbedaan penerapan tersebut Departemen Agama melalui Biro Peradilan Agama
mengeluarkan surat edaran No. B/1/1735 tanggal 18 februari 1958 yang berisi anjuran agar
hakim peradilan agama menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam
kitab fikih sebagai beriku26t: Al Bajuri, Fathul Mu’in, Sarqawi at Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al
Mahalli, Fathul Wahhab dan syarahnya, Tuhfah, targib al Mustaq.

24
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara peradilan Agama, CV. Mandar Maju, Bandung:2018
25
Drs. H. A. Basiq Jalil, S.H., M.A., peradilan agama di Indonesia. Gemuruh politik hukum (hukum islam, hukum
barat, hukum adat dalam rentang sejarah bersama pasang surut lembaga peradilan hingga lahirnya peradilan
syariah islam aceh), Jakarta, 2006, hlm.151.
26
Drs. H.A. Basiq Jalil, S,H., M.A., Op. Cit.,hlm.157
D. kesimpulan
Dan akhirnya, penulis sampai pada kesimpulan dari makalah ini. Berdasarkan uraian di
atas, dapat ditarik kesimpulan:
Hukum acara adalah aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana beracara di
depan persidangan pengadilan. Hukum acara disebut juga hukum formil sebagai kebalikan dari
hukum materiil. Hukum formil yaitu aturan-aturan yang mengatur tata cara untuk
mempertahankan hukum materiil. Sedangkan hukum acara peradilan agama adalah segala
peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat
islam yang mengatur bagaimana cara bertindak di persidangan pengadilan agama dan juga
mengatur bagaimana cara pengadilan agama menyelesaikan perkaranya untuk mewujudkan
hukum materiil Islam yang menjadi kekuasaan peradilan agama.
Hukum acara peradilan agama selain mengatur tata cara beracara di persidangan bagi
para pihak yang berperkara dipengadilan, juga mengatur tata cara pengadilan unutk memeriksa
dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan agar tercapai keadilan dan ketertiban hukum.
Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama menyatakan: “hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang”.
Sumber- sumber hukum acara peradilan agama
1) HIR/RBg
2) UU No. 7 Tahun 1989
3) UU No. 14 Tahun 1970
4) UU No. 14 Tahun 1985
5) UU No. 1 Tahun 1974 Jo PP No. 9 Tahun 1975
6) UU No. 20 Tahun 1947
7) Inpres No. 1 tahun 1991 (kompilasi hukum islam)
8) Surat Edaran MA RI
9) Peraturan menteri agama
10) Keputusan menteri agama
11) Kitab-kitab fikih islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya
12) Yurispudensi MA
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama, CV. Mandar Maju, Bandung:
2018
Gatot Asaupramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Alumni, Bandung, 1993.
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan agama, Rajawali Press, Jakarta, 1991
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 1981
Munawir Sadzali, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, dalam Moh. Mahfud, M.D., dkk
(editor) peradilan agama dan kompilasi hukum islam dalam tata hukum Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 1993

M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Al-Hikmah dan Direktorat Binbaga PAI,
Jakarta,1992

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2007)

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Pernikahan dan Realita (Malang: UIN-
Malang Press, 2009)

Asasriwarni, peradilan agama di Indonesia, (padang:hayfa Press, 2008)

Drs. H. A. Basiq Jalil, S.H., M.A., peradilan agama di Indonesia. Gemuruh politik hukum (hukum
islam, hukum barat, hukum adat dalam rentang sejarah bersama pasang surut lembaga peradilan
hingga lahirnya peradilan syariah islam aceh), Jakarta, 2006

Anda mungkin juga menyukai