Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327679757

MEKANISME MOLEKULAR ANALGESIK (MOLECULAR MECHANISM OF


ANALGESIC)

Chapter · September 2018

CITATIONS READS

0 3,188

2 authors:

Shahdevi Nandar Eko Aprilianto Handoko


Brawijaya University Brawijaya University
39 PUBLICATIONS   15 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Dermatology and Neurology View project

mTOR and Epilepsy View project

All content following this page was uploaded by Shahdevi Nandar on 16 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MEKANISME MOLEKULAR ANALGESIK
(MOLECULAR MECHANISM OF ANALGESIC)

HOW CITE THIS ARTICLE :

Kurniawan, S. N., Handoko, E. A. 2018. Mekanisme Molekular Analgesik


(Molecular Mechanism of Analgesic) dalam Continuing Neurological
Education (CNE-7), Comprehensive Approach To Pain Management. UB
Media, Universitas Brawijaya, Malang. p29-49. ISBN 978-602-462-103-2
MEKANISME MOLEKULAR ANALGESIK
(MOLECULAR MECHANISM OF ANALGESIC)
Shahdevi Nandar Kurniawan, Eko Aprilianto Handoko

Pendahuluan
Nyeri merupakan pengalaman yang kompleks terkait sensoris dan
emosional, umumnya tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan
jaringan tubuh, serta berfungsi sebagai protektif dan peringatan terhadap ancaman
kesehatan kita (Council, 2001).
Tatalaksana nyeri secara umum dikategorikan menjadi farmakologi dan
non-farmakologi. Terapi Farmakologi merupakan pilihan utama dalam
tatalaksana Nyeri. Lebih dari setengah populasi dengan nyeri memilih analgesik
sebagai pilihan awal untuk mengurangi rasa nyeri. 1 dari 5 orang Amerika
mengkonsumsi analgesik setiap harinya. Sama seperti tipe nyeri, beberapa sistem
digunakan dalam mengklasifikasikan analgesik. Secara umum, analgesik secara
luas dikategorikan menjadi 3, yaitu (Council, 2001):
• Analgesik Non-Opioid : acetominophen dan nonsteroidal anti-inflammatory
drugs (NSAIDs), termasuk didalamnya adalah aspirin dan derivat salisilat
lainnya.
• Analgesik Opioid : Mu opioid agonist (i.e., morphine-like agonist) dan opioid
agonist-antagonist.
• Analgesik adjuvant atau co-analgesik : beberapa kelompok obat, dengan
indikasi utama untuk kondisi selain nyeri, dengan memiliki peranan atau
mekanisme analgesik pada beberapa kondisi. Obat analgesik adjuvant yang
umum digunakan antara lain : obat anti epilepsi (OAE) dan tricyclic
antidepressants (TCAs).
Terdapat beberapa macam sistem klasifikasi obat analgesik, dan
terminologi dalam aplikasi klinis juga berkembang. Istilah Opioid menggantikan
narkotik dan co-analgesik merupuakan istilah alternatif untuk analgesik adjuvant
(Council, 2001).
Terjadi mekanisme jalur perifer dan sentral dalam timbulnya sindroma
nyeri. Obat-obatan analgesik memiliki target pada mekanisme tersebut, melaui
penargetan agen sensitisasi maupun dengan menghambat aktivitas neuron yang
terlibat dalam pemrosesan nyeri secara langsung (Gambar 1). Makalah ini secara
umum akan membahas secara singkat mekanisme dan site of action beberapa
golongan analgesik yang berperan dalam proses timbulnya nyeri, Baik dari
Golongan Non-Opioid, opioid dan analgesik adjuvant (Gilron, Jensen, &
Dickenson, 2013).

1
Gambar 1. Jalur utama dan mekanisme dimana pain ditransmisikan dan
dimodulasi. Jalur ascending, dimana komponen sensoris dan afektif diproses dan
dihasilkan, ditunjukkan pada gambar sebelah kiri. Modulasi top-down, dimana jalur
nyeri yang lebih tinggi dapat mengubah fungsi spinal melalui kontrol decending,
ditunjukkan pada gambar sebelah kanan. Peranan utama dari fungsi komponen
neural yang berbeda-beda pada jalur ini dijelaskan dalam kotak kuning. Perubahan
yang terjadi setelah kerusakan jaringan atau serabut saraf dijelaskan pada gambar
tersebut, dan agen farmakologi yang memodulasi nyeri ditunjukkan pada site of
action jalur nyeri tersebut dalam kotak merah. Input perifer ditunjukkan dalam
panah ungu. Keterangan : (–) α2R=inhibition of neuronal activity. (+) 5-
HT3R=stimulation of neuronal activity. Am=amygdala. A5 and A7=brainstem
nuclei containing noradrenergic neurons. CC=cerebral cortex. CN=cuneate
nucleus. Hyp=hypothalamus. LC=locus coeruleus. NG=nucleus gracilis.

2
NSAIDs=non-steroidal anti-inflammatory drugs. PAG=periaqueductal grey matter.
PB=parabrachial nucleus. Po=posterior nuclei of the thalamus. RVM=rostro-
ventral medial medulla. SNRIs=serotonin–noradrenaline reuptake inhibitors.
TCAs=tricyclic antidepressants. VPM and VPL=ventrobasal thalamus, medial and
lateral components (Gilron et al., 2013).

1. Parasetamol
Parasetamol (acetominophen) merupakan analgesik yang paling banyak
diresepkan diseluruh dunia. Meskipun digunakan sebagai terapi pada nyeri sedang
dan demam, namun mekanisme analgesik dari parasetamol masih belum banyak
dipahami dan menjadi topik yang masih diperdebatkan (Mallet, Eschalier, &
Daulhac, 2017).
Hipotesis yang berlaku saat ini bahwa parasetamol bertindak sebagai
agen pereduksi untuk menghambat tahap peroksidase sekunder yang terlibat
dalam sintesis prostanoid oleh enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2).
Enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis prostnoids memiliki beberapa
istilah, termasuk prostaglandin H2-synthase (PGHS), tetapi sekarang paling
sering disebut sebagai cyclooxygenase (COX). Enzim bifungsional ini
mengandung dua domain katalitik terpisah yang bertanggung jawab untuk
mengubah asam arakidonat menjadi PGH2: 1) domain siklooksigenase (COX)
yang menghasilkan peroksida intermediet yang tidak stabil (PGG2), dan 2)
domain peroksidase (POX) yang mengandung gugus heme yang mengubah
peroksida intermediet yang tidak stabil (PGG2) menjadi PGH2. Parasetamol
bertindak sebagai agen pereduksi cosubstrate PGG2 dan heme yang menghambat
tahapan katalitik POX dengan mengubah gugus heme ke keadaan tereduksi yang
tidak aktif. Karena parasetamol bertindak sebagai agen pereduksi heme, efek
parasetamol tidak terjadi pada jaringan yang memiliki tingkat hidroperoksida
lemak yang tinggi (seperti Inflammatory HETEs) yang berfungsi mengoksidasi
heme kembali ke keadaan aktifnya. (Gambar 2, pada Box di Kanan bawah).
Jaringan dengan HETEs tinggi, seperti pada trombosit atau limfosit aktif
(misalnya pada kondisi inflamasi). Namun, Parasetamol efektif dalam
menghambat sintesis prostanoid pada sel endotel vaskular dan neuron yang
memiliki HETEs basal yang rendah,sehingga mampu memberi efek antipiretik
dan analgesik dengan menghambat produksi prostaglandin di lokasi tersebut
(Aronoff, Oates, & Boutaud, 2006).
Mekanisme alternatif yang saat ini dibahas adalah terkait efek
parasetamol yang dimediasi oleh bentuk aktifnya yaitu p-aminophenol yang
memiliki target aksi pada sistem endocannaboid, sistem vanilloid dan T-type
calcium-channel Cav3.2 melalui aksi pada kompleks metabolik dan jalur
neuronal. Parasetamol dihepar mengalami deacetylation menjadi p-aminophenol,
yang dimetabolisme di otak oleh enzim fatty acid amide hyrolase (FAAH)
menjadi bentuk AM404 (N-(4-Hydroxyphenyl)-5Z,8Z,11Z,14Z-
eicosatetraenamide) (Gambar 3) (Anderson, 2008).

3
Gambar 2. Jalur Prostanoid dan mekanisme kerja parasetamol jalur tersebut
sehingga berfungsi sebagai analgesik (Aronoff et al., 2006).

Gambar 3. Metabolisasi parasetamol menjadi AM404 (Anderson, 2008).

4
Peranan Parasetamol pada sistem cannaboid yaitu AM404 secara tidak
langsung mengaktivasi receptor CB1 dan berefek dalam menghambat degradasi
dan reuptake dari anandamide (endocannaboid) di celah sinap, meningkatkan
aktivasi receptor cannaboid pada membran post sinap. Aktivasi Sistem cannaboid
ini memberikan efek relaksasi, ketenangan, dan euforia yang bermanfaat dalam
modulasi nyeri pada jalur inhibisi desending bulbospinal. Reseptor CB1 sendiri
banyak ditemukan di neuron baik sentral maupun perifer termasuk di dorsal root
ganglion (DRG), didalam sel nosiceptor, dorsal horn dari spinal cord , dan di
PAG (periaquaductal grey) (Mallet et al., 2017).
Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan bahwa AM404 juga merupakan
aktivator kuat dari TRPV1 (transient receptor potential vanilloid type 1) reseptor
capsaicin. Aktivasi TRPV1 dapat menghasilkan efek analgesik melalui stimulasi
jalur inhibisi desending bulbospinal di PAG (Ohashi et al., 2017).
Pada sistem Cannaboid, terjadi peningkatan komponen anandamide,
dimana anandamide juga berinteraksi dengan T-type calcium channles, khsuusnya
pada suptype Cav3.2, dimana juga memberikan efek analgesik. Anandamide
memberikan efek inhibisi pada kanal subtipe Cav3.2, dimana kanal ini mengalami
upregulasi pada transmisi nyeri. Hambatan pada kanal ini pada DRG memediasi
efek analgesik (Sharma & Mehta, 2014).
Peranan Parasetamol yang telah dijelaskan diatas, pada target supraspinal
akan mengaktivasi jalur bulbospinal serotoninergik yang berperan dalam
modulasi nyeri, dimana pada tahap akhir memberikan efek analgesik (Gambar 4)
(Mallet et al., 2017).

Gambar 4. Mekanisme anti nosiseptif Sekuensial dari Parasetamol (Mallet et al.,


2017).

5
2. OAINS
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) adalah salah satu jenis obat yang
paling sering diresepkan di seluruh dunia dan diminum sekitar 30 juta orang setiap
hari. Kelas dari obat ini heterogen termasuk aspirin, non selective cyclooxygenase
(COX) inhibitor, dan selective COX inhibitor. Non selective COX inhibitor
disebut juga OAINS tradisional atau konvensional sedangkan yang selective
disebut COX-2 inhibitor (DeRuiter et al., 2013).
Meskipun secara struktur OAINS berbeda tetapi mempunyai
kemampuan untuk menghambat sintesis prostaglandin sehingga OAINS
mempunyai efek analgesik, anti in amasi dan antipiretika. Hambatan terhadap
enzim prostaglandin terjadi pada level molekuler yang dikenal sebagai
siklooksigenase (COX). Seperti diketahui terdapat dua isoform prostaglandin
yang dikenal sebagai COX-1 dan COX-2 (DeRuiter et al., 2013).
Sintesis prostatglandin merupakan suatu reaksi enzimatik yang
melibatkan fosfolipid di dalam sel membran menjadi prostaglandin yang aktif
melalui beberapa tahapan berikut (Fitzgerald & Fitzgerald, 2013):
a. Produksi asam arakidonat akibat aksi enzim fosfolipase pada membrane
fosfolipid.
b. Enzim siklooksigenase akan mengkatalisir perubahan asam arakidonat
Nonmenjadi siklik endoperoksid (PG G2 and PG H2 ).
c. Kemudian siklik endoperoksida dirubah menjadi prostaglandin yang spesi k
pada berbagai jaringan.
OAINS akan menghambat asam arakidonat menjadi siklik endoperoksid,
sedangkan steroid menghambat membran fosfolipid menjadi asam arakidonat.
Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 (Aronoff et al., 2006).
Efek terapi dan efek samping OAINS berhubungan dengan mekanisme
kerja sediaan ini pada enzim COX-1 dan COX- 2 yang dibutuhkan dalam
biosintesis prostaglandin. COX-1 penting untuk produksi prostatglandin dalam
menyeimbangkan homeostatis seperti agregasi trombosit, pengaturan aliran
darahdi ginjal dan abdomen dan regulasi sekresi asam lambung. Inhibisi aktivitas
COX-1 dianggap sebagai penyebab toksisitas gastrointestinal pada pemakaian
OAINS. COX-2 merupakan isoenzim terinduksi, meskipun ada beberapa ekspresi
konstitutif di ginjal, otak, tulang, sistem reproduksi wanita, neoplasias, dan
saluran pencernaan. COX-2 isoenzim berperan penting dalam proses nyeri dan
inflamasi (DeRuiter et al., 2013).
Secara umum, OAINS menginhibisi COX-1 dan COX-2. Sebagian besar
OAINS merupakan Inhibisi COX-1 selective utama (aspirin, ketoprofen,
indometacin, piroxicam, sulindac), sedikit selective COX-1 inhibitor (ibuprofen,
naporxen, diklofenak) , sedikit selective COX-2 inhibitor (etodolac, nabumetone,
meloxicam), selective COX-2 Inhibitor (celecoxib, rofecoxib, etoricoxib)
(Pertusi, 2004).

Aspirin (Non-selective COX Inhibitor)


Aspirin secara efektif mengurangi nyeri intensitas ringan dan sedang
melalui efek antiinflamasi dan hambatan stimulasi nyeri di bagian subkortikal,
dengan penghambatan pada enzim COX. Enzim COX merupakan suatu dimer.
Secara fisiologis, asam arahnoid (AA) yang dibentuk dari breakdown
Phospolipase A2 menempati sisi aktif dari COX melalui kanal hidrofobik.

6
Metabolisme AA oleh COX akan menghasilkan prostatglandin PGH2
intermediete, kemudian dipecah oleh isomerase menjadi tromboxane A2 (Gambar
5 Kiri). Aspirin secara ireversibel menginhibisi aktivitas COX dengan asetilasi
residu serin di sisi aktif dari COX (SER 529 di COX-1 dan SER 516 di COX-2).
Mekanisme ini menghambat AA dimetabolisme (Gambar 5 Kanan) (Fitzgerald &
Fitzgerald, 2013).

Gambar 5. Mekanisme Inhibisi COX oleh aspirin (Fitzgerald & Fitzgerald,


2013).

Gambar 6. Pembentukan Prostatglandin dan inhibisi COX oleh OAINS dan


Coxib (Pertusi, 2004).

7
Selective COX-2 Inhibitor (Coxib)
Inhibisi COX-2 mencegah konversi AA menjadi prostatglandin
inflamasi secara selectif dengan efek inhibisi minimal pada COX-2, hal ini yang
membedakan dengan tradisional OAINS (Gambar 6). Produksi Prostaglandin
yang berkurang dapat membantu untuk mengurangi sensari nyeri (Pertusi, 2004).
Inibitor selektif COX-2 dapat menyebabkan penurunan relatif produksi
endotel dari prostasiklin, sedangkan produksi TXA2 trombosit ini tidak berubah.
Ketidakseimbangan prostanoid hemostatik ini bisa meningkatkan risiko trombosis
dan kejadian vaskular. Studi selanjutnya menunjukkan bahwa pengaturan regulasi
COX-2 memiliki peran utama dalam kardioproteksi yang dimediasi oleh PGE2
dan PGI2 (Gambar 7) (Zarghi & Arfaei, 2011).

Gambar 7. Efek Inhibisi pada Selective COX-2 Inhibitor (Zarghi & Arfaei,
2011).
Beberapa obat-obatan yang termasuk COX-2 selective inhibtor seperti
rofecoxib (Vioxx, Merc) dan Valdecoxib (Bextra, Pfizer) tahun 2005 ditarik dari
pasaran setelah diketahui meningkatkan risiko terjadinya efek samping pada
kardiovaskular pada pemakaian dosis yang standar, namun hal ini tidak terjadi
pada celecoxib dan etoricoxib. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara
celecoxib dan etorecoxib dengan plasebo dan OAINS tradisional dalam
hubungannya dengan peningkatan risiko terjadinya efek samping kardiovaskular
(Pertusi, 2004)
Studi penelitian menunjukkan bahwa indometasin, naproxen dan
piroksikam meningkatkan rata-rata tekanan darah 3,5 mmHg, 3,7 mmHg dan 0,49
mmHg, namun tidak terjadi pada golongan celecoxib. Penelitian Multinational
Etoricoxib and Diklofenak Arthritis Long-term (MEDAL) menunjukkan bahwa
terjadi kenaikan tekanan darah sistolik rata-rata 3,4 – 3,6 mmHg dan diastolik 1,0
– 1,5 pada pemakaian etoricoxib dosis 60 mg atau 90 mg. Insidens edema
didapatkan pada pemakaian etoricoxib dosis 90 mg, tidak pada dosis 60 mg
(Zarghi & Arfaei, 2011).

8
3. Opioid
Sistem opioid sangat penting dalam modulasi nyeri dan antinociception.
Peptida opioid dan reseptornya diekspresikan di seluruh sirkuit neural nociceptive.
Sampai saat ini, empat sistem reseptor opioid yang berbeda (Mu (μ) (MOR), Delta
(δ) (DOR), Kappa (κ) (KOR), reseptor opioid like-1 (ORL1). Opioid yang paling
sering digunakan untuk manajemen nyeri bekerja pada reseptor μ opioid receptor
(MOR) (Gambar 8). Reseptor μ opioid juga berperan meningkatkan suasana hati
yang menyebabkan aktivasi jalur dopamin sentral yang memodulasi euforia (Al-
Hasani & Bruchas, 2011).
Reseptor opioid diekspresikan pada jalur modulasi nyeri desending yang
meliputi medulla locus coeruleus, rostral ventral medula dan periaqueductal grey.
Reseptor opioid juga diekspresikan dalam struktur limbik, midbrain , dan kortikal
(Gambar 8). Aktivasi reseptor opioid di lokasi ini secara langsung menghambat
neuron, yang nantinya menghambat transmisi nyeri di level medula spinalis (Al-
Hasani & Bruchas, 2011).
Dalam menimbulkan efek, reseptor opioid memberikan respon seluler
melalui reseptor aktivasi. Pengikatan agonis opioid pada reseptor opioid G-
protein-coupled di bagian transmembran reseptor menyebabkan subunit α dari G-
protein untuk bertukar molekul pada guanosin difosfat (GDP) ke intraseluler
guanosin trifosfat (GTP). Hal ini kemudian memungkinkan kompleks α-GTP
untuk memisahkan diri dari kompleks βγ. Kedua kompleks ini (α-GTP dan βγ)
kemudian bebas berinteraksi dengan protein target, proses ini menyebabkan
inhibisi adenylyl cyclase yang pada gilirannya menyebabkan penurunan level
intraselular adenosin monofosfat siklik (cAMP). Selain itu, kompleks ini
berinteraksi dengan sejumlah kanal ion, menghasilkan aktivasi konduktansi
kalium dan inhibisi konduktansi kalsium. Efek dari perubahan ini adalah cAMP
intraseluler yang berkurang, hyperpolarisasi sel, dan pada sel neuronal,
menurunkan pelepasan neurotransmitter (Gambar 9) (Pathan & Williams, 2012)
Dalam sistem saraf pusat, aktivasi MOR di midbrain dianggap sebagai
mekanisme utama analgesia yang diinduksi opioid. Di sini, agonis MOR bertindak
secara tidak langsung menstimulasi jalur inhibisi desending yang bekerja pada
periaqueduktal grey (PAG) dan nucleus reticularis paragigantocellularis (NRPG),
kemudian melalui nukleus raphe magnus (NRM), meningkatkan stimulasi neuron
yang mengandung 5-hydroxytryptamine dan enkephalin yang terhubung langsung
dengan substantia gelatinosa dari di dorsal horn. Hal inini pada gilirannya
menghasilkan penurunan transmisi nociceptive dari saraf perifer ke talamus.
Opioid eksogen dan endogen juga dapat memberikan efek inhibitor langsung pada
substansia gelatinosa (di dorsal horn) dan neuron aferen nociseptif perifer,
mengurangi transmisi nociseptif dari saraf perifer (Gambar 10). Rangkaian
kejadian dan mekanisme seluler menyebabkan banyak efek analgesik yang sering
terlihat setelah pemberian agonis MOR (Pathan & Williams, 2012).
Obat-obatan opioid yang sering digunakan dalam praktek klinis, morfin,
meskipun umumnya dianggap sebagai agonis MOR, tetapi juga memiliki aktivitas
di kedua reseptor DOR dan KOR. Opioid lain yang biasa ditemui di rumah sakit
seperti alfentanil, fentanyl dan remifentanil semua secara efektif bertindak secara
klinis sebagai agonis reseptor MOP, yang membedakan dari morfin terutama
dalam sifat farmakokinetiknya. Alfentanil dan fentanil keduanya sangat larut
dalam lemak (highly lipid soluble) dengan onset kerja yang jauh lebih cepat

9
daripada morfin. Remifentanil, meskipun secara signifikan lebih lipid soluble
daripada morfin, namun dimetabolisme secara ekstrahepatik oleh esterase non-
spesifik dalam darah dan jaringan (Al-Hasani & Bruchas, 2011).

Gambar 8. Target of Action Analgesik Opioid (Al-Hasani & Bruchas, 2011).

Gambar 9. Perubahan intraseluler yang terjadi saat agonis opioid berikatan


dengan reseptor Opioid G-Protein-Coupled (Pathan & Williams, 2012).

10
Gambar 10. Skema pernanan Opioid pada Jalur Modulasi Nyeri Desending
(Pathan & Williams, 2012).

Opioid seperti kodein, oxycodone dan buprenorphine biasanya


digunakan untuk keadaan nyeri kronis. Semua bekerja terutama pada reseptor
MOR, tetapi kodein perlu dimetabolisme menjadi morfin terlebih oleh tubuh agar
memberikan efek analgesik. Tramadol dan metadon adalah dua agonis reseptor
opioid yang selain berefek pada MOR, juga memiliki aktivitas sebagai non-opioid
lainnya. Tramadol, analog fenilpiperidin dari kodein, diperkirakan bekerja
melalui modulasi serotonin dan reuptake norepinefrin, di samping sebagai agonis
MOR. Meskipun tramadol memiliki efek samping yang terkait dengan agonis
MOR, namun memiliki efek samping depresi pernafasan yang minimal
dibandingkan agonis MOR murni dengan potensi analgesik yang sebanding.
Methadone opioid sintetis, memiliki durasi kerja yang panjang, bioavailabilitas
tinggi dan potensi minimal untuk menginduksi euforia, sering digunakan sebagai
pengganti opioid oral pada individu yang kecanduan opioid intravena. Selain
perannya dalam pengobatan kecanduan, metadon kadang-kadang digunakan
dalam pengobatan nyeri kronis melalui antagonis reseptor N-metil-d-aspartat
(NMDA) (Pathan & Williams, 2012).

4. Antidepresan
Antidepresan awalnya tidak dirancang sebagai analgesik, namun mereka
dilaporkan memiliki efek analgesik untuk nyeri kronis. Antidepresan hampir tidak
memiliki efek antinociceptive, tetapi dianggap obat lini pertama pilihan untuk
nyeri neuropatik dan fibromyalgia. Antidepresan spesifik dengan efek analgesik
termasuk antidepresan trisiklik (TCA) dan serotonin noradrenaline reuptake
inhibitor (SNRI). Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), yang sering
digunakan untuk mengobati depresi, tidak efektif pada nyeri kronis (Obata, 2017).
Mekanisme utama antidepresan menghambat nyeri neuropatik yaitu
pertama, untuk meningkatkan noradrenalin di spinal cord, dan kedua, bekerja pada

11
LC, sehingga langsung menginhibisi nyeri dan meningkatkan aktivitas sistem
inhibitor nyeri pada jalur noradrenergik. Dopamin dan 5-HT mengalami
peningkatan pada sistem saraf pusat dan dapat meningkatkan efek inhibitor dari
noradrenalin melalui jalur tambahan (Gambar 11) (Obata, 2017).

Gambar 11. Target of action antidepresan pada inhibisi nyeri neuropatik


(Obata, 2017).

Efek farmakologis dari antidepresan melibatkan pengikatan dengan


transporter noradrenalin dan serotonin (5-HT). Inhibisi pada reuptake
neurotransmitter, sehingga terjadi peningkatan kadar noradrenalin dan 5-HT di
celah sinaptik. Inhibisi reuptake noradrenalin meningkatkan efek analgesik,
terutama melalui reseptor α2-adrenergik di dorsal horn spinal cord. Reseptor α2-
circle adrenergik bergabung dengan G-protein inhibitor (Gi), yang menghambat
presinaptik kanal Voltage-gated Ca2+ dorsal horn spinal cord sehingga
menginhibisi pelepasan neurotransmitter eksitatori dari serabut aferen primer.
Pada saat yang sama, G-protein coupled membuka kanal K+ di post sinaptik dorsal
horn spinal cord, sehingga membran sel hiperpolarisasi, dan eksitabilitas
menurun. Sementara aktivasi reseptor α2-adrenergik dari dorsal horn spinal cord
memiliki efek antinociceptive yang lemah terhadap stimulus nosiseptif, namun
beberapa studi menunjukkan sangat efektif terhadap allodynia dan hiperalgesia
yang terkait dengan nyeri neuropatik. Reseptor α2-adrenergik yang diekspresikan
dalam interneuron kolinergik dari dorsal horn spinal cord bergabung dengan G-
protein eksitatori (GS) oleh aksi dari brain-derived neurotrophic factor (BDNF)
melalui reseptor TrkB dan asetilkolin dirilis oleh stimulasi adrenergik α2 reseptor.
Akibatnya, reseptor muskarinik, yang menginduksi gamma-aminobutyric acid
(GABA) rilis, berkontribusi pada efek penghambatan aktivasi reseptor α2-
adrenergik pada nyeri neuropatik (Gambar 12) (Obata, 2017).

5. Pregabalin
Pregabalin (3-isobutil gamma) merupakan molekul sintetik baru yang
merupakan analog γ-aminobutyric acid (GABA), suatu inhibitor neurotransmiter,
seperti halnya gabapentin yang dapat berperan sebagai penghambat
hipereksitabilitas neuron. Pregabalin berperan dengan memodulasi aktivitas kanal
voltage-gated Ca2+. Umumnya pregabalin digunakan sebagai obat antikejang,

12
namun berbagai penelitian menemukan potensi pregabalin sebagai salah satu
terapi lini pertama untuk nyeri neuropatik. Walaupun strukturnya berkaitan erat
dengan GABA, pregabalin tidak bekerja langsung pada reseptor GABA
melainkan dengan cara memodifikasi pelepasan GABA sinaptik atau nonsinaptik
(Gajraj, 2007).

Gambar 12. Skematik efek analgesik antidrepresan dan noradrenalin pada


dorsaln horn spinal cord. Antidepresan meningkatkan noradrenalin melalui
bloking transporter noradrenalin pada terminal serabut desending
noradrenergic dari locus coeruleus. Noradrenalin menghambat nyeri akut
melalui reseptor α2-adrenergik di pre-sinaptik (inhibisi rilis neurotransmitter)
dan post-sinaptik (membran sel hyperpolarize). Pada nyeri neuropatik, karena
adanya aktivasi adrenergik, reseptor α2-adrenergik di interneuron kolinergik
berubah dari fungsi inhibitor menjadi eksitatori melalui mekanisme G-protein
(dari Gi ke Gs) oleh BDNF yang meningkat setelah ada injuri saraf. aktivasi
kolinergik menyebabkan rilis asetilkolin ke reseptor muskarinik, yang
menghasilkan analgesia melalui pelepasan GABA. AF: primary afferent fibers,
NA: noradrenaline, DHN: dorsal horn neurons, ACh: acetylcholine, bulatan
merah : noradrenaline, bulatan biru: acetylcholine, bulatan hijau : GABA,
bulatan pink : neurotransmitter eksitatori (Obata, 2017).

Pregabalin berikatan sangat erat dengan subunit α2-δ dari voltage-gated


Ca channel tempat pregabalin bertindak sebagai ligan α2-δ dan memiliki
2+

aktivitas sebagai analgetik, antikejang, dan anticemas (Gambar 13). Pregabalin


juga dapat bekerja pada pre-sinaps untuk menurunkan pelepasan glutamat, efek
ini mungkin bergantung terhadap penurunan masuknya Ca2+ pre-sinaptik (Stahl et
al., 2013).

13
Gambar 13. Interaksi molekuler protein kanal Ca2+ subunit α2-δ (Kuning).
Protein kanal Ca2+ Subunit α1 (orange) memperbolehkan kalsium masuk dalam
sinap tempat rilis neurotransmitter sebagai respon dpolarisasi. Saluran tambahan
subunit α2-δ mengikat dan memodulasi fungsi subunit α1 dan juga menstabilkan
lokalisasi kanal Ca2+ dalam merespon pengikatan thrombospondin (biru muda),
yang mendukung masuknya ion kalsium dan stabilisasi sinaps. Beberapa subunit
α2-δ dalam fungsinya memerlukan domain polipeptida von Willebrand fungsional
(VWA) yang mengikat kation divalen (bulatan ungu) di lokasi adhesi metal ion-
dependent adhesion site (MIDAS). Baik thrombospondin dan α2-δ mengikat dan
berinteraksi langsung dengan protein matriks ekstraseluler seperti kolagen dan
integrin yang mengikat protein dan mengasosiasikannya dengan sitoskeleton.
Protein thrombospondin disekresikan oleh astrocytes dan ekspresinya meningkat
oleh aktivasi astrocyte, akibat adanya kerusakan saraf neuropatik (Stahl et al.,
2013).
Peningkatan regulasi subunit α2-δ berperan penting dalam
hipersensitisasi. Pregabalin berperan menginhibisi eksitabilitas neuron dan
menurunkan sensitisasi sentral. Proses inhibisi ini terjadi, khususnya pada area –
area di sistem saraf pusat yang padat sinaps, seperti neokorteks, amygdala, dan
hippocampus. Aktivitas ektopik ini akan diturunkan, sementara fungsi normalnya
tidak dipengaruhi. Pregabalin juga tidak aktif pada reseptor GABAA dan
GABAB, tidak dikonversi menjadi GABA atau antagonis GABA dan tidak
mengganggu uptake dan degradasi GABA (Gajraj, 2007).
Selain itu, pregabalin juga bekerja menghambat pelepasan glutamat pre-
sinaps dan post-sinaps pada sistem saraf pusat. Glutamat merupakan asam amino
eksitatorik yang dilepaskan jika ada stimulus nyeri. Glutamat akan berinteraksi
dengan reseptor subtipe (orde kedua) termasuk reseptor inotropik, seperti AMPA
(α-amino-3-hydroxy- 5-methyl-4-isoxazolepropionic acid), NMDA (N-methyl-
D-aspartate), kainite, dan reseptor glutamat metabotropik. Dengan adanya
stimulus berulang, glutamat akan mengikat reseptor AMPA menyebabkan
terbukanya kanal natrium dan kalsium, masuknya kedua ion ini menghasilkan

14
potensial aksi. Pelepasan glutamat terus-menerus karena stimulus nyeri, akan
menyebabkan akumulasi pada reseptor ini sehingga melepaskan ion Mg 2+
(penstabil reseptor NMDA) dari reseptor NMDA dan memperlama durasi
terbukanya NMDA receptor-coupled ion channel. Aktivasi NMDA receptor-
coupled ion channel menyebabkan depolarisasi sel dan menginduksi masuknya
kalsium. Stimulasi reseptor NMDA ini akan memproduksi sensitisasi sentral,
sehingga stimulus yang sedikit saja akan dapat mengaktivasi neuron orde kedua
di medula spinalis. Sensitisasi sentral ini akan bermanifestasi sebagai ampli kasi
respons terhadap stimulus (hiperalgesia), penyebaran sensitivitas nyeri pada
lokasi cedera (hiperalgesia sekunder) dan penurunan ambang nyeri, sehingga
dapat timbul nyeri spontan. Mekanisme inilah yang dihambat melalui
penghambatan glutamat, sehingga impuls nyeri akan dihambat (Gajraj, 2007).

Daftar Pustaka

Al-Hasani, R., & Bruchas, M. R. (2011). Molecular Mechanisms of Opioid


Receptor-Dependent Signalling and Behaviour. Anesthesiology, 115(6),
1363–1381. https://doi.org/10.1097/ALN.0b013e318238bba6.Molecular
Anderson, B. J. (2008). Parasetamol (Acetaminophen): Mechanisms of action.
Paediatric Anaesthesia, 18(10), 915–921. https://doi.org/10.1111/j.1460-
9592.2008.02764.x
Aronoff, D. M., Oates, J. A., & Boutaud, O. (2006). New insights into the
mechanism of action of acetaminophen: Its clinical pharmacologic
characteristics reflect its inhibition of the two prostaglandin H2 synthases.
Clinical Pharmacology and Therapeutics, 79(1), 9–19.
https://doi.org/10.1016/j.clpt.2005.09.009
Council, N. P. (2001). Types of treatment. Pain: Current Understanding of
Assessment, Management, and Treatments, 33–57. Retrieved from
http://www.npcnow.org/publication/pain-current-understanding-assessment-
management-and-treatments
DeRuiter, J., Mason, P., Ossipov, M. H., Dussor, G. O., Porreca, F., Steeds, C. E.,
& Review, A. L. (2013). Central mechanisms of pain modulation. Principles
of Drug Action, 9(11), 436–441. https://doi.org/10.1016/S0959-
4388(99)80065-8
Fitzgerald, D. J., & Fitzgerald, G. A. (2013). Historical lessons in translational
medicine: cyclooxygenase inhibition and P2Y12 antagonism. Circulation
Research, 112(1), 174–194.
https://doi.org/10.1161/CIRCRESAHA.111.300271
Gajraj, N. M. (2007). Pregabalin: Its pharmacology and use in pain management.
Anesthesia and Analgesia, 105(6), 1805–1815.
https://doi.org/10.1213/01.ane.0000287643.13410.5e
Gilron, I., Jensen, T. S., & Dickenson, A. H. (2013). Combination
pharmacotherapy for management of chronic pain: From bench to bedside.
The Lancet Neurology, 12(11), 1084–1095. https://doi.org/10.1016/S1474-
4422(13)70193-5
Mallet, C., Eschalier, A., & Daulhac, L. (2017). Parasetamol: Update on its
Analgesic Mechanism of Action. Pain Relief - From Analgesics to Alternative

15
Therapies. https://doi.org/10.5772/66649
Obata, H. (2017). Analgesic mechanisms of antidepressants for neuropathic pain.
International Journal of Molecular Sciences, 18(11).
https://doi.org/10.3390/ijms18112483
Ohashi, N., Ph, D., Uta, D., Ph, D., Sasaki, M., Ph, D., … Ph, D. (2017). Receptors
Expressed on the Primary Afferent Terminals of C-fibers in the Spinal Dorsal
Horn, (2), 355–371.
Pathan, H., & Williams, J. (2012). Basic opioid pharmacology: an update. British
Journal of Pain, 6(1), 11–16. https://doi.org/10.1177/2049463712438493
Pertusi, R. M. (2004). Selective cyclooxygenase inhibition in pain management.
The Journal of the American Osteopathic Association, 104(11 Suppl 8), S19-
24. https://doi.org/104/11_suppl/19S [pii]
Sharma, C. V., & Mehta, V. (2014). Parasetamol: Mechanisms and updates.
Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain, 14(4), 153–
158. https://doi.org/10.1093/bjaceaccp/mkt049
Stahl, S. M., Porreca, F., Taylor, C. P., Cheung, R., Thorpe, A. J., & Clair, A.
(2013). The diverse therapeutic actions of pregabalin: Is a single mechanism
responsible for several pharmacological activities? Trends in
Pharmacological Sciences, 34(6), 332–339.
https://doi.org/10.1016/j.tips.2013.04.001
Zarghi, A., & Arfaei, S. (2011). Selective COX-2 Inhibitors: A Review of Their
Structure-Activity Relationships. Iranian Journal of Pharmaceutical
Research, 10(October), 655–683.

16

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai