Disusun oleh:
Dayita Sukma Destanta
22010118220016
Pembimbing:
dr. Ade Mayasari
2.1 Syok
2.1.1 Definisi
Syok merupakan suatu sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi yang
menyebabkan gangguan penghantaran oksigen dalam darah ke jaringan tubuh yang
dapat berujung pada disfungsi organ.4 Syok dapat terjadi akibat dehidrasi jika
kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau kehilangan darah ≥ 20%
EBV (estimated blood volume).2 Syok bukanlah suatu bentuk penyakit tunggal,
tetapi merupakan suatu kumpulan gejala akibat sebab-sebab yang berarti. Pada
pasien dewasa, hipotensi yang signifikan terlihat bila tekanan darah sistolik < 90
mmHg dan tekanan darah diastolic < 60 mmHg.
1. Gangguan metabolik/fungsional
Gangguan ini antara lain berupa keadaan hipoglikemik/hiperglikemik,
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, gangguan keseimbangan
elektrolit, intoksikasi obat-obatan, intoksikasi makanan serta bahan-
bahanan kimia, infeksi susunan saraf pusat.
2. Gangguan struktural
a. Lesi supratentorial : ekstradural, subdural, intraserebral
b. Lesi infratentorial : serebelum, pons, medulla oblongata
c. Nutrisi
Defisiensi thiamin,
defisiensi niacin atau
asam nikotinik,
ketergantungan
piridoksin, defisiensi
folat dan B12
d. Toksin
Keracunan alcohol,
obat-obat bebas, obat-
obat yang diresepkan
(oral dan ophtalmik),
pengobatan herbal,
keracunan logam
berat, keracunan
jamur dan tumbuhan,
obat ilegal
e. Ensefalopatih
hipertensi
f. Ensefalopati luka
bakar
b) Penilaian Kuantitatif
Penilaian kesadaran secara kuantitatif paling sering menggunakan
metode penilaian Glasgow Coma Scale, yang menilai respons mata,
motorik, dan verbal pasien terhadap rangsangan perintah dan nyeri yang
diberikan.
2.2.3 Algoritma Penurunan Kesadaran
Prinsip penatalaksanaan pada dasarnya sama untuk setiap penderita dengan
penurunan kesadaran:
1. Memastikan oksigenasi. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat
merupakan prinsip yang paling penting. Bila dibutuhkan maka bantuan
ventilasi mekanik dapat diberikan.
2. Mempertahankan sirkulasi. Mempertahankan fungsi kardiovaskular
merupakan prinsip penting selanjutnya dan akses intravaskular harus
dipersiapkan dengan baik.
3. Pemberian glukosa. Kesadaran yang tidak pulih setelah pemberian glukosa
menyingkirkan diagnosis hipoglikemia.
4. Menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat 350 terjadi pada gangguan struktural, metabolik atau
toksisitas. Deteksi dini penyebab yang dapat diatasi secara bedah
memungkinkan dilakukannya intervensi yang tepat. CT scan kepala harus
dilakukan pada setiap anak dengan koma akibat cedera kepala tertutup dan
pada setiap anak dengan penyebab yang tidak dapat segera dipastikan atau
dengan onset yang tidak diketahui. Peningkatan tekanan intrakranial harus
diatasi segera dengan
- elevasi kepala 30 diatas bidang datar,
- hiperventilasi sampai pCO2 mencapai 20-25 mmHg dan pemberian
obat-obatan.
- Setelah gangguan sirkulasi teratasi, infus cairan dekstrose 5% dan NaCl
0,9% (3:1) diberikan sebanyak 75% dari kebutuhan rumatan.
Manitol juga bermanfaat menurunkan tekanan intrakranial dan
diberikan sebagai larutan 20% perdrip intravena dengan dosis 0,5-2
gr/kgBB selama 30 menit setiap 6 jam.
Kortikosteroid seperti deksamethasone mungkin bermanfaat terutama
bila terdapat edema perifokal (tumor) dan diberikan intravena dengan
dosis 1-2 mg/kgBB.
5. Memberantas kejang. Status epileptikus dan kejang lain harus diberantas.
Perlu dipertimbangkan adanya kejang walaupun tidak bermanifestasi secara
klinis (status epileptikus nonkonvulsif subklinis); sehingga tersedianya EEG
sangat esensial.
6. Mengobati infeksi. Bila dicurigai adanya infeksi susunan saraf pusat
dilakukan pungsi lumbal dan diobati dengan antibiotik atau antivirus yang
sesuai.
7. Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Gangguan
keseimbangan elektrolit sering diakibatkan gangguan sekresi hormone
antidiuretik. Pemberian cairan yang tidak tepat pada keadaan ini dapat
memperburuk keadaan. Hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia atau
hipomagnesemia yang menyertai penyakit sistemik jauh lebih sering
menyebabkan koma. Asidosis atau alkalosis metabolik atau respiratorik juga
harus dikoreksi.
8. Mengatur suhu tubuh.
9. Atasi agitasi.
2.3.1 Patofisiologi
Stroke iskemik terjadi apabila terjadi oklusi atau penyempitan aliran darah ke
otak dimana otak membutuhkan oksigen dan glukosa sebagai suber energi agar
fungsinya tetap baik. Aliran drah otak atau Cerebral Blood Flow (CBF) dijaga pada
kecepatan konstan antara 50-150 mmHg.
Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh:
a. Keadaan pembuluh darah
Bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat oleh trombus
atau embolus maka aliran darah ke otak terganggu.
b. Keadaan darah
Viskositas darah meningkat, polisitemia menyebabkan aliran darah ke otak
lebih lambat, anemia yang berat dapat menyebabkan oksigenasi otak
menurun.
c. Tekanan darah sistemik
Autoregulasi serebral merupakan kemampuan intrinsik otak untuk
mempertahankan aliran darah ke otak tetap konstan walaupun ada
perubahan tekanan perfusi otak.
d. Kelainan jantung
Kelainan jantung berupa atrial fibrilasi, blok jantung menyebabkan
menurunnya curah jantung. Selain itu lepasnya embolus juga menimbulkan
iskemia di otak akibat okulsi lumen pembuluh darah. Jika CBF tersumbat
secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena
kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Infark
otak, kematian neuron, glia, dan vaskular disebabkan oleh tidak adanya
oksigen dan nutrien atau terganggunya metabolisme
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 28 Agustus 2019 di IGD
RSUP dr. Kariadi.
A. Keluhan utama:
Penurunan kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pada tanggal 28 Agustus 2019 sekitar pukul 01.00 pasien dibawa keluarga
karena keluhan ± 7 hari yang lalu pasien mulai terlihat lemas dan lemah,
Pasien malas makan dan minum, sehari-hari hanya berbaring di tempat
tidur. Pasien sulit menelan (+) kelemahan anggota gerak (-). Kurang lebih 3
hari yang lalu, pasien enggan makan dan minum – pasien menolak minum
obat hipertensi. Pasien sulit menelan, dan tampak ada kelemahan anggota
gerak, sebelah kiri lebih berat dibanding yang kanan.
Sekitar 14 jam SMRS, pasien mulai sulit diajak komunikasi, pasien dapat
membuka mata namun kontak minim. Muntah (-) batuk (-) sesak (+) demam
(-) lemah anggota gerak kiri (+) mulut perot (+).
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat tekanan darah tinggi (+) sejak 15 tahun, minum obat
amlodipine 5mg namun tidak terkontrol
Riwayat stroke sebelumnya (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat trauma sebelumnya (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit serupa
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sudah tidak bekerja. Suami pasien sudah meninggal. Pasien tinggal
bersama anak pasien. Pasien memiliki 3 orang anak yang sudah mandiri.
Pembiayaan dengan BPJS.
Kesan social ekonomi cukup.
Koagulasi (28/08/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
PPT 13,2 Detik 9,4-11,3
PTTK 36,7 Detik 27,7-40,2
APTT Kontrol 30,6 Detik
3.5 Diagnosis
Syok hipovolemik non hemoragik et causa dehidrasi, dd: suspek sepsis
Penurunan kesadaran, assessmen intracranial : suspek stroke SNH
Pada laporan kasus ini, pasien wanita usia 86 tahun datang dengan keluhan
utama penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
apatis dengan E4M2V4 dengan tekanan darah 80/73 mmHg, laju nafas 36/menit
dan nadi 116x/menit.
Pada pemeriksaan airway tidak didapatkan gangguan airway. Pasien datang
dalam kondisi airway yang paten. Pada pemeriksaan breathing didapatkan napas
spontan dengan peningkatan laju pernapasan 36x/menit tanpa ada suara tambahan
pada auskultasi paru. Pasien kemudian mendapatkan terapi oksigen 6 liter per menit
yang diberikan melalui NRM. Pemberian oksigen dilakukan untuk membantu
memperbaiki delivery oxygen (DO) ke jaringan. Pasien yang mengalami hipotensi
dapat dipikirkan adanya suatu proses hilangnya volume cairan ditubuh. Hilangnya
volume cairan tubuh dapat disebabkan oleh perdarahan dan non perdarahan.
Kehilangan volume akut sebesar ≥ 20%-25% dari volume darah yang beredar akan
berpengaruh terhadap aliran balik vena (preload) sehingga akan menyebabkan
penurunan cardiac output. Untuk mencukupi penyaluran oksigen ke jaringan, perlu
adanya kompensasi. Salah satunya dengan meningkatkan PaO2 yang dapat
dilakukan dengan memberikan terapi oksigen yang adekuat. Pada penilaian
circulation didapatkan hipotensi 80/73 mmHg dengan nadi 116x/menit pulsasi
teraba lemah. Hal ini menunjukan adanya gangguan sirkulasi yang memerlukan
tindakan resusitasi cairan yaitu dengan pemberian loading infus sebagai terapi
inisial.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini di IGD, didapat adanya
akral dingin dan pucat serta peningkatan capillary refill time > 2 detik ; conjungtiva
tampak anemis ; dan bibir kering. Temuan fisik ini mengarahkan pada adanya suatu
kondisi dehidrasi pada pasien. Keadaan dehidrasi didukung pula dari anamnesis
bahwa intake makan dan minum pasien sangat sedikit sejak beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit.
Kumpulan gejala takikardi, peningkatan laju nafas, hipotensi dan tanda dehidrasi
dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami syok hipovolemik non hemoragik.
Pasien ini dapat di diagnosis banding dengan kemungkinan adanya sepsis – yang
dapat memperburuk kondisi syok yang telah mendasari. Diagnosis suspek sepsis
didapatkan dari adanya ketiga kriteria qSOFA yang muncul : penurunan kesadaran,
RR > 22, dan SBP < 100mmHg. Kecurigaan adanya infeksi juga didukung oleh
hasil pemeriksaan darah rutin leukosit yang meningkat. Namun untuk mendiagnosis
sebagai sepsis, perlu ditemukan fokal infeksi. Pemeriksaan foto thorax, dan urin
rutin serta kultur urin dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang awal di IGD
untuk mencari fokal infeksi, dengan kecurigaan pneumonia dan ISK. Kondisi sepsis
akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator inflamasi yang berefek pada
vasodilatasi pembuluh darah. Kondisi pasien yang kekurangan cairan ditambah
dengan vasodilatasi akan semakin memperjelas gejalas syok yang muncul.
Pemeriksaan penunjang untuk asesmen syok hipovolemik yang dilakukan di
IGD diantaranya adalah darah rutin dan analisis gas darah. Dari pemeriksaan darah
rutin didapatkan penurunan nilai Hb (9,9) Ht (31,7) leukosit (16,8) dan dari
pemeriksaan AGD didapatkan peningkatan sedikit dari pH (7,474), penurunan
pCO2 (26,4) HCO3- (19,6), dan base excess / BE (-2,5). Dari pemeriksaan kimia
klinik didapatkan ada peningkatan asam laktat (2,2). Timbunan asam laktat terjadi
dapat terjadi akibat proses metabolic anaerob yang terjadi oleh karena buruknya
perfusi dari tubuh, dimana salah satu produk samping dari metabolisme anaerob
adalah asam laktat.
Terapi inisial untuk resusitas dianjurkan bolus 1 liter cairan untuk dewasa atau
20ml/kgBB untuk pasien pediatric dengan berat kurang dari 40 kilogram. Pada
pasien ini, pemberian terapi direncanakan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap
pertama bertujuan untuk mengejar kekurangan cairan, dimana diberikan sekitar
1100 – 2200 cc dalam 1 – 2 jam pertama. Bila keadaan hemodinamik sudah stabil,
makan dilanjutkan ke tahap kedua dan ketiga yang bertujuan untuk membayar
hutang deficit cairan dan maintenance cairan per jam, dibagi kedalam 8 jam pertama
dan 16 jam selanjutnya.
Resusitasi cairan bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi sehingga perfusi
jaringan kembali tercukupi. Namun bila pemberian cairan saja masih belum
menunjukan perbaikan perfusi perlu dipikirkan penggunaan obat-obatan. Dalam
menentukan jenis obat, perlu diketahui mekanisme kerja obat tersebut dalam
mempengaruhi CO. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi cardiac output yaitu
preload, kontraktilitas dan afterload. Pada kasus ini, penurunan cardiac output
terjadi karena hilangnya volume intravaskular sehingga terapi cairan menjadi salah
satu upaya koreksi. Kemudian, pada pasien ini diketahui tidak memiliki kelainan
jantung sehingga dapat diasumsikan bahwa fungsi jantungnya dalam batas normal.
Dari hal tersebut dapat dipertimbangkan pemberian obat-obatan yang
memperngaruhi afterload untuk memperbaiki cardiac output. Salah satunya yang
tersedia dan sering digunakan ialah norepinefrin. Pemeberian terapi farmakologis
diberikan bila terapi resusitasi cairan tidak mampu mengisi volume cairan tubuh
yang kurang dan syok tidak menunjukkan tanda perbaikan.
Pemberian terapi harus diikuti dengan monitoring tanda vital dan klinis. Bila
belum optimal dapat dinaikan dosisnya, atau apabila sudah melebihi target dapat
diturunkan atau bahkan dihentikan. Sedangkan pemberian obat-obatan inotropik
biasa digunakan apabila vasokonstriktor dosis maksimal masih belum berespon
atau pada kondisi syok kardiogenik. Perlu diperhatikan adanya kemungkinan
komplikasi resusitas cairan seperti terjadinya edema pulmonum dan gangguan
elektrolit sehingga penting untuk memantau tanda vital, urin output, status internus
dapat disertai dengan pemantauan elektrolit, darah rutin, studi koagulasi dan analisa
gas darah pasien.
Pada pasien ini selain ditemukan tanda-tanda adanya kegawatdaruratan syok
hipovolemik, juga ditemukan kegawatdaruratan penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran merupakan kegawatan medis dan neurologik yang memerlukan
intervensi segera, termasuk tunjangan hidup dasar (basic life support), identifikasi
penyebab koma, dan pemberian terapi yang spesifik. Evaluasi dan penatalaksanaan
awal yang terpenting pada pasien penurunan kesadaran adalah untuk memastikan
jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (airway, breathing, circulation, ABC) yang
adekuat. Pemeriksaan kadar glukosa untuk mendeteksi hipoglikemia harus segera
dilakukan. Hipoglikemia merupakan penyebab langsung yang sering terjadi pada
penurunan kesadaran, karena glukosa berfungsi sebagai substrat untuk metabolisme
energi otak, pemberian glukosa melalui jalur intravena dapat segera menunjukkan
perbaikan. Namun, kondisi hiperglikemia juga dapat menyebabkan manifestasi
penurunan kesadaran pada seseorang.
Sampel darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kadar
glukosa, kalsium, dan magnesium, fungsi hati (terutama bilirubin dan ammonia),
test koagulasi, dan uji tapis toksikologi. Pemasangan kateter Foley dan
pengambilan sampel urine untuk pemeriksaan urinalisis, kultur dan uji tapis
toksikologi. Pemasangan monitor elektrokardiografi dan pelaksanaan foto rontgen
juga diperlukan.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk mengidentifikasi
penyebab dan progresifitas gangguan kesadaran. Penting untuk mengetahui tentang
onset munculnya gejala neurologi. Koma dapat merupakan lanjutan dari suatu
penyakit, akibat yang tidak terduga, penyulit dari suatu penyakit, atau kejadian yang
tidak terduga. Waktu, lokasi dan durasi gejala awal bisa memberikan petunjuk
penyebab gangguan kesadaran. Koma yang terjadi secara tibatiba dapat memberi
dugaan kejang atau perdarahan intrakranial. Koma yang didahului kantuk atau
ketidakstabilan dapat memberi dugaan tertelannya obat-obatan atau racun. Demam
biasa terjadi pada anak koma karena proses infeksi. Riwayat nyeri kepala dapat
memberi dugaan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan herniasi yang dapat mengakibatkan kerusakan otak
permanen atau kematian. Gejala peningkatan tekanan intrakranial antara lain nyeri
kepala yang berat, muntah, gangguan penglihatan, dan perubahan tingkah laku atau
derajat kesadaran. Tanda-tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial adalah
edema papil, kelumpuhan saraf otak, status mental abnormal dan postur tubuh
tertentu.
Pada pasien ini, asesmen awal penurunan kesadaran yang dilakukan adalah
dengan melakukan observasi penilaian penurunan kesadaran secara kualitatif dan
kuantitatif. Berdasarkan observasi dan pengamatan awal, didapatkan penurunan
respons pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Pasien tampak somnolen dan
nilai GCS total 10.
Asesmen kegawatdaruratan berikutnya adalah menilai ABC pasien. Airway
pasien didapatkan aman saat pemeriksaan. Breathimg tidak didapatkan pola nafas
ireguler abnormal saat pemeriksaan. Circulation seperti yang sudah didiskusikan
diatas, didapatkan hemodinamik yang tidak stabil.
Berdasarkan anamnesis dan klinis pasien yang muncul, dapat dipikirkan bahwa
etiologic penurunan kesadaran selain dari gangguan sirkulasi metabolic berasal dari
masalah vascular, curiga stroke. Asesmen awal kegawatdaruratan neurologis selain
pengamanan ABC adalah untuk segera melakukan MSCT kepala. Dari hasil MSCT
kepala yang dilakukan, pasien ny. AE ditemukan gambaran stroke infark dan
diberikan terapi awal Aspilet 160mg/24 jam PO dan persiapan untuk rawat unit
stroke.
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini, pasien wanita 86 tahun dengan syok hipovolemik. Resusitasi
awal dilakukan dengan pemberian cairan RL intravena 20-40cc/KgBB. Resusitasi
cepat diberikan dalam 1 jam pertama lalu pantau kembali tanda vital pasien. Bila
tanda vital membaik, resusitasi masuk ke tahap 2 dan 3 yakni membayar deficit
cairan dan maintenance dalam 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Bila
hemodinamik jatuh kembali, kembali lakukan resusitasi cepat dan pantau lagi tanda
vital. Apabila setelah loading cairan hemodinamik pasien tidak membaik, maka
diberikan vasokonstriktor menggunakan syringe pump dengan dosis titrasi. Jika
setelah pemberian vasokonstriktor hemodinamik pasien tidak membaik, maka
diberikan dobutamine menggunakan syringe pump dengan dosis titrasi. Pasien
dikonsulkan dengan teman sejawat interna dan neuro untuk mengatasi problem
utama penurunan kesadaran dan kemungkinan adanya infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
2012. 1-48 p.
2016;4:1–14.