Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS ANESTESI

PENURUNAN KESADARAN PADA WANITA 86 TAHUN DENGAN


SYOK HIPOVOLEMIK NON HEMORAGIK

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran

Disusun oleh:

Pembimbing:
dr.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan klinis dimana pasien


membutuhkan pertolongan medis segera untuk menyelamatkan nyawa dan
mencegah kecacatan lebih lanjut.1 Penanganan pasien dengan kegawatdaruratan
merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh dokter umum. Komponen penting
yang perlu diperhatikan pada pasien gawat darurat yaitu Airway, Breathing, dan
Circulation, karena ketiga nya merupakan penyokong kehidupan pasien. Jika
terjadi gangguan pada salah satu komponen tersebut, gangguan tersebut harus
segera ditangani.
Salah satu kasus kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan segera adalah
syok. Syok merupakan suatu kumpulan gejala atau sindrom yang menandakan
adanya gangguan hemodinamik dimana aliran darah yang inadekuat untuk
memenuhi kebutuhan jaringan. Syok bukanlah suatu diagnosis. Syok merupakan
sindroma klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan
manifestasi hemodinamik yang bervariasi, petunjuk yang umum adalah tidak
memadainya perfusi jaringan. Berdasarkan penyebab terjadinya syok, dibedakan
menjadi empat, yaitu syok hipovolemik, syok distributif, syok obstruktif, dan syok
kardiogenik.2
Syok hipovolemik disebabkan oleh terjadinya kehilangan volume cairan
tubuh, baik berupa kehilangan darah secara akut (syok hemoragik) akibat suatu
perdarahan maupun kausa non perdaharan (non hemoragik). Penyebab terjadinya
syok hemoragik adalah cedera pada kecelakaan, wanita dengan kasus obstetri.3
Penyebab terjadinya syok non hemoragik adalah kurangnya intake cairan atau
pengeluaran cairan yang berlebih. Contoh kasus syok hipovolemik non hemoragik
adalah dehidrasi, dan luka bakar. Pemberian cairan merupakan salah satu hal yang
paling umum untuk mengelola pasien dengan syok hipovolemik.
Pada laporan kasus ini, pasien wanita dengan usia 86 tahun dibawa ke IGD
karena penurunan kesadaran dan syok hipovolemin non hemoragik. Pasien datang
dengan kondisi hemodinamik tidak stabil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syok
2.1.1 Definisi
Syok merupakan suatu sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi yang
menyebabkan gangguan penghantaran oksigen dalam darah ke jaringan tubuh yang
dapat berujung pada disfungsi organ.4 Syok dapat terjadi akibat dehidrasi jika
kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau kehilangan darah ≥ 20%
EBV (estimated blood volume).2 Syok bukanlah suatu bentuk penyakit tunggal,
tetapi merupakan suatu kumpulan gejala akibat sebab-sebab yang berarti. Pada
pasien dewasa, hipotensi yang signifikan terlihat bila tekanan darah sistolik < 90
mmHg dan tekanan darah diastolic < 60 mmHg.

2.1.2 Etiologi Syok


Syok berdasarkan penyebab yang mendasari dapat dibedakan menjadi:5
a. Syok hipovolemik disebabkan oleh hilangnya volume akut sebesar ≥ 20-25% dari
volume darah yang beredar. Syok hipovolemik dikenali dari penurunan tekanan
darah (BP), penurunan kardiak output (CO), penurunan tekanan vena sentral
(CVP), dan penurunan tekanan arteri pulmonal (PAP)
b. Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan utama dari jantung untuk
menghasilkan kardiak output (CO) yang adekuat. Hal ini bisa disebabkan oleh
gagal ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya akibat infark miokard,
miokarditis, disaritmia, kontusio kardiak dll. wujud fisiologis syok kardiogenik
meliputi hipotensi, penurunan CO, peningkatan PAP serta tanda klinis
hipoperfusi.
c. Syok distributif dikenali dari penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi
arterial, venous pooling, dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat disebabkan
oleh bakteri/produknya dalam syok septik, mediator sindrom respon inflamasi
sitemik, berbagai macam vasoaktif dalam syok anafilaktik, syok neurogenik atau
apopleksi adrenal.
d. Syok obstruktif dikaitkan dengan kesukaran mekanis arus balik vena dan / atau
aliran arteri ke jantung. Penyebabnya antara lain emboli pulmonar, temponade
perikardial, tension pneumotoraks, hidrotoraks, hematotoraks ataupun asites.
Syok obstruktif dikenali dari penurunan BP dan CO disertai kenaikan CVP.
Tabel Etilogi Syok4

2.1.3 Stadium Syok


Secara umum stadium syok dibagi menjadi 3 kategori :6
1. Stadium Kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui
mekanisme kompensasi fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan refleks
simpatis, sehingga resistensi sistemik meningkat, meningkatkan denyut
jantung sehingga CO meningkat; dan meningkatkan sekresi vasopressin,
RAAS (renin-angiotensinaldosterone system) menyebabkan ginjal
menahan air dan sodium di dalam sirkulasi.
Gejala klinis pada syok dengan stadium kompensasi ini adalah
takikardi, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat.
2. Stadium Dekompensasi
Beberapa mekanisme terjadi pada fase dekompensasi, seperti
memburuknya perfusi jaringan yang menyebabkan penurunan O2
bermakna, mengakibatkan metabolisme anaerob sehingga produksi laktat
meningkat menyebabkan asidosis laktat. Kondisi ini diperberat oleh
penumpukan CO2 yang menjadi asam karbonat. Asidemia akan
menghambat kontraktilitas miokardium dan respons terhadap katekolamin.
Selain itu, terdapat gangguan metabolisme energy dependent Na+/K+ pump
di tingkat seluler, menyebabkan integritas membran sel terganggu, fungsi
lisosom dan mitokondria memburuk yang dapat berdampak pada kerusakan
sel. Pada stadium dekompensasi ini aliran darah lambat, rantai kinin serta
sistem koagulasi rusak, akan diperburuk dengan agregrasi trombosit dan
pembentukan trombus yang disertai risiko perdarahan. Pelepasan mediator
vaskuler, seperti histamin, serotonin, dan sitokin, menyebabkan
terbentuknya oksigen radikal serta platelet aggregating factor. Pelepasan
mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan
permeabilitas kapiler meningkat, sehingga menurunkan venous return dan
preload yang berdampak pada penurunan CO.
Gejala pada stadium dekompensasi ini antara lain takikardi, tekanan
darah sangat rendah, perfusi perifer buruk, asidosis, oligouria, dan
kesadaran menurun.
3. Stadium Irreversible
Stadium ini merupakan stadium lanjut syok yang tidak mendapatkan
penanganan tepat dan berkelanjutan. Pada stadium ini akan terjadi
kerusakan dan kematian sel yang dapat berdampak pada terjadinya MOF
(multiple organ failure). Pada stadium ini, tubuh akan kehabisan energi
akibat habisnya cadangan ATP (adenosine triphosphate) di dalam sel.
Gejala klinis stadium ini meliputi nadi tak teraba, tekanan darah tak
terukur, anuria, dan tanda-tanda kegagalan organ (MODS – multiple organ
dysfunctions).
2.1.4 Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata
dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:7
1. Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan untuk pelaksanaan metabolisme di jantung
dan otak sangat tinggi tetapi kedua sistemik guna menyediakan perfusi
yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit
dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi sel organ itu
tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat
bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila
terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan
toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun
drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
2. Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh
baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam
respons autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.
3. Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan
(ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam
mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam
perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung.
Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada
akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi
jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
4. Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka
terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram
negatif yang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh
darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel
dan menyebabkan depresi jantung.
5. Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan
pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat
interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti
aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal
mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat
aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan
aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya
produksi urin.

2.1.5 Manifestasi Klinis Syok


Syok Hipovolemik terbagi menjadi dua, yakni oleh karena perdarahan dan
non perdaharan. Syok hipovolemik non perdarahan terbagi kedalam 3 tingkat
keparahan berdasarkan data tanda klinis yang didapat:
Ringan Sedang Berat
Deficit 3–5% 6–8% > 10%
Hemodinamik Takikardia Takikardia Takikardia
Nadi lemah Nadi sangat lemah Nadi tak teraba
Volume collapse Akral dingin
Hipotensi ortostatik Sianosis
Jaringan Lidah kering Lidah kering Atonia
Turgor turun Turgor kurang Turgor buruk
Urine Pekat Jumlah turun Oliguria
SSP Mengantuk Apatis Coma

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien syok :9
a. Hemoglobin dan hematokrit
Pemeriksaan Hb dan Ht dilakukan salah satunya untuk dapat
mendiferensiasi apakah ada perdarahan yang terjadi atau tidak pada pasien
syok. Pada fase awal syok karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masi
tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan
berlangsung lama. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang
terjadi. Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada
demam berdarah dengue atau diare dengan dehidrasi akan terjadi
hemokonsentrasi.
b. Urin
Produksi urin menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin
meningkat 1,020
a. Pemeriksaan gas darah
pH, PaO2, dan HCO3 darah menurun. Bila proses berlangsung terus
maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai tampak tanda-
tanda kegagalan dengan dengan makin menurunnya pH dan PaO2 dan
meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang lebih jelas
antara PaO2 dan PaCO2 arterial dan vena
b. Pemeriksaan elektrolit serum
Pada syok sering kali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit
seperti hiponatremia, hiperkalemia, dan hipokalsemia pada penderita
dengan asidosis.
c. Pemeriksaan fungsi ginjal
Pemeriksaan BUN dan kreatinin serum penting pada syok terutama bila
ada tanda-tanda gagal ginjal.
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Pembiakan kuman yang dilakukan hanya pada penderita-penderita
yang dicurigai.

2.1.7 Tatalaksana Syok


Tujuan penanganan tahap awal adalah untuk mengembalikan perfusi dan
oksigenasi jaringan dengan memulihkan volume sirkulasi intravaskuler. Terapi
cairan paling penting pada syok distributif dan syok hipovolemik, yang paling
sering terjadi pada trauma, perdarahan, dan luka bakar. Pemberian cairan intravena
akan memperbaiki volume sirkulasi intravaskuler, meningkatkan curah jantung dan
tekanan darah. Cairan kristaloid umumnya digunakan sebagai terapi lini pertama,
dapat dilanjut -kan dengan cairan koloid apabila cairan kristaloid tidak adekuat atau
membutuh-kan efek penyumbat untuk membantu mengurangi perdarahan. Cairan
kristaloid yang umum digunakan sebagai cairan resusitasi pada syok adalah RL,
NaCl 0,9%, dan dextrose 5%. Terapi pada syok antara lain:10
1. Tentukan defisit cairan.
2. Atasi syok: berikan infus RL (jika terpaksa NaCl 0,9%) 20 mL/kgBB
dalam ½-1 jam, dapat diulang. Apabila pemberian cairan kristaloid tidak
adekuat/gagal, dapat diganti dengan cairan koloid, sepert HES, gelatin, dan
albumin.
3. Bila dosis maksimal, cairan koloid tidak dapat mengoreksi kondisi syok,
dapat diberi noradrenaline, selanjutnya apabila tidak terdapat perbaikan,
dapat ditambahkan dobutamine
4. Sisa defisit 8 jam pertama: 50% defisit + 50% kebutuhan rutin; 16 jam
berikutnya: 50% defisit + 50% kebutuhan rutin. Apabila dehidrasi
melebihi 3-5% BB, periksa kadar elektrolit; jangan memulai koreksi defisit
kalium apabila belum ada diuresis. Terapi resusitasi cairan dinyatakan
berhasil dengan menilai perbaikan outcome hemo-dinamik klinis, seperti:
 MAP (mean arterial pressure) ≥ 65 mmHg
 CVP (central venous pressure) 8-12 mmHg
 Urine output ≥ 0,5 mL/kgBB/jam
 Central venous (vena cava superior ) atau mixed venous oxygen
saturation ≥70%
 Status mental normal

2.2 Penurunan Kesadaran


Kesadaran adalah kondisi awareness dan wakefulness seseorang terjaga, dan
pasien sadar penuh atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitar. Kesadaran
menggambarkan keseluruhan dari fungsi cortex serebri, termasuk fungsi kognitif
dan sikap dalam merespon suatu rangsangan. Pasien dengan penurunan kesadaran
tidak selalu berarti pasien tidak berespons kepada rangsangan yang diberikan.
Penurunan atau melambatnya respon terhadap rangsangan yang diberikan juga
menandakan adanya penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran menjadi
petunjuk adanya penurunan fungsi integritas, dan dapat juga menjadi gejala klinis
dari kegagalan organ lain yang berujung pada kegagalan perfusi sirkulasi yang
mengarah ke otak.

Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang


digunakan diklinik yaitu compos mentis, somnolen, sopor, koma ringan, dan koma.
Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara, penurunan kesadaran dapat
pula dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan Glasgow Coma Scale.

2.2.1 Etiologi Penurunan Kesadaran


Etiologi penurunan kesadaran secara garis besar terbagi menjadi dua:
gangguan metabolik/fungsional dan struktural

1. Gangguan metabolik/fungsional
Gangguan ini antara lain berupa keadaan hipoglikemik/hiperglikemik,
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, gangguan keseimbangan
elektrolit, intoksikasi obat-obatan, intoksikasi makanan serta bahan-
bahanan kimia, infeksi susunan saraf pusat.
2. Gangguan struktural
a. Lesi supratentorial : ekstradural, subdural, intraserebral
b. Lesi infratentorial : serebelum, pons, medulla oblongata

Infeksi atau Inflamasi Struktural Metabolik, Nutrisi,


Toksik

a. Infeksi a. Traumatik a. Hipoksik-Iskemik


Meningitis bakteri, Concussion, kontusio ensefalopati
encefalitis virus, serebri, epidural Syok, gagal jantung
infeksi Rickettsia, hematom, atau paru, tenggelam,
infeksi protozoa, intraserebral keracunan CO,
infestasi cacing hematom, diffuse keracunan sianida,
axonal injury, strangulasi
b. Inflamasi shaken-baby
Sepsis, vaskulitis, syndrome b. Gangguan metabolik
penyakit kolagen Sarkoidosis,
vaskular, b. Neoplasma hipoglikemia,
demyelinisasi, acute gangguan
disseminated c. Vaskular keseimbangan cairan
encephalomyelitis, Infarks serebri: dan elektrolit,
multipel sklerosis trombosis, emboli, kelainan endokrin,
trombosis sinus asidosis (diabetic
venosus; Perdarahan ketoasidosis,
serebral: PSA, AVM, aminoacidemia,
aneurisma; organic acidemia),
Abnormalitas hiperammonemia
kongenital; Trauma (hepatik ensefalopati,
arteri karotis atau gangguan siklus urea,
vertebralis di leher gangguan
metabolisme asam
d. Infeksi fokal lemak, Reye’s
Abses, serebritis syndrome,
ensefalopati asam
e. hidrosefalus valproat), uremia,
porfiria, gangguan
mitokondria, Leigh’s
syndrome

c. Nutrisi
Defisiensi thiamin,
defisiensi niacin atau
asam nikotinik,
ketergantungan
piridoksin, defisiensi
folat dan B12

d. Toksin
Keracunan alcohol,
obat-obat bebas, obat-
obat yang diresepkan
(oral dan ophtalmik),
pengobatan herbal,
keracunan logam
berat, keracunan
jamur dan tumbuhan,
obat ilegal

e. Ensefalopatih
hipertensi

f. Ensefalopati luka
bakar

2.2.2 Penilaian Kualitatif dan Kuantitatif Penurunan Kesadaran


a) Penilaian Kualitatif
Skala kualitatif digunakan oleh triase untuk menentukan tingkat
kegawatdaruratan pasien. Penilaian ini mudah dilakukan. Secara garis
besar, pemeriksaan kesadaran secara kualitatif dimulai dengan observasi
adanya gerakan spontan dari pasien. Jika pasien dapat membuka mata
spontan dan sadar, maka pasien tergolong compos mentis. Jika pasien
memberikan respons terhadpa suara maka dinilai voice. Bila pasien
memberikan respons rangsangan nyeri tergolong pain. Jika tidak ada
respons sama sekali maka tergolong unresponsive.11
Tingkat kesadaran Karakteristik
Hilangnya seluruh kesadaran yang ditandai tidak
adanya respons pasien terhadap diri dan
lingkungannya
Koma
Tidak memiliki siklus bangun tidur
Tidak ada gerakan motorik volunter
Hilangnya sebagian kesadaran
Sulit untuk dibangunan

Stupor / sopor Respons yang diberikan bersifat lambat dan


inadekuat
Sesaat setelah respons diberikan pasien segera
kembali tidak sadar
Tidak terlalu sulit dibangunkan
Pasien dapat waspada penuh bila dibangunkan
Somnolen dengan rangsangan suara atau nyeri, tetapi
kembali tidak sadar saat rangsangannya tidak ada
lagi atau ditinggal sendirian
Kondisi sadar penuh terhadap diri sendiri dan
Kompos mentis
lingkungan eksternal

b) Penilaian Kuantitatif
Penilaian kesadaran secara kuantitatif paling sering menggunakan
metode penilaian Glasgow Coma Scale, yang menilai respons mata,
motorik, dan verbal pasien terhadap rangsangan perintah dan nyeri yang
diberikan.
2.2.3 Algoritma Penurunan Kesadaran
Prinsip penatalaksanaan pada dasarnya sama untuk setiap penderita dengan
penurunan kesadaran:
1. Memastikan oksigenasi. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat
merupakan prinsip yang paling penting. Bila dibutuhkan maka bantuan
ventilasi mekanik dapat diberikan.
2. Mempertahankan sirkulasi. Mempertahankan fungsi kardiovaskular
merupakan prinsip penting selanjutnya dan akses intravaskular harus
dipersiapkan dengan baik.
3. Pemberian glukosa. Kesadaran yang tidak pulih setelah pemberian glukosa
menyingkirkan diagnosis hipoglikemia.
4. Menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat 350 terjadi pada gangguan struktural, metabolik atau
toksisitas. Deteksi dini penyebab yang dapat diatasi secara bedah
memungkinkan dilakukannya intervensi yang tepat. CT scan kepala harus
dilakukan pada setiap anak dengan koma akibat cedera kepala tertutup dan
pada setiap anak dengan penyebab yang tidak dapat segera dipastikan atau
dengan onset yang tidak diketahui. Peningkatan tekanan intrakranial harus
diatasi segera dengan
- elevasi kepala 30 diatas bidang datar,
- hiperventilasi sampai pCO2 mencapai 20-25 mmHg dan pemberian
obat-obatan.
- Setelah gangguan sirkulasi teratasi, infus cairan dekstrose 5% dan NaCl
0,9% (3:1) diberikan sebanyak 75% dari kebutuhan rumatan.
Manitol juga bermanfaat menurunkan tekanan intrakranial dan
diberikan sebagai larutan 20% perdrip intravena dengan dosis 0,5-2
gr/kgBB selama 30 menit setiap 6 jam.
Kortikosteroid seperti deksamethasone mungkin bermanfaat terutama
bila terdapat edema perifokal (tumor) dan diberikan intravena dengan
dosis 1-2 mg/kgBB.
5. Memberantas kejang. Status epileptikus dan kejang lain harus diberantas.
Perlu dipertimbangkan adanya kejang walaupun tidak bermanifestasi secara
klinis (status epileptikus nonkonvulsif subklinis); sehingga tersedianya EEG
sangat esensial.
6. Mengobati infeksi. Bila dicurigai adanya infeksi susunan saraf pusat
dilakukan pungsi lumbal dan diobati dengan antibiotik atau antivirus yang
sesuai.
7. Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Gangguan
keseimbangan elektrolit sering diakibatkan gangguan sekresi hormone
antidiuretik. Pemberian cairan yang tidak tepat pada keadaan ini dapat
memperburuk keadaan. Hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia atau
hipomagnesemia yang menyertai penyakit sistemik jauh lebih sering
menyebabkan koma. Asidosis atau alkalosis metabolik atau respiratorik juga
harus dikoreksi.
8. Mengatur suhu tubuh.
9. Atasi agitasi.

2.3 Stroke Iskemik


Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat
obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Stroke
iskemik dapat terjadi akibat thrombosis serebri, emboli serebri, dan hipoperfusi
sistemik.
Berdasarkan waktu terjadinya, klasifikasi stroke iskemik berawal dari :
1. Transient Ischaemic Attact (TIA)
Deficit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30 menit
2. Reversible Ischaemic Neurologival Deficit (RIND)
Deficit neurologis membaik kurang dari 1 minggu
3. Stroke in Evolution (SIE)
4. Complete Stroke

2.3.1 Patofisiologi
Stroke iskemik terjadi apabila terjadi oklusi atau penyempitan aliran darah ke
otak dimana otak membutuhkan oksigen dan glukosa sebagai suber energi agar
fungsinya tetap baik. Aliran drah otak atau Cerebral Blood Flow (CBF) dijaga pada
kecepatan konstan antara 50-150 mmHg.
Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh:
a. Keadaan pembuluh darah
Bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat oleh trombus
atau embolus maka aliran darah ke otak terganggu.
b. Keadaan darah
Viskositas darah meningkat, polisitemia menyebabkan aliran darah ke otak
lebih lambat, anemia yang berat dapat menyebabkan oksigenasi otak
menurun.
c. Tekanan darah sistemik
Autoregulasi serebral merupakan kemampuan intrinsik otak untuk
mempertahankan aliran darah ke otak tetap konstan walaupun ada
perubahan tekanan perfusi otak.
d. Kelainan jantung
Kelainan jantung berupa atrial fibrilasi, blok jantung menyebabkan
menurunnya curah jantung. Selain itu lepasnya embolus juga menimbulkan
iskemia di otak akibat okulsi lumen pembuluh darah. Jika CBF tersumbat
secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena
kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Infark
otak, kematian neuron, glia, dan vaskular disebabkan oleh tidak adanya
oksigen dan nutrien atau terganggunya metabolisme
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : Ny. AE
Umur : 86 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Ruang : IGD
No. CM : C772987
Tgl masuk : 28 Agustus 2019

3.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan keluarga pasien pada tanggal 28 Agustus 2019 di IGD
RSUP dr. Kariadi.
A. Keluhan utama:
Penurunan kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pada tanggal 28 Agustus 2019 sekitar pukul 01.00 pasien dibawa keluarga
karena keluhan ± 7 hari yang lalu pasien mulai terlihat lemas dan lemah,
Pasien malas makan dan minum, sehari-hari hanya berbaring di tempat
tidur. Pasien sulit menelan (+) kelemahan anggota gerak (-). Kurang lebih 3
hari yang lalu, pasien enggan makan dan minum – pasien menolak minum
obat hipertensi. Pasien sulit menelan, dan tampak ada kelemahan anggota
gerak, sebelah kiri lebih berat dibanding yang kanan.
Sekitar 14 jam SMRS, pasien mulai sulit diajak komunikasi, pasien dapat
membuka mata namun kontak minim. Muntah (-) batuk (-) sesak (+) demam
(-) lemah anggota gerak kiri (+) mulut perot (+).
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat tekanan darah tinggi (+) sejak 15 tahun, minum obat
amlodipine 5mg namun tidak terkontrol
 Riwayat stroke sebelumnya (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat trauma sebelumnya (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit serupa
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sudah tidak bekerja. Suami pasien sudah meninggal. Pasien tinggal
bersama anak pasien. Pasien memiliki 3 orang anak yang sudah mandiri.
Pembiayaan dengan BPJS.
Kesan social ekonomi cukup.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan di IGD
 Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : somnolen, E4V2M4
Airway : Paten, gargling (-), snoring (-)
Breathing : Laju pernapasan 36x/menit, wheezing (-/-)
Circulation : Tekanan darah 80/73 mmHg, nadi 116x/menit,
Pulsasi perifer lemah
 Tanda-tanda Vital
Denyut jantung : 116x/menit
Laju pernapasan : 36x/menit
Tekanan Darah : 80/73 mmHg
Suhu : 36,7 oC
 BB : 55 kg
 TB :-
 Kepala : Mesosefal, luka (-)
 Wajah : Moonface (-)
 Mata : Pupil isokor, Reflek Cahaya +/+, Reflek Kornea
(+/+), konjungtiva anemis (+/+)
 Telinga : Discharge (-)
 Hidung : Epistaksis (-), Discharge (-), Deviasi septum (-)
 Mulut : Bibir kering (+), Bibir sianosis (-), perdarahan (-)
 Leher : Trakhea deviasi (-), pembesaran nnll (-/-), kaku
kuduk (-)
 Dada
Pulmo : Simetris, SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Cor : Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen : Cembung, supel, bising usus normal
Ekstremitas : Edema (-/-), akral dingin (+/+), pucat (+/+), CRT
(>2/>2)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Analisis gas darah (28/08/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
BGA
Temperatur 36,0 C
FIO2 52,0 %
pH 7,474 7,37-7,45
pCO2 26,4 mmHg 35-45
pO2 260,9 mmHg 83-108
pH (T) 7,489 7,35-7,45
pCO2 (T) 25,3 mmHg
pO2(T) 256,2 mmHg
HCO3- 19,6 mmol/L 22-26
TCO2 20,4 mmol/L
Beecf -4,2 mmol/L
BE -2,5 mmol/L -2 – 3
SO2c 99,9 % 95-100
A-aDO2 89,3 mmHg
RI 0,3
Darah Rutin (28/08/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 9,9 g/dL 13-16
Ht 31,7,0 % 40-54
Eritrosit 3,33 10^6/μL 4,4-5,9
MCH 29,7 Pg 27-32
MCV 95,2 fL 76-96
MCHC 31,2 g/dL 29-36
Leukosit 16,8 10^3/μL 3,8-10,6
Trombosit 278 10^3/μL 150-400

Kimia Klinik (28/08/2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Glukosa Darah 173 mg/dL 80-160
Sewaktu
Asam laktat 2,2 0,4 – 2,0
SGOT 32 U/L 15-34
SGPT 53 U/L 15-60
Ureum 216 mg/dL 15-39
Kreatinin 3,6 mg/dL 0,6-1,3
Natrium 148 mmol/L 136-145
Kalium 4,7 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 110 mmol/L 98-107

Koagulasi (28/08/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
PPT 13,2 Detik 9,4-11,3
PTTK 36,7 Detik 27,7-40,2
APTT Kontrol 30,6 Detik

3.5 Diagnosis
Syok hipovolemik non hemoragik et causa dehidrasi, dd: suspek sepsis
Penurunan kesadaran, assessmen intracranial : suspek stroke SNH

3.6 Tindakan Life-saving


 Nama Tindakan : Resusitasi cairan
 Diagnosis Kerja : Syok hipovolemik non hemoragik
 Dasar Diagnosis : Klinis dan penunjang
 Indikasi Tindakan : Hipotensi, tanda dehidrasi
 Tujuan : Mengganti defisit cairan yang kurang

3.7 Tindakan Anestesi


a. Terapi oksigen 6 lpm NRM
b. Terapi cairan:
Defisit cairan : 6% x 55 kg : 3300 ml
Tahap 1: RL 20-40 cc/Kg x 55 Kg = 1100 – 2200 cc dalam 1 - 2 jam
pertama
 1000 cc dalam 1 jam pertama
Tahap 2 : 0,5 x (sisa deficit cairan)
0,5 x 2300 : 1150 ml dalam 8 jam
: 143,75 ml per jam
Maintenance 2 ml x 55 kg : 110 ml per jam
 RL 143,75 + 110 : 253,75 ml per jam selama 6 jam
Tahap 3 : 0,5 x (sisa deficit cairan)
0,5 x 2300 : 1150 ml dalam 16 jam
: 71,875 ml
Maintenance 2 ml x 55 kg : 110 ml per jam
 RL 71,875 + 110 : 181,875 ml per jam selama 16 jam
c. Vascon syringe pump dosis titrasi (jika setelah terapi cairan MAP<65)
Dosis : 0,1 mcg/kgBB/menit  4,1 cc/jam
d. Dobutamine syringe pump dosis titrasi (jika setelah pemberian vascon
cairan MAP<65)
e. Pengawasan TTV dengan monitor
f. Konsul TS neuro dan TS interna
Tindakan dan Monitoring di Label Merah
(Tanggal 24/08/19 pukul 00.40 WIB)
S : Penurunan Kesadaran
O : - KU tampak lemah
 TD 80/73, HR 116x/menit, RR 36x/menit
 E4V2M4
 Mata : Isokor +/+ ; CA +/+
 Ekstremitas : CRT >2/>2 ; Sianosis +/+ ; akral dingin +/+
A : - Hipotensi
 Dispneu
 Syok hipovolemik
P : - O2 6 lpm NRM
 Infus 2 jalur, loading RL 1000 ml
 Cek BGA, GDS, darah rutin, elektrolit, studi koagulasi
 Foto thorax, MSCT kepala
 Monitor KU, TTV, Peningkatan TIK/24 jam
(Tanggal 28/08/19 pukul 03.50 WIB)
S:-
O : - KU tampak lemah
 TD 133/81, HR 114x/menit, RR 32x/menit
 Hb 9,9 ; Leu 16,8 ; Ur 216 ; Cr 3,6
 qSOFA : 3
A : syok hipovolemik perbaikan, suspek sepsis
P : infus 2 jalur, loading RL 3000 ml (total sejak pukul 00.40)
(Tanggal 03/08/19 pukul 07.30 WIB)
S:-
O : - KU tampak lemah
 TD 90/61, HR 111x/menit, RR 30x/menit
 E3M5Vafasia
A : syok hipovolemik perbaikan,
P: - NaCl 0.9% 20 tpm
- Konsul TS interna
- Konsul TS Neuro
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini, pasien wanita usia 86 tahun datang dengan keluhan
utama penurunan kesadaran. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
apatis dengan E4M2V4 dengan tekanan darah 80/73 mmHg, laju nafas 36/menit
dan nadi 116x/menit.
Pada pemeriksaan airway tidak didapatkan gangguan airway. Pasien datang
dalam kondisi airway yang paten. Pada pemeriksaan breathing didapatkan napas
spontan dengan peningkatan laju pernapasan 36x/menit tanpa ada suara tambahan
pada auskultasi paru. Pasien kemudian mendapatkan terapi oksigen 6 liter per menit
yang diberikan melalui NRM. Pemberian oksigen dilakukan untuk membantu
memperbaiki delivery oxygen (DO) ke jaringan. Pasien yang mengalami hipotensi
dapat dipikirkan adanya suatu proses hilangnya volume cairan ditubuh. Hilangnya
volume cairan tubuh dapat disebabkan oleh perdarahan dan non perdarahan.
Kehilangan volume akut sebesar ≥ 20%-25% dari volume darah yang beredar akan
berpengaruh terhadap aliran balik vena (preload) sehingga akan menyebabkan
penurunan cardiac output. Untuk mencukupi penyaluran oksigen ke jaringan, perlu
adanya kompensasi. Salah satunya dengan meningkatkan PaO2 yang dapat
dilakukan dengan memberikan terapi oksigen yang adekuat. Pada penilaian
circulation didapatkan hipotensi 80/73 mmHg dengan nadi 116x/menit pulsasi
teraba lemah. Hal ini menunjukan adanya gangguan sirkulasi yang memerlukan
tindakan resusitasi cairan yaitu dengan pemberian loading infus sebagai terapi
inisial.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini di IGD, didapat adanya
akral dingin dan pucat serta peningkatan capillary refill time > 2 detik ; conjungtiva
tampak anemis ; dan bibir kering. Temuan fisik ini mengarahkan pada adanya suatu
kondisi dehidrasi pada pasien. Keadaan dehidrasi didukung pula dari anamnesis
bahwa intake makan dan minum pasien sangat sedikit sejak beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit.
Kumpulan gejala takikardi, peningkatan laju nafas, hipotensi dan tanda dehidrasi
dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami syok hipovolemik non hemoragik.
Pasien ini dapat di diagnosis banding dengan kemungkinan adanya sepsis – yang
dapat memperburuk kondisi syok yang telah mendasari. Diagnosis suspek sepsis
didapatkan dari adanya ketiga kriteria qSOFA yang muncul : penurunan kesadaran,
RR > 22, dan SBP < 100mmHg. Kecurigaan adanya infeksi juga didukung oleh
hasil pemeriksaan darah rutin leukosit yang meningkat. Namun untuk mendiagnosis
sebagai sepsis, perlu ditemukan fokal infeksi. Pemeriksaan foto thorax, dan urin
rutin serta kultur urin dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang awal di IGD
untuk mencari fokal infeksi, dengan kecurigaan pneumonia dan ISK. Kondisi sepsis
akan menyebabkan dilepasnya mediator-mediator inflamasi yang berefek pada
vasodilatasi pembuluh darah. Kondisi pasien yang kekurangan cairan ditambah
dengan vasodilatasi akan semakin memperjelas gejalas syok yang muncul.
Pemeriksaan penunjang untuk asesmen syok hipovolemik yang dilakukan di
IGD diantaranya adalah darah rutin dan analisis gas darah. Dari pemeriksaan darah
rutin didapatkan penurunan nilai Hb (9,9) Ht (31,7) leukosit (16,8) dan dari
pemeriksaan AGD didapatkan peningkatan sedikit dari pH (7,474), penurunan
pCO2 (26,4) HCO3- (19,6), dan base excess / BE (-2,5). Dari pemeriksaan kimia
klinik didapatkan ada peningkatan asam laktat (2,2). Timbunan asam laktat terjadi
dapat terjadi akibat proses metabolic anaerob yang terjadi oleh karena buruknya
perfusi dari tubuh, dimana salah satu produk samping dari metabolisme anaerob
adalah asam laktat.
Terapi inisial untuk resusitas dianjurkan bolus 1 liter cairan untuk dewasa atau
20ml/kgBB untuk pasien pediatric dengan berat kurang dari 40 kilogram. Pada
pasien ini, pemberian terapi direncanakan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap
pertama bertujuan untuk mengejar kekurangan cairan, dimana diberikan sekitar
1100 – 2200 cc dalam 1 – 2 jam pertama. Bila keadaan hemodinamik sudah stabil,
makan dilanjutkan ke tahap kedua dan ketiga yang bertujuan untuk membayar
hutang deficit cairan dan maintenance cairan per jam, dibagi kedalam 8 jam pertama
dan 16 jam selanjutnya.
Resusitasi cairan bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi sehingga perfusi
jaringan kembali tercukupi. Namun bila pemberian cairan saja masih belum
menunjukan perbaikan perfusi perlu dipikirkan penggunaan obat-obatan. Dalam
menentukan jenis obat, perlu diketahui mekanisme kerja obat tersebut dalam
mempengaruhi CO. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi cardiac output yaitu
preload, kontraktilitas dan afterload. Pada kasus ini, penurunan cardiac output
terjadi karena hilangnya volume intravaskular sehingga terapi cairan menjadi salah
satu upaya koreksi. Kemudian, pada pasien ini diketahui tidak memiliki kelainan
jantung sehingga dapat diasumsikan bahwa fungsi jantungnya dalam batas normal.
Dari hal tersebut dapat dipertimbangkan pemberian obat-obatan yang
memperngaruhi afterload untuk memperbaiki cardiac output. Salah satunya yang
tersedia dan sering digunakan ialah norepinefrin. Pemeberian terapi farmakologis
diberikan bila terapi resusitasi cairan tidak mampu mengisi volume cairan tubuh
yang kurang dan syok tidak menunjukkan tanda perbaikan.
Pemberian terapi harus diikuti dengan monitoring tanda vital dan klinis. Bila
belum optimal dapat dinaikan dosisnya, atau apabila sudah melebihi target dapat
diturunkan atau bahkan dihentikan. Sedangkan pemberian obat-obatan inotropik
biasa digunakan apabila vasokonstriktor dosis maksimal masih belum berespon
atau pada kondisi syok kardiogenik. Perlu diperhatikan adanya kemungkinan
komplikasi resusitas cairan seperti terjadinya edema pulmonum dan gangguan
elektrolit sehingga penting untuk memantau tanda vital, urin output, status internus
dapat disertai dengan pemantauan elektrolit, darah rutin, studi koagulasi dan analisa
gas darah pasien.
Pada pasien ini selain ditemukan tanda-tanda adanya kegawatdaruratan syok
hipovolemik, juga ditemukan kegawatdaruratan penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran merupakan kegawatan medis dan neurologik yang memerlukan
intervensi segera, termasuk tunjangan hidup dasar (basic life support), identifikasi
penyebab koma, dan pemberian terapi yang spesifik. Evaluasi dan penatalaksanaan
awal yang terpenting pada pasien penurunan kesadaran adalah untuk memastikan
jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (airway, breathing, circulation, ABC) yang
adekuat. Pemeriksaan kadar glukosa untuk mendeteksi hipoglikemia harus segera
dilakukan. Hipoglikemia merupakan penyebab langsung yang sering terjadi pada
penurunan kesadaran, karena glukosa berfungsi sebagai substrat untuk metabolisme
energi otak, pemberian glukosa melalui jalur intravena dapat segera menunjukkan
perbaikan. Namun, kondisi hiperglikemia juga dapat menyebabkan manifestasi
penurunan kesadaran pada seseorang.
Sampel darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kadar
glukosa, kalsium, dan magnesium, fungsi hati (terutama bilirubin dan ammonia),
test koagulasi, dan uji tapis toksikologi. Pemasangan kateter Foley dan
pengambilan sampel urine untuk pemeriksaan urinalisis, kultur dan uji tapis
toksikologi. Pemasangan monitor elektrokardiografi dan pelaksanaan foto rontgen
juga diperlukan.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk mengidentifikasi
penyebab dan progresifitas gangguan kesadaran. Penting untuk mengetahui tentang
onset munculnya gejala neurologi. Koma dapat merupakan lanjutan dari suatu
penyakit, akibat yang tidak terduga, penyulit dari suatu penyakit, atau kejadian yang
tidak terduga. Waktu, lokasi dan durasi gejala awal bisa memberikan petunjuk
penyebab gangguan kesadaran. Koma yang terjadi secara tibatiba dapat memberi
dugaan kejang atau perdarahan intrakranial. Koma yang didahului kantuk atau
ketidakstabilan dapat memberi dugaan tertelannya obat-obatan atau racun. Demam
biasa terjadi pada anak koma karena proses infeksi. Riwayat nyeri kepala dapat
memberi dugaan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan herniasi yang dapat mengakibatkan kerusakan otak
permanen atau kematian. Gejala peningkatan tekanan intrakranial antara lain nyeri
kepala yang berat, muntah, gangguan penglihatan, dan perubahan tingkah laku atau
derajat kesadaran. Tanda-tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial adalah
edema papil, kelumpuhan saraf otak, status mental abnormal dan postur tubuh
tertentu.
Pada pasien ini, asesmen awal penurunan kesadaran yang dilakukan adalah
dengan melakukan observasi penilaian penurunan kesadaran secara kualitatif dan
kuantitatif. Berdasarkan observasi dan pengamatan awal, didapatkan penurunan
respons pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Pasien tampak somnolen dan
nilai GCS total 10.
Asesmen kegawatdaruratan berikutnya adalah menilai ABC pasien. Airway
pasien didapatkan aman saat pemeriksaan. Breathimg tidak didapatkan pola nafas
ireguler abnormal saat pemeriksaan. Circulation seperti yang sudah didiskusikan
diatas, didapatkan hemodinamik yang tidak stabil.
Berdasarkan anamnesis dan klinis pasien yang muncul, dapat dipikirkan bahwa
etiologic penurunan kesadaran selain dari gangguan sirkulasi metabolic berasal dari
masalah vascular, curiga stroke. Asesmen awal kegawatdaruratan neurologis selain
pengamanan ABC adalah untuk segera melakukan MSCT kepala. Dari hasil MSCT
kepala yang dilakukan, pasien ny. AE ditemukan gambaran stroke infark dan
diberikan terapi awal Aspilet 160mg/24 jam PO dan persiapan untuk rawat unit
stroke.
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien wanita 86 tahun dengan syok hipovolemik. Resusitasi
awal dilakukan dengan pemberian cairan RL intravena 20-40cc/KgBB. Resusitasi
cepat diberikan dalam 1 jam pertama lalu pantau kembali tanda vital pasien. Bila
tanda vital membaik, resusitasi masuk ke tahap 2 dan 3 yakni membayar deficit
cairan dan maintenance dalam 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Bila
hemodinamik jatuh kembali, kembali lakukan resusitasi cepat dan pantau lagi tanda
vital. Apabila setelah loading cairan hemodinamik pasien tidak membaik, maka
diberikan vasokonstriktor menggunakan syringe pump dengan dosis titrasi. Jika
setelah pemberian vasokonstriktor hemodinamik pasien tidak membaik, maka
diberikan dobutamine menggunakan syringe pump dengan dosis titrasi. Pasien
dikonsulkan dengan teman sejawat interna dan neuro untuk mengatasi problem
utama penurunan kesadaran dan kemungkinan adanya infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyohadi B, et.al. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam Buku I EIMED Dasar.

Jakarta: Interna Publishing; 2011. 336-350 p.

2. Worthley LIG. Shock : a Review of Pathophysiology and Management. Crit

Care Resusc. 2000;2:55–65.

3. Gülmezoglu AM, et.al. WHO Recommendations for the Prevention and

Treatment of Postpartum Haemorrhage. Italy: World Health Organization;

2012. 1-48 p.

4. Richard JB, et.al. Diagnosis and Management of Shock in the Emergency.

Emerg Med Prctice. 2014;16(3):1–24.

5. Soenarjo, Jatmiko HD. Syok dan Pengelolaannya. In: Anestsiologi.

Semarang: Ikatan Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi; 2010. p. 282.

6. Leksana E. Dehidrasi dan Syok. CKD-228. 2015;42(5):391–4.

7. Bawantika IK, Putra A. Hypovolemic shock. 2016;2016(1602511171).

8. Cannon JW. Hemorrhagic Shock. N Engl J Med. 2018;378:370–9.

9. Furlong J. Hypovolemic Shock and Fluid Resuscitation. Artifact J.

2016;4:1–14.

10. Jocelyne M, et.al. SOGC Clinical Practice Guidelines : Hemorrhagic Shock.

J Obs Gynaecol Can. 2002;24(6):504–5011.

11. Riwanti Estiasari, et al. Pemeriksaan Klinis Neurologis Praktis Umum.

Kolegium Neurologi Indonesia PDSSI 2018

Anda mungkin juga menyukai