DL Kegawatan Mater FIX
DL Kegawatan Mater FIX
Disusun Oleh:
PSIK A 2016
Kelompok 3
1. Ibu Ita Yuanita, S.Kp., M.Kep, Selaku dosen pembimbing dalam modul
Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
2. Orang tua yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan makalah.
3. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan FIKES Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan sumbangan
motivasi.
4. Anggota Kelompok 3
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya. Penulis berharap
semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya terutama para
pembaca.
Wassalamuallaikum. Wr. Wb
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kegawatdaruratan dan Postpartum.............................. 6
2.2 Konsep Perdarahan Postpartum................................................. 7
2.3 Konsep Pre eklampsia/Eklampsia Postpartum.......................... 17
2.4 Konsep Sepsis Peurperium Postpartum..................................... 31
2.5 Konsep Mastitis Postpartum......................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................
3.2 Saran..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi kegawatdaruratan
maternal dan post partum
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep perdarahan post
partum
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep pre
eklampsia/eklampsia post partum
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep sepsis peurperium
post partum
5. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep mastitis post partum
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
2.2 Konsep Perdarahan Postpartum
2.2.1 Definisi
Perdarahan pada Masa Nifas/Perdarahan Post Partum Sekunder
(late postpartum hemorrhage) merupakan perdarahan yang terjadi lebih
dari 24 jam dengan kehilangan darah lebih dari 500 mL setelah
persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan
abdominal.
2.2.2 Etiologi
1. Atonia uteri :
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya
miometrium untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan
postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat
miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Kegagalan
kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan
perdarahan yang cepat dan parah serta syok hipovolemik.
2. Luka jalan lahir :
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan
dengan trauma. Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya
robekan yaitu (Rohani, Saswita dan Marisah, 2011):
a. Derajat satu : robekan mengenai mukosa vagina dan kulit
perineum.
b. Derajat dua : robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot
perineum.
c. Derajat tiga : robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum,
otot perineum, dan otot sfingter ani eksternal.
d. Derajat empat : robekan mengenai mukosa vagina, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani eksternal, dan mukosa
rektum.
7
3. Retensi plasenta :
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan
karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah
lepas tetapi belum dilahirkan.
Terdapat jenis retensio plasenta antara lain :
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
plasenta sehingga menyebabkan mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
memasuki sebagian lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan serosa dinding uterus.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum
uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
4. Gangguan pembekuan darah
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan
pada pembekuan darah.Kelainan pembekuan darah dapat berupa
hipofibrinogenemia, trombositopenia, Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura (ITP), HELLP syndrome (hemolysis,
elevated liver enzymes, and low platelet count), Disseminated
Intravaskuler Coagulation (DIC),dan Dilutional coagulopathy
(Wiknjosastro, 2006; Prawirohardjo, 2010).
8
4. Gangguan pembekuan darah : uterus berkontraksi dan lembek,
plasenta lahir lengkap, perdarahan, riwayat perdarahan lama.
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 2008) :
1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang
terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan
postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang
terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum
sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak
baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
2.2.5 Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar
untuk meningkatkan sirkulasi zke sana, atoni uteri dan subinvolusi
uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga sehingga
pembuluh darah- pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup
sempura sehinga pedarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan terakhir
seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga
menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit
darah pada ibu; misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena
tidak ada kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah
juga merupakan penyabab dari perdarahan dari postpartum. Perdarahan
yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
9
2. Jumlah darah lengkap : Mengesampingkan infeksi pasca partum
3. Kultur uterus dan vaginal : Memastikan kerusakan kandung kemih
4. Urinalisis : Peningkatan degeradasi kadar produk fibrin/ produk
spilit fibrin (SDP/FSP)
5. Profilkoagulasi : Menentukan adanya jaringan plasenta yang
tertahan.
6. Sonografi
10
a) Pitocin 10 - 20 unit dalam 1000 cc cairan IV
b) Methergine 0,2 mg IM bila tidak ada riwayat hipertensi
c) Prostin supositoria pervagina, uterus, atau rectum
d) Bila perdarahan uterus berlanjut berikan Hernabate 1
ampul per IM setiap 5 menit sebanyak tiga kali. Beri
dosis pertama 10 menit setelah pemberian prostin.
4) Lanjutkan kompresi bimanual
5) Pantau TTV dan tanda syok
c. Bila uterus terus berkontraksi dan perdarahan terus berlanjut,
perhatikan apakah ada laserasi.
1) Bila laserasi vagina atau perineum derajat pertama atau
kedua, segera perbaiki
2) Bila laserasi serviks atau laserasi vagina atau laserasi
perineum derajat tiga atau empat: jepit perdarahan dan
lakukan perbaikan bila terjadi hemostasis
d. Bila terjadi tanda - tanda syok:
1) Berikan infuse RL dengan cepat
2) Baringkan pasien dengan kaki sedikit dinaikkan
3) Berikan oksigen melalui masker
4) Jaga pasien agar tetap hangat, beri selimut
5) Pantau tanda - tanda vital
e. Pada kasus yang ekstrem, pertimbanngkan untuk melakukan hal-
hal berikut:
1) Injeksi oksitosin secara langsung ke uterus dengan trompet
lowa
2) Lakukan kompresi aorta
3) Lakukan histerektomi atau D&C bila diperlukan
3. Penatalaksanaan tindak lanjut
Lakukan uji hemotokrit :
a. Saat 12 jam setelah pelahiran
b. Saat 24 jam sesudah pelahiran
c. Pertimbangkan pemberian suplemen zat besi (Geri Morgan,
11
2009).
B. Pengkajian Fisik
1. Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)
12
b. Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
c. Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
d. Suhu : Normal/ meningkat
e. Kesadaran : Normal / turun (Barbara R.Stright, 2004)
2. Inspeksi
a. Inspeksi perineum apakah ada memar, bengkak, dan
karakteristik episiotomi
b. Kaji karakter lokia, yakni warna, bau dan jumlah
c. Pervaginam: keluar darah, robekan
d. Inspeksi kaki apakah ada edema atau goresan merah
e. Inspeksi payudara adakah area kemerahan
f. Inspeksi putting susu apakah ada pecah-pecah, memepuh
dan perdarahan (Barbara R. Stright, 2004)
3. Palpasi
a. Palpasi apakah uterus lembek, lokasi dan nyeri tekan
b. Palpasi adakah nyeri tekan, hangat, benjolan, dan nyeri pada
kaki
c. Palpasi payudara untuk memeriksa bengkak, benjolan dan
nyeri tekan
d. Kulit apakah dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat,
capilary refil memanjang
e. Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang
( Barbara R. Stright, 2004)
4. Pola pengkajian keluarga
a. Aktivitas istirahat : Insomia mungkin teramat.
b. Sirkulasi : kehilangan darah selama proses post portum
c. Integritas ego : Peka rangsang, takut atau menangis sering
terlihat kira-kira 3hari setelah melahirkan “post portum
blues”
d. Eliminasi : BAK tidak teratur sampai hari ke 2dan ke 5
e. Makan dan cairan : Kehilangan nafsu makan mungkin
dikeluhkan kira-kira sampai hari ke 5
13
f. Persepsi sensori: Tidak ada gerakan dan sensori
g. Nyeri dan ketidaknyamanan: Nyeri tekan payudara dan
pembesaran dapat terjadi diantara hari ke 3 sampai hari ke 5
post partum
h. Seksualitas:
1) Uterus diatas umbilikus pada 12 jam setelah kelahiran
menurun satu jari setiap harinya
2) Lochea rubra berlanjut sampai hari ke 2
3) Payudara produksi kolostrum 24 jam pertama
5. Pengkajian Psikologis
a. Apakah pasien dalam keadaan stabil
b. Apakah pasien biasanya cemas sebelum persalinan dan masa
penyembuhan
C. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
1. Biakan dan uji sensitivitas (pada luka, drainase atau urine)
digunakan untuk mendiagnosis infeksi
2. Venografi adalah metode yang paling akurat untuk mendiagnosis
thrombosis vena profunda
3. Ultrasonografi Doppler real-time dan Ultrasonografi Doppler
berwarna adalah metode diagnostik untuk mendiagnosis adanya
tromboflebitis dan thrombosis.
4. Urinalisis : Memastikan kerusakan kandung kemih
5. Profil koagulasi : Peningkatan degeradasi kadar produk fibrin/
produk spilit fibrin (SDP/FSP)
6. Sonografi : Menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.
( Barbara R. Stright, 2004)
D. Diagnosa Keperawatan
No. Data Masalah Etiologi
14
1. DS : Risiko Kehilangan
- Klien merasa lemah Hipovolemia Cairan Secara
- Klien merasa pusing Aktif
DO :
- Perdarahan Post Partum
- Akral dingin
2. DS : - Risiko Infeksi Efek Prosedur
DO : - Tindakan Invasif (Intranatal) Invasif
E. Rencana Keperawatan
DIAGNOSA SLKI SIKI
Risiko Status Cairan Manajemen Perdarahan Pervaginam
Hipovolemia Setelah dilakukan asuhan Pasca Persalinan
d/d keperawatan selama 10 menit, Observasi
Kehilangan diharapkan status cairan 1. Periksa uterus (mis: TFU sesuai
Cairan Secara membaik, dengan KH: hari melahirkan, membulat
Aktif 1. Kekuatan nadi meningkat keras/lembek)
2. Turgor kulit membaik 2. Identifikasi penyebab kehilangan
3. Output urine meningkat darah
4. Frekuensi nadi normal 3. Monitor resiko adanya
5. TD normal perdarahan
6. Membran mukosa lembab 4. Monitor kadar Hb, Ht, Pt, dan
APTT
5. Monitor fungsi neurologi
6. Monitor membran mukosa
Terapeutik
1. Lakukan penekanan pada area perdarahan,
jika perlu
2. Berikan kompres dingin, jika perlu
3. Posisikan supine
4. Pasang IV line dengan selang infus
transfuse
15
5. Lakukan pijat uterus untuk merangsang
kontraksi uterus
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian transfusi darah
16
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi yang disertai
proteinuria terjadi setelah kehamilan minggu ke-20 sampai minggu ke-
6 setelah persalinan.
Eklampsia didefinisikan sebagai peristiwa terjadinya kejang
pada kehamilan ≥ 20 minggu disertai atau tanpa penurunan tingkat
kesadaran bukan karena epilepsi maupun gangguan neurologi
lainnya.Kejangeklampsia hampir selalu didahuluioleh preeklampsia.
Eklampsia paling sering terjadi pada trimester ketiga dan menjadi sering
saat kehamilan mendekati aterm.Eklampsia dapat terjadi pada
antepartum, intrapartum, dan postpartum.Eklampsia postpartum
umumnya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.
2.3.3 Klasifikasi
17
Menurut (Mochtar, 2011) Pre-eklamsia ringan dan pre-eklamsia
berat dengan tanda dan gejala sebagai berikut :
1. Pre-eklamsia Ringan
Preeklamsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai
proteimuria dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau
segera setelah kehamilan. Gejala ini dapat timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas.
2. Pre-eklamsia Berat
Preeklamsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang
ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih
disertai proteinuria dan edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih
(Rukiyah dan Yulianti, 2010)
18
f. Oliguria < 400 ml/24 jam
g. Nyeri abdomen atas / epigastric
h. Edema paru dan koma
i. Ibu mengalami kejang
2.3.6 Patofisiologi
1. Preeklamsia
Marmi, dkk (2011) mengungkapkan bahwa pada
preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah yang disertai dengan
retensi air dan garam. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat
arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola
sedemikian sempitnya sehingga nyata dilalui oleh satu sel darah
19
merah. Jadi jika semua arteriola di dalam tubuh mengalami spasme
maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi
kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh
penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum
diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam.
Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi
perubahan pada glomerulus.
Rukiyah dan Yulianti (2010) mengatakan bahwa
vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis preeklampsia-
eklampsia. Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer
resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga
akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi
kerusakan endotel, kebocoran arteriola disertai perdarahan mikro
pada tempat endotel.
Pada preeklampsia-eklampsia serum antioksidan kadarnya
menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase
lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya
mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan
sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar
dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak
ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-
sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan
mengakibatkan antara lain: adhesi dan agregasi trombosit, gangguan
permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma, terlepasnya enzim
lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat rusaknya
trombosit. Produksi tetrasiklin terhenti, terganggunya keseimbangan
prostasiklin dan tromboksan, terjadi hipoksia plasenta akibat
konsumsi oksigen dan peroksidase lemak (Rukiyah dan Yulianti,
2010).
2. Eklamsia
Pada wanita hamil terdapat penurunan kadar magnesium
20
darah, walaupun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara
kehamilan normal dan preeklampsia atau eklampsia. Penurunan
kadar magnesium dalam darah pada penderita preeklampsia dan
eklampsia mungkin dapat diterangkan atas dasar hipervolemia
yang fisiologis pada kehamilan. Pengaruh yang paling berbahaya
dari ion Mg2+ adalah hambatan pelepasan Asetilkolin. Ion
Magnesium berperan dalam proses pelepasan ion Ca2+, Na+ dan K+
trans membran pada fase depolarisasi dan repolarisasi, melalui
aktivitas enzim Ca-ATPase dan Na- 6ATPase. Defisiensi Mg2+
akan menurunkan konsentrasi Kalium dalam sel dan meningkatkan
konsetrasi Na+ dan Ca2+ dalam sel yang pada akhirnya mengurangi
ATP intraseluler, sehingga Mg2+ dianggap sebagai stabilisator dari
berbagai kanal ion tidak berfungsi, dalam keadaan ini penurunan
jumlah ion Mg2+ akan meningkatkan ambang batas eksitasi
sehingga dapat menyebabkan kejang. (Mohd, Andalas. 2017.
Eklamsia Post Partum : Sebuah Tinjauan Kasus. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala Volume 17 Nomor 1 Apri 2017. Banda Aceh. )
21
d. Jika tekanan diastolic tetap lebih dari 110 mmHg, berikan
obat antihipertensi sampai tekanan diastolic di antara 90-110
mmHg
e. Pasang infus dengan jarum (16 gauge atau lebih besar)
f. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
cairan
g. Katererisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan
protein
h. Jika jumlah urine kurang dari 30 ml/jam :
1) Hentikan magnesium sulfat (MgSO4) dan berikan cairan
IV (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) pada kecepatan 1
liter/8 jam
2) Pantau kemungkinan edema paru
i. Jangan tinggalkan pasien sendirian (kejang disertai aspirasi
muntah dapat mengakibatkan kematian ibu)
j. Observasi tanda-tanda vital, refleks setiap jam
k. Jika pasien kejang
1) Beri obat antikonvulsan
2) Beri oksigen 4 – 6 liter/menit
3) Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan
diikat terlalu keras
4) Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko
aspirasi
5) Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu
6) Rujuk dengan prinsip BAKSO (Bidan, Alat, Keluarga,
Surat, Obat)
7) Miringkan ibu ke samping untuk mengurangi risiko
aspirasi dan memastikan jalan napas membuka.
2. Penanganan Khusus
Pemberian magnesium sulfat (MGSO4) merupakan obat
pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklamsia
berat dan eklamsia, dengan langkah :
22
a. Sebelum pemberian MgSO4, periksa :
1) Frekuensi pernapasan minimal 16/menit
2) Reflek patella (+)
3) Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
4) Beritahu pasien akan merasa agak panas sewaktu diberi
suntikan MgSO4
b. Pemberian dosis awal
1) Pemberian MgSO4 4 gr IV sebagai larutan 40% selama
5 menit
2) Segera dilanjutkan dengan pemberian 10 gr larutan
MgSO4 50%, masing-2 5 gr di bokong kanan dan kiri
secara IM dalam, ditambah 1 mg lignokain 2% pada
semprit yang sama.
3) Jika kejang berulang selama 15 menit, berikanMgSO4 2
gr (larutan 40%) IV selama 5 menit
c. Dosis Pemeliharaan
1) MgSO4 1-2 gr/jam per infus, 15 tetes/menit atau 5 gr
MgSO4
2) Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 pasca
persalinan atau kejang berulang
3) Hentikan pemberian MgSO4, jika :
i. Frekuensi pernapasan minimal < 16/menit
ii. Reflek patella (-)
iii. Urin < 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
4) Siapkan antidotum
Jika terjadi henti nafas, lakukan ventilasi (masker
dan balon, ventilator), beri kalsium glukonat 1 g (20 ml
dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan sampai
pernafasan mulai lagi.
B. Penatalaksanaan Non Farmakologis
23
1. Diet
a. Tujuan Diet
1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal
2) Mencapai dan mempertahankan tekanan darah normal
3) Mencegah dan mengurangi retensi garam atau air
4) Mencapai keseimbangan nitrogen
5) Menjaga agar penambahan BB tdk melebih normal
6) Mengurangi atau mencegah timbulnya faktor resiko lain
atau penyakit baru pada saat kehamilan atau setelah
melahirkan
b. Syarat Diet
1) Energi dan semua zat gizi cukup. Dalam keadaan berat
makanan diberikan secara berangsur, sesuai dengan
kemampuan pasien menerima makanan . Penambahan
energi tidak lebih dari 300 Kkal dari makanan atau diet
sebelum hamil.
2) Garam diberikan rendah sesuai dengan berat ringannya
retensi garam atau air. Penambahan BB diusahakan
dibawah 3 kg/bulan atau dibawah 1 Kg/minggu.
3) Protein tinggi (1½ – 2 g/kg berat badan).
4) Lemak sedang, sebagian lemak berupa lemak tdk jenuh
tunggal dan lemak tdk jenuh ganda.
5) Vitamin cukup; vit C & B6 diberikan sedikit lbh tinggi.
6) Mineral cukup terutama kalsium dan kalium.
7) Bentuk makanan disesuaikan dg kemampuan pasien.
8) Cairan diberikan 2500 ml sehari. Pada keadaan oliguria,
cairan dibatasi dan disesuaikan dengan cairan yg keluar
melalui urine, muntah, keringat dan pernafasan
c. Macam-macam Diet Preeklampsia
1) Diet Preeklampsia I
a) Diberikan kepada pasien dengan pre eklampsia berat
24
b) Makanan diberikan dalam bentuk cair, yg terdiri dari
susu dan sari buah
c) Jumlah cairan diberikan paling sedikit 1500 ml
sehari per oral dan kekurangannya diberikan secara
parental
d) Makanan ini kurang energi dan zat gizi karena itu
hanya diberikan 1 – 2 hari
2) Diet Pre eklampsia II
a) Sebagai makanan perpindahan dari diet pre
eklampsia I atau kepada pasien pre eklampsia yg
penyakitnya tdk begitu besar
b) Makanan berbentuk saring atau lunak.
c) Diberikan sebagai diet rendah garam I
d) Makanan ini cukup energi dan zat gizi lainnya
3) Diet Preeklampsia III
a) Sebagai makanan perpidahan dari diet pre eklampsia
II atau kepada pasien dengan pre eklampsia ringan.
b) Makanan ini mengandung protein tinggi dan rendah
garam .
c) Diberikan dalam bentuk lunak atau biasa .
d) Jumlah energi harus disesuaikan dengan kenaikan
berat badan yg boleh lebih dari 1 kg per bulan
25
dan dianalisis untuk mengetahui masalah dan kebutuhan ibu
terhadap perawatan.
Pengkajian yang dilakukan pada ibu dengan
preeklamsia/eklamsia antara lain sebagai berikut :
1. Identitas umum ibu.
2. Data riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
1) Kemungkinan ibu menderita penyakit hipertensi
sebelum hamil.
2) Kemungkinan ibu mempunyai riwayat preeklamsia pada
kehamilan terdahulu.
3) Biasanya mudah terjadi pada ibu dengan obesitas.
4) Ibu mungkin pernah menderita penyakit gagal kronis.
b. Riwayat kesehatan sekarang
1. Ibu merasa sakit kepala di daerah frontal.
2. Terasa sakit di ulu hati/nyeri epigastrum.
3. Gangguan virus : penlihatan kabur, skotoma, dan
diplopia.
4. Mual dan muntah, tidak ada nafsu makan.
5. Gangguan serebral lainnya : terhuyung-huyung,
refleks tinggi, dan tidak tenang.
6. Edema pada ekstremitas.
7. Tengkuk terasa berat.
8. Kenaikan berat badan mencapai 1 kg seminggu.
c. Riwayat kesehatan keluarga : Kemungkinan mempunyai
riwayat preeklamsia dan eklamsia dalam keluarga.
d. Riwayat perkawinan : Biasanya terjadi pada wanita yang
menikah dibawah usia 20 tahun atau diatas 35 tahun.
3. Pemeriksaan fisik biologis
a. Keadaan umum : lemah.
b. Kepala : sakit kepala, wajah edema.
26
c. Mata : konjungtifa sedikit anemis, edema
pada retina.
d. Abdomen : nyeri daerah epigastrium, anoreksia,
mual dan muntah
e. Ektremitas : oedema pada kaki juga pada tangan
dan jari-jari
f. Sistem persyarafan : hiperrefleksia, klonus pada kaki.
g. Genituorinaria : oligura, proteinuria.
h. Pemeriksaan janin : bunyi detak janin tidak teratur,
gerakan janin melemah.
4. Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah :
a. Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar
normal hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14
gr%).
b. Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37 – 43 vol%).
c. Trombosit menurun (nilai rujukan 150 – 450
ribu/mm3).
2) Urinalisis : Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi hati :
a) Bilirubin meningkat ( N= < 1 mg/dl ).
b) LDH ( laktat dehidrogenase ) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase ( AST ) > 60 ul.
d) Serum Glutamat pirufat transaminase (SGPT)
meningkat (N= 15-45 u/ml).
e) Serum glutamat oxaloacetic trasaminase (SGOT)
meningkat (N= <31 u/l).
f) Total protein serum menurun ( N= 6,7-8,7 g/dl ).
g) Tes kimia darah : Asam urat meningkat ( N= 2,4-2,7
mg/dl ).
b. Radiologi
27
1) Ultrasonografi : Ditemukan retardasi pertumbuhan janin
intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas
janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.
2) Kardiofotografi : Diketahui denyut jantung janin bayi
lemah.
3) ) USG : untuk mengetahui keadaan janin
c. Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu
d. Tingkat kesadaran : penurunan GCS sebagai tanda adanya
kelainan pada otak
e. NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin
B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b/d perubahan preload
2. Perfusi perifer tidak efektif b/d peningkatan tekanan darah
C. Intervensi
Dx SLKI SIKI
Penurunan curah Setelah dilakukan Perawatan jantung
jantung b/d tindakan keperawatan Observasi
perubahan preload selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi tanda gejala
DS : pasien mengeluh diharapkan curah primer penurunan curah
sesak nafas jantung meningkat, jantung
DO : dengan KH : 2. Identifikasi tanda gejala
1. Edema 1. Kekuatan nadi sekunder
2. CVP meningkat perifer meningkat 3. Monitor tekanan darah
2. Lelah menurun 4. Monitor intake dan
3. Edema menurun output cairan
4. Dispnea menurun 5. Monitor BB
5. TTV normal 6. Monitor saturasi oksigen
7. Monitor keluhan nyeri
dada
8. Monitor EKG
28
Terapeutik
1. Posisikan pasien semi
fowler/ fowler
2. Berikan diet jantung
yang sesuai
3. Fasilitasi modifikasi
gaya hidup sehat
4. Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stress
Edukasi
1. Anjurkan beraktivitas
sesuai toleransi &
bertahap
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antiaritmia
Manajemen cairan
1. Monitor status
hidrasi
2. Monitor BB harian
3. Monitor hasil lab &
status hemodinamik
4. Catat intake output
dan hitung balance
cairan 24 jam
5. Berikan asupan
cairan sesuai
kebutuhan
6. Berikan cairan iv,
jika perlu
7. Kolaborasi
pemberian diuretic
29
Dx SLKI SIKI
Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
efektif b/d tindakan keperawatann 1. Periksa sirkulasi perifer
peningkatan selama 3 x 24 jam 2. Identifikasi faktor
tekanan darah diharapkan perfusi resiko gangguan
DS : - perifer meningkat, sirkulasi perifer
DO : dengan KH : 3. Monitor panas,
1. Nadi perifer 1. Denyut nadi perifer kemerahan, nyeri,
menurun / tidak meningkat bengkak pada
teraba 2. Warna kulit pucat ekstremitas
2. Akral dingin menurun 4. Hindari pemasangan
3. Warna kulit 3. Pengisian kapiler infuse atau
pucat meningkat pengambilan darah di
4. Turgor kulit 4. Akral dingin area keterbatasan
menurun menurun perfusi
5. Edema 5. TD sistolik 5. Lakukan pencegahan
menurun infeksi
6. TD diastolic 6. Lakukan perawatan
menurun kaki dan kuku
7. Lakukan hidrasi
8. Anjurkan tidak
merokok, olahraga rutin
30
Morbiditas Puerperalis meliputi demam pada masa nifas oleh
sebab apa pun. Menurut Joint Committee on Maternal Welfare, AS
morbiditas puerperalis ialah kenaikan C atau lebih selama 2 hari dalam
10 hari pertama post°suhu sampai 38 partum dengan mengecualikan
hari pertama. Suhu diukur dari mulut sedikit-dikitnya 4 kali sehari.
2.4.2 Etiologi
1. Streptococcus haemolytieus aerobicus merupakan sebab infeksi
yang paling berat, khususnya golongan A. Infeksi ini biasanya
eksogen (dari penderita lain, alat atau kain yang tidak steril, infeksi
tenggorokan orang lain).
2. Staphylococcus aerus menyebabkan infeksi terbatas, walaupun
kadang-kadang menjadi infeksi umum. Banyak ditemukan di RS
dan dalam tenggorokan orang-orang yang nampaknya sehat.
3. E. coli berasal dari kandung kemih atau rektum dan dapat
menyebabkan infeksi terbatas pada perineum, vulva dan
endometrium.
4. Clostridium Welchii, bersifat anaerob. Jarang ditemukan akan tetapi
sangat berbahaya. Infeksi lebih sering terjadi pada abortus
kriminalis.
2.4.4 Klasifikasi
31
1. Infeksi yang terbatas pada perineum, vulva, vagina, seviks dan
endometrium
a. Vulvitis
Pada infeksi bekas sayatan episiotomi atau luka
perineum jaringan sekitar membengkak, tepi luka menjadi
merah dan bengkak, jahitan mudah terlepas, luka yang terbuka
menjadi ulkus dan megeluarkan pus.
b. Vaginitis.
Dapat terjadi secara langsung pada luka vagina atau
melalui luka perineum, permukaan mokusa membengkak dan
kemerahan, terjadi ulkus dan getah mengandung nanah yang
keluar dari daerah ulkus.
c. Sevicitis.
Sering terjadi tapi tidak menimbulkan banyak gejala.
Luka serviks yang dalam dan meluas dan langsung ke dasar
ligamentum latum dapat menyebabkan infeksi yang menjalar ke
parametrium.
d. Endometritis.
Paling sering terjadi. Kuman–kuman memasuki
endometrium (biasanya pada luka insertio plasenta) dalam
waktu singkat dan menyebar ke seluruh endometrium. Pada
infeksi setempat, radang terbatas pada endometrium. Jaringan
desidua bersama bekuan darah menjadi nekrosis dan
mengeluarkan getah berbau yang terdiri atas keping-keping
nekrotis dan cairan. Pada infeksi yang lebih berat batas
endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran.
2. Penyebaran dari tempat-tempat melalui vena, jalan limfe dan
melalui permukaan endometrium.
2.4.5 PATOFISIOLOGI
32
jika ketuban pecah (ruptur membran) terjadi berjam - jam sebelum persalinan
dimulai. Bakteri kemudian mempunyai cukup waktu untuk berjalan dari vagina
ke dalam uterus dan menginfeksi membran, plasenta, bayi, dan ibu.
Korioamnionitis merupakan suatu masalah yang sangat serius dan dapat
membahayakan hidup ibu dan bayinya.
3. Sisi plasenta tidak jauh dari bagian luar tubuh ibu. Hanya panjang vagina
(9 - 10 cm) yang memisahkan jalan masuk ke uterus dan lingkungan luar.
Ini berarti bahwa bakteri yang biasanya hidup di rektum (seperti E Coli)
dapat dengan mudah pindah ke dalam vagina dan kemudian menuju
33
uterus. Di sini bakteri menjadi berbahaya atau "patogenik" karena
menyebabkan infeksi pada sisi plasenta.
4. USG
Pemeriksaan menggunakan USG penting dilakukan jika
infeksi pada ibu diduga terjadi karena tertinggalnya sisa plasenta
dalam uterus.
34
a. Merawat ibu di suatu ruang terpisah atau jika hal ini tidak
mungkin, di pojok bangsal, terpisah dengan pasien lain.
b. Menggunakan gown dan sarung tangan pada saat mengunjungi
ibu dan gown serta sarung tangan khusus ini hanya di pakai
ketika berhadapan dengan ibu
c. Menyimpan satu set peralatan, alat makan, peralatan dapur
lainnya hanya digunakan untuk ibu dan memastikan bahwa
peralatan ini tidak digunakan oleh orang lain.
d. Mencuci tangan sampai bersih sebelum dan setelah mengurusi
ibu.
2. Pemberian Dosis Tinggi Antibiotik Berspektrum Luas
Kegiatan ini biasanya diresepkan oleh dokter. Jika di tempat
tersebut tidak tersedia dokter, petugas kebidanan harus mengetahui
cara meresepkan dan memberikan obat-obatan yang tepat. Jika
secara hukum tidak memungkinkan peraturan tersebut harus dikaji
kembali.
Ibu akan meninggal akibat sepsis puerperalis jika terapi
antibiotik yang tepat tidak diberikan sedini mungkin. Tujuan
pemberian antibiotik adalah memulai pengobatan dengan segera dan
menghentikan penyebaran infeksi lebih lanjut.
Pilihan antibiotik :
Jika ibu tidak sangat sakit (misalnya tidak demam atau hanya
demam ringan, denyut tidak sangat tinggi, status kesadaran normal).
Program pengobatan yang berguna adalah :
a. Amoxilin 1 gram stat pe oral di ikuti dengan 500 mg setiap 8 jam
selama tujuh hari + metronidazole 400 atau 500 mg setiap 8 jam
selama tujuh hari, atau
b. Amoxilin 1 gram stat peroral di ikuti deggan 500 mg setiap 8
jam selama tujuh hari + tetrasiklin 1 gram statper oral di ikuti
dengan 500 mg setiap 6 jam selama tujuh hari.
Jika ibu sangat sakit (misalnya demam sangat tinggi, denyut
cepat, konfusi). Sering kali lebih dari satu jenis bakteri yang
35
menyerang. Suatu kombinasi antibiotik harus diberikan untuk
memberi cakupan seluas mungkin
36
Pada kasus-kasus berat, penting untuk memberikan cairan
intravena terlebih dahulu. Jika ibu sadar dan tidak ada indikasi yang
menunjukan perlunya pemberian anastesi umum pada beberapa jam
selanjutnya, ia juga harus diberikan cairan oral. Pada kasus kasus
ringan tambahkan asupan cairan oral.
4. Pengeluaran fragmen plasenta yang tertahan
Fragmen plasenta yang tertahan dapat menjadi penyebab
terjadinya sepsis puerperalis curigai keadaan ini jika uterus lunak
dan membesar,dan jika lokea berlebihan dan mengandung bekuan
darah.ibu harus segera dirujuk ke fasilitas yang mempunyai
peralatan dan petugas perawatan kesehatan terlatih untuk melakukan
kuretase.
5. Pemberian asuhan keperawatan yang terlatih
Berikut ini adalah hal-hal yang penting :
a. Menganjurkan ibu untuk beristirahat di tempat tidur
b. Memantau tanda-tanda vital
c. Mengukur asupan dan pengeluaran
d. Menjaga agar catatan tetap akurat
e. Mencegah penyebaran infeksi dan infeksi silang
37
Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi
penyakit sekarang.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Meliputi penyakit yang diderita pasien
5. Pola kebiasaan
a. Aktivitas / istirahat
Malaise, letargi. Kelelahan dan/ atau keletihan yang terus
menerus (persalinan lama, stresor pascapartum multipel).
b. Sirkulasi
Takikardia dari dengan berat bervariasi.
c. Eliminasi
Diare mungkin ada. Bising usus mungkin tidak ada jika
terjadi paralitik ileus.
d. Integritas ego
Ansietas jelas (peritonitis)..
e. Pernafasan
Pernafasan cepat/dangkal (berat/proses sistemik).
f. Keamanan
Suhu: 100,4ᵒ F (38,0ᵒ C) atau terjadi lebih tinggi pada
dua hari terus menerus, diluar 24 jam pasca partum adalah
tanda infeksi. Namun suhu lebih tinggi dari 101ᵒ F (38,9ᵒ C)
pada24jam pertama menandakan berlanjutnya infeksi.
Demam ringan kurang dari 101ᵒ F menunjukkan infeksi
insisi, demam lebih tinggi dari 102 ᵒ F (38,9ᵒ C) adalah
petunjuk atau infeksi lebih berat (misalnya salpingitis,
parametritis, peritonitis). Dapat terjadi menggigil, menggigil
berat atau berulang(seringberakhir 30-40 menit), dengan
suhu memuncak sampai 104ᵒF, menunjukkan infeksi pelvis,
tromboflebitis atau peritonitis. Melaporkan pemantauan
internal, pemeriksaan vagina intra partum sering,
kecerobohan pada teknik aseptik.
g. Reproduksi
38
Pecah ketuban dini atau lama, persalinan lama (24
jam / lebih). Retensi produk konsepsi, eksplorasi uterus atau
pengangkatan plasenta secara manual, atau hemoragi pasca
partum. Tepi insisi mungkin kemerahan, edema, keras, nyeri
tekan, atau memisah dengan drainase purulen atau cairan
sanguinosa. Lokea mungkin bau busuk, tidak ada bau (bila
infeksi oleh streptokokal beta hemolitik), banyak atau
berlebihan.
39
3. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
4. Anjurkan menghidari alergen
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian iv jika perlu
2. Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika
perlu
3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi jika perlu
2.5.2 Etiologi
1. Bakteri stafilokokkus aureus
a. Pada umumnya yang dianggap porte d’entrée dari kuman
penyebab ialah putting susu yang luka atau lecet, dan kuman per-
kontinuitatum menjalar ke duktulus-duktulus dan sinus.
Sebagian besar yang ditemukan pada pembiakan pus ialah
stafilokokkus aureus.
b. Bakteri seringkali berasal dari mulut bayi dan masuk ke dalam
saluran air susu melalui sobekan atau retakan di kulit (biasanya
pada puting susu). Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang
40
menyusui dan paling sering terjadi dalam waktu 1-3 bulan
setelah melahirkan. Sekitar 1-3% wanita menyusui mengalami
mastitis pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
2. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya tejadi
mastitis.
3. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi
payudara bengkak.
4. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental
engorgement sehingga jika tidak disusu secara adekuat bisa erjadi
mastitis.
5. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan
mempermudah terkena infeksi.
41
Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme
pertahanan dalam payudara.
6. Pekerjaan di luar rumah
Interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan waktu
dalam pengeluaran ASI yang adekuat sehingga akan memicu
terjadinya statis ASI.
7. Trauma
Trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat
merusak jaringan kelenjar dan saluran susu dan haltersebut dapat
menyebabkan mastitis.
2.5.4 Klasifikasi
1. Mastitis Puerparalis Epidemik
Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila
pertama kali bayi dan ibunya terpajan pada organisme yang tidak
dikenal atau verulen. Masalah ini paling sering terjadi di rumah
sakit, yaitu dari infeksi silang atau bekesinambungan strain resisten.
2. Mastitis Noninfesiosa
Mastitis moninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari
sebagian atau seluruh payudara, produksi ASI melambat dan aliran
terhenti.Namun proses ini membutuhkan waktu beberapa hari dan
tidak akan selesai dalam 2–3 minggu. Untuk sementara waktu,
akumulasi ASI dapat menyebabkan respons peradangan.
3. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi
yang dapat disertai dengan pengeluaran ASI yang tidak adekuat,
sehingga produksi ASI sangat berkurang yaitu kira-kira hanya
sampai di bawah 400 ml/hari (<400 ml/hari).
4. Mastitis Infeksiosa
Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh
dan proteksi oleh faktor imun dalam ASI dan oleh respon–respon
42
inflamasi. Secara normal, ASI segar bukan merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan bakteri.
2.5.6 Patofisiologi
43
Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara
dapat terjadi karena proses infeksi ataupun noninfeksi. Namun
semuanya bermuara pada proses infeksi. Mastitis akibat proses
noninfeksi berawal dari proses laktasi yang normal. Namun karena
sebab-sebab tertentu maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pengeluaran ASI atau yang biasa disebut sebagai stasis ASI. Hal ini
membuat ASI terperangkap di dalam ductus dan tidak dapat keluar
dengan lancar. Akibatnya mammae menjadi tegang. Sehingga sel epitel
yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan. Permeabilitas
jaringan ikat meningkat, beberapa komponen (terutama protein dan
kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan
jaringan sekitar sel memicu respon imun. Terjadi inflmasi sehingga
mempermudah terjadinya infeksi. Kondisi ini membuat lubang duktus
laktiferus menjadi port de entry bakteri, terutama bakteri
Staphylococcus aureus dan Strepcococcus sp.
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis
yang terjadi akibat proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat
timbul fisura/robekan/perlukaan pada puting yang terbentuk saat awal
laktasi akan menjadikanport de entry/tempat masuknya bakteri. Proses
selanjutnya adalah infeksi pada jaringan mammae.
44
4. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan
tangan yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril.
Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan
tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman
yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari
kultur.
45
biasanya mengawali terjadinya mastitis. Ibu dianjurkan agar lebih
sering menyusui dimulai dari payudara yang bermasalah. Tetapi bila
ibu merasa sangat nyeri, ibu dapat mulai menyusui dari sisi payudara
yang sehat, kemudian sesegera mungkin dipindahkan ke payudara
bermasalah, bila sebagian ASI telah menetes (let down) dan nyeri
sudah berkurang. Posisikan bayi pada payudara sedemikian rupa
sehingga dagu atau ujung hidung berada pada tempat yang
mengalami sumbatan. Hal ini akan membantu mengalirkan ASI dari
daerah tersebut.
Ibu dan bayi biasanya mempunyai jenis pola kuman yang
sama, demikian pula pada saat terjadi mastitis sehingga proses
menyusui dapat terus dilanjutkan dan ibu tidak perlu khawatir terjadi
transmisi bakteri ke bayinya. Tidak ada bukti terjadi gangguan
kesehatan pada bayi yang terus menyusu dari payudara yang
mengalami mastitis. Ibu yang tidak mampu melanjutkan menyusui
harus memerah ASI dari payudara dengan tangan atau pompa.
Penghentian menyusui dengan segera memicu risiko yang lebih
besar terhadap terjadinya abses dibandingkan yang melanjutkan
menyusui. Pijatan payudara yang dilakukan dengan jari-jari yang
dilumuri minyak atau krim selama proses menyusui dari daerah
sumbatan ke arah puting juga dapat membantu melancarkan aliran
ASI.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah ibu harus
beristirahat, mengkonsumsi cairan yang adekuat dan nutrisi
berimbang. Anggota keluarga yang lain perlu membantu ibu di
rumah agar ibu dapat beristirahat. Kompres hangat terutama saat
menyusu akan sangat membantu mengalirkan ASI. Setelah
menyusui atau memerah ASI, kompres dingin dapat dipakai untuk
mengurangi nyeri dan bengkak. Pada payudara yang sangat bengkak
kompres panas kadang membuat rasa nyeri bertambah. Pada kondisi
ini kompres dingin justru membuat ibu lebih nyaman. Keputusan
46
untuk memilih kompres panas atau dingin lebih tergantung pada
kenyamanan ibu.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan bila ibu sakit
berat atau tidak ada yang dapat membantunya di rumah. Selama di
rumah sakit dianjurkan rawat gabung ibu dan bayi agar proses
menyusui terus berlangsung.
1. Penggunaan obat-obatan
Meskipun ibu menyusui sering enggan untuk
mengkonsumsi obat, ibu dengan mastitis dianjurkan untuk
mengkonsumsi beberapa obat sesuai indikasi.
2. Analgesik
Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi
hormon oksitosin yang berguna dalam proses pengeluaran
ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada
mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti
inflamasi seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam
menurunkan gejala yang berhubungan dengan peradangan
dibandingkan parasetamol atau asetaminofen. Ibuprofen
sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI
sehingga direkomendasikan untuk ibu menyusui yang
mengalami mastitis.
3. Antibiotik
Jika gejala mastitis masih ringan dan berlangsung
kurang dari 24 jam, maka perawatan konservatif
(mengalirkan ASI dan perawatan suportif) sudah cukup
membantu. Jika tidak terlihat perbaikan gejala dalam 12 - 24
jam atau jika ibu tampak sakit berat, antibiotik harus segera
diberikan. Jenis antibiotik yang biasa digunakan adalah
dikloksasilin atau flukloksasilin 500 mg setiap 6 jam secara
oral. Dikloksasilin mempunyai waktu paruh yang lebih
singkat dalam darah dan lebih banyak efek sampingnya ke
hati dibandingkan flukloksasilin. Pemberian per oral lebih
47
dianjurkan karena pemberian secara intravena sering
menyebabkan peradangan pembuluh darah. Sefaleksin
biasanya aman untuk ibu hamil yang alergi terhadap
penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang
berat lebih dianjurkan klindamisin.
Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 - 14
hari. Biasanya ibu menghentikan antibiotik sebelum
waktunya karena merasa telah membaik. Hal ini
meningkatkan risiko terjadinya mastitis berulang. Tetapi
perlu pula diingat bahwa pemberian antibiotik yang cukup
lama dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi jamur
pada payudara dan vagina.
Pada penelitian yang dilakukan Jahanfar
diperlihatkan bahwa pemberian antibiotik disertai dengan
pengosongan payudara pada mastitis mempercepat
penyembuhan bila dibandingkan dengan pengosongan
payudara saja. Sedangkan penelitian Jimenez dkk.
memperlihatkan bahwa pemberian Lactobacillus salivarius
dan Lactobacillus gasseri mempercepat perbaikan kondisi
klinik pada kasus mastitis yang sementara mendapat
antibiotik.
48
luka pada puting payudara, payudara teraba keras dan
hangat, payudara terlihat bengkak.
B. Analisa data
C. Intervensi
SLKI SIKI
49
Kolaborasi
a. Pemberian analgetik
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
50
pengawasan yang baik terhadap program yang sudah berjalan juga perlu
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ai Yeyeh, Rukiyah, Yulianti, Lia. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak
Balita. Jakarta : Trans Info Medika.
2. Bobak. 2012. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
3. Dixon M., dkk. 2005. Kelainan Payudara, Cetakan I. Jakarta : Dian Rakyat.
4. Doenges, Marilynn. E. 2018. Rencana Keperawatan. Jakarta : EGC.
5. Marmi. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil. Yogyakarta: Penerbit
Pelajar
6. Mohd, Andalas. 2017. Eklamsia PostPartum : Sebuah Tinjauan Kasus. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala Volume 17 Nomor 1 Apri 2017. Banda Aceh.
7. Nani dan Vivian. 2012. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Jakarta : Salemba
Medika.
8. Nugroho, dr,Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Nuha Medika
9. Prawirohardjo., Sarwono. 2010. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
10. Setyarini, Didien I., Suprapti. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan
Maternal Neonatal. Jakarta : Kemenkes RI.
51
11. Tim Pokja PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta;
DPP PPNI.
12. Tim Pokja PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta; DPP
PPNI.
13. Tim Pokja PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta;
DPP PPNI.
52