Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PENYAKIT INFEKSI TUBERKULOSIS (TBC)


Makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat
Dosen Pengampu : Nur Asiah, SKM., M.K.M

Disusun oleh :
1. Anisyah Handayani (1905015021)
2. Mochamad Maulana Subagja (1905015129)
3. Laila Syarifah Salsabila (1905015273)
4. Sri Wulandari (1905015066)
5. Syahra Shava Kamila (1905015165)

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN


PROGAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, hidayat, dan karunia-
Nya sehingga makalah yang berjudul “PENYAKIT INFEKSI TUBERKULOSIS (TBC)” dapat
terselesaikan dengan baik. Terima kasih kami ucapkan kepada :

1. Dosen pengampu Ibu Nur Asiah, SKM., M.K.M selaku Dosen pengampu mata kuliah
Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat yang memberikan tugas untuk menyusun makalah
ini.
2. Orang Tua yang selalu memberikan dukungan dalam bentuk materi dan moril.

Makalah ini penulis susun untuk melengkapi tugas penyakit infeksi Tuberkulosis (TBC),
selain itu untuk mengetahui dan memahami penyakit Tuberkulosis TBC, baik secara gejala, cara
penularan, dan lain- lain.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu setiap pihak diharapkan dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 25 Oktober 2019

Penyusun
PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………….. 2

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………. 3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………... 4

1.1.Latar Belakang ……………………………………………………………………………. 4


1.2.Rumusan Masalah ………………………………………………………………………… 5
1.3.Tujuan Penulisan ………………………………………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………………… 6

2.1.Pengertian Tuberkulosis…………………………………………………………………... 6
2.2.Penyebab Tuberkulosis Menurut Segitiga Epidemiologi………………………………… 6
2.3.Penyebab Tuberkulosis Secara Umum …………………………………………………… 12
2.4.Komplikasi Tuberkulosis …………………………………………………………………. 12
2.5.Riwayat Alamiah Penyakit Tuberkulosis ………………………………………………… 13
2.6.Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis …………………………………………………… 17
2.7.Upaya Pencegahan Penyakit Tuberkulosis……………………………………………….. 18

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………. 30

3.1.Kesimpulan………………………………………………………………………..………. 30
3.2.Saran ……………………………………………………………………………………… 30

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….. 31

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 3


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien
TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian
101.000 orang (Anonim, 2007). Di Indonesia dengan prevalensi TBC positif 0,22%
(laporan WHO 1998), penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang setiap tahun
mortalitasnya cukup tinggi. Kawasan Indonesia timur banyak ditemukan terutama gizi
makanannya tidak memadai dan hidup dalam keadaan sosial ekonomi dan higiene
dibawah normal (Tjay dan Rahardja, 2007).
Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal
jumlah penderita Tuberkulosis. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada
tahun 2007 menyatakan jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528.000.
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima
dengan jumlah penderita TBC sebanyak 429.000 orang. Pada Global Report WHO 2010,
didapat data TBC Indonesia, total seluruh kasus TBC tahun 2009 sebanyak 294.731
kasus, dimana 169.213 adalah kasus TBC baru BTA positif, 108.616 adalah kasus TBC
BTA negatif, 11.215 adalah kasus TBC ekstra paru, 3.709 adalah kasus TBC kambuh,
dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh (Anonim, 2011).

Pada anak, TBC secara umum dikenal dengan istilah “flek paru-paru”. Tuberkulosis
pada anak juga mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa,
baik dalam aspek diagnosis, pengobatan, pencegahan, maupun TBC pada kasus khusus,
misalnya pada anak dengan infeksi HIV (Anonim, 2011). Selain itu, pemeriksaan TBC
yang memerlukan sampel dahak dari sang anak masih sulit diterapkan karena anak kecil
sulit mengeluarkan dahak. Akibatnya, kesulitan dan keraguan dalam aspek diagnosis ini
seringkali menimbulkan terjadinya over diagnosis dan over treatment dalam penanganan
TBC anak (Anonim, 2011).
Perbedaan TBC anak dan TBC dewasa adalah TBC anak lokasinya pada setiap bagian

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 4


paru sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra klavikuler. Kemudian terjadi
pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran kelenjar
limfe regional. Pada anak penyembuhan dengan perkapuran dan pada dewasa dengan
fibriosis. Pada anak lebih banyak terjadi penyebaran hematogen sedangkan pada dewasa
jarang (Sulaifi, 2011).

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa itu Tuberkulosis ?
2. Apa saja penyebab Tuberkulosis menurut segitiga epidemiologi ?
3. Apa saja penyebab Tuberkulosis secara umum ?
4. Apa saja komplikasi Tuberkulosis ?
5. Bagaimana riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis ?
6. Bagaimana cara penularan penyakit Tuberkulosis kepada setiap orang ?
7. Apa saja upaya pencegahan untuk terhindar dari penyakit Tuberkulosis ?

1.3. TUJUAN PENULISAN


Adapun tujuan dari penulisan ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui pengertian Tuberkulosis
2. Untuk mengetahui penyebab Tuberkulosis menurut segitiga epidemiologi
3. Untuk mengetahui penyebab Tuberkulosis secara umum
4. Untuk mengetahui komplikasi Tuberkulosis
5. Untuk mengetahui riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis
6. Untuk mengetahui cara penularan Tuberkulosis
7. Untuk mengetahui upaya pencegahan Tuberkulosis

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 5


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN TUBERKULOSIS


Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang telah dikenal
sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TBC
adalah TBC paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai dari kulit, tulang,
organ-organ dalam seperti ginjal, usus, otak, dan lainnya (Icksan dan Luhur, 2008).
Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TBC dibagi dalam: TBC paru BTA positif:
sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif, TBC paru BTA negatif: dari 3
spesimen BTA negatif, foto toraks positif (Rani, 2006). Infeksi pada paru-paru dan kadang-
kadang pada struktur-struktur di sekitarnya, yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis (Saputra, 2010).

Tuberkulosis termasuk juga dalam golongan penyakit zoonosis karena selain dapat
menimbulkan penyakit pada manusia, basil Mycobacterium juga dapat menimbulkan
penyakit pada berbagai macam hewan misalnya sapi, anjing, babi, unggas, biri-biri dan
hewan primata, bahkan juga ikan (Soedarto, 2007).

2.2. PENYEBAB TUBERKULOSIS MENURUT SEGITIGA EPPIDEMIOLOGI


Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan
(environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analis dan
pemahaman masing-masing komponen.Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidak
seimbangan antar ketiga komponen tersebut.Model ini lebih di kenal dengan model
triangle epidemiologi atau triad epidemilogi dan cocok untuk menerangkan penyebab
penyakit infeksi sebab peran agent (yakni mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari
lingkungan.
1. HOST
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 6


arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam.Manusia
merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman
Tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita Tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Host untuk kuman Tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host
yang dimaksud di sini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi
penularan penyakit Tuberkulosis paru adalah :
a) Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki sering terkena TB paru
dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki aktivitas
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan terpapar
lebih besar pada laki-laki (Sitepu, 2009).
b) Umur
Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun (Kementerian Kesehatan RI,2010). Karena Pada usia
produktif selalu dibarengi dengan aktivitas yang meningkat sehingga banyak
berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan yang banyak pengaruh terhadap risiko
tertular penyakit TB paru.

c) Kondisi Sosial Ekonomi


WHO 2003 menyebutkan 90% penderita Tuberkulosis paru di dunia menyerang
kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin (dalam Fatimah,2008).
Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli
dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status
gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.

d) Kekebalan (Sistem Imun)


Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita Tuberkulosis
paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan
diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin).

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 7


Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman Tuberkulosis paru akan mudah
menyebabkan penyakit Tuberkulosis paru (Fatimah, 2008).

e) Status Gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi
kuman Tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori
dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko Tuberkulosis
paru (Sitepu, 2009).

f) Penyakit Infeksi HIV


Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti
Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah penderita Tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian
penularan Tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.

2. AGENT
Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent
dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana sosial,
yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/esensial
dalam terjadinya penyakit (Soemirat, 2010).
Agent yang mempengaruhi penularan penyakit Tuberkulosis adalah kuman
Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
a) Pathogenitas
Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit
pada host. Pathogenitas kuman Tuberkulosis paru termasuk pada tingkat
rendah.
b) Infektifitas
Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan
berkembang biak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas
PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 8
kuman Tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah.
c) Virulensi
Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang
sama virulensi kuman Tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.

3. ENVIRONMENT
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host (pejamu), baik
benda tidak hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk
akibat interaksi semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang lain (Soemirat,
2010). Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama
lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah
satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya
(Notoatmodjo, 2003). Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara
fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis paru antara lain :

a. Lingkungan yang tidak sehat (kumuh)


Sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit
menular seperti penyakit Tuberkulosis. Peranan faktor lingkungan sebagai
predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada
manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang
berhawa lembap di daerah endemis penyakit Tuberkulosis. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan tempat percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman (Keman, 2005).

b. Kepadatan Penghuni Rumah


Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian
Tuberkulosis paru. Di samping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru
Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian Tuberkulosis
paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat
pada luas ruangannya. Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula
udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni
yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 9


tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya
kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan
berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan
semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran
pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, kepadatan
penghuni diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah
penghuni, dengan ketentuan untuk daerah perkotaan 6 m² per orang daerah
pedesaan 10 m² per orang.
c. Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan
yang ideal antara 180C – 300C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal,
misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan
tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan
tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi.
Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah
berkembang biaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan
virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara
,selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung
menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-
baktri termasuk bakteri Tuberkulosis (Keman, 2005).
Kelembaban di dalam rumah dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
1. Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )
2. Merembes melalui dinding ( percolating damp )
3. Bocor melalui atap ( roof leaks )
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atau
saluran air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi
dengan dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersedia ventilasi yang
cukup.

d. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 10


juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah = 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas
ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan)
akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Di samping
itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan.
Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh
dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman Tuberkulosis.
Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan semakin membahayakan
kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh
bakteri seperti oleh penderita Tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau
anorganik.
Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen seperti Tuberkulosis, karena di ventilasi selalu
terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari
yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman Tuberkulosis yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan (Keman,
2005).

e. Pencahayaan Sinar Matahari


Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai
daya untuk membunuh bakteri. Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk
pencegahan penyakit Tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar
matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui
jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar
ultraviolet yang dapat mematikan kuman.

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 11


Kuman Tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan
mati bila terkena sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang
tidak dapat di masuki sinar matahari maka penghuninya mempunyai risiko
menderita Tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dapat dimasuki
sinar matahari.

f. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan
tidak lembap. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga
dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.

g. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun
angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga
kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari
kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa
bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok
(permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan
(Keman, 2005).

2.3. PENYEBAB TUBERKULOSIS SECARA UMUM


Penyebab penyakit Tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo
Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis meliputi M. bovis, M. africanum, M.
microti, dan M. canettii (Zulkoni, 2010). Mycobacterium tuberculosis merupakan sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µ (Sudoyo,
2007). Mycobacterium tuberculosis adalah suatu basil Gram-positif tahan- asam dengan
pertumbuhan sangat lamban (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.4.KOMPLIKASI TUBERKULOSIS

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 12


Penyakit Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
1. Komplikasi dini: pleurutis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet’s
arthropathy.
2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas -> SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat -> SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi
pada TBC milier dan kavitas TBC (Sudoyo, 2007). Komplikasi penderita stadium
lanjut adalah hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok, kolaps spontan karena kerusakan jaringan
paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan
sebagainya (Zulkoni, 2010).

2.5. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT TUBERKULOSIS


Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang
perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya
paparan dengan agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau
kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik. Tahapan
riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis adalah sebagai berikut.
A. TAHAP PEKA/ RENTAN/ PRE PATHOGENESIS (STAGE OF
SUSCEPTIBILITY)
Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi
interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh
manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu. Pada keadaan ini belum ditemukan
adanya tanda – tanda penyakit dan daya tahan tubuh pejamu masih kuat dan dapat
menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
Risiko terinfeksi Tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,
terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit Tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor
internal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya sistem

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 13


kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan
pengobatan dengan immunosupresan.

B. TAHAP PRA GEJALA/MASA INKUBASI/ SUB-KLINIS


Pada tahap ini telah terjadi infeksi, tetapi belum menunjukkan gejala dan masih
belum terjadi gangguan fungsi organ. Pada penyakit Tuberkulosis paru sumber infeksi
adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan, kontak yang
rapat (misalnya dalam keluarga) pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam
bentuk droplet yang infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar
3.000 droplet) dan bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi
kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang
infeksius tersebut hanya sekitar 1 – 5 mikron. Pada umumnya droplet yang infeksius ini
dapat bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Pada keadaan gelap dan
lembap kuman TB dalam droplet tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan jika kena
sinar matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati.
Pasien TB yang tidak diobati maka setelah 5 tahun akan: 50% meninggal, 30% akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 20% menjadi kasus kronik
yang tetap menular (Nadia dan Donaldo, 2003).
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
Tuberkulosis, droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus
dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis paru berhasil berkembang
biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru, saluran limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu
antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.
Infeksi TB dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman Tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai
kuman persistent atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 14


bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis paru. Masa inkubasinya yaitu waktu
yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan selama 6 bulan.
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya
akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam
masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

C. TAHAP KLINIS (STAGE OF CLINICAL DISEASE)


Tahap klinis merupakan kondisi ketika telah terjadi perubahan fungsi organ yang
terkena dan menimbulkan gejala. Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala
umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 15


secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik.
1. Gejala sistemik (umum)
a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah

2. Gejala khusus
a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah
yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah.
d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
e. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak
yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita
TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.

D. TAHAP PENYAKIT LANJUT/ KETIDAKMAMPUAN.

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 16


Tahap Penyakit Lanjut/ Ketidakmampuan merupakan tahap saat akibat dari penyakit
mulai terlihat. Pasien yang menderita penyakit Tuberkulosis semakin bertambah parah
dan penderita tidak dapat melakukan pekerjaan sehingga memerlukan perawatan (bad
rest).

E. TAHAP TERMINAL (AKHIR PENYAKIT)


Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan penyakit
tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu : sembuh sempurna, sembuh dengan
cacad (fisik, fungsional, dan social), karier, penyakit berlangsung kronik, berakhir
dengan kematian. Menurut Depkes RI (2008), Riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis,
apabila tidak mendapatkan pengobatan sama sekali, dalam kurun waktu lima tahun
adalah sebagai berikut:
 Pasien 50 % meninggal
 25% akan sembuh dengan daya tahan tubuh yang tinggi
 25 % menjadi kasus kronik yang tetap menular (Herlina, 2007).

2.6. CARA PERNULARAN PENYAKIT TUBERKULOSIS


Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran napas dengan
menghisap atau menelan tetes-tetes ludah/dahak (droplet infection) yang mengandung
basil dan dibatukkan oleh penderita TBC terbuka. Atau juga karena adanya kontak antara
tetes ludah/dahak tersebut dan luka di kulit. Untuk membatasi penyebaran perlu sekali di-
screen semua anggota keluarga dekat yang erat.
Penularan terjadi melalui inhalasi partikel menular di udara yang bertebaran sebagai
aerosol. Lama kontak antara sumber dan calon kasus baru meningkatkan risiko penularan
karena semakin lama periode pemajanan, semakin besar risiko inhalasi. Mikobakteri
memiliki dinding berminyak yang kuat. Dapat terjadi infeksi Tuberkulosis (primer) dengan
atau tanpa manifestasi penuh penyakit (infeksi pascaprimer atau sekunder) (Gould dan
Brooker, 2003).
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam
saluran pernapasan. Selama kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernapasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya,
PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 17
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular
(Zulkoni, 2010).
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TBC (Sudoyo, 2007).

2.7. UPAYA PECEGAHAN PENYAKIT TUBERKULOSIS


Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang
terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran
penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host) dan
faktor lingkungan (environment) (Notoatmodjo, 2007).
Dalam epidemiologi, pencegahan dibagi menjadi tiga tingkatan sesuai dengan
perjalanan penyakit meliputi, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan
tersier. Pencegahan tingkat pertama atau pencegahan primer merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat
menjadi sakit. Upaya pencegahan primer yaitu pencegahan umum (mengadakan
pencegahan pada masyarakat umum contohnya pendidikan kesehatan masyarakat dan
kebersihan lingkungan) dan pencegahan khusus (ditujukan pada orang-orang yang
mempunyai risiko terkena penyakit).Pencegahan tingkat kedua atau pencegahan sekunder
merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh,
menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan komplikasi dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan cara mendeteksi
penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Pencegahan
tingkat ketiga atau pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan
dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tersier ini dapat dilakukan dengan cara
memaksimalkan fungsi organ yang cacat, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 18


dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik (Budiarto, 2002).
Menurut Leavel & Clark dalam bukunya “Preventive Medicine for The Doctor in
his Community” membagi usaha pencegahan penyakit yang dapat dilakukan pada masa
sebelum sakit dan pada masa sakit. Usaha-usaha tersebut adalah sebagai berikut :

A. MASA SEBELUM SAKIT (PRE PATOGENESIS PHASE)


1. Mempertinggi nilai kesehatan (Health Promotion)
Merupakan suatu usaha pencegahan penyakit melalui usaha mengatasi atau
mengontrol faktor-faktor risiko (risk factors) dengan sasaran utamanya orang
sehat melalui usaha peningkatan derajat kesehatan secara umum (promosi
kesehatan).Usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion) atau
pencegahan umum yakni meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan
masyarakat secara optimal, mengurangi peranan, penyebab dan derajat risiko serta
meningkatkan lingkungan yang sehat secara optimal (Noor, 2008).

2. Memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (Spesific


Protection)
Adapun sasaran pencegahan tingkat pertama ini dapat pula ditujukan pada
faktor penjamu seperti perbaikan gizi, pemberian imunisasi, peningkatan kehidupan
sosial dan psikologis individu dan masyarakat serta peningkatan ketahanan fisik
individu. Usaha ini merupakan tindakan terhadap pencegahan penyakit-penyakit
tertentu seperti pemberian imunisasi dasar, pemberian vitamin A, tablet penambah
zat besi, Isolasi penderita penyakit menular (misalnya isolasi penderita
Tuberkulosis), Perlindungan kerja terhadap bahan berbahaya (hazard protection).
Perlindungan khusus terhadap penyakit Tuberkulosis dilakukan dengan
beberapa cara sebagai berikut: Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor
menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan
kesehatan.
1. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect
gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita,
kontak, suspect, perawatan.
2. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 19


inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
3. Imunisasi BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan
perlindungan bagi ibunya dan keluarnya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12
tahun di tingkat tersebut berupa tempat pencegahan.
4. Memberantas penyakit TB pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan
pasteurisasi air susu sapi.
5. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang
tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.
6. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
7. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok berisiko tinggi,
seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah
sakit, petugas/guru di sekolah, petugas foto rontgen.
8. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan
Tuberculin test.
Bila sasaran ditujukan pada unsur penyebab maka usaha diutamakan dalam
mengurangi atau menghilangkan sumber penyebab penularan penyakit
Tuberkulosis dan menghindari atau mengurangi setiap faktor, terutama faktor
perilaku yang dapat memperbesar tingkat risiko penularan penyakit Tuberkulosis.
Untuk penyakit menular dengan sasaran khusus ditujukan pada penyebab kausal
seperti desinfeksi, sterilisasi, pasteurisasi, karantina, dan lain-lain. Sedangkan untuk
penyakit tidak menular (bukan infeksi) dengan jalan menghilangkan sumber
alergen, sumber keracunan, dan sumber pencemaran kimiawi maupun radiasi
(Noor, 2008).
Bila sasaran ditujukan pada lingkungan maka sasarannya dapat ditujukan pada
lingkungan fisik seperti rumah sehat dan lingkungan bersih. Juga sasaran dapat
dilakukan terhadap lingkungan biologis seperti pemberantasan kuman atau bakteri.
Atau ditujukan pada lingkungan sosial melalui perbaikan dan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat (Noor, 2008).

B. MASA SAKIT (PATOGENESIS PHASE)

3. MENGENAL DAN MENGETAHUI PENYAKIT PADA TINGKAT AWAL


PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 20
SERTA MENGADAKAN PENGOBATAN YANG TEPAT DAN SEGERA
(EARLY DIAGNOSIS & PROMT TREATMENT).
Diagnosis Awal dan Pengobatan tepat (Early Diagnosis and Prompt Treatment)
memiliki tujuan utama yaitu :
a) Pengobatan yang setepat-tepatnya dan secepat-cepatnya dari setiap jenis
penyakit sehingga terjadi penyembuhan yang sempurna dan segera
b) Pencegahan penularan kepada orang lain bila penyakitnya menular
c) Mencegah terjadinya kecacatan yang diakibatkan suatu penyakit.
Beberapa diantaranya dengan melakukan :

1. Screening (Penyaringan)
2. Pejejakan kasus (Case Finding)
3. Pemeriksaan khusus (laboratorium dan tes)
4. Pemberian obat yang rational dan efektif
Usaha pengobatan yang terlambat dapat mengakibatkan usaha penyembuhan
menjadi lebih sulit, bahkan mungkin tidak dapat sembuh lagi misalnya pengobatan
kanker (neoplasma) yang terlambat, kemungkinan terjadinya kecacatan akan lebih
besar, penderitaan dari penderita sakit akan lebih lama, biaya untuk perawatan dan
pengobatan menjadi lebih besar.

a. Diagnosis Awal
1. Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke
unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa
dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita
secara pasif dengan promosi aktif).
Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala
sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan
menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat Tuberkulosis

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 21


adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua
tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
2. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga spesimen SPS
BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan pemeriksaan
lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
1. Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB Paru BTA positif.
2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru. Maka pemeriksaan
dahak SPS diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain,
misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan
antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama
1 – 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap
mencurigakan TB Paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.

1. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA


positif.
2. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB Paru.
 Bila hasil rontgen mendukung TB Paru, didiagnosis sebagai
penderita TB Paru BTA negatif Rontgen positif.
 Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut
bukan TB Paru. UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen,
penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen dada (Werdhani, 2009).
3. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening
PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 22
TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang
menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%,
2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai
sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi :
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis :
tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini
bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) :10mm, uji mantoux positif. Arti klinis:
sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan Tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan
asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan
cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah.Sifat lambat membelah yang
dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan
penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan
antibakteri lain (Werdhani, 2009).

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 23


Obat yang digunakan untuk Tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu
kelompok pertama dan kelompok kedua.Kelompok obat pertama yaitu rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin.Kelompok obat ini
memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima
(Depkes RI, 2006).

4. PEMBATASAN KECACATAN DAN BERUSAHA UNTUK


MENGHILANGKAN GANGGUAN KEMAMPUAN BEKERJA YANG
DIAKIBATKAN SESUATU PENYAKIT (DISABILITY LIMITATION
Disability Limitation atau pembatasan kecacatan dan berusaha untuk
menghilangkan gangguan kemampuan berfikir dan bekerja yang diakibatkan suatu
masalah kesehatan dan penyakit. Usaha ini merupakan lanjutan dari usah early
diagnosis and promotif treatment yaitu dengan pengobatan dan perawatan yang
sempurna agar penderita sembuh kembali dan tidak cacat (tidak terjadi
komplikasi).Bila sudah terjadi kecacatan maka dicegah agar kecacatan tersebut tidak
bertambah berat dan fungsi dari alat tubuh yang cacat ini dipertahankan semaksimal
mungkin (Antika, 2011). Berbagai cara dalam melakukan Disability Limitation atau
pembatasan kecacatan diantaranya adalah:
a. Pembatasan kecacatan (dissability limitation)
Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan.
Pengadaan dan peningkatan fasilitas kesehatan dengan melakukan
pemeriksaan lanjut yang lebih akurat seperti pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya agar penderita dapat sembuh dengan baik
dan sempurna tanpa ada komplikasi lanjut. Serta sejak dini semua kekuatan
pembangunan harus dilibatkan dalam upaya mengembangkan pola hidup
sehat sejahtera, di samping harus ada penanganan yang sangat profesional
pada mereka yang terkena suatu penyakit, strategi yang dikembangkan di
Indonesia, terutama karena masyarakat yang awam dan sangat rendah
kesadarannya dalam bidang kesehatan, harus secara jelas dan tegas bersifat
komprehensif. Untuk mengembangkan strategi dengan target-target yang
jelas dan terarah perlu dilakukan penelitian epidemiologi suatu penyakit

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 24


yang benar dan tepat.
Penyempurnaan pengobatan agar tidak terjadi komplikasi
b. Masyarakat diharapkan mendapatkan pengobatan yang tepat dan benar oleh
tenaga kesehatan agar penyakit yang dideritanya tidak mengalami komplikasi.
Selain itu untuk mencegah terjadinya komplikasi maka penderita yang dalam
tahap pemulihan, dianjurkan untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan secara
rutin untuk melakukan pemeriksaan rutin agar penderita sembuh secara
sempurna (Antika, 2011).
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak
zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah
perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit
Paru Paru (BP-4).Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional
melalui Puskesmas. Obat anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah
paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun.Para
Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai
digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan
Etambutol selama 6 bulan (Suswati, 2007).
Berbagai variasi regimen telah diperkenalkan selama ini. Pada dasarnya
semuanya mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase
awal intensif biasanya diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase
lanjutan dapat diberikan 2 obat saja baik setiap hari maupun intermitten. Pada
tahun 1997 WHO telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai
keadaan penyakit TB (Suswati,2007).

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Jenis Obat Sifat Dosis yang Direkomendasikan (mg/kg)


Harian 3x Seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-5) 10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 25 (20-30) 15 (12-18)

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 25


Pyrazinamide (Z) Bakterisid 15 (15-20) 10 (8-12)

Streptomycin (S) Bakterisid 10 (8-12) 35 (30-40)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (12-18) 30 (20-35)

Tabel 2. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori II

Berat Badan Tahap intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali
(150/75/400/275)+S seminggu
RH(150/150)+E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selam 20 minggu


30 – 37 Kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

+500 mg streptomisin inj. +2 tab Etambutol


38 – 54 Kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

+750 mg Streptomisin Inj. +Etambutol


55 – 70 Kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

+1000mg streptomisin Inj. +4 tab Etambutol


271 Kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT tab 2KDT +5 tab Etambutol

+1000 mg Streptomisin
inj.

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambulot Strepto Jumlah


Pengobatan Pengob Isonia- Rifam Pirazina- misin hari/kali
atan sid -pisin mid @500 Inj menelan
(Bulan) @300 @450 mgr obat
mgr mgr Tablet Tablet
@250 mgr @400

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 26


mgr
Tahap 2 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
intensif 1 1 1 3 3 - - 28
(dosis
harian)
Tahap 4 2 1 - 1 2 - 60
lanjutan
(dosis 3%
seminggu)

Tabel 3.Paduan OAT Kategori III

Penderita yang menghentikan pengobatannya <2 minggu pengobatan OAT dapat


dilanjutkan sesuai jadwal. Jika penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu :
a. Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinis, radiologis negatif OAT STOP
b. Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
c. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang sama.
d. Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi klinis
dan radiologis positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama.
e. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2 – 4 minggu pengobatan
dilanjutkan kembali sesuai jadwal (Suswati, 2007).

5. REHABILITASI (REHABILITATION)
Rehabilitasi adalah program yang dijalankan untuk membantu memulihkan
orang yang memiliki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya.
Gangguan fisik dan psikiatrik tidak hanya memerlukan tindakan medis khusus,
tetapi juga membutuhkan sikap simpatik. Dokter harus melakukan pendekatan yang
akan membantu penderita ataupun pasien untuk mengatasi gangguan fisik atau

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 27


psikiatriknya dan menyadari potensi maksimal mereka baik secara fisik, psikiatrik,
dan sosial di dunia luar yang nyata. Jenis pendekatan ini semakin dikenal dan
membuat rehabilitasi menjadi bidang khusus yang terpisah di banyak rumah sakit.
Waktu yang akan dijalankan untuk rehabilitasi juga menentukan perbedaan
perawatan antar pasien ataupun penderita, dan pengobatan rawat jalan. Penderita
ataupun pasien yang masuk pusat rehabilitasi biasanya menderita rendah diri atau
kurangnya pandangan positif terhadap kehidupan, oleh sebab itu psikologi dalam
terapi ini memainkan peranan yang besar dalam program rehabilitasi (David, 2009).

a. Edukasi
Edukasi merupakan proses rehabilitasi yang sangat penting. Pasien diberikan
pemahaman tentang penyakit dan pencegahan eksaserbasi, terapi (obat-obat)
termasuk program rehabilitasi serta target yang akan dicapai sehingga diharapkan
pasien mematuhi program. Edukasi juga berisi tentang teknik-teknik konservasi
energi. Dengan begitu, diharapkan pasien dapat menyederhanakan setiap
aktivitasnya terutama yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Seperti berjalan, makan.

b. Latihan dan terapi fisik


Latihan dasar dari program rehabilitasi secara umum, latihan terdiri dari
latihan pernafasan dan latihan rekondisi. Jenis latihan pernafasan tergantung dari
gangguan atau restriktif. Selain itu , diajarkan juga teknik-teknik pernafasan untuk
mendapatkan pola napas yang baik dan ventilasi yang maksimal. Macam-macam
latihan pernafasan :
1) Latihan pernafasan diafragmatik untuk meningkatkan gerakan
pengembangan dinding dada.
2) Latihan pernafasan pursed lip untuk mengurangi kolaps paru, dyspneu dan
frekuensi pernafasan.
3) Latihan posisi tubuh tertentu untuk meningkatkan ventilasi dan relaksasi,
misalnya duduk dengan posisi tubuh mendatar ke depan (eaning forward).
Latihan rekondisi dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kebugaran fisik terutama bagi penderita yang telah mengalami deconditioning.

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 28


Latihan dapat berupa senam ringan, latihan fleksibilitas (streching) dan kekuatan
alat gerak atas dan bawah, latihan cardiopulmonal endurance atau latihan khusus
untuk otot-otot pernafasan. Intensitas latihan dimulai dari yang paling ringan.
Jenis latihan endurance dapat berupa berjalan, ergocycle (sepeda statis) atau
treadmill. Lama waktu setiap latihan adalah 30 menit dengan frekuensi latihan
minimal tiga kali seminggu (Goesasi, 2011).

c. Terapi Perilaku dan Psikososial


Gejala-gejala yang dialami pasien sekian lama akan menimbulkan
kecemasan atau depresi. Kondisi ini akan menambah berat kondisi dan berpotensi
untuk membuat pasien jatuh dalam keadaan deconditioning. Pemeriksaan khusus
psikologis diperlukan untuk penampisan kecemasan atau depresi. Bentuk terapi
yang diperlukan dapat berupa edukasi atau latihan seperti latihan relaksasi untuk
mengurangi kecemasan maupun relaksasi otot-otot pernafasan agar beban kerja
berkurang dan tidak mudah terjadi fatigue. Penderita dapat lebih percaya diri
untuk melakukan aktivitas.
Depresi akan menghambat kepatuhan pasien terhadap program terutama
untuk latihan sehingga diperlukan suatu psikoterapi. Keluarga juga dapat terkena
dampak-dampak dari ketidakmampuan penderita beraktivitas. Tenaga psikolog
diharapkan dapat memberikan konseling, sehingga keluarga dapat memberikan
dorongan kepada penderita. (Goesasi, 2011).

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 29


BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Penyakit Tuberkulosis masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat. Menurut
WHO tahun 2007 menunjukkan bahwa Tuberkulosis merupakan penyebab kematian pada
semua golongan usia dari golongan penyakit infeksi. Antara tahun telah dilakukan survei
prevalensi dengan hasil 0,4 % - 0,6 % penyakit Tuberkulosis menyerang sebagian besar
kelompok usia produktif kerja dengan penderita Tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalensi TBC positif 0,22% (laporan WHO 1998). Penyakit Tuberkulosis merupakan
suatu penyakit menular, masalah yang terjadi pada klien pada napas tidak efektif, risiko
penularan terhadap keluarga dan orang lain perlu mendapat perhatian secara khusus.

3.2. SARAN

Sebaiknya untuk mengurangi penyakit tuberkulosis, terutama di indonesia, harus dilakukan


pendidikan penyuluhan kesehatan perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara intensif
kepada individu, keluarga, dan kelompok masyarakat, tentang gejala awal, cara penularan,
cara pencegahan serta pemberantasannya sebelum menyebar ke lingkungan tersebut.

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 30


DAFTAR PUSTAKA

Noor. 2008. Dasar epidemiologi. Jakarta : Rineka cipta.


Notoatmodjo, S, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar.Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama.
https://www.academia.edu/27066954/Makalah_Epidemiologi_Penyakit_Menular_Tuberkulo
sis
Keman, Soedjajadi, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman, Journal
Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2005
http://eprints.ums.ac.id/14910/2/BAB_1.pdf
Sitepu, M.Y. 2009. Karakteristik Penderita TB Paru Relapse yang Berobat di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2000-2007. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan. Soemirat, Juli, 2010, Epidemiologi
Lingkungan, Yogyakarta : Gajah Mada
https://www.academia.edu/27294975/Makalah_tbc
Werdhani, RA. 2009. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.Departemen
Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI University Press
Antika. 2011. Disability Limitation dan Rehabilitation. Jakarta.
Herlina, L. 2007. Tuberkulosis dan faktor risiko kejadian Multidrug ResistantTuberculosis
(MDR TB/Resistensi Ganda).Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan
Epidemiologi Komunitas Universitas Padjadjaran

PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) | 31

Anda mungkin juga menyukai