Anda di halaman 1dari 2

SISTEM MATA PENCAHARIAN DAN PERALATAN H

Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk
menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai yang dapat
dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan
perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).
Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan terlebih
dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman
perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Havea
brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti
itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung
selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.
Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak
alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain
pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya
(Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran
melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995),
menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Ave
dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau
swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan
sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999), memperkirakan sistem
perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo (1990),
menyebutkan cara hidup berladang diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun
Sebelum Masehi. Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam
berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama.
Persamaan itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan
yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam
mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara
serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani
merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian
dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam,
terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi
beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala
suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok.
Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda,
dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa
hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh
secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai
tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai
harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat
atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum
antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke dalam”
dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang
memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang
digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena
kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim
tanam.
Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan
norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk
menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarap meninggalkan
wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak
penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat
memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada
kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat
diwariskan kepada anak cucunya. Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan
Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk
berladang di lokasi yang berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah
dicapai.
Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu’ di Kalimantan Barat Dove, (1988)
merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut: (1) pemilihan pendahuluan atas
tempat dan penghirauan pertanda burung; (2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon
kecil dengan parang; (3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak; (4)
setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan; (5) menanam padi dan tanaman
lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya mengadakan
pencangkokan padi); (6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);(7) menjaga ladang dari
gangguan binatang buas; (8) mengadakan panen tanaman padi; dan (9) mengangkut hasil panen ke
rumah.
Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang
tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah: (1) pembuatan peralatan ladang (yaitu
menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau rotan); (2) membangunan
pondok di ladang; (3) memproses padi; (4) menanam tanaman yang bukan padi. Dalam setiap
tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului dengan upacara-upacara
tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang yang mereka kerjakan akan mendapat
berkah dan terhindar dari malapetaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di
Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi
seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi
(Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), buah-buahan, antara lain
ialah pisau, kapak. baliong, tugal, pangatam, bide, inge, atokng, nyiro, pisok karet, tombak dan
lain-lain. Dalam pada itu, jenis-jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak
antara lain periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, kuwali terbuat
dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan logam, dan tungku
batu. Jenis alat tidur antara lain tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa yaitu
tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan
kain, klambu, katil dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari kayu.

Anda mungkin juga menyukai