Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LEMBAGA NEGARA

Tentang

LEMBAGA LEGISLATIF

Disusun oleh kelompok : 5

Sri Wahyu Safitri: 1713040062

Nurni Aziza : 1713040055

Suryanti : 1713040083

Rahman Hamid : 17130400

Dosen Pembimbing:

Roza Dahlia MH.

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA ISLAM (B)

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam tatanan kenegaraan modern, praktik penyelenggaraan demokrasi dilakukan
melalui system perwakilan. Amat janggal apabila seluruh warga Negara berkumpul di
suatu tempat, kemudian secara bersama-sma menggunakan haknya sebagai pemegang
kedaulatan sejati untuk menyelenggarakan Negara secara langsung. Indonesia yang
memiliki luas yang besar ini bukanlah Negara kota yang pernah melaksanakan demokrasi
langsung. Lembaga perwakilan rakyat merupakan institusi final perwujudan kedaulatan
rakyat tersebut.
Oleh karena itu kit perlu memahami kedudukan lembaga legislatif dalam system
politik Indonesia. Sejarah panjang lembaga legislatif di Indonesia berkali-kali memakai
konstitusi yang berbeda menurut “selera” elite politik yang berkuasa. Tidak jarang di
temukan lembaga legislatif yang sejajar dengan lembaga-lembaga politik Negara yang
ada. Untuk itu harus dipelajari bagaimana kedudukan lembaga legislatif di Indonesia
dikaitkan dengan kedudukan lembaga-lembaga politik yang lain, seperti eksekutif dan
yudikatif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari lembaga legislatif?
2. Bagaimana jenis dan kedudukan lembaga legislatif?
3. Bagaimana hubungan antara lembaga legislatif?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian lembaga legislatif.
2. Untuk mengetahui jenis dan kedudukan lembaga legislatif.
3. Untuk mengetahui hubungan antara lembaga legislatif.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian lembaga legislative


Lembaga legislatif adalah sebuah lembaga yang mewakili seluruh rakyat dalam
menyusun undang-undang serta ikut mengawasi atas implementasi undang-undang yang
ada oleh badan eksekutif yang mana setiap anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Lembaga legislatif dikenal dengan sebutan berbagai macam nama seperti parlemen dan
kongres. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan yang memiliki tugas dalam menyusun
serta membentuk perturan perundang-undangan. Legislatif merupakan badan deliberatif
pemerintah yang memiliki kekuasaan dalam membuat sebuah hukum. Dalam sistem
pemerintaha parlemen, kekuasaan legislatif ialah sebagai lembaga tertinggi serta yang
mengangkat lembaga eksekutif. Sedangkan, dalam sistem pemerintahan prsidensial,
kekuasaan legislatif merupakan perwkilan pemeritah yang sama serta bebas dari lembaga
eksekutif.

B. Jenis, kedudukan dan kewenangannya


1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
System lembaga perwakilan rakyat di indonesia pra amandemen menganut
system unicameral dengan menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai supremasi yang memegang penuh kedaulatan rakyat. Akibat dari ini timbul
ketimpangan ketatanegaraan terutama antar lembaga Negara, dimana akibat
superioritas tersebut MPR dapat memberikan justifikasi pada semua lembaga Negara
tanpa kecuali, sehingga eksistensi tiga kekuasaan lembaga (legislatif, eksekutif dan
yudikatif) menjadi semu. Sidang umum MPR 2001 berhasil mengamandemen UUD
1945 dengan mengembalikan system ketatanegaraan khususnya kelembagaan Negara
pada proporsinya, yaitu mengembalikan eksistensi lembaga legislative ke system
bicameral. Amandemen ini menempatkan MPR tidak lagi sebagai supremasi tetapi
sebagai lembaga tinggi Negara yang membawahi beberapa lembaga tinggi lainnya
dan keanggotaannya meliputi DPR dan DPD.
Menurut philipus M. Hadjon keberadaan lembaga MPR yang demikian dalam
system kelembagaan Negara RI merupakan lembaga Negara yang unik. Keunikan
ialah bahwa lembaga semacam MPR sulit dicari bandingannya di Negara mana pun.
Setelah amandemen, MPR tidak lagi berkedudkan sebagai lembaga tertinggi Negara
dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan system lembaga tertinggi
Negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap desain ketatanegraan yang
rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances diantara lembaga-lmbaga
Negara. Perubahan ini dapat dilihat dari adanya keberanian untuk “memulihkan”
kedaulatan rakyat denagn mengamandemen pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dari
kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi
kedaulatan berada di tangan rakyat dan di laksanakan menurut UUD.
Hilangnya predikat MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, diikuti langkah
besar lainnya yairu dengan mengamandemen ketentuan yang terdapat dalam pasal 2
ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota-anggotanya Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kesemuanya dipilih
melalui pemilu.
Menurut saldi isra,” perubahan terhadap pasal 1 ayat(2) dan pasal 2 ayat(1)
berimplikasi kepada: pertama, reposisi peran MPR dari lembaga tertinggi Negara
(supreme body) menjadi gabungan antara DPR dan DPD”; kedua, kewenangan MPR
dari menetapkan GBHN dan memilih presiden wakil presiden menjadi mengubah dan
menetapkan UUD, dan jika presiden dan wakil presiden mengkat, berhenti, di
berhentikan, atau tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam masa jabatannya secara
bersamaan, MPR memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang pasangan calon wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Kedudukan MPR
Dalam masa demokrasi pancasila berdasarkan ketetapan MPR NO.
VII/MPR/1973 jo. UU NO. 15 TAHUN 1969 jo. UU NO. 4 Tahun 1975 tentang
pemilu jo. UU NO. 6 Tahun 1969 jo. UU NO. 5 tahun 1975 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR; kedaulatan belum ditangan rakyat dan belum dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR. Oleh karena MPR hanya terdiri dari lebih kurang 40% dari
hasil kedaulatan rakyat dari pemilu dan kurang lebih 60% hasil pengangkatan. Dalam
masa reformasi (awal) berdasarkan undang-undang republic indonesia no. 4 tahun
1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD walaupun undang-
undang itu belum jelas menyebut “ kedudukan”, tetapi tidak satu pasal pun yang
mengatur kedudukan MPR, DPR dan DPRD dalam undang-undang tersebut. Menurut
pasal 2 UU NO. 4 tahun 1999 jumlah anggota MPR adalah 700 orang dengan
perincian (1) anggota DPR sebanyak 500 orang (2)utusan daerah sebanyak 135 orang
yaitu 5 orang dari setiap daerah tingkat 1. (3) utusan golongan sebanyak 65 orang.
MPR bertugas dan berwewenang untuk menetapkan garis-garis dari pada haluan
Negara dan memberhentikan presiden dan wakil presiden untuk 5 tahun berikutnya.
Untuk itu harus mengadakan siding setiap 5 tahun. Apabila tidak ada keperluan
istimewa, maka MPR tidak perlu bersidang lebih dari satu kali dalam satu tahun.
Menurut UUD 1945 keperluan yang istimewa itu adalah apabila DPR mengndang
MPR untuk mengadakan sidang istimewa dalam rangka meminta pertanggung
jawaban presiden, karena DPR menganggap presiden sungguh-sunggu telah melanggar
hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuaapan dan tindak pidana
lainnya, atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan wakil presiden berddasarkan putusan mahkamah konstitusi.
Tugas dan wewenang
Perubahan terhadap kedudukan MPR secara otomatis berpengaruh terhadap tugas
dan wewenangnya, terutama berkaitan dengan tugas dan wewenang dalam kaitanya
dengan kedudukan presiden. Jika kedudukan presiden merupakan wewenang penuh
MPR, dalam arti mengangkat dan memberhentikan. Maka dengan dipilihnya secara
langsung oleh rakyat, kewenangan ini tidak lagi dimiliki oleh MPR. Secara jelas pasal
3 UUD 1945 menetapkan tugas majelis:
a. Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar 1945 ayat 1
b. Melantik presiden dan wakil presiden ayat 2
c. Memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut
undang-undang ayat 3
Selanjutnya menurut pasal 11 UU NO. 12 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD menetapkan bahwa selain keempat hal tersebut MPR memiliki
wewenang dan tugas antara lain:
a. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan mahkamah konstitusi untuk
memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya.
b. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya.
c. Memilih wakil presiden dari 2 calon yang di ajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wakil presiden
d. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatannya
e. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


Sebelum perubahan UUD 1945, system ketatanegaraan indonesia mengenal
majelis permusyawaratan rakyat MPR sebagai lembaga Negara tertinggi. Dibawahnya
terdapat 5 lembaga Negara yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi termasuk DPR.
DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan DPR adalah kuat dan
senantiasa mengawasi tindakan-tibdakan presiden. Jika DPR menganggap presiden
sungguh melanggar haluan Negara yang telah di tetapkan UUD 1945 atau MPR, maka
DPR dapat mengundang MPR dapat melaksakan sidang istimewa guna meminta
pertanggung jawaban presiden. Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan
fungsi legislasi yang sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen
UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR.
Kedudukan DPR
Menurut ismail sumi, menyatakan bahwa dalam masa demokrasi pancasila DPR
peranannya kurang memadai, karena ternyata sejak tahun 1971 sampai 1998 tidak
lebih hanya menyetujui dan tidak mengajukan usul inisiatif. Selain itu,tidak
diberlakukannya sifat kebersamaan dalam sifat-sifat pemilu indonesia yang luber,
belum memenuhi sifat-sifat pemilu yang demokratis yang mengenai sifat ke lima yaitu
sifat kebersamaan. Ketiadaan sifat kebersamaan ini melanggar aturan umum yang di
jamin pasal 287 ayat(1) UUD 1945 yaitu diakuinya persamaan warga Negara di
hadapan hukum dan pemerintahan, dalam hal ini ikut serta memilih ddan dipilih dalam
pemilu. Terdapat anggota ABRI dan non ABRI yang tidak dipilih dalam DPR,
merupakan tindakan inkonstitusional.
Dalam masa reformasi berdasarkan UU No. 4 TAHUN 1999 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR dan DPRD pasal 11 pengisian anggota DPR dilakukan
berdasarkan anggota hasil pemilu dan pengangkatan. DPR terdiri atas: (1). Anggota
partai politik hasil pemilihan umum. (2). Anggota ABRI yang diangkat. Jumlah
anggota DPR adalah 500 orang dengan perincian (1) anggota partai politik hasil
pemilu sebanyak 462 orang dan (2) anggota ABRI yang d angkat sebanyak 38 orang.
Dalam pra amandemen UUD 1945 ditetapkan bahwa DPR dapat : (1) memberi
persetujuan UU , (2) berhak mengajukan rancangan UU, (3) berhak member
persetujuan Perpu. Berdsarkan pasal 20 a ayat (1) enyatakan, DPR merupakan
lembaga perwakilan rayat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara, yang memiliki
fungsi antara lain: (1) fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membntuk UU yang dibahas
dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama, (2) fungsi anngaran, yaitu
fungsi untuk menyusun dan menetapkan APBN bersama presiden dengan
memperhaikan pertimbangan DPD, (3) fungsi pengawasan yaitu fungsi melakukan
pengawasan terhadap pelaksaaan UUD RI 1945, UU, dan peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan pasal 24 UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD menetapkan: “DPR merupakan lembaga perwakilan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara”.
Tugas dan wewenang
Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR sangat dominan, karena kompleksitas
dalam tugas dan wewenangnya tersebut yaitu: (1) DPR mempunyai ekeuasaan
membentuk undang-undang (2) setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama. (3) jika RUU tidak mendapat persetujuan bersama
RUU itu tidak boleh diajukan lagi didalam persidangan DPR masa itu (4) presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang. (5)
dalam hal RUU yang telah di setujui bersama tersebut tidak di sahkan oleh presiden
dalam waktu 30 hari sejak RUU itu di setujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan
wajib diundangkan .
Kewenangan DPR sebagai penentu kata putus dalam bentuk memberi “persetujuan”
terhadap agenda kenegaraan yang meliputi (1) menyatakan perang, membuat
perdamaian, perjanjian dengan Negara lain. (2) membuat perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara.(3) menetapka peraturan pemerintah pengganti
undang-undang menjadi undang-undang No. 4 pengangkatan hakim agung. (5)
pengangakatan dan pemberhentian anggota komisi yudisial, agenda kenegaraan lain
yang memerlukan “pertimbangan DPR” yaitu: (1) pengangkatan duta (2) menerima
penempatan duta Negara lain (3) pemberian amnesty dan abolisi .
3. Dewan Perwakilan Daerah( DPD)
Fungsi check and belences dalam lembaga kenegaraan merupakan tujuan utama
amandemen UUD 1945 dengan demikian kekuasaan tidak bertumpu hanya pada satu
institusi Negara saja. Amandeman UUD 1945 membawa implikasi yang sangat luas
terhadap semua lembaga Negara. Reformasi pada lembaga legislatif di antara nya
adalah perubahan pada system unicameral ( yang talah menempatkan kedudukan MPR
sebagai lembaga tertinggi atau suremasi MPR) menuju system bicameral dengan
mengadakan perubahan komposisi MPR dimana keanggotaan MPR terdiri dari
anggota-anggota DPR dan DPD yang kesemuanya dipilih melalui pemilihan umum.
Pembentukan DPD dimaksudkan dalam mekanisme check and belences dapat
berjalan dengan relative, seimbang terrutama berkaitan dengan kebijakan di pusat dan
kebijakan di daerah.
Kedudukan DPD
Untuk melaksanakan demokrasi secara nyata, mengenai keanggotaan DPD pasal
22c UUD 1945 pasca amandemen menetapkan: (1) anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilu dan pemilu untuk memilih anggota DPD dilakukan secara
individu bukan atas nama partai (2) anggota DPD dari setiap peovinsi jumlahnya sama
dan jumlah seluruh jumlah anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR
(3) susunan dan kedudukan DPD di atur dengan UU adapun proses pemberhentian
anggota DPD di atur dalam pasal 22D ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “ anggota
DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syaratnya diatur dalam undang-
undang”.
Adapun kedudukan DPD sebagai lembaga Negara ditentukan dalam pasal 40 UU
No. 20 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR DPD menetapkan: “
DPD merupakan lembaga perwakilan daerah berkedudukan sebagai lembaga negara”.
Dan anggota DPD di setiap provinsi ditetapkan 4 orang.
Tugas dan Wewenang DPD
Mengenai kewenangan DPD, pasal 22D UUD 1945 menetapkan : (1) DPD dapat
mengajukan kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sember daya ekonomi dengan lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (2) DPD ikut membahas
rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan serta pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah serta DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR
atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. (3)
DPD melakukan pengawasan kepada pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran serata penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasan nya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
DPD juga memiliki kewenangan memberikan pertimbangan kepada DPR untuk
pengisian jabatan strategis kenegaraan, yaitu dalam memilih anggota badan pemeriksa
keuangan. Sedangkan dalam masalah keuangan Negara DPD memiliki kewenangan:
(1) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
(2) memeriksa hasil keuangan Negara dari BPK untuk di jadikan hasil pertimbangan
bagi DPR untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN.
C. Hubungan Antar Lembaga Legislatif
Secara teoritis, mengenai struktur lembaga perwakilan ada dua yang dikenal
selama ini yaitu unicameral dan bicameral. Sistem unicameral, tidak mengenal dua badan
negara yang terpisah. Kekuasaan badan legislatif dalam sistem unicameral terpusat pada
satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Sebagai contoh dapat dilihat
konstitusi Libanon. Sebagai kekuasaan tertinggi adalah Majelis Perwakilan Rakyat.
Pengisian anggota majelis ini, dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh rakyat yang
mewakiliki seluruh bangsa Libanon. Karenanya setiap anggota dalam pelaksanaan tugas
tidak boleh dibatasi oleh siapapun, baik pemerintah maupun rakyat pemilihnya.
Berbeda dengan sistem bicameral, yang dianut oleh berbagai konstitusi negara,
bertujuan untuk menciptakan mekanisme check and balances antara kamar pertama
dengan kamar kedua. Inggeris misalnya, yang dikenal menganut sistem bicameral
mempunyai dua majelis yaitu mejelis tinggi (House of Lord) dan majelis rendah (House
of command). Pada mulanya lembaga tinggi ini merupakan dewan raja para tuan tanah.
Sedangkan dewan rendah merupakan rakyat kebanyakan. Dalam perkembangannya,
kedua lembaga ini berubah menjadi badan pembuat undang-undang. Hanya saja sistem
pengisian yang berbeda. Majelis Tinggi diangkat oleh kaum bangsawan Inggeris. Majelis
Rendah dipilih melalui pemilu secara demokratis.
Di Indonesia menurut UUD 1945 sebelum amandemen, mengenai dua lembaga
perwakilan yaitu MPR dan DPR. Kedua lembaga ini dianggap sebagai badan legislatif.
Sebagai lembaga perwakilan, apakah MPR dan DPR dapat dianggap sebagai dua kamar
yang terpisah. Bila dihubungkan dengan dua sistem kamar di Inggeris tersebut diatas,
struktur perwakilan yang dianut UUD 1945 bukanlah sistem dua kamar. Hal ini
dikarenakan karena anggota MPR terdiri dari anggota DPR, utusan-utusan dari daerah
dan utusan-utusan golongan. Menyatunya DPR dalam MPR, berarti sistem yang dianut
adalah unikameral. Hal ini berarti, kedudukan lembaga-lembaga lainnya berada dibawah
MPR termasuk DPR sendiri. Sebagai lembaga tertinggi MPR diberi kewenangan
pemegang kedaulatan rakyat.
Namun setelah amademen UUD Negara RI Tahun 1945, supremasi MPR sebagai
lembaga tertinggi negara sudah dihilangkan. Kedudukannya sama dengan lembaga-
lembaga negara yang lain. Sedangkan DPD sebagai lembaga baru ditingkat pusat,
tidak terlepas dari keinginan untuk menciptakan sistem bicameral dalam lembaga
legislatif. Pada awalnya menimbulkan keracuan, karena ketidakjelasan kedudukan
utusan daerah sebagai representasi keterwakilan daerah dilembaga legislatif. Bila
dibandingkan dengan negara lain, Amerika Seriakat misalnya, terbentuknya sistem dua
kamar merupakan hasil kompromi antara negara bagian yang berpenduduk banyak
dengan negara bagian yang berpenduduk sedikit. House of Representatives mewakili
seluruh rakyat yang berkedudukan sebagai kamar pertama. Sedangkan senate
mewakili negara bagian, sebagai kamar kedua. Kedua lembaga ini, mempunyai
kekuasaan yang seimbang dalam pembentukan undang-undang. Bila sistem Amerika
yang dijadikan pedoman dalam pembenbentukan DPD, tentu DPD merupakan kamar
kedua disamping DPR. Asshiddqie mengatakan, karena MPR sekarang ini sudah
bertumpu kepada dua pilar perwakilan yaitu DPR dan DPD maka perlu dibedakan
bahwa DPR merupakan perwakilan dari partai politik, sedangkan DPD perwakilan dari
daerah ditetapkan DPD sebagai kamar kedua, menurut Soemantri tidak terlepas dari
gagasan sebagai berikut :
Pertama adanya tuntunan demokratis, bahwa pengisian anggota lembaga Negara
senantiasa dapat mengikutkan rakyat pemilih, sehingga keberadaan utusan daerah dan
utusan golongan dikomposisi MPR semula ditunjuk oleh unsur pemerintah digantikan
dengan pembentukan DPD. Kedua, pembentukan DPD juga terlekati dengan semakin
maraknya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, yang jika tidak dikendalikan
dengan baik berujung pada tuntunan separatisme sehingga DPD dibentuk sebagai
representasi rakyat didaerah Keberadan DPD sebagai lembaga baru ditingkat pusat.
Pertama, tatacara pengisian anggota DPD melalui pemilihan umum. Kedua jumlah
anggota DPD sama disetiap provinsi, dengan batasan tidak lebih 1/3 jumlah anggota
DPR. Ketiga, penyelenggaraan sidang DPD menimal satu kali dalam setahun
Pengaturan pengisian anggota DPD melalui Pemilu, dalam substansi konstitusi sudah
tepat. Hal ini, dikarenakan DPD sebagai representasi keterwakilan daerah, untuk ikut
terlibat dalam pengambilan keputusan ditingkat pusat. Untuk itu, wajar anggota DPD
dipilih oleh rakyat daerah secara langsung dengan menggunakan sistem distrik.
Dipilihnya anggota DPD secara langsung, mak ekstensi DPD akan mendapatkan
legitimasi yang kuat. Sehingga diharapkan meningkatkan kinerja DPD dalam
pembentukan undang-undang. Namun, adanya pembatasan jumlah anggota DPD,
dibandingkan dengan anggota DPR (hanya 1/3 anggota DPR), perlu dipertanyakan.
Apakah denganjumlah anggota seperti itu dapat mengimbangi kekuasaan DPR.
Memang jumlah anggota belum dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kuat atau
lemahnya kedudukan lembaga perwakilan dalam sistem bicameral. Tetapi sangat
ditentukan oleh kekuasaan dan kewenangan, yang diberikan kepada lembaga tersebut.
Amerika Serikat misalnya dari 50 negara bagian, masing-masingnya sebanyak 2
orang, meskipun jumlah anggota senate lebih sedikit jika dibandingkan Haouse of
Representatives, tetapi kekuasaan pembentukan undang-undang oleh kedua lembaga
tersebut adalah sama (seimbang).
Berbeda dalam pengaturan UUD Negara RI Tahun 1945, kekuasaan yang
diberikan kepada DPD, sangat terbatas. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 22D,
seperti ditegaskan sebagai berikut :
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan penggabungan serta pemekaran daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lannya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan perimbangan keuangan pusat dan daerah
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan penggabungan serta
pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lannya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
Berdasarkan pada pengaturan Pasal tersebut diatas jelas tergambar bahwa
kekuasaan DPD dalam pembentukan undang-undang yang mengatakan bahwa DPD
“dapat mengajukan” rancangan undang-undang kepada DPR, dalam hal yang
berhubungan dengan persoalan daerah. Keterbasaan kekuasaan DPD sulit dibantah
bahwa keberadaan ini lebih merupakan sub-ordinasi dari DPR. Padahal dalam sistem
bicameral, seharusnya masing-masing kamar diberikan kewenangan yang relatif
berimbang dalam rangka menciptakan mekanisme check and balances.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga legislatif adalah sebuah lembaga yang mewakili seluruh rakyat dalam
menyusun undang-undang serta ikut mengawasi atas implementasi undang-undang yang
ada oleh badan eksekutif yang mana setiap anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
Lembaga legislatif dikenal dengan sebutan berbagai macam nama seperti parlemen dan
kongres. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan yang memiliki tugas dalam menyusun serta
membentuk perturan perundang-undangan. Legislatif merupakan badan deliberatif
pemerintah yang memiliki kekuasaan dalam membuat sebuah hukum. Jenis Lembaga
Legislatif antara lain yaitu MPR, DPR dan DPD. Kedudukan dari masing-masing lembaga
tesebut berbeda sebelum amandemen dan sesudah amandemen. Begitu juga dengan tuga
dan wewenanngya.
DAFTAR PUSTAKA

Tutik, Titik Triwulan. Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945.
Jakarta: Kencana 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2016.
Manan, Bair. DPR, DPD, Dan MPR dalam UUD baru. Yogyakarta: FH UII Pres. 2003
Mahendra, Yusril. Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi DPD
dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Pres. 1996.

Anda mungkin juga menyukai