Anda di halaman 1dari 98

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usia filsafat telah ribuan abad. Filsafat telah mengemuka sejak Thales

mengemukakan renungannya tentang hakikat segala sesuatu. Filsafat sejak saat itu

berkembang dan bertemu kemungkinan-kemungkinan baru bagi pemikiran, salah

satunya adalah sinema. Sinema mengemuka relatif belum terlalu lama, persisnya

ketika Lumiere bersaudara mempresentasikan perangkat bernama cinematograph

di Grand Café Paris, 28 Desember 1895. Peristiwa itu telah jamak disepakati

sebagai kelahiran resmi sinema. Sinema terus berkembang, pertama sebagai

teknologi, kemudian seni dan pada konteks tertentu sinema juga diafirmasi

sebagai pemikiran.

Henri Bergson adalah filsuf pertama yang mengantisipasi perkembangan

teori sinema dalam Matter and Memory (1986). Bergson mewacanakan perlunya

cara pikir baru untuk memahami gerak. Bergson menciptakan konsep ‘imaji-

gerak’ dan ‘imaji-waktu’ yang bisa menjelaskan esensi, cara kerja dan kelebihan

sinema. Sinema bekerja dengan imaji, sedangkan pemikiran bekerja dengan

konsep. Bergson mengatakan bahwa imaji lebih superior ketimbang konsep,

karena imaji lebih mampu menampilkan isi pikiran secara lebih konkret,

sedangkan konsep cenderung menampilkan isi pikiran dengan cara abstraksi

(http://www.iep.utm.edu/filmcont/). Penulis akan mencontohkan, misalnya imaji

tentang cinta relatif lebih konkret ketimbang konsep atau abstraksi tentang cinta.

1
Upaya tersebut pada dasarnya lebih mudah dilakukan sinema via imaji ketimbang

filsafat via konsep. Hal ini memicu Bergson (http://www.iep.utm.edu/filmcont/)

untuk mengakui kemungkinan sinema sebagai ilustrator terbaik bagi pemikiran.

Namun premis tersebut sebelas tahun kemduian disangkal sendiri oleh

Bergson. Bergson menolak setiap kemungkinan film sebagai ilustrasi pemikiran.

Bergson menyatakan penyangkalan tersebut terangkum dalam Creative Evolution

(1907). Bergson dalam sub-bagian yang berjudul The Cinematographic Illusion

membandingkan mekanisme pemikiran konseptual dengan mekanisme

sinematografis. Bergson (dalam Herzog, 2000: 7-9) menyatakan bahwa

mekanisme pemikiran yang berfungsi secara ‘sinematik’ menciptakan ‘ilusi

teoritis’ yang berpotensi mengaburkan persepsi manusia atas evolusi sebenarnya,

yakni sebuah kemenjadian radikal, kemenjadian yang terus-menerus tanpa putus.

Kritik Bergson tersebut merujuk pada kapasitas sinema untuk mereproduksi

realitas yang direpresentasikan melalui kapasitas kamera dalam mengisolasi

bagian-bagian realitas. Bergson menulis bahwa sinema atau tepatnya aparatus

sinema berkorespondensi langsung dengan fungsi intelek, yang darinya kamera

mengisolasi bagian-bagian realitas dan menghapus nuansa tansformasi yang

terjadi antara frame yang satu dan frame yang lain. Bergson dengan berdasar atas

asumsi tersebut kemudian menyimpulkan bahwa sinema pada dasarnya hanya

memproduksi gerak semu yang identik dengan ilusi sinematografis.

Premis pertama Bergson dalam Matter and Memory tentang kapasitas

sinema sebagai ilustrator terbaik bagi pemikiran jelas bertolak belakang dengan

2
premis kedua Bergson dalam Creative Evolution tentang kapasitas sinema sebagai

penghasil gerak semu atau ilusi sinematografis.

Berpijak dari kontradiksi dalam dua premis Bergson tentang sinema

tersebut, Gilles Deleuze justru menangkap kemungkinan elaborasi. Deleuze secara

kritis mengembangkan konsepsi Bergson tentang imaji-gerak dan imaji-waktu.

Deleuze menuangkannya dalam Cinema 1: The Movement-Image (1983) dan

Cinema 2: The Time-Image (1985). Lebih lanjut, Deleuze dalam Cinema 1 dan 2

selain mengembangkan konsepsi Bergson tentang imaji-gerak dan imaji-waktu,

Deleuze juga mengeksplisitkan penerapan imaji-gerak dan imaji-waktu Bergson

pada ranah sinema. Deleuze mengeksplisitkan penerapan imaji-gerak dan imaji-

waktu Bergson dalam dua tahap kerja: pertama, kritik terhadap Bergson, kedua,

rekonstruksi relasi antara imaji-gerak dan imaji-waktu dengan imaji

sinematografis. Hal ini secara implisit bisa disimak dalam pernyataan Deleuze

dalam pengantar Cinema 1:

The Bergsonian discovery of a movement-image, and more profoundly, of


a time-image, still retains such richness today that it is not certain that all
its consequences have been drawn. Despite the rather overhasty critique of
the cinema that Bergson produced shortly afterwards, nothing can prevent
an encounter between the movement-image, as he considers it, and the
cinematographic image (Deleuze, 2005: xix; 1983: 7).

Artinya:
Temuan Bergsonian tentang ‘imaji-gerak’ dan terlebih lagi ‘imaji-waktu’
telah menyimpan keheningan yang hari ini tampak begitu sempurna.
Meskipun dalam Creative Evolution, Bergson terlalu terburu mengkritik
sinema tanpa perlu menjaga pertemuan antara imaji-gerak sebagai yang
dipertimbangkannya dan imaji sinematografik yang mengemuka
kemudian.

3
Cinema 1 dan Cinema 2 adalah sepasang manuskrip Deleuze yang belum banyak

dikaji di Indonesia, baik oleh penekun filsafat maupun penekun teori sinema.

Skripsi ini di satu sisi hendak memaparkan elaborasi Deleuze dalam manuskrip

tersebut, sembari menelusuri relasi yang terjadi antara filsafat dan sinema. Dalam

konstelasi tersebut, penulis juga akan menempatkan manuskrip Deleuze yang lain,

yakni What is Philosophy? Manuskrip tersebut ditulis Deleuze bersama Felix

Guattari. Penulis perlu menempatkan What is Philosophy? sebagai objek kajian

yang setara dengan Cinema 1 dan Cinema 2 untuk menegaskan relasi ontologis

antara filsafat dan sinema. Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 berbicara

tentang apa itu sinema dan dalam What is Philosophy?, Deleuze bersama Guattari

berbicara tentang apa itu filsafat.

Cinema 1, Cinema 2 dan What is Philosophy? karya Deleuze penting

dikaji secara relasional karena dalam tradisi pendidikan filsafat di Indonesia,

sinema cenderung dikaji sebagai yang eksternal dari filsafat, artinya sinema lebih

kerap ditempatkan sebagai objek kajian dan filsafat sebagai subjek kajian. Pola

kajian semacam ini mengakibatkan posisi sinema sebagai entitas baru dan modus

pemikiran baru justru jauh dari elaborasi. Filsafat tidak pernah benar-benar

memberikan sesuatu pada sinema, demikian sebaliknya, sinema juga tidak pernah

benar-benar memberikan sesuatu pada filsafat.

a. Rumusan Masalah

Berdasar atas latar belakang tersebut, rumusan masalah yang hendak

penulis jawab adalah sebagai berikut:

4
1. Apa itu filsafat menurut Gilles Deleuze?

2. Apa itu sinema menurut Gilles Deleuze?

3. Bagaimana relasi filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze?

b. Keaslian Penelitian

Penulis mencatat beberapa penelitian yang menempatkan film atau sinema

sebagai objek material penelitian di lingkup akademis Fakultas Filsafat

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, di antaranya sebagai berikut: Nugroho

(1997), Rachman (2005), Ismail (2006), Prawidyarto (2006), Dania (2004),

Negara (2010), Fajari (2011), Wijayanti (2011), Ikwanto (2011), Agustiani

(2011), Dwiantoro (2012), namun hanya satu yang menggunakan pemikiran

Gilles Deleuze sebagai objek formal penelitian, yaitu: Septiani Aulia, Hasrat

dalam Masyarakat Konsumeris Ditinjau dari Perspektif Gilles Deleuze: Studi

Kasus atas Film “Confessions of a Shopaholic”, Skripsi, 2011, kemudian satu

skripsi lagi yang tidak menempatkan film sebagai ‘objek material’ penelitian,

tapi menggunakan pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari sebagai objek

formal penelitian, yaitu: Mohammad Arifin, Konstruktivisme Chaotic: Telaah

Filsafat Deleuze dan Guattari, Skripsi, 2006. Berdasarkan penelusuran

tersebut, skripsi ini adalah otentik, karena kendati menggunakan objek formal

yang secara umum sama, yakni pemikiran Deleuze, namun menempatkan

objek material penelitian yang secara signifikan berbeda, yakni: filsafat dan

sinema.

5
c. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis

Penelitian ini diharapkan menjadi sarana eksplorasi dan aktualisasi penulis

terkait wacana sinema dan filsafat secara umum dan pemikiran Deleuze

secara khusus.

2. Bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan menjadi suplemen tentang dinamika filsafat

Prancis pada paruh kedua abad ke-20 yang hingga kini masih memiliki

pengaruh luas, sekaligus memperkenalkan kajian filosofis tentang sinema.

3. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi suplemen filosofis dan sinematik

untuk kreasi sinema dari dan untuk masyarakat.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab tiga rumusan

masalah di atas, yaitu:

1. Merumuskan pemikiran Gilles Deleuze tentang filsafat.

2. Merumuskan pemikiran Gilles Deleuze tentang sinema.

3. Memaparkan relasi filsafat dan sinema dalam konteks pemikiran Gilles

Deleuze.

C. Tinjauan Pustaka

6
John Mullarkey dalam Refractions of Reality: Philosophy and the Moving

Image mengatakan bahwa baik filsafat dan sinema sama-sama menyodorkan

sesuatu yang megah, yakni realitas itu sendiri. Filsafat dan sinema mampu

memberikan gambaran realitas secara kuat. Mullarkey menambahkan, jika filsafat

secara umum bertumpu pada kata-kata, sinema bertumpu pada medium visual.

Seorang filsuf dan sutradara film pada dasarnya sama-sama berupaya menelusuri

realitas (Mullarkey, 2009: ix). Cynthia Freeland dan Thomas E. Watenberg dalam

Philosophy and Cinema mengurai hubungan filsafat dan film sebagai hubungan

yang tidak searah, maksudnya ketika filsafat selalu berupaya untuk

mengemukakan aspek-aspek penting dari film, film juga dapat menantang filsafat

untuk memikirkan film dan problem-problem film secara baru (Freeland et.al.,

1995: 1-2).

Thorsten Botz-Bornstein dalam Philosophy of Film: Continental

Perspectives coba memberikan pengantar umum tentang filsafat sinema dari sudut

pandang kontinental. Dengan bertolak dari Bergson, Botz-Bornstein akhirnya

menyinggung Deleuze. Deleuze disinggung bersama Jean Epstein, Jean Mitry dan

Daniel Frampton. Botz-Bornstein mengkategorikan Deleuze sebagai pemikir yang

turut mewacanakan sinema sebagai pemikiran

(http://www.iep.utm.edu/filmcont/). Botz-Bornstein mengatakan bahwa Deleuze

memang membawa kajian film lebih dekat dengan filsafat. Deleuze dalam

pengantar Cinema 1 menulis bahwa “sutradara-sutradara besar sinema tidak hanya

bisa dihadapkan dengan pelukis, arsitek, musisi, tapi juga dengan pemikir” (2005:

xiv; 1983: 7-8). Selain Botz-Bornstein, penulis mencatat beberapa nama yang

7
mengkaji pemikiran Deleuze tentang sinema secara spesifik. Beberapa nama yang

dimaksud adalah D.N. Rodowick (1997), Paola Marrati (2003), Ronald Bogue

(2003), David Martin-Jones (2006) dan Felicity Colman (2011).

D.N. Rodowick dalam Gilles Deleuze’s Time Machine memahami Cinema

1 dan Cinema 2 sebagai upaya tidak sadar Deleuze dalam mendistribusikan ulang

beberapa pertentangan dalam teori film sebelumnya, misalnya antara

realisme/modernisme, ilusionisme/materialisme, kontinuitas/diskontinuitas,

identifikasi/distansi. Lebih lanjut, Rodowick (1997: xi) meyakini bahwa Cinema 1

dan Cinema 2 lebih kontributif dibaca sebagai tantangan atas beberapa

pertentangan tersebut. Gilles Deleuze’s Time Machine dengan demikian adalah

upaya Rodowick untuk memperluas pemikiran Deleuze tentang sinema sebagai

kritik konstruktif atas teori film sebelumnya. Buku Rodowick tersebut, alih-alih

ditujukan sebagai pengantar pemikiran Deleuze tentang sinema, juga ditujukan

sebagai klarifikasi bahwa Cinema 1 dan Cinema 2 adalah karya filsafat yang

diupayakan Deleuze untuk memahami perkembangan sinema dan teori sinema

secara umum. Rodowick menegaskan bahwa filsafat Deleuze tentang sinema

adalah filsafat tentang waktu (Rodowick, 1997: xiii).

Paola Marrati dalam Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy mengurai

beberapa hal dalam pemikiran Deleuze tentang sinema, misalnya kaitan antara

Cinema 1 dan Cinema 2 Deleuze dengan beberapa teori sinema, posisi filsafat dan

pertaruhan-pertaruhan filosofis dihadapan sinema, kemudian posisi Cinema 1 dan

Cinema 2 Deleuze ditinjau dari karya Deleuze secara keseluruhan. Marrati

menjelaskan bahwa Deleuze berupaya melawan dua pendekatan yang

8
mendominasi kajian sinema pada tahun 1980-an di Prancis dan beberapa negara

lain, misalnya Inggris dan Amerika. Pendekatan pertama yang dominan adalah

pendekatan realis dan fenomenologis dari Andre Bazin, sedangkan pendekatan

kedua adalah pendekatan linguistik dan psikoanalitik dari Cristian Metz (Marrati,

2003: 1).

Deleuze menolak realisme Bazin (Marrati, 2003: 1-2), karena kurang

mampu menjelaskan aspek temporal dari sinema, yakni waktu. Realisme Bazin

berangkat dari yang nampak atau aspek empirik dalam sinema, yakni fenomena.

Melalui fenomena inilah, Bazin terdorong untuk mendekati sinema secara

fenomenologis, alih-alih juga realis. Orientasi umum dari pendekatan

fenomenologis adalah merengkuh persepsi alamiah dengan cara menumpukan

pengetahuan pada subjek. Corak subjektif dari fenomenologi inilah yang justru

memustahilkan sinema dipahami secara objektif (Marrati, 2003: 2). Menghadapi

pendekatan realis dan fenomenologis Bazinian tersebut, Deleuze mengarahkan

diri pada analisis tentang waktu dalam sinema. Deleuze melandaskan analisisnya

dari konsepsi Bergson tentang waktu objektif. Waktu objektif secara konseptual

disebut Bergson sebagai durasi. Perlu diketahui, durasi dalam konteks Bergson

tidak cukup dipahami sebagai lamanya waktu. Durasi dalam konteks Bergson

adalah keberlangsungan. Kembali pada Deleuze, kendati mengadopsi konsepsi

Bergson, menurut Marrati (2003: 2-3) Deleuze tetap mengembangkan konsepsi

Bergson secara otentik. Deleuze mampu menerapkan konsepsi Bergson tentang

keberlangsungan dalam konteks perkembangan sinema.

9
Penolakan Deleuze atas pendekatan linguistik dan psikoanalitik Metzian

bersumber dari keraguan Deleuze bahwa linguistik hanya berpotensi untuk

mereduksi sinema pada praktik kebahasaan dan psikoanalitik mereduksi sinema

pada aspek kesadaran dan ketidaksadaran subjek. Dampak yang ditangkap

Deleuze dari pendekatan linguistik dan psikoanalik umumnya hampir sama

dengan pendekatan realis dan fenomenologis, yakni tidak mampu mencapai

pemahaman objektif tentang sinema. Dalam hal ini, Marrati (2003: 2) mengurai

bahwa proyek Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 adalah upaya ekstraksi atas

esensi sinema. Deleuze menggambarkan apa yang melekat pada sinema secara

khusus dan mengurai singularitas sinema dari imaji-imaji yang diproduksi sinema.

Deleuze mengklasifikasikan imaji-imaji sinema dalam dua imaji kunci,

yakni: imaji-gerak yang mewakili perkembangan sinema klasik dan imaji-waktu

yang mewakili perkembangan sinema modern. Marrati (2003: 3) mengatakan

bahwa masalah sentral yang diangkat Deleuze melalui pemilahan imaji-gerak dan

imaji-waktu adalah masalah representasi. Sinema sebagai entitas baru sekaligus

bentuk seni baru, tentu juga membawa masalah baru bagi pengetahuan. Sinema

bekerja dengan gerak semu yang pada mulanya diterima sebagai gerak nyata,

misalnya ketika Lumiere bersaudara mempresentasikan karyanya yang berjudul

L'arrivée d'un train en gare de La Ciotat (Kedatangan Kereta dari Stasiun Ciotat),

penonton merunduk karena mengira bahwa kereta yang hadir di atas layar akan

meloncat keluar.

Ronald Bogue dalam Deleuze on Cinema mengkaji Cinema 1 dan Cinema

2 dengan berfokus pada eksposisi pemikiran Deleuze melalui beberapa sutradara

10
dan film yang diacu. Bogue menyatakan bahwa paparan Deleuze masih terlalu

alusif, artinya tidak selalu tereksplanasikan secara langsung, sehingga

membutuhkan penyelidikan lebih lanjut (2003: 2). Dalam Deleuze on Cinema,

Bogue lebih banyak melakukan peninjauan ulang atas beberapa kritikus dan

teorisi film yang disinggung Deleuze, juga argumentasi filosofis yang dibangun

Deleuze. Buku Deleuze on Cinema pada akhirnya, sebagaimana dinyatakan

Bogue, bertujuan untuk mendemonstrasikan koherensi dan originalitas pemikiran

Deleuze tentang sinema (Bogue, 2003: 3). Penulis berpendapat bahwa yang

menarik dari kajian Bogue adalah upayanya untuk menguraikan secara khusus

pengaruh Bergson pada Deleuze. Bogue (2003: 3) sangat menyadari bahwa tanpa

memahami konsepsi Bergson tentang waktu yang banyak diaplikasikan Deleuze

dalam Cinema 1 dan Cinema 2 akan berbuah pada obskuritas tersendiri.

Felicity Colman dalam Deleuze and Cinema: The Film Concepts

berkonstrasi pada uraian sejumlah konsep kunci Deleuze dalam Cinema 1 dan

Cinema 2. Tujuan Colman adalah untuk memahami konsepsi-konsepsi Deleuze

secara lebih detail. Colman tidak berhenti di situ, Colman juga coba

mengaplikasikan konsepsi Deleuze secara praktis. Colman merancang sistematika

bukunya dalam tiga tahap penjelasan. Pertama adalah paparan tentang apa itu

konsep x (misalnya, x adalah konsepsi Deleuze tentang imaji-gerak). Kedua

adalah bagaimana Deleuze menggunakan imaji-gerak. Ketiga adalah fungsi apa

yang dimiliki imaji-gerak (Colman, 2011: 5). Strategi Colman dalam memaparkan

dan membuktikan pengaplikasian teori Deleuze tentang sinema adalah pencapaian

tersendiri. Buku Colman bagi penulis adalah pengantar paling praktis dalam

11
memahami dan mengaplikasikan konsep-konsep Deleuze dalam Cinema 1 dan

Cinema 2. Lebih dari itu, Colman juga berhasil memperluas wilayah aplikasi

Cinema 1 dan Cinema 2 tidak terbatas pada sinema saja, tapi secara umum adalah

media layar yang memiliki kapasitas untuk menghadirkan imaji, suara dan gerak.

Colman mengeksplisitkan konsepsi Deleuze tentang sinema sebagai metode.

Colman (2011: 6) menyebutnya Deleuzian ciné-system.

Berdasarkan uraian di atas, fokus penelitian penulis hampir mirip dengan

kajian Paola Marrati dalam Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy. Kendati

demikian perlu dicatat bahwa Marrati memang memfokuskan diri pada gagasan

sinema dan filsafat Deleuze. Lebih dari itu, Marrati juga banyak bertumpu pada

Cinema 1, Cinema 2, What is Philosophy? dan mengeksplorasi tiga teks tersebut

dalam konteks pengeksplisitan status ontologis sinema dan filsafat dari perspektif

Deleuze, namun Marrati melewatkan begitu saja pembahasan tentang relasi antara

sinema dan filsafat.

D. Landasan Teori

Relasi dalam bahasa Inggris disebut relation, dalam bahasa Latin disebut

relatio, yang artinya ‘hubungan’. Lorens Bagus mendefinisikan relasi dalam tiga

pengertian, yakni pertama, relasi adalah sebuah kaitan yang dimiliki suatu benda

dengan benda-benda lainnya atau suatu ide dengan ide-ide lainnya; kedua, relasi

adalah kualitas yang menjadi predikat dua hal atau lebih yang dapat direngkuh

sekaligus; ketiga, relasi adalah pengaturan dua hal atau lebih (Bagus, 2005: 946).

Berdasarkan tiga pengertian tersebut, penulis berpendapat bahwa relasi pada

12
intinya selalu lebih dulu mensyaratkan keberadaan dua entitas, baik itu berupa

benda ataupun ide, yang tanpa prasyarat tersebut relasi tidak akan ada

sebagaimana keberadaan akhirnya juga tidak akan mungkin, misalnya adanya

meja kayu lebih dulu mensyaratkan adanya batang kayu dan tukang kayu. Meja

kayu tidak mungkin ada tanpa didahului oleh relasi antara batang kayu dan tukang

kayu.

Relasi dibagi menjadi dua corak umum, yakni relasi eksternal dan relasi

internal. Pembagian ini muncul dalam diskursus ontologi. Apa yang dimaksud

relasi eksternal adalah relasi antara dua hal atau lebih yang tidak bersifat mutlak

atau tidak secara langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal lainnya,

misalnya relasi antara korek api dengan saku kemeja. Relasi korek api dengan

saku kemeja tidaklah hakiki. Keberadaan korek api tidak berpengaruh secara

langsung pada keberadaan saku kemeja. Korek api tetap menjadi korek api tanpa

harus berada di dalam saku kemjea, demikian sebaliknya, saku kemeja tetap

menjadi saku kemeja tanpa harus ada korek api di dalamnya. Relasi eksternal

dengan demikian adalah relasi yang bercorak relatif terhadap hakikatnya. Adapun

yang dimaksud dengan relasi internal adalah sebuah relasi antara dua hal atau

lebih yang bersifat mutlak atau langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal

lainnya, misalnya relasi antara jiwa dan tubuh manusia. Relasi keduanya bersifat

hakiki. Keberadaan tubuh manusia berpengaruh secara langsung dengan apa yang

disebut jiwa, sebab tanpa tubuh, jiwa tidak akan memiliki wadah, demikian

sebaliknya, tanpa jiwa, tubuh manusia tidak akan bermakna (Bagus, 2005: 947-

948).

13
Diskursus tentang relasi bermula dari pemikiran Aristoteles, kemudian

semakin mendapatkan kedudukan penting dalam ontologi abad ke-19 hingga

sekarang. Relasi-relasi dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara, misalnya

dengan cara melihat tingkatan relasi pada beberapa entitas yang berkaitan satu

sama lain. Kevin Mulligan dalam A Companion to Metaphysics mencontohkan

konsep relasi melalui gambaran beberapa orang yang duduk bersebelahan,

sebutlah beberpa orang itu adalah Maria, Sam dan Tom. Apa hubungan Maria

yang duduk lebih dekat dengan Sam ketimbang dengan Tom? Bisa jadi antara

Maria dan Sam memiliki derajat hubungan yang lebih intim ketimbang Maria dan

Tom, juga dengan laki-laki lain (Mulligan, 2005: 445). Mulligan menjelaskan

lebih lanjut bahwa beberapa relasi sesungguhnya memiliki variabel tertentu.

Beberapa relasi menunjukkan perbedaan susunan sifat, material atau formal.

Seorang nominalis memahami struktur relasi sebagai yang tidak dapat diualng

(non-repeatable), artinya relasi pada dasarnya bercorak partikular, sehingga tidak

ada satupun relasi yang mencakup segalanya. Berkebalikan dengan seorang anti-

nominalis yang beranggapan bahwa struktur relasi sesungguhnya bersifat

universal, artinya sebuah relasi antara dua entitas tertentu akan berdampak atau

berkait dengan entitas lain (Mulligan, 2005: 446). Seorang nominalis dengan

demikian lebih mengakui eksternalitas relasi, sedangkan seorang anti-nominalis

lebih condong pada internalitas relasi.

Louis O. Kattsof mengatakan bahwa dua hal dikatakatan berelasi jika dua

hal tersebut saling berkaitan atau ada koneksi antar keduanya, relasi itu sendiri,

menurut Kattsof adalah banyak macamnya, misalnya relasi dalam ruang, dalam

14
waktu, dalam kualitas, dalam kuantitas, dalam asal-usul keturunan. Secara

epistemologis, relasi dibagi menjadi dua bentuk, yakni relasi dari dalam dan relasi

dari luar (Kattsof, 2004: 56). Hal ini mirip dengan penjelasan penulis tentang

relasi eksternal dan relasi internal, perbedaannya hanya dari segi istilah. Kattsof

menyebut relasi internal sebagai relasi yang bercorak intrinsik dan relasi eksternal

sebagai relasi yang bercorak ekstrinsik. Lebih lanjut, Kattsof (2004: 57)

menambahkan bahwa pemikir yang mendasarkan diri pada relasi eksternal

digolongkan sebagai pendukung realisme, sedangkan pemikir yang mendasarkan

diri pada relasi internal merupakan pengikut idealisme.

Dalam filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas, relasi adalah salah satu

kategori yang muncul dari konteks pembagian hubungan substansi-aksidens.

Relasi adalah kategori yang bersifat membatasi subjek dalam kaitannya dengan

yang lain yang eksternal, misalnya hubungan ayah-anak, suami-istri, majikan-

buruh. Sebagai aksidens, relasi memiliki tiga unsur dasar, yakni: subjek, tujuan

dan dasar (Bagus, 1991: 133). Untuk lebih jelasnya, analogikan saja subjek adalah

bapak, sedangkan apa yang disebut bapak selalu mengacu atau diacukan kepada

yang lain, yakni anak. Apa yang disebut anak tersebut pada dasarnya berdiri

sebagai acuan atau tujuan subjek, sedangkan apa yang menjadi dasar dari relasi

subjek dan tujuan dalam konteks analogi bapak dan anak tersebut adalah kelahiran

(Bagus, 1991: 134).

Penulis mencatat setidaknya ada tiga jenis relasi, yakni relasi menurut

bentuknya, relasi menurut polanya, relasi menurut sifatnya. Pertama, apa yang

penulis maksud dengan relasi menurut bentuknya adalah relasi real dan relasi

15
ideal. Relasi real adalah relasi yang memang ada dalam kenyataan, misalnya

kebaikan dan keharmonisan dalam keluarga. Relasi ideal adalah relasi yang ada

dalam pikiran semata, misalnya relasi antara manusia dan tuhan yang hanya bisa

diandaikan dalam pikiran saja (Bagus, 1991: 134).

Kedua, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut polanya adalah

relasi sepihak dan relasi timbal balik. Relasi sepihak adalah relasi yang searah,

misalnya relasi antara yang mengetahui dan yang diketahui. Apa yang diketahui

dalam konteks relasi sepihak pada dasarnya tidak memberikan tambahan apa-apa

pada yang mengetahui, sebab yang diketahui diposisikan sebagai objek mati.

Relasi timbal balik adalah relasi antara dua hal yang saling mengandaikan,

misalnya seorang baru disebut bapak ketika mempunyai anak. Anak disebut anak

karena mempunyai bapak. Anak ada karena bapak ada (Bagus, 1991: 134-135).

Ketiga, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut sifatnya adalah

relasi predikamental dan relasi transendental. Relasi predikamental adalah relasi

mental yang mengacu pada ciri fisik tertentu, misalnya sifat kebapakan yang

mengandaikan manusia laki-laki atau persisnya laki-laki yang menjadi bapak.

Relasi transendental adalah relasi yang membentuk subjek itu sendiri, misalnya

relasi antara materi dan bentuk yang mengemuka pada kenyataan. Materi sebagai

materi karena ada kemungkinan menjadi bentuk. Dalam konteks relasi

transendental, materi dianggap tidak bisa berdiri sendiri sebagai materi, demikian

juga dengan bentuk. Kesatuan antara materi dan bentuk inilah yang menyebabkan

keberadaan entitas seperti meja, komputer dan celana sebagai realitas konkret

(Bagus, 1991: 135).

16
Archie J. Bahm dalam Metaphysics: An Introduction mengatakan bahwa

relasi melibatkan entitas terkait dalam beberapa persamaan dan perbedaan (Bahm,

1986: 72). Bahm dengan demikian memahami bahwa dua entitas dikatan berelasi

jika memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Hal ini dengan kata lain, jika

sebuah entitas memiliki persamaan total dan perbedaan total dengan entitas lain,

maka entitas tersebut sebagaimana dinyatakan Bahm, justru tidak memiliki relasi

sama sekali dengan entitas lain (Bahm, 1986: 72). Entitas tersebut adalah entitas

yang berdiri sendiri. Entitas dengan ciri yang demikian itu pada kenyataannya

sukar untuk ditunjuk dan dibuktikan keberadaannya. Bahm menguraikan lebih

lanjut tentang beberapa kategori relasi, salah satunya adalah antara kesebagian

dan keseluruhan. “Keseluruhan,” demikian tulis Bahm, “adalah selalu keseluruhan

dari kesebagian dan kesebagian adalah selalu bagian-bagian dari keseluruhan”

(Bahm, 1986: 73).

Deleuze dalam salah satu esainya tentang David Hume memahami relasi

sebagai nilai yang diretas dari sebuah impresi yang terberi untuk sebuah idea yang

tidak terberi, dengan demikian, relasi harus dikreasi. Relasi harus dikreasi menjadi

idea tentang relasi. Deleuze menambahkan bahwa relasi adalah sebuah efek dari

apa yang dinamakan prinsip-prinsip kebersatuan, kebersinggungan, kemiripan,

hubungan sebab-akibat yang mendasari alam manusia (Deleuze, 2001: 39; 2004:

164), sedangkan dalam Negotiation, Deleuze mengatakan bahwa relasi antara

sinema dan filsafat adalah relasi antara imaji dan konsep (Deleuze, 1995: 64).

Deleuze dengan demikian melihat bahwa relasi antara imaji dan konsep identik

dengan relasi filsafat dan sinema. Berdasarkan uraian tersebut, landasan teori yang

17
umumnya akan penulis gunakan sebagai pisau analisis adalah teori tentang jenis-

jenis relasi. Teori tersebut akan penulis operasikan dalam konteks pembacaan

relasi antara filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze.

E. Metode Penelitian

a. Materi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengandalkan kajian

pustaka. Merujuk Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair dalam

Metodologi Penelitian Filsafat, penelitian penulis lebih condong pada ‘model

penelitian historis faktual mengenai naskah atau buku’ (1990: 67-71). Penulis

menempatkan tiga buku Gilles Deleuze, yakni Cinema 1, Cinema 2 dan What

is Philosophy? sebagai objek penelitian.

Penulis mengklasifikasikan pustaka menjadi dua jenis, yakni pustaka

primer dan pustaka sekunder. Pustaka primer adalah teks-teks yang ditulis

Deleuze dan berkaitan langsung dengan objek penelitian. Pustaka yang penulis

maksud sebagai berikut:

a. Deleuze, Gilles, 2005, Cinema 1: The Movement-Image, trans. Hugh

Tomlinson & Barbara Habberjam, Continuum, London & New York.

Sebagai pembanding, akan digunakan juga versi Prancis: Deleuze,

Gilles, 1983, Cinéma 1: L’Image-Mouvement, Les Éditions De Minuit,

Paris.

18
b. _____________, 2005, Cinema 2: The Time-Image, trans. Hugh

Tomlinson & Robert Galeta, Continuum, London & New York.

Sebagai pembanding, akan digunakan juga versi Prancis: Deleuze,

Gilles, 1985, Cinéma 2: L’Image-Temps, Les Éditions De Minuit,

Paris.

c. _____________ & Félix Guattari, 2004, What is Philosophy?:

Reinterpretasi atas Filsafat, Sains dan Seni, terj. Muh. Indra Purnama,

Jalasutra, Yogyakarta. Sebagai pembanding, akan digunakan juga versi

Prancis: Deleuze, Gilles & Félix Guattari, 1991 Qu’est-Ce Que La

Philosophie?, Les Éditions De Minuit, Paris.

Pustaka sekunder adalah pustaka kedua atau pustaka para pengkaji

Deleuze yang berguna sebagai pengantar dalam memahami kompleksitas

pemikiran Deleuze. Pustaka yang penulis maksud sebagai berikut:

a. Bogue, Ronald, 2003, Deleuze on Cinema, Routledge, London & New

York.

b. Colebrook, Claire, 2002, Gilles Deleuze, Routledge, London & New

York.

c. Colman, Felicity, 2011, Deleuze and Cinema: The Film Concepts,

Berg, New York.

19
d. Flaxman, Gregory (ed.), The Brain Is the Screen: Deleuze and The

Philosophy of Cinema, University of Minnesota Press, Minneapolis &

London.

e. Khalfa, Jean (ed.), 1999, An Introduction to the Philosophy of Gilles

Deleuze, Continuum, London & New York.

f. Marrati, Paola, 2004, Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy, trans.

Alisa Hartz, The Johns Hopkins University Press, Baltimore.

g. Parr, Adrian (ed.), 2005, The Deleuze Dictionary, Edinburgh

University Press, Edinburgh.

h. Sasso, Robert & Arnaud Villani (ed.), 2003, Le Vocabulaire de Gilles

Deleuze, Le Cahiers de Noesis, Paris.

i. Mohamad Panji Wibowo, Januari 2002, “Gerak-Waktu-Imaji Gilles

Deleuze dalam Sinema”, dalam Percah-Percah Postmodernisme,

Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XXV, No. 3, Jakarta.

j. Jaegwon, Kim et.al., 2009, A Companion to Metaphysics, Wiley-

Blackwell, United Kingdom.

k. Bagus, Lorens, 1991, Metafisika, Gramedia, Jakarta.

l. Bahm, Archie J., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper & Row,

Albuquerque.

Penulis juga akan menggunakan sumber lain yang tentu saja akan

memperkaya khazanah penelitian. Sumber lain yang penulis maksud adalah

20
teks-teks umum tentang teori-teori film, sejarah filsafat dan sejarah sinema,

baik itu buku ataupun jurnal, baik dalam wujud cetak atau digital.

b. Jalan Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dalam empat tahap:

1. Inventarisasi

Penulis akan mengumpulkan materi penelitian, yakni pustaka-

pustaka yang terkait dengan objek penelitian, baik yang sifatnya

primer ataupun sekunder.

2. Klasifikasi

Penulis akan memilih dan memilah pustaka primer dan pustaka

sekunder, juga pustaka lain-lain yang mendukung jalannya

penelitian.

3. Analisis

Penulis akan mengurai pustaka primer dan pustaka sekunder dengan

perangkat metodis yang mampu mengantarkan penulis pada tujuan

penelitian.

c. Analisis Data

Metode yang penulis gunakan dalam menganilis data-data penelitian

adalah hermeneutika-filosofis dengan perangkat metodis sebagai berikut:

1. Interpretasi

Melakukan interpretasi mendalam guna menangkap arti dari

beberapa konsep kunci Gilles Deleuze tentang sinema dan filsafat.

21
2. Koherensi intern

Penulis akan melihat dan menyelaraskan diri dengan alur

argumentasi dan konsepsi Gilles Deleuze tentang sinema dan filsafat.

3. Holistika

Penulis akan melihat konsepsi pemikiran Deleuze yang integral dan

relasional dengan pemikiran Gilles Deleuze secara keseluruhan.

4. Deskripsi

Penulis akan melakukan pemaparan tentang hasil pemahaman

penulis secara sistematis.

F. Hasil Yang Dicapai

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah mampu memperoleh jawaban

dari persoalan yang telah disampaikan dalam rumusan masalah, yaitu:

1. Mendapat paparan yang jelas tentang filsafat menurut Gilles Deleuze.

2. Mendapat paparan yang jelas tentang sinema menurut Gilles Deleuze.

3. Mendapat paparan dan pembuktian yang jelas dan meyakinkan tentang relasi

filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab berikut:

Bab I merupakan bagian pendahuluan. Bagian pendahuluan tersebut

meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat

22
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode

penelitian yang digunakan.

Bab II merupakan bagian yang dikhususkan untuk menjawab rumusan

masalah pertama. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran

Deleuze tentang filsafat. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab,

yakni: pertama, paparan tentang biografi dan posisi filsafat Gilles Deleuze; kedua,

paparan tentang karya dan kontribusi Gilles Deleuze sebelum Anti-Oedipus;

ketiga, penjelasan Gilles Deleuze tentang filsuf sebagai persona konseptual dan

filsafat sebagai aktivitas penciptaan konsep; keempat, penjelasan Gilles Deleuze

tentang tantangan filsafat sebagai tantangan penciptaan konsep; kelima, poin-poin

kesimpulan tentang filsafat menurut Gilles Deleuze.

Bab III merupakan bagian yang dikhususkan untuk menjawab rumusan

masalah kedua. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran

Gilles Deleuze tentang sinema. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam empat

sub-bab, yakni: pertama, kontribusi Deleuze dalam Sinema; kedua, konstruksi

teoritik Deleuze; ketiga, Cinema 1 dan Cinema 2 sebagai karya filsafat; keempat,

Cinema 1 sebagai imaji-gerak; kelima, Cinema 2 sebagai imaji-waktu; keenam,

kesimpulan tentang sinema menurut Deleuze.

Bab IV merupakan bagian yang dikhususkan untuk menjawab rumusan

masalah ketiga. Bagian ini secara umum merupakan sintesis dari Bab II dan III.

Penulis akan mengurai relasi sinema dan filsafat menurut Gilles Deleuze. Bab ini

secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab, yakni: pertama, penciptaan konsep

sebagai ontologi filsafat Deleuze; kedua, penciptaan imaji sebagai ontologi

23
sinema Deleuze; ketiga, kesimpulan tentang relasi filsafat dan sinema menurut

Deleuze.

Bab V merupakan bagian kesimpulan atau bagian penutup yang meliputi

dua sub-bab berikut: kesimpulan dan saran. Penulis dalam sub-bab kesimpulan

akan mengurai beberapa poin pokok yang menjadi hasil penelitian atau pokok

jawaban dari tiga rumusan masalah. Penulis dalam sub-bab saran akan

memaparkan sedikit evaluasi kritis atas hasil penelitian. Tujuan penulis agar

penelitian serupa tetap terbuka.

24
BAB II

GILLES DELEUZE DAN FILSAFAT

Pada Bab ini penulis akan mengurai pandangan Gilles Deleuze tentang

filsafat. Penulis akan mengidentifikasi lebih dulu riwayat, posisi dan kontribusi

Deleuze dalam filsafat. Identifikasi tersebut ditujukan untuk memperlihatkan

perbedaan Deleuze dari filsuf lain. Penulis kemudian akan mengurai definisi

Deleuze tentang filusf sebagai persona konseptual dan filsafat sebagai kreasi

konsep. Penulis pada akhir sub-bab akan mengurai kesimpulan dari dua sub-bab

sebelumnya. Adapun sistematisasi pembahasan penulis adalah sebagai berikut:

pertama, posisi dan kontribusi Deleuze; kedua, tentang filsuf, filsafat dan konsep;

ketiga, filsafat menurut Deleuze.

A. Biografi dan Posisi Filsafat Deleuze

Gilles Deleuze sebagai penekun filsafat memiliki kecenderungan untuk

menjaga jarak dari guru-gurunya. Deleuze lahir pada 1925. Deleuze belajar

filsafat di Sorbonne pada 1944-1948 ketika Deleuze mulai mengenal Michel

Butor, Michael Tournier dan François Châtelet. Guru-gurunya yang berpengaruh

adalah Ferdinand Aliquié (ahli Descartes dan filsafat surealis), Geroges

Canguilhem (pembimbing Foucault) dan Jean Hyppolite (salah satu penafsir

Hegel yang berpengaruh di Prancis selain Alexander Kojeve) (Lechte, 2001: 162).

Berguru pada figur-figur tersebut, harus diakui bahwa peranan filsafat

Nietzsche banyak menginspirasi Deleuze untuk menempuh jalan filsafat yang

25
berbeda dari apa yang telah ditempuh guru-gurunya yang banyak mengadopsi

filsafat Hegel. Seperti yang telah penulis uraikan, filsafat Deleuze bercorak

horizontal, bahkan dalam artinya yang sangat radikal. Pemikiran Deleuze bertolak

dari yang imanen (atau yang melekat di sini) dan memahami yang transenden

(atau yang melekat di sana) hanyalah efek dari yang imanen. Hal ini dengan kata

lain, bagi Deleuze yang transenden itu sejatinya melekat pada yang imanen.

Gilles Deleuze digolongkan sebagai filsuf postrukturalis. Agustinus

Hartono menyebut Deleuze sebagai “salah satu filsuf postrukturalis dan

posmodernis terkemuka di Prancis” (Hartono, 2007: 58). Label ganda, yakni

postrukturalis dan posmodernis yang dilekatkan Hartono pada Deleuze bisa

menjebak pada sebuah penyamaan antara postrukturalis dan posmodernis tanpa

perlu menimbang perbedaan keduanya. Penulis lebih sepakat menyebut Deleuze

sebagai filsuf postrukturalis Prancis yang muncul di era posmodern seperti halnya

Georges Bataille, Emanuel Levinas, Michael Focault dan Jacques Derrida. Penulis

mengatakan Deleuze sebagai postrukturalis dengan berpijak pada fakta bahwa

Deleuze turut merumuskan problem instabilitas relasi subjek dan objek yang

mengakar pada diskursus tentang perbedaan. Hal itu bisa dilihat dari pandangan

Deleuze tentang sejarah filsafat.

Deleuze memandang sejarah filsafat sebagai pengulangan (repetition)

yang berbeda (different) yang darinya konsep baru akan selalu tercipta (Arifin,

2006: 23). Deleuze menempatkan sejarah filsafat sebagai disiplin yang perlu

dinilai kembali setelah distabilkan oleh para pemikir tradisional (Arifin, 2006:

24). Proses penilaian kembali terhadap sejarah filsafat tersebut berdampak pada

26
multiplisitas nilai, karena sejarah filsafat selalu dihadapkan dengan sebuah kritik

yang memungkinkan terciptanya konsep baru. Sejarah filsafat dalam perspektif

Deleuze dengan demikian telah menjadi sebuah disiplin yang terbuka. Lebih

lanjut, dengan berpijak pada filsafat Nietzsche, Deleuze mendekati relasi subjek-

objek dengan analogi rhizome (Lecthe, 2001: 153 & 162-167). Rhizome adalah

sejenis akar yang tumbuh menjalar. Deleuze meminjam istilah tersebut dari

disiplin biologi. Rhizome digunakan Deleuze untuk menjelaskan sebauh upaya

pembangunan pemikiran yang bercorak horizontal, ketimbang vertikal. Pemikiran

vertikal adalah pemikiran yang tumbuh seperti pohon, yakni mengarah ke atas.

Dalam konteks filsafat, pemikiran tersebut bercorak transenden dan hierarkis.

Deleuze dengan analogi rhizome, jelasnya hendak melawan corak pemikiran

seperti itu.

Dalam konteks diskursus tentang subjek, Deleuze memandang subjek

sebagai sesuatu yang sukar dipilah dari objek (Aulia, 2011: 29). Akar dari

pandangan ini adalah asumsinya tentang yang ada sebagai yang univokal. Deleuze

memahami filsafat sebagai ontologi. Ada yang Deleuze yakini adalah Ada yang

univokal, atau Ada yang berada dengan cara dan sumber yang sama. Karakter dari

univositas Ada adalah menganggap realitas inheren satu sama lain. Subjek pada

titik tertentu bisa menjadi objek, begitupun sebaliknya, misalnya pelukis Basquiat

bukanlah subjek di hadapan sistem politik di Amerika Serikat, namun Basquiat

adalah subjek seni yang tinggal di Amerika Serikat. Kemenduaan status subjek

tersebut dinamakan Deleuze dengan istilah skizofrenik. Subjek skizofrenik adalah

subjek yang terus menerus berubah (Aulia, 2011: 30). Subjek skizofrenik adalah

27
subjek berhasrat yang menghuni teritori tertentu, berpindah menuju teritori yang

lain, bahkan pada titik tertentu subjek skizofrenik selalu berusaha mencari jalur-

jalur pelarian dari struktur dan teritori yang menjeratnya. Lebih lanjut, Martin

Suryajaya dalam Imanensi dan Transendensi menyebut Deleuze sebagai sosok

pemikir yang menempati posisi unik. Martin menulis:

...ketika pada tahun 60-an hampir semua filsuf (mulai Levinas hingga Derrida)
berbicara tentang “kritik atas metafisika” ataupun ketika para filsuf dengan garis
Heideggerian berbicara tentang “kematian filsafat”, Deleuze justru berupaya
mengkonstruksi ontologi yang baru dan meneruskan kinerja filsafat bahkan
dalam artinya yang paling ketat. Ia bukanlah seorang fenomenolog ataupun
strukturalis, bukan seorang Heideggerian ataupun pengimpor ‘filsafat’ analitik
Anglo-Amerika, bukan pula seorang neohumanis liberal (atau Neo-Kantian).
Lantas di manakah posisi unik tersebut? Posisi yang dimaksud tak pelak lagi
adalah filsafat imanensi (Suryajaya, 2009: 161).

B. Karya dan Kontribusi Deleuze Sebelum Anti-Oedipus

Tulisan-tulisan Deleuze berangkat dari sejarah filsafat. Deleuze mengkaji

pemikiran Hume, Nietzsche, Kant, Bergson, Spinoza, kemudian berlanjut pada

filsafat kritis, meluas pada kritik sastra dan kajian sinema (Lecercle dalam Lechte,

2001: 162). Harus diakui bahwa perjalanan kajian Deleuze berbeda dengan kaum

postrukturalis pada umumnya. Deleuze jauh lebih variatif dan eksperimental.

Deleuze berani mengeksternalisasi titik tolak filsafat menuju penjelajahan ranah

lain secara kreatif. Gestur filosofis inilah yang membuat Jean Jaques Lecercle

(dalam Lechte, 2001: 162) menyebut Deleuze sebagai ‘orang luar’ dalam milieu

filsafat Prancis. Karya Deleuze kurang disambut di Prancis, tapi nama dan

gagasannya kerap disebut di luar Prancis, khususnya negara-negara berbahasa

Inggris.

28
Nama dan filsafat Deleuze semakin matang ketika Deleuze berkolaborasi

dengan Félix Guattari, seorang psikoanalis cum aktivis kiri Prancis. Deleuze dan

Guattari menorehkan beberapa karya yang terbilang fenomenal dan sensasional,

diantaranya adalah dua seri Capitalism and Schizophrenia Anti-Oedipus (1972)

dan A Thousand Plateus (1980), kemudian Kafka: Toward a Minor Literature

(1975) dan What is Philosophy? (1991).

Deleuze-Guattari dalam Anti-Oedipus melayangkan kritik pada

psikoanalisis Sigmund Freud yang cenderung memberikan dominasi pembenaran

pada pemikiran hierakis. Freud mengandaikan bahwa Oedipus kompleks selalu

memiliki peristiwa awal yang bisa dipastikan, yang biasanya dibentuk oleh trauma

masa lalu. Menurut Deleuze-Guattari asumsi tersebut cenderung reduktif. Freud

merampatkan kompleksitas peristiwa dari peristiwa awal. Selain Freud, Deleuze-

Guattari juga melancarkan kritik pada Lacan, suksesor Freud. Deleuze-Guattari

menolak teori hasrat yang bertumpu pada represi dan ketiadaan (Lechte, 2001:

166).

Pembahasan penulis selanjutnya akan mengkonteks pada karya-karya

Deleuze di luar kolaborasinya dengan Guattari dan sebelum Anti-Oedipus, yakni

Empiricism and Subjectivity: An Essay on Hume’s Theory of Human Nature

(1953), Nietzsche and Philosophy (1962), Kant’s Critical Philosophy: The

Doctrine of the Faculties (1963), Proust and Signs (1964), Bergsonism (1966),

Expresionism in Philosophy: Spinoza (1968), Difference and Repetition (1969),

The Logic of Sense (1969). Karya-karya tersebut krusial untuk diekspose lebih

lanjut, karena lebih menandakan formasi awal pemikiran Deleuze.

29
Empiricism and Subjectivism adalah kajian Deleuze tentang pemikiran

David Hume. Deleuze mengurai kontribusi Hume yang esensial dan kreatif dalam

sejarah filsafat. Menurut Deleuze, Hume adalah salah satu filsuf besar, karena

Hume berhasil menciptakan beberapa konsep baru. Deleuze mengekstraksi

pemikiran Hume dalam tiga poin berikut: pertama, Hume menetapkan sebuah

konsep tentang ‘keyakinan’ (belief) dan menaruhnya di wilayah pengetahuan;

kedua, Hume memberi ‘asosiasi’ (association) gagasan dalam artinya yang real,

yakni menjadikan gagasan sebagai praktik kultural dan formasi ‘konvensional’

(conventional) ketimbang sebuah teori tentang pikiran manusia; ketiga, Hume

mengkreasi logika agung tentang ‘relasi’ (relation) untuk pertama kalinya. Hume

menunjukan bahwa semua relasi, baik relasi antara materi-materi faktual ataupun

gagasan-gagasan adalah eksternal dengan syarat-syaratnya (Deleuze, 1989: ix-x).

Upaya Hume tersebut kemudian dikenal dengan doktrin tentang relasi eksternal.

Doktrin Hume tentang relasi eksternal sekaligus mengantisipasi dialektika Hegel

yang membawa doktrin tentang relasi internal, yakni identitas non-A selalu

ditentukan dari identitas A, sehingga ketika A tidak ada maka non-A juga tidak

ada. Determinasi seperti ini mengimplikasikan sebuah keharusan representasi atau

pemikiran yang berdasar pada mediasi. Mediasi menyebabkan presentasi murni

jadi mustahil. Deleuze, melalui Hume, hendak membuktikan bahwa presentasi

murni itu mungkin.

Setelah Hume, Deleuze mempublikasikan kajian tentang filsafat Friedrich

Nietzsche dengan judul Nietzsche and Philosophy. Deleuze turut menyatakan

bahwa Nietzsche adalah “seorang filsuf terbesar abad ke-19 yang mengubah teori

30
dan praktik filsafat” (Deleuze, 2002: v-vi; 1983: ix). Deleuze dengan demikian

menganggap kontribusi Nietzsche adalah lebih agung ketimbang G.W.F Hegel

dan Karl Marx sebagai dua pemikir besar yang juga hidup di abad ke-19. Lebih

lanjut, Deleuze memaparkan analogi Nietzsche tentang pemikir dan anak panah.

Nietzsche membandingkan pemikir dengan sebuah anak panah yang dilepaskan

oleh alam. Pemikir A akan memungut anak panah tersebut ketika jatuh dan

melemparkan lagi ke arah lain. Menurut Nietzsche, filsuf bukanlah seorang yang

abadi atau historis melainkan ‘mendahului’ (untimely), selalu mendahului.

Deleuze dalam konteks ini mengatakan bahwa Nietzsche nyaris tidak memiliki

seorang pendahulu selain filsuf pra-Socrates yang hidup jauh sebelumnya dan

Baruch Spinoza. Deleuze-Guattari dalam What is Philosophy? menyanjung

Spinoza sebagai pangeran para filsuf (2004: 100; 1991: 49). Spinoza adalah

seorang filsuf panteistik yang menjadi momok bagi rezim monoteistik dalam

teologi. Spinoza di fajar rasionalisme modern mempelopori konsep tentang

multiplisitas. Lebih lanjut, Deleuze-Guattari (Sugiharto dalam Hartono, 2007: ix-

x) menyebut filsafat Spinoza sebagai filsafat yang menjadi daging, atau filsafat

yang mengejawantah dalam tubuh dan dunia.

Kajian Deleuze setelah Nietzsche adalah filsafat Immanuel Kant. Deleuze

mempublikasikan kajian tentang filsafat Kant dengan judul Kant’s Critical

Philosophy: The Doctrine of the Faculties. Deleuze dalam pengantarnya mengurai

tentang empat formula puitik yang terangkum dalam filsafat Kantian. Empat

formula tersebut mengacu pada tiga seri Critique Kant yang monumental, yakni

Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason dan Critique of Judgment.

31
Sentralitas diskursif pada tiga seri Critique Kant tersebut, secara berurutan adalah

logika, etika dan estetika. Pembacaan Deleuze atas tiga seri filsafat Kant tersebut

terbilang unik, Deleuze (Deleuze, 1984: xiii) menerjemahkan filsafat Kant melalui

untaian kata dari William Shakespeare: ‘Time is out of joint’ (waktu yang

tersempal dari engselnya), Arthur Rimbaud: ‘I is another’ (Aku adalah yang lain)

dan ‘A disorder of all the sense’ (kekacauan atas segala makna), Franz Kafka:

‘The good is what the Law says’ (kebaikan adalah apa yang hukum katakan).

Lebih lanjut, Deleuze dalam pengantarnya mengatakan bahwa empat formula

puitik yang Deleuze tarik dari pemikiran Kant jelas arbitrer, namun sama sekali

tidak arbitrer dalam kaitannya dengan apa yang telah Kant tinggalkan untuk saat

ini dan nanti.

Deleuze selanjutnya menerbitkan kajian tentang Marcel Proust, sastrawan

Prancis terkemuka yang karyanya susah dipahami. Karya Deleuze tersebut

berjudul: Proust & Signs. Deleuze meletakkan karya-karya Proust dalam

kaitannya dengan tanda-tanda yang dihasilkan. Deleuze menulis dalam

pengantarnya:

This book considers Proust's entire work as commanded by an experience of


signs that mobilizes the involuntary and the unconsci ous: whence the Search as
interpretation. But interpretation is the converse of a production of signs
themselves (Deleuze, 2000: xi).

Artinya:
Buku ini mempertimbangkan seluruh karya Proust sebagaimana yang
diperintahkan oleh pengalaman atas tanda-tanda yang bergerak tanpa sengaja dan
tak sadar: yang darinya the Search adalah interpretasi. Tapi interpretasi
berkebalikan dengan produksi tanda-tanda mereka sendiri.

32
Bagi Deleuze karya seni tidak hanya menafsirkan dan memancarkan tanda-tanda

untuk ditafsirkan, melainkan memproduksinya dengan prosedur yang telah

ditentukan. Deleuze menilai bahwa Proust memahami karya-karyanya sebagai

aparatus atau mesin yang berfungsi secara efektif. Proust melalui karyanya tengah

memproduksi tanda-tanda dari tatanan yang berbeda, yang memiliki dampak pada

pembaca. Deleuze memproyeksikan tujuannya dalam mengurai karya-karya

Proust.

Deleuze kemudian menulis buku tentang filsafat Henri Bergson yang

berjudul Bergsonism. Penulis berpendapat bahwa buku tersebut cukup ekstraktif

dan sistematis. Deleuze dalam Bergsonism mengorganisasikan tulisannya dalam

lima bab, yang masing-masing babnya memiliki judul yang langsung menjelaskan

inti dari tesis-tesis yang dikemukakan Bergson, misalnya Bab I: Intuisi sebagai

Metode, Bab II: Durasi sebagai Imediasi Datum, Bab III: Memori sebagai

Koeksistensi Virtual, Bab IV: Satu atau Banyak Durasi?, Bab V: Elan Vital

sebagai Gerak Diferensiasi. Kajian Deleuze dalam Bergsonism di satu sisi berisi

ajakan Deleuze untuk ‘kembali pada Bergson’, namun di sisi lain ajakan Deleuze

untuk ‘kembali pada Bergson’ harus dipahami sebagai yang bukan sekedar

kekaguman yang sedang diperbarui demi seorang filsuf besar, tapi juga upaya

pembaruan dan perpanjangan proyek si filsuf dalam konteks hari ini. Kajian

Deleuze atas Bergson penting dalam kaitannya dengan transformasi kehidupan

dan masyarakat yang paralel dengan transformasi sains. Bergson sendiri diketahui

telah mempertimbangkan metafisika sebagai disiplin yang ketat. Deleuze

33
(Deleuze, 1988: 115) meletakkan ajakan ‘kembali pada Bergson’ dalam tiga fitur

utama berikut: pertama, intuisi; kedua, metafisika dan sains; ketiga, multiplisitas.

Deleuze selanjutnya mengalihkan kajiannya pada Baruch Spinoza.

Kajiannya terangkum dalam Expressionism in Philosophy: Spinoza. Deleuze di

situ hendak menancapkan peran dan pentingnya ekspresi dalam filsafat Spinoza

dan ekspresi melalui filsafat Spinoza. Deleuze mengandaikan bahwa gagasan

mengalami perkembangan ke arah yang lebih penting. Hal ini direngkuh kembali

dalam berbagai konteks. Spinoza mengatakan bahwa setiap atribut menyatakan

hakikat keabadian dan ketakterbatasan tertentu, sebuah hakikat yang

berkorespondensi pada jenis tertentu dari atribut. Spinoza mengidentifikasi tiga

bentuk ekspresi dari atribut dalam tiga nama. Pertama, tiap atribut yang

mengekspresikan sebuah hakikat substansi, yang dinamakan ‘ada’ atau ‘realitas’.

Kedua, tiap atribut yang mengekspresikan ketakterbatasan dan kebutuhan atas

keberadaan substansial, yakni ‘keabadian’. Inilah jenis-jenis ekspresi yang

menurut Deleuze harus dimengerti sebagai sesuatu yang tidak sekedar mencakup

wilayah ontologis semata karena ekspresi juga mengimplikasikan corak

epistemologis tertentu (Deleuze, 1990: 13-14).

Setelah Spinoza, Deleuze melanjutkan formasi filsafatnya dalam

disertasinya yang cukup fenomenal, yakni Difference and Repetition. Karya

tersebut resmi meneguhkan Deleuze sebagai filsuf dan bukan lagi ahli filsafat.

Deleuze dalam Difference and Repetition membangun konsep filsafatnya sendiri.

Deleuze dalam hal ini menulis:

34
After I had studied Hume, Spinoza, Nietzsche and Proust, all of whom fired me
with enthusiasm, Difference and Repetition was the first book in which I tried to
‘do philosophy’ (Deleuze, 1994: xv).

Artinya:
Setelah saya mengkaji Hume, Spinoza, Nietzsche dan Proust, yang semuanya
mengobarkan antusiasmeku, Difference and Repetition adalah buku pertama yang
mana aku mencoba untuk ‘berfilsafat’.

Karya tersebut secara umum merangkum penglihatan Deleuze tentang

kecenderungan zaman kontemporer. Zaman kontemporer yang persisnya mengacu

pada paruh kedua abad ke-20. Deleuze melihat permainan pengulangan dan

perbedaan yang menggantikan “Yang Sama” (the Same) dan representasi. Hal ini

kemudian menjadi petunjuk ke arah pemikiran non-representasional atau non-

hierarkis yang secara radikal bersifat horizontal. Pemikiran Deleuze berjalan pada

aras ini. Deleuze adalah praktisi terbaik pemikiran non-representasional dan non-

hierarkis. Deleuze menyumbangkan pemikiran yang bercorak non-

representasional atau non-hierakis (Lechte, 2001: 162-163). Corak pemikiran

tersebutlah yang menandai kontribusi Deleuze dalam filsafat.

Deleuze selanjutnya menerbitkan Logic of Sense, sebuah karya yang

memuat kajiannya tentang Lewis Carroll, seorang penulis cerita anak-anak,

Alice’s Adventures in Wonderland. Deleuze (Deleuze, 1990: xiii) menyebut

bahwa karya Carroll memiliki segala yang diperlukan untuk menyenangkan

pembaca modern. Alice’s Adventures in Wonderland mengemukakan keganjilan

dengan baik sekali, untaian kata esoteris, jejaring, kode dan pemecahan kode,

gambar dan potret, psikoanalisis dengan isi yang mendalam, logika yang layak

diteladani dan formalisme linguistik. Deleuze menggapai sesuatu yang berada di

luar semua kesenangan dalam membaca karya Carroll. Deleuze meraih sesuatu

35
yang lain, sesuatu tentang paradoks makna dan non-makna. Deleuze menyebutnya

chaosmos. Deleuze dalam konstelasi ini memeriksa perkawinan bahasa dan

ketidaksadaran dalam karya Carroll. Deleuze mengatakan bahwa mudah

menjelaskan kenapa teori tentang makna tidak lepas dari paradoks bahwa makna

adalah entitas non-eksis yang pada kenyataannya mempertahankan hubungan

yang sangat khusus dengan non-makna.

Bagi penulis, benang merah pemikiran Deleuze lebih terartikulasikan

secara jelas dalam kolaborasi terakhirnya dengan Guattari, yakni What is

Philosophy?: Reinterpretasi atas Filsafat, Sains dan Seni. Karya tersebut memuat

kilas balik dari apa yang dikerjakan Deleuze sepanjang karir filsafatnya. Deleuze-

Guattari menulis:

Pertanyaan ‘apa itu filsafat?’ barangkali hanya bisa diajukan pada usia lanjut,
dengan tibanya masa tua dan saat yang tepat untuk berbicara filsafat secara
konkret... Apa itu filsafat? merupakan pertanyaan yang muncul pada momen
keresahan yang sunyi, di tengah malam, ketika tak ada lagi sesuatu untuk
ditanyakan. Ia telah ditanyakan sebelumnya; ia tengah selalu ditanyakan, hanya
saja dengan cara yang terlalu tidak langsung atau tidak ke pokok persoalan;
pertanyaannya terlalu artifisial, terlalu abstrak (Deleuze-Guattari, 2004: 47; 1991:
7).

Penulis selanjutnya akan banyak merujuk pada What is Philosophy? karena

dalam karya tersebutlah dan melalui karya tersebutlah jawaban praktis dari

pertanyaan tentang bagaimana filsafat menurut Deleuze akan terjawab.

C. Filsuf sebagai Persona Konseptual dan Filsafat sebagai Aktivitas

Penciptaan Konsep

36
Deleuze-Guattari dalam What is Philosophy? mendefinisikan filsafat

sebagai seni membentuk, menemukan dan menjalin konsep-konsep (Deleuze-

Guattari, 2004: 48; 1991: 8), namun perlu digarisbawahi bahwa pendefinisian

tersebut harus memperhatikan tiga konteks, yakni pertama, kapan pertanyaan itu

diajukan; kedua, dalam landskap peristiwa seperti apa pertanyaan itu diajukan;

ketiga, oleh siapa pertanyaan itu diajukan. Hal tersebut dengan kata lain meliputi

konteks waktu, tataran peristiwa dan person. Untuk lebih jelasnya, Deleuze-

Guattari menulis sebagai berikut:

...telah tiba saatnya bagi kita sekarang untuk bertanya apakah sesungguhnya
filsafat itu. Kita tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan ini, dan kita telah
memiliki jawabannya, yang belum berubah: filsafat adalah seni membentuk,
menemukan dan merajut konsep-konsep. Namun, jawaban tersebut tidak hanya
harus memperhatikan pertanyaan yang diajukan, tapi jawaban tersebut juga harus
menentukan momennya, peristiwa, dan keadaan landskap dan personanya,
kondisi dan hal-hal yang tidak diketahui darinya (Deleuze-Guattari, 2004: 48;
1991: 8).

Pendefinisan tersebut secara normatif mengacu pada praktik filsafat

Friedriech Nietzsche. Nietzsche mengatakan bahwa para filsuf seharusnya tidak

lagi menerima konsep sebagai sebuah pemberian, tidak pula semata-mata

memurnikan dan memoles konsep, tapi pertama-tama membuat dan menciptakan

konsep sebelum menyajikan dan membuat sebuah konsep meyakinkan (Deleuze-

Guattari, 2004: 52; 1991: 11). Berpikir bagi Nietzsche adalah untuk menciptakan

(Deleuze, 2002: xii; 1983: xiv). Spirit Nietzsce ini semakin terang ketika Deleuze-

Guattari menyebut seorang filsuf adalah ahli dalam hal konsep dan dalam

tiadanya konsep. Seorang filsuf adalah potensialitas konsep, artinya seorang filsuf

tahu persis konsep mana yang tidak bisa bertahan, serampangan atau tidak

37
konsisten. Selain itu seorang filsuf juga tahu mana konsep yang terbentuk dengan

baik dan menyokong kreasi lebih lanjut (Deleuze-Guattari, 2004: 50; 9). Jika

seorang filsuf adalah potensialitas konsep, atau dalam bahasa Deleuze, seorang

filsuf adalah persona konseptual, maka filsafat menjadi syahih ketika dimengerti

sebagai konsep. Lebih lanjut, filsafat sebagai hasil dari aktivitas mencipta konsep

pada akhirnya bukanlah aktivitas mencipta yang gampangan, karena menurut

Deleuze-Guattari (2004: 51; 1983: 9) filsafat harus menciptakan konsep yang

selalu baru. Deleuze-Guattari dalam konteks tersebut seperti hendak menyerukan

“para filsuf sedunia menciptalah!” (Tomlinson dalam Deleuze-Guattari, 2004: 43)

Konsep itu sendiri tidak berdiri sendirian. Konsep tidak bisa menciptakan

dirinya sendiri. Deleuze-Guattari dalam hal ini menyatkan bahwa konsep

memerlukan persona konseptual atau seorang sahabat yang memainkan peran

dalam pendefinisian konsep-konsep tersebut (Deleuze-Guattari, 2004: 48; 1991:

8). Persona konseptual atau sahabat yang dimaksud tidak lain adalah seorang

filsuf. Filsuf sebagai persona konseptual telah merintis lahirnya filsafat Yunani.

Seorang filsuf di masa peradaban Yunani harus dibedakan dengan orang bijak dari

peradaban Timur atau peradaban lain. Seorang filsuf pada peradaban Yunani

bukanlah orang bijak yang santun dan rendah hati karena orang Yunani sendiri

telah menegaskan kematian para bijak dan menggantikannya dengan dengan para

filsuf. Seorang bijak menurut Deleuze-Guattari adalah sahabat kebijaksanaan atau

mereka yang mengupayakan kebijaksanaan, namun tidak secara formal

memilikinya (Deleuze-Guattari, 2004: 49; 1991: 9). Pembedaan antara seorang

bijak dan seorang filsuf yang dilakukan Deleuze-Guattari bagi penulis bukanlah

38
semata-mata soal derajat atau kedudukan mana yang lebih tinggi dan mana yang

lebih rendah. Pembedaan antara seorang filsuf dan seorang bijak lebih mengacu

pada cara berpikir antara sang filsuf dan sang bijak. Deleuze-Guattari

menjabarkan sebagai berikut:

...seorang bijak tua dari Timur barangkali berpikir dalam bentuk Gambar
Simbolik (figures), sementara seorang filsuf menemukan dan memikirkan
konsep... ...persona konseptual yang muncul dalam filsafat tidak lagi
menyimbolkan seorang persona ekstrinsik, sebuah misal atau keadaan empirik,
melainkan lebih menyimbolkan suatu kehadiran yang intrinsik bagi pemikiran,
sebuah kondisi kemungkinan dari pemikiran itu sendiri, sebuah kategori yang
hidup, realitas transendetal yang dihidupkan. Dengan penciptaan filsafat, orang
Yunani secara kasar memaksa sang sahabat masuk ke dalam sebuah hubungan
yang tidak lagi berupa hubungan dengan yang lain, melainkan hubungan dengan
sebuah entitas, sebuah objektalitas, sebuah esensi. Sahabatnya Plato, bahkan
terlebih lagi sahabat kebijaksanaan, sahabat kebenaran atau konsep, seperti
Philaletes dan Theophilus (Deleuze-Guattari, 2004: 49-50; 1991: 8-9).

Berpijak pada kutipan tersebut setidaknya tergariskan sebuah entitas non-

filsafat. Deleuze-Guattari selanjutnya menegaskan bahwa filsafat bukanlah

kontemplasi, bukan refleksi, bukan pula komunikasi. Deleuze-Guattari

menjelaskan; pertama, filsafat bukan kontemplasi karena kontemplasi adalah

objek-objek itu sendiri sebagaimana terlihat dalam penciptaan konsep-konsep

spesifik tentang kontemplasi; kedua, filsafat bukan refleksi karena tidak seorang

pun membutuhkan filsafat untuk berefleksi tentang apapapun, misalnya para

matematikawan. Para matematikawan tidak pernah menantikan para filsuf

sebelum berefleksi tentang matematika, begitu pun para seniman yang tidak perlu

menantikan para filsuf sebelum berefleksi atas lukisan ataupun musik; ketiga,

filsafat bukan pula komunikasi yang mana hanya efektif di bawah kuasa opini-

opini untuk menciptakan “konsensus” dan bukan konsep (Deleuze-Guattari, 2004:

39
52-53; 1991: 11-12). Filsafat sekali lagi adalah konsep, bukan yang lain, bukan

kontemplasi, refleksi ataupun komunikasi, walaupun demikian filsafat mesti

menciptakan konsep untuk berbagai aksi seperti kontemplasi, refleksi ataupun

komunikasi. Kontemplasi, refleksi ataupun komunikasi dengan demikian adalah

objek konseptualisasi filsafat.

Deleuze-Guattari juga menjelaskan bahwa jenis konsep filosofis dan

persona konseptual itu saling berhadapan satu sama lain. Pertama, konsep selalu

ditandai dan tetap bertanda, misalnya ‘substansi’ dari Aristoteles, ‘cogito’ dari

Descartes, ‘monad’ dari Leibniz, ‘kondisi’ dari Kant, ‘kekuasaan’ dari Schelling,

‘durasi’ dari Bergson. Sederet nama konsep dan persona konseptual tersebut

kemudian harus ditunjukkan dengan sebuah kata yang tidak lazim dan bahkan

adakalanya kasar ataupun mengejutkan, sementara sebagian konsep lain mungkin

cukup dengan sebuah kata sehari-hari. Kata yang menandakan sebuah konsep

dengan berbagai penyesuaian dan pergeseran yang begitu jauh menyebabkan

resiko untuk tidak terpahami oleh telinga yang tidak filosofis. Ada konsep yang

menuntut pemakaian berbagai istilah kuno (archaisms), sementara sebagian

lainnya lagi menuntut pemakaian berbagai istilah baru (neologisms) yang dibuat

melalui penelusuran asal-usul kata yang rumit. Deleuze-Guattari (2004: 54; 1991:

13) dalam hal ini menyebutkan bahwa etimologi menyerupai atletisme filosofis

yang spesifik. Dalam setiap kasus pasti ada kebutuhan yang aneh akan kata-kata

yang dipilih untuk merajut sebuah konsep. Hal ini seperti sebuah elemen dari

sebuah gaya ekspresi. Lebih lanjut, Deleuze-Guattari (2004: 55; 1991: 14)

menambahkan bahwa pentahbisan (baptism) suatu konsep memerlukan cita rasa

40
(taste) filosofis khusus yang berkembang (proceed) dengan paksaan atau melalui

berbagai tahapan. Konsep dengan demikian membentuk bahasa filsofis di dalam

bahasa, artinya, konsep bukan sekedar kosakata tapi juga sintaksis yang mencapai

keluhuran atau keindahan yang hebat.

Deleuze-Guattari pada titik tertentu mendefinisikan filsafat secara lebih

tegas, yakni pengetahuan melalui konsep murni, walaupun bagi Deleuze-Guattari

tidak menangkap bahwa ada alasan yang cukup penting untuk memperlawankan

pengetahuan melalui konsep dan konstruksi konsep dalam pengalaman yang

mungkin. Deleuze-Guattari justru menegaskan bahwa antara konsep dan

pengetahuan pada dasarnya saling bertaut. Deleuze-Guattari menjelaskan bahwa

di satu sisi pengetahuan didapat melalui intuisi, sementara di sisi lain konsep-

konsep dikonstruksi dalam sebuah intuisi yang khusus bagi pengetahuan. Konsep-

konsep dengan demikian dikonstruksi dalam sebuah medan, sebuah tataran dan

sebuah landasan yang tidak bisa dicampurbaurkan dengan konsep-konsep itu

sendiri. Sebuah medan, tataran dan landasan berfungsi sebagai pelindung dari

benih-benih konsep dan persona konseptual yang mengelola konsep-konsep.

Deleuze-Guattari membahasakan praktik semacam itu dengan istilah

‘konstrutivisme’. Konstruktivisme adalah syarat yang mesti diandaikan pada

setiap penciptaan konsep sedemikian rupa sehingga sebuah konstruksi di atas

suatu tataran yang menyediakan eksistensi otonom bagi konsep. Mengkonstruksi

konsep berarti paling tidak membuat sesuatu. Praktik penciptaan konsep inilah

yang merubah persoalan tentang penggunaan atau kegunaan filsafat (Deleuze-

Guattari, 2004: 54; 1991: 13).

41
D. Tantangan Filsafat sebagai Tantangan Penciptaan Konsep

Penulis dengan merujuk Deleuze-Guattari telah menjelaskan bahwa jika

filsafat adalah aktivitas penciptaan berbagai konsep yang berkesinambungan,

maka jelaslah akan muncul persoalan tidak hanya menyangkut apa yang membuat

sebuah konsep menjadi ide filosofis, tetapi juga menyangkut sifat dasar ide kreatif

lainnya yang bukan konsep, yakni ide yang dimunculkan oleh seni dan sains.

Deleuze-Guattari dalam konteks ini memunculkan entitas pengetahuan yang sama

besarnya dengan filsafat, yakni seni dan sains. Deleuze-Guattari (2004: 55; 1991:

14) menyatakan bahwa filsafat, seni dan sains memiliki sejarah dan

kemenjadiannya sendiri. Filsafat, seni dan sains memiliki hubungan dinamis satu

sama lain. Filsafat, seni dan sains sebagai tiga aktivitas penciptaan melalui tataran

dan tujuan yang berbeda dipandang setara oleh Deleuze-Guattari. Deleuze-

Guattari dalam hal ini menulis sebagai berikut:

hak penciptaan konsep yang eksklusif menjamin sebuah fungsi bagi filsafat, tapi
itu tidak memberi filsafat keunggulan ataupun hak istimewa karena terdapat cara
berpikir dan mencipta lainnya yang berbeda dengan cara berpikir filsafat,
misalnya, sebuah pemikiran ilmiah yang tidak harus bekerja melalui konsep,
artinya pemikiran ilmiah bisa bekerja melalui sesuatu yang lain. Oleh karena itu,
dalam hal ini pembicaraan filsafat akan selalu kembali pada persoalan tentang
kegunaan aktivitas mencipta konsep di hadapan aktivitas mencipta lain (Deleuze-
Guattari, 2004: 56; 1991: 15).

Bertolak dari kutipan di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah

pertanyaan tentang nilai guna seperti apa yang bisa diberikan oleh aktivitas

mencipta konsep? Mengapa konsep baru selalu harus diciptakan oleh filsafat?

Mungkin seseorang akan menjawab pertanyaan itu dengan sinis, dengan

42
mengatakan bahwa kehebatan filsafat terletak persis dalam ketidakbergunaannya.

Jawaban tersebut tidak hanya terkesan sinis, tapi juga menegaskan satu gejala

kemalasan berpikir. Lebih lanjut, belum lama ini filsafat digerus oleh diskursus

tentang kematian metafisika. Diskursus tersebut dibawa oleh kelompok

posmodern yang terlalu paranoid untuk memastikan keberadaan realitas objektif.

Kelompok tersebut kemudian mencoba mengatasi filsafat yang didominasi oleh

narasi-narasi besar seperti keberadaan realitas dan kebenaran pengetahuan. Bagi

Deleuze-Guattari (2004: 56; 1991: 15) diskursus tentang kematian metafisika tidak

pernah menjadi soal sejauh para filsuf maupun penekun filsafat tetap berjalan di

atas kodratnya, yakni tetap melakukan aktivitas penciptaan konsep. Deleuze-

Guattari kendati demikian tetap mengakui bahwa aktivitas penciptaan konsep oleh

filsafat selalu menghadapi berbagai tantangan beruntun. “Filsafat dari waktu ke

waktu selalu menghadapi pesaing yang semakin kejam dan membahayakan”,

demikian Deleuze-Guattari menulis.

Plato semasa hidupnya mungkin tidak pernah membayangkan, ketika sains

komputer, pemasaran, desain dan periklanan atau semua disiplin komunikasi telah

merebut kata konsep. Hal ini berdampak pada dua implikasi, yakni positif dan

negatif. Positif dalam pengertian bahwa semua disiplin komunikasi turut

mengawetkan ide tentang hubungan tertentu antara konsep dan peristiwa. Negatif

dalam pengertian bahwa konsep telah menjadi serangkaian tampilan produk yang

mengandung corak historis, ilmiah, artistik, seksual dan pragmatis, sementara itu

peristiwa hanya menjadi sebuah pameran yang mengejawantahkan keberagaman

43
tontonan dan “pertukaran ide” yang hendak dipromosikan. Deleuze-Guattari

dalam hal ini menyimpulkan:

...di situ hanya ada satu peristiwa yang menjadi satu-satunya, yakni berbagai
pameran, sedangkan konsep yang menjadi satu-satunya adalah berbagai produk
yang dapat dijual. Ini jelas menyakitkan bagi filsafat ketika tahu bahwa konsep
hanya mengindikasikan sebuah masyarakat pelayan jasa dan rekayasa informasi.
Problem ini seharusnya mendorong filsafat untuk bangkit melawan para
pesaingnya. Filsafat harus tergerak untuk memenuhi tugas menciptakan konsep
yang lebih berharga ketimbang produk komersial (Deleuze-Guattari, 2004: 57-58;
1991: 15-16).

Deleuze-Guattari kemudian mengakui bahwa pada dasarnya tidak ada

konsep yang sederhana. Lebih lanjut, Deleuze-Guattari memaparkan hakikat dari

konsep. Pertama, setiap konsep memiliki beberapa komponen. Konsep

terdefinisikan dari komponen-komponen yang ikut membentuk. Hal ini

mengandaikan bahwa tidak ada konsep yang mampu berdiri sendiri tanpa

disokong oleh beberapa komponen. Kedua, setiap konsep selalu memiliki

kombinasi tertentu. Konsep adalah keserbaragaman. Konsep memiliki beberapa

komponen. Setiap konsep paling sedikit memiliki dua atau tiga lapis komponen,

dan seterusnya (Deleuze-Guattari, 2004: 85; 1991: 39). Lebih lanjut, Deleuze-

Guattari menegaskan bahwa dari Plato hingga Bergson ditemukan idea tentang

konsep sebagai masalah penyambungan, pemotongan dan pembelahan. Deleuze-

Guattari dalam hal ini mengeksplisitkan apa yang dimaksud dengan konsep-

konsep filosofis. Deleuze-Guattari mengabstrasikannya sebagai berikut:

konsep-konsep filosofis merupakan keseluruhan komponen yang terpisah-pisah,


tidak sinkron satu sama lain. Konsep-konsep filosofis tidak menyerupai kepingan
puzzle yang tepiannya saling bercocokan sehingga dapat membentuk satu

44
gambaran yang utuh. Konsep-konsep filosofis lebih menyerupai hasil dari
pelemparan dadu yang tidak selalu terduga dan jatuh pada suatu tataran. Tataran
ini adalah tataran konsistensi konsep-konsep. Di situlah konsep-konsep bergejala,
konsep-konsep menjadi suatu planomen atau peristiwa yang bergejala pada suatu
tataran. Dengan demikian, konsep-konsep dan tataran pada dasarnya bersifat
korelatif secara seksama (Deleuze-Guattari, 2004: 85; 1991: 38).

Berdasarkan paparan tersebut, penulis bisa memahami bahwa apa yang

dimaksud Deleuze sebagai konsep-konsep, wujud kongkritnya merujuk pada

peristiwa-peristiwa, namun apa tataran bagi konsep-konsep filsafat atau tataran

yang menjadi horizon dari peristiwa-peristiwa konseptual murni? Deleuze-

Guattari (2004: 87; 1991: 39) menjawab itu dengan satu pemahaman bahwa

tataran konsep pada dasarnya otonom dari pengamat manapun. Deleuze-Guattari

menyebut tataran konsep sebagai tataran imanensi, dan tataran imanensi identik

dengan sebuah kehidupan. Imanensi atau kehidupan dengan demikian menjadi

tataran murni tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa konseptual.

E. Filsafat Menurut Deleuze

Berdasarkan atas perjalanan pemikiran Deleuze sebelum kolaborasinya

dengan Guattari, yakni Anti-Odiepus: Capitalism and Schizophrenia, banyak yang

menangkap kesan bahwa formasi filsafat Deleuze dari karya yang satu dan yang

lain sukar untuk ditarik benang merah, bahkan ketika pemikiran Deleuze

diperpanjang lagi hingga Francis Bacon: The Logic of Sensation (1981), Cinema

1 (1983), Cinema 2 (1985), The Fold: Leibniz and The Baroque (1988).

Deleuze dalam Francis berbicara tentang logika sensasi. Deleuze

berfilsafat melalui lukisan. Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 mengulik

tentang logika sinema dengan modus artikulasi yang hampir mirip dengan

45
Francis. Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 berfilsafat melalui sinema.

Deleuze dalam The Fold juga demikian, Deleuze berbicara tentang konsep the

fold (yang melipat) dan the unfold (yang menghampar) melalui musik. Deleuze

mengidentikan the fold dengan singularitas dan the unfold dengan multiplisitas.

Eksperimentasi filsafat Deleuze pada entitas non-filsafat tersebut meneguhkan

Deleuze sebagai pemikir unik, sekaligus terkesan kurang konsisten. Deleuze

memang sering meloncat ke sana kemari seperti seorang pemain parkour. Deleuze

kerap meloncat dari konsep yang satu ke konsep yang lain. Hal ini menumbuhkan

upaya untuk memahami beberpa poin pemikirannya menjadi begitu kompleks dan

bercabang.

Namun sekurang-kurangnya tetap ada fondasi tertentu yang relatif

konsisten dari filsafat Deleuze. Pertama, filsafat bagi Deleuze adalah ontologi,

artinya segala hal yang ada, material atau ideal, organik atau inorganik, objek

persepsi atau imajinasi, adalah ‘ada’ atau ‘berada’ dengan cara dan arti yang

sama. Keberadaan pikiran dan kenyataan itu sama. ‘Ada’ itu univokal (Sugiharto

dalam Hartono, 2007: ix). Hal ini dengan demikian mengesenkan bahwa antara

pengetahuan yang dikonstruksi pikiran dan kenyataan objektif menjadi identik.

Kedua, realitas ‘ada’ yang univokal itu pada dasarnya kreatif. Kreatif di

sini dalam pengertian realitas yang terus-menerus mencipta dan memperbanyak

dirinya secara baru, melahirkan banyak peristiwa dan keunikan individual tanpa

henti. Segala yang ada adalah peristiwa penciptaan, entah itu peristiwa dalam

konfigurasi sosial, politik, psikologis, bahasa, impresi, persepsi bahkan halusinasi,

semuanya adalah peristiwa penciptaan. Realitas-realitas tersebut berada bukan

46
dengan sendirinya (Sugiharto dalam Hartono, 2007: ix). Deleuze melatakkan

dasar asumsinya tersebut pada kekuatan imaji pemikiran. Deleuze dalam hal ini

mirip dengan Bergson yang mengasumsikan bahwa segala yang ada bermula dari

imaji, baik itu yang teraktualisasi dalam bentuk material atau non-material.

Ketiga, Deleuze mengasumsikan bahwa pikiran murnilah yang dapat

mencapai kreativitas mutlak atau berkemampuan untuk menciptakan pembedaan

tanpa batas. Pikiran murni mencipta melalui medium yang diciptakannya sendiri

(Sugiharto dalam Hartono, 2007: ix). Deleuze meletakkan pikiran murni sebagai

presentasi yang memungkinkan tebentuknya representasi pikiran melalui produksi

dan reproduksi pengetahuan. Deleuze dalam Difference and Repetition

menyinggung kemampuan pikiran murni untuk melakukan pembedaan atas yang

berbeda. Pikiran murni juga mampu mengulang pengetahuan sampai pada

penggandaan yang tidak terbatas.

Keempat, mengacu pada What is Philosophy? Deleuze, bersama Guattari

memprimasikan filsafat sebagai konsep. Lebih dari itu, dalam hemat penulis,

Deleuze bahkan sampai pada eksplanasi tentang ontologi konsep. Keberadaan

konsep menurut Deleuze mengandaikan sebuah kreasi. Konsep dengan demikian

adalah entitas yang diciptakan. Kemudian keberadaan konsep sebagai entitas itu

sendiri pada dasarnya dibentuk melalui peristiwa yang bergerjala di atas tataran

tertentu. Deleuze menyebut tataran imanensi sebagai tataran konsep. Tataran

imanensi adalah tataran absolut yang tidak memiliki batas. Tataran imanensi

menurut Deleuze adalah sebuah kehidupan. Posisi filsuf dalam konstelasi ini

bertindak sebagai sahabat konsep atau potensialitas konsep. Seorang filsuf disebut

47
demikian karena seorang filsuf memiliki kapasitas untuk membentuk konsep,

bahkan konsep yang sama sekali baru. Filsuf mampu membangkitkan konsep

lama sebagai sesuatu yang baru atau melenyapkan konsep lama dan

menggantikannya dengan yang baru. Deleuze secara otentik mengidentikan

seorang filsuf sebagai persona konseptual.

48
BAB III

GILLES DELEUZE DAN SINEMA

Pada bab ini penulis akan mengurai bagaimana pemikiran Gilles Deleuze

tentang sinema. Penulis selanjutnya akan banyak merujuk pada Cinema 1 dan

Cinema 2 sebagai sepasang manuskrip yang ditulis Deleuze pada tahun 1980-an,

yakni ketika linguistik dan psikoanalisis mendominasi diskursus teoritik tentang

sinema. Cinema 1 dan Cinema 2 diupayakan Deleuze sebagai kritik atas

pendekatan psikoanalisis dan linguistik pada sinema. Penulis akan membuka awal

pembahasan dari paparan atas posisi teoritik Deleuze dalam diskursus sinema.

Kemudian berlanjut pada paparan atas beberapa konsep kunci yang digunakan

Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2. Penulis dalam konteks tersebut

menemukan ‘imaji’ sebagai terminologi sentral dalam pemikiran Deleuze tentang

sinema, kemudian ‘imaji-gerak’ dan ‘imaji-waktu’ sebagai dua konsep umum

yang diletakkan Deleuze untuk membedakan modus representasi imaji pada dua

periode umum sinema, yakni sinema klasik dan sinema modern. Sistematika

pembahasan tersebut adalah titik mula yang strategis dalam mengurai-jawab

rumusan masalah kedua, yakni apa itu sinema menurut Deleuze? Jawaban atas

pertanyaan itu secara ekstraktif akan penulis paparkan dalam sub-bagian terakhir.

A. Kontribusi Deleuze dalam Sinema

Posisi teoritik Deleuze dalam diskursus sinema merujuk pada dua ranah

disiplin. Pertama adalah disiplin sinema itu sendiri. Deleuze melawan dominasi

49
pendekatan semiologi Saussurian dan Psikoanalisis Freudian. Deleuze

menyatakan bahwa semiologi telah mereduksi sinema sebagai praktik kebahasaan,

sedangkan psikoanalisis terlalu bertendensi untuk mengevaluasi sinema dalam

aspek kesadaran dan ketidaksadaran. Kedua adalah disiplin filsafat. Deleuze

menyayangkan absennya filsafat modern dalam menyambut kelahiran sinema

sebagai modus baru bagi pemikiran. Bagi Deleuze hal tersebut merupakan

kejanggalan yang serius, karena ketika filsafat relatif akrab dengan tema seperti

gerak dan waktu, sinema yang muncul di awal abad ke-20 sebagai bentuk seni

baru dan bekerja dengan imaji, gerak dan waktu luput diperhatikan. Deleuze

dalam konteks ini melayangkan kritik pada Jean Paul Sartre dan Maurice Marleu-

Ponty. Deleuze memaparkan hal tersebtu dalam Negotiation:

It’s very odd. I have the feeling that modern philosophical conceptions of the
imagination take no account of cinema: they either stress movement but lose
sight of the image, or they stick to the image while losing sight of its movement.
It’s odd that Sartre, in The Pshycology of Imagination, takes into account every
type of image except the cinematic image. Marleau-Ponty was interested in
cinema, but only in relation to the general principles of perception and behaviour.
Bergson’s position, in Matter and Memory, is unique. Or Matter and Memory,
rather, is a unique, extraordinary book among Bergson’s work. He no longer puts
motion in the realm of duration, but on the one hand posits an absolute identity of
motion-matter-image, and on the other hand discovers a Time that’s the
coexistence of all levels of duration (matter being only the lowest level)
(Deleuze, 1995: 47).

Artinya:
Ini sangat ganjil. Saya merasakan bahwa konsepsi-konsepsi filosofis modern
tentang imajinasi tidak memperhitungkan sinema: mereka menekankan gerak tapi
luput memperhatikan imaji, atau mereka merengkuh imaji tanpa menyentuh
gerak itu sendiri. Ini aneh bahwa Sartre dalam The Pshycology of Imagination,
memperhatikan tiap-tipe imaji kecuali imaji sinematik. Marleau-Ponty telah
berminat pada sinema, tapi hanya dalam relasinya terhadap prinsip-prinsip umum
persepsi dan tingkah laku. Posisi Bergson dalam Matter and Memory adalah
unik. Atau Matter and Memory, mungkin adalah keunikan yang luar biasa di
antara karya-karya Bergson. Ia tidak lagi menempatkan gerak pada wilayah
durasi, namun di satu sisi memposisikan sebuah identitas absolut atas gerak,

50
materi, imaji, dan di sisi lain menemukan Waktu yang hadir bersama semua
tingkatan durasi (materi hanya menjadi tingkat terendah).

Deleuze belum menangkap adanya upaya yang spesifik untuk membentuk

konsepsi yang khas tentang sinema. Walaupun pada paruh kedua abad 20 kajian

teoritik dan kritik atas sinema telah mengemuka, tapi bagi Deleuze hal tersebut

sama sekali belum memberitahu tentang apa itu sinema. Pertanyaan tentang apa

itu sinema dengan demikian menjadi perhatian utama Deleuze.

1. Kritik Terhadap Pendekatan Psikoanalisis

Deleuze menyatakan bahwa konsepsi filsafat tentang sinema harus

spesifik, harus secara khusus berelasi dengan sinema. Framing bisa saja

dihubungkan dengan castration, atau close up dengan partial objects, namun

bagi Deleuze percobaan semacam itu tidak memberitahu tentang apa itu

sinema secara khusus. Lebih lanjut, Deleuze coba mempertanyakan apakah

gagasan “imajiner” memiliki batasan dalam sinema, jika kemudian diketahui

bahwa sinema bisa menghasilkan sebuah realitas (Deleuze, 1995: 58). Deleuze

dalam hal ini memberikan contoh melalui film-film Dreyer.

Film-film Dreyer menurut Deleuze bisa saja dikupas dengan

psikoanalisis, namun tetap akan selalu ada bagian dimana film-film Dreyer

tidak memberitahu banyak hal, misalnya relasi Dreyer dengan Kierkegaard.

Bagi Deleuze film-film Dreyer lebih masuk akal jika langsung

membandingkan Dreyer dengan Kierkegaard. Kierkegaard perlu dimunculkan

dalam konteks pemikirannya tentang manusia. Kierkegaard menyatakan

51
bahwa sudah menjadi sebuah persoalan bahwa manusia harus membuat

gerakan dengan pilihan eksistensial tertentu. Film-film Dreyer bagi Deleuze

adalah objek sinema yang menyatakan sebuah pilihan spiritual tertentu. Dalam

kaitan antara Dreyer dan Kierkegaard, Deleuze menangkap kemungkinan

konfrontasi antara sinema dan filsafat. Bagi Deleuze, film-film Dreyer lebih

dekat dengan filsafat manusia Kierkegaard ketimbang Psikoanalisis Freud

ataupun Lacan. Deleuze menyatakan bahwa psikoanalisis tidak memadai

untuk mengungkap dimensi spiritual dalam film-film Dreyer sebagai objek

dalam sinema (Deleuze, 1995: 58-59).

2. Kritik Terhadap Pendekatan Linguistik

Deleuze meletakkan film-film Bresson dan Rohmer. Deleuze

meletakkan film-film Bresson dan Rohmer untuk membantunya

mengilustrasikan kritiknya atas pendekatan linguistik. Bagi Deleuze film-film

Bresson maupun Rohmer yang tidak bisa dikatakan abstrak secara

keseluruhan. Film-film Bresson dan Rohmer menurut Deleuze justru sangat

menyentuh, sangat menarik, tapi membuat linguistik tidak banyak berkutik.

Deleuze menilai bahwa linguistik sangat terbatas dalam membaca

sinema secara keseluruhan karena linguistik hanya menyediakan konsep-

konsep yang bisa diaplikasikan ke dalam sinema dari sisi luar, misalnya

“sintagma”, namun secara serta merta mereduksi imaji sinematik ke tuturan,

dan karakternya yang paling esensial, yakni gerak, luput dipertimbangkan

(Deleuze, 1995: 59).

52
B. Konstruksi Teoritik Deleuze

Melihat kekurangan dari pendeketan linguistik dan psikoanalisis, Deleuze

mendekati sinema dengan cara lain. Deleuze mengkonstruksi konsep imaji

sinematografis yang imanen pada sinema. Imaji tersebut secara umum dibedakan

Deleuze dalam dua jenis, yakni imaji-gerak dan imaji-waktu. Deleuze

menjelaskan keberadaan imaji-gerak dan imaji-waktu sebagai berikut:

Narrative in cinema is like the imaginary: it's a very indirect product of motion
and time, rather than the other way around. Cinema always narrates what the
image’s movements and times make it narrate. If the motion’s governed by a
sensory-motor scheme, if it shows a character reacting to a situation, then you get
a story. If, on the other hand, the sensory-motor scheme breaks down to leave
disoriented and discordant movements, then you get other patterns, becomings
rather than stories.

Artinya:
Narasi dalam sinema ada seperti yang imajiner: sebuah ketidaklangsungan
produk dari gerak dan waktu, ketimbang sebaliknya. Sinema selalu menarasikan
apa yang imaji-imaji gerak dan waktu narasikan. Jika yang bergerak diatur oleh
skema sensor-motorik, maka sinema memperlihatkan karakter yang bereaksi
terhadap situasi, kemudian anda mendapatkan sebuah cerita. Jika, di sisi lain,
skema sensor-motoriknya terberai kemudian meninggalkan disorientasi dan
pertentangan beberapa gera, anda akan mendapatkan beberapa pola lain, beberapa
kemenjadian ketimbang cerita (Deleuze, 1995: 59).

Deleuze menumpukan pendekatan dan analisis sinema melalui cara kerja

otak manusia ketika menangkap rangkaian gambar bergerak. Deleuze

menggunakan istilah skema sensor-motorik untuk menjelaskan keberadaan dua

jenis imaji yang dimiliki sinema secara umum, yakni imaji-gerak yang

mengemuka dalam keteraturan skema sensor-mototik dan imaji-waktu yang

mengemuka dalam ketidakteraturan skema sensor-motorik. Skema sensor-motorik

itu sendiri terdiri dari tiga komponen imaji-gerak, yakni: imaji-persepsi, imaji-aksi

53
dan imaji-afeksi. Imaji-persepsi, imaji-aksi dan imaji-afeksi akan penulis jelaskan

pada sub-bab lain yang secara khusus membahas imaji-gerak.

1. Pengaruh C.S. Pierce dan Henri Bergson

Deleuze menegaskan bahwa Cinema 1 dan Cinema 2 bukanlah sebuah

sejarah sinema. Cinema 1 dan Cinema 2 adalah sebuah taksonomi, yakni

sebuah upaya Deleuze untuk mengklasifikasikan imaji-imaji dan tanda-tanda

dalam sinema. Deleuze secara teoritik berpijak pada dua warisan teoritik,

yakni Henri Bergson untuk konsepsi tentang imaji dan C. S. Pierce untuk

konsepsi tentang tanda dan taksonomi. Deleuze melalui dua kombinasi teoritik

tersebut kemudian mengkonstruksi pemikirannya tentang sinema secara

mandiri. Alasan Deleuze memilih pendekatan semiotika Piercean adalah

sebagai berikut:

We will frequently be referring to the American logician Peirce (1839-1914),


because he established a general classification of images and signs, which is
undoubtedly the most complete and the most varied. It can be compared with
Linnaeus's classifications in natural history, or even more with Mendeleev's
table in chemistry (Deleuze, 2005: xix).

Artinya:
Kita akan sering mengacu kepada Pierce, seorang ahli logika dari Amerika
(1839-1914), karena dia telah membangun klasifikasi umum tentang imaji-
imaji dan tanda-tanda, secara mantap, nyaris lengkap dan demikian beragam.
Hasil klasifikasinya bisa diperbandingkan dengan klasifikasi Linnaeus
tentang sejarah alami, atau bisa juga dengan tabelnya Mendelev dalam ilmu
kimia.

Sedangkan alasan Deleuze memilih pendekatan Bergsonian adalah sebagai

berikut:

54
Bergson was writing Matter and Memory in 1896: it was the diagnosis of a
crisis in psychology. Movement, as physical reality in the external world, and
the image, as psychic reality in consciousness, could no longer be opposed.
The Bergsonian discovery of a movement-image, and more profoundly, of a
time-image, still retains such richness today that it is not certain that all its
consequences have been drawn. Despite the rather overhasty critique of the
cinema that Bergson produced shortly afterwards, nothing can prevent an
encounter between the movement image, as he considers it, and the
cinematographic image (Deleuze, 2005: xix).

Artinya:
Bergson telah menulis Matter and Memory pada 1896: karya tersebut
merupakan sebuah diagnosis tentang krisis dalam ilmu psikologi. Gerak
sebagai kenyataan fisik dalam dunia eksternal dan imaji sebagai kenyataan
psikis dalam kesadaran, tidak lagi dapat dioposisikan. Penemuan Bergsonian
tentang sebuah imaji-gerak, dan terlebih lagi sebuah imaji-waktu, telah
menyimpan keheningan yang hari ini tampak begitu sempurna bahwasannya
ketidakpastian semua akibat telah memperoleh gambarannya. Meskipun
agak terlalu terburu-buru mengkritik sinema segera setelah itu, tanpa bisa
menjaga pertemuan antara imaji gerak, sebagaimana Bergson
mempertimbangkan sinema, dan imaji sinematografik.

Deleuze memiliki konstruksi teoritik yang mandiri kendati berpijak

pada semiotika Pierce dan konsepsi Bergson tentang imaji-gerak dan imaji-

waktu, karena Deleuze relatif berhasil dalam mengekspansi potensi teoritik

yang melekat pada teori Pierce tentang tanda dan teori Bergson tentang imaji.

Deleuze berhasil mengkombinasikan teori tanda Pierce dan imaji Bergson

sebagai pendekatan yang relatif baru dalam diskursus sinema. Pertama,

melalui teori imaji Bergson, Deleuze coba mengafirmasi sinema sebagai

entitas yang paling mampu merepresentasikan imaji-gerak sekaligus imaji-

waktu secara lebih real. Kedua, melalui tanda Pierce, Deleuze coba membaca

imaji sinematik sebagai imaji yang selalu membawa rangkaian tanda piktorial

tertentu. Rangkaian tanda piktorial pada sinema, bagi Deleuze tidak

sepenuhnya identik dengan praktik kebahasaan dalam pengertian semiologi

55
Saussure. Deleuze dalam hal ini lebih percaya pada trikotomi C.S. Pierce,

yakni relasi antara tanda, objek dan penafsir untuk mengklasifikasikan imaji

dalam sinema ketimbang struktur penanda-petanda Saussure.

2. Perang Dunia II sebagai Demarkasi

Deleuze dalam Cinema 1 banyak membahas tentang imaji-gerak

sebagai imaji yang mendominasi sinema klasik. Sinema klasik secara

demarkatif ditarik Deleuze dari satu peristiwa besar, yakni Perang Dunia II.

Bagi Deleuze Perang Dunia II banyak mengubah cara pandang manusia,

berikut cara manusia beraksi dan bereaksi terhadap peristiwa. Lebih jauh dari

itu, Deleuze menilai bahwa peristiwa besar seperti Perang Dunia II rupanya

telah mengubah pola relasi antara gerak dan waktu. Untuk lebih jelasnya,

Deleuze menulis demikian:

...since the war, a direct time-image has been formed and imposed on the
cinema. We do not wish to say that there will no longer be any movement,
but that - just as happened a very long time ago in philosophy - a reversal has
happened in the movement-time relationship; it is no longer time which is
related to movement, it is the anomalies of movement which are dependent
on time. Instead of an indirect representation of time which derives from
movement, it is the direct time-image which derives from movement, it is the
direct time-image which commands the false movement (Deleuze, 2005: xi-
xii).

Artinya:
...sejak perang, imaji langsung atas waktu telah dibentuk dan dikenakan pada
sinema. Kita tidak hendak mengatakan bahwa kemudian tidak akan ada lagi
gerak apapun, tapi bahwa—seperti yang terjadi dalam waktu yang sangat
lama pada filsafat—pembalikan telah terjadi dalam hubungan gerak-waktu,
maka tidak ada lagi waktu yang terhubung dengan gerak, itu adalah anomali-
anomali gerak yang tergantung pada waktu. Sebagai ganti representasi tidak
langsung atas waktu yang diperoleh dari gerak, itu adalah imaji-waktu
langsung yang menguasai gerak semu (false movement).

56
Dalam konteks filsafat, terlebih filsafat setelah Immanuel Kant, relasi

antara gerak dan waktu mengalami pembalikkan. Deleuze dalam pengantarnya

untuk Cinema 2 kembali menyitir frase Kant tentang waktu yang tersempal

dari engselnya: time is out of joint. Metafora tersebut merujuk pada realitas

temporal yang bergerak di luar ordinat gerak yang mensubordinasi keberadaan

waktu menjadi masa lalu, masa kini dan masa nanti.

Deleuze menyatakan bahwa sinema sebelum Perang Dunia II banyak

menumpukan narasinya melalui imaji-gerak. Imaji gerak adalah imaji yang

merepresentasikan waktu secara tidak langsung, artinya waktu dikenali

melalui gerak-gerak yang mengemuka sebagai aksi. Deleuze mengkategorikan

sinema klasik sebagai sinema yang mengemuka sebelum Perang Dunia II.

Sinema klasik bekerja melalui skema motor-sensoris yang meliputi persepsi,

aksi dan afeksi. Namun setelah Perang Dunia II pecah, dunia luluh lantak,

peristiwa perang banyak menciptakan kondisi tanpa bentuk. Deleuze melihat

fenomena tersebut sebagai hantaman yang mampu memecah skema motor-

sensorik. Pecahnya skema motor-sensorik menciptakan manusia-manusia

yang diam terhenyak tanpa aksi dan reaksi yang terencana. Pecahnya Perang

Dunia II menyebabkan manusia hanya mampu mengamati dan merasai

peristiwa besar yang berlangsung di depan matanya.

Dalam konteks sinema, Deleuze melihat bahwa pecahnya skema

motor-sensorik manusia rupanya juga menyebabkan pembalikan relasi antara

gerak dan waktu. Imaji-gerak yang banyak mendominasi sinema klasik

terhempas menjadi pecahan kristal. Hal ini melahirkan imaji baru dalam

57
sinema, yakni imaji-waktu. Imaji-waktu dalam konteks ini bisa dipahami

sebagai imaji-gerak yang mengalami mutasi menjadi imaji-kristal. Imaji-imaji

kristal itulah yang mengubah gerak menjadi anomali-anomali. Perubahan

modus representasi imaji tersebut menciptakan sinema-sinema modern atau

sinema setelah Perang Dunia II sebagai sinema yang tidak lagi menumpukan

diri pada imaji-gerak. Sinema modern banyak memproduksi imaji yang coba

merepresentasikan waktu secara langsung.

3. Alfred Hitchcock sebagai Transisi


Segala perubahan tidak pernah datang mendadak. Segala perubahan

dari kondisi A ke kondisi B selalu mengalami transisi tertentu. Perubahan

imaji-gerak menuju imaji-waktu dalam sinema juga mengandaikan transisi

tertentu. Deleuze menyebut satu figur sutradara yang memiliki tempat khusus

dalam transisi imaji dalam sinema, yakni Alferd Hitchcock. Menurut Deleuze,

Hitchcock memiliki sumbangsih penting bagi terciptanya imaji khusus dalam

sinema. Imaji yang dimaksud adalah imaji-relasi. Deleuze menulis:

If, at the end of this first volume, we try to understand the full importance of
Hitchcock - one of the greatest English film-makers - it is because we think
he invented an extraordinary type of image: the image of mental relations.
Relations, as external to their terms, have always been the subject of English
philosophical thought. When a relation terminates or changes, what happens
to its terms? Thus Hitchcock asks in Mr and Mrs Smith, a minor comedy,
what happens to a man and a woman who suddenly learn that, as their
marriage is not legal, they have never been married? Hitchcock produces a
cinema of relation, just as English philosophy produced a philosophy of
relation. In this sense he is, perhaps, at the juncture of the two cinemas, the
classical that he perfects and the modern that he prepares. In all these
respects, it is not sufficient to compare the great directors of the cinema with
painters, architects or even musicians. They must also be compared with
thinkers (Deleuze, 2005: xii).

Artinya:

58
Jika di akhir Cinema 1, kita mencoba mengerti pentingnya Hitchcock...
...karena kita berpikir Hitchcock telah menemukan tipe imaji yang luar biasa:
imaji atas relasi-relasi mental. Relasi, yang eksternal terhadap syarat-
syaratnya, selalu menjadi topik dalam pemikiran filosofis di Inggris. Ketika
relasi berakhir atau berubah apa yang terjadi pada syarat-syaratnya?
Hitchcock bertanya dalam Mr. and Mrs. Smith, sebuah komedi ringan, apa
yang terjadi pada seorang pria dan wanita yang tiba-tiba belajar bahwa,
pernikahan mereka tidaklah syah, mereka tidak pernah menikah? Hitchcock
memproduksi sebuah sinema relasi, sebagaimana filsafat Inggris
memproduksi filsafat relasi. Dalam pengertian ini, Hitchcock adalah,
mungkin, berada pada titik waktu antara dua sinema (antara klasik dan
modern), klasik bahwa ia telah sempurna dan modern bahwa ia
mempersiapkan. Dalam segala pengakuan, tidak cukup untuk
membandingkan sutradara besar sinema dengan pelukis, arsitek atau bahkan
musisi. Mereka harus juga dibandingkan dengan pemikir.

C. Cinema 1 dan Cinema 2 sebagai Karya Filsafat

Cinema 1 dan Cinema 2 kurang tepat jika dilihat sebagai upaya Deleuze

untuk membuat semacam teori baru tentang sinema, karena Deleuze pada

dasarnya hanya berfilsafat melalui sinema. Hugh Tomlinson dan Robert Galleta

dalam hal ini menulis sebagai berikut:

...Deleuze does not set out to provide another theory of the cinema. His project is
a philosophical one. Philosophy itself is not a reflection on an autonomous object
but a practice of creation of concepts, a constructive pragmatism. This is book of
philosophical invention, a theory of cinema as conceptual practice. It is not a
question of ‘applying’ philosophical concepts to the cinema. Philosophy works
with the concepts which the cinema itself gives rise to (Tomlinson-Galleta dalam
Deleuze, 2005: xv).

Artinya:
...Deleuze memang tidak menyusun Cinema 1 dan Cinema 2 untuk menetapkan
teori lain tentang sinema. Proyeknya adalah semata filosofis. Filsafat itu sendiri
bukanlah refleksi atas sebuah objek yang otonom tetapi sebuah praktik
penciptaan konsep, sebuah pragmatisme konstruktif. Ini adalah buku tentang
penemuan filosofis, teori sinema sebagai praktik konseptual. Ini bukanlah soal
menerapkan konsep-konsep filosofis terhadap sinema. Filsafat bekerja bersama
konsep-konsep di mana sinema itu sendiri menjulangkannya.

59
Berdasarkan kutipan di atas, Cinema 1 dan Cinema 2 dengan demikian

lebih tepat disebut karya filsafat. Walaupun demikian, Hugh Tomlinson dan

Robert Galleta mengatakan bahwa Cinema 1 dan Cinema 2 relatif lebih mudah

dipahami oleh para penekun sejarah sinema dan teori-teori sinema ketimbang

penekun filsafat dalam pengertian yang tradisional (Tomlinson-Galleta dalam

Deleuze, 2005: xv), artinya penekun filsafat yang masih terpaku pada penelaahan

filsafat dengan model tekstual, yakni menekuni filsafat dengan cara membaca

buku-buku filsafat dari filsuf-filsuf besar. Penekun filsafat yang tradisional

tersebut akhirnya tergagap-gagap ketika Deleuze banyak mengartikulasikan

gagasan filosofisnya dengan cara merujuk beberapa teori sinema, ratusan film dari

puluhan sutradara besar sinema (baca: author) yang membentang dari periode

klasik hingga modern.

Deleuze adalah seorang filsuf bekerja melalui sinema. Deleuze adalah

seorang filsuf yang memproduksi klasifikasi imaji-imaji dan tanda-tanda. Lebih

dari itu, Deleuze adalah seorang filsuf yang menyusun ulang imaji dan tanda

untuk tujuan baru. Deleuze tertarik untuk mengelaborasi sinema karena sinema

memiliki kemampuan untuk menyusun ulang sebuah konsep. Sinema dalam hal

ini mampu memberikan dimensi baru bagi konstruksi konseptual. Berdasarkan

uraian tersebut, Tomlinson dan Galleta menegaskan bahwa sinema dan filsafat

dengan demikian telah bersama membawa sebuah proses dalam irisan

(intercutting) yang berkelanjutan (Tomlinson-Galleta dalam Deleuze, 2005: xv).

Deleuze menulis dalam Negotiation:

If I consider the field of cinema as a whole, it's because it's all built upon the
movement-image. That's how it's able to reveal or create a maximum of different

60
images, and above all to combine them with one another through montage. There
are perception-images, action-images, aff ection-images, along with many other
types. And in each case there are internal signs that characterize these images,
from both genetic and compositional viewpoints. They’re not linguistic signs,
even when they’re aural or even vocal. The significance of a logician like Peirce
is to have worked out an extremely rich classification of signs, relatively
independent of the linguistic model. It was particularly tempting to see whether
the moving matter introduced by cinema was going to require a new
understanding of images and signs. In this sense, I’ve tried to produce a book on
logic, a logic of cinema (Deleuze, 1995: 46-47).

Artinya:
Jika mempertimbangkan ranah sinema sebagai sebuah keseluruhan, karena semua
sinema dibangun di atas imaji-gerak. Bagaimana sinema mampu mengemukakan
atau mengkreasi secara maksimal imaji-imaji yang berbeda, dan mengatasi
semuanya untuk mengkombinasikan imaji satu sama lain melalui montase. Di
situ ada imaji-persepsi, imaji-aksi, imaji-afeksi dan beberapa tipe lain. Dalam
setiap kasus terdapat tanda-tanda internal yang mencirikan imaji tertentu, baik
dari sudut pandang genetik ataupun komposisional. Mereka bukanlah tanda-tanda
linguistik, bahkan ketika mereka terdengar atau bahkan tersuarakan. Signifikasi
dari seorang ahli logika seperti Pierce telah memiliki sebuah karya yang kaya
akan klasifikasi tanda-tanda, yang relatif independen dari model linguistik.
Sangat menggoda untuk melihat apakah materi yang bergerak diperkenalkan oleh
sinema memerlukan pemahaman baru atas imaji dan tanda. Dalam pengertian
ini, saya mencoba untuk memproduksi sebuah buku tentang logika, logika
atas sinema.

Kutipan panjang tersebut dengan sendirinya telah menjelaskan tujuan Deleuze

menulis Cinema 1 dan Cinema 2.

D. Cinema 1: Imaji-Gerak
Imaji-gerak adalah imaji yang merepresentasikan waktu secara tidak

langsung. Imaji-gerak memiliki tiga komponen imaji yang bisa ditangkap melalui

skema motor-sensorik, yakni imaji-persepsi, imaji-aksi dan imaji-afeksi. Imaji-

persepsi, imaji-aksi dan imaji-afeksi bekerja melalui konsolidasi subjektivitas

sebagai pusat yang kontingen. Tiga imaji tersebut mengisi interval tertentu secara

bersamaan. Imaji-persepsi dan imaji-aksi mengisi sisi-sisi atau ujung-ujung

interval, sedangkan imaji-afeksi mendiami pusat interval. Tiga tipe imaji ini

61
merupakan titik pandang dari keseluruhan film. Imaji menjadi afektif dalam jarak

dekat (close-up), aktif dalam jarak sedang (medium-shot), dan perseptif dalam

jarak jauh (long-shot). Namun kemenjadian imaji yang hadir melalui jenis-jenis

shot tersebut hendaknya tidak direduksi menjadi perkara teknis semata, karena

Deleuze sebenarnya hendak menunjukkan bahwa masing-masing pengambilan

gambar memiliki peran yang menyeluruh pada aspek keterbacaan film secara

keseluruhan. Deleuze sendiri telah memaparkan karakter dari imaji-persepsi,

imaji-aksi dan imaji-afeksi sebagai berikut.

Pertama, imaji-persepsi menurut Deleuze memiliki dua aspek, ‘objektif’

dan ‘subjektif’, langsung dan tidak langsung. Pada saat kamera mewakili mata

penonton untuk memperlihatkan imaji-imaji, maka disebut objektif. Pada saat

kamera mewakili mata salah satu subjek disebut subjektif. Hal ini menempatkan

fungsi kamera sebagai pembentuk persepsi atas persepsi. Kedua, Imaji-afeksi

berkaitan dengan imaji-imaji yang ditampilkan dalam jarak dekat. Imaji yang

ditampilkan dalam jarak dekat akan menjadi sama pentingnya dengan wajah, atau

persisnya keberwajahan (faciality). Keberwajahan dimunculkan dengan

penekanan tertentu. Keberwajahan memberikan pengaruh dan pernyataan atas hal

yang dianggap penting. Ketiga, Imaji-aksi mendefinisikan struktur secara umum.

Imaji-aksi berkaitan langsung atau menjadi pusat dalam skema motor-sensorik.

Imaji-aksi memiliki peran dalam menentukan ruang dan waktu secara geografis,

historis dan sosiologis. Imaji-aksi menentukan bagaimana subjek bertindak untuk

memodifikasi lingkungannya atau relasi subjek dengan lingkungan sekitar dan

dengan subjek-subjek lain (Wibowo, 2002: 69).

62
Imaji-gerak yang banyak digunakan dalam sinema klasik atau sinema

sebelum Perang Dunia II turut menyempurnakan bentuk-bentuk geometri, logika

atas eksposisi spatio-temporal dan hukum-hukum sinema yang dibangun melalui

kesatuan montase. Deleuze mangartikan montase tidak sekedar sebagai gaya

pemotongan dan penyambungan gambar, alias gaya editing semata. Deleuze

mengartikan montase sebagai sebuah ekspresi dari logika komposisi atau konsepsi

sinema secara umum. Montase mampu mengekspresikan perubahan, memberikan

bentuk tertentu pada waktu, baik langsung ataupun tidak langsung (Wibowo,

2002: 66). Lebih lanjut, montase bekerja di antara interval imaji yang satu dan

yang lain. Interval sebagai sebuah figur temporal yang berfungsi untuk mencegah

gerak sekaligus menciptakan celah antara aksi dan reaksi. Interval dengan

demikian mampu menghasilkan imaji dalam dua aspek, yakni reseptif dan kreatif

(Wibowo, 2002: 68).

Reseptif artinya, interval bisa berlaku sebagai permukaan sensorial yang

menyaring stimulus sekaligus mengabaikan atau memisahkan pengaruh-pengaruh

eksternal yang tidak relevan. Interval mampu melakukan penundaan. Interval

mampu menghambat aksi untuk memperoleh respon atau persepsi yang memadai.

Dalam editing film, aksi yang dihambat hadir melalui teknik slow motion. Melalui

penghambatan aksi, aspek kedua dari interval baru mengemuka, yakni aspek

kreatif. Kreatif artinya, interval bisa menghasilkan sesuatu yang baru, misalnya

kerika persepsi dihambat konsekuensinya adalah reaksi harus dieksekusi pada sisi

lain.

63
Setiap interval imaji-gerak secara rasional selalu menyediakan akhiran dan

awalan bagian-bagian spasial tertentu secara berkesinambungan. Pemotongan dan

penyambungan interval dalam imaji-gerak membentangkan ruang-ruang yang

saling berdekatan atau berurutan. Gerak hadir menjadi entitas yang

mensubordinasi keberadaan waktu. Waktu ditentukan melalui dinamika aksi dan

reaksi dalam ruang yang disambung secara berurutan. Gerak dalam hal ini

berperan sebagai ordinasi dari waktu. Waktu dengan demikian disubordinasi oleh

gerak menjadi kronologi peristiwa. Dalam kerangka imaji-gerak, waktu identik

dengan gerak mekanik pada jarum jam di mana masa lalu, masa kini dan masa

depan bisa dikenali dan dibedakan (Wibowo, 2002: 66).

Deleuze memposisikan gerak sebagai bagian yang bergerak dari durasi,

yang berarti dari keseluruhan atau dari sebuah keseluruhan. Gerak adalah translasi

di dalam ruang. Gerak mengekspresikan sebuah perubahan atas durasi. Deleuze

(dalam Wibowo, 2002: 67) mengilustrasikan, “jika kita memasukkan segumpal

gula dalam segelas air, transisi akan terjadi antara segelas air + segumpal gula

menjadi air gula”. Deleuze dalam ilustrasinya tersebut hendak menjelaskan bahwa

segumpal gula yang larut dalam segelas air menyebabkan perubahan kualitatif

dari segelas air secara keseluruhan: segelas air berubah kualitas menjadi segelas

air gula. Gejala tersebut diabstraksikan Deleuze sebagai berikut:

gerak menghubungkan objek-objek sebuah sistem tertutup pada durasi yang


terbuka dan menghubungkan durasi pada objek-objek sistem tertutup, durasi
memaksa sistem tertutup itu untuk membuka (dalam Wibowo, 2002: 67).

Sinema menghimpun objek-objek dalam sistem tertutup, sedangkan durasi

adalah keseluruhan yang terbuka. Kapasitas sinema adalah mengkoneksikan

64
objek-objek dalam sistem tertutup--yang tidak lain imaji-gerak—dengan durasi

sebagai sistem yang terbuka. Durasi sebagai sistem terbuka berkapasitas untuk

memaksa imaji-gerak sebagai representasi dari sistem tertutup untuk terbuka.

Mengubah sistem tertutup menjadi terbuka adalah mungkin bagi sinema.

Deleuze menyatakan bahwa sinema memiliki perbedaan yang mendasar dengan

seni lainnya. Deleuze menulis:

Jika seni lain, melalui dunia menciptakan sesuatu yang tidak nyata, sinema justru
mampu membuat dunia itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak nyata. Sinema
mampu mendesentralisasi keterpukauan subjek beserta cakrawalanya (dalam
Wibowo, 2002: 67).

Artinya, sinema mampu melenyapkan batas pandang subjek. Sinema bekerja

dengan imaji yang juga mampu mengkonstitusi sebuah tatarannya sendiri. Dalam

dirinya sendiri, imaji merupakan sebuah materi. Imaji bukanlah sesuatu yang

tersembunyi di balik entitas tertentu melainkan secara berlawanan merupakan

identitas absolut dari imaji dan gerak. Deleuze (2005: 58) mengatakan setiap imaji

beraksi dan bereaksi sekaligus pada seluruh segi, melalui seluruh elemen-

elemennya sedemikian rupa sehingga aksi dan reaksi tidak dapat dibedakan.

E. Cinema 2: Imaji-Waktu
Bagi penulis, Cinema 2 lebih sulit dipahami ketimbang Cinema 1. Jika

Deleuze dalam Cinema 1 memberikan definisi khusus untuk imaji-gerak, tapi

tidak demikian dalam Cinema 2. Deleuze tidak memberikan definisi khusus untuk

imaji-waktu. Deleuze hanya mengindikasikan bahwa imaji-waktu adalah imaji

yang coba merepresentasikan waktu secara langsung. Imaji-waktu mengemuka

65
sebagai imaji sinema modern atau sinema setelah Perang Dunia II. Deleuze dalam

pengantar Cinema 2 menulis:

Over several centuries, from the Greeks to Kant, a revolution took place in
philosophy: the subordination of time to movement was reversed, time ceases to
be the measurement of normal movement, it increasingly appears for itself and
creates paradoxical movements. Time is out of joint: Hamlet's words signify that
time is no longer subordinated to movement, but rather movement to time. It
could be said that, in its own sphere, cinema has repeated the same experience,
the same reversal, in more fast-moving circumstances. The movement-image of
the socalled classical cinema gave way, in the post-war period, to a direct time-
image (Deleuze, 2005: xi).

Artinya:
Selama beberapa abad, dari Yunani ke Kant, revolusi telah berlangsung dalam
filsafat: subordinasi waktu terhadap gerak berbalik, waktu tidak lagi menjadi
ukuran gerak yang normal, waktu semakin muncul untuk dirinya sendiri dan
menciptakan paradoks pergerakan. Waktu tersempal dari engselnya: kata-kata
hamlet menandai bahwa waktu tidak lagi disubordinasi oleh gerak, melainkan
gerak yang disubordinasi oleh waktu. Bisa dikatakan bahwa, dalam lingkup
tersendiri, sinema telah mengulangi pengalaman yang sama, pembalikan yang
sama, dalam keadaan gerak yang lebih cepat. Imaji-gerak yang juga disebut
sinema klasik telah memberi jalan, dalam periode setelah perang, untuk imaji-
waktu secara langsung.

Perang Dunia II diletakkan Deleuze sebagai garis pembeda periode sinema

klasik dan modern karena fakta kondisi eropa setelah perang adalah situasi

mencekam yang meningkat pesat di mana manusia tidak lagi tahu bagaimana

menjelaskan sebuah peristiwa dalam ruang. Deleuze menyebut gejala tersebut

dengan istilah any space whatever (tiap ruang apapun) yang ditinggalkan namun

dihuni, gudang-gudang yang tidak terpakai, tanah terbuang, kota-kota dalam

proses pembongkaran atau rekonstruksi.

Dalam tiap ruang apapun (any-spaces-whatever) terdapat ras baru dari

karakter-karakter yang diaduk, menyerupai mutan. Manusia lebih banyak melihat

ketimbang bertindak, manusia menjadi pelihat dalam ruang tanpa bentuk, tanpa

kejelasan sebab. Situasi tersebut terepresentasikan dalam trilogi besar Rossellini,

66
Europe 51, Stromboli, Germany Year Zero. Europe 51 memperlihatkan seorang

anak di kota yang hancur. Stromboli memperlihatkan seorang perempuan asing di

atas pulau. Germany Year Zero memperlihatkan seorang perempuan borjuis yang

mulai ‘melihat’ apa yang ada di sekitarnya.

Situasi perang melahirkan kondisi ekstrem, keseharian menunjukkan

kebanalan. Apa yang cenderung runtuh atau paling tidak kehilangan posisinya

adalah skema motor-sensorik yang telah membentuk imaji-aksi pada sinema lama.

Melonggarnya pengait motor-sensorik adalah waktu, persisnya adalah

memiyuhnya waktu dalam kondisi murni dan menjulang ke permukaan layar.

Waktu berhenti menjadi turunan gerak. Waktu muncul dalam dirinya sendiri yang

mampu menghadirkan gerak semu. Hadirnya gerak semu dalam waktu menjadi

penting dalam sinema modern. Imaji-imaji tidak lagi dihubungkan oleh potongan

rasional dan kontinuitas, tetapi dikaitkan ulang dengan kontinuitas semu dan

potongan irasional. Tubuh tidak lagi sesuai dengan apa yang bergerak, gerak

subjek atau instrumen aksi, imaji lebih diperkembangkan dari waktu, imaji

menunjukkan waktu melalui keletihan dan waktu tunggu (Deleuze, 2005: xii).

Imaji didefinisikan Deleuze sebagai sistem hubungan antar elemen, yaitu

satu tata hubungan waktu dari variabel yang hanya hadir mengalir. Dalam

pengertian ini, seorang Andre Trakovsky bagi telah menantang distingsi antara

montase dan shot ketika mendefinisikan sinema dari ‘tekanan waktu’ sebuah shot.

Apa yang khusus pada imaji dengan segera menjadi kreatif, imaji ada untuk

membuatnya dapat dimengerti, relasi waktu yang tidak dapat dilihat dalam

representasi objek dan tentu tidak membiarkan mereka direduksi pada masa kini,

67
misalnya kedalaman ranah (depht of field) dalam Welles, penjelajahan shot dalam

Visconti yang mengajak penonton menyelami dalam waktu ketimbang

menyebrangi ruang. Mobil Sandra, di awal film Visconti, sudah bergerak dalam

waktu dan karakter Welles yang menempati sebuah tempat berukuran raksasa

dalam waktu ketimbang mengubah tempat dalam ruang (Deleuze, 2005: xii).

Deleuze dalam Cinema 2 secara umum berbicara tentang imaji

sinematografik yang telah mampu direngkuh, diungkapkan dan dapat

menggemakan ajaran dari ilmu pengetahuan, atau imaji yang disingkapkan seni

lain atau yang membuat filsafat bisa dimengerti dengan masing-masing cara.

Maka dari itu keliru untuk mengungkapkan kematian sinema karena sinema masih

pada awal penyelidikannya. Sinema memperlihatkan adanya relasi waktu yang

hanya dapat muncul dalam kreasi imaji. Relasi dan disjungsi antara gambar dan

suara, antara apa yang terlihat dan apa yang terkatakan, merevitalisasi masalah

dan memberkahi sinema dengan kekuatan-kekuatan baru untuk menangkap waktu

dalam imaji dengan cara yang sangat berbeda-beda. Deleuze melihat sinema

sebelum perang, bahkan sinema bisu untuk mengoseptualisasikan imaji-waktu

yang sangat murni dan telah selalu dilanggar, direngkuh ulang atau disubordinasi

melalui imaji-gerak (Deleuze, 2005: xii).

Imaji-waktu adalah imaji baru yang disebut Deleuze sebagai mutasi baru

sinema (2005: 215). Imaji-waktu mengungkapkan corak sinematik yang relatif

baru, yakni ketika sinema tidak lagi melayani atau menjadi pelayan cerita atau

narasi, maka kejutan sinematik yang sebelumnya tidak terpikirkan dihadirkan.

Imaji-waktu dalam sinema dengan kata lain adalah upaya peretasan jalan untuk

68
corak sinema yang non-naratif. Imaji-waktu menghadirkan imaji-imaji yang tidak

lagi dapat diduga atau dipahami dengan skema motor-sensorik. Imaji-waktu justru

menghancurkan skema tersebut. Narasi adalah narasi non-kronologis. Aksi dan

reaksi tidak setertib imaji-gerak, bahkan dalam imaji-waktu, aksi dan reaksi sukar

dibedakan. Imaji-waktu tidak bekerja dengan potongan rasional (rational-cutting)

seperti halnya imaji-gerak, tapi bekerja dengan potongan-irasional (irrational-

cutting). Artinya, jika imaji-gerak menghadirkan urutan atau serialitas yang linear,

misalnya A, B, C, D, E… dst dalam menghadirkan realitas pre-exist atau realitas

yang telah hadir, maka imaji-waktu coba menghadirkan stratifikasi waktu,

misalnya A1, A2, A3… dst yang urut maupun acak, masa lalu, masa kini dan

masa nanti sukar dibedakan, karena masa lalu, kini dan nanti hadir serempak

dalam sebuah keteraturan non-kronologis.

Deleuze menyebut dua jenis imaji-waktu. Pertama, imaji-waktu yang

didasarkan pada masa lalu. Kedua, imaji-waktu yang didasarkan pada masa kini.

Pemilahan dua jenis imaji-waktu tersebut menjadi mungkin karena hadirnya

sinema itu sendiri telah menyempurnakan bentuk-bentuk dari imaji-rekoleksi.

Imaji-rekoleksi coba memanggil kembali apa yang telah ada dan sedang

berlangsung. Imaji-rekoleksi adalah imaji tentang sebuah ingatan yang

mengemuka dari yang sedang berlangsung. Apa yang sedang berlangsung

tersimpan dalam memori dunia.

Dalam memori dunia, masa lalu dijaga dalam waktu dan tidak mungkin

dilihat sebagai imaji-rekoleksi jika tidak diaktualisasikan. Dengan demikian,

virtualitas sebagai nama lain dari potensialitas menjadi primer dalam logika

69
Deleuzian atas sinema. Deleuze mengekspansi pandangan Bergson dalam

kesimpulan berikut: Memori manusia tidak bergerak dari masa kini ke masa lalu,

atau dari persepsi ke rekoleksi, melainkan sebaliknya, yakni: dari masa lalu ke

masa kini dan dari rekoleksi ke persepsi. Oleh karena, memori pada hakikatnya

tidak melekat dalam diri manusia, tapi sebaliknya, manusialah yang bergerak

dalam memori-Ada atau memori-dunia. Pemahaman atas memori ini, baik

Bergson ataupun Deleuze lebih bercorak eksternal atau berada di luar diri subjek,

seperti bau parfum tertentu yang memberikan ingatan pada perempuan di masa

lalu atau sebuah café yang mengingatkan pada kencan pertama.

Dalam kaitannya dengan proses aktualisasi imaji-rekoleksi tersebut,

Deleuze mengemukakan problem ontologis yang kemudian harus dihadapi.

Seseorang akan menghadapi beberapa syarat untuk masuk ke dalam tingkatan-

tingkatan atau wilayah-wilayah memori dunia. Memori yang dipenuhi oleh masa

lalu menyerukan keadaan di masa sekarang dengan dua jenis gerak yang simultan.

Pertama, melalui translasi yang memungkinkan gerak untuk masuk ke dalam

memori dunia atau bertemu dengan keseluruhan pengalaman masa sekarang.

Memori mengimplikasikan sebuah pengerutan (kontraksi), tanpa memisahkan

sebuah persepsi untuk beraksi. Kedua, melalui rotasi yang bergerak dalam dirinya

sendiri atau dalam orientasi memori itu sendiri, melalui rotasi memori masa lalu

berubah atau disituasikan melalui masa kini (Deleuze, 1991: 63-64).

Dalam ranah sejarah sinema, hal itu secara sederhana bisa dipadankan

dengan pergantian logika montase dengan logika long-take. Atau kritik sinema

yang dipelopori secara resmi oleh kelompok Neo-Realisme Italia sperti Roberto

70
Rossellini, Vitorio De Sica, Federico Fellini terhadap montase Sergei Eisenstein,

Dziga Vertov dan Lev Kulesov. Sinema non-naratif tidak lagi berdasar pada

tonalitas, ritme, harmoni yang diatur melalui montase, namun pada gerak kamera,

depth of field, psikologi tokoh yang membawa konjungsi logis, konsekuensi dan

intensi. Deleuze menjelaskan bahwa kesadaran kamera tidak lagi didefinisikan

melalui gerak-gerak yang dapat menciptakan kesadaran tertentu, tetapi melalui

relasi mental yang memungkinkan kamera untuk masuk dalam kesadaran. Kamera

dengan demikian diposisikan sebagai perangkat yang memiliki kapasitas untuk

mempertanyakan, merespon, mengobjekkan, memprovokasi, menteoritisasi,

menciptakan hipotesa. Deleuze dalam hal ini menyatakan bahwa kamera bisa

bekerja melalui konjungsi logis seperti ‘oleh karenanya’, ‘jika…’, ‘maka…’,

‘sebab…’, ‘meskipun…’. Kamera dengan demikian bukanlah sekedar mata yang

bersifat non-human atau mata ketiga, tapi kamera adalah juga ‘mata pikiran’

(Deleuze, 2005: 23).

Deleuze menyatakan bahwa baik imaji-gerak maupun imaji-waktu sama-

sama mencuatkan rezim yang berbeda. Imaji-gerak mencuatkan rezim imaji

organik, sedangkan imaji-waktu mencuatkan rezim imaji non-organik (dalam

Wibowo, 2002: 72). Imaji-gerak disebut imaji organik karena imaji-gerak bekerja

dengan skema motor-sensorik yang secara bilogis melekat pada tubuh manusia,

yakni mata, pikiran, hati. Imaji-waktu disebut imaji non-organik karena imaji-

waktu bekerja dengan imaji-kristal atau Crystalline. Imaji-waktu melalui imaji-

kristal memecah gerak, aksi, persepsi dan afeksi dalam anomali-anomali. Deleuze

menyatakan karakteristik imaji-kristal sebagai jenis imaji yang mampu bediri

71
demi objek-objeknya sendiri, menggantinya, menciptakannya dan menghapusnya

sekaligus, misalnya imaji-kristal tentang seseorang pada dasarnya tidak sekedar

memperlihatkan gerak dalam sebuah aksi, tetapi juga menyertakan apa yang

disebut Deleuze sebagai ‘primordial genesis’, yakni seseorang dalam warna

apapun.

Deleuze secara lebih lanjut memahami kerja kamera sebagai perangkat

yang mampu menggambarkan ruang kejadian dari sudut lain, sudut pandang yang

sama sekali baru. Juga ketika kamera digerakkan, kamera dengan kapasitas teknis

tertentu difungsikan untuk menjelajahi kemungkinan lain dalam melukiskan ruang

kejadian melalui imaji-kristal, imaji-aktual dan imaji-virtual menjadi satu bentuk

yang tidak terpisahkan. Ketidakterpisahan inilah yang kemudian membentuk

narasi kristal atau narasi non-organik. Narasi non-organik ini dibentuk melalui

situasi-situasi yang murni ‘optik dan suara’. Imaji-kristal adalah terminologi yang

menjelaskan hancurnya situasi yang menjadi acuan sebuah imaji (Deleuze, 2005:

128).

Imaji-kristal mengambil alih peran montase yang menumpukkan

keterbacaannya pada skema motor-sensor. Montase yang diambil alih oleh sensasi

long take, tidak mengandaikan nihilnya gerak sama sekali, namun gerak menjadi

anomali. Imaji-kristal serupa pecah-pecahan kristal. Manifestasi dari wujud

konkret dari imaji-kristal bisa dilihat dalam film-film Jean-Luc Godard, Alain

Resnais, Pier Paolo Passolini. Bagi Deleuze (2005: 137) upaya pencarian imaji

baru tersebut bertujuan untuk mengakhiri prasangka sinema atas realitas yang

72
berpotensi menciptakan narasi yang menunggalkan kebenaran. Deleuze dalam

Cinema 2 menulis:

sinema seharusnya tidak hanya memfilmkan dunia (sempit), melainkan


berkeyakinan dalam dunia luas; sebagaimana dalam filsafat, yang harus
melepaskan upaya-upaya untuk menemukan kebenaran absolut, dan ‘mengganti’
model pengetahuan dengan keyakinan (dalam Wibowo, 2002: 73).

Gerakan sinema baru coba menggantikan prasangka realitas dalam sinema

klasik dengan kekuatan-kekuatan kehidupan. Dalam kekuatan-kekuatan

kehidupan inilah multiplisitas direngkuh sedemikian rupa sehingga narasi baru

dalam sinema tidak lagi sekedar narasi dalam konteks bangunan cerita, alur, juga

narasi atas dibebaskannya waktu atau representasi waktu secara langsung. Persis

pada titik inilah pendekatan sinema melalui bahasa menemukan batasnya.

Semiotika tidak lagi jadi andalan utama untuk menjelaskan sinema dari titik tolak

yang non-bahasa atau non-linguistik.

F. Sinema Menurut Deleuze

Deleuze memahami sinema sebagai imaji-gerak yang telah inheren dalam

fotogram-fotogram. Untuk lebih jelasnya, Deleuze menulis demikian:

Cinema proceeds with photogrammeshat is, with immobile sections - twenty-four


images per second (or eighteen at the outset). But it has often been noted that
what it gives us is not the photogramme: it is an intermediate image, to which
movement is not appended or added; the movement on the contrary belongs to
the intermediate image as immediate given. It might be said that the position of
natural perception is the same. But there the illusion is corrected 'above'
perception by the conditions which make perception possible in the subject. In
the cinema, however, it is corrected at the same time as the image appears for a
spectator without conditions (in this respect, as we will see, phenomenology is
right in assuming that natural perception and cinematographic perception are
qualitatively different). In short, cinema does not give us an image to which
movement is added, it immediately gives us a movement-image (Deleuze, 2005:
2).

73
Artinya:
Sinema bermula dengan fotogram-fotogram (photogrammes)—yang adalah,
bagian-bagian tidak bergerak (immobile sections)—24 f/s (atau delapan belas
pada mulanya). Tapi itu telah sering dicatat bahwa apa yang diberikan sinema
pada kita bukanlah fotogram: sinema adalah mediasi antar imaji, yang mana
gerak dibubuhkan atau ditambahkan; gerak sebaliknya memiliki intermediasi
imaji sebagai imediasi yang terberi. Itu mungkin dikatakan bahwa posisi dari
persepsi alami adalah sama. Tapi di situ terdapat ilusi yang telah dikoreksi ‘di
atas’ persepsi oleh kondisi yang membuat persepsi mungkin dalam subjek.
Dalam sinema, bagaimanapun gerak telah dikoreksi pada saat yang sama sebagai
imaji yang mengemuka kepada penonton tanpa persyaratan (dalam hal ini,
sebagaimana yang kita lihat, fenomenologi adalah benar dalam mengasumsikan
bahwa persepsi alami dan persepsi sinematografis secara kualitatif berbeda).
Singkatnya, sinema tidak memberi kita imaji di mana gerak ditambahkan, sinema
secara langsung memberi kita imaji-gerak.

Berdasarkan kutipan di atas, dua elemen yang membentuk sinema bisa

dijabarkan sebagai berikut. Pertama, fotogram-fotogram atau bagian-bagian tidak

bergerak. Kedua, gerak itu sendiri. Dalam sinema, bagian-bagian tidak bergerak

dan gerak itu sendiri berelasi secara komplementer atau saling melengkapi.

Artinya, bagian-bagian tidak bergerak tidak akan disebut sinema ketika gerak itu

sendiri tidak inheren di dalamnya, demikian sebaliknya. Pola relasi tersebut

kemudian mendasari penolakan Deleuze atas anggapan bahwa sinema memberi

imaji di mana gerak kemudian dilampirkan. Sinema menurut Deleuze pada

dasarnya langsung memberi imaji-gerak.

Menyimpulkan jawaban atas pertanyaaan apa itu sinema menurut Deleuze,

penulis akan menjawab bahwa sinema menurut Deleuze pada dasarnya adalah

imaji. Imaji dalam konteks lain telah dikemukakan Deleuze dalam kajian Deleuze

tentang filsafat Nietzche, yakni tentang imaji pemikiran. Namun beberapa tahun

kemudian ketika Deleuze mencermati sinema, imaji pemikiran dimodifikasi

Deleuze untuk membaca sinema. Deleuze menyebutnya imaji-gerak dan imaji-

waktu. Konsepsi Deleuze tentang imaji-gerak dan imaji-waktu dengan demikian

74
terhubung secara langsung dengan keberadaan imaji pemikiran. Dalam konstelasi

tersebut, relasi antara filsafat dan sinema tepat jika dimulai dari relasi antara imaji

dan pemikiran, antara imaji tentang konsep dan konsep tentang imaji.

75
BAB IV

RELASI FILSAFAT DAN SINEMA MENURUT GILLES DELEUZE

Pada Bab IV ini penulis akan mengurai jawaban dari rumusan masalah

ketiga, yakni bagaimana relasi filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze?

Jawaban dari rumusan masalah tersebut menjadi inti dari penelitian ini. Penulis

secara elaboratif akan mensintesiskan jawaban dari rumusan masalah pertama,

yakni apa itu filsafat menurut Deleuze? Dan rumusan masalah kedua, yakni apa

itu sinema menurut Deleuze? Penulis secara sistematis akan mengurai jawab

dalam urutan berikut. Pertama, penulis akan mengeksplisitkan penciptaan konsep

sebagai ontologi filsafat Deleuze. Kedua, penulis akan mengeksplisitkan

penciptaan imaji sebagai ontologi sinema Deleuze. Ketiga, penulis akan

memaparkan relasi filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze.

A. Penciptaan Konsep sebagai Ontologi Filsafat Deleuze

Deleuze dan Guattari dalam What is Philosophy? menangkap apa yang

mendefinisikan pemikiran dalam tiga bentuknya yang besar selalu berhadapan

dengan chaos. Dihadapan chaos, filsafat hanyalah salah satu bentuk pemikiran.

Dua bentuk pemikiran lain adalah sains dan seni. Deleuze mengatakan bahwa

filsafat, sains dan seni memiliki cara kerja dan tataran yang spesifik. Deleuze

memaparkan sebagai berikut:

...filsafat berkeinginan untuk menyelamatkan yang tidak terbatas dengan


memberinya konsistensi: filsafat merancang tataran imanensi... ...melalui aksi
persona-persona konseptual... …membawa konsep-konsep yang konsisten ke
ketidakterbatasan. Sains... melepaskan yang tidak terbatas dalam rangka
memperoleh referensi: sains merancang tataran koordinat yang tidak terdefinisi

76
setiap waktu oleh aksi pengamat parsial, sains mendefinisikan berbagai kondisi
urusan, fungsi atau proposisi referensial... ...Seni berkeinginan menciptakan yang
terbatas yang bisa memulihkan kembali yang tidak terbatas: seni merancang
tataran komposisi... melalui aksi imaji-imaji estetis, seni melahirkan monumen
atau sensasi komposisi (Deleuze-Guattari, 2004: 266).

Separasi filsafat, sains dan seni dipertemukan oleh satu kesamaan, yakni

filsafat, sains dan seni sama-sama sebagai aktivitas berpikir. Aktivitas berpikir

tersebut dijalankan melalui konsep oleh filsafat, fungsi oleh sains dan sensasi oleh

seni. Bagi Deleuze tidak satu pun di antara tiga bentuk pemikiran tersebut yang

lebih baik atau lebih buruk. Deleuze dalam hal ini memaparkan argumentasinya.

Ketiga pemikiran yang berlangsung melalui konsep atau fungsi atau sensasi itu
saling bersinggungan dan berjalin-kelindan, namun tanpa sintesis atau
identifikasi. Dengan konsepnya, filsafat memunculkan peristiwa-peristiwa. Seni
mendirikan monumen-monumen dengan sensasi-sensasinya. Sains
mengkonstruksi berbagai kondisi urusan dengan fungsi-fungsinya. Berbagai
jaringan korespondensi dapat dibangun di antara tataran-tataran tersebut. Tapi
jaringan tersebut memiliki titik-titik puncaknya, di mana sensasi itu sendiri
menjadi sensasi konsep atau fungsi... ...konsep menjadi konsep fungsi atau
sensasi... ...fungsi menjadi fungsi sensasi atau konsep (Deleuze-Guattari, 2004:
267).

Deleuze menyebut relasi semacam itu sebagai heterogenitas pemikiran, artinya

pemikiran dengan asal-usul heterogen atau jamak. Jadi tidak ada satupun elemen

pemikiran yang bisa tampil sendirian. Setiap elemen selalu tampil dengan elemen

lain. Sebagaimana tataran tempat elemen itu diciptakan juga mengandaikan

tataran lainnya, misalnya, tataran imanensi filsafat untuk merajut konsep tentu

mengandaikan tataran komposit seni untuk mengkonstruksi sensasi konsep. Hal

ini berlaku sebaliknya, yakni tataran komposit seni untuk membentuk sensasi

mengandaikan tataran imanensi filsafat.

77
Meskipun demikian antara seni dan filsafat hendaknya tidak dipikirkan

sebagai menyerupai sintesis antara sains dan filsafat, merujuk ke seni atau sintesis

antara sains dan seni, merujuk ke filsafat. Sebab ketiganya bersifat spesifik,

masing-masing sama-sama tidak terperantarai. Ketiganya inheren satu sama lain.

Satu yang membedakan ketiga bentuk pemikiran tersebut adalah sifat dasar

tatarannya dan entitas yang menempatinya. Tataran filsafat adalah tataran

imanensi, sedangkan apa yang disebut konsep adalah entitas spesifik yang

menempatinya. Tataran seni adalah tataran komposit, sedangkan apa yang disebut

sensasi adalah entitas spesifik yang menempatinya. Tataran sains adalah tataran

fungtif, sedangkan apa yang disebut fungsi adalah entitas spesifik menempatinya.

Ketiganya memiliki entitas yang khas, dan entitas yang khas itu beroperasi dengan

dan dalam tataran yang juga spesifik.

Penulis telah mennyinggung pandangan Deleuze tentang seni. Deleuze

mengatakan bahwa seni itu mengawetkan dan seni adalah satu-satunya yang

terawetkan di dunia ini. Seni mengawetkan dan terawetkan dalam dirinya sendiri

walaupun secara aktual seni tidak lebih lama bertahan dari penyokong dan

berbagai material-material seperti batu, kanvas, zat pewarna, dan sebagainya

(Deleuze-Guattari, 2004: 227). Deleuze merujuk pada lukisan Monalisa Leonardo

Da Vinci: senyuman gadis muda yang memelihara pose dan senyumnya selama

ribuan tahun. Lukisan Monalisa tidak tergantung lagi dengan pelukisnya, yakni

Da Vinci. Lukisan Monalisa tidak tergantung lagi dengan modelnya, yakni

Monalisa sebenarnya. Jadi di situ tegasnya apa yang sebenarnya terawetkan

78
adalah kumpulan sensasi-sensasi yang terbentuk melalui perpaduan sejumlah

persep dan afek (Deleuze-Guattari, 2004: 288).

Namun perlu diketahui bahwa Deleuze membedakan persep dengan

persepsi dan afek dengan afeksi. Menurut Deleuze persep independen dari

persepsi manusia, demikian juga dengan afek yang bukanlah afeksi atau tindakan

merasai. Afek melampaui kekuatan afeksi manusia (Deleuze-Guattari, 2004: 228).

Deleuze dengan demikian, memposisikan persep dan afek sebagai sumber daya

yang menjadi prasyarat terjadinya persepsi dan afeksi. Persep dan afek adalah

aspek objektif dari persepsi dan afeksi, sedangkan persepsi dan afeksi adalah

aspek subjektif yang mengemuka ketika persep dan afek terkonfirmasi.

Deleuze mengandaikan bahwa adanya sensasi—yang dirajut melalui

sejumlah persep dan afek—tidak perlu mengandaikan kehadiran manusia, dengan

kata lain yaitu ada dalam ketidakhadiran manusia, sebab manusia sendiri ketika

tertangkap dalam batu sebagai patung, pada kanvas sebagai lukisan atau dalam

kata-kata sebagai puisi merupakan perpaduan berbagai afek dan persep. Deleuze

menyimpulkan bahwa “karya seni merupakan suatu wujud sensasi dan bukan

yang lainnya: seni eksis dalam dirinya sendiri” (Deleuze-Guattari, 2004: 288).

Lebih lanjut, Deleuze menulis:

Kita melukis, memahat, membuat komposisi, dan menulis dengan sensasi-


sensasi... Sebagaimana persep, sensasi bukanlah persepsi yang mengacu pada
sebuah objek (refrensi): jika mereka menyerupai sesuatu, itu terjadi dengan
dengan suatu keserupaan yang dihasilkan melalui metode mereka sendiri; dan
senyuman di atas kanvas semata-mata terbentuk dari berbagai warna, garis,
bayangan dan cahaya. Kalau keserupaan sering membayangi karya seni, hal itu
karena sensasi hanya mengacu pada material-materialnya: karya seni adalah
persep atau afek dari material itu sendiri, senyuman minyak, sikap tubuh tanah
liat yang dibakar, sergapan logam, rundukan batu Romanesqi, dan pendakian
batu Gothic. Bahan material tersebut begitu beragam dalam tiap-tiap kasusnya

79
(topangan kanvas, kuas lukis ataupun hal yang sebanding, warna dalam tube)
sampai-sampai sulit untuk mengatakan di mana, dalam kenyataannya, material
berakhir dan sensasi dimulai; persiapan kanvas, lintasan bulu-bulu kuas, dan
banyak hal tambahan lainnya secara jelas merupakan bagian dari sensasi
(Deleuze-Guattari, 2004: 230).

Dengan sarana-sarana material, seni bertujuan untuk merebut persep dari sejumlah

persepsi akan objek-objek dan sejumlah keadaan subjek yang mempersepsi untuk

merebut afek dari sejumlah afeksi sebagai transisi dari satu keadaan lainnya dan

untuk mengekstraksi suatu blok sensasi-sensasi. Sensasi ini adalah wujud murni

dari seni yang dengannya sebuah seni mungkin dikonstruksi. Jadi penulis bisa

simpulkan bahwa struktur dasar dari seni adalah sensasi. Ada dari seni adalah

sensasi.

Jika blok sensasi-sensasi terbentuk dari sejumlah afek dan persep. Lalu

apa jelasnya afek dan persep itu? “Afek persisnya merupakan berbagai

kemenjadian non-human dari manusia, sebagaimana halnya persep termasuk kota

tadi merupakan landskap non-human dari alam” (Deleuze-Guattari, 2004: 234).

Bagi Deleuze, seniman itu sendiri adalah seorang yang melihat, seorang yang

menjadi (Deleuze-Guattari, 2004: 236). Sebagai seorang yang melihat, seniman

telah melihat sesuatu yang terlalu besar dalam kehidupan, juga demikian tidaak

tertahankan, dan kehidupan yang melingkupi secara timbal-balik dengan apa yang

mengancamnya. Dalam hal ini, seniman mirip dengan para filsuf. “Mereka sama-

sama melihat sesuatu yang terlalu berlebihan bagi seseorang dalam kehidupan,

juga terlalu berlebihan bagi diri mereka sendiri (Deleuze-Guattari, 2004: 238),”

demikian ungkap Deleuze-Guattari.

80
Deleuze menyebut bahwa satu-satunya relasi atau yang menghubungkan

sinema dan filsafat adalah relasi antara imaji dan konsep. Dalam konteks ini, jika

penulis merujuk pada kajian Michael Hardt tentang filsafat Deleuze yang tertuang

dalam An Apprenticeship in Philosophy Gilles Deleuze. Hardt menggariskan

ontologi Deleuze sebagai yang identik dengan konsepsi Deleuze tentang

perbedaan dan keunikan. Deleuze mengambil inspirasi dari Bergson dan Spinoza.

Dua filsuf yang bediri di luar garis Hegel dan Heidegger. Pertama, Deleuze

meluaskan konsepsi Bergson tentang perbedaan. Kedua, Deleuze meluaskan

konsepsi Spinoza keunikan.

Bergson mendifiniskan perbedaan di atas segala prinsip gerak positif atas

ada, yakni prinsip temporal atas artikulasi dan diferensiasi ontologis. Di situ

Bergson tidak berbicara apa itu ada, tapi bagaimana ada itu bergerak. Pada untaian

itu, dengan demikian, konsep perbedaan Bergson harus dibedakan dari konsep

perbedaan Hegelian, karena dalam konteks yang sama, pemahaman Hegel tentang

ada yang bergerak bertumpu pada negativitas.

Negativitas itu kemudian mendorong Hegel pada sebuah konsepsi abstrak

tentang kausalitas. Abstrak dalam pengertian gerak negatif atas kontradiksi posisi

sebuah sebab yang secara absolut eksternal pada dampak/akibatnya. Melalui

Bergson, Deleuze memperlawankan pemikirannya. Deleuze mengkalim bahwa

“terlalu menyederhanakan pengertian untuk menangkap nuansa yang menandai

perbedaan-perbedaan real” (Hardt, 2002: 113). Dengan demikian, perbedaan ada

itu sendiri bersifat internal dengan halnya. Logika sebab selalu inheren dengan

akibatnya. Dalam kerangka ini gerak ontologis dengan demikian adalah bebas dari

81
tiap permainan negasi dan sebaliknya mengafirmasi yang positif secara absolut

sebagai sebuah diferensiasi internal.

Selanjutnya dalam konteks singularitas Spinoza, positivitas ada

dikarakterisasi oleh singularitas ada dan ekspresi univokalnya. Artinya, Spinoza

tidak mendefinisikan ada dari perbedaannya atas yang lain, dari semacam non-

ada, sebagaimana dalam negativitas Hegelian, tapi lebih tepatnya oleh sebuah

fakta bahwa ada adalah berbeda dalam dirinya sendiri. Hal ini oleh Deleuze telah

disinggung dalam Expresionism in Philosophy: Spinoza. Deleuze menulis:

“pemisahan dari tiap distingsi numerik, distingsi real yang dilaksanakan ke dalam

yang absolut. Distingsi ada dan keberadaan mengimplikasikan sebuah

kemampuan untuk mengekspresikan sebuah perbedaan dalam ada dan

konsekuensi yang dibawanya tentang penstrukturan ulang atas distingsi-distingsi

yang lain” (dalam Hardt, 2002: 113).

“Ada” Spinozian adalah luar biasa. “Ada” Spinoza adalah perbedaan tanpa

acuan eksternal. “Ada” Spinoza adalah singular. Dalam konteks Spinozian, yang

singular dan univokal mengekspresikan “Ada” sebagai kemungkinan tertinggi

afirmasi. Dua titik tolak ini kemudian meneguhkan konsepsi Deleuzian atas

ontologi bisa disimpulkan berbeda secara radikal dengan konsepsi ontologi

Hegelian dan Heidegerrian. Hardt secara eksplisit menangkap dan menyatakan

bahwa ontologi Deleuze bercorak positif dan materialis. Ontologi Deleuze adalah

ontologi materialis yang mengafirmasi positivitas ada secara aktual. Ontologi

materialis Deleuze berlawanan dengan ontologi idealis yang bertumpu pada

negasi.

82
Ini sebetulnya tidak berbeda dengan pendekatan Deleuze pada sinema.

Baginya sinema, khususnya sinema dari sutradara besar seperti Welles,

Hitchcock, Resnais, juga mampu menyatakan perbedaan dan singularitasnya.

Beberapa sutradara tersebut juga layak disandingkan dengan beberapa filsuf besar.

Ini dalam konteks Cinema 1 dan 2, memungkinkan Deleuze mengajukan dua

konsepsi umum, yaitu imaji-gerak dan imaji-waktu. Deleuze mengelaborasi

keduanya dari Bergson. Penjelasan atas itu telah penulis singgung dalam Bab

sebelumnya. Selanjutnya penulis akan masuk pada penjelasan ranah ontologis

relasi sinema dan filsafat.

Telah jamak diketahui bahwa Thales telah menindaklanjuti keingintahuan

untuk mencari dan menetapkan prinsip pertama dari kosmos, yakni: Air.

Usahanya itu membuatnya dijuluki sebagai filosof pertama. Begitupun dalam

sejarah sinema, ketika Lumiere bersaudara berhasil mendemonstrasikan

perangkatnya: cinematograph. Saat itu juga pengunjung Grand Café Paris telah

menyaksikan sejarah resmi kelahiran sinema.

Lalu dalam konteks penelitian, pertanyaannya adalah bagaimana Deleuze

mendapatkan sebuah pengetahuan tentang filsafat dan sinema dalam relasi

tertentu? Untuk menjawabnya prnulid perlu merujuk Bab III dalam Cinema 1,

yakni ketika Deleuze memilah empat jenis montase yang mengemuka dalam

empat tradisi sinema yang berbeda, yaitu Uni Soviet, Amerika Serikat, Prancis,

Jerman. Deleuze secara spesifik merujuk pada beberapa nama sutradara,

diantaranya: S. Eisenstein, D.W. Griffith, Abel Gance, F.W. Murnau. Beberapa

figur filsuf kemudian dikonfrontasikan yang diantaranya adalah Karl Marx

83
(dialektika materialis), Rene Descartes (logika geometris), Imannuel Kant

(Kritisisme). Melalui potongan antara imaji sebagai dasar sinema dan konsep

sebagai dasar filsafat, Deleuze merengkuh relasi sinema dan filsafat.

...no models are specific to one discipline or one field of knowledge. What
interests me is resonances, given each field with its own rhythms and history, and
the dislocation between developments and transformations in different fields. At
a particular point philosophy, for example, transformed the relations between
motion and time; cinema may have been doing the same thing, but in a different
context, along different lines. So there's a resonance between decisive events in
the histories of the two fields, although the events are very dissimilar.Cinema is
one type of image. Between different types of aesthetic image, scientific
functions, and philosophical concepts, there are currents of mutual exchange,
with no overall primacy of any one field. In Bresson you get disconnected spaces
with tactile continuities, in Resnais you get probabilistic and topological spaces,
which correspond to spaces in physics and mathematics, but which cinema
constructs in its own way ( Je t'aime, Jet'aime). The relation between cinema and
philosophy is that between image and concept. But there's a relation to the image
within the concept itself, and a relation to the concept within the image: cinema,
for example, has always been trying to construct an image of thought, of the
mechanisms of thought. And this doesn't make it abstract, quite the reverse.
(Deleuze, 1995: 64-65).

Artinya:
...tidak ada satu model yang khusus untuk satu disiplin atau satu bidang
pengetahuan. Yang menarik menurut saya adalah resonansi, yang memberi ritme
dan sejarah sendiri bagi tiap bidang, dan dislokasi antara perkembangan dan
transformasi di bidang yang berbeda. Pada titik tertentu, filsafat, misalnya,
mentransformasikan hubungan-hubungan antara gerak dan waktu; yang mungkin
telah dilakukan oleh sinema, tapi dalam konteks yang berbeda, juga dengan
bentuk yang berbeda. Maka ada resonansi antara peristiwa-peristiwa penting
dalam sejarah dua hal, meski peristiiwa-peristiwa sangat berbeda. Sinema adalah
satu jenis imaji. Di antara jenis-jenis imaji estetik yang berbeda, fungsi-fungsi
ilmiah, dan konsep-konsep filosofis, ada arus saling tukar, tanpa ada bidang yang
lebih unggul dari bidang yang lain. Dalam karya Bresson, anda dapatkan ruang-
ruang terpisah dengan kesinambungan faktual, dalam karya Resnais anda
temukan ruang-ruang probabilitas dan topologi, yang berhubungan dengan ruang-
ruang dalam fisika dan matematika, tapi dibangun dengan caranya sendiri oleh
sinema (Je t’aime, Je t’aime). Relasi antara sinema dan filsafat adalah relasi
antara imaji dan konsep. Tapi ada hubungan dengan imaji dalam konsep itu
sendiri, dan hubungan dengan konsep dalam imaji: sinema, misalnya, selalu
berusaha untuk mengkonstruksikan imaji pemikiran, mekanisme pemikiran. Dan
hal ini tidak lantas membuatnya jadi abstrak, justru sebaliknya.

84
Bagi Deleuze setiap bidang berelasi dengan cara beresonansi. Dalam resonansi

tersebut antara satu bidang dan bidang lain tidak ada yang lebih unggul dan lebih

rendah, baik filsafat atau sinema secara terbatas; atau antara filsafat, sains dan seni

secara lebih luas, karena masing-masing bidang secara umum telah mampu

mengkonstruksi ranah dan menciptakan dasar keberadaannya secara berbeda-

beda. Pada petikan di atas, seperti yang jelas tertulis bahwa relasi antara filsafat

dan sinema adalah relasi antara konsep dan imaji.

Keduanya berelasi secara resiprok: sinema selalu berusaha

mengkonstruksi imaji konseptual atau mekanisme pemikiran sinematik tertentu.

Itu seperti yang telah dijelaskan ketika Deleuze mengacu pada imaji konseptual

yang dibangun Bresson dan Resnais dalam film-filmnya. Di sisi lain, filsafat

selalu berusaha mengkonstruksi konsep imaji atau mekanisme pemikiran tertentu.

Deleuze kemudian mengkonstruksi konsep tentang imaji-gerak dan imaji-waktu

sebagai dua jenis imaji yang diproduksi sinema.

B. Penciptaan Imaji sebagai Ontologi Sinema Deleuze

Deleuze menciptakan secara spesifik suatu sistem pemikiran terbuka

tentang apa dan bagaimana sinema bekerja. Deleuze mendeskripsikan kesadaran

sinematografis sebagai tipe baru dari filsafat (Colman, 2011: 1). Dengan cara

menghubungkan, mengapkir dan memperluas kanon-kanon sejarah a la Eropa

tentang filsafat klasik dan modern, juga teori film abad 20, Deleuze mengeksekusi

proyek filsafat dan sinemanya sendiri.

85
Deleuze merajut kompleksitas relasi perseptual filsafat atas imaji, persepsi

dan konsep-konsep politis yang dinamakan atau dirajut oleh Aristotoles, Plato,

Kant, Hegel, Heidegger. Deleuze juga menyertakan filsuf yang membelot dari

filsafat arus utama seperti: Spinoza, Nietzsche, Bergson. Deleuze menginvestigasi

semua nama itu di dalam sinema yang diperlakukan sebagai filsafat dalam

persangkutannya dalam sebuah penyelidikan ontologis (Colman, 2011: 2).

Jadi walaupun banyak istilah teknis tentang sinema, Deleuze tidak

memperlakukan sinema dalam perannya sebagai seorang teknisi. Walaupun juga

banyak kanon historis dan teoritis tentang sinema, Deleuze juga tidak

memperlakukan sinema dalam perannya sebagai ahli sejarah sinema ataupun

teorisi sinema. Jika demikian, sebagai siapa Deleuze memerankan dirinya?

Singkatnya, Deleuze memerankan diri sebagai ahli filsafat sekaligus filsuf yang

mengapresiasi sinema secara intensif.

Jika beberapa nama di atas, mungkin lebih berlaku sebagai kerangka

baca/teori, beberapa teorisi film dan pembuat film praktisnya ditempatkan

Deleuze sebagai objek observasi. Nama-nama yang dimaksud di antaranya, untuk

teorisi film: Andre Bazin, Jean Epstein, Lotte Eisner, Jean Mitry, Jean Louis

Schefer, Cristian Metz, Noer Burch dan Pier Paolo Passolini. Untuk pembuat film

diantaranya: F.W. Murnau, Sergei Eisenstein, Dziga Vertov, D.W. Griffiths, Rene

Clair, Alain Resnais, Glauba Rocha, Orsson Welles, Wim Wenders dan Jean

Vigo. Yang mana darinya, Deleuze merengkuh sebentuk ontologi sinematik yang

terjalin dalam karya-karya meraka. Selain itu, ada sebutan spesifik bagi sutradara

yang melalui sinema membentuk sebuah filsafat sinema. Deleuze menyebutnya

86
sebagai auteurist directors, atau sutradara yang menuliskan atau

mengeksplanasikan pemikirannya melalui sinema. Nama-nama itu meliputi: Luis

Bunuel, Alfred Hitchcock, Fritz Lang, Jean-Luc Godard, Robert Bresson, Alain

Resnais, Werner Herzog. Objek observasi tersebut masih bisa diperpanjang lagi

dengan menyertakan beberapa aktor kanon seperti Charlie Chaplin, Ava Gardner,

Maria Falconetti, Greata Garbo, Stanley Baker, Alain Delon, Klaus Kinski,

Chantal Akerman dan Jerry Lewis (Colman, 2011: 2).

Sejumlah nama tersebut Deleuze tempatkan sebagai sasaran atas praktik

filsafatnya. Ini sebagaimana yang kemudian dinyatakannya dalam What is

Philosophy? Bahwa tugas filsafat dari dulu hingga kini tak pernah berubah, yaitu

filsafat adalah seni membentuk, menemukan dan merajut konsep-konsep

(Deleuze-Guattari, 2004: 48). Namun dalam konteks sinema, persisnya teori

sinema, Deleuze melihat bahwa teori sinema pada abad 20, ternyata tidaak pernuh

dibentuk dari sinema itu sendiri. Ini sebagaimana yang secara jelas Deleuze tulis

dalam bagian pamungkas dari Cinema 2:

A theory of cinema is not ‘about’ cinema, but about cinema, but about the
concepts that cinema gives rise to and which are themeselves related to other
concepts corresponding to other practices, the practice of concepts in general
having no privilege over others, any more than one object has over others. It is at
the level of the interference of many practices that things happen, beings, images,
concepts, all the kinds of events. The theory of cinema does not bear on the
cinema, but on the concepts of the cinema, which are no less practical, effective
or existent than cinema itself. The great cinema authors are like the great painters
or great musicians: it is they who talk best about what they do. But, in talking
they become something else, they become philosophers or theoreticans—even
Hawks who wanted no theories, even Godard when he pretends to distrust them.
Cinema’s concepts are not given in cinema. And yet they are cinema’s concepts,
not theories about cinema. So that there is always a time, midday-midnight, when
we must no longer ask ourselves, ‘What is cinema?’ but What is Philosophy?’
Cinema itself is a new practice of images and signs, whose theory philosophy
must produce as conceptual practice. For no technical determination, whether

87
applied (psychoanalysis, linguistics) or reflexive, is sufficient to constitute the
concepts of cinema itself (Deleuze, 2005: 268).

Artinya:
Sebuah teori sinema bukanlah ‘tentang’ sinema, tapi tentang konsep-konsep yang
diberikan sinema yang mengemuka pada dan adanya itu sendiri berelasi pada
pada konsep-konsep lain yang berkorespondensi pada praktik-praktik lain,
sebuah praktik atas konsep-konsep secara umum tidak memiliki keistimewaan di
atas yang lain, tiap lebih dari satu objek di atas yang lain. Ia ada pada tingkat atas
campur tangan banyak praktik-praktik hal yang terjadi, ada, imaji, konsep, segala
jenis peristiwa. Sebuah teori sinema tidaklah memikul sebuah sinema, tapi atas
konsep-konsep sinema, yang adalah tidak kurang praktis, efektif atau ada
ketimbang sinema itu sendiri. Beberapa author besar sinema seperti pelukis-
pelukis besar atau musisi-musisi besar: ialah mereka yang berbicara baik tentang
apa yang mereka kerjakan. Tapi dalam berbicara, meraka menjadi sesuatu yang
lain, mereka menjadi filsuf atau teorisi—bahkan Hawks yang tidak mencari teori-
teori, bahkan Godard ketika ia berpura-pura untuk tidak mempercayainya.
Konsep-konsep sinema adalah tidak terberi dalam sinema. Dan waktu mereka
berlalu, tengah hari-tengah malam, ketika kita seharusnya tidak lagi
membicarakan diri kita sendiri, ‘apa itu sinema?’ tapi ‘apa itu filsafat?’ sinema
itu sendiri adalah sebuah praktik baru atas imaji dan tanda, yang teori filsafat
harus memproduksinya sebagai praktik konseptual. Padanya bukan determinasi
teknis, baik yang diaplikasikan (psikoanalisis, lingusitik) atau direfleksikan,
adalah cukup untuk mengkonstitusikan sebuah konsep dari sinema itu sendiri.

Dapat dikatakan bahwa Deleuze sedang berfilsafat dengan sinema.

Deleuze mengahadapi sinema. Deleuze menyelami sinema dengan teori filsafat.

Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa sinema merupakan medium mampu

menunjukkan konstitusi imanen atas ikhwal seperti idea, konten dan imaji-imaji,

sebagaimana oposisinya atas yang transenden sebagai konstitusi atas ada yang

buram, misterius dan sublim. Beberapa konsep yang sebelumnya telah dikerjakan

Deleuze kemudian dikonfrontasikan ulang terhadap sinema, misalnya konsepsinya

soal perbedaan yang tertuang dalam Difference and Repetition dan bentuk logis

dari makna yang tertuang dalam Logic of Sense. Deleuze mengangkat keberadaan

dimensi ke empat dan problem filsafat Plato tentang bentuk real (Colman, 2011:

17).

88
Apa yang dimaksud dengan dimensi ke-empat di situ adalah waktu,

sedangkan dimensi pertama, kedua, ketiga; secara berurutan adalah panjang, lebar

dan kedalaman. Ini menyangkut ruang atau aspek spasial. Dari sini kemudian

diketahui bahwa gerak dan waktu kerap dipikirkan dengan cara disubordinasikan

oleh ruang yang melingkupinya. Artinya, tanpa mengandaikan ruang terlebih

dahulu, gerak dan waktu mustahil dipikirkan. Di sinilah kehadiran sinema

mematahkan asumsi itu, sebab gerak dan waktu dalam sinema, maksudnya: imaji-

gerak dan imaji-waktu, memungkinkan dua entitas tersebut untuk menyempal dari

subordinasi ruang. “Time is out of joint”, demikian Deleuze (2005: xi) mengutip

kata-kata Hamlet dalam pengantarnya untuk Cinema 2.

Tentang bentuk real Platonian, maksudnya adalah soal aktualitas dunia ini

yang tidak diakui sebagai yang real, sebagaimana diketahui bahwa Plato lebih

menaruh simpati dan esensialisasi atas dunia sana atau dunia idea yang lebih

superior, real dan esensial, dan akhirnya juga lebih layak menjadi tujuan utama,

baik secara logis ataupun etis. Pada konteks ini Deleuze melayangkan kritk pada

Plato, khususnya tentang afirmasinya terhadap transendensi idea menuju dunia

sana, namun menegasi imanensi dunia ini. Sebagaimana yang telah disinggung

sebelumnya, bagi Deleuze sebuah imanensi murni adalah kehidupan ini. Jelasnya

pada kehidupan inilah Deleuze juga meletakkan sebuah afirmasinya atas

presentasi murni dalam oposisinya atas filsafat representasi a la “Aku berpikir

maka aku ada”-nya Descartes. Dalam filsafat Descartes sebuah keberadaan diakui

sebagai ada dengan mensyaratkan lebih dahulu sebuah aku yang berpikir.

89
Deleuze juga menyertakan kajiannya tentang Bergson, yakni soal materi

bergerak dan kreasi yang menciptakan perbedaan internal pada keseluruhan

aspeknya (Colman, 2011: 17). Deleuze menggunakan kerangka Bergsonian.

Deleuze menyinggung ikhwal internalisasi waktu pada setiap ranah. Ini sekilas

mirip dengan salah satu aspek mendasar dalam imperatif kategoris Kantian. Tapi

walaupun demikian, dalam sinema, Deleuze tetap terlihat lebih berkiblat pada

Bergson ketimbang pada Kant. Sebab baginya, bukan waktu yang internal pada

subjek, sebagaimana frase Kant, namun sebagaimana frase Bergson: “subjek

tinggal dalam waktu.” Dalam Cinema 1, Deleuze merengkuh waktu untuk

perincian sebuah aspek krusial dalam membangun sistem atau logika sinemanya

sebagaimana tertuang dalam Bab II Cinema I. Deleuze mengatakan bahwa tubuh

sinematik bercorak sosial, sinema adalah sistem yang hidup (Colman, 2011: 18).

Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa sinema adalah entitas sistemik yang

terus menjadi. Maksudnya, sinema adalah entitas dengan sistem terbuka yang bisa

dikooptasi oleh apapun, termasuk sistem lain seperti politik, filsafat, komedi, fiksi

ilmiah dan lain sebagainya. Keterbukaan ini di sisi lain juga mengandaikan bahwa

sinema bukanlah sistem tertutup. Maka dari itu sinema tak akan berhasil

menjadikan dirinya menjadi sistem tertutup yang terus mengulang klise dan

menyebabkan dirinya hanya berhenti memkonstitusi imaji-imaji statis.

Felicity Colman menyebut metode sinema Deleuze adalah sebuah cine-

dialectic atau gerak-dialektik yang berlaku sebagai sebuah metode untuk

membedakan, menggambarkan dan membandingkan sebuah kesamaan entitas

sinema secara intensif (Colman, 2011: 20). Oleh karena itu, dalam dua manuskrip

90
sinemanya, Deleuze sering mengingatkan tentang sebuah struktur pemikiran dan

struktur imaji; atau semacam relasi antara determinasi dan indeterminasi sebuah

struktur atas situasi dan perilaku karakter-karakter. Ini sebagaimana ketika

Deleuze menggambarkan dalam konsepnya tentang imaji-persepsi; atau sebuah

persepsi a priori bahwa seseorang ada bersama hal-hal dalam dunia yang

cenderung memberikan bentuk pada idea-idea yang dimiliki dari imaji film,

bahkan ketika menentukan bagaimana kemudian sebuah imaji dibentuk.

Melalui sinema manusia mengimajinasikan dunia, bukan sebaliknya. Di

atas layar sinema, tepatnya imaji pemikiran yang terkonstitusikan sebagai materi,

relasi antara otak dan layar adalah identik. Deleuze menyatakan bahwa otak

adalah layar. Deleuze menyatakan:

The brain is unity. The brain is the screen. I don't believe that linguistics and
psychoanalysis offer a great deal to the cinema. On the contrary, the biology of
the brain—molecular biology—does. Thought is molecular. Molecular speeds
make up the slow beings that we are. As Michaux said, "Man is a slow being,
who is only made possible thanks to fantastic speeds." The circuits and linkages
of the brain don't preexist the stimuli, corpuscles, and particles [grains] that trace
them. Cinema isn't theater; rather, it makes bodies out of grains. The linkages are
often paradoxical and on all sides overflow simple associations of images.
Cinema, precisely because it puts the image in motion, or rather endows the
image with self-motion [automouvement], never stops tracing the circuits of the
brain. This characteristic can be manifested either positively or negatively. The
screen, that is to say ourselves, can be the deficient brain of an idiot as easily as a
creative brain (Deleuze dalam Flaxman, ed., 2000: 366).

Artinya:
Otak adalah sebuah kesatuan. Otak adalah layar. Saya tidak percaya bahwa
linguistik dan psikoanalisa menawarkan sesuatu yang besar terhadap sinema.
Sebaliknya, justru biologi otak – molekular biologi – lah yang menawarkan hal
tersebut. Pemikiran adalah molekul. Kecepatan molekul yang membentuk
makhluk lamban seperti kita. Sebagaimana Michaux mengatakan, “Manusia
adalah makhluk lamban, yang hanya akan berterima kasih pada kecepatan-
kecepatan yang fantastis.” Lintasan dan hubungan otak tidak memicu rangsangan
yang sudah ada sebelumnya, corpuscles, dan partikel [kehendak] yang mengikuti
mereka. Sinema bukan teater; malahan, sinema membuat tubuh lepas dari
kehendak. Hubungan-hubungan yang terjalin seringkali paradoksial dan pada

91
semua sisi mengalir asosiasi sederhana dari imaji. Sinema, tepatnya karena ia
meletakkan imaji dalam gerakan, atau cenderung memberikan imaji dalam
gerakannya sendiri [automouvement], tidak pernah berhenti mengikuti jejak
lintasan otak. Karakteristik ini dapat dimanifestasikan baik secara positif maupun
secara negatif. Layar, yang mengatakan pada kita, bisa jadi kekurangan otak dari
orang idiot atau menampilkan otak orang kreatif.

Hal tersebut bisa dibaca sebagai materialisme a la Deleuze. Maksudnya, satu

aspek biologis seperti otak manusia menjadi prasyarat organik bagi mungkinnya

sebuah pemikiran, baik itu pemikiran filsafati ataupun pemikiran sinematik.

Sekarang telah diketahui bahwa dari dan dengan otaklah, gagasan sinema

atau filsafat serumit apapun tetaplah bisa dipahami. Otak adalah pencipta

kemungkinan sekaligus tataran dari berbagai lintasan gerak, termasuk gerak

pemikiran. Pada perkembangan lanjut teori film, biologi otak kemudian

berkembang menjadi sebuah teori film neurosains. Sebuah tradisi teoritik

pemikiran yang berkembang pesat di studi film Inggris-Amerika, maka dari itu

tidak heran jika gagasan dan metodologi Deleuze berkembang di negara-negara

seperti Inggris, Skotlandia, Welles dan negara-negara berbahasa Inggris lain.

Kembali pada soal epistemologi dan metodologi yang secara umum dan

khusus mengemuka pada gestur pemikiran Deleuze. Kerap dipancangkan bahwa

seorang pemikir menjadi subjektivis atau objektivis dalam hal epistemologi atau

dalam hal merengkuh pengetahuan. Dalam konteks Deleuze, pengetahuan yang

hendak direngkuh adalah sinema. Pertama, Deleuze jelas menjadi seorang

objektivis ketika menyatakan bahwa “adalah cukup membentuk sebuah konsep

dari sinema itu sendiri.” Atau sinema sebagai objek yang hendak diketahui,

namun kedua, Deleuze jelas menjadi seorang subjektivis ketika menyatakan

bahwa “sebuah teori sinema harus memproduksi imaji dan tanda dalam sinema

92
sebagai praktik konseptual”. Deleuze sebagai seorang subjek filsafat

menumpukan perajutan konsep sinematografis pada teori filsafat, dengan kata lain

filsafat sebagai objek formal, sebagai kerangka baca. Dalam bias tertentu Deleuze

meyakini filsafat sebagai yang adekuat. Namun, bagaimana Deleuze mengatasi

dualisme ini?

Penulis akan kembali merujuk pada Colman bahwa metode Deleuze

adalah sebentuk gerak-dialektik. Dengan demikian, antara subjek dan objek,

antara Deleuze sebagai filsuf dan sinema sebagai objek filsafatnya, terjalin satu

dialektika. Artinya, tanpa keberadaan sinema terlebih dahulu, Deleuze tidak akan

mampu menyimpulkan bahwa sinema adalah praktik filsafat baru sejak awal abad

20. Kemudian memancangkan tugas filsafat untuk merajutnya sebagai sebuah

praktik konseptual. Sampai sini perlu diletakkan sebuah penekanan dari John

Mullarkey (2009: 179): ‘Deleuze tidak mengaplikasikan filsafat pada sinema, tapi

mengalihlangsungkan dari filsafat menuju sinema dan dari sinema menuju

filsafat.’ Gerak ini kemudian mengemukakan sifat sinematik dari filsafat dan sifat

filosofis dari sinema. Dalam tatarannya masing-masing, seorang filsuf tidak

melulu membutuhkan sinema untuk merajut konsep, demikian sebaliknya,

seorang sineas juga tidak melulu membutuhkan filsafat untuk mengkonstruksi

imaji.

Claire Colebrook menulis bahwa filsafat harus tetap terbuka pada

kehidupan. Sinema bisa jadi, sebagaimana yang dilihat, adalah satu dari peristiwa

penting dari kehidupan modern (Colebrook, 2002: 29 & 53). Sinema seperti

halnya seni dan sastra, menjadi filosofis bukan karena ia membawa gagasan-

93
gagasan atau pesan-pesan atau menawarkan semacam teori tentang dunia. Sinema

menjadi filosofis karena sinema memproduksi kemungkinan baru untuk mata dan

persepsi manusia. Dalam kerangka Deleuzian, sinema menciptakan afek-afek

baru.

C. Relasi Filsafat dan Sinema Menurut Deleuze

Jika menarik kesimpulan atas uraian tersebut dari kategori relasi, yakni

independen dan dependen, eksternal dan internal dalam konteks ontologis,

kemudian objektivis dan subjektivis, materialis dan spiritualis, realis dan idealis

dalam konteks epistemologis. Lalu bagaimana mengekstraksi uraian di muka?

Adakah relasi sinema dan filsafat? Jawabnya: ada. Bagaimana pola relasi

keduanya? Keduanya tidak berelasi dengan cara berkoneksi, tapi sebagaimana

dinyatakan Deleuze: sinema dan filsafat berelasi dengan cara beresonansi.

Artinya, filsafat dan sinema tidak bersentuhan secara aktual, namun secara virtual,

yakni melalui imaji pemikiran. Penulis berpendapat bahwa secara aktual filsafat

dan sinema tidaklah sama. Sinema bekerja dengan imaji-gerak dan imaji-waktu,

sedangkan filsafat bekerja dengan konsep.

Filsafat dan sinema rupanya juga mengkonstruksi dan memiliki tataran

yang spesifik. Sinema dengan imaji-gerak dan imaji-waktu menempati tataran

komposit sebagaimana seni-seni lain, misalnya musik, sastra dan lukisan. Deleuze

menyatakan bahwa semua seni mengekstraksi afek dan persep untuk membentuk

sensasi, sedangkan filsafat dengan konsep mengkonstruksi dan menempati sebuah

tataran imanensi. Deleuze mengidentikan tataran imanensi ini sebagai sebuah

94
kehidupan. Tataran imanensi itu sendiri dipahami Deleuze sebagai tataran absolut

yang tidak memiliki batas.

95
Bab V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini penulis akan mengurai beberapa poin tentang filsafat

menurut Deleuze, sinema menurut Deleuze, relasi filsafat dan sinema menurut

Deleuze.

1. Deleuze memahami filsafat sebagai ontologi dan apa yang diciptakan

filsafat adalah konsep. Dalam hal ini berarti jika Deleuze menetapkan

keberadaan filsafat aktivitas penciptaan konsep, maka Deleuze secara

tidak langsung sedang mengupayakan ontologi tentang konsep.

2. Konsep menurut Deleuze dibentuk melalui peristiwa dan menjadi

peristiwa yang bergejala di atas tataran tertentu. Deleuze menyebut tataran

filsafat adalah tataran imanensi yang tidak lain adalah kehidupan itu

sendiri. Deleuze memahami tataran imanensi atau kehidupan sebagai

tataran absolut yang tidak memiliki batas. Deleuze dengan demikian tidak

percaya bahwa ada hari akhir dalam kehidupan ini.

3. Mengacu pada What is Philosophy? Deleuze mengatakan bahwa filsafat

itu sendiri adalah seni membentuk, menemukan dan merajut konsep-

konsep. Tugas filsafat melalui para filsuf adalah membuat konsep yang

selalu baru. Deleuze menyebut para filsuf sebagai persona konseptual.

Persona konseptual adalah figur potensial yang tahu benar mana konsep

96
yang lemah dan tidak bisa bertahan maupun konsep yang kuat, relevan dan

kontekstual.

4. Untuk sinema, Deleuze memahami sinema sebagai sistem terbuka. Sinema

adalah sistem terbuka yang ditopang oleh gerak dan waktu, namun

demikian, gerak dan waktu dalam sinema adalah representasi tersendiri.

Adapun presentasi sinema, baik dalam periode klasik atau modernnya,

bagi Deleuze selalu hadir bersama dengan imaji. Deleuze menyebut imaji-

gerak dan imaji-waktu. Imaji inilah yang menjadi hakikat sinema, yang

tanpanya sinema tidak akan pernah ada. Kemudian sebagai seni, sinema

sebagaimana seni lain, juga mencoba mengekstrak afek dan persep

menjadi sejumlah sensasi.

5. Menurut Deleuze relasi antara sinema dan filsafat adalah relasi antara

imaji dan konsep. Walaupun demikian secara internal tetap ada hubungan

dengan imaji dalam konsep itu sendiri, dan hubungan konsep dalam imaji:

sinema, misalnya, selalu berusaha untuk mengkonstruksikan imaji

pemikiran, mekanisme pemikiran. Hal ini tidak lantas membuatnya jadi

abstrak, justru sebaliknya. Bagi Deleuze setiap bidang tanpa terkecuali

antara sinema dan filsafat yang berelasi dengan cara beresonansi.

Beresonansi berarti tidak bersentuhan secara aktual, namun secara virtual,

yakni melalui imaji pemikiran. Keduanya berelasi seperti gelombang, di

mana antara satu dan yang lain tak ada yang lebih unggul dan lebih

rendah. Keduanya memiliki potensialitas untuk memberikan warna pada

kehidupan.

97
B. Saran

Kajian tentang filsafat dan sinema relatif baru. Bagi penulis mencari relasi

keduanya adalah satu langkah yang tepat, namun demikian penulis juga mengakui

bahwa ada beberapa hal yang terpaksa dilewati karena batasan penelitian,

misalnya, detail sejarah sinema, teori sinema dan beberapa filsuf lain di luar jalur

Bergson. Penelitian semacam ini masih sangat terbuka untuk dilakukan, sebab,

walaupun Deleuze cukup intensif mengamati fenomena sinematografis di

sepanjang abad ke-20, namun sasarannya masih terlalu kanonik, alias sinema-

sinema yang diakui oleh otoritas tertentu. Kemudian karena Deleuze terlalu fokus

pada aspek-aspek intrinsik sinema, Deleuze jadi mengabaikan aspek material di

luar sinema. Aspek yang penulis maksud adalah aspek industrial. Hal ini

persisnya berkaitan langsung dengan diskursus ekonomi-politik dalam sinema.

Dalam kenihilan ini, membaca sinema dalam konteks lain, misalnya Marxian

adalah sebuah kerja yang layak dicoba, terlebih di Indonesia.

98

Anda mungkin juga menyukai