Suluh Pamuji - Relasi Filsafat Dan Sinema - Sebuah Proyeksi Atas Pemikiran Gilles Deleuze Dalam Cinema 1, Cinema 2 Dan What Is Philosopy PDF
Suluh Pamuji - Relasi Filsafat Dan Sinema - Sebuah Proyeksi Atas Pemikiran Gilles Deleuze Dalam Cinema 1, Cinema 2 Dan What Is Philosopy PDF
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usia filsafat telah ribuan abad. Filsafat telah mengemuka sejak Thales
mengemukakan renungannya tentang hakikat segala sesuatu. Filsafat sejak saat itu
satunya adalah sinema. Sinema mengemuka relatif belum terlalu lama, persisnya
di Grand Café Paris, 28 Desember 1895. Peristiwa itu telah jamak disepakati
teknologi, kemudian seni dan pada konteks tertentu sinema juga diafirmasi
sebagai pemikiran.
teori sinema dalam Matter and Memory (1986). Bergson mewacanakan perlunya
cara pikir baru untuk memahami gerak. Bergson menciptakan konsep ‘imaji-
gerak’ dan ‘imaji-waktu’ yang bisa menjelaskan esensi, cara kerja dan kelebihan
karena imaji lebih mampu menampilkan isi pikiran secara lebih konkret,
tentang cinta relatif lebih konkret ketimbang konsep atau abstraksi tentang cinta.
1
Upaya tersebut pada dasarnya lebih mudah dilakukan sinema via imaji ketimbang
terjadi antara frame yang satu dan frame yang lain. Bergson dengan berdasar atas
sinema sebagai ilustrator terbaik bagi pemikiran jelas bertolak belakang dengan
2
premis kedua Bergson dalam Creative Evolution tentang kapasitas sinema sebagai
Cinema 2: The Time-Image (1985). Lebih lanjut, Deleuze dalam Cinema 1 dan 2
waktu Bergson dalam dua tahap kerja: pertama, kritik terhadap Bergson, kedua,
sinematografis. Hal ini secara implisit bisa disimak dalam pernyataan Deleuze
Artinya:
Temuan Bergsonian tentang ‘imaji-gerak’ dan terlebih lagi ‘imaji-waktu’
telah menyimpan keheningan yang hari ini tampak begitu sempurna.
Meskipun dalam Creative Evolution, Bergson terlalu terburu mengkritik
sinema tanpa perlu menjaga pertemuan antara imaji-gerak sebagai yang
dipertimbangkannya dan imaji sinematografik yang mengemuka
kemudian.
3
Cinema 1 dan Cinema 2 adalah sepasang manuskrip Deleuze yang belum banyak
dikaji di Indonesia, baik oleh penekun filsafat maupun penekun teori sinema.
Skripsi ini di satu sisi hendak memaparkan elaborasi Deleuze dalam manuskrip
tersebut, sembari menelusuri relasi yang terjadi antara filsafat dan sinema. Dalam
konstelasi tersebut, penulis juga akan menempatkan manuskrip Deleuze yang lain,
yang setara dengan Cinema 1 dan Cinema 2 untuk menegaskan relasi ontologis
antara filsafat dan sinema. Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 berbicara
tentang apa itu sinema dan dalam What is Philosophy?, Deleuze bersama Guattari
sinema cenderung dikaji sebagai yang eksternal dari filsafat, artinya sinema lebih
kerap ditempatkan sebagai objek kajian dan filsafat sebagai subjek kajian. Pola
kajian semacam ini mengakibatkan posisi sinema sebagai entitas baru dan modus
pemikiran baru justru jauh dari elaborasi. Filsafat tidak pernah benar-benar
memberikan sesuatu pada sinema, demikian sebaliknya, sinema juga tidak pernah
a. Rumusan Masalah
4
1. Apa itu filsafat menurut Gilles Deleuze?
b. Keaslian Penelitian
Gilles Deleuze sebagai objek formal penelitian, yaitu: Septiani Aulia, Hasrat
skripsi lagi yang tidak menempatkan film sebagai ‘objek material’ penelitian,
tapi menggunakan pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari sebagai objek
tersebut, skripsi ini adalah otentik, karena kendati menggunakan objek formal
objek material penelitian yang secara signifikan berbeda, yakni: filsafat dan
sinema.
5
c. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
terkait wacana sinema dan filsafat secara umum dan pemikiran Deleuze
secara khusus.
2. Bagi akademisi
Prancis pada paruh kedua abad ke-20 yang hingga kini masih memiliki
3. Bagi masyarakat
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab tiga rumusan
Deleuze.
C. Tinjauan Pustaka
6
John Mullarkey dalam Refractions of Reality: Philosophy and the Moving
sesuatu yang megah, yakni realitas itu sendiri. Filsafat dan sinema mampu
secara umum bertumpu pada kata-kata, sinema bertumpu pada medium visual.
Seorang filsuf dan sutradara film pada dasarnya sama-sama berupaya menelusuri
realitas (Mullarkey, 2009: ix). Cynthia Freeland dan Thomas E. Watenberg dalam
Philosophy and Cinema mengurai hubungan filsafat dan film sebagai hubungan
mengemukakan aspek-aspek penting dari film, film juga dapat menantang filsafat
untuk memikirkan film dan problem-problem film secara baru (Freeland et.al.,
1995: 1-2).
Perspectives coba memberikan pengantar umum tentang filsafat sinema dari sudut
menyinggung Deleuze. Deleuze disinggung bersama Jean Epstein, Jean Mitry dan
memang membawa kajian film lebih dekat dengan filsafat. Deleuze dalam
bisa dihadapkan dengan pelukis, arsitek, musisi, tapi juga dengan pemikir” (2005:
xiv; 1983: 7-8). Selain Botz-Bornstein, penulis mencatat beberapa nama yang
7
mengkaji pemikiran Deleuze tentang sinema secara spesifik. Beberapa nama yang
dimaksud adalah D.N. Rodowick (1997), Paola Marrati (2003), Ronald Bogue
1 dan Cinema 2 sebagai upaya tidak sadar Deleuze dalam mendistribusikan ulang
kritik konstruktif atas teori film sebelumnya. Buku Rodowick tersebut, alih-alih
sebagai klarifikasi bahwa Cinema 1 dan Cinema 2 adalah karya filsafat yang
beberapa hal dalam pemikiran Deleuze tentang sinema, misalnya kaitan antara
Cinema 1 dan Cinema 2 Deleuze dengan beberapa teori sinema, posisi filsafat dan
8
mendominasi kajian sinema pada tahun 1980-an di Prancis dan beberapa negara
lain, misalnya Inggris dan Amerika. Pendekatan pertama yang dominan adalah
kedua adalah pendekatan linguistik dan psikoanalitik dari Cristian Metz (Marrati,
2003: 1).
mampu menjelaskan aspek temporal dari sinema, yakni waktu. Realisme Bazin
berangkat dari yang nampak atau aspek empirik dalam sinema, yakni fenomena.
pengetahuan pada subjek. Corak subjektif dari fenomenologi inilah yang justru
diri pada analisis tentang waktu dalam sinema. Deleuze melandaskan analisisnya
dari konsepsi Bergson tentang waktu objektif. Waktu objektif secara konseptual
disebut Bergson sebagai durasi. Perlu diketahui, durasi dalam konteks Bergson
tidak cukup dipahami sebagai lamanya waktu. Durasi dalam konteks Bergson
9
Penolakan Deleuze atas pendekatan linguistik dan psikoanalitik Metzian
pemahaman objektif tentang sinema. Dalam hal ini, Marrati (2003: 2) mengurai
bahwa proyek Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 adalah upaya ekstraksi atas
esensi sinema. Deleuze menggambarkan apa yang melekat pada sinema secara
khusus dan mengurai singularitas sinema dari imaji-imaji yang diproduksi sinema.
bahwa masalah sentral yang diangkat Deleuze melalui pemilahan imaji-gerak dan
bentuk seni baru, tentu juga membawa masalah baru bagi pengetahuan. Sinema
bekerja dengan gerak semu yang pada mulanya diterima sebagai gerak nyata,
L'arrivée d'un train en gare de La Ciotat (Kedatangan Kereta dari Stasiun Ciotat),
penonton merunduk karena mengira bahwa kereta yang hadir di atas layar akan
meloncat keluar.
10
dan film yang diacu. Bogue menyatakan bahwa paparan Deleuze masih terlalu
Bogue lebih banyak melakukan peninjauan ulang atas beberapa kritikus dan
teorisi film yang disinggung Deleuze, juga argumentasi filosofis yang dibangun
Deleuze tentang sinema (Bogue, 2003: 3). Penulis berpendapat bahwa yang
menarik dari kajian Bogue adalah upayanya untuk menguraikan secara khusus
pengaruh Bergson pada Deleuze. Bogue (2003: 3) sangat menyadari bahwa tanpa
berkonstrasi pada uraian sejumlah konsep kunci Deleuze dalam Cinema 1 dan
secara lebih detail. Colman tidak berhenti di situ, Colman juga coba
bukunya dalam tiga tahap penjelasan. Pertama adalah paparan tentang apa itu
yang dimiliki imaji-gerak (Colman, 2011: 5). Strategi Colman dalam memaparkan
tersendiri. Buku Colman bagi penulis adalah pengantar paling praktis dalam
11
memahami dan mengaplikasikan konsep-konsep Deleuze dalam Cinema 1 dan
Cinema 2. Lebih dari itu, Colman juga berhasil memperluas wilayah aplikasi
Cinema 1 dan Cinema 2 tidak terbatas pada sinema saja, tapi secara umum adalah
media layar yang memiliki kapasitas untuk menghadirkan imaji, suara dan gerak.
kajian Paola Marrati dalam Gilles Deleuze: Cinema and Philosophy. Kendati
demikian perlu dicatat bahwa Marrati memang memfokuskan diri pada gagasan
sinema dan filsafat Deleuze. Lebih dari itu, Marrati juga banyak bertumpu pada
dalam konteks pengeksplisitan status ontologis sinema dan filsafat dari perspektif
Deleuze, namun Marrati melewatkan begitu saja pembahasan tentang relasi antara
D. Landasan Teori
Relasi dalam bahasa Inggris disebut relation, dalam bahasa Latin disebut
relatio, yang artinya ‘hubungan’. Lorens Bagus mendefinisikan relasi dalam tiga
pengertian, yakni pertama, relasi adalah sebuah kaitan yang dimiliki suatu benda
dengan benda-benda lainnya atau suatu ide dengan ide-ide lainnya; kedua, relasi
adalah kualitas yang menjadi predikat dua hal atau lebih yang dapat direngkuh
sekaligus; ketiga, relasi adalah pengaturan dua hal atau lebih (Bagus, 2005: 946).
12
intinya selalu lebih dulu mensyaratkan keberadaan dua entitas, baik itu berupa
benda ataupun ide, yang tanpa prasyarat tersebut relasi tidak akan ada
meja kayu lebih dulu mensyaratkan adanya batang kayu dan tukang kayu. Meja
kayu tidak mungkin ada tanpa didahului oleh relasi antara batang kayu dan tukang
kayu.
Relasi dibagi menjadi dua corak umum, yakni relasi eksternal dan relasi
internal. Pembagian ini muncul dalam diskursus ontologi. Apa yang dimaksud
relasi eksternal adalah relasi antara dua hal atau lebih yang tidak bersifat mutlak
atau tidak secara langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal lainnya,
misalnya relasi antara korek api dengan saku kemeja. Relasi korek api dengan
saku kemeja tidaklah hakiki. Keberadaan korek api tidak berpengaruh secara
langsung pada keberadaan saku kemeja. Korek api tetap menjadi korek api tanpa
harus berada di dalam saku kemjea, demikian sebaliknya, saku kemeja tetap
menjadi saku kemeja tanpa harus ada korek api di dalamnya. Relasi eksternal
dengan demikian adalah relasi yang bercorak relatif terhadap hakikatnya. Adapun
yang dimaksud dengan relasi internal adalah sebuah relasi antara dua hal atau
lebih yang bersifat mutlak atau langsung mempengaruhi hakikat satu hal dan hal
lainnya, misalnya relasi antara jiwa dan tubuh manusia. Relasi keduanya bersifat
hakiki. Keberadaan tubuh manusia berpengaruh secara langsung dengan apa yang
disebut jiwa, sebab tanpa tubuh, jiwa tidak akan memiliki wadah, demikian
sebaliknya, tanpa jiwa, tubuh manusia tidak akan bermakna (Bagus, 2005: 947-
948).
13
Diskursus tentang relasi bermula dari pemikiran Aristoteles, kemudian
dengan cara melihat tingkatan relasi pada beberapa entitas yang berkaitan satu
sebutlah beberpa orang itu adalah Maria, Sam dan Tom. Apa hubungan Maria
yang duduk lebih dekat dengan Sam ketimbang dengan Tom? Bisa jadi antara
Maria dan Sam memiliki derajat hubungan yang lebih intim ketimbang Maria dan
Tom, juga dengan laki-laki lain (Mulligan, 2005: 445). Mulligan menjelaskan
Seorang nominalis memahami struktur relasi sebagai yang tidak dapat diualng
ada satupun relasi yang mencakup segalanya. Berkebalikan dengan seorang anti-
universal, artinya sebuah relasi antara dua entitas tertentu akan berdampak atau
berkait dengan entitas lain (Mulligan, 2005: 446). Seorang nominalis dengan
Louis O. Kattsof mengatakan bahwa dua hal dikatakatan berelasi jika dua
hal tersebut saling berkaitan atau ada koneksi antar keduanya, relasi itu sendiri,
menurut Kattsof adalah banyak macamnya, misalnya relasi dalam ruang, dalam
14
waktu, dalam kualitas, dalam kuantitas, dalam asal-usul keturunan. Secara
epistemologis, relasi dibagi menjadi dua bentuk, yakni relasi dari dalam dan relasi
dari luar (Kattsof, 2004: 56). Hal ini mirip dengan penjelasan penulis tentang
relasi eksternal dan relasi internal, perbedaannya hanya dari segi istilah. Kattsof
menyebut relasi internal sebagai relasi yang bercorak intrinsik dan relasi eksternal
sebagai relasi yang bercorak ekstrinsik. Lebih lanjut, Kattsof (2004: 57)
Dalam filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas, relasi adalah salah satu
Relasi adalah kategori yang bersifat membatasi subjek dalam kaitannya dengan
buruh. Sebagai aksidens, relasi memiliki tiga unsur dasar, yakni: subjek, tujuan
dan dasar (Bagus, 1991: 133). Untuk lebih jelasnya, analogikan saja subjek adalah
bapak, sedangkan apa yang disebut bapak selalu mengacu atau diacukan kepada
yang lain, yakni anak. Apa yang disebut anak tersebut pada dasarnya berdiri
sebagai acuan atau tujuan subjek, sedangkan apa yang menjadi dasar dari relasi
subjek dan tujuan dalam konteks analogi bapak dan anak tersebut adalah kelahiran
Penulis mencatat setidaknya ada tiga jenis relasi, yakni relasi menurut
bentuknya, relasi menurut polanya, relasi menurut sifatnya. Pertama, apa yang
penulis maksud dengan relasi menurut bentuknya adalah relasi real dan relasi
15
ideal. Relasi real adalah relasi yang memang ada dalam kenyataan, misalnya
kebaikan dan keharmonisan dalam keluarga. Relasi ideal adalah relasi yang ada
dalam pikiran semata, misalnya relasi antara manusia dan tuhan yang hanya bisa
Kedua, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut polanya adalah
relasi sepihak dan relasi timbal balik. Relasi sepihak adalah relasi yang searah,
misalnya relasi antara yang mengetahui dan yang diketahui. Apa yang diketahui
dalam konteks relasi sepihak pada dasarnya tidak memberikan tambahan apa-apa
pada yang mengetahui, sebab yang diketahui diposisikan sebagai objek mati.
Relasi timbal balik adalah relasi antara dua hal yang saling mengandaikan,
misalnya seorang baru disebut bapak ketika mempunyai anak. Anak disebut anak
karena mempunyai bapak. Anak ada karena bapak ada (Bagus, 1991: 134-135).
Ketiga, apa yang penulis maksud dengan relasi menurut sifatnya adalah
mental yang mengacu pada ciri fisik tertentu, misalnya sifat kebapakan yang
Relasi transendental adalah relasi yang membentuk subjek itu sendiri, misalnya
relasi antara materi dan bentuk yang mengemuka pada kenyataan. Materi sebagai
transendental, materi dianggap tidak bisa berdiri sendiri sebagai materi, demikian
juga dengan bentuk. Kesatuan antara materi dan bentuk inilah yang menyebabkan
keberadaan entitas seperti meja, komputer dan celana sebagai realitas konkret
16
Archie J. Bahm dalam Metaphysics: An Introduction mengatakan bahwa
relasi melibatkan entitas terkait dalam beberapa persamaan dan perbedaan (Bahm,
1986: 72). Bahm dengan demikian memahami bahwa dua entitas dikatan berelasi
jika memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Hal ini dengan kata lain, jika
sebuah entitas memiliki persamaan total dan perbedaan total dengan entitas lain,
maka entitas tersebut sebagaimana dinyatakan Bahm, justru tidak memiliki relasi
sama sekali dengan entitas lain (Bahm, 1986: 72). Entitas tersebut adalah entitas
yang berdiri sendiri. Entitas dengan ciri yang demikian itu pada kenyataannya
lanjut tentang beberapa kategori relasi, salah satunya adalah antara kesebagian
Deleuze dalam salah satu esainya tentang David Hume memahami relasi
sebagai nilai yang diretas dari sebuah impresi yang terberi untuk sebuah idea yang
tidak terberi, dengan demikian, relasi harus dikreasi. Relasi harus dikreasi menjadi
idea tentang relasi. Deleuze menambahkan bahwa relasi adalah sebuah efek dari
hubungan sebab-akibat yang mendasari alam manusia (Deleuze, 2001: 39; 2004:
sinema dan filsafat adalah relasi antara imaji dan konsep (Deleuze, 1995: 64).
Deleuze dengan demikian melihat bahwa relasi antara imaji dan konsep identik
dengan relasi filsafat dan sinema. Berdasarkan uraian tersebut, landasan teori yang
17
umumnya akan penulis gunakan sebagai pisau analisis adalah teori tentang jenis-
jenis relasi. Teori tersebut akan penulis operasikan dalam konteks pembacaan
E. Metode Penelitian
a. Materi Penelitian
penelitian historis faktual mengenai naskah atau buku’ (1990: 67-71). Penulis
menempatkan tiga buku Gilles Deleuze, yakni Cinema 1, Cinema 2 dan What
primer dan pustaka sekunder. Pustaka primer adalah teks-teks yang ditulis
Deleuze dan berkaitan langsung dengan objek penelitian. Pustaka yang penulis
Paris.
18
b. _____________, 2005, Cinema 2: The Time-Image, trans. Hugh
Paris.
Reinterpretasi atas Filsafat, Sains dan Seni, terj. Muh. Indra Purnama,
York.
York.
19
d. Flaxman, Gregory (ed.), The Brain Is the Screen: Deleuze and The
London.
Albuquerque.
Penulis juga akan menggunakan sumber lain yang tentu saja akan
20
teks-teks umum tentang teori-teori film, sejarah filsafat dan sejarah sinema,
baik itu buku ataupun jurnal, baik dalam wujud cetak atau digital.
b. Jalan Penelitian
1. Inventarisasi
2. Klasifikasi
penelitian.
3. Analisis
penelitian.
c. Analisis Data
1. Interpretasi
21
2. Koherensi intern
3. Holistika
4. Deskripsi
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah mampu memperoleh jawaban
3. Mendapat paparan dan pembuktian yang jelas dan meyakinkan tentang relasi
G. Sistematika Penulisan
22
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan metode
masalah pertama. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran
Deleuze tentang filsafat. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab,
yakni: pertama, paparan tentang biografi dan posisi filsafat Gilles Deleuze; kedua,
ketiga, penjelasan Gilles Deleuze tentang filsuf sebagai persona konseptual dan
masalah kedua. Bagian ini secara umum berisi latar dan gambaran pemikiran
Gilles Deleuze tentang sinema. Bagian ini secara sistematis dibagi dalam empat
teoritik Deleuze; ketiga, Cinema 1 dan Cinema 2 sebagai karya filsafat; keempat,
masalah ketiga. Bagian ini secara umum merupakan sintesis dari Bab II dan III.
Penulis akan mengurai relasi sinema dan filsafat menurut Gilles Deleuze. Bab ini
secara sistematis dibagi dalam tiga sub-bab, yakni: pertama, penciptaan konsep
23
sinema Deleuze; ketiga, kesimpulan tentang relasi filsafat dan sinema menurut
Deleuze.
dua sub-bab berikut: kesimpulan dan saran. Penulis dalam sub-bab kesimpulan
akan mengurai beberapa poin pokok yang menjadi hasil penelitian atau pokok
jawaban dari tiga rumusan masalah. Penulis dalam sub-bab saran akan
memaparkan sedikit evaluasi kritis atas hasil penelitian. Tujuan penulis agar
24
BAB II
Pada Bab ini penulis akan mengurai pandangan Gilles Deleuze tentang
filsafat. Penulis akan mengidentifikasi lebih dulu riwayat, posisi dan kontribusi
perbedaan Deleuze dari filsuf lain. Penulis kemudian akan mengurai definisi
Deleuze tentang filusf sebagai persona konseptual dan filsafat sebagai kreasi
konsep. Penulis pada akhir sub-bab akan mengurai kesimpulan dari dua sub-bab
pertama, posisi dan kontribusi Deleuze; kedua, tentang filsuf, filsafat dan konsep;
menjaga jarak dari guru-gurunya. Deleuze lahir pada 1925. Deleuze belajar
Hegel yang berpengaruh di Prancis selain Alexander Kojeve) (Lechte, 2001: 162).
25
berbeda dari apa yang telah ditempuh guru-gurunya yang banyak mengadopsi
filsafat Hegel. Seperti yang telah penulis uraikan, filsafat Deleuze bercorak
horizontal, bahkan dalam artinya yang sangat radikal. Pemikiran Deleuze bertolak
dari yang imanen (atau yang melekat di sini) dan memahami yang transenden
(atau yang melekat di sana) hanyalah efek dari yang imanen. Hal ini dengan kata
lain, bagi Deleuze yang transenden itu sejatinya melekat pada yang imanen.
sebagai filsuf postrukturalis Prancis yang muncul di era posmodern seperti halnya
Georges Bataille, Emanuel Levinas, Michael Focault dan Jacques Derrida. Penulis
Deleuze turut merumuskan problem instabilitas relasi subjek dan objek yang
mengakar pada diskursus tentang perbedaan. Hal itu bisa dilihat dari pandangan
yang berbeda (different) yang darinya konsep baru akan selalu tercipta (Arifin,
2006: 23). Deleuze menempatkan sejarah filsafat sebagai disiplin yang perlu
dinilai kembali setelah distabilkan oleh para pemikir tradisional (Arifin, 2006:
24). Proses penilaian kembali terhadap sejarah filsafat tersebut berdampak pada
26
multiplisitas nilai, karena sejarah filsafat selalu dihadapkan dengan sebuah kritik
Deleuze dengan demikian telah menjadi sebuah disiplin yang terbuka. Lebih
lanjut, dengan berpijak pada filsafat Nietzsche, Deleuze mendekati relasi subjek-
objek dengan analogi rhizome (Lecthe, 2001: 153 & 162-167). Rhizome adalah
sejenis akar yang tumbuh menjalar. Deleuze meminjam istilah tersebut dari
vertikal adalah pemikiran yang tumbuh seperti pohon, yakni mengarah ke atas.
seperti itu.
sebagai sesuatu yang sukar dipilah dari objek (Aulia, 2011: 29). Akar dari
pandangan ini adalah asumsinya tentang yang ada sebagai yang univokal. Deleuze
memahami filsafat sebagai ontologi. Ada yang Deleuze yakini adalah Ada yang
univokal, atau Ada yang berada dengan cara dan sumber yang sama. Karakter dari
univositas Ada adalah menganggap realitas inheren satu sama lain. Subjek pada
titik tertentu bisa menjadi objek, begitupun sebaliknya, misalnya pelukis Basquiat
adalah subjek seni yang tinggal di Amerika Serikat. Kemenduaan status subjek
subjek yang terus menerus berubah (Aulia, 2011: 30). Subjek skizofrenik adalah
27
subjek berhasrat yang menghuni teritori tertentu, berpindah menuju teritori yang
lain, bahkan pada titik tertentu subjek skizofrenik selalu berusaha mencari jalur-
jalur pelarian dari struktur dan teritori yang menjeratnya. Lebih lanjut, Martin
...ketika pada tahun 60-an hampir semua filsuf (mulai Levinas hingga Derrida)
berbicara tentang “kritik atas metafisika” ataupun ketika para filsuf dengan garis
Heideggerian berbicara tentang “kematian filsafat”, Deleuze justru berupaya
mengkonstruksi ontologi yang baru dan meneruskan kinerja filsafat bahkan
dalam artinya yang paling ketat. Ia bukanlah seorang fenomenolog ataupun
strukturalis, bukan seorang Heideggerian ataupun pengimpor ‘filsafat’ analitik
Anglo-Amerika, bukan pula seorang neohumanis liberal (atau Neo-Kantian).
Lantas di manakah posisi unik tersebut? Posisi yang dimaksud tak pelak lagi
adalah filsafat imanensi (Suryajaya, 2009: 161).
filsafat kritis, meluas pada kritik sastra dan kajian sinema (Lecercle dalam Lechte,
2001: 162). Harus diakui bahwa perjalanan kajian Deleuze berbeda dengan kaum
lain secara kreatif. Gestur filosofis inilah yang membuat Jean Jaques Lecercle
(dalam Lechte, 2001: 162) menyebut Deleuze sebagai ‘orang luar’ dalam milieu
filsafat Prancis. Karya Deleuze kurang disambut di Prancis, tapi nama dan
Inggris.
28
Nama dan filsafat Deleuze semakin matang ketika Deleuze berkolaborasi
dengan Félix Guattari, seorang psikoanalis cum aktivis kiri Prancis. Deleuze dan
memiliki peristiwa awal yang bisa dipastikan, yang biasanya dibentuk oleh trauma
menolak teori hasrat yang bertumpu pada represi dan ketiadaan (Lechte, 2001:
166).
Doctrine of the Faculties (1963), Proust and Signs (1964), Bergsonism (1966),
The Logic of Sense (1969). Karya-karya tersebut krusial untuk diekspose lebih
29
Empiricism and Subjectivism adalah kajian Deleuze tentang pemikiran
David Hume. Deleuze mengurai kontribusi Hume yang esensial dan kreatif dalam
sejarah filsafat. Menurut Deleuze, Hume adalah salah satu filsuf besar, karena
pemikiran Hume dalam tiga poin berikut: pertama, Hume menetapkan sebuah
kedua, Hume memberi ‘asosiasi’ (association) gagasan dalam artinya yang real,
mengkreasi logika agung tentang ‘relasi’ (relation) untuk pertama kalinya. Hume
menunjukan bahwa semua relasi, baik relasi antara materi-materi faktual ataupun
Upaya Hume tersebut kemudian dikenal dengan doktrin tentang relasi eksternal.
yang membawa doktrin tentang relasi internal, yakni identitas non-A selalu
ditentukan dari identitas A, sehingga ketika A tidak ada maka non-A juga tidak
bahwa Nietzsche adalah “seorang filsuf terbesar abad ke-19 yang mengubah teori
30
dan praktik filsafat” (Deleuze, 2002: v-vi; 1983: ix). Deleuze dengan demikian
dan Karl Marx sebagai dua pemikir besar yang juga hidup di abad ke-19. Lebih
lanjut, Deleuze memaparkan analogi Nietzsche tentang pemikir dan anak panah.
oleh alam. Pemikir A akan memungut anak panah tersebut ketika jatuh dan
melemparkan lagi ke arah lain. Menurut Nietzsche, filsuf bukanlah seorang yang
Deleuze dalam konteks ini mengatakan bahwa Nietzsche nyaris tidak memiliki
seorang pendahulu selain filsuf pra-Socrates yang hidup jauh sebelumnya dan
Spinoza sebagai pangeran para filsuf (2004: 100; 1991: 49). Spinoza adalah
seorang filsuf panteistik yang menjadi momok bagi rezim monoteistik dalam
x) menyebut filsafat Spinoza sebagai filsafat yang menjadi daging, atau filsafat
tentang empat formula puitik yang terangkum dalam filsafat Kantian. Empat
formula tersebut mengacu pada tiga seri Critique Kant yang monumental, yakni
31
Sentralitas diskursif pada tiga seri Critique Kant tersebut, secara berurutan adalah
logika, etika dan estetika. Pembacaan Deleuze atas tiga seri filsafat Kant tersebut
terbilang unik, Deleuze (Deleuze, 1984: xiii) menerjemahkan filsafat Kant melalui
untaian kata dari William Shakespeare: ‘Time is out of joint’ (waktu yang
tersempal dari engselnya), Arthur Rimbaud: ‘I is another’ (Aku adalah yang lain)
dan ‘A disorder of all the sense’ (kekacauan atas segala makna), Franz Kafka:
‘The good is what the Law says’ (kebaikan adalah apa yang hukum katakan).
puitik yang Deleuze tarik dari pemikiran Kant jelas arbitrer, namun sama sekali
tidak arbitrer dalam kaitannya dengan apa yang telah Kant tinggalkan untuk saat
pengantarnya:
Artinya:
Buku ini mempertimbangkan seluruh karya Proust sebagaimana yang
diperintahkan oleh pengalaman atas tanda-tanda yang bergerak tanpa sengaja dan
tak sadar: yang darinya the Search adalah interpretasi. Tapi interpretasi
berkebalikan dengan produksi tanda-tanda mereka sendiri.
32
Bagi Deleuze karya seni tidak hanya menafsirkan dan memancarkan tanda-tanda
aparatus atau mesin yang berfungsi secara efektif. Proust melalui karyanya tengah
memproduksi tanda-tanda dari tatanan yang berbeda, yang memiliki dampak pada
Proust.
lima bab, yang masing-masing babnya memiliki judul yang langsung menjelaskan
inti dari tesis-tesis yang dikemukakan Bergson, misalnya Bab I: Intuisi sebagai
Metode, Bab II: Durasi sebagai Imediasi Datum, Bab III: Memori sebagai
Koeksistensi Virtual, Bab IV: Satu atau Banyak Durasi?, Bab V: Elan Vital
sebagai Gerak Diferensiasi. Kajian Deleuze dalam Bergsonism di satu sisi berisi
ajakan Deleuze untuk ‘kembali pada Bergson’, namun di sisi lain ajakan Deleuze
untuk ‘kembali pada Bergson’ harus dipahami sebagai yang bukan sekedar
kekaguman yang sedang diperbarui demi seorang filsuf besar, tapi juga upaya
pembaruan dan perpanjangan proyek si filsuf dalam konteks hari ini. Kajian
dan masyarakat yang paralel dengan transformasi sains. Bergson sendiri diketahui
33
(Deleuze, 1988: 115) meletakkan ajakan ‘kembali pada Bergson’ dalam tiga fitur
utama berikut: pertama, intuisi; kedua, metafisika dan sains; ketiga, multiplisitas.
situ hendak menancapkan peran dan pentingnya ekspresi dalam filsafat Spinoza
mengalami perkembangan ke arah yang lebih penting. Hal ini direngkuh kembali
bentuk ekspresi dari atribut dalam tiga nama. Pertama, tiap atribut yang
menurut Deleuze harus dimengerti sebagai sesuatu yang tidak sekedar mencakup
tersebut resmi meneguhkan Deleuze sebagai filsuf dan bukan lagi ahli filsafat.
34
After I had studied Hume, Spinoza, Nietzsche and Proust, all of whom fired me
with enthusiasm, Difference and Repetition was the first book in which I tried to
‘do philosophy’ (Deleuze, 1994: xv).
Artinya:
Setelah saya mengkaji Hume, Spinoza, Nietzsche dan Proust, yang semuanya
mengobarkan antusiasmeku, Difference and Repetition adalah buku pertama yang
mana aku mencoba untuk ‘berfilsafat’.
pada paruh kedua abad ke-20. Deleuze melihat permainan pengulangan dan
perbedaan yang menggantikan “Yang Sama” (the Same) dan representasi. Hal ini
hierarkis yang secara radikal bersifat horizontal. Pemikiran Deleuze berjalan pada
aras ini. Deleuze adalah praktisi terbaik pemikiran non-representasional dan non-
dengan baik sekali, untaian kata esoteris, jejaring, kode dan pemecahan kode,
gambar dan potret, psikoanalisis dengan isi yang mendalam, logika yang layak
luar semua kesenangan dalam membaca karya Carroll. Deleuze meraih sesuatu
35
yang lain, sesuatu tentang paradoks makna dan non-makna. Deleuze menyebutnya
menjelaskan kenapa teori tentang makna tidak lepas dari paradoks bahwa makna
Philosophy?: Reinterpretasi atas Filsafat, Sains dan Seni. Karya tersebut memuat
kilas balik dari apa yang dikerjakan Deleuze sepanjang karir filsafatnya. Deleuze-
Guattari menulis:
Pertanyaan ‘apa itu filsafat?’ barangkali hanya bisa diajukan pada usia lanjut,
dengan tibanya masa tua dan saat yang tepat untuk berbicara filsafat secara
konkret... Apa itu filsafat? merupakan pertanyaan yang muncul pada momen
keresahan yang sunyi, di tengah malam, ketika tak ada lagi sesuatu untuk
ditanyakan. Ia telah ditanyakan sebelumnya; ia tengah selalu ditanyakan, hanya
saja dengan cara yang terlalu tidak langsung atau tidak ke pokok persoalan;
pertanyaannya terlalu artifisial, terlalu abstrak (Deleuze-Guattari, 2004: 47; 1991:
7).
dalam karya tersebutlah dan melalui karya tersebutlah jawaban praktis dari
Penciptaan Konsep
36
Deleuze-Guattari dalam What is Philosophy? mendefinisikan filsafat
Guattari, 2004: 48; 1991: 8), namun perlu digarisbawahi bahwa pendefinisian
tersebut harus memperhatikan tiga konteks, yakni pertama, kapan pertanyaan itu
diajukan; kedua, dalam landskap peristiwa seperti apa pertanyaan itu diajukan;
ketiga, oleh siapa pertanyaan itu diajukan. Hal tersebut dengan kata lain meliputi
konteks waktu, tataran peristiwa dan person. Untuk lebih jelasnya, Deleuze-
...telah tiba saatnya bagi kita sekarang untuk bertanya apakah sesungguhnya
filsafat itu. Kita tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan ini, dan kita telah
memiliki jawabannya, yang belum berubah: filsafat adalah seni membentuk,
menemukan dan merajut konsep-konsep. Namun, jawaban tersebut tidak hanya
harus memperhatikan pertanyaan yang diajukan, tapi jawaban tersebut juga harus
menentukan momennya, peristiwa, dan keadaan landskap dan personanya,
kondisi dan hal-hal yang tidak diketahui darinya (Deleuze-Guattari, 2004: 48;
1991: 8).
Guattari, 2004: 52; 1991: 11). Berpikir bagi Nietzsche adalah untuk menciptakan
(Deleuze, 2002: xii; 1983: xiv). Spirit Nietzsce ini semakin terang ketika Deleuze-
Guattari menyebut seorang filsuf adalah ahli dalam hal konsep dan dalam
tiadanya konsep. Seorang filsuf adalah potensialitas konsep, artinya seorang filsuf
tahu persis konsep mana yang tidak bisa bertahan, serampangan atau tidak
37
konsisten. Selain itu seorang filsuf juga tahu mana konsep yang terbentuk dengan
baik dan menyokong kreasi lebih lanjut (Deleuze-Guattari, 2004: 50; 9). Jika
seorang filsuf adalah potensialitas konsep, atau dalam bahasa Deleuze, seorang
filsuf adalah persona konseptual, maka filsafat menjadi syahih ketika dimengerti
sebagai konsep. Lebih lanjut, filsafat sebagai hasil dari aktivitas mencipta konsep
Konsep itu sendiri tidak berdiri sendirian. Konsep tidak bisa menciptakan
8). Persona konseptual atau sahabat yang dimaksud tidak lain adalah seorang
filsuf. Filsuf sebagai persona konseptual telah merintis lahirnya filsafat Yunani.
Seorang filsuf di masa peradaban Yunani harus dibedakan dengan orang bijak dari
peradaban Timur atau peradaban lain. Seorang filsuf pada peradaban Yunani
bukanlah orang bijak yang santun dan rendah hati karena orang Yunani sendiri
telah menegaskan kematian para bijak dan menggantikannya dengan dengan para
bijak dan seorang filsuf yang dilakukan Deleuze-Guattari bagi penulis bukanlah
38
semata-mata soal derajat atau kedudukan mana yang lebih tinggi dan mana yang
lebih rendah. Pembedaan antara seorang filsuf dan seorang bijak lebih mengacu
pada cara berpikir antara sang filsuf dan sang bijak. Deleuze-Guattari
...seorang bijak tua dari Timur barangkali berpikir dalam bentuk Gambar
Simbolik (figures), sementara seorang filsuf menemukan dan memikirkan
konsep... ...persona konseptual yang muncul dalam filsafat tidak lagi
menyimbolkan seorang persona ekstrinsik, sebuah misal atau keadaan empirik,
melainkan lebih menyimbolkan suatu kehadiran yang intrinsik bagi pemikiran,
sebuah kondisi kemungkinan dari pemikiran itu sendiri, sebuah kategori yang
hidup, realitas transendetal yang dihidupkan. Dengan penciptaan filsafat, orang
Yunani secara kasar memaksa sang sahabat masuk ke dalam sebuah hubungan
yang tidak lagi berupa hubungan dengan yang lain, melainkan hubungan dengan
sebuah entitas, sebuah objektalitas, sebuah esensi. Sahabatnya Plato, bahkan
terlebih lagi sahabat kebijaksanaan, sahabat kebenaran atau konsep, seperti
Philaletes dan Theophilus (Deleuze-Guattari, 2004: 49-50; 1991: 8-9).
spesifik tentang kontemplasi; kedua, filsafat bukan refleksi karena tidak seorang
sebelum berefleksi tentang matematika, begitu pun para seniman yang tidak perlu
menantikan para filsuf sebelum berefleksi atas lukisan ataupun musik; ketiga,
filsafat bukan pula komunikasi yang mana hanya efektif di bawah kuasa opini-
39
52-53; 1991: 11-12). Filsafat sekali lagi adalah konsep, bukan yang lain, bukan
persona konseptual itu saling berhadapan satu sama lain. Pertama, konsep selalu
ditandai dan tetap bertanda, misalnya ‘substansi’ dari Aristoteles, ‘cogito’ dari
Descartes, ‘monad’ dari Leibniz, ‘kondisi’ dari Kant, ‘kekuasaan’ dari Schelling,
‘durasi’ dari Bergson. Sederet nama konsep dan persona konseptual tersebut
kemudian harus ditunjukkan dengan sebuah kata yang tidak lazim dan bahkan
cukup dengan sebuah kata sehari-hari. Kata yang menandakan sebuah konsep
resiko untuk tidak terpahami oleh telinga yang tidak filosofis. Ada konsep yang
lainnya lagi menuntut pemakaian berbagai istilah baru (neologisms) yang dibuat
melalui penelusuran asal-usul kata yang rumit. Deleuze-Guattari (2004: 54; 1991:
13) dalam hal ini menyebutkan bahwa etimologi menyerupai atletisme filosofis
yang spesifik. Dalam setiap kasus pasti ada kebutuhan yang aneh akan kata-kata
yang dipilih untuk merajut sebuah konsep. Hal ini seperti sebuah elemen dari
sebuah gaya ekspresi. Lebih lanjut, Deleuze-Guattari (2004: 55; 1991: 14)
40
(taste) filosofis khusus yang berkembang (proceed) dengan paksaan atau melalui
bahasa, artinya, konsep bukan sekedar kosakata tapi juga sintaksis yang mencapai
tidak menangkap bahwa ada alasan yang cukup penting untuk memperlawankan
di satu sisi pengetahuan didapat melalui intuisi, sementara di sisi lain konsep-
konsep dikonstruksi dalam sebuah intuisi yang khusus bagi pengetahuan. Konsep-
konsep dengan demikian dikonstruksi dalam sebuah medan, sebuah tataran dan
sendiri. Sebuah medan, tataran dan landasan berfungsi sebagai pelindung dari
konsep berarti paling tidak membuat sesuatu. Praktik penciptaan konsep inilah
41
D. Tantangan Filsafat sebagai Tantangan Penciptaan Konsep
maka jelaslah akan muncul persoalan tidak hanya menyangkut apa yang membuat
sebuah konsep menjadi ide filosofis, tetapi juga menyangkut sifat dasar ide kreatif
lainnya yang bukan konsep, yakni ide yang dimunculkan oleh seni dan sains.
besarnya dengan filsafat, yakni seni dan sains. Deleuze-Guattari (2004: 55; 1991:
14) menyatakan bahwa filsafat, seni dan sains memiliki sejarah dan
kemenjadiannya sendiri. Filsafat, seni dan sains memiliki hubungan dinamis satu
sama lain. Filsafat, seni dan sains sebagai tiga aktivitas penciptaan melalui tataran
hak penciptaan konsep yang eksklusif menjamin sebuah fungsi bagi filsafat, tapi
itu tidak memberi filsafat keunggulan ataupun hak istimewa karena terdapat cara
berpikir dan mencipta lainnya yang berbeda dengan cara berpikir filsafat,
misalnya, sebuah pemikiran ilmiah yang tidak harus bekerja melalui konsep,
artinya pemikiran ilmiah bisa bekerja melalui sesuatu yang lain. Oleh karena itu,
dalam hal ini pembicaraan filsafat akan selalu kembali pada persoalan tentang
kegunaan aktivitas mencipta konsep di hadapan aktivitas mencipta lain (Deleuze-
Guattari, 2004: 56; 1991: 15).
pertanyaan tentang nilai guna seperti apa yang bisa diberikan oleh aktivitas
mencipta konsep? Mengapa konsep baru selalu harus diciptakan oleh filsafat?
42
mengatakan bahwa kehebatan filsafat terletak persis dalam ketidakbergunaannya.
Jawaban tersebut tidak hanya terkesan sinis, tapi juga menegaskan satu gejala
kemalasan berpikir. Lebih lanjut, belum lama ini filsafat digerus oleh diskursus
Deleuze-Guattari (2004: 56; 1991: 15) diskursus tentang kematian metafisika tidak
pernah menjadi soal sejauh para filsuf maupun penekun filsafat tetap berjalan di
Guattari kendati demikian tetap mengakui bahwa aktivitas penciptaan konsep oleh
komputer, pemasaran, desain dan periklanan atau semua disiplin komunikasi telah
merebut kata konsep. Hal ini berdampak pada dua implikasi, yakni positif dan
mengawetkan ide tentang hubungan tertentu antara konsep dan peristiwa. Negatif
dalam pengertian bahwa konsep telah menjadi serangkaian tampilan produk yang
mengandung corak historis, ilmiah, artistik, seksual dan pragmatis, sementara itu
43
tontonan dan “pertukaran ide” yang hendak dipromosikan. Deleuze-Guattari
...di situ hanya ada satu peristiwa yang menjadi satu-satunya, yakni berbagai
pameran, sedangkan konsep yang menjadi satu-satunya adalah berbagai produk
yang dapat dijual. Ini jelas menyakitkan bagi filsafat ketika tahu bahwa konsep
hanya mengindikasikan sebuah masyarakat pelayan jasa dan rekayasa informasi.
Problem ini seharusnya mendorong filsafat untuk bangkit melawan para
pesaingnya. Filsafat harus tergerak untuk memenuhi tugas menciptakan konsep
yang lebih berharga ketimbang produk komersial (Deleuze-Guattari, 2004: 57-58;
1991: 15-16).
mengandaikan bahwa tidak ada konsep yang mampu berdiri sendiri tanpa
komponen. Setiap konsep paling sedikit memiliki dua atau tiga lapis komponen,
dan seterusnya (Deleuze-Guattari, 2004: 85; 1991: 39). Lebih lanjut, Deleuze-
Guattari menegaskan bahwa dari Plato hingga Bergson ditemukan idea tentang
Guattari dalam hal ini mengeksplisitkan apa yang dimaksud dengan konsep-
44
gambaran yang utuh. Konsep-konsep filosofis lebih menyerupai hasil dari
pelemparan dadu yang tidak selalu terduga dan jatuh pada suatu tataran. Tataran
ini adalah tataran konsistensi konsep-konsep. Di situlah konsep-konsep bergejala,
konsep-konsep menjadi suatu planomen atau peristiwa yang bergejala pada suatu
tataran. Dengan demikian, konsep-konsep dan tataran pada dasarnya bersifat
korelatif secara seksama (Deleuze-Guattari, 2004: 85; 1991: 38).
Guattari (2004: 87; 1991: 39) menjawab itu dengan satu pemahaman bahwa
menyebut tataran konsep sebagai tataran imanensi, dan tataran imanensi identik
menangkap kesan bahwa formasi filsafat Deleuze dari karya yang satu dan yang
lain sukar untuk ditarik benang merah, bahkan ketika pemikiran Deleuze
diperpanjang lagi hingga Francis Bacon: The Logic of Sensation (1981), Cinema
1 (1983), Cinema 2 (1985), The Fold: Leibniz and The Baroque (1988).
tentang logika sinema dengan modus artikulasi yang hampir mirip dengan
45
Francis. Deleuze dalam Cinema 1 dan Cinema 2 berfilsafat melalui sinema.
Deleuze dalam The Fold juga demikian, Deleuze berbicara tentang konsep the
fold (yang melipat) dan the unfold (yang menghampar) melalui musik. Deleuze
mengidentikan the fold dengan singularitas dan the unfold dengan multiplisitas.
memang sering meloncat ke sana kemari seperti seorang pemain parkour. Deleuze
kerap meloncat dari konsep yang satu ke konsep yang lain. Hal ini menumbuhkan
upaya untuk memahami beberpa poin pemikirannya menjadi begitu kompleks dan
bercabang.
konsisten dari filsafat Deleuze. Pertama, filsafat bagi Deleuze adalah ontologi,
artinya segala hal yang ada, material atau ideal, organik atau inorganik, objek
persepsi atau imajinasi, adalah ‘ada’ atau ‘berada’ dengan cara dan arti yang
sama. Keberadaan pikiran dan kenyataan itu sama. ‘Ada’ itu univokal (Sugiharto
dalam Hartono, 2007: ix). Hal ini dengan demikian mengesenkan bahwa antara
Kedua, realitas ‘ada’ yang univokal itu pada dasarnya kreatif. Kreatif di
dirinya secara baru, melahirkan banyak peristiwa dan keunikan individual tanpa
henti. Segala yang ada adalah peristiwa penciptaan, entah itu peristiwa dalam
46
dengan sendirinya (Sugiharto dalam Hartono, 2007: ix). Deleuze melatakkan
dasar asumsinya tersebut pada kekuatan imaji pemikiran. Deleuze dalam hal ini
mirip dengan Bergson yang mengasumsikan bahwa segala yang ada bermula dari
imaji, baik itu yang teraktualisasi dalam bentuk material atau non-material.
tanpa batas. Pikiran murni mencipta melalui medium yang diciptakannya sendiri
(Sugiharto dalam Hartono, 2007: ix). Deleuze meletakkan pikiran murni sebagai
memprimasikan filsafat sebagai konsep. Lebih dari itu, dalam hemat penulis,
adalah entitas yang diciptakan. Kemudian keberadaan konsep sebagai entitas itu
sendiri pada dasarnya dibentuk melalui peristiwa yang bergerjala di atas tataran
imanensi adalah tataran absolut yang tidak memiliki batas. Tataran imanensi
menurut Deleuze adalah sebuah kehidupan. Posisi filsuf dalam konstelasi ini
bertindak sebagai sahabat konsep atau potensialitas konsep. Seorang filsuf disebut
47
demikian karena seorang filsuf memiliki kapasitas untuk membentuk konsep,
bahkan konsep yang sama sekali baru. Filsuf mampu membangkitkan konsep
lama sebagai sesuatu yang baru atau melenyapkan konsep lama dan
48
BAB III
Pada bab ini penulis akan mengurai bagaimana pemikiran Gilles Deleuze
tentang sinema. Penulis selanjutnya akan banyak merujuk pada Cinema 1 dan
Cinema 2 sebagai sepasang manuskrip yang ditulis Deleuze pada tahun 1980-an,
pendekatan psikoanalisis dan linguistik pada sinema. Penulis akan membuka awal
pembahasan dari paparan atas posisi teoritik Deleuze dalam diskursus sinema.
Kemudian berlanjut pada paparan atas beberapa konsep kunci yang digunakan
yang diletakkan Deleuze untuk membedakan modus representasi imaji pada dua
periode umum sinema, yakni sinema klasik dan sinema modern. Sistematika
rumusan masalah kedua, yakni apa itu sinema menurut Deleuze? Jawaban atas
pertanyaan itu secara ekstraktif akan penulis paparkan dalam sub-bagian terakhir.
Posisi teoritik Deleuze dalam diskursus sinema merujuk pada dua ranah
disiplin. Pertama adalah disiplin sinema itu sendiri. Deleuze melawan dominasi
49
pendekatan semiologi Saussurian dan Psikoanalisis Freudian. Deleuze
sebagai modus baru bagi pemikiran. Bagi Deleuze hal tersebut merupakan
kejanggalan yang serius, karena ketika filsafat relatif akrab dengan tema seperti
gerak dan waktu, sinema yang muncul di awal abad ke-20 sebagai bentuk seni
baru dan bekerja dengan imaji, gerak dan waktu luput diperhatikan. Deleuze
dalam konteks ini melayangkan kritik pada Jean Paul Sartre dan Maurice Marleu-
It’s very odd. I have the feeling that modern philosophical conceptions of the
imagination take no account of cinema: they either stress movement but lose
sight of the image, or they stick to the image while losing sight of its movement.
It’s odd that Sartre, in The Pshycology of Imagination, takes into account every
type of image except the cinematic image. Marleau-Ponty was interested in
cinema, but only in relation to the general principles of perception and behaviour.
Bergson’s position, in Matter and Memory, is unique. Or Matter and Memory,
rather, is a unique, extraordinary book among Bergson’s work. He no longer puts
motion in the realm of duration, but on the one hand posits an absolute identity of
motion-matter-image, and on the other hand discovers a Time that’s the
coexistence of all levels of duration (matter being only the lowest level)
(Deleuze, 1995: 47).
Artinya:
Ini sangat ganjil. Saya merasakan bahwa konsepsi-konsepsi filosofis modern
tentang imajinasi tidak memperhitungkan sinema: mereka menekankan gerak tapi
luput memperhatikan imaji, atau mereka merengkuh imaji tanpa menyentuh
gerak itu sendiri. Ini aneh bahwa Sartre dalam The Pshycology of Imagination,
memperhatikan tiap-tipe imaji kecuali imaji sinematik. Marleau-Ponty telah
berminat pada sinema, tapi hanya dalam relasinya terhadap prinsip-prinsip umum
persepsi dan tingkah laku. Posisi Bergson dalam Matter and Memory adalah
unik. Atau Matter and Memory, mungkin adalah keunikan yang luar biasa di
antara karya-karya Bergson. Ia tidak lagi menempatkan gerak pada wilayah
durasi, namun di satu sisi memposisikan sebuah identitas absolut atas gerak,
50
materi, imaji, dan di sisi lain menemukan Waktu yang hadir bersama semua
tingkatan durasi (materi hanya menjadi tingkat terendah).
konsepsi yang khas tentang sinema. Walaupun pada paruh kedua abad 20 kajian
teoritik dan kritik atas sinema telah mengemuka, tapi bagi Deleuze hal tersebut
sama sekali belum memberitahu tentang apa itu sinema. Pertanyaan tentang apa
spesifik, harus secara khusus berelasi dengan sinema. Framing bisa saja
bagi Deleuze percobaan semacam itu tidak memberitahu tentang apa itu
bahwa sinema bisa menghasilkan sebuah realitas (Deleuze, 1995: 58). Deleuze
psikoanalisis, namun tetap akan selalu ada bagian dimana film-film Dreyer
51
bahwa sudah menjadi sebuah persoalan bahwa manusia harus membuat
adalah objek sinema yang menyatakan sebuah pilihan spiritual tertentu. Dalam
konfrontasi antara sinema dan filsafat. Bagi Deleuze, film-film Dreyer lebih
konsep yang bisa diaplikasikan ke dalam sinema dari sisi luar, misalnya
52
B. Konstruksi Teoritik Deleuze
sinematografis yang imanen pada sinema. Imaji tersebut secara umum dibedakan
Narrative in cinema is like the imaginary: it's a very indirect product of motion
and time, rather than the other way around. Cinema always narrates what the
image’s movements and times make it narrate. If the motion’s governed by a
sensory-motor scheme, if it shows a character reacting to a situation, then you get
a story. If, on the other hand, the sensory-motor scheme breaks down to leave
disoriented and discordant movements, then you get other patterns, becomings
rather than stories.
Artinya:
Narasi dalam sinema ada seperti yang imajiner: sebuah ketidaklangsungan
produk dari gerak dan waktu, ketimbang sebaliknya. Sinema selalu menarasikan
apa yang imaji-imaji gerak dan waktu narasikan. Jika yang bergerak diatur oleh
skema sensor-motorik, maka sinema memperlihatkan karakter yang bereaksi
terhadap situasi, kemudian anda mendapatkan sebuah cerita. Jika, di sisi lain,
skema sensor-motoriknya terberai kemudian meninggalkan disorientasi dan
pertentangan beberapa gera, anda akan mendapatkan beberapa pola lain, beberapa
kemenjadian ketimbang cerita (Deleuze, 1995: 59).
jenis imaji yang dimiliki sinema secara umum, yakni imaji-gerak yang
itu sendiri terdiri dari tiga komponen imaji-gerak, yakni: imaji-persepsi, imaji-aksi
53
dan imaji-afeksi. Imaji-persepsi, imaji-aksi dan imaji-afeksi akan penulis jelaskan
dalam sinema. Deleuze secara teoritik berpijak pada dua warisan teoritik,
yakni Henri Bergson untuk konsepsi tentang imaji dan C. S. Pierce untuk
konsepsi tentang tanda dan taksonomi. Deleuze melalui dua kombinasi teoritik
sebagai berikut:
Artinya:
Kita akan sering mengacu kepada Pierce, seorang ahli logika dari Amerika
(1839-1914), karena dia telah membangun klasifikasi umum tentang imaji-
imaji dan tanda-tanda, secara mantap, nyaris lengkap dan demikian beragam.
Hasil klasifikasinya bisa diperbandingkan dengan klasifikasi Linnaeus
tentang sejarah alami, atau bisa juga dengan tabelnya Mendelev dalam ilmu
kimia.
berikut:
54
Bergson was writing Matter and Memory in 1896: it was the diagnosis of a
crisis in psychology. Movement, as physical reality in the external world, and
the image, as psychic reality in consciousness, could no longer be opposed.
The Bergsonian discovery of a movement-image, and more profoundly, of a
time-image, still retains such richness today that it is not certain that all its
consequences have been drawn. Despite the rather overhasty critique of the
cinema that Bergson produced shortly afterwards, nothing can prevent an
encounter between the movement image, as he considers it, and the
cinematographic image (Deleuze, 2005: xix).
Artinya:
Bergson telah menulis Matter and Memory pada 1896: karya tersebut
merupakan sebuah diagnosis tentang krisis dalam ilmu psikologi. Gerak
sebagai kenyataan fisik dalam dunia eksternal dan imaji sebagai kenyataan
psikis dalam kesadaran, tidak lagi dapat dioposisikan. Penemuan Bergsonian
tentang sebuah imaji-gerak, dan terlebih lagi sebuah imaji-waktu, telah
menyimpan keheningan yang hari ini tampak begitu sempurna bahwasannya
ketidakpastian semua akibat telah memperoleh gambarannya. Meskipun
agak terlalu terburu-buru mengkritik sinema segera setelah itu, tanpa bisa
menjaga pertemuan antara imaji gerak, sebagaimana Bergson
mempertimbangkan sinema, dan imaji sinematografik.
pada semiotika Pierce dan konsepsi Bergson tentang imaji-gerak dan imaji-
yang melekat pada teori Pierce tentang tanda dan teori Bergson tentang imaji.
waktu secara lebih real. Kedua, melalui tanda Pierce, Deleuze coba membaca
imaji sinematik sebagai imaji yang selalu membawa rangkaian tanda piktorial
55
Saussure. Deleuze dalam hal ini lebih percaya pada trikotomi C.S. Pierce,
yakni relasi antara tanda, objek dan penafsir untuk mengklasifikasikan imaji
demarkatif ditarik Deleuze dari satu peristiwa besar, yakni Perang Dunia II.
berikut cara manusia beraksi dan bereaksi terhadap peristiwa. Lebih jauh dari
itu, Deleuze menilai bahwa peristiwa besar seperti Perang Dunia II rupanya
telah mengubah pola relasi antara gerak dan waktu. Untuk lebih jelasnya,
...since the war, a direct time-image has been formed and imposed on the
cinema. We do not wish to say that there will no longer be any movement,
but that - just as happened a very long time ago in philosophy - a reversal has
happened in the movement-time relationship; it is no longer time which is
related to movement, it is the anomalies of movement which are dependent
on time. Instead of an indirect representation of time which derives from
movement, it is the direct time-image which derives from movement, it is the
direct time-image which commands the false movement (Deleuze, 2005: xi-
xii).
Artinya:
...sejak perang, imaji langsung atas waktu telah dibentuk dan dikenakan pada
sinema. Kita tidak hendak mengatakan bahwa kemudian tidak akan ada lagi
gerak apapun, tapi bahwa—seperti yang terjadi dalam waktu yang sangat
lama pada filsafat—pembalikan telah terjadi dalam hubungan gerak-waktu,
maka tidak ada lagi waktu yang terhubung dengan gerak, itu adalah anomali-
anomali gerak yang tergantung pada waktu. Sebagai ganti representasi tidak
langsung atas waktu yang diperoleh dari gerak, itu adalah imaji-waktu
langsung yang menguasai gerak semu (false movement).
56
Dalam konteks filsafat, terlebih filsafat setelah Immanuel Kant, relasi
untuk Cinema 2 kembali menyitir frase Kant tentang waktu yang tersempal
dari engselnya: time is out of joint. Metafora tersebut merujuk pada realitas
sinema klasik sebagai sinema yang mengemuka sebelum Perang Dunia II.
aksi dan afeksi. Namun setelah Perang Dunia II pecah, dunia luluh lantak,
yang diam terhenyak tanpa aksi dan reaksi yang terencana. Pecahnya Perang
terhempas menjadi pecahan kristal. Hal ini melahirkan imaji baru dalam
57
sinema, yakni imaji-waktu. Imaji-waktu dalam konteks ini bisa dipahami
sinema setelah Perang Dunia II sebagai sinema yang tidak lagi menumpukan
diri pada imaji-gerak. Sinema modern banyak memproduksi imaji yang coba
tertentu. Deleuze menyebut satu figur sutradara yang memiliki tempat khusus
dalam transisi imaji dalam sinema, yakni Alferd Hitchcock. Menurut Deleuze,
If, at the end of this first volume, we try to understand the full importance of
Hitchcock - one of the greatest English film-makers - it is because we think
he invented an extraordinary type of image: the image of mental relations.
Relations, as external to their terms, have always been the subject of English
philosophical thought. When a relation terminates or changes, what happens
to its terms? Thus Hitchcock asks in Mr and Mrs Smith, a minor comedy,
what happens to a man and a woman who suddenly learn that, as their
marriage is not legal, they have never been married? Hitchcock produces a
cinema of relation, just as English philosophy produced a philosophy of
relation. In this sense he is, perhaps, at the juncture of the two cinemas, the
classical that he perfects and the modern that he prepares. In all these
respects, it is not sufficient to compare the great directors of the cinema with
painters, architects or even musicians. They must also be compared with
thinkers (Deleuze, 2005: xii).
Artinya:
58
Jika di akhir Cinema 1, kita mencoba mengerti pentingnya Hitchcock...
...karena kita berpikir Hitchcock telah menemukan tipe imaji yang luar biasa:
imaji atas relasi-relasi mental. Relasi, yang eksternal terhadap syarat-
syaratnya, selalu menjadi topik dalam pemikiran filosofis di Inggris. Ketika
relasi berakhir atau berubah apa yang terjadi pada syarat-syaratnya?
Hitchcock bertanya dalam Mr. and Mrs. Smith, sebuah komedi ringan, apa
yang terjadi pada seorang pria dan wanita yang tiba-tiba belajar bahwa,
pernikahan mereka tidaklah syah, mereka tidak pernah menikah? Hitchcock
memproduksi sebuah sinema relasi, sebagaimana filsafat Inggris
memproduksi filsafat relasi. Dalam pengertian ini, Hitchcock adalah,
mungkin, berada pada titik waktu antara dua sinema (antara klasik dan
modern), klasik bahwa ia telah sempurna dan modern bahwa ia
mempersiapkan. Dalam segala pengakuan, tidak cukup untuk
membandingkan sutradara besar sinema dengan pelukis, arsitek atau bahkan
musisi. Mereka harus juga dibandingkan dengan pemikir.
Cinema 1 dan Cinema 2 kurang tepat jika dilihat sebagai upaya Deleuze
untuk membuat semacam teori baru tentang sinema, karena Deleuze pada
dasarnya hanya berfilsafat melalui sinema. Hugh Tomlinson dan Robert Galleta
...Deleuze does not set out to provide another theory of the cinema. His project is
a philosophical one. Philosophy itself is not a reflection on an autonomous object
but a practice of creation of concepts, a constructive pragmatism. This is book of
philosophical invention, a theory of cinema as conceptual practice. It is not a
question of ‘applying’ philosophical concepts to the cinema. Philosophy works
with the concepts which the cinema itself gives rise to (Tomlinson-Galleta dalam
Deleuze, 2005: xv).
Artinya:
...Deleuze memang tidak menyusun Cinema 1 dan Cinema 2 untuk menetapkan
teori lain tentang sinema. Proyeknya adalah semata filosofis. Filsafat itu sendiri
bukanlah refleksi atas sebuah objek yang otonom tetapi sebuah praktik
penciptaan konsep, sebuah pragmatisme konstruktif. Ini adalah buku tentang
penemuan filosofis, teori sinema sebagai praktik konseptual. Ini bukanlah soal
menerapkan konsep-konsep filosofis terhadap sinema. Filsafat bekerja bersama
konsep-konsep di mana sinema itu sendiri menjulangkannya.
59
Berdasarkan kutipan di atas, Cinema 1 dan Cinema 2 dengan demikian
lebih tepat disebut karya filsafat. Walaupun demikian, Hugh Tomlinson dan
Robert Galleta mengatakan bahwa Cinema 1 dan Cinema 2 relatif lebih mudah
dipahami oleh para penekun sejarah sinema dan teori-teori sinema ketimbang
Deleuze, 2005: xv), artinya penekun filsafat yang masih terpaku pada penelaahan
filsafat dengan model tekstual, yakni menekuni filsafat dengan cara membaca
gagasan filosofisnya dengan cara merujuk beberapa teori sinema, ratusan film dari
puluhan sutradara besar sinema (baca: author) yang membentang dari periode
dari itu, Deleuze adalah seorang filsuf yang menyusun ulang imaji dan tanda
untuk tujuan baru. Deleuze tertarik untuk mengelaborasi sinema karena sinema
memiliki kemampuan untuk menyusun ulang sebuah konsep. Sinema dalam hal
uraian tersebut, Tomlinson dan Galleta menegaskan bahwa sinema dan filsafat
If I consider the field of cinema as a whole, it's because it's all built upon the
movement-image. That's how it's able to reveal or create a maximum of different
60
images, and above all to combine them with one another through montage. There
are perception-images, action-images, aff ection-images, along with many other
types. And in each case there are internal signs that characterize these images,
from both genetic and compositional viewpoints. They’re not linguistic signs,
even when they’re aural or even vocal. The significance of a logician like Peirce
is to have worked out an extremely rich classification of signs, relatively
independent of the linguistic model. It was particularly tempting to see whether
the moving matter introduced by cinema was going to require a new
understanding of images and signs. In this sense, I’ve tried to produce a book on
logic, a logic of cinema (Deleuze, 1995: 46-47).
Artinya:
Jika mempertimbangkan ranah sinema sebagai sebuah keseluruhan, karena semua
sinema dibangun di atas imaji-gerak. Bagaimana sinema mampu mengemukakan
atau mengkreasi secara maksimal imaji-imaji yang berbeda, dan mengatasi
semuanya untuk mengkombinasikan imaji satu sama lain melalui montase. Di
situ ada imaji-persepsi, imaji-aksi, imaji-afeksi dan beberapa tipe lain. Dalam
setiap kasus terdapat tanda-tanda internal yang mencirikan imaji tertentu, baik
dari sudut pandang genetik ataupun komposisional. Mereka bukanlah tanda-tanda
linguistik, bahkan ketika mereka terdengar atau bahkan tersuarakan. Signifikasi
dari seorang ahli logika seperti Pierce telah memiliki sebuah karya yang kaya
akan klasifikasi tanda-tanda, yang relatif independen dari model linguistik.
Sangat menggoda untuk melihat apakah materi yang bergerak diperkenalkan oleh
sinema memerlukan pemahaman baru atas imaji dan tanda. Dalam pengertian
ini, saya mencoba untuk memproduksi sebuah buku tentang logika, logika
atas sinema.
D. Cinema 1: Imaji-Gerak
Imaji-gerak adalah imaji yang merepresentasikan waktu secara tidak
langsung. Imaji-gerak memiliki tiga komponen imaji yang bisa ditangkap melalui
sebagai pusat yang kontingen. Tiga imaji tersebut mengisi interval tertentu secara
interval, sedangkan imaji-afeksi mendiami pusat interval. Tiga tipe imaji ini
61
merupakan titik pandang dari keseluruhan film. Imaji menjadi afektif dalam jarak
dekat (close-up), aktif dalam jarak sedang (medium-shot), dan perseptif dalam
jarak jauh (long-shot). Namun kemenjadian imaji yang hadir melalui jenis-jenis
shot tersebut hendaknya tidak direduksi menjadi perkara teknis semata, karena
gambar memiliki peran yang menyeluruh pada aspek keterbacaan film secara
dan ‘subjektif’, langsung dan tidak langsung. Pada saat kamera mewakili mata
kamera mewakili mata salah satu subjek disebut subjektif. Hal ini menempatkan
berkaitan dengan imaji-imaji yang ditampilkan dalam jarak dekat. Imaji yang
ditampilkan dalam jarak dekat akan menjadi sama pentingnya dengan wajah, atau
Imaji-aksi memiliki peran dalam menentukan ruang dan waktu secara geografis,
62
Imaji-gerak yang banyak digunakan dalam sinema klasik atau sinema
mengartikan montase sebagai sebuah ekspresi dari logika komposisi atau konsepsi
bentuk tertentu pada waktu, baik langsung ataupun tidak langsung (Wibowo,
2002: 66). Lebih lanjut, montase bekerja di antara interval imaji yang satu dan
yang lain. Interval sebagai sebuah figur temporal yang berfungsi untuk mencegah
gerak sekaligus menciptakan celah antara aksi dan reaksi. Interval dengan
demikian mampu menghasilkan imaji dalam dua aspek, yakni reseptif dan kreatif
mampu menghambat aksi untuk memperoleh respon atau persepsi yang memadai.
Dalam editing film, aksi yang dihambat hadir melalui teknik slow motion. Melalui
penghambatan aksi, aspek kedua dari interval baru mengemuka, yakni aspek
kreatif. Kreatif artinya, interval bisa menghasilkan sesuatu yang baru, misalnya
kerika persepsi dihambat konsekuensinya adalah reaksi harus dieksekusi pada sisi
lain.
63
Setiap interval imaji-gerak secara rasional selalu menyediakan akhiran dan
reaksi dalam ruang yang disambung secara berurutan. Gerak dalam hal ini
berperan sebagai ordinasi dari waktu. Waktu dengan demikian disubordinasi oleh
dengan gerak mekanik pada jarum jam di mana masa lalu, masa kini dan masa
yang berarti dari keseluruhan atau dari sebuah keseluruhan. Gerak adalah translasi
gula dalam segelas air, transisi akan terjadi antara segelas air + segumpal gula
menjadi air gula”. Deleuze dalam ilustrasinya tersebut hendak menjelaskan bahwa
segumpal gula yang larut dalam segelas air menyebabkan perubahan kualitatif
dari segelas air secara keseluruhan: segelas air berubah kualitas menjadi segelas
64
objek-objek dalam sistem tertutup--yang tidak lain imaji-gerak—dengan durasi
sebagai sistem yang terbuka. Durasi sebagai sistem terbuka berkapasitas untuk
Jika seni lain, melalui dunia menciptakan sesuatu yang tidak nyata, sinema justru
mampu membuat dunia itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak nyata. Sinema
mampu mendesentralisasi keterpukauan subjek beserta cakrawalanya (dalam
Wibowo, 2002: 67).
dengan imaji yang juga mampu mengkonstitusi sebuah tatarannya sendiri. Dalam
dirinya sendiri, imaji merupakan sebuah materi. Imaji bukanlah sesuatu yang
identitas absolut dari imaji dan gerak. Deleuze (2005: 58) mengatakan setiap imaji
beraksi dan bereaksi sekaligus pada seluruh segi, melalui seluruh elemen-
elemennya sedemikian rupa sehingga aksi dan reaksi tidak dapat dibedakan.
E. Cinema 2: Imaji-Waktu
Bagi penulis, Cinema 2 lebih sulit dipahami ketimbang Cinema 1. Jika
tidak demikian dalam Cinema 2. Deleuze tidak memberikan definisi khusus untuk
65
sebagai imaji sinema modern atau sinema setelah Perang Dunia II. Deleuze dalam
Over several centuries, from the Greeks to Kant, a revolution took place in
philosophy: the subordination of time to movement was reversed, time ceases to
be the measurement of normal movement, it increasingly appears for itself and
creates paradoxical movements. Time is out of joint: Hamlet's words signify that
time is no longer subordinated to movement, but rather movement to time. It
could be said that, in its own sphere, cinema has repeated the same experience,
the same reversal, in more fast-moving circumstances. The movement-image of
the socalled classical cinema gave way, in the post-war period, to a direct time-
image (Deleuze, 2005: xi).
Artinya:
Selama beberapa abad, dari Yunani ke Kant, revolusi telah berlangsung dalam
filsafat: subordinasi waktu terhadap gerak berbalik, waktu tidak lagi menjadi
ukuran gerak yang normal, waktu semakin muncul untuk dirinya sendiri dan
menciptakan paradoks pergerakan. Waktu tersempal dari engselnya: kata-kata
hamlet menandai bahwa waktu tidak lagi disubordinasi oleh gerak, melainkan
gerak yang disubordinasi oleh waktu. Bisa dikatakan bahwa, dalam lingkup
tersendiri, sinema telah mengulangi pengalaman yang sama, pembalikan yang
sama, dalam keadaan gerak yang lebih cepat. Imaji-gerak yang juga disebut
sinema klasik telah memberi jalan, dalam periode setelah perang, untuk imaji-
waktu secara langsung.
klasik dan modern karena fakta kondisi eropa setelah perang adalah situasi
mencekam yang meningkat pesat di mana manusia tidak lagi tahu bagaimana
dengan istilah any space whatever (tiap ruang apapun) yang ditinggalkan namun
ketimbang bertindak, manusia menjadi pelihat dalam ruang tanpa bentuk, tanpa
66
Europe 51, Stromboli, Germany Year Zero. Europe 51 memperlihatkan seorang
atas pulau. Germany Year Zero memperlihatkan seorang perempuan borjuis yang
kebanalan. Apa yang cenderung runtuh atau paling tidak kehilangan posisinya
adalah skema motor-sensorik yang telah membentuk imaji-aksi pada sinema lama.
Waktu berhenti menjadi turunan gerak. Waktu muncul dalam dirinya sendiri yang
mampu menghadirkan gerak semu. Hadirnya gerak semu dalam waktu menjadi
penting dalam sinema modern. Imaji-imaji tidak lagi dihubungkan oleh potongan
rasional dan kontinuitas, tetapi dikaitkan ulang dengan kontinuitas semu dan
potongan irasional. Tubuh tidak lagi sesuai dengan apa yang bergerak, gerak
subjek atau instrumen aksi, imaji lebih diperkembangkan dari waktu, imaji
menunjukkan waktu melalui keletihan dan waktu tunggu (Deleuze, 2005: xii).
satu tata hubungan waktu dari variabel yang hanya hadir mengalir. Dalam
pengertian ini, seorang Andre Trakovsky bagi telah menantang distingsi antara
montase dan shot ketika mendefinisikan sinema dari ‘tekanan waktu’ sebuah shot.
Apa yang khusus pada imaji dengan segera menjadi kreatif, imaji ada untuk
membuatnya dapat dimengerti, relasi waktu yang tidak dapat dilihat dalam
representasi objek dan tentu tidak membiarkan mereka direduksi pada masa kini,
67
misalnya kedalaman ranah (depht of field) dalam Welles, penjelajahan shot dalam
menyebrangi ruang. Mobil Sandra, di awal film Visconti, sudah bergerak dalam
waktu dan karakter Welles yang menempati sebuah tempat berukuran raksasa
dalam waktu ketimbang mengubah tempat dalam ruang (Deleuze, 2005: xii).
menggemakan ajaran dari ilmu pengetahuan, atau imaji yang disingkapkan seni
lain atau yang membuat filsafat bisa dimengerti dengan masing-masing cara.
Maka dari itu keliru untuk mengungkapkan kematian sinema karena sinema masih
hanya dapat muncul dalam kreasi imaji. Relasi dan disjungsi antara gambar dan
suara, antara apa yang terlihat dan apa yang terkatakan, merevitalisasi masalah
dalam imaji dengan cara yang sangat berbeda-beda. Deleuze melihat sinema
yang sangat murni dan telah selalu dilanggar, direngkuh ulang atau disubordinasi
Imaji-waktu adalah imaji baru yang disebut Deleuze sebagai mutasi baru
baru, yakni ketika sinema tidak lagi melayani atau menjadi pelayan cerita atau
Imaji-waktu dalam sinema dengan kata lain adalah upaya peretasan jalan untuk
68
corak sinema yang non-naratif. Imaji-waktu menghadirkan imaji-imaji yang tidak
lagi dapat diduga atau dipahami dengan skema motor-sensorik. Imaji-waktu justru
reaksi tidak setertib imaji-gerak, bahkan dalam imaji-waktu, aksi dan reaksi sukar
cutting). Artinya, jika imaji-gerak menghadirkan urutan atau serialitas yang linear,
misalnya A1, A2, A3… dst yang urut maupun acak, masa lalu, masa kini dan
masa nanti sukar dibedakan, karena masa lalu, kini dan nanti hadir serempak
didasarkan pada masa lalu. Kedua, imaji-waktu yang didasarkan pada masa kini.
Imaji-rekoleksi coba memanggil kembali apa yang telah ada dan sedang
Dalam memori dunia, masa lalu dijaga dalam waktu dan tidak mungkin
virtualitas sebagai nama lain dari potensialitas menjadi primer dalam logika
69
Deleuzian atas sinema. Deleuze mengekspansi pandangan Bergson dalam
kesimpulan berikut: Memori manusia tidak bergerak dari masa kini ke masa lalu,
atau dari persepsi ke rekoleksi, melainkan sebaliknya, yakni: dari masa lalu ke
masa kini dan dari rekoleksi ke persepsi. Oleh karena, memori pada hakikatnya
tidak melekat dalam diri manusia, tapi sebaliknya, manusialah yang bergerak
Bergson ataupun Deleuze lebih bercorak eksternal atau berada di luar diri subjek,
seperti bau parfum tertentu yang memberikan ingatan pada perempuan di masa
tingkatan atau wilayah-wilayah memori dunia. Memori yang dipenuhi oleh masa
lalu menyerukan keadaan di masa sekarang dengan dua jenis gerak yang simultan.
sebuah persepsi untuk beraksi. Kedua, melalui rotasi yang bergerak dalam dirinya
sendiri atau dalam orientasi memori itu sendiri, melalui rotasi memori masa lalu
Dalam ranah sejarah sinema, hal itu secara sederhana bisa dipadankan
dengan pergantian logika montase dengan logika long-take. Atau kritik sinema
yang dipelopori secara resmi oleh kelompok Neo-Realisme Italia sperti Roberto
70
Rossellini, Vitorio De Sica, Federico Fellini terhadap montase Sergei Eisenstein,
Dziga Vertov dan Lev Kulesov. Sinema non-naratif tidak lagi berdasar pada
tonalitas, ritme, harmoni yang diatur melalui montase, namun pada gerak kamera,
depth of field, psikologi tokoh yang membawa konjungsi logis, konsekuensi dan
relasi mental yang memungkinkan kamera untuk masuk dalam kesadaran. Kamera
menciptakan hipotesa. Deleuze dalam hal ini menyatakan bahwa kamera bisa
bersifat non-human atau mata ketiga, tapi kamera adalah juga ‘mata pikiran’
Wibowo, 2002: 72). Imaji-gerak disebut imaji organik karena imaji-gerak bekerja
dengan skema motor-sensorik yang secara bilogis melekat pada tubuh manusia,
yakni mata, pikiran, hati. Imaji-waktu disebut imaji non-organik karena imaji-
kristal memecah gerak, aksi, persepsi dan afeksi dalam anomali-anomali. Deleuze
71
demi objek-objeknya sendiri, menggantinya, menciptakannya dan menghapusnya
memperlihatkan gerak dalam sebuah aksi, tetapi juga menyertakan apa yang
apapun.
yang mampu menggambarkan ruang kejadian dari sudut lain, sudut pandang yang
sama sekali baru. Juga ketika kamera digerakkan, kamera dengan kapasitas teknis
narasi kristal atau narasi non-organik. Narasi non-organik ini dibentuk melalui
situasi-situasi yang murni ‘optik dan suara’. Imaji-kristal adalah terminologi yang
menjelaskan hancurnya situasi yang menjadi acuan sebuah imaji (Deleuze, 2005:
128).
keterbacaannya pada skema motor-sensor. Montase yang diambil alih oleh sensasi
long take, tidak mengandaikan nihilnya gerak sama sekali, namun gerak menjadi
konkret dari imaji-kristal bisa dilihat dalam film-film Jean-Luc Godard, Alain
Resnais, Pier Paolo Passolini. Bagi Deleuze (2005: 137) upaya pencarian imaji
baru tersebut bertujuan untuk mengakhiri prasangka sinema atas realitas yang
72
berpotensi menciptakan narasi yang menunggalkan kebenaran. Deleuze dalam
Cinema 2 menulis:
dalam sinema tidak lagi sekedar narasi dalam konteks bangunan cerita, alur, juga
narasi atas dibebaskannya waktu atau representasi waktu secara langsung. Persis
Semiotika tidak lagi jadi andalan utama untuk menjelaskan sinema dari titik tolak
73
Artinya:
Sinema bermula dengan fotogram-fotogram (photogrammes)—yang adalah,
bagian-bagian tidak bergerak (immobile sections)—24 f/s (atau delapan belas
pada mulanya). Tapi itu telah sering dicatat bahwa apa yang diberikan sinema
pada kita bukanlah fotogram: sinema adalah mediasi antar imaji, yang mana
gerak dibubuhkan atau ditambahkan; gerak sebaliknya memiliki intermediasi
imaji sebagai imediasi yang terberi. Itu mungkin dikatakan bahwa posisi dari
persepsi alami adalah sama. Tapi di situ terdapat ilusi yang telah dikoreksi ‘di
atas’ persepsi oleh kondisi yang membuat persepsi mungkin dalam subjek.
Dalam sinema, bagaimanapun gerak telah dikoreksi pada saat yang sama sebagai
imaji yang mengemuka kepada penonton tanpa persyaratan (dalam hal ini,
sebagaimana yang kita lihat, fenomenologi adalah benar dalam mengasumsikan
bahwa persepsi alami dan persepsi sinematografis secara kualitatif berbeda).
Singkatnya, sinema tidak memberi kita imaji di mana gerak ditambahkan, sinema
secara langsung memberi kita imaji-gerak.
bergerak. Kedua, gerak itu sendiri. Dalam sinema, bagian-bagian tidak bergerak
dan gerak itu sendiri berelasi secara komplementer atau saling melengkapi.
Artinya, bagian-bagian tidak bergerak tidak akan disebut sinema ketika gerak itu
penulis akan menjawab bahwa sinema menurut Deleuze pada dasarnya adalah
imaji. Imaji dalam konteks lain telah dikemukakan Deleuze dalam kajian Deleuze
tentang filsafat Nietzche, yakni tentang imaji pemikiran. Namun beberapa tahun
74
terhubung secara langsung dengan keberadaan imaji pemikiran. Dalam konstelasi
tersebut, relasi antara filsafat dan sinema tepat jika dimulai dari relasi antara imaji
dan pemikiran, antara imaji tentang konsep dan konsep tentang imaji.
75
BAB IV
Pada Bab IV ini penulis akan mengurai jawaban dari rumusan masalah
ketiga, yakni bagaimana relasi filsafat dan sinema menurut Gilles Deleuze?
Jawaban dari rumusan masalah tersebut menjadi inti dari penelitian ini. Penulis
yakni apa itu filsafat menurut Deleuze? Dan rumusan masalah kedua, yakni apa
itu sinema menurut Deleuze? Penulis secara sistematis akan mengurai jawab
dengan chaos. Dihadapan chaos, filsafat hanyalah salah satu bentuk pemikiran.
Dua bentuk pemikiran lain adalah sains dan seni. Deleuze mengatakan bahwa
filsafat, sains dan seni memiliki cara kerja dan tataran yang spesifik. Deleuze
76
setiap waktu oleh aksi pengamat parsial, sains mendefinisikan berbagai kondisi
urusan, fungsi atau proposisi referensial... ...Seni berkeinginan menciptakan yang
terbatas yang bisa memulihkan kembali yang tidak terbatas: seni merancang
tataran komposisi... melalui aksi imaji-imaji estetis, seni melahirkan monumen
atau sensasi komposisi (Deleuze-Guattari, 2004: 266).
Separasi filsafat, sains dan seni dipertemukan oleh satu kesamaan, yakni
filsafat, sains dan seni sama-sama sebagai aktivitas berpikir. Aktivitas berpikir
tersebut dijalankan melalui konsep oleh filsafat, fungsi oleh sains dan sensasi oleh
seni. Bagi Deleuze tidak satu pun di antara tiga bentuk pemikiran tersebut yang
lebih baik atau lebih buruk. Deleuze dalam hal ini memaparkan argumentasinya.
Ketiga pemikiran yang berlangsung melalui konsep atau fungsi atau sensasi itu
saling bersinggungan dan berjalin-kelindan, namun tanpa sintesis atau
identifikasi. Dengan konsepnya, filsafat memunculkan peristiwa-peristiwa. Seni
mendirikan monumen-monumen dengan sensasi-sensasinya. Sains
mengkonstruksi berbagai kondisi urusan dengan fungsi-fungsinya. Berbagai
jaringan korespondensi dapat dibangun di antara tataran-tataran tersebut. Tapi
jaringan tersebut memiliki titik-titik puncaknya, di mana sensasi itu sendiri
menjadi sensasi konsep atau fungsi... ...konsep menjadi konsep fungsi atau
sensasi... ...fungsi menjadi fungsi sensasi atau konsep (Deleuze-Guattari, 2004:
267).
pemikiran dengan asal-usul heterogen atau jamak. Jadi tidak ada satupun elemen
pemikiran yang bisa tampil sendirian. Setiap elemen selalu tampil dengan elemen
tataran lainnya, misalnya, tataran imanensi filsafat untuk merajut konsep tentu
ini berlaku sebaliknya, yakni tataran komposit seni untuk membentuk sensasi
77
Meskipun demikian antara seni dan filsafat hendaknya tidak dipikirkan
sebagai menyerupai sintesis antara sains dan filsafat, merujuk ke seni atau sintesis
antara sains dan seni, merujuk ke filsafat. Sebab ketiganya bersifat spesifik,
Satu yang membedakan ketiga bentuk pemikiran tersebut adalah sifat dasar
imanensi, sedangkan apa yang disebut konsep adalah entitas spesifik yang
menempatinya. Tataran seni adalah tataran komposit, sedangkan apa yang disebut
sensasi adalah entitas spesifik yang menempatinya. Tataran sains adalah tataran
fungtif, sedangkan apa yang disebut fungsi adalah entitas spesifik menempatinya.
Ketiganya memiliki entitas yang khas, dan entitas yang khas itu beroperasi dengan
mengatakan bahwa seni itu mengawetkan dan seni adalah satu-satunya yang
terawetkan di dunia ini. Seni mengawetkan dan terawetkan dalam dirinya sendiri
walaupun secara aktual seni tidak lebih lama bertahan dari penyokong dan
Da Vinci: senyuman gadis muda yang memelihara pose dan senyumnya selama
ribuan tahun. Lukisan Monalisa tidak tergantung lagi dengan pelukisnya, yakni
78
adalah kumpulan sensasi-sensasi yang terbentuk melalui perpaduan sejumlah
persepsi dan afek dengan afeksi. Menurut Deleuze persep independen dari
persepsi manusia, demikian juga dengan afek yang bukanlah afeksi atau tindakan
Deleuze dengan demikian, memposisikan persep dan afek sebagai sumber daya
yang menjadi prasyarat terjadinya persepsi dan afeksi. Persep dan afek adalah
aspek objektif dari persepsi dan afeksi, sedangkan persepsi dan afeksi adalah
kata lain yaitu ada dalam ketidakhadiran manusia, sebab manusia sendiri ketika
tertangkap dalam batu sebagai patung, pada kanvas sebagai lukisan atau dalam
kata-kata sebagai puisi merupakan perpaduan berbagai afek dan persep. Deleuze
menyimpulkan bahwa “karya seni merupakan suatu wujud sensasi dan bukan
yang lainnya: seni eksis dalam dirinya sendiri” (Deleuze-Guattari, 2004: 288).
79
(topangan kanvas, kuas lukis ataupun hal yang sebanding, warna dalam tube)
sampai-sampai sulit untuk mengatakan di mana, dalam kenyataannya, material
berakhir dan sensasi dimulai; persiapan kanvas, lintasan bulu-bulu kuas, dan
banyak hal tambahan lainnya secara jelas merupakan bagian dari sensasi
(Deleuze-Guattari, 2004: 230).
Dengan sarana-sarana material, seni bertujuan untuk merebut persep dari sejumlah
persepsi akan objek-objek dan sejumlah keadaan subjek yang mempersepsi untuk
merebut afek dari sejumlah afeksi sebagai transisi dari satu keadaan lainnya dan
untuk mengekstraksi suatu blok sensasi-sensasi. Sensasi ini adalah wujud murni
dari seni yang dengannya sebuah seni mungkin dikonstruksi. Jadi penulis bisa
simpulkan bahwa struktur dasar dari seni adalah sensasi. Ada dari seni adalah
sensasi.
Jika blok sensasi-sensasi terbentuk dari sejumlah afek dan persep. Lalu
apa jelasnya afek dan persep itu? “Afek persisnya merupakan berbagai
Bagi Deleuze, seniman itu sendiri adalah seorang yang melihat, seorang yang
telah melihat sesuatu yang terlalu besar dalam kehidupan, juga demikian tidaak
tertahankan, dan kehidupan yang melingkupi secara timbal-balik dengan apa yang
mengancamnya. Dalam hal ini, seniman mirip dengan para filsuf. “Mereka sama-
sama melihat sesuatu yang terlalu berlebihan bagi seseorang dalam kehidupan,
juga terlalu berlebihan bagi diri mereka sendiri (Deleuze-Guattari, 2004: 238),”
80
Deleuze menyebut bahwa satu-satunya relasi atau yang menghubungkan
sinema dan filsafat adalah relasi antara imaji dan konsep. Dalam konteks ini, jika
penulis merujuk pada kajian Michael Hardt tentang filsafat Deleuze yang tertuang
perbedaan dan keunikan. Deleuze mengambil inspirasi dari Bergson dan Spinoza.
Dua filsuf yang bediri di luar garis Hegel dan Heidegger. Pertama, Deleuze
ada, yakni prinsip temporal atas artikulasi dan diferensiasi ontologis. Di situ
Bergson tidak berbicara apa itu ada, tapi bagaimana ada itu bergerak. Pada untaian
itu, dengan demikian, konsep perbedaan Bergson harus dibedakan dari konsep
perbedaan Hegelian, karena dalam konteks yang sama, pemahaman Hegel tentang
tentang kausalitas. Abstrak dalam pengertian gerak negatif atas kontradiksi posisi
itu sendiri bersifat internal dengan halnya. Logika sebab selalu inheren dengan
akibatnya. Dalam kerangka ini gerak ontologis dengan demikian adalah bebas dari
81
tiap permainan negasi dan sebaliknya mengafirmasi yang positif secara absolut
tidak mendefinisikan ada dari perbedaannya atas yang lain, dari semacam non-
ada, sebagaimana dalam negativitas Hegelian, tapi lebih tepatnya oleh sebuah
fakta bahwa ada adalah berbeda dalam dirinya sendiri. Hal ini oleh Deleuze telah
“pemisahan dari tiap distingsi numerik, distingsi real yang dilaksanakan ke dalam
“Ada” Spinozian adalah luar biasa. “Ada” Spinoza adalah perbedaan tanpa
acuan eksternal. “Ada” Spinoza adalah singular. Dalam konteks Spinozian, yang
afirmasi. Dua titik tolak ini kemudian meneguhkan konsepsi Deleuzian atas
bahwa ontologi Deleuze bercorak positif dan materialis. Ontologi Deleuze adalah
negasi.
82
Ini sebetulnya tidak berbeda dengan pendekatan Deleuze pada sinema.
Beberapa sutradara tersebut juga layak disandingkan dengan beberapa filsuf besar.
keduanya dari Bergson. Penjelasan atas itu telah penulis singgung dalam Bab
untuk mencari dan menetapkan prinsip pertama dari kosmos, yakni: Air.
perangkatnya: cinematograph. Saat itu juga pengunjung Grand Café Paris telah
tertentu? Untuk menjawabnya prnulid perlu merujuk Bab III dalam Cinema 1,
yakni ketika Deleuze memilah empat jenis montase yang mengemuka dalam
empat tradisi sinema yang berbeda, yaitu Uni Soviet, Amerika Serikat, Prancis,
83
(dialektika materialis), Rene Descartes (logika geometris), Imannuel Kant
(Kritisisme). Melalui potongan antara imaji sebagai dasar sinema dan konsep
...no models are specific to one discipline or one field of knowledge. What
interests me is resonances, given each field with its own rhythms and history, and
the dislocation between developments and transformations in different fields. At
a particular point philosophy, for example, transformed the relations between
motion and time; cinema may have been doing the same thing, but in a different
context, along different lines. So there's a resonance between decisive events in
the histories of the two fields, although the events are very dissimilar.Cinema is
one type of image. Between different types of aesthetic image, scientific
functions, and philosophical concepts, there are currents of mutual exchange,
with no overall primacy of any one field. In Bresson you get disconnected spaces
with tactile continuities, in Resnais you get probabilistic and topological spaces,
which correspond to spaces in physics and mathematics, but which cinema
constructs in its own way ( Je t'aime, Jet'aime). The relation between cinema and
philosophy is that between image and concept. But there's a relation to the image
within the concept itself, and a relation to the concept within the image: cinema,
for example, has always been trying to construct an image of thought, of the
mechanisms of thought. And this doesn't make it abstract, quite the reverse.
(Deleuze, 1995: 64-65).
Artinya:
...tidak ada satu model yang khusus untuk satu disiplin atau satu bidang
pengetahuan. Yang menarik menurut saya adalah resonansi, yang memberi ritme
dan sejarah sendiri bagi tiap bidang, dan dislokasi antara perkembangan dan
transformasi di bidang yang berbeda. Pada titik tertentu, filsafat, misalnya,
mentransformasikan hubungan-hubungan antara gerak dan waktu; yang mungkin
telah dilakukan oleh sinema, tapi dalam konteks yang berbeda, juga dengan
bentuk yang berbeda. Maka ada resonansi antara peristiwa-peristiwa penting
dalam sejarah dua hal, meski peristiiwa-peristiwa sangat berbeda. Sinema adalah
satu jenis imaji. Di antara jenis-jenis imaji estetik yang berbeda, fungsi-fungsi
ilmiah, dan konsep-konsep filosofis, ada arus saling tukar, tanpa ada bidang yang
lebih unggul dari bidang yang lain. Dalam karya Bresson, anda dapatkan ruang-
ruang terpisah dengan kesinambungan faktual, dalam karya Resnais anda
temukan ruang-ruang probabilitas dan topologi, yang berhubungan dengan ruang-
ruang dalam fisika dan matematika, tapi dibangun dengan caranya sendiri oleh
sinema (Je t’aime, Je t’aime). Relasi antara sinema dan filsafat adalah relasi
antara imaji dan konsep. Tapi ada hubungan dengan imaji dalam konsep itu
sendiri, dan hubungan dengan konsep dalam imaji: sinema, misalnya, selalu
berusaha untuk mengkonstruksikan imaji pemikiran, mekanisme pemikiran. Dan
hal ini tidak lantas membuatnya jadi abstrak, justru sebaliknya.
84
Bagi Deleuze setiap bidang berelasi dengan cara beresonansi. Dalam resonansi
tersebut antara satu bidang dan bidang lain tidak ada yang lebih unggul dan lebih
rendah, baik filsafat atau sinema secara terbatas; atau antara filsafat, sains dan seni
secara lebih luas, karena masing-masing bidang secara umum telah mampu
beda. Pada petikan di atas, seperti yang jelas tertulis bahwa relasi antara filsafat
Itu seperti yang telah dijelaskan ketika Deleuze mengacu pada imaji konseptual
yang dibangun Bresson dan Resnais dalam film-filmnya. Di sisi lain, filsafat
sinematografis sebagai tipe baru dari filsafat (Colman, 2011: 1). Dengan cara
tentang filsafat klasik dan modern, juga teori film abad 20, Deleuze mengeksekusi
85
Deleuze merajut kompleksitas relasi perseptual filsafat atas imaji, persepsi
dan konsep-konsep politis yang dinamakan atau dirajut oleh Aristotoles, Plato,
Kant, Hegel, Heidegger. Deleuze juga menyertakan filsuf yang membelot dari
semua nama itu di dalam sinema yang diperlakukan sebagai filsafat dalam
banyak kanon historis dan teoritis tentang sinema, Deleuze juga tidak
Singkatnya, Deleuze memerankan diri sebagai ahli filsafat sekaligus filsuf yang
teorisi film: Andre Bazin, Jean Epstein, Lotte Eisner, Jean Mitry, Jean Louis
Schefer, Cristian Metz, Noer Burch dan Pier Paolo Passolini. Untuk pembuat film
diantaranya: F.W. Murnau, Sergei Eisenstein, Dziga Vertov, D.W. Griffiths, Rene
Clair, Alain Resnais, Glauba Rocha, Orsson Welles, Wim Wenders dan Jean
Vigo. Yang mana darinya, Deleuze merengkuh sebentuk ontologi sinematik yang
terjalin dalam karya-karya meraka. Selain itu, ada sebutan spesifik bagi sutradara
86
sebagai auteurist directors, atau sutradara yang menuliskan atau
Bunuel, Alfred Hitchcock, Fritz Lang, Jean-Luc Godard, Robert Bresson, Alain
Resnais, Werner Herzog. Objek observasi tersebut masih bisa diperpanjang lagi
dengan menyertakan beberapa aktor kanon seperti Charlie Chaplin, Ava Gardner,
Maria Falconetti, Greata Garbo, Stanley Baker, Alain Delon, Klaus Kinski,
Philosophy? Bahwa tugas filsafat dari dulu hingga kini tak pernah berubah, yaitu
sinema, Deleuze melihat bahwa teori sinema pada abad 20, ternyata tidaak pernuh
dibentuk dari sinema itu sendiri. Ini sebagaimana yang secara jelas Deleuze tulis
A theory of cinema is not ‘about’ cinema, but about cinema, but about the
concepts that cinema gives rise to and which are themeselves related to other
concepts corresponding to other practices, the practice of concepts in general
having no privilege over others, any more than one object has over others. It is at
the level of the interference of many practices that things happen, beings, images,
concepts, all the kinds of events. The theory of cinema does not bear on the
cinema, but on the concepts of the cinema, which are no less practical, effective
or existent than cinema itself. The great cinema authors are like the great painters
or great musicians: it is they who talk best about what they do. But, in talking
they become something else, they become philosophers or theoreticans—even
Hawks who wanted no theories, even Godard when he pretends to distrust them.
Cinema’s concepts are not given in cinema. And yet they are cinema’s concepts,
not theories about cinema. So that there is always a time, midday-midnight, when
we must no longer ask ourselves, ‘What is cinema?’ but What is Philosophy?’
Cinema itself is a new practice of images and signs, whose theory philosophy
must produce as conceptual practice. For no technical determination, whether
87
applied (psychoanalysis, linguistics) or reflexive, is sufficient to constitute the
concepts of cinema itself (Deleuze, 2005: 268).
Artinya:
Sebuah teori sinema bukanlah ‘tentang’ sinema, tapi tentang konsep-konsep yang
diberikan sinema yang mengemuka pada dan adanya itu sendiri berelasi pada
pada konsep-konsep lain yang berkorespondensi pada praktik-praktik lain,
sebuah praktik atas konsep-konsep secara umum tidak memiliki keistimewaan di
atas yang lain, tiap lebih dari satu objek di atas yang lain. Ia ada pada tingkat atas
campur tangan banyak praktik-praktik hal yang terjadi, ada, imaji, konsep, segala
jenis peristiwa. Sebuah teori sinema tidaklah memikul sebuah sinema, tapi atas
konsep-konsep sinema, yang adalah tidak kurang praktis, efektif atau ada
ketimbang sinema itu sendiri. Beberapa author besar sinema seperti pelukis-
pelukis besar atau musisi-musisi besar: ialah mereka yang berbicara baik tentang
apa yang mereka kerjakan. Tapi dalam berbicara, meraka menjadi sesuatu yang
lain, mereka menjadi filsuf atau teorisi—bahkan Hawks yang tidak mencari teori-
teori, bahkan Godard ketika ia berpura-pura untuk tidak mempercayainya.
Konsep-konsep sinema adalah tidak terberi dalam sinema. Dan waktu mereka
berlalu, tengah hari-tengah malam, ketika kita seharusnya tidak lagi
membicarakan diri kita sendiri, ‘apa itu sinema?’ tapi ‘apa itu filsafat?’ sinema
itu sendiri adalah sebuah praktik baru atas imaji dan tanda, yang teori filsafat
harus memproduksinya sebagai praktik konseptual. Padanya bukan determinasi
teknis, baik yang diaplikasikan (psikoanalisis, lingusitik) atau direfleksikan,
adalah cukup untuk mengkonstitusikan sebuah konsep dari sinema itu sendiri.
menunjukkan konstitusi imanen atas ikhwal seperti idea, konten dan imaji-imaji,
sebagaimana oposisinya atas yang transenden sebagai konstitusi atas ada yang
buram, misterius dan sublim. Beberapa konsep yang sebelumnya telah dikerjakan
soal perbedaan yang tertuang dalam Difference and Repetition dan bentuk logis
dari makna yang tertuang dalam Logic of Sense. Deleuze mengangkat keberadaan
dimensi ke empat dan problem filsafat Plato tentang bentuk real (Colman, 2011:
17).
88
Apa yang dimaksud dengan dimensi ke-empat di situ adalah waktu,
sedangkan dimensi pertama, kedua, ketiga; secara berurutan adalah panjang, lebar
dan kedalaman. Ini menyangkut ruang atau aspek spasial. Dari sini kemudian
diketahui bahwa gerak dan waktu kerap dipikirkan dengan cara disubordinasikan
mematahkan asumsi itu, sebab gerak dan waktu dalam sinema, maksudnya: imaji-
gerak dan imaji-waktu, memungkinkan dua entitas tersebut untuk menyempal dari
subordinasi ruang. “Time is out of joint”, demikian Deleuze (2005: xi) mengutip
Tentang bentuk real Platonian, maksudnya adalah soal aktualitas dunia ini
yang tidak diakui sebagai yang real, sebagaimana diketahui bahwa Plato lebih
menaruh simpati dan esensialisasi atas dunia sana atau dunia idea yang lebih
superior, real dan esensial, dan akhirnya juga lebih layak menjadi tujuan utama,
baik secara logis ataupun etis. Pada konteks ini Deleuze melayangkan kritk pada
sana, namun menegasi imanensi dunia ini. Sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, bagi Deleuze sebuah imanensi murni adalah kehidupan ini. Jelasnya
maka aku ada”-nya Descartes. Dalam filsafat Descartes sebuah keberadaan diakui
sebagai ada dengan mensyaratkan lebih dahulu sebuah aku yang berpikir.
89
Deleuze juga menyertakan kajiannya tentang Bergson, yakni soal materi
Deleuze menyinggung ikhwal internalisasi waktu pada setiap ranah. Ini sekilas
mirip dengan salah satu aspek mendasar dalam imperatif kategoris Kantian. Tapi
walaupun demikian, dalam sinema, Deleuze tetap terlihat lebih berkiblat pada
Bergson ketimbang pada Kant. Sebab baginya, bukan waktu yang internal pada
perincian sebuah aspek krusial dalam membangun sistem atau logika sinemanya
sinematik bercorak sosial, sinema adalah sistem yang hidup (Colman, 2011: 18).
Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa sinema adalah entitas sistemik yang
terus menjadi. Maksudnya, sinema adalah entitas dengan sistem terbuka yang bisa
dikooptasi oleh apapun, termasuk sistem lain seperti politik, filsafat, komedi, fiksi
ilmiah dan lain sebagainya. Keterbukaan ini di sisi lain juga mengandaikan bahwa
sinema bukanlah sistem tertutup. Maka dari itu sinema tak akan berhasil
menjadikan dirinya menjadi sistem tertutup yang terus mengulang klise dan
sinema secara intensif (Colman, 2011: 20). Oleh karena itu, dalam dua manuskrip
90
sinemanya, Deleuze sering mengingatkan tentang sebuah struktur pemikiran dan
struktur imaji; atau semacam relasi antara determinasi dan indeterminasi sebuah
persepsi a priori bahwa seseorang ada bersama hal-hal dalam dunia yang
cenderung memberikan bentuk pada idea-idea yang dimiliki dari imaji film,
atas layar sinema, tepatnya imaji pemikiran yang terkonstitusikan sebagai materi,
relasi antara otak dan layar adalah identik. Deleuze menyatakan bahwa otak
The brain is unity. The brain is the screen. I don't believe that linguistics and
psychoanalysis offer a great deal to the cinema. On the contrary, the biology of
the brain—molecular biology—does. Thought is molecular. Molecular speeds
make up the slow beings that we are. As Michaux said, "Man is a slow being,
who is only made possible thanks to fantastic speeds." The circuits and linkages
of the brain don't preexist the stimuli, corpuscles, and particles [grains] that trace
them. Cinema isn't theater; rather, it makes bodies out of grains. The linkages are
often paradoxical and on all sides overflow simple associations of images.
Cinema, precisely because it puts the image in motion, or rather endows the
image with self-motion [automouvement], never stops tracing the circuits of the
brain. This characteristic can be manifested either positively or negatively. The
screen, that is to say ourselves, can be the deficient brain of an idiot as easily as a
creative brain (Deleuze dalam Flaxman, ed., 2000: 366).
Artinya:
Otak adalah sebuah kesatuan. Otak adalah layar. Saya tidak percaya bahwa
linguistik dan psikoanalisa menawarkan sesuatu yang besar terhadap sinema.
Sebaliknya, justru biologi otak – molekular biologi – lah yang menawarkan hal
tersebut. Pemikiran adalah molekul. Kecepatan molekul yang membentuk
makhluk lamban seperti kita. Sebagaimana Michaux mengatakan, “Manusia
adalah makhluk lamban, yang hanya akan berterima kasih pada kecepatan-
kecepatan yang fantastis.” Lintasan dan hubungan otak tidak memicu rangsangan
yang sudah ada sebelumnya, corpuscles, dan partikel [kehendak] yang mengikuti
mereka. Sinema bukan teater; malahan, sinema membuat tubuh lepas dari
kehendak. Hubungan-hubungan yang terjalin seringkali paradoksial dan pada
91
semua sisi mengalir asosiasi sederhana dari imaji. Sinema, tepatnya karena ia
meletakkan imaji dalam gerakan, atau cenderung memberikan imaji dalam
gerakannya sendiri [automouvement], tidak pernah berhenti mengikuti jejak
lintasan otak. Karakteristik ini dapat dimanifestasikan baik secara positif maupun
secara negatif. Layar, yang mengatakan pada kita, bisa jadi kekurangan otak dari
orang idiot atau menampilkan otak orang kreatif.
aspek biologis seperti otak manusia menjadi prasyarat organik bagi mungkinnya
Sekarang telah diketahui bahwa dari dan dengan otaklah, gagasan sinema
atau filsafat serumit apapun tetaplah bisa dipahami. Otak adalah pencipta
pemikiran yang berkembang pesat di studi film Inggris-Amerika, maka dari itu
Kembali pada soal epistemologi dan metodologi yang secara umum dan
seorang pemikir menjadi subjektivis atau objektivis dalam hal epistemologi atau
dari sinema itu sendiri.” Atau sinema sebagai objek yang hendak diketahui,
bahwa “sebuah teori sinema harus memproduksi imaji dan tanda dalam sinema
92
sebagai praktik konseptual”. Deleuze sebagai seorang subjek filsafat
menumpukan perajutan konsep sinematografis pada teori filsafat, dengan kata lain
filsafat sebagai objek formal, sebagai kerangka baca. Dalam bias tertentu Deleuze
dualisme ini?
antara Deleuze sebagai filsuf dan sinema sebagai objek filsafatnya, terjalin satu
dialektika. Artinya, tanpa keberadaan sinema terlebih dahulu, Deleuze tidak akan
mampu menyimpulkan bahwa sinema adalah praktik filsafat baru sejak awal abad
praktik konseptual. Sampai sini perlu diletakkan sebuah penekanan dari John
Mullarkey (2009: 179): ‘Deleuze tidak mengaplikasikan filsafat pada sinema, tapi
filsafat.’ Gerak ini kemudian mengemukakan sifat sinematik dari filsafat dan sifat
imaji.
kehidupan. Sinema bisa jadi, sebagaimana yang dilihat, adalah satu dari peristiwa
penting dari kehidupan modern (Colebrook, 2002: 29 & 53). Sinema seperti
halnya seni dan sastra, menjadi filosofis bukan karena ia membawa gagasan-
93
gagasan atau pesan-pesan atau menawarkan semacam teori tentang dunia. Sinema
menjadi filosofis karena sinema memproduksi kemungkinan baru untuk mata dan
baru.
Jika menarik kesimpulan atas uraian tersebut dari kategori relasi, yakni
kemudian objektivis dan subjektivis, materialis dan spiritualis, realis dan idealis
Adakah relasi sinema dan filsafat? Jawabnya: ada. Bagaimana pola relasi
Artinya, filsafat dan sinema tidak bersentuhan secara aktual, namun secara virtual,
yakni melalui imaji pemikiran. Penulis berpendapat bahwa secara aktual filsafat
dan sinema tidaklah sama. Sinema bekerja dengan imaji-gerak dan imaji-waktu,
komposit sebagaimana seni-seni lain, misalnya musik, sastra dan lukisan. Deleuze
menyatakan bahwa semua seni mengekstraksi afek dan persep untuk membentuk
94
kehidupan. Tataran imanensi itu sendiri dipahami Deleuze sebagai tataran absolut
95
Bab V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini penulis akan mengurai beberapa poin tentang filsafat
menurut Deleuze, sinema menurut Deleuze, relasi filsafat dan sinema menurut
Deleuze.
filsafat adalah konsep. Dalam hal ini berarti jika Deleuze menetapkan
filsafat adalah tataran imanensi yang tidak lain adalah kehidupan itu
tataran absolut yang tidak memiliki batas. Deleuze dengan demikian tidak
konsep. Tugas filsafat melalui para filsuf adalah membuat konsep yang
Persona konseptual adalah figur potensial yang tahu benar mana konsep
96
yang lemah dan tidak bisa bertahan maupun konsep yang kuat, relevan dan
kontekstual.
adalah sistem terbuka yang ditopang oleh gerak dan waktu, namun
bagi Deleuze selalu hadir bersama dengan imaji. Deleuze menyebut imaji-
gerak dan imaji-waktu. Imaji inilah yang menjadi hakikat sinema, yang
tanpanya sinema tidak akan pernah ada. Kemudian sebagai seni, sinema
5. Menurut Deleuze relasi antara sinema dan filsafat adalah relasi antara
imaji dan konsep. Walaupun demikian secara internal tetap ada hubungan
dengan imaji dalam konsep itu sendiri, dan hubungan konsep dalam imaji:
mana antara satu dan yang lain tak ada yang lebih unggul dan lebih
kehidupan.
97
B. Saran
Kajian tentang filsafat dan sinema relatif baru. Bagi penulis mencari relasi
keduanya adalah satu langkah yang tepat, namun demikian penulis juga mengakui
bahwa ada beberapa hal yang terpaksa dilewati karena batasan penelitian,
misalnya, detail sejarah sinema, teori sinema dan beberapa filsuf lain di luar jalur
Bergson. Penelitian semacam ini masih sangat terbuka untuk dilakukan, sebab,
sepanjang abad ke-20, namun sasarannya masih terlalu kanonik, alias sinema-
sinema yang diakui oleh otoritas tertentu. Kemudian karena Deleuze terlalu fokus
luar sinema. Aspek yang penulis maksud adalah aspek industrial. Hal ini
Dalam kenihilan ini, membaca sinema dalam konteks lain, misalnya Marxian
98