Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Penyakit Cidera Kepala Ringan

1. Definisi Penyakit Cidera Kepala Ringan


Demam adalah peningkatan titik patokan (set point) suhu di hipotalamus.
(Dinarello, 2009). Dikatakan demam jika suhu orang menjadi lebih dari 37,5°C
(Graneto, 2010). Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang
sebelumnya telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari
mikroorganisme atau merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak
berdasarkan suatu infeksi (Khausik, 2010). Demam atau febris adalah kenaikan suhu
tubuh diatas variasi sikardian yang normal sebagai akibat dari perubahan pada pusat
termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior. (Nelwan, 2009).

2. Anatomi Fisiologi

Hipotalamus pada daerah dasar atau lunas ventrikel ketiga terdapat beberapa
nukleus tertentu yang memiliki kegiatan fisiologik yang tertentu juga. Fungsi-fungsi
seperti pengaturan suhu tubuh, lapar dan haus diatur oleh pusat-pusat dalam
hipotalamus. Sulkul sentralis atau fisura rolandi memisahkan lobus frontalis dari lobus
parietalis. Lobus oksipitalis terletak dibelakang lobus frontalis dan bersandar pada
tentonium seregali yaitu sebuah lipatan duramater yang memisahkan fosa kranialis
tengah, fosa kranialis posterior dibawahnya sulkul lateralis atau fisura dilurus
memisahkan lobus temporalis dari lobus frontalis pada daerah sebelah anterior dan
dari lobus parietalis pada sebelah posterior ((Dinarello & Gelfand, 2005).
3. Etiologi

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain
pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis,
bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran
kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah
dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011).
Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides
imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis
(Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan
tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus,
vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll),
dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Khausik,
2010).
Selain itu jika pada anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek
samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang
juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem
saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau
gangguan lainnya (Nelwan, 2009).

4. Tanda dan Gejala


Pada saat terjadi demam, gejala klinis yang timbul bervariasi tergantung pada
fase demam, meliputi (Nelwan, 2009).:
a. Fase pertama awal (awitan dingin / menggigil)
1) Peningkatan denyut jantung
2) Peningkatan laju dan kedalaman pernafasan
3) Menggigil akibat tegangan dan kontraksi otot
4) Peningkatan suhu tubuh
5) Pengeluaran keringat berlebih
6) Rambut pada kulit berdiri
7) Kulit pucat dan dingin akiat vasokontriksi pembuluh darah
b. Fase kedua (proses demam)
1) Proses menggigil lenyap
2) Kulit terasa hangat / panas
3) Merasa tidak panas / dingin
4) Peningkatan nadi
5) Peningkatan rasa haus
6) Dehidrasi
7) Kelemahan
8) Kehilangan nafsu makan
9) Nyeri pada otot akibat katabolisme protein
c. Fase ketiga (pemulihan)
1) Kulit tampak merah dan hangat
2) Berkeringat
3) Menggigil ringan
4) Kemungkinan mengalami dehidrasi

5. Patofisiologi
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen
eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen
eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya.
Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan
oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang
merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen
endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini
pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi.
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator
inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia
yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen
dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian
akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus
akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini
memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,
vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan
terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada
akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut.
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh
yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot
yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan
menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi
panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga
yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi
pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga
tubuh akan berwarna kemerahan (Nelwan, 2009).

6. Pathway

Agen infeksius Dehidrasi


mediator inflamasi

Tubuh kehilangan cairan


Monosit/makrofag

Penurunan cairan intrasel


Sitokin pirogen

Demam
Mempengaruhi
hipotalamus anterior

Aksi antipiretik

Hipertermi
Peningkatan Ph berkurang
evaporasi

Anoreksia
Resiko Defisit Volume
Cairan
Intake nutrisi
berkurang

Resiko Gangguan Pemenuhan Nutrisi


Kurang dari Kebutuhan Tubuh
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Syaifuddin (2009), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
a. Pemeriksaan fisik
b. Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan darah rutin, kultur urine dan kultur darah

8. Penatalaksanaan
Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap
perubahan titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk
merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam.
Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua garis besar yaitu: nonfarmakologi
dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan penanganan demam secara langsung oleh
dokter apabila penderita dengan umur >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan
dengan suhu >39°C, penderita dengan suhu >40,5°C, dan demam dengan suhu yang
tidak turun dalam 48-72 jam (Davis, 2011).
a. Terapi non-farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan
demam:
1) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan
beristirahat yang cukup.
2) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat
menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai
satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman
kepada penderita.
3) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif
terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan
menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti
4) Tidur yang cukup agar mencegah metabolism berlebih (Davis, 2011).
b. Terapi farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol
(asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas
sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-
anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan
OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko
sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik, Pineda, & Kest, 2010). Selain pemberian
antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk mengatasi
penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi
bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri
apabila memungkinkan (Graneto, 2010).
B. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis

Menurut Wijaya dan Putri tahun 2013, dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien yang membutuhkan perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses
keperawatan, dimana proses keperawatan itu merupakan suatu proses pemecahan yang
dinamis dalam usaha untuk memeperbaiki dan melihat pasien sampai ketingkat kesehatan
yang optimal melalui suatu pendekatan yang tersusun untuk mengenal, membantu
memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan melalui langkah-langkah seperti perencanaan,
pelaksanaan tindakan dan evaluasi keperawatan yang berkelanjutan.

1. Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji pada pasien dengan febris yaitu:
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat dan
status pernikahan
b. Riwayat kesehatan
Meliputi keluhan utama, kapan demam terjadi, penyebab demam, riwayat kesehatan
yang lalu dan riwayat kesehatan keluarga
c. Pemeriksaan fisik
Meliputi keadaan umum dan pemeriksaan persistem
d. Pola fungsi kesehatan
Meliputi pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pola aktivitas dan latihan, pola
nutrisi dan metabolisme, pola eliminasi, pola tidur dan istirahat, pola kognitif dan
perseptual, persepsi diri dan konsep diri, pola toleransi koping stress, pola seksual
dan reproduksi, pola hbungan dan peran, serta pola nilai dan keyakinan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu:
a. Hipertermi berhubungan dengan penyakit
b. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan evaporasi
c. Resiko gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis

3. Intervensi
Menurut Potter & Perry tahun 2005, rencana atau intervensi keperawatan adalah
penyususunan rencana yang akan digunakan untuk mengatasi masalah pasien sesuai
dengan diagnose keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhinnya
kebutuan pasien. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan sesuai diagnosa yang
mungkin muncul pada febris, yaitu:
DIAGNOSA NOC NIC

1. Hipertermi Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor warna kulit dan


keperawatan selama 3x24 suhu
jam diharapkan: 2. Pantau suhu dan tanda-tanda
1. Termoregulasi vitalnya
a. Peningkatan suhu 3. Monitor asupan dan
kulit dipertahankan keluaran, sadari perubahan
pada level 3 kehilangan cairan yang tidak
(sedang) dirasakan
ditingkatkan ke level 4. Pantau komplikasi-
4 (ringan) komplikasi yang
b. Dehidrasi berhubungan dengan demam
dipertahankan pada serta tanda dan gejala
level 3 (sedang) kondisi penyebab demam
ditingkatkan ke level 5. Fasilitasi istirahat
4 (ringan) 6. Tingkatkan sirkulasi udara
c. Menggigil saat 7. Lembabkan bibir dan
dingin di petahankan mukosa hidung yang kering
pada level 3 (cukup 8. Berikan informasi keluarga
terganggu) pasien untuk tutup dengan
ditingkatkan ke level selimut atau pakaian ringan,
4 (sedikit terganggu) tergantung pada fase demam
9. Dorong konsumsi cairan
10. Beri obat atau cairan IV
(misalnya Antipiretik, agen
anti bakteri, dan agen anti
menggigil)

2. Resiko defisit Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor adanya kebingungan,


volume cairan keperawatan selama 3 x 24 perubahan pikiran, keluhan
jam diharapkan ganguan pusing, pingsan
keseimbangan cairan dan 2. Monitor status neurologi
elektrolit dapat teratasi dengan ketat
dengan kriteria hasil: 3. Monitor tanda-tand vital
a. Keseimbangan cairan 4. Monitor TIK pasien dan
1. Kelembaban respon neurologi terhadap
membran mukosa di aktivitas perawatan
pertahankan pada 4 5. Kurangi stimulus dalam
(sedikit terganggu) lingkungan pasien
ditingkatkan pada 5 6. Rencanakan asuhan
(tidak terganggu) keperawatan untuk
2. Tugor kulit memberikan periode istirahat
dipertahankan pada 4 7. Catat perubahan pasien dalam
(sedikit terganggu) berespon terhadap stimulus
ditingkatkan pada 5 8. Dorong keluarga atau orang
(tidak terganggu) terdekat untuk bicara kepada
pasien
9. Monitor nilai-nilai
laboratorium
10. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian pengobatan
farmakologi

3. Resiko gangguan Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan status gizi pasien


pemenuhan keperawatan selama 3x24 dan kemampuan pasien untuk
nutrisi kurang jam diharapkan: memenuhi kebutuhan gizi
dari kebutuhan 1. Status nutrisi 2. Identifikasi adanya alergi atau
tubuh a. Asupan gizi intoleransi makanan yang
dipertahankan pada dimiliki pasien
level 3 ditingkatkan 3. Tentukan apa yang menjadi
ke level 4 preferensi makanan bagi
b. Asupan makanan pasien
dipertahankan pada 4. Tentukan jumlah kalori dan
level 3 ditingkatkan jenis nutrisi yang dibutuhkan
ke level 4 untuk memenuhi persyaratan
c. Asupan cairan gizi
dipertahankan pada 5. Atur diet yang diperlukan
level 3 ditingkatkan (yaitu menyediakan makanan
ke level 4 protein tinggi, menambah
mineral dan vitamin)
6. Ciptakan lingkungan yang
optimal pada saat
mengkonsumsi makan (bersih
dan bebas dari bau yang
menyengat)
7. Lakukan atau bantu pasien
dengan perawatan mulut
sebelum makan
8. Tawarkan makanan ringan
yang padat gizi
9. Monitor kalori dan asupan
makanan
10. Monitor kecenderungan
terjadinya penurunan dan
kenaikan berat badan.

4. Evaluasi
Menurut Potter & Perry tahun 2005, evaluasi adalah suatu tahapan terakhir dari
pengkajian untuk mengetahui apakah tindakan yang dilakukan tercapai atau tidak,
evaluasi dapat dibagi menjadi dua:
a. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setiap implikasi atau setiap hari.
b. Evaluasi promatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah keseluruhan implikasi
selesai dilakukan.

Evaluasi dilakukan untuk mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan


dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Data evaluasi dikumpulkan dengan dasar
kontinuitas untuk mengetahui perubahan dalam fungsi dan kehidupan sehari-hari untuk
menyusun intervensi yang belum tercapai. Evaluasi didokumentasikan ketika perawat
selesai melakukan satu tindakan berdasarkan diagnosa. Evaluasi didapatkan dari hasil
perkembangan klien seelah diberikan implementasi. Perawat mengevaluasi apakah
respon subjektif menunjukkan kemajuan atau kemunduran. Menurut Potter dan Perry
(2005), evaluasi terdiri dari beberapa komponen yaitu:
1. S (Subjektif)
Data subjektif berisi data dri pasien melalui wawancara yang merupakan ungkapan
langsung.
2. O (Objektif)
Data objetif data yang dari hasil observasi melalui pemeriksaan fisik.
3. A (Assesment)
Analisis dan interpretasi berdasarkan data yang terkumpul kemudian dibuat
kesimpulan, yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis atau masalah potensial,
serta perlu tidaknya dilakukan tindakan segera.
4. P (Planning)
Perencanaan merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan termasuk
asuhan mandiri, kolaborasi, diagnosis atau laboratorium, serta konseling untuk
tindak lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Davis, C.P., 2011. Fever in Adults. University of Texas Health Science Center at San Antonio.
Diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 11.34 WIB
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=58831.

Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A., 2009. Fever and Hyperthermia. In: Kasper, D.L., et. al., ed.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Singapore: The McGraw-Hill
Company, 104-108

Gloria, Bulechek, dkk.2016. Nursing Intervention Classification (NIC). Singapore:Elsevier


Globar Rights.

Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of Midwestern
University. Diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 11.45 WIB
http://emedicine.medscape.com/article/801598-overview

Hermand, T.Heater., dan Kamitsuru, Shigemi. 2014. NANDA International Inc.Nursing


Diagnosis:Definition& Classification. Edisi 2014-2015. Jakarta:EGC Penerbit Buku
Kedokteran.

Jenson, H.B., and Baltimore, R.S., 2007. Infectious Disease: Fever without a focus. In:
Kliegman, R.M., Marcdante, K.J., Jenson, H.B., and Behrman, R.E., ed. Nelson
Essentials of Pediatrics. 5th ed. New York: Elsevier

Kaushik, A., Pineda, C., and Kest, H., 2010. Diagnosis and Management of Dengue Fever
in Children. Pediatr. Rev., 31 (1), 28-35. Diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul
20.00 WIB http://pedsinreview.aappublications.org/cgi/reprint/31/4/e28.pdf

Nelwan, R.H., 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing

Potter, & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,.Proses, Dan
Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC.

Sue Moorhead, dkk.2016. Nursing Outcomes Classification (NOC).Singapore:Elsevier Globar


Rights.

Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Wijaya dan Putri.2013. Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai