Makalah Perkembangan Anak Usia Sekolah M
Makalah Perkembangan Anak Usia Sekolah M
Kelas 2D
1
KATA PENGANTAR
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Peserta
Didik.Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan,
untuk itu penulis mohon maaf dan dengan senang hati menerima kritik dan saran sebagai
bekal acuan untuk lebih baik dikemudian hari.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi bekal pengetahuan dan manfaat
bagi kita semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 28
B. Saran ..................................................................................................................... 28
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
B. Rumusan Masalah
1. Perkembangan apa saja yang terjadi pada masa anak usia sekolah?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas , makalah ini secara khusus memiliki
tujuan sebagai berikut :
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Aspek Fisik
Secara fisik, masa remaja ditandai dengan dengan adanya pubertas yaitu
masa ketika sesorang mencapai kematangan seksual dan kemampuan reproduksi.
Remaja pria mengalami pertumbuhan pada organ testis, penis pembuluh mani,
dan kelenjar prostat. Matangnya organ-organ ini memungkinkan remaja pria
mengalami mimpi basah. Sementara remaja wanita ditandai dengan tumbuhnya
rahim, vagina dan ovarium. Ovarium menghasilkan ova (telur) dan mengeluarkan
hormon-hormon yang diperlukan untuk kehamilan, dan perkembangan seks
sekunder. Matangnya organ-organ seksual memungkinkan wanita remaja untuk
mengalami menstruasi.
Fase remaja ini merupakan masa terjadinya banjir hormon, yaitu zat-zat kimia
yang sangat kuat, yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar endoktrin dan dibawa
6
keseluruh tubuh oleh aliran darah. Konsentrasi hormon-hormon tertentu
meningkat secara dramatis selama masa remaja, seperti hormon testosteron dan
estradiol.
1. Pengaruh Keluarga
2. Pengaruh Gizi
Anak yang mendapatkan gizi cukup biasanya akan lebih tinggi tubuhnya dan
sedikit lebih cepat mencapai taraf dewasa dibadingkan dengan mereka yang tidak
mendapatkan gizi cukup.
Lingkungan juga dapat memberikan pengaruh pada remaja sedemikian rupa
sehingga menghambat atau mempercepat potensi untuk pertumbuhan dimasa
remaja.
3. Gangguan Emosional
7
4. Jenis Kelamin
Anak laki cenderung lebih tinggi dan lebih berat dari pada anak perempuan,
kecuali pada usia 12 – 15 tahun. Anak perempuan baisanya akan sedikit lebih
tinggi dan lebih berat dari pada laki-laki-laki. Hal ini terjadi karena bentuk tulang
dan otot pada anak laki-laki berbeda dengan perempuan. Anak perempuan lebih
cepat kematangannya dari pada laki-laki.
Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah,
cenderung lebih kecil dari pada anak yang bersal dari keluarga dengan tingkat
ekonomi tinggi.
6. Kesehatan
8
orang lain dan masyarakat) dan logis (seperti menyusun rencana untuk
memecahkan masalah).
Pada masa ini terjadi reorganisasi lingkaran syaraf Lobe Frontal yang
berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi yaitu kemampuan merumuskan
perencanaan dan pengambilan keputusan.
3. Aspek Bahasa
Bahasa remaja adalah bahasa yang telah berkembang ia telah banyak belajar
dari lingkungan, dan dengan demikian bahasa remaja terbentuk dari kondisi
lingkungan. Lingkungan remaja mencakup lingkungan keluarga, masyarakat dan
khususnya pergaulan teman sebaya, dan lingkungan sekolah. Pola bahasa yang
dimiliki adalah bahasa yang berkembang di dalam keluarga atau bahasa itu.
Perkembangan bahasa remaja dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan
masyarakat di mana mereka tinggal. Hal ini berarti pembentukan kepribadian
yang dihasilkan dari pergaulan masyarakat sekitar akan memberi ciri khusus
dalam perilaku bahasa. Bersamaan dengan kehidupannya di dalam masyarakat
luas, anak (remaja) mengkutip proses belajar disekolah. Sebagaimana diketahui,
di lembaga pendidikan diberikan rangsangan yang terarah sesuai dengan kaidah-
kaidah yang benar. Proses pendidikan bukan memperluas dan memperdalam
cakrawala ilmu pengetahuan semata, tetapi juga secara berencana merekayasa
perkembangan sistem budaya, termasuk perilaku berbahasa. Pengaruh pergaulan
di dalam masyarakat (teman sebaya) terkadang cukup menonjol, sehingga bahasa
anak (remaja) menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di
dalam kelompok sebaya. Dari kelompok itu berkembang bahasa sandi, bahasa
kelompok yang bentuknya amat khusus, seperti istilah baceman dikalangan
pelajar yang dimaksudkan adalah bocoran soal ulangan atau tes. Bahasa prokem
terutama secara khusus untuk kepentingan khusus pula.
Ragam bahasa remaja memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-
kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan
diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih
9
pendek seperti ‘permainan diganti dengan mainan, pekerjaan diganti dengan
kerjaan.
Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal.
Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat
menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak
lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna
menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli
bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Kita bisa mendengar
bagaimana bahasa remaja ini dibuat begitu singkat tetapi sangat komunikatif.
Dalam perkembangan masyarakat modern sekarang ini, di kota-kota besar bahkan
berkembang pesat bahasa khas remaja yang sering dikenal dengan bahasa gaul. Bahkan
karena pesatnya perkembangan bahasa gaul ini dan untuk membantu kalangan diluar
remaja memahami bahasa mereka, Debby Sahertian (2000) telah menyusun dan
menertibkan sebuah kamus khas remaja yang disebut dengan “Kamus Bahasa Gaul”.
Dalam kamus itu tertera sekian ribu bahasa gaul yang menjadi bahasa khas remaja yang
jika kita pelajari sangat berbeda dengan bahasa pada umumnya. Kalangan remaja justru
sangat akrab dan sangat memahami bahasa gaul serta merasa lebih aman jika
berkomunikasi dengan sesama remaja menggunakan bahasa gaul.
10
d) Status sosial ekonomi keluarga
Keluarga yang berstatus sosial ekonomi baik, akan mampu menyediakan
situasi yang baik bagi perkembangan bahasa anak-anak dengan anggota
keluarganya. Rangsangan untuk dapat ditiru oleh anak-anak dari anggota keluarga
yang berstatus sosial tinggi berbeda dengan keluarga yang berstatus sosial rendah.
Hal ini akan tampak perbedaan perkembangan bahasa bagi anak yang hidup di
dalam keluarga terdidik dan tidak terdidik. Dengan kata lain pendidikan keluarga
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa.
e) Kondisi fisik
Kondisi fisik di sini kesehatan anak. Seseorang yang cacat yang terganggu
kemampuannya untuk berkomunikasi, seperti bisu, tuli, gagap, dan organ suara
tidak sempurna akan mengganggu perkembangan alam berbahasa.
4. Aspek Emosional
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas. Pertumnbuhan organ-organ
seksual mempengaruhi emosi atau perasaan-persaan baru yang belum dialami
sebelumnya. Dalam budaya Amerika, periode ini dipandang sebagai masa Strom
& Stress, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan
melamun tentang cinta, dan perasaan terealisasi dan kehidupan sosial budaya
orang dewasa. (Pinukas, 1976).
Pola emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa-masa kuliah,
bedanya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang membangkitkan emosi
dan pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap emosinya. Beberapa
kondisi emosional yang akan dirasakan oleh remaja adalah seperti cinta / kasih
sayang, gembira, kemarahan, permusuhan, ketakutan dan kecemasan.
Adapun ciri-ciri emosional remaja yang berusia 12-15 tahun menurut Biehler
(1927) adalah sebagai berikut :
Cenderung bersikap pemurung, hal ini disebabkan oleh faktor
biologis dan hubungan kematangan seksual dan sebagaian lagi karena
kebingungannya dalam menghadapi orang dewasa.
Berperilaku kasar untuk menutupi kekurangannya dalam hal percaya
diri.
Sering terjadi ledakan emosi.
Tidak toleran terhadap orang lain.
Ada perasaan marah dengan gaya orang dewasa / guru yang bersikap
serba tahu.
11
Sedangkan ciri emosional remaja usia 15-18 tahun adalah sebagai berikut :
Sering memberontak sebagai ekspresi dari perubahan masa kanak-
kanak ke dewasa.
Dengan berubahnya kebebasan. Banyak remaja yang mengalami
konflik dengan orang tuanya. Mereka mengharapkan perhatian,
simpati, dan nasihat dari orang tua.
Sering melamun untuk memikirkan masa depannya.
Mendekati berakhirnya masa remaja, berarti telah melewati banyak badai
emosional. Ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan, berarti
jika ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang
secara spontan dan terbuka, tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang
disembunyikan. Seiring bertambahnya umur, pengetahuan dan pengalaman
berpengaruh signifikan terhadap perubahan irama emosional remaja.
5. Aspek Sosial
Pada masa ini perkembangan sosial cognition, yaitu kemampuan memahami
orang lain. Kemampuan ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial
dengan teman sebaya. Masa ini juga ditandai dengan berkembangnya sikap
confomity (konformitas), yaitu kecenderungan untuk meniru, mengikuti, opini,
pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain.
Perkembangan konfomitas ini dapat berdampak positif atau negatif bagi remaja
sendiri, tergantung kepada siapa atau kelompok mana dia melakukan
konformitasnya.
6. Aspek Kepribadian
Masa remaja merupakan saat berkembangnya self-identity (kesadaran akan
identitas atau jati dirinya). Remaja dihadapkan kepada berbagai pertanyaan:
”who am i, man ana, siapa saya?” (keberadaan diriya), akan menjadi apa saya?
Apa peran saya dan mengapa saya harus beragama?
12
Apabila remaja berhasil memahami dirinya, peran-perannya dalam kehidupan
social, dan memahami makna hidup beragama, maka dia akan menemukan jati
dirinya, dalam arti dia akan memiliki kepribadian yang sehat. Sebaliknya apabila
gagal, maka dia akan mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion)
sehingga cenderung memiliki kepribadian yang tidak sehat.
7. Kesadaran Beragama
Pikunas (1976) mengemukakan pendapat William Kay, yaitu bahwa tugas
utama perkembangan remaja adalah memperoleh kematangan sistem moral untuk
membimbing perilakunya. Kematangan remaja belumlah sempurna, jika tidak
memiliki kode moral yang dapat diterima secara universal. Pendapat ini
menunjukkan tentang pentingnya remaja memiliki landasan hidup yang kokoh,
yaitu nilai-nilai moral, terutama yang bersumber dari agama. Terkait dengan
kehidupan beragama remaja, ternyata mengalamin proses yang cukup panjang
untuk mencapai kesadaran beragama yang diharapkan.
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, yaitu dengan mulai
tumbuhnya ciri-ciri keremajaan yang terkait dengan matangnya organ-organ seks,
yaitu: ciri primer (menstruasi pada anak wanita dan mimpi pertama pada remaja
pria) dan ciri sekunder (tumbuh kumis, jakun, dan bulu-bulu disekitar kemaluan
pada remaja pria dan membesarnya buah dada/payudara, membesarnya pinggul
dan tumbuhnya bulu-bulu disekitar kemaluan pada remaja wanita).
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul karena
disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal.
1. Faktor internal, terkait dengan 1). matangnya organ-organ seks yang
mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun disisi lain dia
tahu perbuatan itu dilarang oleh agama. 2). Berkembangnya sikap independen,
keinginan untuk hidup bebas, tidak mau terikat dengan norma-norma keluarga,
sekolah atau agama.
13
2. Faktor eksternal, terkait dengan 1). Perkembangan kehidupan sosial
budaya dan masyarakat yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
2). Perilaku orang dewasa, orang tua sendiri, para pejabat dan warga masyarakat
yang gaya hidupnya kurang mempedulikan agama, bersifat munafik, tidak jujur
dan perilaku amoral lainnya.
Secara psikologis, pada masa ini emosi remaja sudah mulai stabil dan
pemikirannya mulai matang. Dalam kehidupan beragama, remaja sudah
melibatkan diri kedalam kegiatan keagamaan. Remaja sudah dapat membedakan
agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya.
Peserta didik pada usia sekolah menengah berusaha secara total menemukan
satu identitas, berupa perwujudan orientasi seksual yang tercermin dari hasrat
seksual, emosional, romantisme, dan atraksi kasih sayang kepada anggota jenis
kelamin yang sama atau berbeda atau keduanya. Seorang peserta didik yang
tertarik pada anggota jenis kelamin lain disebut heteroseksual, sebaliknya
seseorang yang tertarik pada anggota jenis kelamin lain disebut homo seksual.
Banyak yang menggunakan istialh gay sebagai kata ganti homo seksual untuk laki
–laki dan lesbian untuk wanita. Ada juga peserta didik yang menyukai keduanya
disebut biseksual.
Remaja adalah masa saat peserta didik ingin mencoba berbagai hal termasuk
seksualitas, untuk itu sangat diperlukan pelajaran mengenai seksualitas di sekolah.
Masalah seksualitas jangan dianggap sebagai hal yang tabu untuk dipelajari karena
itu akan sangat berguna bagi remaja agar orientasi seksual mereka tidak
menyimpang.
Peran pendidik seperti orang tua dan guru sangat diperlukan untuk menemani
remaja mengatasi masalah ini, pengertian serta bimbingan dari pendidik untuk
14
membantu mengenali mana yang boleh dan yang tidak akan membatu menjaga
mereka dalam masa ini.
1. Perkembangan fisik pada siswa usia sekolah menengah ditandai dengan adanya
perubahan bentuk, berat, dan tinggi badan. Selain hal itu, perkembangan fisik pada
usia ini ditandai pula dengan munculnya ciri-ciri kelamin primer dan sekunder.
Hormon testoterone dan estrogen juga turut mempengaruhi perkembangan fisik.
4. Terdapat berbagai mazhab atau aliran dalam pendidikan yang membahas faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan anak. Di antaranya adalah aliran
nativisme, empirisme, dan konvergensi.
5. Papalia dan Olds (1992:7-8) menyebutkan faktor internal dan eksternal yang telah
memberi pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Urie Bronfenbrenner
menyatakan ada 4 tingkatan pengaruh lingkungan seperti, sistem mikro, meso dan
exo yang membentuk pribadi anak. Sedangkan pandangan konvensional
menyatakan bahwa ada 3 faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan
siswa SLTP dan SMU, yaitu pembawaan, lingkungan dan waktu.
15
1. Kemudahan dalam menggunakan bilangan.
6. Imajinasi.
3. Autonomy needs
4. Conteraction
6. Exhibition
7. Sex.
16
Munculnya Tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor
berikut:
1. Kematangan fisik, misalnya (1) belajar berjalan karena kematangan otot-otot
kaki, dan (2) belajar bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa
remaja, karena kematangan hormon seksual.
2. Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya (1) belajar membaca, (2)
belajar menulis, (3) belajar berhitung, (4) belajar berorganisasi.
3. Tuntutan dari dorongan dan cita-cita siswa itu sendiri misalnya (1) memilih
pekerjaan, (2) memilih teman hidup.
4. Tuntutan norma agama, misalnya (1) taat beribadah kepada Allah, dan (2)
berbuat baik kepada semua manusia.
Tugas-tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut:
17
anak perempuan yang memandang pekerjaan sebagai pengisi waktu sebelum
menikah.
Apabila dilihat dari tahapan karier dari Super dan Jordaan (John Milton
Dillard, 1985:200, masa remaja termasuk tahap eksplorasi pada tingkat tentatif dan
transisi (usia 15-21 tahun). Pada tahap tentatif (15-17), faktor-faktor yang
dipertimbangkan adalah kebutuhan, minat, kapasitas, nilai-nilai dan kesempatan.
Permasalahan yang dialami manusia tidak akan pernah putus sampai ajal
menjemput, permasalahan manusia akan semakin memuncak ketika mereka
18
menginjak usia transisi dimana keingintahuan yang sangat tinggi dengan semangat
yang menggebu-gebu akan sia-sia tanpa bimbingan yang terarah, perkiraan usia
transisi manusia yaitu ketika mereka berada di jenjang sekolah tingkat menengah,
ketika mereka menginjak remaja dan dewasa awal, mereka lebih tenar dengan istilah
ABG (anak baru gede).
Dalam buku karangan Prof.Dr.H.Sunarto dan Dra.Ny.B.Agung Hartono dalam
bukunya perkembangan peserta didik, menerangkan beberapa permasalahan remaja
sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhannya sebagai berikut:
1. Upaya untuk dapat mengubah sikap dan perilaku kekanak-kanakan menjadi sikap
dan perilaku dewasa, tidak semuanya dapat dicapai dengan mudah oleh mereka.
Pada masa ini remaja menghadapi tugas-tugas besar , sedang dipihak lain harapan
ditumpukan pada mereka untuk dapat meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan
sikap dan pola perilaku. Kegagalan mengatasi ketidakpuasan ini dapat
mengakibatkan menurunnya harga diri, dan akibat lebih lanjut dapat
mengakibatkan remaja bersikap keras dan agresif atau sebaliknya bersikap tidak
percaya diri, pendiam, atau kurang harga diri.
2. Sering kali remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan fisiknya. Hal
ini disebabkan pertumbuhan tubuhnya dirasa kurang serasi, walau hal ini tidak
terjadi pada semua remaja.
3. Perkembangan fungsi seks pada masa ini dapat menimbulkan kebingungan remaja
untuk memahaminya, sehingga sering salah tingkah dan perilaku yang menentang
norma (bagi remaja laki-laki) serta berperilaku mengurung diri (bagi remaja
perempuan).
19
5. Harapan-harapan untuk dapat berdiri sendiri dan untuk hidup mandiri secara sosial
ekonomis akan berkaitan dengan berbagai masalah untuk menetapkan berbagai
jenis pekerjaan dan jenis pendidikan. Penyesuaian sosial merupakan salah satu
yang sangat sulit dihadapi oleh remaja.
6. Berbagai norma dan nilai yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat merupakan
masalah tersendiri bagi remaja, sedang dipihak remaja merasa memiliki norma dan
nilai kehidupan yang dirasa lebih sesuai dari pada nilai dan norma dikalangan
masyarakat luas.
Permasalahan yang terjadi pada anak usia sekolah menengah timbul atas dua
factor yang sangat mempengaruhi proses perkembangan mereka, dua factor itu
adalah:
1. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam
diri siswa sendiri.
Permasalahan intern siswa ini mencakup semua permasalahan yang timbul dari diri
siswa dari berbagai aspek yang pengaruhi diri siswa itu sendiri.
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurang mampuan psiko-fisik siswa
dalam dirinya, yakni:
1. Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual / intelegensi siswa.
Dari pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita
alami dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal
menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan yang kita pelajari, kalau
memang sistem akal kita dalam hal mengolahnya dengan cara yang memadai,
maka semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita, akan
tetapi kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu,
apalagi yang telah kita pelajari dengan tekun justru sukar diingat kembali dan
mudah terlupakan.
Lupa ialah: hilangnya kemampuan untuk menyebut kembali atau memperoduksi
kembali apa-apa sebelumnya yang telah kita pelajari. Menurut Gulo (1982), dan
Reber (1988), mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau
mengingat sesuatu yang telah dipelajar. Dengan demikian lupa bukanlah
peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
20
Faktor-faktor penyebab lupa
Pertama, lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item
informasi atau materi yang ada dalam system memori siswa. Seorang siswa akan
mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang telah disimpan
dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru,
peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi
pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang sudah dikuasai dalam
jangka waktu yang pendek. Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan
reproaktif apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap
pemanggilan kembali materi pelajaran yang telah lebih dahulu tersimpan.
Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item
yang telah ada, baik sengaja maupun tidak, penekanan ini terjadi karena beberapa
kemungkinan, yaitu: karena item informasi yang diterima kurang menyenangkan,
karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang
telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif, karena item informasi yang
diproduksi tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah
dipergunakan.
Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara
waktu belajar dan waktu mengingat kembali (Andeson 1990).
Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap
proses dan situasi belajar tertentu, jadi meskipun seorang siswa telah mengikuti
proses belajar-mengajar dengan tekun dan serius, tetapi karena suatu hal minat dan
sikap siswa tersebut menjadi sebaliknya maka materi pelajaran itu akan mudah
terlupakan.
21
Sebagai seorang guru / calon guru kita harus dapat mengurangi peristiwa lupa
yang sering dialami oleh para siswa bukan mencegahnya, karena lupa itu hal yang
manusiawi dan mungkin anda tidak mungkin bisa mencegahnya.
Namun sekedar berusaha mengurangi proses terjadinya lupa yang sering
dialami oleh para siswa dapat anda lakukan dengan berbagai kiat diantaranya
sebagai berikut:
a. Overlearning (belajar lebih)
Artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi
pelajaran tertentu, overlearning terjadi apabila respon atau reaksi tertentu muncul
setelah siswa melakukan pembelajaran atas respon tersebut dengan cara diluar
kebiasaan, diantara contohnya ialah pembacaan teks pancasila pada setiap hari
senin yang memungkinkan ingatan siswa pada P4 lebih kuat
b. Extra study time ( tambahan waktu belajar)
Ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau frekuensi aktifitas belajar
atau juga bisa disebut penambahan jam waktu belajar. Misalnya dari satu jam
menjadi satu setengah jam, dari satu kali sehari menjadi dua kali dalam sehari
c. Menemonic device (muslihat memori)
Ialah kiat khusus yang dijadikan alat pengait mental untuk memasukkan item-
item informasi kedalam sistem akal siswa. Muslihat ini beragam caranya
diantaranya ialah dengan bentuk not yang dijadikan sebagai nyanyian anak-anak
TK, atau juga dengan singkatan huruf-huruf tau nama-nama istilah yang harus
diingat oleh siswa.
2. Yang bersifat afektif (ranah Rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.
Yang termasuk dalam ranah rasa adalah rasa jenuh, secara harfiah arti
kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun,
selain itu jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan. Kejenuhan belajar ialah
rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar tetapi tidak mendatangkan
hasil (Reber, 1988).
Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar merasa seakan-akan
pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan.
Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada umumnya tidak berlangsung
selamanya, tetapi dalam rentan waktu tertentu saja
22
Seorang siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tidak dapat
bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi
dan pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan diam
ditempat. Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan
motifasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum
sampai ketingkat keterampilan berikutnya.
23
4. Karena siswa mempercayai konsep kerja akademik yang optimum, sedangkan
dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarakan ketentuan yang ia
buat sendiri.
2. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri
siswa. Hal ini meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak
mendukung aktifitas belajar siswa, faktor ini dapat dibagi tiga macam :
1. Lingkungan keluarga, lingkungan keluarga menjadi faktor penting dalam menanamkan
pendidikan karakter anak, di luar faktor pendidikan di sekolah serta lingkungan sosial.
Lingkungan keluarga ini, bisa dimulai dari situasi dalam keluarga dan pola pendidikan
yang dilakukan. Jika pola pendidikan karakter di tengah keluarga sudah terbangun
dengan baik, dengan sendirinya anak akan lebih mudah untuk menerima
pendidikan karakter di sekolah. Demikian pula saat anak harus bersinggungan
dengan lingkungan sosial. Namun hal ini berbeda jika terjadi kemerosotan dalam
hubungan keluarga, baik itu berupa kurang perhatiannya orangtua atau konflik
yang sering terjadi dalam lingkungan keluarga sangat mengganggu proses
pembelajaran seorang siswa yang masih mencari jati diri yang sesuai dengan
karakternya, ketidak harmonisan hubungan antara ayah dengan ibu sangatlah
menghambat kesuksesan pendidikannya, dan rendahnya kehidupan ekonomi
keluarga juga sangat mempengaruhi terbentuknya penerus bangsa yang
berpendidikan tinggi.
24
2. Lingkungan perkampungan/masyarakat, masyarakat adalah bagian keluarga besar
bagi para remaja yang tidak ingin mengetahui keadaan anaknya dan menuntunnya
kejalan yang benar jika mereka tersesat, justru seorang anak harus mengetahui dan
menjaga keadaannya sendiri dengan berbagai macam karakter anggota keluarga
yang berbeda-beda.
3. Lingkungan sekolah, kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat
pasar sangat mengganggu sekali pada proses pendidikan yang dilaksanakan oleh
peserta didik usia sekolah menengah, kondisi guru serta alat-alat belajar yang
berkualitas rendah juga mengganggu terlaksananya pendidikan seorang siswa.
Selain faktor yang bersifat umum diatas ada faktor-faktor lain yang
menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor khusus yang dapat
dipandang adalah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidak
mampuan belajar). Sindrom (syindrom) yang berarti satuan gejala yang muncul
sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1998) yang menimbulkan
kesulitan belajar.
Akan tetapi siswa yang mengalami sindrom-sindrom diatas secara umum
sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal, bahkan diantaranya ada yang
memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya kesulitan belajar siswa yang
menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal
Brain Disfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Reber, 1988).
Problematika atau masalah yang bersifat ekstern itu timbul dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat. Pada usia sekolah menengah peserta didik menginginkan
sesuatu kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Mereka ingin
selalu diakui sebagai pribadi, ia ingin bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, pada
usia ini orang tua tidak terlalu mengekang terhadap kebebasan atau bahkan meniadakan
kebebasannya. Jadi, dalam hal ini orang tua harus memberikan kesempatan kepada
anak untuk mengambil keputusannya sendiri mengenai hal-hal yang akan
dilakukannya.
Pada usia sekolah menengah peserta didik sudah mulai memikirkan tentang hal-hal
yang benar dan yang salah serta tentang norma-norma untuk membimbing tingkah
lakunya. Ia mulai memperhatikan konsep-konsep mengenai hal-hal yang benar dan
yang salah, ia tidak mau begitu saja menerima pendapat-pendapat dari orang lain.
Selain itu, masalah yang lebih penting lagi adalah apa yang disebut dengan kesenjangan
25
generasi antara peserta didik dengan orang tua, kesenjangan ini sebagian disebabkan
karena adanya perubahan radikal dalam nilai dan standar perilaku yang biasanya terjadi
dalam setiap perubahan budaya yang pesat, sebagian juga disebabkan karena dalam
masa remaja lebih banyak memiliki kesempatan untuk pendidikan sosial budaya yang
lebih besar.
Hubungan orang tua dengan anak akan membaik ketika orang tua mulai menyadari
bahwa anak-anak mereka bukan anak kecil lagi. Mereka memberi banyak keistimewaan
dan sekaligus bertanggung jawab serta prestasi belajar yang lebih baik.
26
c. Menanamkan taqwa dalam jiwa anak
Seluruh dosa sebenarnya adalah sifat-sifat yang hina, untuk menyelamatkan
diri dari hal tersebut jalan keluarnya adalah menanamkan ketaqwaan pada jiwa anak.
Apabila tangkai-tangkai pohon kejahatan itu layu dan daun-daunnya rontok
berjatuhan, maka akar-akarnya akan tumbang dan mati, artinya dalam kehidupan
sosial terdapat sifat-sifat jelek yang ada pada diri manusia seperti kikir, takabur,
suudzon dan lain-lain. Jika seseorang dapat menahan dari segala sifat-sifat buruk
tersebut maka dia akan terlepas dari dosa-dosa, begitu juga pada anak, pendidikan
seperti ini perlu ditanamkan oleh orang tua demi kebaikan jiwa pada diri anak.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas jelas sekali kondisi peserta didik usia seklah
menengah masih sangat sangat labil, mereka memerlukan bimbingan orang
yang lebih dewasa dan petunjuk mereka atas masalah-masalah yang belum
bisa mereka pecahkan, perubahan kondisi peserta didik pada usia sekolah
menengah ini banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat cultural.
Problematika remaja secara garis besar terdapat dua faktor yaitu faktor
intern (dari dalam diri remaja itu sendiri) dan faktor ekstern (dari luar diri).
Yang sangat menonjol dari problematika remaja adalah yang berhubungan
kultural dan psikososial.
B. Saran
Solusi yang sangat tepat bagi remaja atas apa yang menimpa mereka adalah
usaha mereka sendiri untuk bisa menerapkan kiat-kiat supaya mereka tidak
terlena dengan masalah-masalah yang menimpa mereka, dan melaksanakan
anjuran-anjuran yang telah dijelaskan diatas. Perhatian orang lain juga sangat
membantu mereka untuk memecahkan masalah yang menimpa.
28
Daftar Pustaka
29