Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tingkat Ekonomi

2.1.1 Pengertian Ekonomi Secara Umum

Di dalam struktur sosial kemasyarakatan banyak terdapat ukuran-ukuran di

dalam pelapisan-pelapisan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut yang lebih dikenal

dengan istilah stratifikasi sosial diantaranya adalah pelapisan yang terjadi karena

kekayaan seseorang yang lebih dikenal dengan sebutan tingkat ekonomi. Sebelum

beranjak lebih jauh untuk memahami hal tersebut perlu untuk menelaah kembali

pengertian dari ekonomi itu sendiri sebagai arti dasar pembentukan tingkatan atau

pelapisan yang terjadi di dalam struktur sosial kemasyarakatan tersebut. Ekonomi

sendiri adalah sebuah cabang ilmu sosial yang berobjek pada individu dan masyarakat,

secara etimologis dapat diartikan ekonomi terdiri dari dua suku kata bahasa Yunani yaitu

oikos dan nomos yang berarti tata laksana rumah tangga (Rosyidi, 2009:5). Dapat dilihat

dari namanya maka pada saat pertama kali diperkenalkan ekonomi sendiri mempunyai

ruang lingkup kajian dan permasalahan yang sangat terbatas yaitu hanya pada tata

laksana rumah tangga dan hanya pada permasalahan mencukupi kebutuhan rumah

tangga saja.

Untuk melihat defenisi ekonomi secara utuh Rosyidi (2009:7)

mendefinisikannya sebagai berikut :

“ilmu ekonomi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berdaya upaya

untuk memberikan pengetahuan dan pengertian tentang gejala-gejala masyarakat

Universitas Sumatera Utara


yang timbul karna perbuatan manusia dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya atau untuk mencapai kemakmuran”

Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa ekonomi secara umum

mengkaji mengenai pemenuhan kebutuhan manusia dan kemakmuran manusia,

dua hal pokok dari permasalahan ekonomi tersebut yaitu kebutuhan dan

pencapaian kemakmuran merupakan salah satu dasar di dalam pelapisan sosial di

dalam masyarakat bila dihubungkan dengan permasalahan mikro tingkat ekonomi

masyarakat, dengan kata lain semakin makmur seseorang dan semakin mampu

untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai tingkatannya maka semakin

tinggi pula tingkat ekonomi seseorang di dalam struktur sosial kemasyarakatan,

lebih lanjut kita dapat melihat definisi lain seperti yang diungkap Silk (dalam

Rosyidi, 2009:27)

“ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang kekayaan (Wealth) dan merupakan suatu

bagian yang penting daripada studi tentang manusia. Hal ini disebabkan karena

sifat manusia yang telah dibentuk oleh kerjanya sehari-hari, serta sumber- sumber

material yang mereka dapatkan”.

Dari definisi di atas terdapat satu unsur yaitu kekayaan yang menjadi ukuran di

dalam studi tentang ekonomi tersebut dimana unsur kekayaan dan sumber-sumbernya

merupakan kunci sukses di dalam pemenuhan tingkatan kebutuhan manusia. Dengan

kekayaan maka pemenuhan kebutuhan akan tercapai, dimana semakin kaya seseorang

maka akan semakin tinggi kemampuannya untuk memenuhi tingkatan kebutuhannya.

Selanjutnya Rosyidi (2009:35) menyatakan: “begitu banyak tujuan hidup seseorang

akan tetapi satu hal yang pasti yaitu bahwa setiap orang tentu ingin memiliki pendapatan

yang cukup yang akan


memungkinkan untuk memilih cara hidup yang dipilih dan yang disukainnya,

semakin besar pendapatannya akan semakin luas kesempatan yang terbuka

baginya untuk memenuhi keinginannya”.

Berdasarkan ungkapan di atas dapat kita lihat manusia selain mempunyai

kebutuhan (needs) juga mempunyai keinginan (wants), yang mana peneliti

membedakannya sebagai berikut bahwa konsep kebutuhan adalah segala sesuatu

yang harus terpenuhi di dalam kehidupan manusia yang bersifat lahiriah seperti

makan, minum, sandang pangan, namun berbeda dengan konsep keinginan yaitu

sesuatu yang tidak harus dipenuhi namun menjadi harapan untuk dimiliki dalam

kehidupan seseorang. Dari uraian di atas pendapatan seseorang juga terkait

dengan ukuran ekonomi seseorang dimana dengan pendapatan yang besar akan

menuju kepada kekayaan dan akses terhadap pemenuhan tingkatan kebutuhan

akan semakin besar.

Dari semua uraian tentang ekonomi di atas dapat dilihat bahwa ekonomi

adalah studi tentang individu dan masyarakat yang mengkaji tentang pemenuhan

kebutuhan individu dan masyarakat yang terdiri dari berbagai hierarkis kebutuhan

dan keinginan masyarakat, dimana dari konsep di atas menghasikan beberapa

unsur utuk mendukung konsep tersebut namun kesemuanya itu apabila ditelaah

tetap mengacu kepada satu konsep yaitu kemampuam akses terhadap pemenuhan

terhadap pemenuhan tingkatan-tingkatan kebutuhan dan keinginan manusia yang

bermuara kepada kemakmuran seseorang, kemampuam akses tersebut diwujudkan

melalui pendapatan seseorang dan kekayaannya yang bertujuan untuk pemenuhan

berbagai tingkatan kebutuhan dan keinginannya tersebut. Aspek- aspek yang


mendukung kearah pemenuhan kebutuhan tersebut teergolong dalam unsur

indikator penentuan tingkatan ekonomi seseorang di dalam masyarakat.

2.1.2 Stratifikasi sosial dengan ukuran ekonomi / tingkat ekonomi

Di dalam melakukan pemisahan atau penentuan tingkatan-tingkatan atau

pelapisan status ekonomi seseorang di dalam masyarakat tidak terlepas dari

konsep sosiologis tentang terjdinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat.

Konsep ini diperlukan dalam penelitian ini, dimana konsep ini menjelaskan

tentang dasar terjadinya tingkatan-tingkatan atau lapisan-lapisan di dalam

kehidupan masyarakat.

Pengertian stratifikasi sosial menurut (Soekanto, 2006:252) sebagai

berikut:

“Socialstratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas

secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas rendah yang terdiri dari

berbagai dasar bentuk indikator dalam penentuan kelas tinggi dan rendah tersebut”

Stratifikasi sosial selalu terdapat di dalam sebuah masyarakat dimanapun

masyarakat itu berada, artinya setiap masyarakat selalu terdiri dari tingkatan atau

pelapisan-pelapisan di dalam struktur masyarakat itu sendiri yang menentukan posisi

atau kedudukan individu di dalam masyarakat tersebut, yang didasarkan atas adanya

sesuatu yang dihargai di masyarakat. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat

tersebut itulah yang tentunya sebagai sebab timbulnya sistem yang berlapis-lapis di

dalam masyarakat. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin sesuatu

barang, mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin

berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesolehan dalam


agama atau mungkin juga keturunan dari keluarga terhormat. Uraian ini didukung

oleh beberapa pendapat ahli diantaranya seperti yang diungkapkan Sorokin (dalam

Soekanto, 2006:251) berikut :

“Bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat

yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah

yang sangat banyak dianggap masyarakat yang berkedudukan dalm lapisan atas begitu

juga sebaliknya”.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk-bentuk

dasar di dalam lapisan masyarakat tersebut terlebih dahulu dengan melihat

beberapa pendapat ahli berikut, Surbakti (2004:144) menyatakan, “Yang

dimaksud status ekonomi ialah kedudukan seseorang di dalam pelapisan

masyarakat berdasrkan pemilikan kekayaan”. Dari ungkapan mengenai status

ekonomi masyarakat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemilikan kekayaan

di dalam masyarakat sebagai dasar di dalam menentukan tinggi rendahnya status

ekonomi individu di dalam masyarakat. Unsur-unsur yang dapat digunakan

sebagai tolak ukur dalam melihat pemilikan kekayaan seseorang individu di dalam

masyarakat, walaupun berkait dengan konsep status sosial lainnya, dapat dijadikan

indikator di dalam melihat status ekonomi seseorang di dalam masyarakat.

Ukuran atau kriteria yang ditawarkan para ahli dalm mengolong-

golongkan anggota masyarakat berdasarkan status ekonominya dapat dipaparkan

lebih lanjut sebagai dasar di dalam melihat tinggi rendahnya ukuran kekayaan

sesorang. Seperti yang diungkapkan Soekanto (2006:263) “Yang termasuk di

dalam ukuran kekayaan dapat dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, mobil

pribadi, cara-cara mempergunakan pakaian, kebiasaan untuk belanja barang-


barang mahal”. Kemudian ukuran lain seperti yang diungkapkan Surbakti (2004:144),

“Status ekonomi seseorang dapat diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun

pemilikan benda-benda berharga dari orang tersebut”.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa seseorang itu termasuk

dalam status ekonomi tinggi, sedang dan rendah dalam lapisan masyarakat adalah

berdasarkan banyak tidaknya bentuk penghargaan masyarakat kepadanya dilihat dari

kekayaan seseorang sebagai kunci akses terhadap pemenuhan tingkatan kebutuhan dan

keinginan seseorang tersebut di dalam masyarakat, dengan mengikuti pendapat para ahli

di atas dan berdasarkan uraian sebelumnya, maka ukuran yang dipakai dalam penelitian

ini untuk melihat tingkat ekonomi seseorang adalah penghasilan, pengeluaran,

pemilikan terhadap benda- benda berharga, jabatan pekerjaan/mata pencaharian,

pemenuhan tingkatan kebutuhan. Berdasarkan ini ditetapkan seseorang berada dalam

kedudukan status ekonomi tinggi, sedang, dan rendah.

Artinya semakin tinggi faktor-faktor di atas dimiliki seseorang, maka semkin

tinggi tingkatan status ekonominya dan sebaliknya. Hal ini perlu diketahui untuk bahan

analisa selanjutnya setelah penulis nantinya terjun ke lapangan untuk mengadakan

penelitian, sebab bagaimanapun juga adanya status ekonomi yang berbeda akan sangat

berpengaruh terhadap seseorang dalam pembentukan sikap politiknya dan tingkah laku

politiknya yang tertuang di dalam partisipasi politik yang dilakukan pada pemilihan

kepala daerah langsung.


2.2 Partisipasi Politik

2.2.1 Pengertian Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan sebuah aspek penting di dalam sebuah Negara

demokrasi, juga sebagai sebuah tolak ukur tingkat demokratisasi di dalam sebuah

Negara. Untuk mendefinisikan dan memahami konsep partisipasi politik, maka terlebih

dahulu perlu untuk mendefinisikan apa itu partisipasi. Menurut Rahman (2002:128)

sebagai berikut:

“Partisipasi adalah penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi

dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk

berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi, serta ambil bagian dalam setiap

pertanggung jawaban bersama”.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah menyangkut

masalah keterlibatan individu untuk berperan serta dalam organisasi dan pencapaian

tujuannya yang bermua pada kesadaran dan adanya rasa pertanggun jawaban terhadap

organisasi tersebut. Kemudian dari pengertian tersebut dapat dilanjutkan kepada

pengertian partisipasi politik, seperti yang diungkapkan Huttington dan nelson (2003:

6), “partisipasi politik adalah sebagai suatu kegiatan warga Negara yang bertujuan

mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah”. Pada pengertian ini partisipasi

politik dapat diartikan dalam ruang lingkup yang terbatas dan masih membutuhkan

kejelasan bentuk konsep untuk memahaminya, secara lanjut dapat dilihat pengertian

partisipasi politik menurut ahli lain seperti yang diungkapkan Surbakti (2004:1) yang

bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah”. Pada pengertian ini

partisipasi politik dapat diartikan dalam ruang lingkup yang terbatas


dan masih membutuhkan kejelasan bentuk konsep untuk memahaminya, secara lanjut

dapat dilihat pengertian partisipasi politik menurut ahli lain seperti yang diungkapkan

Surbakti (2004:140), “Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam

menentukan segala keputusan menyangkut atau memengaruhi hidupnya”, dari kedua

konsep diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa partisipasi politik diartikan

sebagai sebuah kegiatan yang berupa keikutsertaan warga Negara biasa di dalam

mempengaruhi proses politik.

Sebagai bahan perbandingan kita dapat melihat definisi lain tentang partisipasi

politik seperti yang diungkapkan Budiardjo (2008:183) “partisipasi politik adalah

kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan

politik, yakni dengan cara memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak

langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (publik policy)”. Kegiatan ini mencakup

tindakan seperti memberikan suara pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi

anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting)

dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Dari definisi ini

terdapat cakupan yang lebih luas di dalam memaknai konsep mengenai partisipasi

politik dimana partisipasi politik dipandang sebagai kegiatan yang bisa dilakukan secara

kolektif dan individual yang berperan serta dalam kehidupan poitik. Dengan bentuk

memilih pimpinan Negara secara lansung maupun tidak lansung ataupun mempengaruhi

kebijakan umum (public policy). Untuk melengkapi pemahaman mengenai partisipasi

politik penulis merasa perlu untuk menguraikan pendapat ahli lain yang akan

melengkapi pengertian partisipasi politik tersebut.


Mc Closcy (dalam Budiardjo,2008:2) berpendapat “partisipasi adalah

kegiatan secara pribadi dan sukarela dari warga masyarakat melalui dimana

mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara lansung

atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum”. Dari pengertian

ini kegiatan atau partisipasi politik seseorang seharusnya dilaksanakna tanpa ada

unsur paksaan dari pihak manapun yang dilakukan secara sukarela.

Inti dari pengertian yang diungkapkan Mc Closcy di atas adalah sama dengan

teori yang telah diuraikan sebelumnya namun ada penambahan yaitu bahwa

keikutsertaan masyarakat biasa tersebut secara individual maupun kolektif di dalam

proses politik dilakukan bersifat sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun dam

pemilihan yang dilakukan oleh warga Negara biasa tidak terbatasi hanya kepada

pemilihan kepala Negara seperti uraian teori sebeumnya namun dikatakan proses

pemilihan penguas, yang bisa saja bersifat loka maupun nasional. Maksud peminpin

bukan brarti hanya seorang peminpin Negara namun di dalam sebuah Negara terdiri dari

beberapa wilayah-wilayah yang membentuk pemerintahan local yang tetep terjalin di

dalam suprastruktur Negara tetapi memiliki pemerintahan lokal di masing-masing

daerah dalam kontek Indonesia lebih dikenal dengan istilah pemerintahan daerah.

Pemimpin daerah tersebut merupakan penguasa didaerah yang dipilih rakyat baik secara

langsung maupun secara tidak langsung

Di Amerika Serikat perkembangan teori partisipasi politik bersamaan dengan

perkembangan sosiologi dan psokologi perkembangan ini berjalan dengan cepat dapat

diliat dengan didirikanya American Political Science Association pada tahun 1904.
Dari semua pengertian diatas dapat dipahami bahwa partisipasi politik secara

substansial adalah keterlibatan atau keikutsertaan seseorang atau sekelompok seorang

dalam proses poitik yang termanifestasikan dalam kegiatan- kegiatan yang bersift

sukarela tanpa ada paksan dari pihak manapun. Kegiatan partisipasi politik ini juga

dilakukan oleh warga Negara biasa yang tidak memiliki kewenangan untuk memerintah,

institusi yang menjadi sasaran atau objek politik dari partisipasi politik tersebut yaitu

pemerintah sebagai pemegang otoritas.partisipasi politik juga memiliki tujuan terhadap

segala aktivitas-aktivitas pemerintahan termasuk pemilihan penguasa (pemimpin)

ditingkat pusat maupun lokal.

Karena terlalu wujud partisipasi di dalam proses dinamika politik disebuah

Negara maka dari itu untuk kebutuhan penelitian ini penulis membatasi dan memilih

teori yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ini mengingat momen dari penelitian ini

adalah pemilihan kepala daerah lansung maka partisipasi politik yang diteliti

berorientasi kepada partisipasi politik pada pemilihan kepala daerah secara lansung saja

maka dari itu pengertian yang penulis rumuskan adalah sebagai berikut yaitu kegiatan,

keterlibatan atau keikutsertaan seseorang warga Negara bisa secara sukarela yang

dilakukan secara legal di dalam proses atau momen politik tertentu yang diantaranya

bertujuan untuk melakukan pemilihan terhadap penguasa atau pejabat pemerintahan

baik ditingkat pusat maupun daerah (lokal) secara lansung maupun tidak lansung dan

sekaligus juga bertujuan mempengaruhi tindakan-tindakan yang mereka (penguasa)

ambil.
2.2.2 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Menurut Milbrath Goel (dalam Surbakti, 2004:191) ada tujuh bentuk

partisipasi politik individual dalam sebuah Negara yaitu:

1. Aphatetic inactives: tidak beraktifitas yang partisipatif, tidak pernah

memilih

2. Passive supporters: memilih secara reguler/teratur, menghadiri parade

patriotik membayar seluruh pajak

3. Contact socialist: pejabat penghubung lokal (daerah), provinsi dan

nasional dalam masalah-masalah tertentu

4. Communicators: mengikuti informasi-informasi politik, terlibat dalam

diskusi-diskusi, menulis surat pada editor surat kabar, mengirim pesan-

pesan dukungan dan protes terhadap pemimpin-pemimpin politik

5. Party and campaign workes: bekerja untuk partai politik atau kandidat,

meyakinkan orang lain temtang bagaimana memilih menghadiri

pertemuan-pertemuan, menyumbang uang pada partai politik atau

kandidat, bergabung dan mendukung partai politik

6. Community activists: bekerja dengan orang lain berkaitan dengan

masalah-masalah local, membentuk kelompok untuk menangani problem-

problem lokal, keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi

kemasyarakatan, melakukan kontak terhadap pejabat-pejabat berkenaan

dengan isu-isu sosial

7. Protesters: bergabung dengan demonstrasi-demonstrasi publik dijalanan,

melakukan kerusuhan bila perlu, melakukan protes keras bila pemerintah


melakukan sesuatu yang salah, menghadapi pertemuan-pertemuan protes,

menolak mematuhi aturan-aturan.

Partisipasi menurut Surbakti (2004:142), dibedakan menjadi partisipasi aktif dan

pasif yang termasuk di dalam kategori partisipasi aktif adalah kegiatan yang berorientasi

pada proses input dan output politik, sedangkan partisipasi pasif merupakan kegiatan

yang berorientasi pada proses output saja. Bentuk dari partisipasi pasif ini adalah berupa

kegiatan yang menaati pemerintah, menerima dan melakukan saja setiap keputusan

pemerintah. Jika terdapat anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori

keduanya ini dinamakan apatis atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah golput

(golongan putih).

Menurut Almond (dalam Rahman, 2002:131), bentuk-bentuk partisipasi yang

terjadi di berbagai Negara dan waktu dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam

bentuk konvensional. Partisipasi konvensional yaitu:

1. Pemberian suara

2. Diskusi publik

3. Kegiatan kampanye

4. Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan

5. Komunikasi individual dengan pejabat politik administrative

Partisipasi non konvensional:

1. Berdemonstrasi

2. Konfrontasi

3. Mogok

4. Tindak kekerasan politik, perusakan pembomam, pembakaran


5. Tindakan kekerasan politik terhadap manusia, penculikan pembunuhan

Dari uraian di atas dapa dilihat bahwa partisipasi yang berbentuk konvensional

dilakukan sesuai dengan mekanisme (legal) sedangkan yang non konvensional penuh

kekerasan terkadang tidak sesuai dengan mekanisme (ilegal).

Dari berberbagai aktivitas ini, kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam

partisipasi politik. Dari hal yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-

bentuk mengutamakan kondisi damai sampai tindakan kekerasan, namun pada

umumnya partisipasi politik hanya mencakup kegiatan yang bersifat positif, akan tetapi

ada juga pendapat ahli seperti Huttington dan Nelson yang menganggap bahwa kegiatan

yang ada unsur destruktifnya atau bersifat non konvensional yang ilegal, seperti

pengerusakan, teror, pembunuhan politik dan lainnya dapat merupakan suatu bentuk

partisipasi. Penulis membatasi bentuk partisipasi yang dimaksud dalam penelitian ini

terbatas pada partisipasi dalam tindakan-tindakan yang bersifat legal.

2.2.3 Pentingnya Partisipasi Politik

Partisipasi warga Negara (private citizen) bertujuan untuk mempengaruhi

pengambilan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau

kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau

dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Samuel P.

Huntington dan Joan Nelson, 2003:3). Partisipasi politik merupakan aspek penting

dalam demokrasi karena:


•Keputusan politik yang diambil oleh pemerintah akan menyangkut dan

mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Karena itu masyarakat berhak ikut

serta menentukan isi keputusan politik.

• Untuk tidak dilanggarnya hak-hak sebagai warga negara dalam setiap kebijakan

yang diambil oleh pemerintah.

2.2.4 Tingkat Ekonomi dan Partisipasi Politik Mayarakat

Di dalam kontek nasional (makro) sebuah Negara, tingkat demokratisasi

yang tinggi menjadi sebuah harapan untuk dapat diwujudkan pada Negara tersebut

tentunya hal ini dapat terwujud dengan meningkatkan partisipasi politik warga

Negara tersebut.

Pada kenyataanya kalau kita merujuk pada perkembangan demokratisasi

pada Negara-negara di dunia, Negara-negara dunia ketiga lebih banyak

mengalami permasalahan penegakan demokrasi dibanding dengan Negara maju

lainnya. Dari berbagai penelitian yang dilaksanakan di Negara dunia ketiga

banyak terdapat permasalahan rendahnya wujud demokratisasi di Negara dunia

ketiga tersebut. Sehingga dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa Negara dunia ketiga

adalah sebuah kelompok Negara-negara yana pertumbuhan ekonomi atau tingkat

ekonomi Negaranya cenderung terbelakang dibanding Negara maju, maka dari

fakta ini sebenarnya ada keterkaitan antara tingkat ekonomi atau pertumbuhan

ekonomi sebuah Negara dengan wujud penegakan demokrasi di Negara tersebut,

dengan kata lain perwujudan demokrasi disebuah Negara ditentukan oleh

bagaimana kondisi ekonomi dari Negara tersebut.


Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemakmuran sebuah Negara

mengindikasikan sebuah korelasi yang positif dengan terwujudnya demokrasi

yang ideal dan didukung oleh pendapat beberapa ahli seperti yang diungkapkan

Liser & lerner (dalam Huntington dan Nelson 2003:27): “adanya hubungan yang

positif antara pembangunan ekonomi dan demokrasi juga hubungan antara

modernisasi sosio-ekonomi dengan partisipasi politik”. Selain itu ditegaskan juga

oeh Azyumardi (2002:13) sebagai berikut: “setidaknya salah satu prasyarat yang

dapat membuat pertumbuhan demokrasi menjadi harapan yaitu peningkatan

kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan, semakin sejahtera ekonomi

sebuah bangsa maka semakin besar peluangnya untuk mengembangkan dan

mempertahankan demokrasi”.

Dengan kata lain dalam kontek makro, sebuah Negara yang makmur

tentunya perwujudan demokrasi dinegara tersebut akan cenderung lebih baik

selain itu demokrasi juga dipahami dan diyakini mempunyai kebutuhan akan

sumber-sumber daya di dalam eksistensi perwujudannya, Surbakti (2004:231)

mengungkapkan, demokrasi menghendaki konstitusi, dan demokrasi menghendaki

sumber-sumber ekonomi yang relatif cukup di distribusikan kepada masyarakat”

dari ungkapan ini dapat diketahui bahwa penegakan demokrasi mempunyai

kebutuhan akan sumber-sumber daya ekonomi masyarakat, di dalam rangka

meningkatkan demokratisasi di dalam sebuah Negara.

Dari ungkapan dan uraian di atas tidak dipungkiri lagi bahwa ekonomi

suatu Negara menjadi faktor atau variabel penentu di dalam mewujudkan sebuah

Negara yang demokratis, dalam kontek mikro perwujudan demokrasi di dalam

sebuah Negara ditentukan oleh bagaimana keterlibatan rakyat di dalam


pemerintahan di sebuah Negara, hal ini mengacu kepada partisipasi politik dari

masyarakat, di mana semakin tinggi partisipasi politik masyarakat maka akan

semakin baik wujud demokratisasi dinegara tersebut.

Dari uraian di atas pengaruh tingkat ekonomi individu di dalam masyarakat

sebagai unsur pembentukan partisipasi politik individu tersebut dalam kontek

mikro tergambar bahwa adanya korelasi diantara keduanya dan didukung kembali

oleh pendapat ahli, seperti yang diungkapkan Surbakti (2004:144):’’ Seseorang

yang memiliki status sosial dan status ekonomi yang tinggi diperkirakan tidak

hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian

pada politik, serta sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah”. Artinya tingkat

ekonomi dari seseorang mempunyai korelasi positif terhadap partisipasi orang

tersebut di dalam politik dan pemerintahan, hal ini ditegaskan kembali oleh

Surbakti (2004:232): “Masyarakat yang miskin dalam sumber-sumber ekonomi

akan mengalami kesukaran untuk memenuhi tuntutan dan harapan masyarakatnya

yang akan menyebabkan timbulnya frustasi dan keresahan yang pada giliranya

melumpuhkan demokrasi”

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemiskinan sebagai salah satu

faktor penghambat kesadaran individu, yang membentuk masyarakat untuk dapat

terlibat di dalam politik dan pemerintahan, yang mana menimbulkan akses

lumpuhnya demokratisasi di dalam sebuah Negara. Dari uraian tersebut dapa

dikatakan bahwa tingkat ekonomi seseorang (konteks mikro) berkorelasi dan

sebagai salah satu variabel pokok dalam mewujudkan partisipasi politik seseorang

tersebut di dalam proses politik.


Begitu banyak pendapat para ahli yang menyatakan bahwa ekonomi sebagai

sebuah aspek di dalam wujud demokratisasi disebuah Negara, bahkan ada yang fanatik

mengatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah salah satu keharusan di dalam

menegakan sebuah Negara demokrasi, seperti ungkapan Lipset dan Deutsch (dalam

Gaffar, 2005:22) berikut: “terdapat suatu kayakinan bahwa demokrasi baru akan

berjalan dengan baik kalau ditopang oleh kondisi sosio ekonomi yang kuat. Terutama

dilihat dari besar kecilnya pendapatan perkapita masyarakat”. Ungkapan ini berderifasi

dari penelitian yang dilakukan Lipsit dan Deutsch di Amerika Serikat dengan kajian

perilaku warga Negara dalam pemilihan umum dimana dari penelitian yang dilakukan

tersebut ditemukan suatu pola bahwa pendapatan, pendidikan, dan status sosial

merupakan faktor penting dalam proses partisipasi atau dengan kata lain yang

pendapatanya tinggi, yang pendidikanya tinggi dan yang berstatus sosial tinggi,

cendrung untuk lebih banyak berpartisipasi dari orang yang berpendapatan serta

pendidikanya rendah (Budiardjo, 2008:9).

Sebagai acuan dan arahan di dalam pelaksanaan penelitian ini maka penelitian

yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan status sosial ekonomi dan perwujudan

partisipasi rakyat di dalam proses politik sebagai dasar dalam pemerintahan demokrasi,

dipaparkan lebih lanjut oleh peneliti.

Hasil penelitian yang dilkukan Prewitt dan Verba pada tahun 2003 menunjukkan,

ada beberapa hal yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam politik. Hal

yang paling pokok adalah, (1) tingkat pendidikan,

(2) income (penghasilan), (3) ras dan etnisitas, (4) jenis kelamin, dan (5) usia

(J.Geovani,2004:2). Dari penelitian yang dilakukan tersebut salah satu hal yang
pokok di dalam mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam politik adalah pendapatan

(income) yaitu salah satu elemen dasar dari ekonomi. Kemudian penelitian lainnya yang

pernah dilakukan yang berkaitan dengan status ekonomi dan partisipasi politik

diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sidney Verba dan Norman H. Nie

yang meneliti mengenai keadaan di Amerika Serikat, penelitian tersebut bertema

Political Participation in Amerika di mana hasil dari penelitian ini melihat bahwa orang-

orang kota lebih banyak memberikan suara daripada orang-orang desa dan orang-orang

yang berpendapatan tinggi cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi dari orang yang

berpendapatan rendah. Hasil penelitian ini kemudian diperkuat, ditindak lanjuti dan

dianalisis lagi oleh Deustch dalam penelitiannya yang berjudul Politics and

Government, ia mengambil kesimpulan bahwa di Amerika Serikat sepertiga dari

kelompok warga negara yang paling tinggi status serta pendapatannya, mengadakan

partisipasi enam kali lebih banyak daripada sepertiga kelompok warga negara yang

paling rendah dan memperoleh dua kali lebih banyak tanggapan positif dari pemerintah

(Budiardjo,2008:9).

Dari paparan di atas yang terdiri dari beberapa hasil penelitian, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa memang terdapat korelasi positif diantara status sosial

ekonomi dengan partisipasi politik masyarakat, di mana faktor perwujudan dari

penegakan demokrasi di dalam sebuah Negara sangat didukung oleh tingkat atau status

ekonomi dari warga Negaranya.

Namun ada juga pendapat ahli yang tidak sepenuhnya mendukung dari konsep

atau kesimpulan di atas, dari penelitian yang diakukan oleh Huntington dan Nelson

dalam bukunya yang berjudul Partisipasi Politik di Negara


Berkembang, di mana penelitian ini menyoroti hubungan antara pembangunan ekonomi

di sebuah Negara berkembang dengan tingkat partisipasi politik masyarakatnya. Salah

satu penjelasan dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa tingkat pembangunan sosio

ekonomi yang lebih tinggi di sebuah Negara, memang mengakibatkan tingkat partisipasi

politik yang lebih tinggi. Tetapi hal itu tidak selama benar banyak faktor lain sebagai

penentu di dalam menentukan tinggi rendahnya partisipasi politik, bahkan akan sangat

mungkin pembangunan sosio ekonomi yang tinggi akan mengakibatkan sebuah

partisipasi politik yang dimobilisasi yang sebenarnya adalah semu yang menjurus

kepada partisipasi politik yang rendah, dan buruk seperti yang banyak terjadi pada

Negara-negara berkembang (Huntington dan Nelson, 2003:59).

Anda mungkin juga menyukai