Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Case Based Discussion dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya. Di samping
itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada dr. Tedy Apriawan,Sp. BS dan dr. Irwan Barlian,Sp.BS selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan SMF Bedah serta berbagai pihak yang
telah member dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih
yang sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.
Penulis
2
BAB I
LAPORAN KASUS
Identitas :
Nama : Ny. S
Umur : 50 tahun
Suku : Madura
Agama : Islam
Pasien datang ke RSI Jemursari dengan keluhan sering sakit kepala dan
pengelihatan menurun. Pasien mengeluhkan hal tersebut sudah sejak 4 bulan
SMRS. Pasien awalnya hanya mengeluh sering sakit kepala, sakit kepala terasa
seperti nyut-nyutan. Pasien mengira sakit kepala nya dikarenakan oleh hipertensi.
Pasien mengatakan sakit kepala hilang timbul, dan membaik hanya dengan
istirahat. Lalu satu bulan setelah terasa sakit kepala, pasien juga mengeluh mata
nya mulai sedikit buram. Awalnya keluhan mata yang berat tidak terlalu berat.
Namun, lama kelamaan pasien merasa semakin memberat.
3
Pasien lalu periksa ke dokter mata oleh karena keluhan penglihatan mata
sebelah kiri semakin memberat. Lalu oleh dokter mata disarankan untuk CT-Scan,
karena curiga terdapat tumor, dan hasilnya terdapat tumor di belakang mata
sehingga mendorong posisi mata kedepan. Pasien tidak mengeluhkan adanya mual
muntah serta demam. Pasien juga menyangkal adanya kejang. Makan dan minum
masih dalam batas normal. BAB dan BAK juga masih dalam batas normal.
Tidak ada tetangga pasien atau orang-orang yang tinggal satu daerah dengan
pasien dengan penyakit yang sama.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
Nadi : 70 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit
Kepala dan leher: konjunctiva pucat (-), sklera ikterik (-), eksoftalmus (+)
sinistra, pembesaran kelenjar getah bening cervikal (-), dispneu (-)
Visus: VOD 2/60, VOS 6/60
4
Thoraks :
Paru:
o Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dada simetris
o Palpasi : tidak ada pelebaran ICS, fremitus vokal simetris
o Perkusi : sonor di semua lapangan paru
o Auskultasi: vesikuler, tidak ada ronkhi maupun wheezing
Jantung:
o Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi: ictus cordis tidak teraba
o Perkusi: batas jantung kanan: para sternal line ICS III dekstra
batas jantung kiri: 2 cm anterior axillary line ICS V
sinistra
o Auskultasi: S1/S2 tunggal reguler, tidak ada gallop, tidak ada
murmur
Abdomen:
o Inspeksi: flat
o Palpasi: supel, hepar/ lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
o Perkusi: timpani di seluruh lapangan abdomen
o Auskultasi : bising usus (+ ) normal
Ekstremitas
o Edema: superior (-/-), inferior (-/-)
o Akral hangat, kering, merah di ke empat ekstremitas
o CRT <2detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
01/10/2019
Darah Lengkap
Lekosit 11.75 ribu/µL
Basofil 0.94 %
Limfosit 20.06%
5
Eosinofil 3.893%
Monosit 4.610%
Neutrofil 70.50%
Eritrosit 4.81 Juta/µL
Hemoglobin 14.49 g/dL
RDW-CV 11.6 %
Trombosit 359 ribu/µL
MPV 6.225 fl
Hematokrit 44.1 %
MCV 91.8 fl
MCH 30.1 pg
MCHC 32.8%
PTT/KPTT
PTT 14.1
KPTT 27
Fungsi Hati
SGOT (AST) 16 µ/L
SGPT (ALT) 13 µ/L
Fungsi Ginjal
BUN 19.6 mg/dL
Kreatinin 0.69 mg/dL
Glukosa Darah
GDA 143 mg/dL
Serum Elektrolit
Natrium 143.60 mEq/L
Kalium 3.46 mEq/L
Chlorida 111.20 mEq/L
Imunoserologi
HBsAg Rapid Non Reaktif
Anti HIV Rapid Pre Op Non Reaktif
6
Radiologi :
Foto Thorax
7
MRI
Pada MRI kepala 1,5 T perempuan usia 50 tahun, dengan menggunakan kontras
gadolinum, didapatkan:
Enhancing solid mass dengan perluasan dan efek desak massa di
konveksitas sphenoid wing kiri, merupakan gambaran meningioma
sphenoid wing kiri
8
Multiple small vessel ischemic di cortical-subcortical lobus parietal kanan
kiri
Septum deviasi ke sisi kanan
(A) (B)
Pada pemeriksaan CT-Scan Kepala perempuan usia 50 tahun (A), jenis CT-Scan
tanpa kontras, potongan axial, tidak didapatkan kelainan pada kulit, didapatkan
hiperostosis tulang di fronto-temporal sinistra, serta didapatkan gambaran
anisodense (B) di parenkim lobus fronto-temporal sinistra mengesankan post
craniotomy
DIAGNOSIS
Spheno orbita meningioma sinistra
Tatalaksana
Planning Terapi
o Pro Craniotomy
o IVFD NaCl 0.9% 1500cc / 24 jam
9
o Inj. Cefazolin 2gr, Profilaksis
o Whole blood 2 bag
KIE
o Bed rest yang cukup
o Menjaga personal hygiene pasien
Tanggal S O A P
2/10/2019 Pasien tidak ada KU: Sedang Spheno Orbita Pro Craniotomy
keluhan pusing, pasien GCS: 456 Meningioma P. terapi:
merasa takut karena TD 160/90 IVFD NaCl 0,9%
akan di operasi Nadi 75x/m 1500cc/24 jam
RR 20x/m Inj. Cefazoline 2gr,
T 36 C Profilaksis
3/10/2019 Pasien sudah sadar post KU: lemah Spheno Orbita P. Terapi:
op, pasien mengeluh GCS : 456 Meningioma IVFD NaCl 0,9%
kepala bekas operasi TD 155/ 95 (PostCraniotomy) 1500cc/24 jam
sakit. Minum dan Nadi 74x/m Inj. Antrain 3x1
makan belum mau. RR 20x/m Inj. Cefazoline 2x1 gr
T 36,5 C Inj. Dexamethason
PA: 1x5mg
Transitional Inj. Omeprazole 2x40 mg
meningioma Inj. Ondansetron 3x8 mg
WHO grade I Inj Phenytoin 3x100 mg
4/10/2019 Pasien mengatakan KU: lemah Spheno Orbita P. Terapi:
masih sakit bekas GCS: 456 Meningioma (Post IVFD NaCl 0,9%
operasi, makan mau TD 150/100 OP) 1500cc/24 jam
sedikit tidak sampai ½ Nadi 70x/m Inj. Antrain 3x1
porsi karena mual RR 20x/m Inj. Cefazoline 2x1 gr
T 36,5 C Inj. Dexamethason
1x5mg
Inj. Omeprazole 2x40 mg
Inj. Ondansetron 3x8 mg
Inj Phenytoin 3x100 mg
10
5/10/2019 Pasien mengatakan KU: lemah Spheno Orbita P. Terapi:
pusing, dan mata GCS: 456 Meningioma (Post IVFD NaCl 0,9%
pasien bengkak. Pasien TD 155/90 Op) 1500cc/24 jam
masih mengeluh mual. Nadi 75x/m Inj. Antrain 3x1
RR 20x/m Inj. Cefazoline 2x1 gr
T 36,5 C Inj. Dexamethason
1x5mg
Inj. Omeprazole 2x40 mg
Inj. Ondansetron 3x8 mg
Inj Phenytoin 3x100 mg
6/10/2019 Pasien mengeluh KU: lemah Spheno Orbita Aff Drain kepala
pusing berkurang, mata GCS: 456 Meningioma Aff kateter Urine
masih bengkak. Mual TD:140/90 P. Terapi:
sudah berkurang, Nadi 75x/m IVFD NaCl 0,9%
makan sudah mau ½ RR: 20x/m 1500cc/24 jam
porsi T: 36,3 C Inj. Antrain 3x1
Inj. Cefazoline 2x1 gr
Inj. Dexamethason
1x5mg
Inj. Omeprazole 2x40 mg
Inj Phenytoin 3x100 mg
7/10/2019 Pasien tidak mengeluh KU: sedang Spheno Orbita P. Terapi:
pusing, tetapi mata GCS: 456 Meningioma IVFD NaCl 0,9%
masih bengkak. Pasien TD: 140/90 1500cc/24 jam
sudah mau makan Nadi: 70x/m Inj. Antrain 3x1
banyak. Pasien sudah RR: 20x/m Inj. Cefazoline 2x1 gr
dapat berjalan ke T: 36 C Inj. Dexamethason
kamar mandi 1x5mg
Inj. Omeprazole 2x40 mg
Inj Phenytoin 3x100 mg
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Anatomi Tulang Orbita
Tulang orbita terdiri atas tujuh tulang, yaitu frontal, ethmoid,
sphenoid, maxilla, zygomatic, lacrimal, dan palatine. Batas superior dari
orbita dibentuk oleh tulang frontal, dan terdapat notch atau foramen untuk
saraf dan pembuluh darah supratrochlear dan supra-orbital. Batas medial
dibentuk oleh superior tulang frontal dan prosessus frontalis dari inferior
maxilla. Batas lateral dibentuk oleh prosessus frontalis dari tulang
zygomatic dan bagian kecil ke superior oleh prosessus zygomatic dari
tulang frontal. Batas inferior terdiri atas ke medial maxilla dan ke lateral
tulang zygomatic. Atap orbita terdiri atas orbital plate dari tulang frontal
dan lesser wing dari tulang sphenoid. Lantai orbital dibentuk oleh orbital
plate dari maxilla, permukaan orbita dari tulang zygomatic dan prosessus
orbital dari tulang palatine. Dinding lateral dibentuk oleh sebagian besar
sphenoid wing dan prosessus frontalis dari tulang zygomatic. Ke posterior
fissure orbitalis inferior memisahkan dinding lateral dan lantai orbita.
Fissure orbitalis superior memisahkan dinding lateral dan atap orbita.
Bagian anteromedial dari lantai orbita terdapat lubang canal nasolacrimal.
Bagian orbita posterior terdapat tiga celah tulang, yang member
struktur neurovaskular masuk ke orbita dari fossa temporalis, sinus
cavernosus, bagian suprasellar, dan fossa infratemporalis. Sinus
cavernosus langsung berhubungan dengan orbita dan saraf kranial III, IV,
dan VI masuk ke bagian posterior dari orbita melalui fissure orbitalis
superior.3
Fissure orbitalis superior terletak antara lesser dan sebagian besar
wing dari tulang sphenoid. Fissure orbitalis superior memunyai bentuk
triangular dengan sebagian besar medial dan posterior terhadap bagian
lateral (apex). Fissure ini berhubungan dengan orbita, fossa cranial
media, dan sinus cavernosus.2
12
Empat otot-otot rectus, yaitu superior, inferior, medial, dan lateral
timbul dari tendon annular (tendineous ring) yang melekat dengan pinggir
upper, lower, dan medial dari optic canal dan ke lateral dengan pinggir
lateral dari fissure orbitalis superior.2,4
Fissure orbitalis inferior berhubungan dengan orbita dan fossa
pterygopalatine, ke posteromedial. Bagian anterolateral dari fissure
berhubungan dengan orbita dan fossa infratemporal. Saraf infraorbita,
cabang-cabang zygomatic dari saraf maxillary (V2), beberapa cabang arteri
maxillary internal dan vena ophthalmic inferior merupakan struktur yang
berjalan melalui fissure orbitalis inferior.1,3
13
Gambar 2. Anatomi Otot Orbita
14
Gambar 3. Anatomi Sinus cavernosum potongan melintang
15
Gambar 5. Sistem Vena yang menuju sinus cavernosum
16
melalui bagian depan melalui hipofisis serebral dan bagian posterior
disamping hipofisis serebri yang akhirnya membentuk siklus sinus
kavernosus (sinus siklus) yang mengelilingi hipofisis.18
B. MANIFESTASI KLINIS
Meningioma orbita primer dan sekunder menunjukan gejala klinis
yang hampir sama. Ciri-ciri yang paling sering ditemukan, seperti
exophthalmus dan hilangnya penglihatan unilateral. Visual acuity
cenderung terlibat awal dan exophtkamus manifes kemudian. Umumnya
hilangnya penglihatan berkembang berangsurangsur, walaupun dapat
terjadi hilangnya penglihatan secara akut sekitar 2-5% dari canalicular dan
8-12% dari meningioma intracranial. Beberapa penderita dengan keluhan
diplopia kemungkinan disebabkan oleh neuropathies cranial atau
kerusakan langsung dari otot-otot rectus, bengkak, dan sakit kepala. Gejala
mual dan muntah berhubungan dengan tekanan intracranial yang
meninggi. Atropi saraf optik dapat ditemukan akibat kompresi saraf.
Diplopia terjadi sekunder akibat efek langsung saraf kranial atau disfungsi
otot extra-ocular. Pada meningioma orbita sekunder yang besar, efek
massa dan tekanan tinggi intracranial dapat menyebabkan papil edema
saraf optik bilateral. Optociliary shunt pembuluh darah pada permukaan
disc, memperlihatkan sirkulasi kolateral antara vena central retina dan
sistem aliran vena choroidal/ciliary, sangat kuat, memberi kesan
meningioma melibatkan jaras visual anterior.5
C. ETIOLOGI
17
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma,
namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa
kromosom yang jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma. Para
peneliti sedang mempelajari beberapa teori tentang kemungkinan asal-usul
meningioma.6
Di antara 40% dan 80% dari meningiomas berisi kromosom 22
yang abnormal pada lokus gen neurofibromatosis 2 (NF2). NF2
merupakan gen supresor tumor pada 22Q12, ditemukan tidak aktif pada
40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2
sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi meningioma
multiple, dan sering terjadi pada usia muda. Di samping itu, deplesi gen
yang lain juga berhubungan dengan pertumbuhan meningioma.
Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan
tumor. Penyebab kelainan ini tidak diketahui. Meningioma juga sering
memiliki Salinan tambahan dari platelet diturunkan faktor pertumbuhan
(PDGFR) dan epidermis reseptor faktor pertumbuhan (EGFR) yang
mungkin memberikan kontribusi pada pertumbuhan tumor ini.
Sebelumnya radiasi ke kepala, sejarah payudara kanker, atau
neurofibromatosis tipe 2 dapat resiko faktor untuk mengembangkan
meningioma. Multiple meningioma terjadi pada 5% sampai 15% dari
pasien, terutama mereka dengan neurofibromatosis tipe 2. Beberapa
meningioma memiliki reseptor yang berinteraksi dengan hormon seks
progesteron, androgen, dan jarang estrogen. Ekspresi progesteron reseptor
dilihat paling sering pada meningioma yang jinak, baik pada pria dan
wanita. Fungsi reseptor ini belum sepenuhnya dipahami, dan demikian,
sering kali menantang bagi dokter untuk menasihati pasien perempuan
mereka tentang penggunaan hormon jika mereka memiliki sejarah suatu
meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam pertumbuhan
meningioma belum ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa kadang-
kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada saat kehamilan.5,7
D. FAKTOR RISIKO
a. Radiasi Ionisasi
18
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah
terbukti menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung
hubungan antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun
telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor
akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan
kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian
pada orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki
menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma yang
signifikan.7
Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga
meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea
kapitis memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya meningioma
terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk
kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko terjadinya meningioma.
Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012) yang membuktikan
adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya meningioma setelah
mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia 15 hingga 40
tahun.
b. Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor
yang timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan
penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang
memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang.
Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis
type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan
disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12 (insiden di US: 1
per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma sporadik dijumpai
hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan
kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q.8,9
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik
dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA,
19
regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian
terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat
dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen.
Namun belum dijumpai hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya
meningioma dan variasi gen GST atau CYP450. Penelitian lain yang
berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan.8
c. Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-
laki memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat
laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus
menstruasi, dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon
eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan
resiko timbulnya meningioma memberikan hasil yang kontroversial.
Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan
bahwa resiko mengioma berhubungan dengan status menopause, paritas,
dan usisa pertama saat menstruasi. Namun hal-hal ini masih menjadi
kontroversi.9
E. PATOLOGI
Asal usul patologi meningioma diperkirakan dari arachnoid cap
cell. Daerah yang paling sering untuk tumor ini bertepatan dengan adanya
arachnoid villi, dan selalu batasnya berdekatan dengan area dari jaringan
arachnoid granulation. Karakteristik patologi dari meningioma orbita
mirip dengan meningioma intracranial yang lain. Terdapat berbagai
subtype histologis. Meningothelial meningioma suatu massa solid
lobulated atau lembaran sel-sel meningothelial, dengan membran sel yang
tidak tegas, dan ini memberi suatu gambaran syncytium secara
keseluruhan, aktivitas mitotic rendah. Meningioma orbita primer berasal
dari optic sheath dan terdiri atas subtype transitional, dan beberapa tumor
dengan perubahan psammomatous. Yang jarang, seperti subtype fibrous,
papillary, dan anaplastic meningioma tidak terlibat primer orbita.
Meningioma sekunder melibatkan bagian spheno-orbital menunjukan
20
perbedaan subtype histologis dan khas menyebabkan invasi tulang dan
hiperostosis.10
Hyperostosis menunjukan invasi tulang oleh tumor. Analisis
radiography, operasi, dan aspek histologis dari meningioma cranial base
menunjukan hiperostosis. Gambaran hiperostosis memperlihatkan
gangguan pembuluh darah pada tulang, merangsang fungsi osteoblastic
pada tulang normal oleh tumor secreting factor, tumor produksi tulang,
trauma sebelumnya, dan reaksi tulang tanpa invasi tumor.11
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi
Optic nerve sheath meningioma dapat normal pada X-ray biasa
pada tingkat awal perkembangan tumor. Pada perkembangan selanjutnya
tampak optic canal membesar atau hiperostosis dari optic canal.
Computed tomography (CT) scan pada meningioma ini khas tampak
penebalan saraf optik atau tram track sign dengan dua strip lucency
tampak sekitar sentral saraf optik membesar, tanda bahwa saraf optik
dikelilingi oleh tumor.12 Ciri-ciri ini khas untuk glioma saraf optik yang
saraf optik itu sendiri meluas.11,12 Adanya kalsifikasi penting sebagai tanda
suatu meningioma. Hiperostosis pada optic canal jelas tampak pada CT
scan. Pemberian kontras khas homogenous enhancement pada massa.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas pada tumor, spesifikasinya dapat membantu membedakan lesi
fusiform dan loculated dari lesi eccentric. MRI dapat mendeteksi lesi yang
kecil. Lesi en plaque tampak pada gadolinium enhance fat-supressed T1-
weighted images sebagai dua strip dari enhancement pada salah satu sisi
dari saraf optik.12
G. PENATALAKSANAAN
Keputusan terapi yang rasional tentang terapi meningioma orbita
berdasarkan riwayat natural dari penyakit sebaik yang diketahui secara jelas
adanya terapi modalitas, dan hubungannya bermanfaat, terbatas, dan risiko.
Telah diketahui bahwa efek meningioma terhadap orbita tidak menandakan
jalannya klinis yang progresif dan memburuknya neurologis. Meninigioma
21
orbita pada anak-anak berhubungan dengan prognosis yang jelek daripada
penderita dewasa. Beberapa analisis data memberi kesan bahwa pada populasi
pediatric, tumor ini tidak hanya menyebabkan kerusakan penglihatan tetapi
juga dapat meluas ke daerah di dekatnya, seperti sinus cavernosus, daerah
sellar, anulus of Zein, dan fossa pterygomaxillary, terutama dengan tumor
yang melibatkan sphenoid wing medial. Dengan tumor yang ekstensi, total
reseksi tanpa neurological yang signifikan akan sangat sulit.13
Dengan adanya dan karakteristik modalitas terapi yang baru, terdapat
berbagai manajemen pilihan dalam pengobatan meningioma orbita.
Endovascular embolisasi efektif untuk devaskularisasimeningioma.
Embolisasi khas digunakan sebagai penghubung dengan reseksi terbuka dari
tumor. Whole-brain irradiation dan stereotactic radiosurgery telah
memperlihatkan efektifitas dalam kontrol pertumbuhan tumor. Radiosurgery
dapat digunakan melalui gamma knife atau melalui linear accelerator.
Radiosurgery telah digunakan sebagai model terapi primer untuk meningioma
intracranial. Pada skull base sering digunakan sebagai terapi tambahan,
apakah dipakai untuk sisa tumor setelah operasi atau tumor rekuren.
Intraoperative, menggunakan pencitraan computer-assisted dapat membantu
menentukan batas dan lokasi. Modifikasi yang berbeda terhadap teknik
cranial base membantu ahli bedah untuk mencapai reseksi total tanpa bahaya
struktur saraf. Sebaiknya, penderita dengan meningioma orbita sebelum
operasi dilakukan MR imaging dan embolisasi, Juga sering digunakan
pemandu intraoperative. Dicoba reseksi agresif dan reseksi total apabila
memungkinkan. Radiosurgery sebagai cadangan untuk terapi penderita
dengan rekuren tumor.10,13
Terapi meningioma optic nerve sheath berubah pada meningioma
orbita sekunder. Oleh karena reseksi sebagai modalitas terapi primer untuk
meningioma orbita sekunder, penderita dengan meningioma nerve sheath
selalu diikuti keadaan klinisnya, disertai pemeriksaanm visual field, visual
acuity, dan MR imaging.
22
Gambar 4. Contoh terapi radiasi dengan
Stereotactic Radiosurgery (Gamma Knife)
Terapi Radiasi
23
Angiografi dan Embolisasi
Embolisasi melibatkan selektif kateterisasi dari pembuluh darah yang
mengalir ke tumor. Dengan kateter, material embolic diletakan dalam lumen,
terjadi bekuan darah dan thrombus. Masih dalam perdebatan apakah
intervensi embolisasi pada meningioma bermanfaat, yang dapat mengurangi
hilangnya darah saat operasi, menurunkan angka komplikasi, dan berpotensi
mengurangi waktu operasi.22 Jelas bahwa terdapat pertimbangan perbedaan
hubungan operasi untuk meningioma dengan lokasi yang berbeda.
Meningioma konveksitas, yang aliran darah terutama berasal dari sistem
arteri carotid external, kurang tantangannya dalam hubungannya untuk
endovascular embolization, dalam hal lain, katererisasi saat operasi terhadap
aliran darah sebelum reseksi tumor juga suatu teknik yang efektif untuk
mengurangi hilangnya darah saat operasi. Embolisasi mungkin lebih
membantu untuk selektif kasus-kasus, seperti jika melakukan operasi
meningioma ukuran besar dan pada skull base.23 Meningioma orbita
merupakan suatu contah bahwa aliran darah dapat berasal dari arteri carotid
internal dan external. Tumor dengan aliran darah yang berasal dari ke dua
sistem ini dan embolisasi hanya dilakukan pada sistem external, tercapainya
manfaat masih kontroversi. Kita telah menemukan bahwa manajemen tumor
osseous skull base dengan preoperative embolisasi mengurangi angka
hilangnya darah saat operasi, ahli bedah dapat melihat tumor lebih efektif,
dan bekerja tanda tergesa-gesa.
Teknik Operasi
Teknik operasi dibagi dua grup, yaitu teknik extracranial dan
transcranial. Lokasi lesi dalam periorbita pada anterior dua pertiga dari
orbita dapat dibuang dengan teknik extracranial. Empat prinsip teknik
transorbita, yaitu orbitotomy anterior dengan atau tanpa osteotomy; lateral
atau bitotomy; medial orbitotomy dan kombinasi medial dan lateral
orbitotomy.12 Meningioma yang terlibat apex orbita, medial terhadap saraf
optik dan lesi dengan ekstensi intracranial harus dibuang dengan teknik
transcranial.13
24
Beberapa lesi dengan komponen infratemporal dan maxillary harus
diatasi dengan teknik extended transcranial. Awal dari teknik transcranial
membuang tulang frontal dan frontotemporal flap, mempertahankan
supraorbital rim. Pada tumor yang besar, setelah berkembangnya teknik
operasi skull base, teknik supraorbital dan cranio-orbital zygomatic (COZ)
lebih tepat untuk reseksi total.14
Rekonstruksi Orbita
Pertahankan periorbita sangat penting untuk kosmetik
ophthalmological dan perbaikan fungsinya. Membuang bagian posterior dari
atap biasanya tidak berhubungan dengan gangguan klinis ophthalmic. Juga
membuang tulang dinding lateral dan medial, toleransinya baik dan dapat
menyebabkan enophthalmus atau dystopia. Jika periorbita dipertahankan
rekonstruksi yang solid dari medial, lateral, dan atap kemungkinan tidak
diperlukan. Sebaliknya, lantai orbital dibuang, terutama jika lebih dari dua
pertiga, berhubungan dengan tingginya level komplikasi ophthalmic,
dihindari enophthalmus dan hypoglobus, walaupun periorbita
dipertahankan.13
Teknik cranio-orbito zygomatic dan teknik lain orbitocranial
menggantikan batas superior dan lateral dari orbita pada akhir prosedur.
Meskipun demikian, lantai dan periorbital memerlukan teknik khusus dan
material untuk rekonstruksi. Beberapa alternatif untuk menggantikan orbita,
yaitu bone cement, split calvaria, iliac crest, rib graft, titanium mesh, dan
lain-lain material sintetik.15
H. PROGNOSIS
Meningioma diketahui suatu tumor dengan pertumbuhan yang
lambat tetapi progresif. Mayoritas rekuren diperkirakan karena sisa tumor
pada operasi, yang terjadi karena takutnya terjadi defisit fungsional yang
berat dengan mencoba melakukan reseksi total. Semua meni ngioma dengan
berbagai lokasi memunyai angka rekuren antara 10-23%. Meningioma orbita
dapat invasi sinus cavernosus, dura dari sella turcica, bagian lateral dari
sphenopid body, anulus dari Zein, fossa pterygomxillary, dan ruang
lateropharyngeal. Bonnal dan kawan-kawan, melakukan perdebatan melawan
25
eksplorasi invasi tumor daerah sphenoid ridge untuk reseksi total untuk
pertahankan fungsi neurologis setelah operasi. Sebagian besar terdapat sisa
tumor. 15
Angka rekuren pada meningioma sphenoid ridge lebih besar dari
lokasi tumor ditempat lain, sekitar 25-50%. Meningioma yang ekstensi
sphenoorbital juga cenderung invasi struktur vital neurologis. Yang
dianjurkan untuk reseksi luas termasuk seluruh sphenoid wing sampai
fissure orbitalis superior, processus clinoidalis anterior, dan atap orbita,
dekompresi foramen rotundum, foramen ovale, dan optic canal. Tidak
direkomendasi eksplorasi sinus cavernosus.15
REKUREN
Angka rekuren meningioma antara 10-23%. Rekuren meningioma
spheno-orbital cenderung tinggi dan bervariasi dari 14-50%. Keterlibatan
tulang cranial base dan fissure orbitalis superior atau invasi sinus cavernosus
memunyai angka rekuren yang tinggi. 15
26
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, dari anamnesis ditemukan pasien perempuan berusia 50 tahun
dengan keluhan sering sakit kepala dan pandangan mata kabur. Keluhan
sudah dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Sakit kepala munculnya hilang
timbul, dan pandangan mata yang buram semakin lama semakin memberat.
Karena meningioma berada di orbita, pada pasien terlihat exoftalmus
(proptosis) pada orbita sinistra. Dan terjadi pada sphenoid dengan adanya
tanda gangguan penglihatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum sedang, GCS 456
TTV dalam batas normal
Eksoftalmus orbita sinistra
Visus: VOD 2/60, VOS 6/60
Pemeriksaan Penunjang:
Darah Lengkap Leukosit 11,75 ribu/µL. Lain-lain dalam batas normal
(Eritrosit 4,81 juta/uL, Hb 14,49g/dL, Trombosit 359 ribu/uL).
Faal Hemostasis dalam batas normal, HbsAg non reaktif, Anti HIV Rapid non
reaktif, Fungsi ginjal dalam batas normal.
Pada Pemeriksaan Penunjang (yang dilakukan di RS.Dr.Soetomo) dengan
MRI didapatkan enhancing solid mass dengan perluasan dan efek desak
massa di konveksitas sphenoid wing kiri, merupakan gambaran
meningioma sphenoid wing kiri
Untuk pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan pemeriksaan Patologi
Anatomi, dan didapatkan hasil transitional meningioma WHO grade I
Pemilihan terapi meningioma dapat berupa medikamentosa, pembedahan,
radioterapi.
Pada pasien ini mendapat terapi:
IVFD NaCl 0,9% 1500cc/24 jam
Inj. Antrain 3x1 : Analgetik
27
Inj. Ondancentron 3x4mg : Antiemetik untuk mencegah mual pos op
Inj. Ceftriaxone 1 gram : Antibiotik profilaksis
Inj. Omeprazole 2x40 mg : PPI
Inj. Phenytoin 3x100mg : Antikonvulsan profilaksis pos op
Inj. Dexamethasone 1x5mg : Antiinflamasi dan profilaksis edema
serebri
Selain mendapat terapi medikamentosa, pada pasien juga dilakukan
pembedahan dengan reseksi tumor, pembebasan pembuluh darah yang terlibat
dengan tumor, dan rekonstruksi tulang wajah.
Derajat Simpson untuk tindakan pengambilan tumor
Derajat Pengambilan/Eksisi
I Komplit, eksisi secara makroskopik, termasuk: duramater, tulang
yang tidak normal, dan dura sinus yang terkena.
II Komplit, eksisi secara makroskopik, dengan koagulasi duramater
dengan Bovie atau laser.
III Komplit, eksisi secara makroskopik, tanpa reseksi atau koagulasi
duramater
Atau ekstensi ekstradural (misalnya tulang yang hiperostosi)
IV Parsial eksisi, meninggalkan sebagian tumor
V Dekompresi sederhana, biopsy
28
Efek radioterapi pada meningioma tidak jelas, meskipun sutau penelitian
retrospektif menyebutkan meningioma relatif radioresisten. Partial reseksi
dengan radioterapi mempunyai angka rekurensi 29% tanpa radioterapi 74%.
Efek samping radiasi sering timbul setelah dilakukan raioterapi rutin.
Kemoterapi tidak memberikan manfaat.
Prognosis tumor otak tergantung pada hasil histopatologis, lokasi tumor, dan
volume tumor. Prognosis untuk meningioma dengan terapi pilihan (total
reseksi) adalah baik.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Shields JA, Shields CL, Scartozzi R. Survey of 1264 patients with orbital
tumors and simulating lesions. Ohthalmology 2004;111:997-1008
2. Ducie Y. Orbitozygomatic resection of meningiomas of the orbit.
Laryngoscope 2004;114:164-170
3. Dutton JJ. Optic nerve sheath meningiomas. Surv Ophthalmol
1992;37:167-183
4. Saeed P, Rootman J, Nugent RA, White VA, Mac Kenzie JR, Koornneef
L. Optic nerve sheath meningiomas. Ophthalmology 2003;110:2019-2030
5. Carasco JR, Penne RB. Optic nerve sheath meningiomas and advanced
treatment options. Curr Opin Ophthalmol 2004;15:406-410
6. Cristante I. Surgical treatment of meningiomas of the orbit and optic canal:
a retrospective study with particular attention to the visual outcome. Acta
Neurochir (Wien) 1994;126;27-32
7. Narayan S, Cornblath WT, Sabdler HM, Elkner V, Hayman JA.
Preliminary visual outcomes after three-dimention conformal radiation
therapy for optic nerve sheath meningiomas. Int J Radiat Oncol Biol Phys
2003;56:537-543
8. Boulos PT, Dumont AS, Mandell JW, Jane JA. Meningiomas of the orbit:
contemporary considerations. Neurosurg Focus 2001;10(5)article 5:1-10
9. Wright JE. Primary optic nerve meningiomas: clinical presentation and
management. Trans Am Acad Ophthalmol Otolaryngol 1977;83:617-625
10. Wilson WB. Meningiomas of the anterior visual system. Surv Ophthalmol
1981;26:109-127
11. Newman SA, Jane JA. Meningioma of the optic nerve, orbit, and anterior
visual pathways, in Al- Mefty ) (ed): Meningiomas. New York Raven
Press 1991:461-494
12. Mafee MF, Goodwin J, Dorodi S. Optic nerve sheath meningiomas. Role
of MR imaging. Radiol Clin North Am 1999;37:37-58
30
13. Rhoton AL.Jr. The orbit. In: Rhoton AL.Jr(ed) Cranial anatomy and
surgical approaches. Illinois, Lippincott, William & Wilkins. 2003:331-
362
14. Borba LAB, Al-Mefty O. Normal anatomy of the cavernous sinus. In:
Eisenberg MB, Al-Mefty O. The cavernous sinus: a comprehensive text.
Philadelphia, Lippincott William & Wilkins. 2000:21-34
15. Al-Rodhan NRF, Laws ER Jr. The history of intracranial meningiomas, in
Al-Mefty O (ed): Meningiomas. New York: Raven Press 1991:1-7
16. Levin. A.Leonard. Neuro – Ophthalmology The Practical Guide, Thieme
Medical Publishers, Inc, New York, 2005. p.296 – 303.
17. Wilson L. Cranial Nerves. Anatomy and Clinical Comments. BC Decker
Inc. Toronto Philadelphia. 1988. p.26 – 78.
18. Carlise R, Preseptal and Orbital Cellulitis, Hospital Physician. 2006.
diakses dari http://turner-white.com. P.15 -19.
31
LAMPIRAN
32