Anda di halaman 1dari 14

Magister Manajemen Pendidikan e-ISSN 2549-9661

FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Volume: 4, No. 2, Juli-Desember 2017


jurnalkelola@gmail.com Halaman: 121-134

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi

Sasadara Wahyu Lukitasari


Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
sasadara@gmail.com

Bambang Suteng Sulasmono


Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
bambang.sulasmono@staff.uksw.edu

Ade Iriani
Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana
ade.iriani@staff.uksw.edu

ABSTRACT
The purpose of this study is to evaluate the implementation of inclusive education
policy in Salatiga City. This study used a qualitative evaluative approach to the research
subject of Dinas Pendidikan and inclusion schools in Salatiga. In-depth interviews,
document studies, and observations were used to collect data and then analyzed using an
Edwards III implementation model that looked at communication, resource, disposition,
and bureaucratic structure. The results showed that the implementation of inclusive
education policy in Salatiga is considered good, that is the achievement of 65%.
Communication is an aspect that requires a lot of improvement, as well as the
bureaucratic structure and disposition that is still not a good implementation. While the
best aspect is the resources. The impact of this policy is evident from the increasing
number of students in regular schools from year to year and the reduced discrimination
experienced by ABK students by peers, teachers and the community.

Keywords: evaluation, inclusive education, policy implementation

Article Info
Received date: 24 Mei 2017 Revised date: 13 Oktober 2017 Accepted date: 13 Oktober 2017

121
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017

PENDAHULUAN dengan sempurna bila kurang bagus proses


Model pendidikan inklusi merupakan implementasinya oleh para pelaksana maka
sebuah alternatif yang ditawarkan oleh kebijakan itu akan menemui kegagalan. Wahab
pemerintah untuk melayani Anak (2015: 132-133) menjelaskan bahwa menurut
Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan ini sudut pandang teori siklikal (Cyclical Theory)
bukan digunakan untuk menggantikan implementasi kebijakan merupakan bagian dari
pendidikan segregasi dalam konteks tahapan dalam proses kebijakan berupa bentuk
pendidikan luar biasa di Indonesia yang selama produk hukum, dan aktivitas lanjutan sesudah
ini terlayani dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) diberlakukannya produk hukum tersebut. Dapat
dan Sekolah Terpadu. Sistem ini diartikan bahwa implementasi kebijakan adalah
memungkinkan ABK bersekolah di sekolah tindakan saling kerja sama antar pemerintah
reguler sehingga membuka akses pendidikan dengan pihak swasta untuk melaksanakan
yang lebih luas, bagi para ABK. Sekolah inklusi kebijakan yang telah ditetapkan pada tahap
dimaksudkan untuk memperpendek akses sebelumnya guna mencapai tujuan yang
pendidikan bagi ABK yang biasanya bertempat ditetapkan.
tinggal jauh dari pusat kota dimana terdapat Ketika kebijakan tidak dijalankan secara
SLB sehingga mereka tidak mengalami putus baik, maka akan timbul kesenjangan
sekolah. Subagya dalam Haryono (2015:122- implementasi (implementation gap) yang
123) menyebutkan bahwa terdapat 26.568 diartikan sebagai “perbedaan antara hukum
(79,37%) ABK di Jawa Tengah belum sekolah. yang tertulis dengan prakteknya di lapangan”.
Para ABK ini tidak mendapatkan pendidikan Biasanya implementation gap ini terlihat dan
karena beberapa alasan, seperti jauhnya tempat sering dirasakan pada level bawah (Nakagaki,
tinggal ABK dari sekolah khusus, ABK ditolak 2013:1). Penyebab adanya implementation gap
bersekolah di sekolah terdekat, banyak orang dapat berasal dari faktor politik, ekonomi, dan
tua ABK menyembunyikan ketunaan anaknya sosial budaya. Untuk mengatasi
dan rendahnya motivasi orang tua untuk implementation gap dibutuhkan pendekatan
menyekolahkan anak mereka yang yang berfokus pada kualitas kebijakan dan
berkebutuhan khusus. memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-
Persoalan-persoalan tersebut di atas benar sesuai dengan kebutuhan sasaran
barang tentu tidak dapat diselesaikan sendiri (masyarakat). Pemerintah, sektor swasta dan
oleh masyarakat, sehingga diperlukan masyarakat harus bekerja sama untuk
penanganan oleh pemerintah melalui kebijakan mengatasi implementation gap ini.
publik. Kebijakan publik dapat dirumuskan George Edward III (1980) menyatakan
sebagai sebuah aksi yang dilakukan oleh aktor bahwa jika implementasi kebijakan publik
politik sebagai strategi untuk mengatasi kurang diberi perhatian, maka implementasi
masalah publik dengan mempertimbangkan tidak efektif sehingga kebijakan itu tidak akan
hambatan dan potensi yang ada guna mencapai berhasil dijalankan. Untuk menjamin
tujuan yang dicita-citakan. Alur pembuatan keberhasilan implementasi kebijakan perlu
kebijakan publik dimulai dari adanya isu diperhatikan empat hal, yaitu komunikasi,
kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.
kebijakan dan evaluasi kebijakan. Nugroho Komunikasi. Komunikasi kebijakan
(2009: 145) menambahkan bahwa kegiatan adalah proses penyampaian informasi tentang
setelah evaluasi kebijakan diperlukan lagi revisi kebijakan dari pembuat kepada pelaksana
kebijakan untuk merumuskan kembali kebijakan (implementor) (Widodo, 2011:97).
kebijakan. Hal ini penting dilakukan supaya pelaksana
Tahap implementasi kebijakan adalah kebijakan dapat memahami hakikat kebijakan,
isi, tujuan, arah, cara pelaksanaan, batasan,
tahap yang sangat penting dalam proses
evaluasi, kelompok sasaran dan lain sebagainya
kebijakan. Kebijakan yang sudah terencana
122
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
sehingga dapat mempersiapkan pelaksanaan pembauran anak-anak berkelainan ke dalam
kebijakan agar proses implementasi berjalan program sekolah regular. Selain itu inklusi
lancar dan efektif. Faktor-faktor yang penting dapat diartikan sebagai akseptasi siswa dengan
dalam penyampaian informasi, adalah transmisi keterbatasan dalam kurikulum, lingkungan,
(cara penyampaian), clarity (kejelasan interaksi sosial dan konsep diri sekolah. Hal
informasi), dan consistency (konsistensi yang senada diungkapkan Valle & Connor
dalam Santrock (2014:226) yang menyatakan
informasi).
bahwa inklusi berarti memberi pendidikan anak
Sumber Daya. Sumber daya berkaitan dengan pendidikan khusus secara penuh-waktu
dengan ada tidaknya sumber daya pendukung, di kelas reguler. Namun dia memberi catatan
khususnya kualitas sumber daya manusia untuk bahwa hal tersebut tergantung pada tingkat
menjalankan kebijakan secara efektif. Widodo disabilitasnya. Sedangkan dalam Permendiknas
(2011:98) menyebutkan bahwa walaupun No. 70 Tahun 2009 pasal 1 diterangkan bahwa
aturan yang dibuat sudah jelas dan akurat, pendidikan inklusi adalah “sistem
namun implementasi tidak akan efektif jika penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
sumber daya pelaksana kebijakan kurang kesempatan kepada semua peserta didik yang
bertanggung-jawab dalam melaksanakan memiliki kelainan dan memiliki potensi
kebijakan yang bersangkutan. Potensi sumber kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
daya yang tinggi akan membuat implementasi mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
satu lingkungan pendidikan secara bersama-
berjalan dengan baik, sebaliknya, rendahnya
sama dengan peserta didik pada umumnya.”
potensi sumber daya akan menjadi penyebab
Siswa dengan kelainan fisik, emosional,
gagalnya implementasi kebijakan. Sumber daya mental, dan sosial atau memiliki potensi
tersebut terdiri dari sumber daya manusia, kecerdasan dan/atau bakat istimewa memiliki
anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan. hak untuk ikut mengenyam pendidikan secara
Disposisi. Edward (1980:89) inklusi pada satu sekolah sesuai kebutuhan dan
mendefinisikan disposisi sebagai pembawaan, kemampuannya. Sedangkan yang dimaksud
kepribadian, pandangan, ideologi pelaksana kelainan itu adalah tunanetra, tunarungu,
kebijakan publik. Kemauan dan dedikasi serta tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
karakteristik para implementor kebijakan untuk berkesulitan belajar, lamban belajar, autis,
melaksanakan kebijakan sangat penting untuk memiliki gangguan motorik, menjadi korban
keberlangsungan implementasi kebijakan. penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan
Struktur birokrasi. Struktur birokrasi zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya,
tunaganda. Dari pengertian diatas, penulis
disini adalah semua instrumen organisasi secara
berpendapat bahwa pendidikan inklusi adalah
menyeluruh dan terstruktur. Terdapat dua aspek
layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan
struktur organisasi ini, yaitu mekanisme dan khusus dengan keterbatasan fisik, mental,
struktur birokrasi. Mekanisme biasanya dibuat berkemampuan istimewa, korban narkoba,
dalam Standard Operational Procedure(SOP) minoritas, dan keterbatasan belajar lainnya
yang merupakan pedoman langkah-langkah yang menyatu dengan sekolah reguler di dekat
berupa keseragaman pola dalam pelaksanaan tempat tinggalnya.
implementasi kebijakan supaya tidak Inklusi diperlukan agar terjadi
melenceng dari yang sudah ditetapkan. Aspek pemerataan pendidikan dengan memperpendek
penting lain dari struktur birokrasi adalah ada akses pendidikan ke pendidikan khusus dan
atau tidaknya fragmentasi atau perpecahan di memenuhi hak pendidikan anak. Dengan ini
kalangan birokrasi pelaksana kebijakan dapat membantu siswa dengan pemenuhan
Fragmentasi di lingkungan birokrasi pelaksana pendidikan yang berkualitas, membantu
mengoptimalkan potensi mereka sehingga
kebijakan akan membuat permasalahan dalam
dapat berkontribusi terhadap komunitas dan
implementasi. masyarakat. Inklusi juga dimaksudkan untuk
Pendidikan Inklusi. Konsep inklusi mempromosikan perubahan dan nilai-nilai
dijelaskan oleh Smith (2006: 43) sebagai sosial dan mengurangi diskriminasi dalam
123
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
masyarakat. Dengan menempatkan siswa ABK Supaya tidak dianggap “aneh” atau under
setara dengan siswa normal, masyarakat achiever (prestasi tidak sesuai dengan
diharapkan dapat melihat perbedaan yang ada kemampuannya) maka dibutuhkan pelayanan
sebagai keanekaragaman dalam masyarakat yang berbeda dengan sekolah reguler. Hertzog
(Walker, tth:15) dalam Santrock (2014:232-233) mengusulkan
Mangunsong (2009:4) menjelaskan beberapa program untuk menangani anak
bahwa Anak Berkebutuhan Khusus atau Anak berbakat, yaitu kelas khusus, percepatan
Luar Biasa adalah anak yang berbeda dibanding (akselerasi) dan pengayaan dalam pengaturan
anak normal kebanyakan dalam hal: ciri-ciri kelas reguler, mentor dan program magang
mental, kemampuan-kemampuan sensorik, serta kerja/studi dan/atau program layanan.
fisik dan neuro-maskular, perilaku sosial dan Kebijakan Pendidikan Inklusi di
emosional, kemampuan berkomunikasi, Indonesia. Indonesia mulai mengupayakan
maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal pendidikan inklusi sejak dikeluarkannya Surat
diatas; selama mereka membutuhkan Edaran Dirjen Dikdasmen
modifikasi tugas sekolah, metode belajar atau Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 pada 20
pelayanan terkait lainnya, bertujuan untuk Januari 2003 kemudian diperkuat dengan
pengembangan potensi atau kapasitasnya dikeluarkannya Permendiknas No. 70 tahun
secara maksimal. Diretcgov merujuk ABK 2009 tentang Pendidikan Inklusi bagi peserta
kepada anak yang memiliki kesulitan belajar didik yang memiliki kelainan dan memiliki
yang membuatnya lebih sulit untuk belajar atau potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
mengakses pendidikan dibandingkan Hal ini memang sejalan dengan hasil
kebanyakan anak seusianya. Menurut penulis, kesepakatan Konferensi Dunia di Salamanca
ABK adalah anak-anak yang memiliki pada tahun 1994 dan Deklarasi Dakar tahun
keterbatasan dalam hal fisik maupun mental 2000 yang berupaya mengakomodasikebutu
sehingga mengalami kesulitan belajar atau han dasar masya-rakat tentang pendidikan
mengakses pendidikan dibandingkan anak untuk semua (Education for All) tanpa
lainnya. memandang ras, agama dan potensi peserta
Disabilitas sangat erat kaitannya dengan didik.
kemiskinan. Terdapat siklus yang terus Sambutan masyarakat terhadap model ini
berulang. Orang dengan disabilitas memiliki pun cukup tinggi ditandai dengan jumlah
kemungkinan untuk berada di golongan sekolah penyelenggara inklusi dan siswanya
ekonomi lemah (Walker, tth:13). Oleh karena yang meningkat secara signifikan. Walaupun
ABK atau difabel harus memiliki pendidikan begitu, implementasi di lapangan masih jauh
yang layak dan berkualitas untuk mengurangi dari apa yang diharapkan. Hal tersebut terutama
tingkat kemiskinan dan meningkatkan taraf dikarenakan kurangnya komitmen dan
hidup mereka. dukungan pemerintah.
Selain anak berbekutuhan khusus Penyelenggaraan pendidikan inklusi di
pendidikan inklusi juga melayani anak Cerdas Kota Salatiga telah berjalan sejak 2010 di
Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI). sejumlah sekolah. Kebijakan ini tertuang dalam
Munandar dalam Wulan (2011:260) Perwali No. 11 Tahun 2013 tentang
menjelaskan bahwa anak CIBI membutuhkan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Adanya
penanganan khusus dalam pendidikan karena kebijakan ini membuat semua sekolah dari
beberapa karakteristik yang dimiliki anak-anak tingkat SD sampai SMA wajib menerima anak-
tersebut membuat mereka berbeda dengan anak berkebutuhan khusus (Salatiga Miliki Unit
siswa lain. Sehingga untuk mengembangkan Layanan Konsultasi Pendidikan, 2013).
potensinya secara optimal, dibutuhkan Supriyanto (2013:8-9) menjelaskan bahwa
kurikulum dan metode yang berbeda dalam Salatiga ditunjuk sebagai Kota inklusi sejak
pengajarannya sesuai minat, dan bakat mereka. tahun 2012. Pemerintah telah menunjuk
124
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
beberapa sekolah untuk menjadi pilot project menggunakan model evaluasi kebijakan
penyelenggaraan inklusi dengan pola sistematis terhadap faktor komunikasi, sumber
menjadikan SLB sebagai pusat sumber belajar. daya, disposisi, dan struktur birokrasi
Piloting melibatkan 6 SMP dan 6 SD untuk sebgaiman dimaksud dalam model
kategori inklusi dan CIBI. Data yang didapat implementasi Edwards III. Penelitian dilakukan
dari Dinas Pendidikan Kota Salatiga tahun di beberapa sekolah yang ditunjuk sebagai pilot
2015 terdapat 431 siswa ABK yang bersekolah project program inklusi di Kota Salatiga di
di 15 sekolah regular jenjang SD dan SMP tingkat pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP.
dengan program inklusi, dan 213 siswa dengan Subyek penelitian ini adalah Dinas Pendidikan
program CIBI (Cerdas Bakat Istimewa) di 5 Kota Salatiga, serta sekolah-sekolah di tingkat
sekolah di jenjang yang sama. SD dan SMP di Salatiga yang menerapkan
Hasil wawancara dengan Kepala Sekolah program inklusi. Data penelitian diperoleh
SDN Blotongan 3 pada bulan Mei 2016 dan melalui wawancara mendalam, studi dokumen,
Koordinator Program Akselerasi di SMP 2 pada kuesioner dan observasi. Teknis validasi yang
bulan yang sama menunjukkan bahwa terdapat digunakan dalam penelitian ini adalah
beberapa permasalahan yang terjadi pada triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
implementasi program inklusi. Pemerintah Dalam teknik triangulasi sumber, peneliti
seperti kurang serius menangani sekolah inklusi mengecek kebenaran data dari beragam
di Salatiga ini, mulai dari pendanaan, Guru sumber. Data-data tersebut dideskripsikan,
Pendamping Khusus dan lain-lain. Program dikategorikan, dicari pandangan yang sama dan
inklusi di SMP 2 untuk kategori Cerdas berbeda serta yang lebih spesifik. Setelah
Istimewa dihentikan karena tidak adanya dana dianalisis dan ditarik kesimpulan, sumber data
dari pemerintah. Selain itu banyak sekolah diminta kesepakatan (member check) tentang
inklusi yang tidak berjalan sebagaimana data tersebut.
mestinya karena tidak adanya Guru
Pendamping Khusus seperti yang HASIL DAN PEMBAHASAN
dipersyaratkan. Sehingga dipertanyakan Pencanangan program inklusi di Salatiga
masihkah Kota Salatiga pantas disebut sebagai dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2012.
Kota Inklusi, dan efektifkah model inklusi Sejak itu Kota Salatiga mulai melaksanakan
diterapkan untuk menjawab kebutuhan pendidikan inklusi di beberapa sekolah yang
pendidikan anak berkebutuhan khusus. ditunjuk sebagai pilot project-nya. Hasil
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penilaian terhadap implementasi kebijakan
peneliti tertarik untuk mengevaluasi program inklusi dapat dilihat di Tabel 1.1.
implementasi kebijakan pendidikan inklusi di Secara keseluruhan implementasi kebijakan
Kota Salatiga dengan rumusan masalah program inklusi ini masuk dalam kategori baik
“Bagaimana implementasi program inklusi di dengan pencapaian 65%. Komunikasi
Kota Salatiga dilihat dari komunikasi, sumber mendapatkan nilai yang paling rendah
daya, struktur birokrasi dan disposisinya?” dibandingkan aspek lain, sedangkan sumber
daya merupakan aspek yang paling bagus.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif. Evaluasi implementasi kebijakan ini

125
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Tabel 1.1
Hasil Evaluasi Implementasi Kebijakan Program Inklusi Kota Salatiga
Aspek Nilai /Nilai total tiap aspek Capaian
(dalam %)
Tujuan Program 3/4 75%
Komunikasi 11 / 20 55%
Struktur Birokrasi 5/8 63%
Sumber daya 14/20 70%
Disposisi 5/8 63%
Dampak 9/12 75%
Total 47/72 65%
Sumber: Data penelitian diolah

Dari segi komunikasi data evaluasi dan kontroversi mengenai kebijakan ini sudah
menunjukkan adanya permasalahan di hampir mereda, namun juklak dan juknis yang ada
semua aspek komunikasi karena empat dari dirasa masih kurang jelas bagi beberapa
lima aspek yang ada menunjukkan penilaian pelaksana kebijakan. Informasi yang diterima
yang kurang baik. Aspek tersebut antara lain pun juga kurang jelas. Sebelumnya pelatihan
dalam hal saluran komunikasi, kejelasan yang diberikan dirasa kurang optimal sehingga
informasi yang diterima, kelengkapan pemahaman GPK dirasa masih kurang dalam
informasi yang diterima kelompok sasaran, dan menyelenggarakan pendidikan inklusi.
konsistensi informasi kebijakan. Penilaian yang Dari sisi struktur birokrasi,
baik terdapat pada aspek adanya persepsi yang implementasi kebijakan pendidikan inklusi di
yang sama antara pembuat kebijakan dan aras kota dikelola oleh sebuah Kelompok Kerja
pelaksana kebijakan mengenai kebijakan yang (Pokja). Para pihak yang terlibat dalam Pokja
dijalankan. antara lain Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Komunikasi berupa sosialisasi yang Olahraga, Kementrian Agama, Bappeda, SLB,
dilakukan satu arah kepada pelaksana kebijakan Sekretariat Daerah dan dari universitas, antara
dan kelompok sasaran dilakukan dengan lain Universitas Negeri Semarang, Universitas
berbagai cara, antara lain rapat dan sosialisasi Kristen Satya Wacana, Sekolah Tinggi Agama
formal ke sekolah-sekolah, seminar, pameran, Islam Negeri Salatiga. Di samping itu Pokja
klinik konseling, media massa, rapat orang tua, Inklusi Kota Salatiga kemudian menjadikan
brosur dan formulir pendaftaran. Walaupun UPTD sebagai pusat sumber sendiri yang
begitu penyampaian informasi tentang berupa Klinik Konseling, dan bukan
kebijakan program inklusi kepada bekerjasama dengan SLB sebagai pusat
implementator dan kelompok sasaran masih sumber.
dirasa kurang sehingga banyak terjadi kekurang Dalam kenyataan belum semua pihak
pahaman dan ketidaktahuan tentang program terlibat aktif dalam implementasi kebijakan.
ini. Masyarakat umum masih banyak yang Porsi utama dalam Pokja adalah pada Dinas
belum mengetahui mengenai program ini selain Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Adanya
dari pihak sekolah sendiri. Hal ini ditandai perbedaan pandangan antara SLB, Pokja
dengan masih sedikitnya jenis ketunaan siswa Inklusi dalam memandang Pusat Belajar dan
di sekolah reguler. Masih banyak orang tua peran lembaga masing-masing, serta belum
siswa yang belum mengetahui jika anak dengan samanya pandangan antara Kementerian
disabilitas bisa bersekolah di sekolah reguler Agama dan Pokja inklusif dalam melihat
bersama teman yang normal. keterlibatan MI dan MTs untuk menjalankan
Sementara itu dalam hal clarity program inklusi ini memperlihatkan adanya
(kejelasan), kebijakan ini dinilai masih kurang miskomunikasi yang terjadi antar lembaga
baik. Walaupun kebijakan ini mudah dipahami
126
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
tersebut. Bisa juga dikatakan ini adalah sebuah Sumber daya berupa informasi dirasa
fragmentasi diantara pelaksana kebijakan. masih kurang lengkap di awal-awal masa
SOP program ini adalah Pedoman Umum pencanangan pendidikan inklusi di tahun 2012
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi yang karena masih belum tersosialisasinya program
dikeluarkan oleh Direktorat PPK-LK ini secara meluas, serta pelatihan dan sosialisasi
Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan yang kurang masif. Namun dengan adanya
Dan Kebudayaan. Pedoman inilah yang pelatihan-pelatihan dan sosialisasi yang lebih
kemudian digunakan sebagai panduan sekolah- masif dilakukan pada akhir tahun 2016,
sekolah penyelenggara inklusi dalam informasi yang diterima oleh pelaksana
penyelenggaraan inklusi di sekolah masing- kebijakan mengenai apa yang harus dilakukan
masing. Hampir semua sekolah sudah dan bagaimana melakukannya semakin jelas
menerima pedoman ini dan melaksanakan dan lengkap. Sayangnya ini belum dibarengi
seperti petunjuk di dalam buku tersebut. Dalam dengan adanya pusat data dan informasi
panduan tersebut lebih banyak penjelasan yang (Padati) ABK yang valid dan reliable untuk
hanya dapat diterapkan pada sekolah/kelas mendukung kerja pelaksana kebijakan dan
inklusi dengan siswa ABK yang memiliki masyarakat pada umumnya.
keterlambatan belajar. Sedangkan panduan Dari segi anggaran, pemenuhan biaya
untuk siswa dengan kecerdasan dan untuk menjalankan program inklusi di Kota
keberbakatan istimewa masih dirasa kurang. Salatiga ini sudah baik. Ini dibuktikan dengan
Dari sisi sumber daya, evaluasi adanya anggaran yang dialokasikan dari
menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemerintah Kota Salatiga mulai tahun anggaran
sumber daya implementasi kebijakan termasuk 2014 sampai sekarang. Sebelum itu, anggaran
kategori baik yang ditandai dengan adanya dari APBD berasal dari Provinsi Jawa Tengah,
penilaian baik terhadap empat dari lima dan APBN melalui Dirjen PPLK, walaupun
indikator penilaian. Indikator yang memperoleh anggaran ini tidak rutin turun setiap tahunnya.
nilai baik adalah jumlah SDM, fasilitas Belum terdapat partisipasi masyarakat berupa
pendukung, relevansi informasi, dan anggaran bantuan sosial.
untuk menjalankan program/kebijakan. Dari sisi disposisi pelaksana kebijakan,
Penilaian yang kurang baik terdapat pada komitmen pelaksana kebijakan untuk
kualitas SDM pelaksana kebijakan ini. melaksanakan program ini dinilai baik, walau
Sumber daya yang diperlukan dalam masih dirasa adanya permasalahan dalam hal
implementasi kebijakan antara lain sumber penghargaan bagi pelaksana kebijakan.
daya manusia, fasilitas, pendanaan dan Baiknya dedikasi dan kemauan pelaksana
informasi. Dari segi kuantitas, jumlah GPK di kebijakan ditandai oleh adanya komitmen
sekolah-sekolah penyelengara inklusi sudah sekolah untuk menyelenggarakan program
memenuhi standar nasional, yaitu minimal 1 inklusi serta kesediaan para guru melaksanakan
(satu) orang GPK per sekolah. Namun Kota tupoksinya sebagai GPK. Adanya komitmen
Salatiga memiliki standar sendiri, yaitu 1 sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan
sekolah harus terdapat 2 (dua) orang GPK, inklusi juga dapat dilihat dengan tidak adanya
sehingga jumlah GPK di Salatiga sudah sekolah yang menolak masuknya siswa yang
melebihi standar yang ditetapkan. Hanya saja berkebutuhan khusus di sekolah mereka.
dari segi kualitas, SDM pelaksana program ini Walaupun beberapa sekolah menerapkan
dinilai kurang baik. Banyak GPK yang belum kriteria jenis ketunaan yang bisa diterima, yaitu
melaksanakan tupoksi secara optimal. kategori ringan dan tidak menganggu teman
Beberapa sebabnya antara lain kurangnya lainnya. Sayangnya komitmen ini belum
pengetahuan tentang tupoksi GPK, dan dibarengi dengan lingkungan sekolah ramah
terbatasnya waktu GPK untuk mengajar. ABK, terutama dalam hal penyediaan fasilitas
yang ramah terhadap ABK.
127
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Disposisi yang baik biasanya ditunjang dijamin oleh UU Pendidikan No 12 tahun 1954
dengan adanya penghargaan yang diberikan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa.
kepada pelaksana kebijakan. Sayangnya hal ini Adanya UU tersebut muncullah SLB sebagai
dinilai masih kurang berjalan dengan baik. layanan pendidikan bagi penyandang
Guru (khususnya yang berstatus sebagai disabilitas (Sunanto:6). Untuk itulah diperlukan
Pegawai Negeri Sipil) yang merangkap sebagai suatu terobosan untuk memperkenalkan konsep
GPK belum mendapatkan angka kredit yang pendidikan inklusif ke masyarakat sehingga
berguna untuk kenaikan jabatan/golongan. dapat merubah paradigma masyarakat bahwa
Selain itu selama program berjalan selama 4 ABK tidak harus bersekolah di SLB.
tahun, belum ada penghargaan yang diberikan Di samping itu forum untuk orang tua
kepada pelaksana kebijakan yang berperan atau masyarakat juga belum terbentuk di Kota
penting dalam perkembangan pendidikan Salatiga. Padahal forum ini sangat penting
inklusi di Kota Salatiga. keberadaannya sdan bahkan telah dituangkan
dalam Progam Pendidikan Inklusif Kota
Pembahasan Salatiga di tahun ketiga (2014) yaitu
Komunikasi dalam Implementasi Kebijakan “terbentuknya forum dan atau asosiasi orang
Pendidikan Inklusi di Kota Salatiga tua dan pemangku kepentingan pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inklusi”. Memang hal semacam itu tidak hanya
pada sisi komunikasi aspek transmisi dinilai terjadi di Kota Salatiga saja. Penelitian oleh
kurang baik, aspek kejelasan juga kurang baik, Haryono (2015:124) yang menjangkau Provinsi
sedang aspek konsistensi dinilai cukup baik. Jawa Tengah juga menemukan hal yang serupa,
Oleh karena itu dapat dipahami jika masih yaitu banyak sekolah yang belum melibatkan
terjadi kesenjangan implementasi kebijakan masyarakat dalam penyelengga-raan
pendidikan inklusi di kota Salatiga. Hal ini pendidikan inklusif. Padahal komunikasi dan
dapat dipahami dari teori Edward III (Winarno, kerjasama dengan masyarakat dan beberapa
2011: 181) yang menyatakan bahwa “ stakeholder sangat penting bagi pendidikan
...semakin cermat keputusan-keputusan dan ABK agar mendapat pendidikan yang
perintah-perintah pelaksanaan diteruskan berkualitas dalam lingkungan yang inklusif dan
kepada mereka yang harus melaksanakan-nya, ramah terhadap pembelajaran (LIRP).
maka makin tinggi pula probabilitas keputusan- Nagakaki (2013:7) menyatakan bahwa
keputusan kebijakan dan perintah perintah peran aktif masyarakat dapat mengurangi
pelaksanaan tersebut dilaksanakan” adanya kesenjangan implementasi, salah satu
Sedang keengganan orang tua untuk yang bisa dilakukan adalah bekerjasama
menyekolahkan anak berkebutuhan khususnya dengan organisasi yang lebih besar dan
ke sekolah dapat dijelaskan melalui pendapat berpengalaman. Keterlibatan keluarga dan
Nagakaki (2013:4) yang menyatakan bahwa anggota masyarakat lain sangat penting dalam
salah satu penyebab adanya implementation implementasi pendidikan inklusif. Kerjasama
gap adalah faktor sosial budaya. Adanya bisa dilakukan dengan kemitraan antar Dinas,
warisan budaya yang tertanan selama beberapa misalnya Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja,
generasi menyebabkan stereotipe budaya. dan Dinas Kesehatan. Selain antar dinas,
Dengan ini paradigma masyarakat akan susah kemitraan juga harus menjangkau masyarakat,
dirubah dengan sesuatu yang baru. Begitu orang tua, para pengusaha, tokoh masyarakat
halnya dengan pendidikan segregatif yang yang memiliki kepentingan. Hal ini dapat
sudah lebih dari seabad ada di Indonesia. dilakukan secara individual atau level
Sekolah untuk siswa ABK dimulai sejak jaman organisasi, baik organisasi kemasyarakatan
sebelum kemerdekaan pada tahun 1901 di yang dibentuk oleh Pemerintah (GO) maupun
Bandung untuk para tunanetra, sedangkan non pemerintah (NGO) (Wasliman, 2009:137-
setelah kemerdekaan pendidikan untuk ABK 138).
128
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
ABK, pusat asesmen, penyediaan sumber
Struktur Birokrasi dalam Implementasi belajar, pusat penyediaan alat bantu belajar dan
Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota mengajar serta pusat penelitian dan
Salatiga pengembangan. Salah satu tugasnya adalah
Menurut Nagakaki (2013: 2) salah satu menghadirkan GPK profesional sebagai guru
penyebab adanya implementation gap adalah kunjung. Guru ini akan membantu guru di
faktor politik. Dalam kasus Kota Salatiga, sekolah reguler untuk memberikan pendidikan
struktur birokrasi merupakan salah satu kepada siswa ABK. Pusat sumber juga bertugas
penyebab adanya implementation gap dalam untuk memberikan media belajar yang
implementasi kebijakan pendidikan inklusi. diperlukan, memberikan pelatihan tertentu bagi
Terdapat ketidakjelasan atau tanggung jawab GPK sekolah reguler, maupun orang tua. Untuk
yang tumpang tindih pada struktur birokrasi. memberikan dukungan kepada sekolah reguler,
Pokja yang melibatkan beberapa instansi belum diperlukan satu atau dua pusat sumber untuk
semua terlibat dalam pelaksanaan program. setiap kota/kabupaten. Pusat sumber ini dapat
Porsi utama dalam Pokja adalah pada Dinas berupa lembaga baru atau pengembangan peran
Pendidikan Pemuda dan Olahraga, namun dinas dan fungsi SLB. Idealnya memang sebuah
lain yang terkait juga harusnya bisa dilibatkan pusat sumber memiliki bangunan sendiri yang
karena peran dinas lain juga semestinya tidak dibentuk oleh pemerintah atau masyarakat
kecil. SLB dapat melakukan tugas di bidang dengan managemen yang dikelola sendiri, serta
pendidikan dan pelatihan bagi para GPK yang sekolah umum sebagai pusat sumber. Dalam
berlatar belakang bukan PLB (Pendidikan Luar kasus di Indonesia, banyak daerah yang
Biasa) sehingga para GPK di SD reguler menggunakan SLB sebagai pusat sumber untuk
mendapatkan wawasan bagaimana sebenarnya mempercepat keberadaanya serta untuk
menangani siswa ABK. Selain itu peran efektifitas.
Kementerian Agama yang membawahi MI dan Di Salatiga, Pokja inklusif rupanya ingin
MTs semestinya juga tidak kecil. Tercatat pada membuat UPTD pusat sumber berupa Klinik
tahun 2010/2011 terdapat 12 MI dan 3 MTs. Konseling, bukan bekerjasama dengan SLB
Jika program inklusi juga diterapkan di dua sebagai pusat sumber. Menurut Subagya
lembaga tadi, siswa-siswa ABK pastilah (2011:4) kelemahan UPTD pusat sumber ini
tertangani dengan lebih baik. Selain itu instansi diantaranya adalah mahalnya proses
ini bisa mendapatkan fasilitas berupa dana, atau pembentukannya, pendiriannya memerlukan
bantuan pendidikan bagi guru untuk proses yang lama. Sedangkan keuntungan dari
penanganan siswa ABK. Selain itu birokrasi SLB sebagai pusat sumber adalah memiliki
dimana pendidikan dasar yang meliputi SD dan tenaga terdidik untuk melayani ABK, memiliki
SMP merupakan wewenang Pemerintah Kota, sarpras, alat media untuk ABK. Dalam
sementara SMA/SMK berada di level Provinsi kasusnya di Salatiga, strategi pusat sumber ini
membuat sekolah inklusi di tingkat sekolah penulis anggap kurang efektif karena
menengah atas belum dapat dilaksanakan. kelemahan yang dimiliki UPTD pusat sumber
Pusat sumber sangat penting peranannya seperti dijelaskan di atas, yaitu memakan waktu
sebagai sistem pendukung implementasi yang cukup lama. Keberadaan pusat sumber ini
pendidikan inklusif. Menurut Saepul (2013, 30- baru diwujudkan pada tahun keempat dari
33), pusat sumber adalah “suatu unit atau pencanangan, yang dirasa cukup terlambat.
institusi yang berfungsi memberikan pelayanan Sehingga pelaksanaan program inklusi di
pendukung bagi sekolah-sekolah reguler yang Salatiga ini dalam jangka waktu 2012-2016
menyelenggarakan pendidikan inklusif, baik dianggap jalan ditempat.
secara teknis (operasional) maupun Seperti yang dilakukan oleh Kota
konsultatif.” Pusat sumber ini berfungsi sebagai Sidoarjo sebagai salah satu kota yang bagus dan
pusat pendidikan dan layanan kepada siswa memiliki perkembangan yang cepat dalam
129
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
menyelenggarakan program inklusi, 3 SLB yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya.
ditunjuk untuk menjadi Pusat Sumber, yaitu Tugas khusus itu adalah tugas yang berkaitan
SLBN Gedangan, SLB DWP Sidoarjo, dan dengan kebutuhan khusus ABK”. Sedangkan
SLB Veteran Wonoayu. Pusat Sumber ini untuk memenuhi persyaratan ideal tersebut
menyediakan informasi bagi para sekolah pada prakteknya di sekolah umum merupakan
mengenai hal teknis, dan diproyeksikan untuk hal yang sangat sulit. Selain karena minimnya
deteksi dini dan penyelenggaran pendidikan sumber daya yang ada, dana juga masalah lain
transisi (Sulistyadi, 2014:5). yang akan muncul. Sehingga dalam kebijakan
Selain birokrasi, faktor politik lain yang disebutkan bahwa selain guru yang berlatar
juga berpengaruh adalah adanya Agenda belakang PLB, GPK bisa berasal dari guru yang
politik yang berbeda. Seperti yang telah diberi pelatihan. Guru-guru tersebut merupakan
dijelaskan sebelumnya, Klinik Konseling guru kelas, guru mata pelajaran atau guru BK
merupakan program inovasi yang diunggulkan yang sudah ada di sekolah itu sebelumnya.
oleh Dinas Pendidikan. Hal ini agak rancu Sehingga persoalan yang muncul lainnya
karena klinik tersebut merupakan hasil dari adalah keterbatasan waktu yang dimiliki para
program inklusi yang ditangani oleh Pokja GPK untuk membina siswa ABK disamping
Inklusi dimana (harusnya) terdapat beberapa peran utamanya di sekolah tersebut sebagai
dinas lain yang terlibat. Kurang terlibatnya guru utama. Kasus ini ditemui hampir disemua
dinas-dinas lain dalam pelaksanaan program ini sekolah inklusi di Salatiga. Selain itu penelitian
bisa membuat Klinik Konseling “dipunyai” lain oleh Zakia (2015:114-115) di sekolah-
oleh Dinas Pendidikan. Walaupun memang sekolah inklusi di Kabupaten Sukaharjo juga
Dinas Pendidikan berperan utama dalam menemukan hal yang serupa, yaitu “GPK masih
program ini. bertugas seperti guru pada umumnya yaitu
berdiri di kelas dan mengajar anak-anak
Sumber Daya dalam Implementasi berkebutuhan khusus. GPK ini mengajar
Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota layaknya guru kelas dan bahkan ada juga yang
Salatiga menjadi guru kelas karena permasalahan
Dari sisi sumber daya, kualitas GPK kekurangan guru yang dialami pihak sekolah.”
menjadi keprihatinan tersendiri dalam Selain itu, pelatihan yang kurang memadai
implementasi kebijakan pendidikan inklusi di dalam membentuk GPK dari guru kelas/guru
Kota Salatiga. GPK memiliki peran penting mata pelajaran/guru BK sebelum program
bagi keberhasilan pendidikan inklusif di inklusi dijalankan, membuat GPK sulit
sekolah karena GPK terlibat langsung dan menjalankan fungsinya karena karena
berhadapan dengan siswa ABK. Pemenuhan kurangnya kompetensi yang dimiliki.
GPK dalam program inklusi merupakan Dilema yang muncul adalah jika GPK
masalah yang umum terjadi (bandingkan berasal dari GPK khusus yang berlatar PLB.
Sulasmono dan Zanuet Indah, 2015; Dwi Dana merupakan persoalan yang utama, karena
Sartika dan Bambang Ismanto, 2016; pembiayaan inklusi tidak dapat diambilkan dari
Sulasmono dan Tri Sulistyowati, 2016; dana BOS, sehingga sekolah harus
Widyawati, 2017). mengupayakan sendiri untuk hal ini. Sekolah-
Idealnya menurut Subagya (2011:9) GPK sekolah swasta tidak mengalamami kesulitan
seharusnya bukan guru kelas, bukan guru mata dalam hal ini. Shadow teacher untuk siswa yang
pelajaran, bukan guru pembimbing dan memerlukan dampingan biasanya didanai oleh
penyuluhan, melainkan “guru yang memiliki orang tua siswa yang bersangkutan. Sedangkan
kualifikasi/ latar belakang pendidikan luar biasa siswa ABK di sekolah negeri biasanya
yang bertugas menjembatani kesulitan ABK memiliki latar belakang ekonomi lemah yang
dan guru kelas/ mapel dalam proses tidak memungkinkan melakukan hal yang
pembelajaran serta melakukan tugas khusus serupa. Konsep shadow teacher ini belum
130
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
menjadi pilihan bagi sekolah negeri inklusi di bagi siswa terutama bagi siswa berkebutuhan
Salatiga. khusus, misalnya jalan di lingkungan sekolah
Dengan diterapkannya konsep GPK yang atau toilet yang bisa digunakan oleh anak yang
berasal dari guru kelas, guru mata pelajaran dan berkursi roda. Sekolah-sekolah inklusi di
guru BK maka adanya pelatihan yang intensif Salatiga hampir semua tidak memiliki ruang
secara terjadwal dan berkala sangat penting. sumber karena terkendala masalah pendanaan.
Berdasarkan data yang ada, pelatihan hanya Padahal menurut Saepul (2013:23-24).dalam
dilakukan pada tahun 2012,2013 dan 2016 pengembangan untuk mencapai standar,
ketika terdapat dana dari APBN melalui Dirjen sekolah perlu memperhatikan faktor keamanan,
PKLK. Ketika dana tersebut tidak turun pada kenyamanan dan kemudahan bagi yang
2014 dan 2015 maka tidak diadakan menggunakannya.
peningkatan kapasitas oleh Pokja bagi GPK.
Sebenarnya dengan dialokasikannya program Disposisi dalam Implementasi
inklusi dalam APBD Kota Salatiga merupakan Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota
suatu langkah besar, karena hal ini Salatiga
menunjukkan komitmen pemerintah dalam Evaluasi terhadap disposisi para
penyelenggaraan program. Namun alokasi pelaksanaan menunjukkan hasil yang baik. Satu
anggaran sebagian besar masih digunakan hal yang masih perlu dibahasa disini adalah
untuk honor GPK, bukan untuk peningkatan peran Kepala sekolah. Peran Kepala Sekolah
kompetensi SDM. Walaupun honor tidak kalah sangat penting bagi keberhasilan program
penting, namun jika hal ini tidak dibarengi oleh inklusi di tingkat sekolah. Dibutuhkan
upaya peningkatan profesionalisme GPK, maka komitmen Kepala Sekolah yang tinggi sehingga
kualitas pendidikan inklusif sulit untuk dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan
berkembang. tingkat sekolah yang membuat lingkungan
Gambaran di atas membenarkan ramah terhadap inklusi. Diharapkan para kepala
Nagakaki (2013:3) bahwa salah satu faktor sekolah mendayagunakan potensi yang ada.
kesenjangan implementasi adalah faktor Managemen Berbasis Sekolah memberi
ekonomi. Biaya implementasi suatu aturan keleluasaan pada Kepala Sekolah untuk
memang mahal, namun yang lebih penting merencanakan, mengorganisasikan,
bukan jumlahnya namun bagaimana sumber mengarahkan, mengkoordinasikan, meng-
daya tersebut dialokasikan. Sehingga awasi, dan mengevaluasi komponen-komponen
dibutuhkan asesmen kebutuhan dan pendidikan dalam sekolah agar pendidikan
pengalokasian anggaran yang sangat tepat inklusif berjalan optimal. Kepala Sekolah juga
sehingga anggaran yang ada bisa digunakan diharapkan pro-aktif dalam mensosialisasikan
secara efisien dan tepat sasaran. program ini ke masyarakat, mencari adanya
Dalam penelitian yang dilakukan oleh ABK di lingkungan sekitar, ataupun mencari
Haryono (2015:124) tentang program inklusi di bantuan dari masyarakat untuk mendukung
Jawa Tengah, komponen utama yang menjadi program di sekolah.
prioritas terselenggaranya program inklusi Hal ini sejalan dengan penelitian
adalah pembiayaan dan infrastruktur. Dalam Yuliastutik (2011) yang menemukan bahwa
temuannya didapat bahwa sarana dan prasarana pemimpin pembelajaran sekolah inklusif
untuk membantu proses belajar dan idelanya memiliki sifat “familiar, low
pengembangan bakat dan minat masih profile, bijaksana, suportif, humoris, penuh
disamakan dengan siswa normal. Aksesibilitas kasih dan peduli dan menjaga keterlibatan para
di sekolah-sekolah inklusi di Salatiga juga orang tua siswa, pemerintah, dan PT dalam
masih diupayakan untuk dikembangkan. pengembangan profesional guru”. Dia juga
Aksesibilitas diartikan sebagai lingkungan dan memberi saran agar Dirjen PMPTK dan Kepala
fasilitas yang mudah dan sebaiknya tersedia P4TK mengembangkan pendidikan dan
131
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
pelatihan kepala sekolah inklusif, khususnya serta hal-hal yang tidak berjalan sebagaimana
bidang kepemimpinan pembelajaran serta mestinya. Sehingga dapat diketahui apa yang
Kepala Dinas Pendidikan dan Pengawas harus diperbaiki dan ditingkatkan, diteruskan
membuat sosialisasi pendidikan inklusif secara ataupun dihentikan pelaksanannya. Belum
intens, memilih kepala sekolah yang mengerti adanya evaluasi yang terstruktur pada program
manajemen pembelajaran sekolah inklusif. ini membuat Pokja sulit untuk melihat
Hal itu juga sejalan dengan testimoni perkembangan implementasi program ini di
Septin Pujiati, salah satu GPK yang mendapat lapangan dan memperbaiki kekurangan yang
beasiswa PLB di Universitas Negeri Surabaya, ada pada program. Evaluasi program idealnya
yang menyatakan bahwa ketika sedang praktek dilakukan rutin secara periodik, pertahun atau
di beberapa sekolah inklusi di Surabaya, per empat tahun bergantung pada desain atau
sekolah yang maju program inklusinya rencana yang telah dibuat sebelumnya.
memiliki Kepala Sekolah yang kreatif, inisiatif
dan aktif serta tidak menunggu bantuan dan SIMPULAN DAN SARAN
perintah dari Dinas/Pokja saja. Hal inilah yang Simpulan
belum terjadi di Salatiga. Selama ini pihak Program inklusi sejalan dengan
sekolah hanya mengandalkan apa yang kebutuhan masyarakat dunia pendidikan yang
diperintah dan diberi oleh Dinas. Memang ada di Salatiga. Implementasi kebijakan
diperlukan pelaksana kebijakan yang memiliki program inklusi di Salatiga ini dinilai baik,
semangat dalam menjalankan program ini, yaitu dengan pencapaian 65%. Komunikasi
bukan hanya “robot” yang melaksanakan apa merupakan aspek yang paling lemah, ditandai
yang diperintah dan berhenti ketika perintah dengan kurangnya komunikasi antar pelaksana
dihentikan. kebijakan dan komunikasi kepada kelompok
Selain itu Kepala Sekolah juga harus sasaran, dan kurang jelasnya informasi yang
berperan sebagai manager, motivator dan diterima. Struktur birokrasi masih kurang baik
teladan bagi warga sekolah untuk bagaimana dilihat dari adanya panduan (SOP) dari
seharusnya memperlakukan dan melayani Pemerintah Pusat namun masih terdapat
siswa ABK. Sebagai manager, Kepala Sekolah fragmentasi dalamstruktur birokrasi ketika
sebaiknya membuat program di sekolah terkait Kementerian Agama dan SLB belum aktif
inklusi baik fisik berupa bangunan, media terlibat dalam program. Penilaian yang baik
pembelajaran dan lainnya serta non fisik, yaitu terdapat pada aspek sumber daya, ditandai
menyiapkan mental warga sekolah agar dengan jumlah GPK yang sudah melebihi
menerima keberadaan siswa ABK dan standar yang ditetapkan; SDM memiliki latar
sosialisasi kepada masyarakat. Peran Kepala belakang PLB atau sudah mendapatkan
Sekolah sebagai motivator untuk pelatihan khusus; GPK ditunjang oleh fasilitas
menumbuhkan kesadaran warga masyarakat yang dinilai cukup baik; anggaran berasal dari
juga penting. Program inklusi di sekolah ini APBN, APBD Provinsi dan APBD Kota
dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan walaupun belum ada partisipasi masyarakat
dan kesiapan pihak sekolah. berupa bantuan sosial. Terbatasnya waktu GPK
Selain komitmen dari pihak sekolah, untuk mengajar ABK karena GPK merangkap
dibutuhkan juga komitmen dari Pokja Inklusi sebagai guru kelas, guru mata pelajaran atau
selaku pelaksana kebijakan dengan melakukan guru BK; dan lemahnya pusat data dan
tugas dan fungsinya, salah satunya informasi (Padati) ABK yang valid dan reliable
melaksanakan monitoring dan evaluasi. menjadi poin yang kurang baik. Disposisi
Evaluasi sangat penting peranannya dalam pelaksananprogram ini juga masih ada aspek
managemen yaitu untuk mengetahui yang kurang baik, dilihat dari GPK yang
ketercapaian dan efektifitas program. Sehingga berstatus sebagai PNS belum mendapatkan
dapat diketahui keberhasilan dan kekurangan angka kredit yang berguna untuk kenaikan
132
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi | Sasadara Wahyu L., dkk.
jabatan/golongan dan selama program berjalan DAFTAR PUSTAKA
selama 4 tahun belum ada penghargaan yang Edward III, George C. 1980. Implementing
diberikan kepada pelaksana kebijakan yang Public Policy. USA: Congresssional
berperan penting dalam perkembangan Quarterly Inc.
pendidikan inklusi di Kota Salatiga, namun Sartika, Dwi dan Ismanto, Bambang. 2016.
sudah terdapat komitmen sekolah untuk Evaluasi Penyelenggaraan Program
menyelenggarakan program inklusi dan Pendidikan Inklusif di Kota
tersedia honor untuk GPK. Palangkaraya. Jurnal Kelola 3 (1): 49-
66.
Saran Haryono, A. S. 2015. Evaluasi Pendidikan
Penulis memberikan beberapa saran agar Inklusi bagi Anak ABK di Provinsi
penyelenggaraan program inklusi dapat Jawa Tengah. Jurnal Penelitian
terlaksana lebih baik lagi ke depannya. Bagi Pendidikan. 32 (2):119-126.
Pemerintah (Pokja Inklusi) diharapkan Nakagaki, M. 2013. Closing the
membentuk dan mengaktifkan saluran Implementation Gap. CIPE Economic
komunikasi antar GPK berupa KKG/MGMP; Reform , June (15): 1-8.
membuat komunikasi dengan lembaga lain Nugroho, Riant. 2009. Public Policy. Jakarta:
dalam Pokja, yaitu Kementrian Agama dan Elex Media Komputindo
SLB untuk menjangkau sekolah berbasis agama Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang
dan mengembangkan pusat sumber; menjalin Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik
kerjasama dengan DUDI untuk membuat Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki
kebijakan pro ABK, penyaluran lulusan, dan Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat
mengembangkan program inklusi melalui dana Istimewa
CSR; melakukan pelatihan yang intensif secara Sunaryo. 2009. Manajemen Pendidikan Inklusi.
bergantian bagi para GPK; memperkuat sistem Diakses pada 1 Agustus 2016 dari
pendataan sekolah inklusi (Padati); http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._
melaksanakan monitoring dan evaluasi secara PEND._LUAR_BIASA/195607221985
berkala; melakukan sosialisasi kepada 031-SUNARYO/Makalah_Inklusi.pdf
masyarakat luas melalui brosur/leaflet tentang Santrock, W. John. 2014. Psikologi
pendidikan inklusi yang tersimpan/tersebar di Pendidikan. Edisi 5-Buku 1. Jakarta:
sekolah, kantor pemerintahan dll serta Salemba Humanika
memasang spanduk/banner di sekolah atau area Stufflebeam D.L. dan Anthony J. Shinkfield
publik tentang pendidikan inklusi. Sedangkan (1985). Systematic Evaluation: A Self-
bagi sekolah, antara lain Kepala Sekolah Instructional Guide to Theory and
menciptakan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah Practice (Evaluation in Education and
pembelajaran); membuat managemen waktu Human Services) 1985th Edition.
yang efektif untuk pembelajaran ABK dengan Boston : Kluwer-Nijhoff
GPK; Kepala sekolah lebih aktif dan memiliki Subagya. 2011. Pusat Sumber, Pendidikan
inisiatif dalam mengembangkan program Khusus Dan Peran Dan Tugas Guru
Inklusi di sekolah masing-masing; memberikan Pembimbing Khusus (GPK)
motivasi kepada guru untuk memberikan disampaikan pada Workshop
pelayanan yang bagus dan ikhlas bagi ABK Pendidikan Inklusi tanggal 18 Januari
serta kepada murid untuk menerima perbedaan 2011 di FKIP UNS Surakarta
yang ada. Secara bertahap membangun Sulasmono, B.S. dan Yanuet Indah Z.T. 2015.
lingkungan fisik yang aksesibel untuk siswa Evaluation of Inclusive Education
ABK, menyediakan ruang sumber dan Program for Slow Learners in SD
memenuhi sarana dan media pembelajaran Negeri Pulutan 02 Salatiga.
sesuai kebutuhan ABK. International Seminar "Quality

133
Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2017
Assurance For Education Proceeding. S-3 Ilmu Pendidikan Program Studi S-2
Yogyakarta: UST Sarjanawiyata. Pendidikan Luar Biasa Universitas
Sulasmono, B.S. dan Tri Sulistyowati. 2016. Sebelas Maret Surakarta dan ISPI
Context, Input, Process and Product Wilayah Jawa Tengah. Surakarta.
Evaluation of the Inclusive Education ______.Salatiga Miliki Unit Layanan
Program in Public Elementary School. Konsultasi Pendidikan. (2013,
ICERI 2016 Proceeding. Yogyakarta:
Desember 2). Wawasan , p. 23.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Supriyanto, Tedjo. 2013. Salatiga Menyambut
Sekolah Inklusi. Majalah Hatti
Beriman, 07 (04)
Wahab, S. A. 2015. Analisis Kebijakan: Dari
Formulasi ke Penyusunan Model-
Model Implementasi Kebijak an Publik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Walker, Jo. tth. Equal Right, Equal Opprtunity.
Inclusive Education For Children With
Disabilities. Global Campaign for
Education, Handicap International.
Widodo, J. 2011. Analisis Kebijakan Publik.
Malang: Bayumedia.
Widyawati, R. 2017. Evaluasi Pelaksanaan
Program Inklusi Sekolah Dasar. Jurnal
Kelola 4 (1): 109-120
Winarno, Budi. 2011. Kebijakan Publik (Teori
Proses, dan Studi Kasus). Yogyakarta:
CAPS
Wulan, Dwi Kencana. 2011. Peran Pemahaman
Karakteristik Siswa Cerdas Istimewa
Berbakat Istimewa (Cibi) Dalam
Merencanakan Proses Belajar Yang
Efektif Dan Sesuai Kebutuhan Siswa.
Humaniora 2 (1): 269-276
Yuastutik, Ida. 2011. Kepemimpinan
Pembelajaran Kepala Sekolah Inklusi:
Studi Multikasus Tiga Sekolah Inklusi
di Kota Malang. Disertasi, Program
Studi Manajemen Pendidikan, Program
Pascasarjana, Universitas Negeri
Malang. Diakses pada 30 Maret 2017
dari http://karya-
ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/arti
cle/view/11266
Zakia, Dieni L. 2015). Guru Pembimbing
Khusus (Gpk): Pilar Pendidikan Inklusi.
Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan “Meretas Sukses Publikasi
Ilmiah Bidang Pendidikan Jurnal
Bereputasi” Kerjasama Program Studi
134

Anda mungkin juga menyukai