Disusun Oleh :
ADITYA DARMAWAN
(163060075)
1. Teori Klasik
Menurut Reksohadiprojo-Karseno (1985) Teori sewa dan lokasi tanah,
pada dasarnya merupakan bagian dari teori mikro tentang alokasi dan penentuan
harga-harga faktor produksi. Seperti halnya upah yang merupakan “harga” bagi
jasa tenaga kerja, maka sewa tanah adalah harga atas jasa sewa tanah.
David Ricardo, berpendapat bahwa penduduk akan tumbuh sedemikian
rupa sehingga tanah-tanah yang tidak subur akan digunakan dalam proses
produksi, dimana sudah tidak bermanfaat lagi bagi pemenuhan kebutuhan
manusia yang berada pada batas minimum kehidupan. Sehingga, sewa tanah
akan sama dengan penerimaan dikurangi harga faktor produksi bukan tanah di
dalam persaingan sempurna dan akan proporsional dengan selisih kesuburan
tanah tersebut atas tanah yang paling rendah tingkat kesuburannya.
Berkenaan dengan kota, biasanya tingginya nilai tanah bukanlah tingkat
kesuburan tanah tersebut, tetapi lebih sering dikaitkan dengan jarak atau letak
tanah (Reksohadiprojo-Karseno, 1985:25).
VonThunen, tanah yang letaknya paling jauh dari kota memiliki sewa
sebesar 0 dan sewa tanah itu meningkat secara linear kearah pusat kota, dimana
proporsional dengan biaya angkutan per ton/km. Semua tanah yang memiliki
jarak yang sama terhadap kota memiliki harga sewa yang sama
(Reksohadiprojo-Karseno, 1985:25).
A. Teori Konsentris
Teori konsentris yakni teori yang dikemukakan oleh Ernest W.
Burgess, seorang sosiolog asal Amerika Serikat yang meneliti kota
Chicago pada tahun 1920. Ia berpendapat bahwa kota Chicago telah
mengalami perkembangan dan pemekaran wilayah seiring berjalannya
waktu dan bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan itu semakin
meluas menjauhi titik pusat hingga mencapai daerah pinggiran. Zona
yang terbentuk akibat pemekaran wilayah ini mirip sebuah gelang yang
melingkar.
Teori ini memungkinkan terjadi pada daerah eropa dan amerika
seperti london, kalkuta, chicago dan Adelaide (Australia) dimana
lingkungannya yang sangat mudah untuk dibangunnya jalur transportasi.
Di Indonesia, teori seperti ini sangat sulit terwujud (hanya di kota-kota
besar) karena lingkungan di Indonesia banyak yang merupakan daerah
pegunungan, berlembah, memiliki sungai besar dan daerah yang terpisah
laut.
B. Teori Sektor
Teori sektoral yakni teori yang dikemukakan oleh Hommer Hoyt dari
hasil penelitiannya yang dilakukannya pada tahun 1930-an di kota
Chicago. Hommer Hoyt berpendapat bahwa unit-unit kegiatan di
perkotaan tidak menganut teori konsentris melainkan membentuk unit-
unit yang lebih bebas. Ia menambahkan bahwa daerah dengan harga tanah
yang mahal pada umumnya terletak di luar kota sedangkan harga tanah
yang lebih murah biasanya merupakan jalur-jalur yang bentuknya
memanjang dari pusat kota (pusat kegiatan) menuju daerah perbatasan.
C. Teori Inti Ganda
Teori inti ganda yakni teori yang dikemukakan oleh Harris dan Ullman
pada tahun 1945. Kedua geograf ini berpendapat, meskipun pola konsentris
dan sektoral terdapat dalam wilayah kota, kenyataannya lebih kompleks dari
apa yang dikemukakan dalam teori Burgess dan Hoyt.
Pertumbuhan kota yang berawal dari suatu pusat menjadi bentuk yang
kompleks. Bentuk yang kompleks ini disebabkan oleh munculnya nukleus-
nukleus baru yang berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Nukleus-nukleus
baru akan berkembang sesuai dengan penggunaan lahannya yang fungsional
dan membentuk struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan.
Nukleus kota dapat berupa kampus perguruan tinggi, Bandar udara,
kompleks industri, pelabuhan laut, dan terminal bus. Keuntungan ekonomi
menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan lahan secara mengelompok
sehingga berbentuk nukleus. Misalnya, kompleks industri mencari lokasi
yang berdekatan dengan sarana transportasi. Perumahan baru mencari lokasi
yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan dan tempat pendidikan.
Harris dan Ullman berpendapat bahwa karakteristik persebaran
penggunaan lahan ditentukan oleh faktor-faktor yang unik seperti situs kota
dan sejarahnya yang khas, sehingga tidak ada urut-urutan yang teratur dari
zona-zona kota seperti pada teori konsentris dan sektoral. Teori dari Burgess
dan Hoyt dianggap hanya menunjukkan contoh-contoh dari kenampakan
nyata suatu kota.
D. Teori Konsektoral
Teori konsektoral (tipe Eropa) yakni teori yang dikemukakan oleh
Peter Mann di Inggris pada tahun 1965. Peter Mann mencoba untuk
menggabungkan teori konsentris dan sektoral, akan tetapi disini teori
konsentris lebih ditonjolkan.
E. Teori Poros
Teori poros yakni teori yang dikemukakan oleh Babcock pada tahun
1932. Teori ini menekankan bahwa jalur tranportasi dapat memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap struktur ruang kota.
F. Teori Historis
Teori historis yang dikemukakan oleh Alonso. Teorinya didasari atas
nilai sejarah yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal penduduk
di kota tersebut.
Daerah yang menjadi pusat kegiatan dalam kurun waktu yang lama
akan mengalami kerusakan lingkungan, akibatnya sejumlah penduduk
akan pindah ke daerah pinggiran yang masih asri dan alami (lihat garis
yang menunjuk keluar). Kerusakan lingkungan di daerah pusat kegiatan
ini akan mengundang pemerintah setempat untuk melakukan perbaikan
sehingga ketika dirasa telah lebih baik, hal ini akan mengundang
sejumlah masyarakat untuk tinggal di dekat wilayah pusat kegiatan.
Beberapa alasannya adalah karena mudahnya tranportasi, banyaknya
pusat perbelanjaan dan fasilitas umum lainnya (lihat garis yang
menunjuk ke dalam).
Perbaikan terus di lakukan dimana yang awalnya hanya di lakukan
pada wilayah 1 (pusat kegiatan) kemudian merambat ke wilayah 2, 3 dan
seterusnya. Tentunya ini akan menarik masyarakat untuk memindahkan
tempat tinggalnya dari wilayah 1 ke wilayah yang lebih tinggi sehingga
terjadilah perubahan tempat tinggal. Beberapa alasannya pada umumnya
karena wilayah pusat kegiatan sangat padat penduduk sehingga tidak
begitu nyaman.
2. Teori Neoklasik
Menyebutkan bahwa suatu barang produksi dengan menggunakan beberapa
macam faktor produksi, misalnya tanah, tenaga kerja dan modal. Baik input
maupun hasil dianggap variabel. Substitusi diantara berbagai penggunaan faktor
produksi dimungkinkan. Agar dicapai keuntungan maksimum, maka seorang
produsen akan menggunakan faktor produksi sedemikian rupa sehingga
diperoleh keuntungan maksimum.
A. Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt
Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota (Control
Business Distric atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak
digunakan untuk gedung kantor, pusat pertokoan, bank dan perhotelan.
Asumsinya semakin jauh dari CBD nilai rent ekonomi kawasan tersebut
semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada factor jarak mutasi ketempat
kerja dan tempat belanja merupakan factor utama dalam tata guna lahan
diperkotaan.
Homer Hoyt mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi kawasan
berdasarkan kedudukan relatif tempat kerja dan belanja terhadap tempat
pemukiman. Hasil analisis Hoyt adalah system jaringan transpotasi seperti
keadaan sebenarnya, bahwa jaringan transportasi tersebut mampu
memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih murah
terhadap kawasan lahan tertentu.
Teori Von Thunen berdasarkan atas tujuh asumsi :
1) Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan
dengan daerah pedalamannya yang merupakan satu-satunya daerah
pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian;
2) Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjumlahan kelebihan
produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil
pertanian dari daerah lain;
3) Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain,
kecuali ke daerah perkotaan tersebut;
4) Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama dan cocok untuk
tanaman dan peternakan dataran menengah;
5) Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk mempeoleh
keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman
dan peternakannya dengan peemintaan yang terdapat di daerah
perkotaan;
6) Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan
darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda;
7) Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan
jarak yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk
segar.
B. Teori Alfred Weber
Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan:
1) Bahwa daerah yang menjadi obyek penelitian adalah daerah yang
terisolasi.
2) Konsumennya terpusat pada pusat-pusat tertentu. Semua unit
perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan
sempurna.
3) Semua sumber daya alam tersedia secara tidak terbatas.
4) Barang-barang lainnya seperti minyak bumi dan mineral adalah
sporadik tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat.
5) Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada
juga yang mobilitasnya tinggi.
Weber berpendapat ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri,
yaitu :
- Biaya transportasi,
- Biaya tenaga kerja dan
- Kekuatan aglomerasi.
Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak
yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik lokasi yang membuat biaya
terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan
pendistribusian yang minimum.
Dipandang dari segi tata guna lahan model Weber berguna untuk
merencankan lokasi industri dalam rangka mensupli pasar wilayah, pasar
nasional dan pasar dunia. Dalam model ini, fungsi tujuan biasanya
meminimumkan ongkos transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat
barang yang harus diangkut (input dan output).
4
6 4
Zona Perumahan
3 kepadatan menengah
5
3 Zona Guna 9
Lahan Campuran
2 8
7
1
1. Pelabuhan
2. Zona Perdangan Modern 7. Zona Pemerintahan
3. Zona Perdagangan 8. Zona Perumahan mewah
4. Kawasan Sub Urban 9. Zona Pengembangan Perumahan Mewah
5. Kawasan Kumuh
6. Kawasan Industrial Estate baru