Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
( Perbandingan Hukum )
Di Susun Oleh:
2019
1
Kata Pengantar
Alhamdulilllah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini, serta sholawat teriring salam penulis haturkan
keharibaan Rasulullah Muhammad SAW suritauladan umat. Makalah ini berjudul
perbandingan hukum pidana antara indonesia dengan korea selatan. Makalah ini
bertujuan untuk memberitahukan kepada semua orang bahwa terdapat
perbandingan hukum pidana di indonesia dengan korea selatan di mana
perbandingan ini berisi perbedaan dan persamaan antara hukum pidana yang ada
di indonesia dengan korea selatan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
disebabkan oleh keterbatasan penguasaan ilmu, wawasan dan kemampuan
serta kurangnya pengalaman penulis. Oleh karena itu segala kritik dan saran
yang membangun dan bersifat positif sangat diharapkan penulis demi
kesempurnaan makalah ini.
Segala yang benar dan yang baik hanya dari Allah SWT sedangkan
kesalahan dan kekurangan pada dasarnya adalah dari diri penulis sebagai
manusia biasa yang tak luput dari kekeliruan dan kekhilafan, maka untuk itu
penulis meminta maaf atas kekeliruan dan kekhilafan penulis. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Aamiin
Hormat Penulis
2
Daftar Isi
3
Bab 1: Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kodifikasi dan Sistematika Hukum Pidana Indonesia
dengan Korea Selatan?
2. Bagaimana Perbandingan Hukum Pidana itu Sendiri antara Indonesia
dengan Korea Selatan
4
Bab II : Pembahasan
5
Untuk lebih jelasnya maka disini kita akan membandingkan hukum dua
negara yaitu antara Indonesia dengan Korea Selatan.
Sedangkan Criminal Code of The Republic of Korea terdiri dari dua buku
saja, yaitu:
6
• BAB I. Batas berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
• BAB II. Tindak Pidana (Crime)
• BAB III. Pidana (Punishment)
• BAB IV. Penghitungan waktu.
7
sebenarnya tidak dikehendaki tetapi memerlukan unsur kesalahan
(dolus atau culpa) walaupun dalam bentuknya yang paling ringan.
Sedangkan Pasal-Pasal dalam KUHP Indonesia menunjukkan
perumusan delik-delik yang dikualifisir atau yang diperberat oleh
akibatnya.
Untuk membahas KUHP itu sendiri pasti ada yang namanya Asas leglitas,
di mana di Indonesia dalam hukum pidana asas legalitas ini sendiri diatur
dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada.” Adapun perbandiingan dalam Asas legalitas antara
indoneisa dengan korea dapat di jelaskan sebagai berikut:
8
remitted. (apabila UU berubah setelah pidana yang dijatuhkan
(berdasarkan UU ini ) terhadap suatu perbuatan jahat berkekuatan
tetap, dengan akibat bahwa perbuatan itu tidak lagi merupakan suatu
kejahatan, maka pelaksanaan pidana itu akan dibatalkan/dihapuskan).
9
berkekuatan hukum tetap. Walaupun hal ini tidak dirumuskan dengan
tegas, tetapi jelas terlihat di dalam praktik yurisprudensi selama ini, yaitu
Pasal 1 ayat (2) itu dapat digunakan pada tingkat banding di Penggadilan
Tinggi atau tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Apabila setelah putusan
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung berkekuatan
hukum tetap, kemudian keluar UU baru yang menyatakan bahwa
perbuatan yang pernah diputus itu tidak lagi merupakan tindak pidana,
maka pidana yang telah dijatuhkan berkekuatan hukum tetap itu harus
dijalankan atau dieksekusi. Jadi terpidana yang sedang menjalani masa
pidananya tidak dibebaskan. Lain halnya di Korea, orang itu harus
dibebaskan.
a. Bentuk penyertaan
Bentuk penyertaan yang dikenal dalam Ketentuan Umum
KUHP Korea (Criminal Code of The Republic of Korea)
ialah:
1. Pelaku peserta (Co-principlas), yaitu dua orang atau
lebih bersama-sama melakukan suatu tindak pidana
(Pasal 30).
2. Penghasut (Instigator), yaitu seseorang yang
menghasut orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana (Pasal 31).
3. Pembantu (Accessories), yaitu mereka yang
membantu atau memberi bantuan kepada orang lain
yang melakukan suatu tindak pidana (pasal 32).
4. Penghasut yang gagal (pasal 30 ayat 3)
10
Untuk tersebut a.1) di atas dapatlah diperbanding-samakan
dengan bersama-sama melakukan atau turut serta
melakukan KUHP, tersebut a.2) dengan penggerakan
kendati alat atau cara menggerakkan itu dalam KUHP
Korea tidak diatur.tersebut a.3) dengan pembantuan pasal
56 KUHP; dan a.4) dengan yang ditentukan pada pasal 163
KUHP. Yang paling menarik di sini ialah:
11
diancam dengan pidana yang sama, kecuali ditentukan lain
oleh perundangan yang bersangkutan.
B. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam
hal Pebarengan dan Pengulangan
12
- Pengulangan menurut KUHP Korea merupakan
ketentuan umum, sedangkan menurut KUHP
merupakan Ketentuan Khusus.
b. Bentuk Perbarengan
Baik bangunan perbarengan-tindakan, maupun
perbarengan-ancaman-pidana sama-sama dianut oleh
KUHP dan KUHP Korea. Perbarengan tindakan yang
berupa:
1) Perbarengan tindakan tunggal (concursus
idealis)
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang
masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana.
Disebut juga sebagai gabungan berupa satu
perbuatan (endadsche samenloop), yakni suatu
perbuatan meliputi lebih dari satu pasal
ketentuan hukum pidana. Sistem pemberian
pidana yang dipakai dalam concursus idealis
adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan
pidana pokok yang terberat.
2) Perbarengan tindakan jamak (concursus realis)
Concursus realis adalah seseorang melakukan
beberapa perbuatan, dan masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri. Sebagai suatu
tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu
berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi
concursus realis ada beberapa macam:
• Absorsi dipertajam
Absorsi dipertajam adalah apabila diancam
dengan pidana pokok sejenis maka hanya
dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa
13
jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari
jumlah maksimum terberat ditambah sepertiga.
• Kumulatif diperlunak
14
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”
adalah:
• Harus ada satu niat, kehendak atau
keputusan.
• Perbuatan-perbuatannya harus sama atau
sama macamnya.
• Tenggang waktu di antara perbuatan-
perbuatan itu tidak terlalu lama.
c. Delik Tertinggal
Yang diatur dalam Pasal 71 KUHP mengenai delik
tertinggal dianut pula dalam KUHP Korea sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 39 ayat (1). Dengan demikian
kedua-duanya sama-sama memperhitungkan pidana
yang sudah dijatuhkan kepada tindak pidana yang
tertinggal yang akan diadili, seolah-olah perkara
tersebut bersamaan diadili.
15
2. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea
dalam hal Pengulangan
a. Jenis – jenis Pengulangan
Secara umum ada dua jenis pengulangan yang dikenal
dalam hukum pidana yaitu:
1) Pengulangan umum (tidak dipersoalkan
jenis/macam tindak pidana yang diulangi)
2) Pengulangan khusus (tindak pidana yang
diulangi itu sejenis atau sama).
Dari kedua jenis pengulangan tersebut yang dianut
KUHP adalah jenis yang kedua (pengulangan khusus),
karena dalam Pasal 486 sampai dengan 488
dikelompokkan jenis-jenis tindak pidana yang
dipandang sejenis yang dimasukkan dalam kategori
pengulangan apabila dilakukan dalam tenggang waktu
lima (5) tahun. Yang dianut oleh KUHP Korea adalah
pengulangan umum, karena diatur dalam ketentuan
umum dan tidak dipersoalkan tentang tindak pidana
yang terjadi apakah sejenis atau tidak (Pasal 35 ayat 1).
b. Jangka waktu Pengulangan ( Residive )
Jangka waktu pengulangan yang dicantumkan dalam
KUHP tidak seragam. Ada yang lima tahun (pasal 486
sampai dengan 488, pasal 155, 157 dan sebagainya),
dua tahun (Pasal 137, 144, dan lain-lain), ada pula yang
hanya satu tahun (pasal 489, 492, 495, 536, 544 dan
lain-lain).
Jangka waktu pengulangan menurut KUHP Korea
adalah 3 tahun untuk semua tindak pidana, tanpa
membeda-bedakan yang satu dengan yang lain.
c. Ketentuan Pidana Pengulangan
16
Dalam KUHP pada umumnya pemidanaan pengulangan
adalah pidana pokok ditambah sepertiga, akan tetapi
dalam pasal-pasal tertentu bukan pidana pokok yang
ditambah melainkan dapatnya pidana tambahan tertentu
dijatuhkan.
Dalam KUHP Korea , pidananya didua-kalikan.
Rupanya di Korea, masalah residive ini dipandang lebih
membahayakan kepentingan umum ketimbang
concursus. Hal ini dapat diterima akal, karena seseorang
itu sudah pernah dipidana karena tindak pidana yang
sejenis tetapi tidak jera. Tentunya dalam hal ini harus
pula diperhitungkan masalah sosial ekonomi dan
masalah-masalah politik.
C. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Korea dalam
hal Hapusnya Hak Penuntutan, Hapusnya Hak Pelaksanaan
Pidana, dan Kedaluarsaan Hak Perjalanan Pidana
1. Hapusnya hak penuntutan
Menurut Buku I KUHP, hak penuntutan hapus apabila
terjadi:
a. Nebis in idem (Pasal 76)
b. Tersangka/terdakwa meninggal (Pasal 77)
c. Daluwarsa (Pasal 78)
d. Penyelesaian di luar sidang (Pasal 82)
Dari keempat ketentuan tersebut, tidak ada yang diatur
secara tegas dalam KUHP Korea Yang dikenal
(disinggung) adalah amnesti, yang dapat disimpulkan dari
Pasal 39 (3) KUHP Korea yang berbunyi: Jika seorang
yang telah dipidanan untuk perbarengan tindak pidana
menerima “Amnesti” atau remisi untuk pelaksanaan pidana
itu, maka pidana bagi tindak pidana yang tersisa dapat
17
ditentukan secara de novo. Dengan perkataan lain,
hapusnya hak penuntutan tidak diatur dalam KUHP Korea.
2. Hapusnya hak pelaksanaan pidana
Hapusnya hak pelaksanaan pidana menurut KUHP dapat
ditemukan dalam Pasal 83 sampai dengan Pasal 85, antara
lain:
a. Terpidana meninggal (Pasal 83)
b. Daluwarsa (Pasal 84)
18
c. Pemulihan hak-hak juga tidak dianut oleh KUHP,
sedangkan dalam Pasal 82 KUHP Korea dikatakan
bahwa: Dalam hal separuh dari masa percobaan
pidana telah dilewati, seseorang yang telah dipidana
skorsing atas hak-hak tertentu tanpa pidana skorsing
lebih lanjut atau pidana yang lebih berat, setelah
memberikan ganti rugi pada si korban atas
kerusakan-kerusakan yang dideritanya, pemulihan
hak-haknya dapat diberikan atas permohonannya
sendiri, atau lewat penuntut umum.
3. Kedaluarsaan hak perjalanan pidana
Hak menjalankan pidana dapat daluwarsa. Masa
(tenggang/periode) kedaluarsaan itu dalam Pasal 85 KUHP
pada dasarnya ditentukan berdasarkan berat/ringannya
pidana yang diancamkan dikombinasikan dengan jenis
tindak pidana yang dilakukan. Masa daluarsa tersebut diatur
sebagai berikut:
a. Untuk semua pelanggaran, setelah 2 tahun.
b. Untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat
pencetak, setelah 5 tahun
c. Untuk kejahatan yang diancam dengan denda,
pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3
tahun, setelah 8 tahun.
d. Untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara lebih dari 3 tahun, setelah 16 tahun.
19
c. Pidana mati, tidak mungkin daluarsa.
Dalam hal pidana penjara seumur hidup dan pidana mati,
hanya mungkin jka pidana tersebut berubah atau diampuni
sebelum habis hidupnya atau sebelum ditembak mati.
Masa daluarsa yang diatur dalam pasal 77 KUHP Korea,
ternyata tidak didasarkan kepada berat/ringannya pidana
yang diancamkan, melainkan kepada berat/ringannya
pidana yang diputuskan/dijatuhkan sebagai berikut:
a. Untuk pidana mati, setelah 30 tahun.
b. Untuk pidana penjara/kurungan seumur hidup,
setelah 20 tahun.
c. Untuk pidana penjara/kurungan yang tidak kurang
dari 10 tahun, setelah 15 tahun.
d. Untuk pidana penjara/kurungan yang tidak kurang
dari 30 tahun, atau untuk pidana penskorsan dari
hak-hak tertentu yang tidak kurang dari 5 tahun,
setelah 10 tahun.
e. Untuk pidana penjara atau kurungan yang kurang
dari 3 tahun atau untuk pidana penskorsan dari hak-
hak tertentu yang kurang dari 5 tahun, setelah 5
tahun.
f. Untuk pidana penskorsan hak-hak tertentu yang
kurang dari 5 tahun, denda penyitaan atau
pemungutan dari pengadilan, setelah 3 tahun.
g. Untuk penahanan atau pidana denda ringan, setelah
1 tahun.
20
mendasarkan periodisasi tersebut kepada berat/ringannya
pidana yang diputuskan/dijatuhkan.
21
di Ketentuan Umum tidak secara tegas dipisahkan
pengaturannya mengenai:
• Tiadanya kesalahan/ditiadakannya kesalahan sebagai
dasar peniadaan pidana.
• Tiadanya bersifat melawan hukum atau ditiadakannya
bersifat melawan hukum sebagai alasan peniadaan
pidana.
22
dan yang banyak jumlahnya, terutama di negara dunia ketiga
yang melebihi jumlah pertumbuhan di sektor publik, kedua
privatisasi kegiatan perekonomian dan ketiga lahir dan
perkembangan perusahaan multinasional.Ketiga faktor ini
mendorong terjadinya praktek korupsi yang tidak hanya
melibatkan sektor publik namun juga yang terjadi antar sektor
privat. Praktek ini tidak hanya dilakukan oleh individu saja
tetapi juga melibatkan korporasi.
23
kemudian yang menjadi perhatian dunia internasional sehingga
memasukkan pasal mengenai penyuapan di sektor privat
sebagai bagian dari korupsi dalam UNCAC.
24
pidana akan lebih dominan dalam memberantas penyuapan di
sektor privat. Pengaturan delik ini diatur dalam undang-undang
pidana
25
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Dalam Pasal 2 diatur
mengenai larangan bagi setiap orang untuk melakukan
penyuapan kepada pihak lain dengan maksud pihak yang
disuap mau untuk melakukan atau tidak melakukan
kewajibannya yang merugikan kepentingan umum.
Sedangkan dalam Pasal 3 diatur mengenai ketentuan pidana
yang ditujukan kepada pihak yang menerima suap tersebut.
Sayangnya saat ini keberadaan undang-undang ini seperti
mati suri, walaupun masih berlaku namun penegakannya
tidak dilaksanakan.
26
Meskipun demikian keberadaan pasal ini pun kerap kali
tidak dipandang sebagai pengaturan mengenai penyuapan
sektor privat karena dipandang bukan sebagai kegiatan
bisnis.
27
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-
tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Akan tetapi KPK tidak berwenang untuk melakukan
tindakan pemberantasan, pencegahan dan monitoring
terhadap penyuapan di sektor privat karena hal tersebut
tidak masuk dalam lingkup tindak pidana korupsi yang
dimaksud dalam UU Tipikor. Hal ini juga mengindikasikan
bahwa kebijakan hukum pidana mengenai penyuapan di
sektor privat di Indonesia saat ini masih belum ditempatkan
sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. Baik
pengaturan delik ini masih dipisahkan dari UU Tipikor
sehingga KPK tidak bisa menjangkau tindak pidana ini dan
penindakan hukumnya merupakan kewenangan institusi
penegak hukum lainnya di luar KPK.
28
Di Korea Selatan, perkembangan dan pembangunan
ekonomi tidak dapat dilepaskan dari korupsi yang
terintegrasi melalui hubungan antara pejabat pemerintah,
institusi keuangan dan konglomerasi. Pemberian gratifikasi
berupa makan, minuman mahal dan fasilitas golf telah
menjadi bagian penting dalam kegiatan bisnis dan hal
tersebut menjadi sarana untuk membangun hubungan antara
pebisnis, pejabat pemerintah dan jurnalis yang mana ini
dipandang menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis
ekonomi di Korea Selatan. Oleh karenanya bagi Korea
Selatan pemberantasan korupsi di sektor privat dipandang
sama pentingnya dengan pemberantasan korupsi di sektor
publik. Korea Selatan yang merupakan negara dengan
sistem hukum civil law system pembentukan hukum
dilakukan melalui undang-undang yang terkodifikasi dan
yurispudensi sebagai tambahan.
29
Punishment of Specific Economic Crimes Act suap
diidentifikasikan sebagai manfaat ekonomi yang diartikan
luas termasuk segala sesuatu yang berharga termasuk uang,
hadiah dan perjalanan wisata namun tidak ditentukan
batasan minimal dan maksimalnya. Pengaturan gratifikasi
terbaru diatur dalam Kim Young-ran Act, 2016 yang
mengatur mengenai jumlah maksimal penerimaan
gratifikasi yaitu satu juta Korea Won untuk satu kali
kesempatan dan maksimal tiga juta Korea Won untuk satu
tahun. Dalam undang-undang ini juga diperjelas pengertian
keuntungan sebagai salah satu bentuk gratifikikasi yang
meliputi saham, properti, keanggotaan, kupon diskon, tiket,
makanan, minuman, hiburan, golf, akomodasi, transportasi,
membebaskan kewajiban hutang, menyediakan lapangan
kerja, pemberian hak konsesi dan setiap berwujud atau
tidak berwujud yang memiliki manfaat ekonomi. Undang-
undang ini lahir sebagai reaksi atas ketidakberhasilan
undang-undang yang ada dalam menindak praktek
pemberian suap dan gratifikasi yang telah menjadi
kebiasaan dalam berbisnis dan berpolitik. Oleh karenanya
undang-undang ini tidak hanya ditujukan kepada pegawai
negeri namun juga meliputi institusi pelayanan publik
seperti perbankan, tenaga pengajar, jurnalis, reporter dan
karyawan media massa. Di Korea Selatan memiliki
lembaga anti korupsi yitu The Anti-Corruption and Civil
RightsCommission (ACRC) sebagai lembaga antai korupsi
yang terintegrasi dengan ombusman namun tidak bertindak
sebagai institusi penagakan hukum.
30
Bab 3: Penututup
A. Kesimpulan
Perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat antara sistematika
KUHP dengan KUHP Korea adalah bahwa KUHP Korea tidak
membedakan antara Kejahatan dengan Pelanggaran, sedangkan KUHP
masih membedakannya. Dalam hal perbandingan hukum pidana antara
Indonesia dengan Korea terdapat beberapa perbedaan dan persamaan.
Namun, KUHP Korea dalam beberapa bidang sudah lebih maju karena
beberapa materi yang kita pelajari melalui ilmu pengetahuan hukum
pidana, sudah tercantum dalam KUHP Korea. Meskipun demikian, bagi
Indonesia Indonesia ketentuan mengenai penyuapan di sektor privat dibuat
bukan sebagai bagian UU Tipikor dan tujuan perumusannya bukan untuk
menanggulangi tindak pidana korupsi, akibatnya UU Suap tidak
dimasukan dalam penilaian penerapan UNCAC. Berbeda dengan Korea
Selatan dimana ketentuan mengenai penyuapan di sektor privat dibuat atas
dasar adanya kesadaran untuk melakukan pemerantasan korupsi secara
komprehensif dan bukan semata untuk memenuhi kewajiban ratifikasi
UNCAC.
B. Saran
Karena Indonesia sedang dalam tahap pembaharuan hukum pidana, maka
untuk memperoleh hukum yang lebih baik Indonesia dapat mencontoh
hukum pidana Korea dalam hal Pengulangan. Karena fenomena yang
terjadi di Indonesia tingkat pengulangan tindak pidana (residive) masih
sangat tinggi karena hukuman yang diberikan masih terlalu ringan
sehingga tidak menimbukan efek jera kepada pelaku. Sedangkan di Korea
Pidana untuk pengulangan di dua kalikan untuk memberikan efek jera
kepada pelaku dan untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Demikianlah makalah ini, apabila ada kesalahan dalam penulisannya atau
kekurangan pembahasan ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
juga kami harapkan teguran yang sehat sekiranya dapat membangun dalam
perbaikan makalah ini.
31
Daftar Pustaka
32
FootNote
33