Anda di halaman 1dari 11

Latar Belakang

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalambukunya yang
berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1962), dan kemudian dipopulerkan kembali
oleh Robert Friedrichs pada tahun 1970.Menurut Kuhn, paradigma adalah suatu cara untuk
mengetahui realitas sosialyang dikonstruksi melalui suatu model penyelidikan tertentu yang
kemudianmenghasilkan sebuah model untuk mengetahui sesuatu yang lebih spesifik.Burrell
&Morgan (1979:22) kemudian menghasilkan pemetaan pemikiran ke dalam empatparadigma,
yaitu: (1) The Functionalist Paradigm, (2) The Interpretive Paradigm, (3)The Radical
Humanist Paradigm, dan (4) The Radical Structuralist paradigm.Pemetaan paradigma yang
dilakukan oleh Chua (1986) agak sedikit berbedadengan apa yang telah dilakukan oleh
Burrell dan Morgan (1979). Chua (1986)mengklasifikasikan paradigma ke dalam tiga
pemetaan pikiran yaitu: (1) TheFunctionalist Paradigm, (2) The Interpretive Paradigm, dan
(3) The CriticalParadigm.

Paradigma secara mudah diartikan adalah cara pandang, posisi pandang seseorang,
terhadap obyek atau fenomena yang akan di pelajari. Dengan semakin banyaknya paradigma
dalam meneliti sebuah fenomena, seorang peneliti akan memiliki kemampuan untuk melihat
realitas ilmu pengetahuansecara lebih utuh. Karena dengan wawasan tersebut, sebuah ilmu
dapat dilihat, dipahami, dan dikembangkan dari berbagai sudut pandang. Keutuhan yang
dimaksud di sini seperti kita melihat tubuh fisik seseorang dari berbagai sisi. Dan yang kita
lihat dari masing-masing sisi itu semuanya adalah benar. Hasil pandangan dari sebuah sisi
tidak dapat menegasikan hasil pandangan dari sisi lain. Semua hasil pandangan bersifat saling
melengkapi.

Paradigma positivis (positivist paradigm, atau disebut juga functionalist paradigm,


Chua 1986) memiliki dua cara untuk melakukan penelitian, yaitu: metode kuantitatif dan
metode kualitatif. Orientasi penelitian dari paradigma positivis adalah memverifikasi teori,
yaitu mencocokkan atau menguji teori dengan fakta empiris. Pada penelitian kuantitatif
biasanya verifikasi teori ini terlihat jelas pada uji hipotesis yang pada dasarnya dibangun
berdasarkan pada teori yang ingin diverifikasi.

Pada penelitian kualitatif yang positivis juga demikian. Sebuah teori diuji secara
empiris untuk melihat apakah teori tersebut berlaku dalam dunia empiris. Meskipun
metodenya adalah metode kualitatif, maka tetap saja penelitian tersebut adalah penelitian
dengan paradigma positivis.
Tentu saja pengertian ini memperluas pemahaman yang selama ini sudah ada. Secara
umum para akademisi berpendapat bahwa penelitian kuantitatif itu adalah penelitian
positivis. Tetapi dalam kenyataannya, penelitian kualitatif pun (yang biasanya berpola-pikir
sebab-akibat) juga dapat berada dalam wilayah paradigma positivis.

Paradigma interpretivis, kritis, posmodernis, dan spiritualis menggunakan metode


kualitatif. Empat paradigma yang terakhir ini sebetulnya merupakan pengembangan
paradigma yang pertama. Banyak kritik telah dilayangkan pada paradigma positivis yang
pada akhirnya melahirkan paradigma paradigma baru. Semua paradigma ini eksis. Paradigma
yang satu tidak dapat meniadakan paradigma yang lain. Oleh karena itu, secara ideal seorang
peneliti akuntansi dapat menerima semua paradigma tersebut, yang biasanya kita sebut
dengan istilah multiparadigma (multiparadigm).

Di pertemuan sebelumnya, telah dilakukan pembahasan mengenai tiga metode


penelitian dengan menggunakan paradigm interpretivis, kritis, dan posmodernis. Kemudian
selanjutnya akan dibahas mengenai metode penelitian dengan menggunakan paradigm
spiritual yang mana paradigma ini sebenarnya adalah rentetan yang dihasilkan dari
perkembangan paradigmatik barat, terutama sebagai hasil turunan paradigma
postmodernisme afirmatif. Pendekatan dalam paradigma spiritualis menggabungkan ide-ide
keagamaan dalam ilmu sosial paling konsisten dengan sintesis dari tiga sistem budaya historis
kebenaran dan pengetahuan yaitu ideasional, idealisme, dan sensasi. Paradigma spiritualis
muncul untuk mencoba menjawab pertanyaan dari kekurangan paradigma yang ada
sebelumnya. Paradigma ini sebenarnya menekankan pada keutuhan sebuah konsep,yaitu
keutuhan aspek kemanusiaan, budaya, spiritualitas dan ketuhanan. Oleh karena itu, sifat-sifat
manusia, budaya lokal,dan keimanan pada Tuhan dalam penelitian ini menjadi satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan.

Dasar Pemikiran Paradigma Spiritualis

Spiritual sering disamakan dengan agama, meskipun ada sedikit perbedaan dari
keduanya. Spiritualitas adalah inti dari agama. Spiritualitas adalah dalamnya, sedangkan
agama adalah bentuk luarnya. Spiritualitas adalah manfaat produk yang kita nikmati,
sedangkan produk dan kemasannya adalah agama. Spiritualitas itu nilai-nilai universal,
sedangkan agama itu bungkusan berbagai latar belakang budaya dan kecerdasan manusia
setempat. Namun demikian, keduanya tidak terpisahkan, spiritualitas perlu simbol dan
bungkus agar bisa menempati peradaban manusia. Sebaliknya, agama tanpa spiritualitas akan
menjadi kumpulan ajaran dan tata cara yang mati. Agama selalu dimulai dari pengalaman
spiritual para pendirinya, yang kemudian dikembangkan dalam konteks budaya setempat oleh
para pengikutnya. Makin lama makin kompleks dan makin luas. Hasilnya, sebuah agama
akan membuat banyak tradisi dan tata cara yang khas suatu bangsa tertentu. Tiap agama
sebenarnya memiliki kesamaan ajaran-ajaran spiritual, sedangkan perbedaannya adalah pada
fokus pengembangannya. Sebab itu tiap agama punya keunggulan rohani masing-masing dari
spiritualitas telah dijalankan (Widi, 2008: 50-51).

Spiritual itu bukan sekadar untuk menggapai pengalaman ajaib atau manifestasi roh,
melainkan hasil akhirnya adalah sesosok jiwa yang mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan didasarkan pada kejujuran kepribadian, sikap, dan perbuatan bersih,
seimbang, berpengalaman, dan bijak sebagai implementasi kecerdasan spiritual, yaitu
kecerdasan untuk persoalan makna dan nilai, untuk menempatkan kehidupan dan kegiatan
pada makna yang lebih tinggi dan luas, untuk menilai suatu perbuatan itu lebih bernilai dan
bermakna dari perbuatan lain.Pengembangan spiritual berdasarkan hati nurani atas keyakinan
atau iman dengan berbagai prinsip atau nilai yang mampu sebagai tuntunan dan petunjuk
nilai-nilai yang baik. Hasil dari spiritual yaitu moral yang baik, maka orang belajar spiritual
sebenarnya belajar moral, sebab itu manusia yang spiritual akan bermoral tinggi.

Spiritualitas sebagai cara hidup yang mengalir dari suatu pengalaman mendalam
terhadap realitas, atau dalam kepustakaan agama-agama sebagai suatu pengalaman langsung
dan non-intelektual terhadap realitas dengan beberapa ciri mendasar yang tidak tergantung
konteks budaya dan sejarah, yang dikenal dengan pengalaman “mistis”, “religius” atau
“rohani”. Saat-saat rohani yaitu saat-saat ketika paling merasakan hidup, sejalan dengan
makna asli roh sebagai nafas kehidupan yang tidak hanya melibatkan tubuh, tetapi juga
pemenuhan pikiran (mindfulness) yang berakar dalam tubuh (Capra, 2005:81).

Spiritualitas mempunyai kekuatan otonom dan mampu menghidupi atau


menggerakkan sesuatu yang lain di luar dirinya, baik yang bersifat ketuhanan maupun yang
bukan. Dalam spiritualitas merupakan aspek yang penuh kesunyian, yang digerakkan oleh
energi pengekangan (hasrat), yang dibangun oleh benteng kesabaran, yang diasah oleh
semangat kekhusukan, yang selalu memproduksi kedalaman dan sublimasi, yang dipenuhi
oleh ruang-ruang kesucian, dan yang disyarati oleh tanda-tanda ketuhanan melalui
penyerahan diri, kepatuhan dan disiplin.
Paradigma Spiritual memahami realitas sosial sebagai refleksi roh (spirit) dari
masing-masing individu anggota masyarakat. Sedangkan manusia adalah makhluk spiritual
yang mengalami kehidupan fisik, perwujudan Tuhan, memiliki tubuh fisik, mental, dan
spiritual. lmu pengetahuan merupakan pancaran dari ilmu Tuhan yang bersifat rasional,
rasional-superrasional, dan superrasional.

Riset dengan paradigma spiritual, oleh karenanya, dapat menggunakan metode yang
bertumpu pada keimanan agama atau keyakinan, yang bisa jadi dipandang tidak rasional dari
kaca mata paradigma lain. Bagi paradigma modernis,realitas yang satu selalu berada dalam
keadaanterpisah dengan realitas yang lain. Bahkan paradigma ini tidak memberikan
ruangsama sekali bagi Tuhan. Sehingga teoriyang berhasil dibangun oleh paradigma
inibersifat sekuler. Bagi paradigma ini tidak ada keterpisahanantara Tuhan dengan realitas
lainnya,karena pada dasarnya realitas-realitas yanglain (selain dari Tuhan) merupakan
pancaran(emanasi) atau perwujudan dari Tuhan itusendiri (Chodjim 2002). Realitas sosial
yang menjadiobjek penelitian ini tidak lain merupakan refleksidari Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada realitas yang berada di luar diriTuhan. Tuhan meliputi segala sesuatu
danmelampaui dimensi ruang dan waktu. Dia bersifat fisikal (nyata, dhahir) dan sekaligus
juga bersifat spiritual (tidak nyata, bathin).Semua sifat yang kontradiktif ini adalah
satukesatuan dalam diri Tuhan (Mustofa 2005).

Konsep dan ciri-ciri Paradigma Spiritualis

Paradigma spiritualis adalah membangkitkan kesadaran ketuhanan (to awaken god-


consciousness). Paradigma ini menghendaki agar ilmu akuntansi yang dihasilkan dari sebuah
proses penelitian dapat membangkitkan kesadaran ketuhanan. Dengan pemahaman seperti
pada definisi di atas, seorang peneliti dari paradigma ini akan berusaha untuk menemukan
bentuk-bentuk ilmu baru yang dapat membangkitkan kesadaran ketuhanan. Sangat
memungkinkan jika bentuk baru tersebut melibatkan proses interdisipliner yang berangkat
dari pemahaman diri, ontologi, epistemologi, dan metodologi yang utuh. Ini merupakan
tantangan bagi para peneliti untuk dapat menemukan bentuk baru yang transendental, bukan
sebagaimana pada akuntansi modern yang bersifat duniawi saja (sekular). Sederhananya, bagi
paradigma ini, ilmu pengetahuan itu sifatnya utuh, transendental, dan sarat nilai (Triyuwono,
2013).
Hal pokok dalam paradigm spiritualis adalah pengakuan bahwa Allah sebagai satu-
satunya sumber ilmu. Paradigma spiritual tidak menggunakan akal rasional, melainkan hati
nurani yang intuitif, hati nurani tidak memerlukan input sebagaimana akal memerlukannya.
Ia merupakan sumber sekaligus adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Bentuk ilmu
pengetahuan yang berasal dari hati nurani ini tidak dapat dikatakan, dijelaskan atau
dirumuskan dan dikomunikasikan, tetapi sebaliknya ia hanya dapat dirasakan dan dialami
oleh manusia yang memproses dirinya untuk menemukan jatidirinya. Hati nurani tidak lain
Tuhan yang ada dalam diri manusia. Potret (teori) yang berhasil direkam oleh peneliti pada
dasarnya adalah ilmu Tuhan, karena hukum Tuhan tidak lain adalah ilmu Tuhan itu sendiri
(Triyuwono, 2011).

Kebenaran ilmu adalah sangat relatif, tergantung pada asumsi epistemologi yang
digunakan. Semuanya berdasarkan pada subjektivitas manusia yang relatif. Bahkan,
pandangan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas-nilai (value-free) dan
objektif sebetulnya dibangun berdasarkan pada pikiran manusia yang subjektif. Sehingga,
konsekuensi kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran relatif. Tidak mungkin manusia
yang kemampuannya terbatas mendapatkan kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak hanya ada
pada Tuhan sendiri. Tidak ada kebenaran mutlak (apalagi kebenaran ilmiah) selain dari
Tuhan itu sendiri. Teori (ilmu pengetahuan) dan realitas adalah dua hal yang berbeda.
Realitas adalah sesuatu yang objektif dan ada apa adanya. Sedangkan teori adalah hasil
pemahaman manusia atas realitas dengan menggunakan kacamata subjektif yang melekat
pada dirinya, yaitu kombinasi panca-indra, pengalaman, akal rasional, perasaan, dan intuisi.
Realitas dapat dipotret dari berbagai sudut pandang (paradigma) yang pada akhirnya
menghasilkan teori yang berbeda. Semua teori yang dihasilkan pasti memiliki kebenaran,
tetapi hanya benar secara relatif.
Tujuan dan Bentuk Ilmu dari Masing-masing Paradigma

No Paradigma Tujuan Penelitian Bentuk Ilmu Pengetahuan

1 Positivis Menjelaskan (to Bersifat deduktif berdasarkan pada


explain) dan panca indra, prosedur ketat,
meramalkan (to nomotetis, bebas
predict)
Nilai
2 Interpretivis Menafsirkan (to Bersifat induktif berdasarkan pada
interpret) dan interpretasi, ideografis, akal sehat,
memahami (to dan sarat
understand)
nilai
3 Kritis Membebaskan (to Bersifat konkrit berdasarkan pada
emancipate) dan interpretasi, membebaskan dan
mengubah (to merubah, serta sarat
transform)
nilai
4 Posmodernis Mendekonstruksi (to Bersifat kompleks dan majemuk,
deconstruct) serta sarat nilai
5 Spiritualis Membangkitkan Bersifat transendental, utuh, dan
kesadaran ketuhanan sarat nilai
(to awaken god-
consciousness)
Sumber: Burrell and Morgan (1979), Chua (1986), Sarantakos (1993): dimodifikasi dalam Triyuwono
(2013)

Paradigma spiritualis akan berusaha untuk menemukan bentuk-bentuk ilmu baru


yang dapat membangkitkan kesadaran ketuhanan. Sangat memungkinkan jika bentuk baru
tersebut melibatkan proses interdisipliner yang berangkat dari pemahaman diri, ontologi,
epistemologi, dan metodologi yang utuh. Ini merupakan tantangan bagi para peneliti untuk
dapat menemukan bentuk baru yang transendental, bukan sebagaimana pada akuntansi
modern yang bersifat duniawi saja (sekular). Sederhananya, bagi paradigma ini, ilmu
pengetahuan itu sifatnya utuh, transendental, dan sarat nilai.

Metodologi Penelitian dalam Paradigma Spiritualitas

Metode kualitatif dapat digunakan untuk penelitian baik dengan paradigma positivis
maupun paradigma interpretivis, kritis, posmodernis, dan spiritualis.
Perbedaan Paradigma, Metode, dan Orientasi Penelitian

No Paradigma Metode Orientasi


Penelitian
1.Kuantitatif Verifikasi Teori
1 Positivis 2.Kualitatif Verifikasi Teori
2 Interpretivis 1.Kualitatif Konstruksi Teori
3 Kritis 1.Kualitatif Konstruksi Teori
4 Posmodernis 1.Kualitatif Konstruksi Teori
5 Spiritualis 1.Kualitatif Konstruksi Teori
Sumber: Burrell and Morgan (1979), Chua (1986), Creswell (2009): dimodifikasi dalam Triyuwono(2013).

Sedangkan untuk desain penelitian spiritualis tidak memiliki metode yang baku
sebagaimana yang ditemukan pada penelitian positivis maupun non-positivis lainnya. Metode
yang digunakan sepenuhnya mengikuti gerak spirit (ruh) dalam diri peneliti. Komunikasi
dengan Tuhan melalui zikir, doa, dan tafakur merupakan bagian yang sangat penting untuk
mendapatkan inspirasi (ilham). Setiap langkah penelitian, yang tidak selalu berurutan,
mengikuti hasil komunikasi dengan Tuhan melalui spirit peneliti (triyuwono, 2016).

Paradigma, Disain Penelitian, dan Alat Analisis Penelitian Kualitatif

No Paradigma Disain Alat Analisis


Penelitian
1 Positivis Studi kasus Teori atau konsep
akuntansi
2 Interpretivis Fenomenologi, Teori fenomenologi, teori
etnografi, etnografi, teori
etnometodologi, hermeneutika,dan lain-
narasi, studi lainnya
kasus,
grounded theory
3 Kritis Studi kasus, Teori-teori kritis, misalnya
kritis, aksi, teori komunikasi aksi
feminis, Habermas, psikoanalisis,
etnografi kritis teori marxis, hermeneutika
kritis, ekonomi politik, dan
lain-lainnya
4 Posmodernis Studi kasus, Kombinasi dari berbagai teori
feminis, narasi, dari wilayah interpretivis dan
diskursus kritis dengan budaya, agama,
dan
lain-lainnya
5 Spiritualis “Suka-suka saya” Intuisi

Sumber: Neuman (2007), Eriksson and Kovalainen (2008), Creswell (2009): dimodifikasi dalam Triyuwono (2013
Pada penelitian menggunakan paradigm spiritualis, disain penelitian tidak bersifat
konkrit sebagaimana beberapa jenis penelitian sebelumnya. Untuk dapat memberikan
penjelasan yang barangkali mudah dipahami, pada tabel dijelaskan bahwa disain penelitian
yang dipakai adalah “suka-suka saya” yaitu suka-suka saya sebagai peneliti. “Suka-suka
saya” memiliki beberapa pengertian:

 Peneliti di sini memiliki kebebasan penuh dalam mendisain penelitiannya dan


mengungkap serta memformulasikan teori-teori baru akuntansi.
 Cara berpikir peneliti telah keluar dari cara berpikir metode penelitian yang lazim.
 Peneliti menggunakan kekuatan di balik “saya,” yang pada dasarnya kekuatan tersebut
adalah pikiran Tuhan. Dalam kondisi ini, diri peneliti telah penuh dengan kehadiran
Tuhan, sehingga yang berpikir di sini bukan peneliti, tetapi Tuhan. Tidak aneh jika
terkesan bahwa peneliti melakukan penelitian sesukanya peneliti, yaitu “suka-suka
saya.”

Sejalan dengan pemahaman di atas, secara otomatis alat yang digunakan untuk
menganalisa tidak lagi seperti penelitian-penelitian lainnya yang menggunakan teori. Dalam
konteks ini, intuisi memegang peran yang sangat penting untuk berfungsi sebagai alat
analisis. Dengan cara ini memang sangat memungkinkan bahwa konstruksi teori yang
berhasil dibangun akan memiliki kecenderungan kuat untuk mampu membangkitkan
kesadaran orang yang mempelajari dan mempraktikkannya. Rasa kehadiran Tuhan dalam
paradigma ini tentu saja antara orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Perbedaan
tersebut sekaligus menunjukkan adanya lapisan-lapisan kesadaran dalam diri masing-
masing orang (Triyuwono, 2013).

Menurut Triyuwono (2015) Dalam penelitian menggunakan paradigma spiritualis


menganggap bahwa peneliti adalah alat utama untuk analisis data Sebagai alat utama, peneliti
harus berzikir, berdoa, dan bertafakur sehingga dalam dirinya muncul sebuah alat untuk
menganalisis data (Alat yang muncul bisa saja berupa hadirnya sebuah logika spiritual atau
logika teoritis Logika spiritual adalah logika yang muncul secara spiritual yang ada begitu
saja secara spontan Logika inilah yang kemudian digunakan oleh seorang peneliti untuk
menganalisis data yang dimilikinya Logika teoritis adalah logika yang diperoleh secara
spiritual juga, namun inspirasi yang diperoleh mengarahkan seorang peneliti untuk
menggunakan logika-logika teoritis seperti yang diungkapkan di atas, yaitu logika teori kritis,
etnografi , fenomenologi, budaya, agama, metafora, atau bahkan statistik.
Paradigma Spiritualis dalam Penelitian Akuntansi

Spiritualitas dalam ilmu akuntansi sangat diperlukan, ketika kehadirannya sebagai


prasarana atau alat yang dipergunakan oleh manusia dalam kegiatan dan kehidupannya.
Karena ini akuntansi merupakan bagian dari kehidupannya, maka sudah barang tentu sifat
dan konsepnya harus melekat pada manusianya. Fungsi akuntansi harus sejalan dengan fungsi
manusia sebagaimana maksud diciptakannya oleh Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah
SWT untuk mengabdi kepadanya. Sedangkan Tuhan meliputi segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini dalam satu kesatuan, yang tidak bisa dipisahkan sama sekali. Manusia
sendiri bagian dari alam. Tubuh fisik manusia terbuat dari energi, atau terbuat dari Cahaya
Ilahi. Di balik Cahaya Ilahi ini tidak lain adalah Tuhan itu sendiri. Di balik tubuh non-fisik
manusia, yaitu tubuh mental dan tubuh spiritual, juga terdapat Tuhan. Oleh karena itu,
manusia sedikit memiliki sifat-sifat Tuhan. Manusia memiliki karakter yang kompleks.
Manusia adalah makhluk utuh, baik dalam keseimbangannya maupun dalam ketidak-
seimbangannya. Manusia dengan sedikit sifat keilahiannya mampu menciptakan ilmu
pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan adalah cahaya, yaitu Cahaya Ilahi. Secara
epistemologis, ilmu ini tidak dihasilkan oleh akal rasional belaka, tetapi diperoleh melalui
Pikiran Ilahi yang melekat dalam diri manusia itu. Ilmu ini adalah ilmu yang dapat mengikat
manusia pada Tuhan (Triyuwono, 2016 dalam ).

Paradigma spiritualis menghendaki agar ilmu akuntansi yang dihasilkan dari


sebuah proses penelitian dapat membangkitkan kesadaran ketuhanan. Konsep dan informasi
laba akuntansi, misalnya, secara ideal dapat membangkitkan kesadaran ketuhanan para
pengguna. Sebagai gambaran, informasi laba akuntansi modern (yang hanya
merepresentasikan materi) dapat membangkitkan kesadaran materi bagi para penggunanya.
Namun, jika informasi laba tersebut tidak dibatasi pada materi, tetapi juga mencakup laba
mental dan spiritual, maka informasi laba yang terakhir ini akan dapat membangkitkan
kesadaran ketuhanan para pengguna. Tujuan penelitian akuntansi dari paradigma spiritualis
menjadi semakin konkrit jika akuntansi didefinisikan sebagai :

Seni dan ilmu meracik informasi yang berfungsi sebagai doa dan dzikir
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mental, dan spiritual manusia dalam
rangka beribadah dan kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan
tenang (Triyuwono 2012).
Dengan pemahaman seperti pada definisi di atas, seorang peneliti akuntansi dari
paradigma ini akan berusaha untuk menemukan bentuk-bentuk akuntansi baru yang dapat
membangkitkan kesadaran ketuhanan.

Dalam konteks pengembangan literature akuntansi di Indonesia, Iwan Triyuwono


mempelopori masuknya dimensi spiritualitas. Ia menekankan pada pentingnya dekonstruksi
pemikiran akuntansi mainstream yang terlalu mendewakan rasionalitas dan menciptakan ilusi
keterpisahan antara subjek (pelaku, akuntan) dan objek (masyarakat). Sebagai hasilnya,
akuntansi menjadi alat yang mendukung berbagai tindakan destruktif atas nama rasionalitas
ekonomi. Triyuwono (2000) memandang bahwa nilai cinta berpotensi hilang dari aktivitas
ekonomi karena akuntansi lebih mengutamakan nilai-nilai egoistik, materialistik, dan
utilitarian. Untuk menghindari proses dehumanisasi dalam masyarakat, nilai-nilai cinta perlu
dibangun dalam pembelajaran dan pengembangan penelitian yang membentuk kerangka
pemikiran akuntansi. Akuntansi seharusnya bukan sekedar instrumen bisnis namun juga
berkontribusi untuk menunjang penemuan hakikat diri dan tujuan hidup manusia.
Spiritualitas dalam akuntansi seperti halnya spiritualitas dalam makna agama yakni bersifat
substansi (esoteric) bukan simbol (eksoteric), yang bermakna pembebasan.
Kesimpulan

Kajian Pustaka

Burrell, Gibson and Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational
Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann.
Chua, Wai Fong. 1986. Radical developments in accounting thought. The Accounting
Review LXI (4): 601-32.

Triyuwono, Iwan. 2012a. Perspektif, metodologi, dan teori akuntansi syari’ah. Edisi 2.
Jakarta: Rajagrafindo Press.

Chopra, Deepak dan Leonard Mlodinow. 2012. Is God an Illusion? The Great Debate
between Science and Spirituality. Rider. London.

Mulawarman, A.D. 2010. “Integrasi Paradigma Akuntansi: Refleksi atas Pendekatan


Sosiologi dalam Ilmu Akuntansi”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 1, No. 1,
hlm 155-171.

Triyuwono, I. (2015b). Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal
Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 290–303.

Triyuwono, I. (2013). Makrifat Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk


Pengembangan Disiplin Akuntansi. In Simposium Nasional Akuntansi XVI. Manado.

Anda mungkin juga menyukai