Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalambukunya yang
berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1962), dan kemudian dipopulerkan kembali
oleh Robert Friedrichs pada tahun 1970.Menurut Kuhn, paradigma adalah suatu cara untuk
mengetahui realitas sosialyang dikonstruksi melalui suatu model penyelidikan tertentu yang
kemudianmenghasilkan sebuah model untuk mengetahui sesuatu yang lebih spesifik.Burrell
&Morgan (1979:22) kemudian menghasilkan pemetaan pemikiran ke dalam empatparadigma,
yaitu: (1) The Functionalist Paradigm, (2) The Interpretive Paradigm, (3)The Radical
Humanist Paradigm, dan (4) The Radical Structuralist paradigm.Pemetaan paradigma yang
dilakukan oleh Chua (1986) agak sedikit berbedadengan apa yang telah dilakukan oleh
Burrell dan Morgan (1979). Chua (1986)mengklasifikasikan paradigma ke dalam tiga
pemetaan pikiran yaitu: (1) TheFunctionalist Paradigm, (2) The Interpretive Paradigm, dan
(3) The CriticalParadigm.
Paradigma secara mudah diartikan adalah cara pandang, posisi pandang seseorang,
terhadap obyek atau fenomena yang akan di pelajari. Dengan semakin banyaknya paradigma
dalam meneliti sebuah fenomena, seorang peneliti akan memiliki kemampuan untuk melihat
realitas ilmu pengetahuansecara lebih utuh. Karena dengan wawasan tersebut, sebuah ilmu
dapat dilihat, dipahami, dan dikembangkan dari berbagai sudut pandang. Keutuhan yang
dimaksud di sini seperti kita melihat tubuh fisik seseorang dari berbagai sisi. Dan yang kita
lihat dari masing-masing sisi itu semuanya adalah benar. Hasil pandangan dari sebuah sisi
tidak dapat menegasikan hasil pandangan dari sisi lain. Semua hasil pandangan bersifat saling
melengkapi.
Pada penelitian kualitatif yang positivis juga demikian. Sebuah teori diuji secara
empiris untuk melihat apakah teori tersebut berlaku dalam dunia empiris. Meskipun
metodenya adalah metode kualitatif, maka tetap saja penelitian tersebut adalah penelitian
dengan paradigma positivis.
Tentu saja pengertian ini memperluas pemahaman yang selama ini sudah ada. Secara
umum para akademisi berpendapat bahwa penelitian kuantitatif itu adalah penelitian
positivis. Tetapi dalam kenyataannya, penelitian kualitatif pun (yang biasanya berpola-pikir
sebab-akibat) juga dapat berada dalam wilayah paradigma positivis.
Spiritual sering disamakan dengan agama, meskipun ada sedikit perbedaan dari
keduanya. Spiritualitas adalah inti dari agama. Spiritualitas adalah dalamnya, sedangkan
agama adalah bentuk luarnya. Spiritualitas adalah manfaat produk yang kita nikmati,
sedangkan produk dan kemasannya adalah agama. Spiritualitas itu nilai-nilai universal,
sedangkan agama itu bungkusan berbagai latar belakang budaya dan kecerdasan manusia
setempat. Namun demikian, keduanya tidak terpisahkan, spiritualitas perlu simbol dan
bungkus agar bisa menempati peradaban manusia. Sebaliknya, agama tanpa spiritualitas akan
menjadi kumpulan ajaran dan tata cara yang mati. Agama selalu dimulai dari pengalaman
spiritual para pendirinya, yang kemudian dikembangkan dalam konteks budaya setempat oleh
para pengikutnya. Makin lama makin kompleks dan makin luas. Hasilnya, sebuah agama
akan membuat banyak tradisi dan tata cara yang khas suatu bangsa tertentu. Tiap agama
sebenarnya memiliki kesamaan ajaran-ajaran spiritual, sedangkan perbedaannya adalah pada
fokus pengembangannya. Sebab itu tiap agama punya keunggulan rohani masing-masing dari
spiritualitas telah dijalankan (Widi, 2008: 50-51).
Spiritual itu bukan sekadar untuk menggapai pengalaman ajaib atau manifestasi roh,
melainkan hasil akhirnya adalah sesosok jiwa yang mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan didasarkan pada kejujuran kepribadian, sikap, dan perbuatan bersih,
seimbang, berpengalaman, dan bijak sebagai implementasi kecerdasan spiritual, yaitu
kecerdasan untuk persoalan makna dan nilai, untuk menempatkan kehidupan dan kegiatan
pada makna yang lebih tinggi dan luas, untuk menilai suatu perbuatan itu lebih bernilai dan
bermakna dari perbuatan lain.Pengembangan spiritual berdasarkan hati nurani atas keyakinan
atau iman dengan berbagai prinsip atau nilai yang mampu sebagai tuntunan dan petunjuk
nilai-nilai yang baik. Hasil dari spiritual yaitu moral yang baik, maka orang belajar spiritual
sebenarnya belajar moral, sebab itu manusia yang spiritual akan bermoral tinggi.
Spiritualitas sebagai cara hidup yang mengalir dari suatu pengalaman mendalam
terhadap realitas, atau dalam kepustakaan agama-agama sebagai suatu pengalaman langsung
dan non-intelektual terhadap realitas dengan beberapa ciri mendasar yang tidak tergantung
konteks budaya dan sejarah, yang dikenal dengan pengalaman “mistis”, “religius” atau
“rohani”. Saat-saat rohani yaitu saat-saat ketika paling merasakan hidup, sejalan dengan
makna asli roh sebagai nafas kehidupan yang tidak hanya melibatkan tubuh, tetapi juga
pemenuhan pikiran (mindfulness) yang berakar dalam tubuh (Capra, 2005:81).
Riset dengan paradigma spiritual, oleh karenanya, dapat menggunakan metode yang
bertumpu pada keimanan agama atau keyakinan, yang bisa jadi dipandang tidak rasional dari
kaca mata paradigma lain. Bagi paradigma modernis,realitas yang satu selalu berada dalam
keadaanterpisah dengan realitas yang lain. Bahkan paradigma ini tidak memberikan
ruangsama sekali bagi Tuhan. Sehingga teoriyang berhasil dibangun oleh paradigma
inibersifat sekuler. Bagi paradigma ini tidak ada keterpisahanantara Tuhan dengan realitas
lainnya,karena pada dasarnya realitas-realitas yanglain (selain dari Tuhan) merupakan
pancaran(emanasi) atau perwujudan dari Tuhan itusendiri (Chodjim 2002). Realitas sosial
yang menjadiobjek penelitian ini tidak lain merupakan refleksidari Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada realitas yang berada di luar diriTuhan. Tuhan meliputi segala sesuatu
danmelampaui dimensi ruang dan waktu. Dia bersifat fisikal (nyata, dhahir) dan sekaligus
juga bersifat spiritual (tidak nyata, bathin).Semua sifat yang kontradiktif ini adalah
satukesatuan dalam diri Tuhan (Mustofa 2005).
Kebenaran ilmu adalah sangat relatif, tergantung pada asumsi epistemologi yang
digunakan. Semuanya berdasarkan pada subjektivitas manusia yang relatif. Bahkan,
pandangan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas-nilai (value-free) dan
objektif sebetulnya dibangun berdasarkan pada pikiran manusia yang subjektif. Sehingga,
konsekuensi kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran relatif. Tidak mungkin manusia
yang kemampuannya terbatas mendapatkan kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak hanya ada
pada Tuhan sendiri. Tidak ada kebenaran mutlak (apalagi kebenaran ilmiah) selain dari
Tuhan itu sendiri. Teori (ilmu pengetahuan) dan realitas adalah dua hal yang berbeda.
Realitas adalah sesuatu yang objektif dan ada apa adanya. Sedangkan teori adalah hasil
pemahaman manusia atas realitas dengan menggunakan kacamata subjektif yang melekat
pada dirinya, yaitu kombinasi panca-indra, pengalaman, akal rasional, perasaan, dan intuisi.
Realitas dapat dipotret dari berbagai sudut pandang (paradigma) yang pada akhirnya
menghasilkan teori yang berbeda. Semua teori yang dihasilkan pasti memiliki kebenaran,
tetapi hanya benar secara relatif.
Tujuan dan Bentuk Ilmu dari Masing-masing Paradigma
Metode kualitatif dapat digunakan untuk penelitian baik dengan paradigma positivis
maupun paradigma interpretivis, kritis, posmodernis, dan spiritualis.
Perbedaan Paradigma, Metode, dan Orientasi Penelitian
Sedangkan untuk desain penelitian spiritualis tidak memiliki metode yang baku
sebagaimana yang ditemukan pada penelitian positivis maupun non-positivis lainnya. Metode
yang digunakan sepenuhnya mengikuti gerak spirit (ruh) dalam diri peneliti. Komunikasi
dengan Tuhan melalui zikir, doa, dan tafakur merupakan bagian yang sangat penting untuk
mendapatkan inspirasi (ilham). Setiap langkah penelitian, yang tidak selalu berurutan,
mengikuti hasil komunikasi dengan Tuhan melalui spirit peneliti (triyuwono, 2016).
Sumber: Neuman (2007), Eriksson and Kovalainen (2008), Creswell (2009): dimodifikasi dalam Triyuwono (2013
Pada penelitian menggunakan paradigm spiritualis, disain penelitian tidak bersifat
konkrit sebagaimana beberapa jenis penelitian sebelumnya. Untuk dapat memberikan
penjelasan yang barangkali mudah dipahami, pada tabel dijelaskan bahwa disain penelitian
yang dipakai adalah “suka-suka saya” yaitu suka-suka saya sebagai peneliti. “Suka-suka
saya” memiliki beberapa pengertian:
Sejalan dengan pemahaman di atas, secara otomatis alat yang digunakan untuk
menganalisa tidak lagi seperti penelitian-penelitian lainnya yang menggunakan teori. Dalam
konteks ini, intuisi memegang peran yang sangat penting untuk berfungsi sebagai alat
analisis. Dengan cara ini memang sangat memungkinkan bahwa konstruksi teori yang
berhasil dibangun akan memiliki kecenderungan kuat untuk mampu membangkitkan
kesadaran orang yang mempelajari dan mempraktikkannya. Rasa kehadiran Tuhan dalam
paradigma ini tentu saja antara orang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Perbedaan
tersebut sekaligus menunjukkan adanya lapisan-lapisan kesadaran dalam diri masing-
masing orang (Triyuwono, 2013).
Seni dan ilmu meracik informasi yang berfungsi sebagai doa dan dzikir
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mental, dan spiritual manusia dalam
rangka beribadah dan kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan
tenang (Triyuwono 2012).
Dengan pemahaman seperti pada definisi di atas, seorang peneliti akuntansi dari
paradigma ini akan berusaha untuk menemukan bentuk-bentuk akuntansi baru yang dapat
membangkitkan kesadaran ketuhanan.
Kajian Pustaka
Burrell, Gibson and Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational
Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann.
Chua, Wai Fong. 1986. Radical developments in accounting thought. The Accounting
Review LXI (4): 601-32.
Triyuwono, Iwan. 2012a. Perspektif, metodologi, dan teori akuntansi syari’ah. Edisi 2.
Jakarta: Rajagrafindo Press.
Chopra, Deepak dan Leonard Mlodinow. 2012. Is God an Illusion? The Great Debate
between Science and Spirituality. Rider. London.
Triyuwono, I. (2015b). Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal
Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 290–303.