Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
untuk diambil telurnya. Asal mula ayam petelur adalah berasal dari ayam hutan dan
itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun
demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar.
Persilangan dan seleksi dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur
seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan
Tipe petelur ringan dapat juga disebut ayam petelur putih. Ayam
petelur ini mempunyai ciri-ciri badan yang ramping, warna bulu putih
bersih, mata bersinar dan memiliki jengger yang berwarna merah. Pada
umumnya berasal dari galur murni White Leghorn. Ayam jenis petelur
putih ini mampu bertelur sampai 260 butir/tahun. Sebagai petelur, ayam
ini hanya diarahkan khusus untuk bertelur saja, karena dagingnya hanya
sedikit. Ayam jenis ini tidak tahan (sensitif) terhadap cuaca panas dan
suara ribut. Ayam ini mudah kaget dan hal tersebut akan berakibat
Ayam ini memiliki bulu dan telur yang berwarna coklat. Produksi telur
cukup banyak dan menghasilkan cukup banyak daging. Oleh karena itu
ayam ini disebut juga ayam tipe dwiguna (Krista dan Harianto, 2013).
Ada berbagai strain ayam yang kini banyak beredar atau pernah berdar di
ayam Parent Stock atau Grand Parent Stock yang memproduksi DOC tingkatan
Final Stock guna menyuplai para peternak. Ayam Final Stock diperoleh melalui
terlebih dahulu. Dari strain-strain murni yang diperoleh, kemudian disilangkan, dan
dari hasil persilangan ini, kemudian disilangkan lagi. Dengan demikian, bibit yang
dihasilkan pada tahapan tertentu merupakan hibrida double cross, yaitu hibrida
Jika ayam strain A jantan dan strain B betina dikawinkan, dan dari hasil
seperti Pure Line Stock, Fondation Stock, Grand Parent Stock,Parent Stock, dan
1. Laju pertumbuhan ayam ras petelur sangat pesat. Pada umur 4,5-5,0 bulan
1,7 kg. Pada umur tersebut, sebagian dari kelompok ayam tersebut sudah
2. Kemapuan berproduksi ayam ras petelur cukup tinggi yaitu antara 200-280
3. Kemapuan ayam ras petelur dalam memanfaatkan ransum pakan sangat baik
4. Periode bertelur ayam ras petelur lebih panjang, bisa berlangsung selama
13-14 bulan, atau hingga ayam berumur 19-20 bulan. Walaupun ayam ras
tersebut berlangsung sangat panjang dan produktif. Hal ini disebabkan oleh
2. Tuntutan hidup ayam ras petelur tinggi, yaitu selalu menuntut pakan dalam
jumlah dan kualitas yang tinggi, air minum yang cukup dan
(Sudarmono, 2003).
1. Fase Starter
pembelahan dan pertumbuhan sel yang tinggi. Sehingga pada fase ini
terjadi morbiditas (angka sakit) dan mortalitas (angka kematian) yang tinggi
memeberi makan, memberi air minum yang dicampur dengan anti stres dan
2. Fase Grower
Secara umum masa grower ayam petelur mulai umur 5-18 minggu,
akan tetapi untuk masing-masing galur ayam petelur tidak sama. Pada fase ini
target yang ingin dicapai antara lain kontrol berat badan dengan uniformitas-
pullet agar dapat meningkatkan konsumsi pakan pada saat awal fase layer.
Kegiatan yang harus dilakukan untuk dapat mencapai target tersebut meliputi:
teknik pemberian pakan dan minum, kontrol berat badan dan keseragaman,
12
2009).
3. Fase Layer
Fase layer dimulai sejak ayam petelur mulai berproduksi hingga masa
afkir. Ayam petelur dari awal produksi (16-35 minggu) digolongkan dalam
fase layer I sedangkan dari akhir puncak produksi hingga afkir di sebut fase
(Ardana, 2009).
2.2.1 Etiologi
2014). Orthomyxoviridae berasal dari bahas Yunani yaitu orthos yang berarti
benar-benar atau sangat dan myxa yang berarti lendir. Virus ini mempunyai envelop
dan genomnya bersegmen delapan dengan RNA berserat tunggal polaritas negatif
(ss(-)RNA) (de Jong, 2006). Perbedaan sifat antigenik yang terdapat pada
nucleoprotein (NP) dan pada protein matriks (M) dari virus influenza dijadikan
dasar untuk mengklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu influenzavirus tipe A, B dan
C. Virus influenza tipe A dan B memiliki delapan segmen RNA, sedangkan pada
dan 10 subtipe NA (N1-N10) dari genom virus influenza tipe A. Subtipe terbaru ini
berhasil diidentifikasi dari kelelawar dengan subtipe H17N10 (Tong et al., 2012).
dalam proses awal infeksi virus yang mampu mengaglutinasi sel darah merah
mengikuti siklus replikasi virus dalam sel inang (Matrosovich et al., 2004).
2.2.2 Morfologi
(bulat) dengan garis tengah rata-rata 120 nm sampai berbentuk filament (Kencana,
2012). Permukaan virus AI dilapisi oleh dua lapisan lipid dengan tonjolan-tojolan
glikoprotein yang panjangnya 10-14 nm dan diameter 4-6 nm. Penonjolan tersebut
adalah HA dan NA, sedangkan nukleokapsidnya berbentuk heliks (de Jong, 2006).
virus yang berbeda. Struktur protein dalam suatu virion virus AI dapat dibagi
(NA) dan protein ion chanel membrane (M2), untuk protein dalamnya meliputi
14
nukleoprotein (NP), protein matriks (M1), dan tiga protein polimerase kompleks:
Polimerase basik-1 (PB1), Polimerase basik-2 (PB2) dan polimerase asidik (PA).
(de Jong, 2006). Dua protein tambahan oleh virus AI adalah protein nonstructural
1 (NS1) dan protein nonstructural 2 (NS2), yang dikenal sebagai nuclear export
protein (NEP) (O’Neill et al., 1998). Ilustrasi struktur virus Avian Influenza dapat
dalam Shalat (2008), virus Avian Influenza bertahan hidup dalam air dengan suhu
22o C dan pada suhu 0o C selama 30 hari. Pada daging ayam akan mati pada
pemanasan 80o C selama 1 menit, dan pemanasan 60o C selama 4,5 menit. Virus AI
dapat bertahan dalam debu kering selama 14 hari, dalam kotoran (mannure) cair
selama 105 hari, dalam feses selama 30-35 hari pada suhu 4o C, dan tahan selama 7
Selain pemanasan, virus Avian Influenza juga sangat cepat mati oleh zat
kimia tertentu seperti formaldehid, beta propiolakton, binaria etilenium, fenol, ion
seperti sodium deoksikolat dan sodium dodesisulfat dapat juga digunakan untuk
inaktivasi virus karena amplopnya tersusun atas lemak (Swayne dan Halvorson,
2003)
Struktur antigen virus influenza dapat berubah secara bertahap karena sifat
Virus Avian Influenza merupakan virus RNA yang memiliki enzim RNA-
Polimerase yang berperan dalam pose replikasi virus. Dalam proses replikasi,
penyusunan RNA (Webster dan Hulse, 2004). Drift antigenik terjadi oleh adanya
dan/atau NA. Shift antigenik terjadi oleh adanya perubahan struktur antigenik yang
bersifat dominan pada antigen permukaan HA dan NA. Virus influenza unggas
lebih jarang mengalami drift antigenik dibandingkan virus influenza pada mamalia
(Tabbu, 2000).
16
2.2.5 Epidemiologi
morbiditas dan mortalitas yang sangat bervariasi. Virus Avian Influenza masuk ke
dalam populasi secara berkala melalui antara spesies dan dari unggas liar (Swayne,
isolasi, dan identifikasi virus (WHO, 2002). Deteksi antibodi melalui kajian
VAI (Budiharta dan Suardana, 2007). Uji standar deteksi antibodi terhadap virus
Italia yang menyebakan kematian yang sangat tinggi pada unggas dan dikenal
sebagai fowl plaque. Pada tahun 1918 di Spanyol, terjadi kejadian luar biasa virulen
Peristiwa epidemiologik terjadi pada tahun 1957 (H2N2) dan 1968 (H3N2),
keduanya berasal dari Asia yang menyebabkan kematian 1 juta orang (Mulyadi dan
Prihatini, 2005). Kejadian Avian Influenza pada ayam telah dilaporkan di Amerika
Utara pada tahun 1929; USA tahun 1975 dan terakhir pada tahun 1986. Kejadian
kejadian dan penyebaran virus Avia Influenza pada unggas, maka diperkirakan
bahwa sejumlah virus menyebar ke seluruh dunia melalui burung yang berpindah
unggas domestik, serta hewan mamalia liar dan hewan ternak dalam lingkungan
yang beragam (Swayne, 2008). Hospes alami dari virus AI adalah unggas air yang
tergolong ke dalam orde Anseriformes seperti itik dan angsa, dan Charadriformes
seperti gulss dan shorebirds yang bertindak sebagai karier dari beberapa subtipe
virus influenza A. Pada inang alami terutama unggas air virus AI tidak
menimbulkan gejala klinis tetapi virus tetap mengalami evolusi yang ditandai
dengan terjadinya mutasi secara terus-menerus. Pada inang ini virus AI bereplikasi
secara efisien dan mengeluarkan virus dalam jumlah yang besar (Kencana, 2012).
Di Indonesia Virus AI pertama kali dapat diisoloasi dari unggas air tahun
1983 (Ronoharjo, 1983). Setelah berhasil teridentfikasi, tidak ada penelitain lebih
lanjut mengenai hal tersebut. Wabah Avian Influenza di Indonesia pertama kali
terjadi pada bulan Agustus 2003 di Kabupaten Pekalongan dan Tanggerang. Wabah
ini menyerang ayam ras petelur dan pedaging, burung puyuh, ayam buras dan itik.
Angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) kasus ini mencapai
90% (Dharmayanti, et al., 2006). Kemudian dari wabah tersebut telah berhasil
sebagai virus Avian Influenza subtipe H5 (Wiyono et al., 2004). Wabah AI pada
unggas di Indonesia, masih terus terjadi dengan frekuensi berbeda. Sampai April
satu propinsi yang dinyatakan bebas AI yaitu Provinsi Maluku Utara. Penularan
zoonosis ke manusia dilaporkan pertama kali di Provinsi Jawa Barat Pada Juli 2005
Masa inkubasi penyakit AI sangat tergantung pada dosis virus, rute kontak,
dan spesies unggas yang terserang. Umumnya masa inkubasi penyakit AI pada
unggas berkisar 2 sampai 3 hari. Ayam dan kalkun merupakan hewan yang sangat
peka terhadap virus Avian Influenza, sedangkan itik dan angsa dianggap sebagai
karier tanpa atau sedikit menunjukan gejala penyakit (Lennstrom, 2009). Gejala
Unggas yang mengalami sakit menunjukan gejala yang beragam, mulai dari
gejala ringan sampai sangat berat. Hal ini bergantung keganasan virus, lingkungan,
dan keadaan unggas sendiri (Mulyadi dan Prihatini, 2005). Gejala awal dapat
(Elbarkley et al., 2015). Unggas yang sakit menunjukan keadaan depresi, bulu
rontok dan disertasi suhu tubuh yang tinggi, kondisinya sangat lemah dan jalannya
sempoyongan, sering kali duduk dan beridiri dalam keadaan setengah tidur atau
mengantuk dengan kepala menyentuh tanah (Sardjana, 2013). Kulit pial dan
(petekhi), perdarahan subkutan dan edema pada daerah kaki yang tidak berbulu
sehingga sering disebut sebagai ayam kerokan. Mengorok yang disertai dengan
keluarnya eksudat encer dari rongga hidung dan diare sering dijumpai. Kemudian
gejala saraf juga sering ditemukan dengan tanda klinis tremor, inkoordinasi, dan
tortikolis. Gejala gangguan pernafasan berupa batuk dan bersin. (Damayanti et al.,
2004 ; Lennstrom, 2009 ; Mulyadi dan Prihatini, 2005). Pada kasus AI dengan
19
infeksi sekunder misalnya oleh penyakit ND, penyakit bakteri, atau kondisi
kandang dengan ventilasi yang buruk gejala klinis yang muncul lebih parah
(Kencana, 2012).
Gambar 2.3 Gejala Klinis : A menunjukan perdarahan dan cyanosis pada jengger dan pial;
B menunjukan perdarahan pada lapisan subkutan telak kaki. (Damayanti et
al., 2004)
1. Perubahan Makroskopis
dan derajat keparahannya dan tergantung pada spesies unggas dan patogenesis virus
influenza terlibat. Selain itu perubahan makroskopik pada unggas yang terserang
Avian Influenza kerap kali diikuti oleh lesi yang ditimbulkan oleh bakteri, sehingga
perubahan yang ditemukan mungkin merupakan akibat dari infeksi virus Avian
Kelainan PA yang paling menyolok yaitu cyanosis pada kulit kepala dan
jengger, perdarahan subkutan pada kaki yang tidak berbulu, perdarahan difusi pada
lapisan kulit tubuh bagian sentral mulai dari toraks hingga abdomen dan perdarahan
umum pada seluruh organ ayam. Petekhi tampak pada perikardium, myokardium
dan mukosa proventrikulus. Selain itu limpa sedikit membengkak dan hati
20
mengalami perdarahan, nekrosis dan sangat rapuh (Damayanti et al., 2004 ; Garjito,
2013 ; Sardjana, 2013). Edema pada bagian submandibula, petekhi pada lemak
bagian serosa usus terdapat lesi hemoragi, perdarahan ovarium dan oviduk, serta
testis dan ginjal mengalami hemoragi. Paru-paru mengalami hemoragi dan dipenuhi
2. Perubahan Mikroskopis
dengan peradangan non supuratif yang ditandai dengan infiltrasi sel radang jenis
limfosit pada semua organ internal ayam. Diagnosis morfologi yang terlihat berupa
dermatitis pada pial, jengger dan telapak kaki, ensefalitis yang disertai degenerasi
dan nekrosis myelin pada otak, trakheitis, myositis haemoragika pada otot dada dan
21
nekrosis pada hati, peradangan pada ginjal dan perdarahan pada ovarium. Selain
lesi tersebut di atas, gambaran HP yang selalu ditemui yaitu vaskulitis pada kulit
pial dan jengger, otak, paru-paru dan ginjal (Damayanti et al., 2004).
Gambar 2.5 Perubahan Mikroskopis: A menunjukkan perdarahan pada lapisan dermis dan
subkutis kulit jengger; B menunjukkan perdarahan pada lapisan mukosa
trakhea, C menunjukkan perdarahan pada lapisan epikardium jantung, D
menunjukkan perdarahan dan nekrosis pada jaringan organ hati, pewarnaan
H&E. Untuk D, perbesaran 6,3 x 10 (Damayanti et al., 2004)
virus Avian Influenza H5N1 menunjukan trakea mengalami edema dan deskuamasi
epitel mukosa. Perubahan patologis sistem respirasi juga ditemukan pada organ
terjadinya kongesti dan deplesi limfoid folikel tahap awal. Berkurangnya sel-sel
bagi hewan akibat daya tahan yang semakin menurun. Histopatologis organ bursa
fabricius pada ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1 menunjukkan
perubahan yang moderat. Limfoid folikel terjadi deplesi dan ditemukan fibrosis
yang mengisi ruang plika limfoid folikel (Setiyono dan Bermawie, 2014).
pengendalian lalu lintas ternak, serta monitoring terhadap unggas sakit (Kencana,
2012).
2.2.8.1 Biosekurti
pengawasan lalu lintas dan tindak karantina (isolasi) lokasi peternakan tertular dan
(desinfeksi). Virus Avian Influenza mudah mati oleh panas, deterjen dan berbagai
pekerja harus sehat. Kemudian lalu lintas keluar -masuk kandang termasuk orang
23
dan kendaraan harus secara ketat dimonitor. Area peternakan yang sehat diciptakan
dengan program desinfeksi secara teratur serta menerapkan kebersihan pada saat
bekerja, misalnya dengan memakai sarung tangan, masker, dan sepatu panjang
2.2.8.2 Vaksinasi
memberantas wabah penyakit Avian Influenza (Deptan, 2004). Apabila wabah telah
terjadi disuatu daerah dengan populasi ayam yang padat dan pelaksanaan
sesuai dengan sistem industri modern, maka tindakan vaksinasi harus menjadi
diharapkan dari vaksinasi ini adalah untuk menurunkan derajat kerentanan terhadap
infeksi dan menurunkan jumlah virus yang tercurah kedalam suatu lingkungan
(Prima, 2007) .Vaksinasi dilakukan terhadap hewan yang sehat, terutama yang
berada disekitar peternakan ayam yang terkena wabah ini dilakukan untuk
memberikan kekebalan pada ayam supaya tidak mudah tertular (Yudhastuti dan
Sudarmaji, 2006).
melalui diagnosa secara klinis dan patologi anatomis oleh dokter hewan. Kemudian
depopulasi dilakukan terhadap unggas hidup yang tertular dan unggas sehat yang
24
prosedur pemotongan unggas yang berlaku. Tahapan yang kedua adalah disposal,
yaitu prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap unggas mati
(bangkai), karkas, telur, kotoran (feses), bulu, alas kandang (sekam), pupuk atau
pakan ternak yang tercemar serta bahan dan peralatan terkontaminasi lainnya yang
utama dari tindakan ini adalah untuk memutuskan siklus penyakit (Yudhastuti dan
Sudarmaji, 2006).
Pada daerah bebas/terancam apabila timbul kasus Avian Influenza dan telah
out) yaitu memusnahkan seluruh ternak unggas yang sakit maupun yang sehat pada
peternakan tertular dan juga terhadap semua unggas yang berada dalam radius 1 km
telur (tetas dan konsumsi) dan produk unggas (karkas/daging unggas dan hasil
olahannya) serta limbah peternakan (Deptan, 2004). Daging, telur, dan karkas
unggas perlu diawasi untuk mencegah penyebaran virus yang masih aktif dan
menempel pada produk tersebut. Jika produk mengandung virus yang masih aktif
olahannya) harus disertai dengan surat keterangan dari Dokter Hewan Pemerintah
25
dan kesehatan hewan di provinsi (Deptan, 2004). Kiriman unggas yang dipesan dari
luar daerah tempat pemesan perlu dipantau dan diperiksa. Hal ini dilakukan untuk
mencegah masuknya bibit endemik dari luar daerah. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengamati kondisi fisik, kesehatan hewan serta melakukan uji laboratorium sampel
2006).
2.2.8.5 Monitoring
penanggulangan wabah penyakit flu burung yang telah dilakukan serta diikuti
vaksin ke dalam tubuh dengan tujuan menggertak tubuh agar secara aktif
membentuk zat kebal. Vaksin AI yang digunakan adalah vaksin inaktif homolog
atau vaksin yang disiapkan dari autogenous yakni vaksin dengan subtipe virus yang
sama dengan virus penyebab penyakit untuk unggas yang akan dilindungi (Lee,
wabah AI di Indonesia. Vaksin homolog ini mengandung virus mati dengan tipe
H5N1, yaitu tipe yang sama dengan tipe wabah AI di Indonesia (Sudarisman, 2006).
Menurut Balqis et al. (2011) vaksin homolog isolat lokal H5N1 memberikan hasil
rataan titer antibodi pada bulan ke-1, ke-2, dan ke-3 pascavaksinasi masing-masing
25,15, 25,65, dan 24,70. Vaksin homolog tersebut bersifat protektif karena
klinis dan kematian, mengurangi shedding virus lapangan jika unggas yang
divaksin terserang AI, dapat mencegah penularan kontak dengan virus lapangan,
dengan ulangan, melindungi terhadap tantangan dosis rendah sampai tinggi dari
virus lapangan, melindungi terhadap adanya perubahan pada virus lapangan dan
Program vaksinasi ayam AI pada ayam petelur: umur 29 hari diberikan 0,5
ml secara injeksi dibawah kulit pada pangkal leher, umur 15 minggu diberikan 0,5
ml dibawah kulit pada pangkal leher atau pada otot dada, dan umur 36 minggu 0,5
ml pada otot dada (Ardana, 2009; Deptan 2004). Program vaksinasi AI yang baik
yang baik. Menurut Sudarisman (2006), keseragaman sangat baik untuk CV kurang
dari 30%, sedang untuk CV antara 30 sampai 50%, kurang untuk CV di atas 50%.
27
1. Faktor Vaksin
2. Faktor Hewan
akan terjadi netralisasi vaksin. Selain itu vaksinasi pada hewan yang
terinfeksi parasit berat, stress, malnutrisi, sakit atau dalam masa inkubasi
(Anon, 1982).
28
3. Vaksinator
Bisa juga vaksin diberikan sesuai dosis yang dianjurkan, tetapi tidak
asing yang masuk dan menginfeksi tubuh. Sistem kekebalan ayam merupakan suatu
atau bahan organik berbahaya. Sistem kekebalan tubuh pada ayam berupa sistem
kekebalan non spesifik (alami) dan sistem kekebalan spesifik (adaptif). Mekanisme
kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya,
menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi (Suryani, 2015).
Immunity) dalam arti bahwa respon terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh
sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut (Kresno, 2000). Respon imun
spesifik adalah respons imun dapatan (aquired) yang timbul terhadap antigen
29
tertentu sehingga dapat melindungi hewan terhadap agen infeksi yang sudah pernah
kekebalan perolehan secara aktif ada pula yang secara pasif. Kekebalan secara pasif
dapat diperoleh dari induk yang dikenal dengan nama antibodi maternal. Sedangkan
kekebalan aktif dapat diperoleh akibat rangsangan agen baik karena infeksi maupun
melalui vaksinasi (Kresno, 2000). Infeksi oleh virus Avian Influenza dan imunisasi
dengan vaksin menimbulkan respon antibodi humoral pada kedua tingkat sistemik
dan mukosa. Kondisi ini termasuk respons imun IgM sistemik selama lima hari
pascavaksinasi, dilanjutkan dengan cepat oleh respon IgG (Swayne dan Halvorson,
2003).
bertemu dengan makrofag yang akan berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells
mengenali antigen yang berikatan dengan MHC II. Sel T cytotoxic atau sel T
keluarnya sitokin yang merupakan alat komunikasi antar sel. Kemampuan interaksi
ini akan menginduksi pematangan sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan
imun sekunder dimana individu bersangkutan sudah pernah terpapar antigen, akan
antibodi lebih cepat dan titer yang lebih tinggi serta bertahan lama. Hal ini
berhubungan dengan sel-sel yang yang telah tersensitisasi oleh antigen yang disebut
sel memori. Antibodi yang terbentuk akan berikatan dengan permukaan virus untuk
mencegah virus melekat dan masuk ke dalam sel inang dan fagositosis akan lebih
Uji HI pertama kali diperkenalkan oleh Hirst pada tahun 1942 dan kemudian
dimodifikasi oleh Salk pada tahun 1944 menggunakan plate mikrotiter. Adanya
ikatan antara antibodi dan antigen menghalangi ikatan molekul HA virus dengan
kemudian dijadikan dasar dalam uji hambatan hemglutinasi (WHO, 2002). Uji HI
menentukan kekebalan hewan terhadap satu agen (virus) melalui pengukuran titer
Kesehatan Provinsi Bali sendiri telah menyatakan tiga kabupaten di Bali positif
tertular virus flu burung, salah satunya yaitu Kabupaten Tabanan (Cahyani dan
flu burung yaitu sebanyak 34 banjar di 29 desa (Lestari, 2009). Pada tahun 2012
ratusan ayam milik pengusaha ternak ayam mati mendadak di Kecamatan Penebel
melindungi unggas petelur apabila terdapat infeksi alami dari virus Avian Influenza.
Antibodi spesifik yang terbentuk akan dapat mengenali protein Hemaglutinin (HA)
dan Neuraminidase (NA) dari virus sehingga ketika terjadi paparan virus antibodi
ini akan segera mengikat protein tersebut dan virus tidak dapat berikatan dengan sel
tubuh hewan.
lain: faktor vaksin, faktor hewan dan vaksinatornya. Faktor vaksin meliputi: mutu
vaksin, dosis (virus content) vaksin, aplikasi vaksin dan faktor hewan meliputi:
seperti ini akan dapat menghambat upaya pemberantasan penyakit Avian Infulenza
di Indonesia.
32
hambatan hemaglutinasi (HI). Ayam yang mencapai titer 24 atau lebih pada titer
memiliki titer di bawah 24 maka serum tersebut dinyatakan tidak protektif terhadap
serangan Avian Influenza (OIE, 2000). Melihat potensi ternak unggas petelur di
penyakit flu burung di daerah tersebut, sangat penting untuk dilakukan kegiatan
Vaksinasi AI
Titer
Antibodi
Protektif Non-
Protektif
Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian