Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kohesivitas Kelompok

1. Pengertian

Kohesivitas kelompok adalah kekuatan dalam ikatan yang menghubungkan

anggota terhadap kelompok (Forsyth, 2010). Robbins dan Judge (2009)

menyatakan kohesivitas kelompok sebagai tingkat dimana para anggotanya

saling tertarik dan termotivasi untuk tinggal dalam kelompok tersebut. Walgito

(2007) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah saling tertariknya atau

saling senangnya anggota satu dengan yang lain dalam kelompok. Diperkuat

dengan pernyataan Taylor, Peplau dan Sears (2009), Kohesivitas kelompok

adalah suatu daya, baik positif maupun negative yang menyebabkan anggotanya

tetap bertahan dalam suatu kelompok

Sejalan dengan pengertian peneliti sebelumnya, Mudrack (Bachroni, 2011)

menyatakan kohesivitas kelompok sebagai keinginan anggota kelompok sebagai

satu kesatuan. Menurut Festinger dkk (Sarwono, 2005) menyatakan kohesivitas

kelompok adalah ketertarikan terhadap kelompok dan anggota kelompok

kemudian dilanjutkan dengan interaksi spesial dan tujuan-tujuan pribadi yang

menuntut saling ketergantungan. Kohesivitas kelompok adalah proses dinamis

dimana kelompok cenderung tetap bersama-sama dan bersatu dalam mengejar

tujuannya untuk kepuasan kebutuhan afektif dari anggota kelompok (Carron,

2002). Lebih lanjut dijelaskan oleh Faturochman (2006) bahwa kohesivitas

kelompok adalah tingkat sejauh mana kelompok ingin tetap

mempertahankan keanggotaannya atau merupakan ukuran seberapa

14
menariknya kelompok ini bagi individu, juga dapat diartikan sebagai rasa

tanggung jawab dan rasa senang pada kelompok. Kelompok yang memiliki

kohesivitas yang tinggi maka para anggotanya memiliki tanggung jawab,

memiliki ketertarikan yang kuat pada kelompok dan biasanya tampil sebagai

kelompok yang kompak.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian kohesivitas

kelompok adalah suatu ketertarikan anggota kelompok untuk tetap bersatu, tetap

menjadi bagian dari kelompok dan bekerjasama mencapai tujuan kelompok.

2. Aspek dan Dimensi Kohesivitas

Kohesivitas kelompok memiliki dua aspek penting yaitu kohesivitas sosial dan

kohesivitas tugas. Kohesivitas sosial merujuk pada kesukaan antar anggota tim

dan kesenangan antara anggota tim dengan tim yang dimiliki atau dapat

dikatakan dimensi ini lebih bersifat pada ketertarikan interpersonal. Sedangkan

kohesivitas tugas mempresentasikan kerjasama anggota tim untuk

melaksanakan suatu tugas tertentu dan spesifik. Dimensi ini lebih mengarah

pada tujuan atau sasaran yang telah ditentukan.

Menurut Widmeyer, Brawley dan Carron kohesivitas merupakan konsep

multidimensional yang memiliki dua teori utama yaitu pertama, keterpaduan tim

(group integrations) yang mengacu pada persepsi anggota terhadap kelompok

sebagai sebuah totalitas. Kedua, ketertarikan individu terhadap kelompok

(individual attractions to the group) yang menunjukkan ketertarikan anggota

secara personal pada kelompok (Carless & De Paola, 2000). Kemudian dari

kedua kategori tersebut dijabarkan kembali kedalam orientasi tugas dan orientasi

15
sosial. Sehingga ada empat dimensi kohesivitas kelompok yang dikemukakan

oleh Widmeyer, dkk, yaitu :

a. Integrasi kelompok tugas. Yaitu persepsi anggota kelompok dari masing-

masing individu tentang kesamaan dan kedekatan dalam kelompok

tentang mencapai tugas. Dimensi ini dapat dikaitkann dengan

pengaplikasian dalam kehidupan pekerjaan sehari-hari yang dapat

menggambarkan persepsi masing-masing anggota kelompok mengenai

kedekatan dan kesamaan dalam mencapai tugas bersama.

b. Integrasi kelompok sosial. Yaitu persepsi yang dapat mencerminkan

anggota kelompok mengenai adanya kedekatan dan ikatan yang

dilakukan bersama dalam kegiatan sosial. Dimensi ini dapat dikaitkan

dengan pengaplikasian dalam kehidupan pekerjaan sehari-hari yang

dapat menggambarkan persepsi masing-masing individu mengenai

kegiatan sosial yang dilakukan bersama anggota lain agar lebih dekat

sehingga memiliki ikatan dalam kelompok.

c. Ketertarikan individu kepada kelompok tugas. Yaitu menggambarkan

perasaan anggota kelompok tentang keterlibatan pribadi dalam tugas

kelompok. Dimensi ini dapat dikaitkan dengan pengaplikasian dalam

kehidupan pekerjaan sehari-hari yang dapat menggambarkan perasaan

individu mengenai keterlibatannya dalam menyelesaikan tugas kelompok

secara bersama-sama.

d. Keterlibatan individu kepada kelompok sosial. Yaitu menggambarkan

perasaan kelompok tentang keterlibatan pribadi dalam interaksi sosial

kelompok. Dimensi ini dapat dikaitkan dengan pengaplikasian dalam

kehidupan pekerjaan sehari-hari yang dapat menggambarkan perasaan

16
individu mengenai keterlibatannya dalam interaksi sosial kelompok secara

bersama-sama.

Berdasarkan uraian di atas, aspekr kohesivitas kelompok yang digunakan

yaitu aspek kohesivitas kelompok dari Widmeyer dkk (Carless & De Paola, 2000)

meliputi : integrasi kelompok tugas, integrasi kelompok sosial, ketertarikan

individu dalam kelompok tugas dan ketertarikan individu pada kelompok sosial.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kohesivitas kelompok

Gordon, dkk (1990) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi

tingkat kohesivitas sebuah kelompok antara lain :

a. Tingkat ancaman baik fisik maupun psikologis yang dihadapi kelompok.

Suatu kelompok yang bekerja dibawah resiko ancaman bahaya yang

tinggi akan cenderung lebih untuk memperlihatkan tingkat kohesivitas

yang lebih tinggi.

b. Frekuensi kontak antar anggota kelompok. Sebuah kelompok yang

anggotanya jarang berkomunikasi satu sama lain tidak akan

memperlihatkan kohesivitas sebaik kelompok-kelompok yang mempunyai

frekuensi komunikasi yang tinggi antar anggotanya.

c. Tingkat heterogenitas dan homogenitas anggota kelompok. Sebuah

kelompok yang anggotanya terdiri atas individu-individu dengan ras, usia

dan jenis kelamin yang sama akan memunculkan kohesivitas yang lebih

tinggi daripada suatu kelompok yang anggotanya terdiri atas individu

dengan berbagai latar belakang berbeda. Kohesivitas sebuah kelompok

akan semakin berkurang seiring makin beragamnya karakteristik dari

individu-individu yang berada dalam kelompok.

17
d. Pemenuhan kebutuhan anggota. Apabila dengan menjadi anggota

sebuah kelompok dapat memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan

anggota kelompok akan mempunyai keinginan yang lebih kuat untuk

tetap menjadi bagian dari kelompok.

e. Ukuran kelompok. Kohesivitas dalam kelompok yang berukuran kecil

akan lebih tinggi daripada kelompok dengan jumlah anggota banyak.

Pada kelompok yang berukuran besar terdapat berbagai kepentingan dan

berhubungan antar anggota yang seragam sehingga menurunkan taraf

kohesivitas.

Berdasar penjabaran sebelumnya maka diketahui bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kohesivitas kelompok adalah Tingkat ancaman baik fisik maupun

psikologis yang dihadapi kelompok, frekuensi kontak antar anggota kelompok,

tingkat heterogenitas atau homogenitas kelompok, pemenuhan kebutuhan

anggota dan ukuran kelompok.

4. Ciri-ciri Kelompok Kohesif

Johnson dan Johnson (Prakosa, 2008), kelompok yang dapat dikatakan

kohesif memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

a. Anggota kelompok kohesif menghadiri pertemuan lebih tepat waktu dan

menetap sebagai anggota dalam waktu yang lebih lama daripada

kelompok yang tidak kohesif.

b. Anggota kelompok yang kohesif lebih siap berpartisipasi dalam

pertemuan kelompok daripada yang tidak kohesif.

c. Anggota kelompok yang kohesif menempatkan nilai yang lebih besar

pada tujuan kelompok dan menempatkan diri lebih dekat pada norma

kelompok daripada kelompok yang tidak kohesif.

18
d. Anggota kelompok lebih sering berkomunikasi secara efektif dalam

kelompok kohesif.

e. Kelompok kohesif menjadi sumber keamanan bagi anggota kelompok

karena telah menyediakan pengurangan kecemasan dan menambah

harga diri.

f. Anggota kelompok yang kohesif lebih sering bertanggungjawab, bertahan

lebih lama dalam bekerja untuk mencapai tujuan yang sulit, lebih

termotivasi untuk menyelesaikan tujuan kelompok, dan lebih nyaman

bekerja dalam kelompok.

B. Konseling Kelompok

1. Pengertian

Konseling kelompok (group counseling) menurut Latipun (2006) adalah salah

satu bentuk terapi yang berhubungan dengan pemberian bantuan berupa

pengalaman penyesuaian dan perkembangan individu. Prosesnya melibatkan

pembicaraan konselor dengan beberapa konseli dengan memanfaatkan

kelompok untuk membantu, memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman

belajar, dan dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika kelompok

(group dynamic). Menurut Gazda (Latipun, 2006) konseling kelompok merupakan

hubungan antara konselor dengan beberapa klien dengan maksud memberikan

dorongan dan pemahaman kepada klien untuk memecahkan masalah yang

dihadapi dalam prosesnya berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang

disadari.

Konseling kelompok menurut Corey (Winkel&Hastuti, 2008) merupakan

proses layanan konseling secara berkelompok dengan mengaktifkan dinamika

19
kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan

pribadi dan pemecahan masalah individu anggota kelompok. Astuti (2012)

mengutarakan bahwa konseling kelompok merupakan bentuk khusus dari

layanan konseling, yaitu proses konseling antara konselor profesional dengan

beberapa konseli sekaligus yang tergabung dalam sebuah kelompok kecil pada

waktu yang sama.

Berdasarkan pada beberapa pengertian konseling kelompok menurut para

ahli sebelumnya, maka dapat peneliti simpulkan konseling kelompok adalah

uapaya bantuan kepada individu, dalam prosesnya melibatkan interaksi antara

konselor dengan beberapa konseli dalam sebuah kelompok saling memberi

umpan balik, pengalaman belajar dan dorongan untuk membahas berbagai hal

yang berguna bagi pengembangan pribadi dan pemecahan masalah individu

anggota kelompok.

2. Tahapan Konseling Kelompok

Konseling kelompok dilakukan secara bertahap yaitu terdiri dari enam

tahapan menurut Corey (Latipun, 2006). Adapun tahapan konseling kelompok

adalah sebagai berikut :

a. Prakonseling : Pembentukan Kelompok.

Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling

kelompok. Pada tahap ini terutama pembentukan kelompok, yang

dilakukan dengan seleksi anggota dan menawarkan program kepada

calon peserta konseling skaligus membangun harapan kepada calon

peserta. Dalam konseling kelompok yang dipandang penting adalah

adanya seleksi anggota. Ketentuan yang mendasari adalah (1) Adanya

20
minat bersama, (2) Sukarela atau atas inisiatif sendiri, (3) Adanya

kemauan untuk berpartisipasi dalam proses kelompok, (4) mampu untuk

berpartisipasi di dalam proses kelompok.

b. Tahap I : Tahap Permulaan (Orientasi dan Eksplorasi)

Pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok,

mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok,

sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok. Kelompok diajak untuk:

bertanggung jawab terhadap kelompok, terlibat dalam proses kelompok,

mendorong konseli agar berpartisipasi sehingga dapat merasakan

manfaatnya. Secara sistematis, pada tahap ini langkah yang dilakukan

adalah perkenalan, agenda (tujuan yang ingin dicapai) norma kelompok

dan penggalian ide dan perasaan. Jadi pada tahap ini anggota memulai

menjalin hubungan sesama anggota kelompok. Selain memperkenalkan

satu sama lain, mereka menyusun saling kepercayaan. Tujuan

selanjutnya adalah menjaga hubungan berpusat pada kelompok dan tidak

berpusat pada ketua, mendorong komunikasi dalam iklim yang saling

menerima dan saling memberi dorongan, memiliki sikap toleran diantara

anggota kelompok terhadap perbedaan dan memberikan reinforcement

untuk masing-masing anggota.

c. Tahap II : Tahap Transisi

Pada tahap ini diharapkan masalah yang dihadapi masing-masing

konseli dirumuskan dan diketahui apa sebabnya. Anggota kelompok

mulai terbuka, tetapi sering terjadi pada fase ini justru terjadi kecemasan,

resistensi, konflik dan bahkan ambivalensi tentang keanggotaannya

dalam kelompok, atau enggan jika harus membuka diri. Tugas pemimpin

21
kelompok adalah mempersiapkan anggota kelompok untuk dapat merasa

memiliki kelompoknya.

d. Tahap III : Tahap Kerja-kohesi dan Produktivitas.

Jika masalah yang dihadapi masing-masing anggota kelompok

diketahui, langkah berikutnya adalah menyusun rencana-rencana

tindakan. Penyusunan tindakan ini disebut produktivitas (productivity).

Tahap ini ditandai dengan : konseli membuka diri lebih besar,

menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar anggota

kelompok, modeling, belajar perilaku baru, terjadi transferensi.

Kohesivitas mulai terbentuk, mulai belajar bertanggung jawab, tidak lagi

mengalami kebingungan. Anggota kelompok merasa berada dalam

kelompok, mendengar yang lain dan terpuaskan dengan kegiatan

kelompok.

e. Tahap IV : Tahap Akhir (Konsolidasi dan Terminasi)

Anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan tingkah

laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberi umpan balik

terhadap yang dilakukan oleh anggota yang lain. Umpan balik berguna

untuk perbaikan dan diterapkan dalam kehidupan. Terjadi transfer

pengalaman dalam kelompok dalam kehidupan yang lebih luas. Jika ada

konseli yang memiliki masalah dan belum terselesaikan pada fase

sebelumnya, pada fase ini harus diselesaikan. Jika semua anggota

merasa puas dengan proses konsleing kelompok, maka konseling dapat

diakhiri.

22
f. Setelah Konseling : Tindak lanjut dan Evaluasi

Berselang beberapa waktu setelah pelaksanaan konseling kelompok,

perlu dilakukan evaluasi. Tindak lanjut dilakukan jika ternyata ada

kendala-kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Mungkin diperlukan

upaya perbaikan terhadap rencana-rencana semula, atau perbaikan

terhadap cara pelaksanaannya.

Berdasarkan pada penjabaran di atas, maka peneliti akan menggunakan

tahapan-tahapan konseling kelompok milik Corey dalam menyusun modul

intervensi yaitu konseling kelompok. Tahapan-tahapan tersebut adalah

prakonseling, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir dan tahap

setelah konseling.

3. Faktor-faktor Konseling kelompok

Terdapat elemen-elemen yang harus diciptakan dan terjadi selama proses

konseling. Elemen-elemen tersebut disebut dengan faktor kuratif (curative

factors). Faktor-faktor kuratif menurut Yalom (Latipun, 2006) yaitu :

a. Membina harapan

Berarti konseli merasa optimis terhadap kemajuannya, atau berpotensial

untuk lebih baik melalui konseling kelompok. Dia menyadari bahwa

keadaannya akan lebih baik lagi dan anggota kelompok yang lain dapat

membantunya dan dia merasa bahwa selama proses konseling kelompok

telah dibantu oleh anggota yang lain dan mendapatkan kemajuan-

kemajuan.

23
b. Universalitas

Konseli beranggapan bahwa semua orang memiliki masalah dan mereka

memiliki perasaan dan keinginan yang sama untuk menghilangkan

masalah yang dialaminya.

c. Pemberian Informasi

Konseli mendapatkan informasi dan bimbingan dari konselor dan anggota

kelompok lainnya tentang pemecahan masalahnya atau hal-hal lain yang

bermakna bagi kebaikan dirinya.

d. Altruisme

Bersamaan dengan keadaannya yang lebih baik dan merasa banyak

belajar dari kegiatan konseling kelompok, terus membantu anggota lain

mengatasi masalahnya. Oleh karena itu konseli juga mendorong,

memberikan komentar dan berpendapat atau memberi nasihat kepada

anggota yang lainnya. Tukar pikiran mengenai masalah yang sama untuk

membantu anggota kelompok lainnya. Merasa dibutuhkan dan dapat

diminta bantuan dan menyadari bahwa dirinya dapat mendukung

keperluan anggota lainnya.

e. Pengulangan Korektif Keluarga Primer

Konseli menganggap konselor sebagai orang tua dan konseli lainnya

sebagai saudara berkaitan dengan mendapatkan perhatian dan belajar

perilaku baru dalam berhubungan dengan orang lain.

f. Pengembangan Teknik Sosialisasi

Konseli belajar berhubungan dengan orang lain, termasuk belajar

menerima umpan balik dari anggota lain untuk perbaikkan diri, sekaligus

24
belajarr menyelesaikan konflik, mengerti dan memahami orang lain, serta

menciptakan rasa tenggang rasa dengan anggota kelompok.

g. Peniruan tingkah laku

Konseli mendapatkan model tingkah laku yang positif dari anggota

kelompok lain dan konselor melalui observasi selama konseling

berlangsung.

h. Belajar menjalin hubungan interpersonal

Konseli belajar hal baru yaitu cara memulai berperilaku secara positif

dalam berhubungan dengan anggota kelompok. Diantaranya

mengekspresikan dirinya kepada anggota yang lain untuk menjelaskan

hubungan dirinya atau membuat eksplisit usaha-usaha dalam menjalin

hubungan dengan anggota lainnya. Konseli juga belajar sesuatu yang

baru yaitu cara merespon anggota lain yaitu dengan meningkatkan

sensitivitas atau dengan penerimaan kritik secara tepat.

i. Kohesivitas kelompok

Konseli merasa memiliki dan diterima oleh anggota kelompok, secara

terus menerus menjalin kontak dengan anggota kelompok, merasa tidak

nyaman jika sendirian. Anggota kelompok akan berusaha berinteraksi,

memberi umpan balik, dan membina hubungan dengan anggota lain.

j. Katarsis

Konseli melepaskann perasaannya yang positif maupun yang negatif

kepada anggota lain.

k. Faktor-faktor eksistensial

Konseli menyadari tentang eksistensi hidup, ada hidup sekaligus

kematian, ada dan perlu tanggung jawab, mengurusi hal-hal yang sepele

25
tetapi bermakna bagi kehidupannya dan kesemuanya ituu didiskusikan

dengan anggota kelompok yang lain sehingga diperoleh makna hidupnya.

C. Konseling Kelompok untuk meningkatkan kohesivitas

Guru-guru di TK “X” menunjukkan tingkat kohesivitas kelompok yang rendah,

terlihat dari kurang kompak atau kerjasama dalam menyelesaikan tugas bersama

kurang, sering terjadi konflik dan terkadang saling melimpahkan tanggungjawab

penyelesaian tugas, terjadi kesenjangan dan hubungan kurang harmonis antara

guru senior dan guru junior serta kurangnya intensitas berkomunikasi. Hal

tersebut menunjukkan kurangnya kohesivitas kelompok yang terjalin di kelompok

guru TK “X”.

Rendahnya kohesivitas akan mempengaruhi kinerja karena kohesivitas

kelompok kerja membuat individu merasakan kebersamaan dan menambah

semangat dalam bekerja (Nachrowi, 2012; Ginting, 2010). Dengan perkataan lain

rasa terikat secara alamiah dengan kelompok kerja yang kurang baik akan

membuat guru merasa tidak nyaman di tempat kerja sehingga kurang semangat

dalam bekerja. Ketika kelompok kerja memiliki kohesivitas tinggi maka komitmen

anggota juga tinggi (Trihapsari & Nashori, 2011). Kohesivitas kelompok guru TK

“X” harus diberikan intervensi agar komitmen guru terhadap tugasnya sebagai

pendidik tinggi sehingga guru akan mengajar dengan baik pula yang artinya

tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Kohesivitas rendah yang terjalin di TK “X” merupakan akibat dari guru-guru

yang kurang asertif. Ketika terjadi permasalahan pribadi atau penyelesaian tugas

guru lebih memilih diam menghindar atau sebaliknya menunjukkan sikap agresif.

26
Hal tersebut menunjukkan kemampuan pemecahan masalah yang kurang. Oleh

karenanya guru yang kurang asertif dan kurang mampu menyelesaikan masalah

membuat hubungan kurang dekat satu sama lain atau dengan perkataan lain

frekuensi kontak antar guru menjadi kurang, sehingga kohesivitas guru TK “X”

menjadi kurang (Gordon, dkk, 1990).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka intervensi dengan pendekatan

kelompok dapat digunakan untuk mengatasi permasalah guru-guru di TK “X”.

Karena dalam kelompok, individu akan memunculkan perilaku yang natural dan

tidak merasa memiliki masalah sendirian (Narayana, 1981). Studi mengenai

proses kelompok dapat menjadi sarana terapi, bahwa interaksi dalam kelompok

memiliki pengaruh positif untuk individual. (Latipun, 2006; Burlingame, 2002).

Interaksi kelompok dapat meningkatkan pemahaman diri dan baik untuk

perubahan tingkah laku individual serta menggunakan kelompok sebagai proses

belajar dan upaya membantu konseli dalam memecahkan masalahnya.

Terapi dengan pendekatan kelompok ada beberapa jenis, salah satunya

adalah konseling kelompok. Konseling kelompok terbukti dapat meningkatkan

kohesivitas pada siswa (Aji, 2015). Hal tersebut akan menuntut anggota

kelompok bersama-sama saling dukung dan berinteraksi mengatasi

permasalahan dalam konseling, sehingga kelompok akan semakin terlatih

sebagai satu kesatuan. Perlakuan berupa konseling kelompok melibatkan

beberapa tahapan, pembentukan kelompok, permulaan, transisi, kerja, terminasi

dan evaluasi (Corey dalam Latipun, 2006). Proses kelompok di dalam konseling

kelompok dimaksudkan sebagai gambaran tentang interaksi yang terjadi dan

teramati diantara anggota. Sejalan dengan tahapan - tahapannya, konseling

kelompok diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan interaksi antar

27
anggota, selain itu dalam proses kelompok secara bertahap akan terjadi

kohesivitas (Latipun, 2006).

Diawali pada tahapan pembentukan kelompok dan permulaan, dibutuhkan

peran pemimpin (konselor) untuk memperkenalkan dengan tepat terapi kelompok

yang akan dilakukan. Hal tersebut akan menghilangkan kebingungan calon

konseli dan akan menyebabkan tingkat kecemasan menurun sehingga

selanjutnya calon konseli akan bersedia berperan serta dan terlibat dalam

kelompok (Burlingame, 2002). Pada tahapan ini terjadi pembentukan komitmen

anggota kelompok untuk berinvestasi sendiri dalam memahami, berempati, dan

mencoba untuk membantu orang lain dalam kelompok menyelesaikan masalah

dan konflik mereka. Menurut Trad (Burlingame et. all., 2002) komitmen anggota

kelompok ini memainkan bagian penting dalam membangun hubungan dengan

anggota kelompok lain. Tahap transisi dalam konseling, Ketika anggota

kelompok mampu mentolerir konflik yang datang dalam kelompok maka akan

mengembangan kohesi awal (Burlingame, et. all, 2002).

Dinamika yang dikembangkan dalam Proses konseling kelompok adalah

konselor memberikan perhatian kepada semua konseli, demikian pula setiap

anggota kelompok (konseli) saling memberikan perhatian satu sama lain.

Dengan demikian yang tercipta adalah pola hubungan setara yaitu sesama

konseli dan konselornya membantu dalam mengelola dinamika kelompok

(Latipun, 2006). Konseli dengan berpendapat, memberi saran untuk membantu

menyelesaikan permasalahan konseli lain secara tidak disadari menunjukkan

rasa saling memberikan dukungan, perhatian dan bekerja bersama-sama untuk

mencari jalan keluar permasalahan konseli lain. Menurut Latipun pendekatan

dalam konseling kelompok yaitu pemberian dorongan (supportive) dan

28
pemahaman melalui reedukatif (insight-reeducative) menuntun konseli untuk

dapat mencapai tujuan konseling.

Tingkat kohesi dapat terbentuk dan semakin meningkat kuat ketika interaksi

kelompok berfokus pada anggota-anggota (Fuhriman dalam Burlingame, 2002)

dan ketika tema yang dibahas adalah real time atau here and now (Slavin, 1993).

Umpan balik dari sesama anggota lebih kuat daripada umpan balik anggota-

pemimpin (Burlingame, et. all., 2002). Sehingga dalam proses pelaksanaan

konseling kelompok, konselor harus memiliki ketrampilan memberi umpan balik

yang baik. Ketika Umpan balik dari anggota konseling kelompok bernada

negative, maka tugas konselor adalah menyatakan kembali sehingga dapat

didengar tanpa merusak hubungan interpersonal. Umpan balik positif mudah

diterima di setiap sesi (Stockton & Morran, dalam Burlingame, 2002).

Pengalaman konseli dalam kelompok, yaitu, rasa penerimaan dan dukungan

dari kelompoknya, merupakan aspek penting dari kohesi. Sehingga diharapkan

setelah mengikuti konseling kelompok tingkat kohesivitas anggota konseling

kelompok (guru TK “X”) akan meningkat. Hal tersebut dimaksudkan agar

komunikasi guru semakin lancar dan kompak sebagai satu kesatuan dalam

mencapai tujuan pembelajaran.

29
Identifikasi Permasalahan

Kohesivitas kelompok guru


TK “X” kurang, perilaku Kohesivitas kelompok guru
yang tampak : meningkat, perilaku yang
kurang kompak atau diharapkan tampak :
kerjasama dalam Intervensi yang Hasil yang Guru menjadi lebih kompak
menyelesaikan tugas dilakukan : diharapkan : dan saling kerjasama
bersama kurang, sering Konseling Memunculkan insight dalam menyelesaikan
terjadi konflik dan Kelompok dan menumbuhkan tugas, guru senior dan
terkadang saling rasa peduli, saling guru junior saling berbaur,
melimpahkan dukung dan saling guru-guru lebih terbuka
tanggungjawab memberi perhatian. dalam berkomunikasi dan
penyelesaian tugas, terjadi lebih meningkatkan
kesenjangan dan hubungan intensitas berkomunikasi
kurang harmonis antara dengan sering melakukan
guru senior dan guru junior agenda bersama.
serta kurangnya intensitas
berkomunikasi

Bagan 1. Kerangka berpikir penelitian


Ket . : garis alur

30
D. Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka dan analisis yang telah dilakukan sebelumnya,

maka peneliti mengajukan sebuah hipotesis penelitian : ada perbedaan tingkat

kohesivitas sebelum diberikan konseling kelompok dengan setelah diberikan

konseling kelompok. Dimana ditunjukkan dengan skor skala kohesivitas setelah

konseling kelompok lebih tinggi daripada skor skala kohesivitas sebelum

konseling kelompok.

31

Anda mungkin juga menyukai