PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan
permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus
koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah
arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung
empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui
nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang
terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus
menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran
empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih
besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus
hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus
pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus.
Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot
sirkular, dikenal sebagai Sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan
empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang
dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke
duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan
pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung
3
empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10
kali lipat daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan
mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan
ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan
pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum.
Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk
menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah
pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis).
Dua keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan.
2.4. Fisiologi Kandung Empedu
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50
ml. Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang
satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaannya tampak seperti
sarang tawon. Sel-sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak
mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris
komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke
kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
4
dalam duodenum. Garam–garam empedu dalam cairan empedu penting untuk
emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi
lemak.
5
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti
setelah operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai
resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan
resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu
lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan
kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan
ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan
kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada
makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
6
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol
keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.
Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit,
epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai
sebagai benih pengkristalan.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen
cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu.
Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi
bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E.
Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan
dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
7
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi
bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat
ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk
dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam
adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis
kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat
polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas.
Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan
empedu yang steril.
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.
8
obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat
bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat
menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat,
sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung
empedu.
2.10. Diagnosa Kolelitiasis
• Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa
nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau
terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik
nafas dalam.
• Pemeriksaan fisik
a. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
9
b. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
• Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.
Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam
duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan
banyak tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai
tes fungsi hati. Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai komponen tak
langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh, dengan sendirinya sangat
tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin serum menunjukkan
kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit
hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna
hemolisis intravaskular dan sepsis sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan
bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis intrahepatik, yang
menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder
terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau
pankreas jinak.
Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum
memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin
sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti terjadi
10
bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan
ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum
20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi
sebagian, dengan bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100
ml.
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat
transaminase) dan Aspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-
piruvat transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam konstelasi
tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum sering
menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal
atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan
dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu.
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel
saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat
karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi,
sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga
ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga
meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta.
b. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
c. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
11
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu
yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik
penyaring, tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang
bisa diketahui secara meyakinkan, tetapi kelainan lain dalam parenkim hati
atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa terbukti. Pada tahun
belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring
awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui
duktus intrahepatik berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis
ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan dilatasi duktus, maka ini menggambarkan
kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam membedakan antara
kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi
saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas
mengganggu pemeriksaan ini.
d. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum
diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral
lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
12
oral garam empedu ( asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi
tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi
kandungan kolesterol.
1. Asimptomatik
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah:
a. Pasien dengan batu empedu >2cm.
b. Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resiko tinggi
keganasan.
c. Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut.
2. Simptomatik
• Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara umum
di indikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali
13
yang terkait usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus
empiema kandung empedu, diperlukan drainase sementara untuk
mengeluarkan pus yang dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru
direncanakan kolesistektomi elektif. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan
infeksi. Langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:
a. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi
kocher, insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse.
1. Insisi kocher
7. Insisi transverse
14
Terdapat 2 metode:
a. Metode duct first
Yang pertama di diseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian
dipisahkan setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi: tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD
Kontraindikasi: adanya adhesi dan eksudat
b. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut
pada duktus sistikus.
Indikasi: adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD
• Laparoskopik kolesistektomi
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya
membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi
juga cepat. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di
rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier
yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu
tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak
dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis,
bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus
biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat
nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja
kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga.
• Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan sepsis,
yang dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah penaruhan
15
pipa drainase di dalam kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka
kolesistektomi dapat dilakukan.
• Endoscopic sphincterotomy
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada prosedur
ini kanula diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan mennggunkan
spinterectome elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter oddi dan bagian
CBD yang mengarah ke intraduodenal terbuka dan batu keluar dan diekstraksi.
Prosedur ini terutama digunakan pada batu yang impaksi di ampula vateri.
16
secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi
maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan
kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi.
2.11. Prognosis
Prognosis dari kolelitiasis adalah tergantung pada keberadaan dan tingkat
keparahan komplikasi. Diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat
mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil.
17
BAB III
STATUS PASIEN
3.2. Anamnesis
✓ Autoanam Alloanamenesis
nesis
Telaah :
18
Pasien laki-laki berumur 38 tahun, datang ke Poli BPJS bagian Digestive
Murni Teguh Memorial Hospital dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak
1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap kemudian
menghilang perlahan-lahan, selanjutnya nyeri muncul kembali. Nyeri
dirasakan dari perut kanan atas hingga bagian ulu hati namun nyeri tidak
menjalar sampai ke bahu dan punggung. Nyeri seperti ini dirasakan semakin
memberat selama 3 hari terakhir. Jika nyeri muncul pasien sampai keringat
dingin menahan rasa nyeri dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun.
Pasien biasanya hanya berbaring di tempat tidur jika serangan nyeri datang.
Nyeri dirasakan apabila pasien menarik napas dalam. Sesak dan nyeri dada
disangkal.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali, isi
makanan. Setiap kali makan pasien mengaku sering merasa mual. Pasien juga
mengalami mengatakan mengalami demam sejak 3 hari SMRS. Demam
dirasakan terus-menerus, naik-turun, dan tidak disertai menggigil. Pasien juga
mengeluhkan matanya makin hari menjadi semakin kuning sejak 1 minggu
terakhir. Nyeri saat BAB (-), darah / kehitaman(-), BAK bewarna kuning
pekat sejak 3 hari terakhir, nyeri saat BAK (-).
19
Karnofsky score : 100
Visual analoque score :7
Status Generalisata
Kepala : Normocephali (+)
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik +/+,
pupil isokor diameter ± 3mm, RC +/+.
Telinga/Hidung/Mulut : Simetris (+), sekret (+) normal, sianosis (-).
Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-), TVJ + 2cm
Toraks
Paru
Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : SF kanan = kiri, ekspansi dinding dada (+)
simetris
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : SP vesikuler (+/+), ST (-/-)
Jantung : Irama reguler (+),
BJ 1 (+), BJ 2 (+), BJ 3-4 (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris (+)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (+) di epigastric dan
hipokondrium dextra.
Perkusi : Tympani (+)
Aukultasi : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas
Superior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), fraktur (-/-)
Inferior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), fraktur (-/-)
20
3.4. Status Lokalisata
Abdomen
Inspeksi : Simetris (+), distensi (-), ascites (-),
kollateral vein (-), massa (-)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (+) di epigastric dan
hipokondrium dextra, murphy sign (+),
Distensi abdomen (-), defense muscular (-),
nyeri tekan Mc. Burney (-), hepar /lien /Ren:
tidak teraba.
Perkusi : Tympani (+) seluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Laboratorium
• Hematologi
Haemoglobin : 12.7 g/dl
Leukosit : 8.90 103/uL
21
Eritrosit : 4.11 106/uL
Trombosit : 202 103/uL
Hematokrit : 34.6 %
HbSAg : negatif (-) / non-reaktif
• Kimia Klinik
GDS : 107 mgl/dl
Bilirubin total : 14,7
Bilirubin direct : 9,39
SGOT : 41
SGPT : 80
USG
- Hati normal.
- Empedu membesar, dinding menebal 0,9 cm, pada leher empedu terdapat
batu ukuran 2,5 cm.
- Kesan: batu empedu dengan cholesistitis.
3.8. Penatalaksanaan
Kolesistektomi laparoskopik
Medikamentosa:
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Cefotaxime 1gr/8jam
22
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inj. Ondansentron 3x4 mg
3.9. Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : bonam
3.10. Follow up
S O A P
11/10/19 - Nyeri perut Sens: CM Post Op. - Inf. RL 20gtt/i
kanan atas (+) TD: 120/70 Kolesistektomi - Inj. Ceftriaxone
↓ HR: 82 x/i laparoskopi 2x1g
- Mual (+) ↓ RR: 20 x/i - Inj. Ketorolac
- Muntah (-) T: 36,8 3x30mg
- BAK (+) - Inj. Ranitidine
- BAB (-) 2x50mg/2ml
12/10/19 - Nyeri perut Sens: CM Post Op. - Aff Inf. RL
PBJ kanan atas (+) TD: 120/80 Kolesistektomi - Cefixime tab
↓↓ HR: 88 x/i laparoskopi 2x200mg
- Mual (-) RR: 20 x/i - Ranitidin tab
- BAK (+) T: 36,2 2x150mg
- BAB (-)
3.11. Resume
Pasien laki-laki berumur 38 tahun, datang ke Poli BPJS bagian Digestive
Murni Teguh Memorial Hospital dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 1
minggu SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap kemudian menghilang
perlahan-lahan, selanjutnya nyeri muncul kembali. Nyeri dirasakan dari perut
kanan atas hingga bagian ulu hati namun nyeri tidak menjalar sampai ke bahu
dan punggung. Nyeri seperti ini dirasakan semakin memberat selama 3 hari
23
terakhir. Jika nyeri muncul pasien sampai keringat dingin menahan rasa nyeri
dan tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien biasanya hanya berbaring
di tempat tidur jika serangan nyeri dating. Nyeri dirasakan apabila pasien
menarik napas dalam. Sesak dan nyeri dada disangkal.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali, isi
makanan. Setiap kali makan pasien mengaku sering merasa mual. Pasien juga
mengalami mengatakan mengalami demam sejak 3 hari SMRS. Demam
dirasakan terus-menerus, naik-turun, dan tidak disertai menggigil. Pasien juga
mengeluhkan matanya makin hari menjadi semakin kuning sejak 1 minggu
terakhir. Nyeri saat BAB (-), darah / kehitaman(-), BAK bewarna kuning pekat
sejak 3 hari terakhir, nyeri saat BAK (-). Pada pemeriksaan fisik ditemukan
sklera ikterik (+/+), nyeri tekan (+) di epigastric dan hipocondrium dextra,
murphy sign (+), pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb: 12,7g/dl,
Leukosit: 8.90 103/uL, Eritrosit: 4,11 106/uL, Trombosit: 202 103/uL.
Hematokrit: 34,6%, HBSAg: negative/ non-reaktif, GDS: 107 mg/dl, Bilirubin
total: 14,7, Bilirubin direct: 9,39, SGOT: 41, SGPT: 80. Pada pemeriksaan USG
ditemukan gambaran hati normal, empedu membesar, dinding menebal 0,9cm
dan pada dinding empedu terdapat batu ukuran 2,5cm dengan kesan batu
empedu dengan cholesistitis. Dilakukan tindakan operatif kolesistektomi
laparaskopik.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Beckingham, IJ. Gallstone disease. 2001. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall
Bladder. London: BMJ Books.
2. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell
Science; 2004.
3. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7.
Penerbit EGC. Jakarta. 2007
4. Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512.
Penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta
5. Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006
6. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 edisi 21. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003
7. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
8. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994
9. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
10. Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, Dupon
L, editors. Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th ed
11. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-579
12. Snell, Richard S.. Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266, Penerbit EGC,
Jakarta. 2002.
13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
25
14. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. Dalam : New England Journal of
Medicine. 004 Avaliable from:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1.
26