Oleh :
KELOMPOK 4
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan
kesehatan diselenggarakan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan
dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan
perhatian khusus pada penduduk rentan antara lain ibu, bayi, anak, lanjut
usia dan keluarga miskin. Dampak keberhasilan pembangunan kesehatan
ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya tingkat
kematian bayi dan ibu melahirkan. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik
tahun 2014, umur Harapan Hidup (UHH) di Indonesia untuk wanita adalah
73 tahun dan untuk pria adalah 69 tahun. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional memproyeksikan umur harapan hidup di Indonesia
pada tahun 2025 dapat mencapai 73,6 tahun.
Upaya peningkatan kesejahteraan pada lanjut usia diarahkan untuk
memperpanjang usia harapan hidup dan masa produktif agar terwujud
kemandirian dan kesejahteraan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
peningkatan pelayanan kesehatan geriatri di rumah sakit.
Data Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016, Hasil Estimasi Data
Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019
bahwa penduduk usia lanjut > 60 tahun sebanyak 22.630.882 jiwa dengan
rincian yang berdasarkan jenis kelamin laki-laki : 10.722.224 jiwa dan
perempuan 11.908.658 jiwa. Kemudian penduduk usia lanjut usia risiko
tinggi > 70 tahun sebanyak 8.490.356 jiwa dengan rincian yang
berdasarkan jenis kelamin laki-laki : 3.694.220 jiwa dan perempuan
4.796.136 jiwa.
Dengan terjadi peningkatan populasi lanjut usia di Indonesia yang
dapat menimbulkan permasalahan terkait aspek medis, psikologis,
ekonomi, dan sosial sehingga diperlukan peningkatan pelayanan kesehatan
terhadap warga lanjut usia. Dengan kondisi multi penyakit, berbagai
penurunan fungsi organ, gangguan psikologis, dan sosial ekonomi serta
lingkungan pada warga lanjut usia, pelayanan terhadap warga lanjut usia di
rumah sakit dilakukan melalui pelayanan geriatri terpadu yang paripurna
dengan pendekatan multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin. Untuk
mewujudkan pelayanan geriatri terpadu di Community Based Geriatric
service. Dengan demikian diperlukan kesiapan dan peran keluarga yang
mempunyai lansia untuk membinanya melalui kelompok kegiatan Bina
Keluarga Lansia (BKL). Bina Keluarga Lansia (BKL) adalah kelompok
kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan ketrampilan keluarga yang
mempunyai keluarga dalam pengasuhan, perawatan, pemberdayaan lansia
agar dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan cara pembinaan fisik,
pembinaan psikis atau mental, pembinaan keagamaan, memberikan
fasilitas atau kemudahan bagi lansia untuk mengamalkan kemampuan dan
ketrampilan yang dimiliki (BKKBN, 2012:10). Di Indonesia Bina Keluarga
Lansia (BKL) terbentuk sejak tahun 1998. Adanya BKL di masyarakat dapat
menjadi wadah kelompok kegiatan untuk memperdayakan lansia melalui
berbagai kegiatan dengan dukungan dari masyarakat dan keluarga yang
memiliki lansia untuk menjadikan keluarga sebagai pembina lansia dalam
rumah tangganya.
Pelayanan kesehatan pada lansia diperlukan untuk memelihara dan
mengatasi masalah pada lanjut usia. Dasar hukum pembinaan kesehatan
pada lansia adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lansia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004
Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lansia, Keputusan
Presiden Nomor 52 Tahun 2004 Tentang Komisi Nasional Lansia, dan
Keputusan Presiden Nomor 93/M Tahun 2005 Tentang Keanggotaan
Komisi Nasional Lanjut Usia.
Pelayanan kesehatan yang baik pada lansia bertujuan memperpanjang
usia harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan
kesejahteraannya, terpeliharanya sistem nilai budaya dan kekerabatan
bangsa Indonesia serta lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
B. Tujuan
Untuk Mengetahui Program Nasional Pelayanan Gerontik di Indonesia.
1. Mengidentifikasi keluarga yang terdapat lansia di wilayah Kelurahan
Bayur RT 22 dan 38
2.1. Menerapkan Bina Keluarga Lansia pada Kelompok Keluarga
dengan Lansia
Mengevaluasi program Bina Keluarga Lansia dengan instrumen pada
Lansia dikelompok BKL
2.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, lanjut usia meliputi: usia
pertengahan yakni kelompok usia 46-59 tahun, usia lanjut (Elderly) yakni
antara usia 60-74 tahun, Tua (Old) yaitu antara 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (Very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi, 1999), dan
menurut DepKes RI tahun 1999, umur dibagi 3 lansia yaitu;
a. Usia pra senelis atau Virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49
tahun
b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih atau dengan masalah kesehatan.
3. Proses Menua
Menurut Constantindes (1994) dalam Nugroho (2000) mengatakan
bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan yang diderita.
Proses menua merupakan proses yang terus-menerus secara alamiah
dimulai sejak lahir dan setiap individu tidak sama cepatnya. Menua bukan
status penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh.
Aging proses adalah suatu periode menarik diri yang tak terhindarkan
dengan karakteristik menurunnya interaksi antara lansia dengan orang
lain di sekitarnya. Individu diberi kesempatan untuk mempersiapkan
dirinya menghadapi ketidamampuan dan bahkan kematian (Cox, 1984
dalam Miller,1995). Dengan begitu manusia secara progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin
banyak distorsi metabolik dan stuktural yang disebut sebagai penyakit
degeneratif seperti, hipertensi, aterosklerosis, diabetes militus dan
kanker yang akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan
episode terminal yang dramatic seperti strok, infark miokard, koma
asidosis, metastasis kanker dan sebagainya (Darmojo, 2004 ).
4. Teori penuaan
a. Teori biologis
1) Teori radikal bebas
Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan
bagian molekul yang sangat aktif. Molekul ini memiliki muatan
ekstraseluler kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein,
mengubah bentuk dan sifatnya, molekul ini juga dapat bereaksi dengan
lipid yang berada dalam membran sel, mempengaruhi permeabilitas,
atau dapat berikatan dengan organel sel. Proses metabolisme oksigen
diperkirakan menjadi sumber radikal bebas terbesar, secara speifik,
oksidasi lemak, protein, dan karbohidrat dalam tubuh menyebabkan
formasi radikal bebas. Polutan lingkungan merupakan sumber
eksternal radikal bebas (Potter & Perry, 2005).
2) Teori cross – link
Teori cross – link ikat menyatakan bahwa molekul kolagen dan elastis,
komponen jarigan ikat, membentuk senyawa yang lama meningkatkan
rigiditas sel, cross – linkage diperkirakan akibat reaksi kimia yang
menimbulkan senyawa antara molekul – molekul yang normal
terpisah. Kulit yang menua merupakan contoh cross – linkage jaringan
ikat terikat usia meliputi penurunan kekuatan daya rentang dinding
arteri, tanggalnya gigi, dan tendon kering dan berserat (Potter & Perry,
2005).
3) Teori imunologis
Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan serangan
pada jaringan tubuh melalui autoagresi atau imonodefisiensi
(penurunan imun). Tubuh kehilangan kemampuan untuk
membedakan proteinnya sendiri dengan protein asing, sistem imun
menyerang dan menghancurkan jaringan sendiri pada kecepatan yang
meningkat secara bertahap. Dengan bertambahnya usia, kemampuan
sistem imun untuk menghancurkan bakteri, virus, dan jamur melemah,
bahkan sistem ini mungkin tidak tahan terhadap serangannya sehingga
sel mutasi terbentuk beberapa kali. Disfungsi system imun ini
diperkirakan menjadi faktor dalam perkembangan penyakit kronis
seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler, serta infeksi
(Potter & Perry, 2005).
b. Teori psikologis
1) Teori disengangement (pembebasan)
Menyatakan bahwa orang yang menua menarik diri dari peran yang
biasanya dan terikat pada aktivitas yang lebih intropeksi dan berfokus
diri sendiri, meliputi empat konsep dasar yaitu : (i) invidu yang menua
dan masyarakat secara bersama saling menarik diri, (ii)
disengangement adalah intrinsik dan tidak dapat diletakkan secara
biologis dan psikologis, (iii) disengangement dianggap perlu untuk
proses penuaan, (iv) disengangement bermanfaat baik bagi lanjut usia
dan masyarakat (Potter & Perry, 2005).
2) Teori aktifitas
Lanjut usia dengan keterlibatan sosial yang lebih besar memiliki
semangat dan kepuasan hidup yang tinggi, penyesuaian serta
kesehatan mental yang lebih positif dari pada lanjut usia yang kurang
terlibat secara sosial (Potter & Perry, 2005). Mempertahankan
hubungan antara system sosial dan individu agar tetap stabil dari usia
pertengahan ke lanjut usia (Nugroho, 2000). Menurut Mubarak, dkk
(2006), bahwa sangat penting bagi individu lanjut usia untuk tetap
aktivitas dan mencapai kepuasan hidup.
3) Teori kontinuitas (kesinambungan)
Teori kontinuitas atau teori perkembangan menyatakan bahwa
kepribadiaan tetap sama dan perilaku menjadi lebih mudah diprediksi
seiring penuaan. Kepribadian dan pola perilaku yang berkembang
sepanjang kehidupan menentukan derajat keterikatan dan aktivitas
pada masa lanjut usia (Potter & Perry, 2005).
7. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Mariyam dkk (2008), Lanjut usia memiliki
benerapa karakteristik diantaranya adalah; Pertama, Orang Berusia lebih
dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan );
Kedua, kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai
sakit, dari kebutuha biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptive; Ketiga, lingkungan dan tempat tinggal yang
bervariasi. Adapun ciri-ciri pada lansia sehingga akan berdampak terhadap
mekanisme koping dari respon yang dihadapi, seperti;
1) Usia dan jenis pekerjaan
Semakin bertambahnya usia seseorang, semakin siap pula dalam
menerima cobaan. Hal ini didukung oleh teori aktivitas yang menyatakan
bahwa hubungan antara sistem sosial dengan individu bertahan stabil
pada saat individu bergerak dari usia pertengahan menuju usia tua,( Cox,
1984 dalam Tamher & Noorkasiani,2009). Usia adalah lamanya
kehidupan yang dihitung berdasarkan tahun kelahiran sampai dengan
ulang tahun terakhir. Oleh sebab itu, tidak dibutuhkan suatu kompensasi
terhadap kehilangan, seperti pensiun dari peran sosial karena menua.
Keterkaitannya dengan jenis pekerjaan juga membawa dampak yang
berarti (Darmojo dkk, 1999 dalam Tamher & Noorkasiani, 2009).
2) Jenis kelamin
Perbedaan gender juga dapat merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi psikologis lansia, sehingga akan berdampak pada bentuk
adaptasi yang digunakan (Darmojo dkk, 1999 dalam Tamher Dan
Noorkasiani, 2009), menyatakan hasil penelitian mereka yang
memaparkan bahwa ternyata keadaan psikososial lansia di Indonesia
secara umum masih lebih baik dibandingkan lansia di negara maju, antara
lain tanda-tanda depresi pria (pria 43% dan wanita 42%), menunjukkan
kelakuan/tabiat buruk(pria 7,3% dan wanita 3,7%), serta cepat marah
irritable (pria 17,2% dan wanita 7,1%). Jadi dapat diasumsikan bahwa
wanita lebih siap dalam menghadapi masalah dibandingkan laki-laki,
karena wanita lebih mampu menghadapi masalah dari pada lelaki yang
cenderung lebih emosional.
3) Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi
masalah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak
pengalaman hidup yang dilaluinya,sehingga akan lebih siap dalam
menghadapi masalah yang terjadi. Umumnya lansia yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi masih dapat produktif, mereka justru banyak
memberikan konstribusinya sebagai pengisi waktu luang dengan menulis
buku-buku ilmiah maupun biografinya sendiri (Tamher, 2009)
4) Sosial dan ekonomi
Kebiasaan sosial budaya masyarakat di dunia timur sampai sekarang
masih menempatkan orang-orang usia lanjut pada tempat terhormat dan
penghargaan yang tinggi. Menurut Brojklehurst dan Allen (1987) dalam
Tamher (2009), lansia sering dianggap lamban, baik dalam berpikir
maupun dalam bertindak. Anggapan ini bertentangan dengan pendapat-
pendapat pada zaman sekarang, yang justru menganjurkan masih tetap
ada social involvement (keterlibatan sosial) yang dianggap penting dan
menyakinkan. Contohnya dalam bidang pendidikan, lansia masih tetap
butuh tetap melanjutkan pendidikannya, sehingga dapat meningkatkan
inteligensi dan memperluas wawasannya. Hal ini merupakan suatu
dukungan bagi lansia dalam menghadapi masalah yang terjadi. Pada
zaman sekarang status ekonomi baik status menengah keatas,
menengah/sederhana, maupun menengah kebawah sangat diperhatikan
seseorang dalam menjalin hubungan baik dengan teman, relasi kerja
maupun pasangan hidup sehingga status ekonomi ada hubungan erat
dengan status sosial karena dimana status ekonomi individu itu tinggi
maka dalam menjalin hubungan dengan relasi akan semakin mudah dan
erat misalnya dalam hubungan keluarga terutama dalam pemenuhan
kebutushan dasar.
4. Kegiatan BKL
1) Kegiatan inti.
a. Penyuluhan guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan.
b. Kunjungan rumah, sebagai upaya pembinaan langsung
c. Rujukan untuk mengatasi permasalahan lansia dan penyaluran
minat
2) Kegiatan pengembangan :
a. Kunjungan rumah, sebagai upaya pembinaan langsung
b. Rujukan, untuk mengatasi permasalahan lansia
c. Kegiatan pengembangan untuk menyalurkan hobi, bakat/minat
dalam mengembangkan potensi yang ada: Keagamaan, Ekonomi
produktif, Kebugaran/rekreasi, dan Temu nonstalgia.
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
A. Jenis Intervensi
B. Tujuan
C. Waktu
D. Setting
Kegiatan penerapan desain inovatif ini akan dilakukan di Wilayah Rt 22
Dan 38 Kelurahan Bayur, dengan jumlah 10 keluarga.
F. Instrument Penilaian
A. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan ini dilakukan pada 10 keluarga yang memiliki lansia pada RT 22
dan RT 38 Desa Bayur Kelurahan Sempaja Utara Kecamatan Samarinda Utara.
Dilaksanakan mulai tanggal 28 Oktober sampai 3 November.
Sebelum dilakukan kegiatan, peneliti melakukan BHSP dan kontrak waktu,
tempat dan tindakan yang akan dilakukan. Setelah itu peneliti memberikan lembar
Informed consent untuk persetujuan bahwa pasien mau terlibat dalam kegiatan ini.
Setelah itu peniliti melakukan pengukuran awal untuk tingkat kemandirian
keluarga dalam melakukan perawatan pada lansia didapatkan bahwa sebagian besar
keluarga hanya dapat melakukan 10 dari 20 indikator instrument kemandirian
keluarga yang ada.
Pada tanggal 28 Oktober 2019 peneliti melakukan pelatihan dan pendidikan
kesehatan tentang kemandirian keluarga dengan lansia, setelah itu dilakukan
pendampingan kepada 10 keluarga tentang perawatan lansia, lalu dilakukan
pengukuran ulang pada 3 November 2019 dan didapatkan hasil rata-rata keluarga
dapat melakukan 18 dari 20 indikator dari instrument yang ada.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh Sahar, Courtney dan Edwards (2003) ,yang menyatakan bahwa sebagian besar
responden (78%) merasa lebih siap dan (22%) responden merasa kurang siap untuk
melakukan perawatan secara mandiri pada lansia yang menderita demensia setelah
mengikuti sesi pelatihan, penelitian Sjattar (2011) yang menyatakan bahwa
penerapan model keluarga untuk keluarga : integrasi teori dan konsep keperawatan
self care dan family centre nursing dengan metode edukasi supportif sangat
berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga yang
menderita TB dibandingkan pada kelompok kontrol, penelitian Suhariyanti (2012)
yang menyatakan bahwa ada perbedaan
B. FAKTOR PENDUKUNG
Faktor pendukung dari kegiatan ini yaitu masyarakat dan keluarga yang
mendukung, keluarga yang kooperatif dan sangat pertisipatif dalam setiap kegiatan.
C. FAKTOR PENGHAMBAT
Adapun faktor penghambat dalam kegiatan ini yaitu sulitnya menentukan
waktu yang tepat yang dapat mengumpulkan keluarga yang ada,
D. EVALUASI KEGIATAN
Setelah dilakukan pembinaan dan pelatihan berkaikan dengan BKL di
dapatkan bahwa terdapat peningkatan tingkat kemandirian keluarga berkaitan
dengan perawatan lansia yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Dimana sebelumnya
sebagian besar keluarga hanya mampu memenuhi 10 dari 20 indikator, menjadi 18
dari 20 indikator.
Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa pelatihan dan pembinaan
BKL efektif dalam memandirikan keluarga dengan lansia, dimana nantinya juga
dapat meningkatkan kesejahteran dari keluarga yang memiliki lansia, sehingga
terciptanya lansia yang mandiri, sehat dan produktif.
BAB V
A. KESIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh perkawinan,
adopsi, dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya
yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental dan emosional dan sosial
dari individu-individu yang ada di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling
ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, dikutip dalam Achjar
2012)
Bina Keluarga Lansia merupakan salah satu program pemerintah yang mana
bertujuan untuk mensejahterakan dan memandirikan keluarga lansia, sehingga
terciptanya keluarga lansia yang mandiri, sehat dan produktif yang membuahkan
sebuah kesejahteraan masyarakat.
Perawatan lansia di rumah sendiri oleh keluarga, ini berarti keluarga harus
melaksanakan fungsi afektif dan penekanannya pada asah (penyuluhan), asih (kasih
sayang atau saling menerima), dan asuh (saling mendukung atau merawat).
Keluarga harus terlibat aktif dalam mempertahankan dan meningkatkan status
kesehatan lansia. Perawatan di rumah memberi manfaat bagi lansia yang masih
mandiri dan mau tetap tinggal di rumah. Bagi lansia lingkungan rumah lebih
dikenal dan lebih nyaman. Rumah memberi suasana hangat karena dekat dengan
anak, cucu, teman, dan dapat melakukan hobinya (Nugroho, dikutip dalam
Avritania, P.A & Supriyadi, 2011)
B. SARAN & RENCANA TINDAK LANJUT
Kami menyarankan kepada ke;uarga yang memiliki lansia untuk selalu
memperhatikan dan menyayangi orang tua yang dimiliki, karena tanpa mereka kita
tidak akan pernah ada dan nantinya kita akan menjadi seperti mereka.
Pada instalasi terkait diharapkan agar BKL dapat tersosialisasi dan
terlaksana secara merata di setiap daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Kholifah SN., 2016. Modul Bahan Ajar Keperawatan Gerontik. Badan PPSDM
Kemenkes RI. Edisi I.
Putra, G.A., & Citrakesumasari. (2012). Zat Mikro dan Serat Kasar per Porsi dan
Pengaruh Bumbu terhadap Kandungan Kolesterol Coto Makassar (Makanan
Tradisonal Sulawesi Selatan).