Anda di halaman 1dari 36

Proposal Penelitian

GAMBARAN KEPATUHAN PERAWAT DALAM


PELAKSANAAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
PENANGANAN PASIEN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

Studi Dilakukan Di IGD RSUD Sanjiwani Gianyar

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Bali untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program Sarjana
Keperawatan

Oleh:

I WAYAN PERING PRATAMA


15.321.2282

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Instalasi Gawat Darurat sebagai gerbang utama penanganan kasus gawat

darurat di rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya penyelamatan

hidup pasien. Pelayanan pada pasien gawat darurat merupakan pelayanan yang

memerlukan pertolongan segera yaitu cepat, tepat, dan cermat yang menekankan

pada time saving is life saving (waktu adalah nyawa). Tuntutan masyarakat terhadap

pelayanan yang cepat, tepat dan akurat semakin meningkat sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial ekonomi, termasuk salah

satu pelayanan kesehatan (Sutawijaya,2009 dalam Alam M,2015). Unit ini

memiliki tujuan utama yaitu untuk menerima, melakukan triase, menstabilisasi, dan

memberikan pelayanan kesehatan akut untuk pasien, termasuk pasien yang

membutuhkan resusitasi dan pasien dengan tingkat kegawatan tertentu (Australian

College for Emergency Medicine 2014). Keberhasilan pelayanan kesehatan

bergantung pada partisipasi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang

berkualitas bagi pasien. Keberhasilan waktu tanggap atau responsive time sangat

tergantung kepada kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian pertolongan

untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di tempat kejadian ,dalam

perjalanan hingga pertolongan rumah sakit (Alam M ,2015).

Tipe kasus yang sering terjadi di Instalasi Gawat Darurat adalah trauma dan

non-trauma.Trauma merupakan penyebab utama kematian pada pasien di bawah 45


tahun dan merupakan penyebab utama kematian nomor empat pada orang dewasa

selain penyakit kanker (Dahliana,2015).

Survey yang dilakukan di 182 negara, negara dengan jumlah korban tewas

lalu lintas tertinggi adalah Cina,India ,Nigeria dan Brazil, Indonesia menempati

urutan kelima dalam peringkat dengan korban tewas terbanyak akibat kecelakaan

lalu lintas (Tempo.co 2014 dalam Ratnasari ,2014). Di Indonesia angka kejadian

trauma muskuloskeletal yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas sangat tinggi

,berdasarkan data dari Kepolisian Republik Indonesia, angka kecelakaan lalu lintas

di seluruh Indonesia tahun 2017 mencatat jumlah kecelakaan kendaraan adalah

98.419 kali kecelakaan .Korban yang tewas akibat kecelakaan lalu lintas 25.859

jiwa dan yang mengalami luka berat 16.159 jiwa serta jumlah korban yang

mengalami luka ringan adalah 56.401 jiwa . Adapaun penyebab utama yang

menjadi penyebab kecelakaan adalah faktor manusia seperti mengantuk saat

berkendara atau ketidakcakapan pengendara sebesar 35%.Sementara dari faktor

kualitas kendaraan seperti rem blong mencapai 31% (Databoks katadata

,2017).Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Bali,angka kecelakaan lalu

lintas di Bali adalah 1.827 kali. Korban yang tewas akibat kecelakaan lalu lintas

497 jiwa dan yang mengalami luka berat 220 jiwa serta jumlah korban yang

mengalami luka ringan adalah 2.481 jiwa.Kejadian ini meningkat dari tahun

sebelumnya yaitu pada tahun 2016 angka kejadian kecelakaan adalah 1580 korban

meninggal dunia sebanyak 437 sementara korban yang mengalami luka berat

sebanyak 334 korban dan mengalami luka ringan skitar 1938 korban(BPS

Bali,2017).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari

2019, pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara didapatkan bahwa

data dari Kesatuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Gianyar jumlah angka kasus

kecelakaan dari Ganyar tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 mengalami

peningkatan. Jumlah kasus kecelakaan di tahun 2016 adalah 296 kasus dengan

jumlah total korban 512 korban, yang meninggal sejumlah 68 korban, korban yang

mengalami luka berat sebanyak 24 orang dan mengalami luka ringan sebanyak 420

korban. Kemudian mengalami peningkatan di tahun 2017 yaitu terdapat 301 kasus

kecelakaan dengan jumlah total korban yaitu 527 korban ,korban yang meninggal

sejumlah 69 korban,korban yang mengalami luka berat sebanyak 18 orang dan

mengalami luka ringan sebanyak 440 korban.Mengalami peningkatan di tahun

2018 terjadi kasus kecelakaan sebanyak 563 dengan jumlah total korban 867

korban, yang meninggal sejumlah 64 korban,korban yang mengalami luka berat

sebanyak 15 orang dan mengalami luka ringan sebanyak 788 korban.

Dalam pelaksanaan kebijakan untuk mengatasi angka kecelakaan ,

penyelenggaraan kebijakan yang diambil Polri diantaranya ; Formalisasi dan

standarisasi proses penanganan kecelakaan lalu lintas,pendidikan keselamatan

yang terarah dan penegakan hukum yang berefek jera,pemberian hak pengemudi

secara ketat serta penyediaan sarana dan prasara lalu lintas jalan yang memenuhi

standar keselamatan.

Trauma muskuloskeletal yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas

merupakan suatu kejadian yang serius karena dapat menyebabkan penderitaan fisik

yang berat, mental distress dan kerugian waktu. Trauma muskuloskeletal banyak
memberi dampak pada pasien, keluarga bahkan masyarakat. Hal ini dikarenakan

banyaknya efek dari trauma muskuloskeletal seperti efek fisik dan psikis dari nyeri,

keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari, kehilangan kemandirian dan

berkurangnya kualitas hidup (Noor,2012).Tingginya angka kematian dan

kecacatan dikarenakan kurangnya pengetahuan pada penanganan awal gawat

darurat, peralatan yang kurang memadai, sistem yang belum memadai, dan

penanganan kegawatdaruratan yang tidak tepat (tidak sesuai presedur) (Humardani

A,2013).Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan juga harus meningkatkan

profesionalisme dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.Perawat dituntut untuk

melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesinya .Profesi perawat

sangat penting dalam penanganan pertolongan pertama dalam kecelakaan

(Manurung ,2009).

Salah satu upaya untuk menjaga keselamatan pasien yaitu dengan

menerapkan standard operational procedure (SOP) atau standar prosedur

operasional (SPO) dalam setiap tindakan perawat. Peraturan Mentri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 35 Tahun 2012 menyebutkan SPO harus dilaksanakan

secara konsisten dari waktu ke waktu, oleh siapapun dan dalam kondisi apapun oleh

seluruh jajaran organisasi pemerintahan. SPO harus dilaksanakan dengan

komitmen penuh dari seluruh jajaran organisasi, dari level yang paling rendah dan

tertinggi. SPO sebagai standar yang harus dijadikan acuan dalam memberikan

setiap pelayanan, standar kinerja ini sekaligus dapat digunakan untuk menilai

kinerja instansi baik secara internal maupun eksternal. Setiap sistem manajemen

kualitas yang baik selalu didasari oleh SPO kemudian disosialisasikan kepada
seluruh pihak yang berkompeten untuk melaksanakanya serta mengadakan

pelatihan yang berhubungan dengan SPO, meskipun demikian sebagian besar

perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan belum sesuai dengan SPO yang

ditetapkan oleh rumah sakit. Hal ini mencakup proses pelayanan yang memiliki

suatu prosedur pasti atau terstandarisasi, tanpa kehilangan keefektifannya (Natasia

,2014).

Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan

tidak lepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan sesuai dengan

SPO (Aditya,2014).Perilaku kepatuhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat dikategorikan menjadi faktor internal

yaitu karakteristik perawat itu sendiri seperti: umur, jenis kelamin, agama,

pendidikan, status perkawinan, kepribadian, sikap, kemampuan, persepsi, dan

motifasi dan faktor eksternal yang meliputi karakteristik organisasi, karaktaristik

kelompok, karakteristik pekerjaan, dan karakteristik lingkungan ( Noviar ,2017).

Ketidakpatuhan perawat dalam melaksanakan SPO akan memberikan

kerugian bagi pasien trauma akibat kecelakaan yang dapat menimbulkan masalah

keperawatan baru, kemungkinan terjadinya komplikasi, dan kecacatan maupun

kematian, sedangkan bagi perawat akan menyebabkan penurunan kualitas

keperawatan dan kemungkinan melanggar visi misi rumah sakit, standarisasi

pelayanan rumah sakit akan dipertanyakan baik secara administrasi maupun

prosedural (Asmanur,2014).Berdasarkan penelitian Natasia (2014) mengenai

kepatuhan perawat dalam pelaksanaan SPO di ICU-ICCU Rumah sakit Gambiran

Kota Kediri adalah kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO sebanyak 11


orang perawat (57,9%) kurang patuh terhadap pelaksanaan SPO, dan 8 orang

perawat (42,1%) patuh terhadap pelaksanaan SPO. Hal ini dapat disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu: usia, lama kerja, tingkat pendidikan, motivasi dan persepsi.

Muspita (2014) menyatakan terkait kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO

pemasangan infus di rumah sakit PKU Muhammadiyah Gombong adalah seluruh

perawat tidak patuh 100%. Keterbatasan waktu untuk bertindak mempengaruhi

ketidak patuhan perawat sehingga SPO tidak terlalu diperhatikan.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari 2019 di IGD

RSUD Sanjiwani Gianyar ,berdasarkan buku registrasi pelayanan tahun 2018

jumlah pasien dengan kasus trauma muskuloskeletal 3 bulan terakhir yaitu dari

bulan Oktober sampai dengan Desember mengalami peningkatan.Pada bulan

Oktober jumlah pasien dengan kasus trauma muskuloskeletal adalah 56 kasus

,sementara pada bulan November sebanyak 72 kasus dan pada bulan Desember

sebanyak 108 kasus.Selama 3 bulan terkahir terdapat 3 kasus tertinggi trauma

muskuloskeletal, kasus tertinggi adalah Close Fracture dengan jumlah kasus

adalah 47 kasus kemudian yang kedua adalah Contusion sebanyak 45 kasus ,kasus

ketiga adalah Myalgia dengan jumlah kasus sebanyak 33 kasus, Rata-rata dalam

sehari pasien trauma muskuloskeletal yang datang ke IGD RSUD Sanjiwani

Gianyar adalah 2-3 pasien.

Hasil wawancara dengan salah satu perawat yang bertugas terkait jumlah

peningkatan kasus trauma muskuloskeletal adalah sebagian besar pasien yang

datang mengalami close fracture serta upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan

pasien trauma muskuloskeletal yaitu dengan melakukan prioritas airway ,breathing


dan circulation kemudian melakukan pengukuran tanda-tanda vital setelah itu

menfokuskan ke area trauma dan melakukan pain management jika terdapat luka

lakukan perawatan luka kemudian melakukan reposisi posisi tulang dilanjutkan

dengan fiksasi yaitu dengan cara pembidaian.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,peneliti tertarik melakukan

penelitian bagaimana gambaran kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar

prosedur operasional penanganan pasien trauma muskuloskeletal di IGD Rumah

Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penlitian ini adalah bagaimana Gambaran

kepatuhan perawat dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional penanganan

pasien Trauma Muskuloskeletal Di IGD RSUD Sanjiwani Gianyar?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran kepatuhan perawat dalam pelaksanaan Standar

Prosedur Operasional penanganan pasien Trauma Muskuloskeletal Di IGD RSUD

Sanjiwani Gianyar.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengetahui karakteristik responden di IGD Rumah Sakit Umum Daerah

Sanjiwani Gianyar.
1.3.2.2. Mengetahui gambaran tindakan kepatuhan perawat dalam pelaksanaan

standar prosedur operasional (SPO) penanganan pasien trauma

muskuloskeletal di IGD Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan tambahan

pengetahuan dalam ilmu keperawatan gawat darurat.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Bagi perawat IGD

Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan strategi bagi perawat gawat

darurat dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar prosedur

operasional yang ada.

2. Bagi institusi STIKes Wira Medika

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi atau refrensi bagi

mahasiswa dalam menyusun tugas.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan data untuk

melakukan penelitian lebih lanjut.


1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dan berkaitan dengan penelitian ini

adalah:

1. Ariani (2018) melakukan penelitian yang berjudul “ Gambaran

Implementasi Standar Prosedur Operasional Pada Pasien Resiko Jatuh ”

.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran implementasi standar

prosedur operasional pada pasien resiko jatuh,dengan menggunakan desain

penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional dengan

jumlah sampel sebanyak 69 responden yang merupakan perawat di RSUD

Sanjiwani Kabupaten Gianyar.Didapatkan hasil penelitian adalah

implementasi SPO pada pasien resiko jatuh sebagian besar dikategorikan

baik yaitu sebanyak 61 orang (88,4%).

Persamaan dari penelitian ini adalah peneliti meneliti pelaksanaan tindakan

perawat terhadap standar operasional prosedur dan menggunakan

pendekatan cross sectional. Perbedaan dari penelitian ini adalah peneliti

menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan teknik purposive

sampling.

2. Krisna (2018) melakukan penelitian yang berjudul ” Gambaran Kepatuhan


Perawat Dalam Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional Penanganan

Pasien Trauma Muskuloskeletal di RSUD Wangaya Denpasar”. Tujuan

penelitian ini adalah mengetahui bagaimana Gambaran Kepatuhan Perawat

Dalam Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional Penanganan Pasien

Trauma Muskuloskeletal, dengan menggunakan desain penelitian deskriptif


analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 20

responden yang didapat dengan menggunakan teknik total sampling.

Persamaan dari penelitian ini adalah peneliti meneliti kepatuhan terhadap

standar operasional prosedur penanganan pasien trauma muskuloskeletal

dan menggunakan pendekatan cross sectional. Perbedaan dari penelitian

ini adalah dari jumlah sampel serta menggunakan teknik sampling yaitu

purposive sampling dalam hal waktu, populasi dan lokasi penelitian.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Standar Prosedur Operasional

2.1.1. Pengertian Standar

Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata

cara dan metode yang disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait

dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,

lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman,

perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat

yang sebesar-besarnya (PP 192 tahun 2002 dalam Sumijatun, 2017).

Standar diartikan sebagai ukuran atau patokan yang sepakati, sedangkan

kopetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi

mencakup atas pengetahuan, ketrampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan atau tugas dengan standar kinerja yang ditetapkan (PPNI, 2010 dalam

Sumijatun, 2017).

Standar keperawatan berisi kriteria-kriteria yang perlu dilaksanakan dalam

menyelenggarakan praktik keperawatan, sehingga asuhan keperawatan yang

dihasilkan mempunyai mutu, efektifitas serta efisiensi sesuai dengan harapan (Dep

Kes RI, 1994 dalam Sumijatun, 2017).

Jadi dapat disimpulkan bahwa standar adalah suatu derajat perbandingan

yang disusun oleh semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat

keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas dengan

standar kinerja yang ditetapkan.

Dalam menyelenggarakan praktik keperawatan ,standar keperawatan perlu

dilaksanakan sehingga pelaksanaaan asuhan keperawatan yang diberikan

mempunyai mutu,efektifitas serta efisiensi sesuai dengan yang telah ditetapkan.

2.1.2. Kriteria Standar

Kriteria standar menurut Sumijatun (2017) meliputi:

1. Harus tertulis dan dapat diterima pada suatu tingkat praktek, mudah dimengerti

oleh para pelaksananya.

2. Mengandung komponen terukur (peraturan-peraturan), proses (tindakan/action)

dan dari (outcome). Standar struktur menjelaskan peraturan, kebijakan fasilitas

dan lainnya. Proses standar menjelaskan dengan cara bagaimana suatu

pelayanan dilakukan dan outcome standar menjelaskan hasil dari dua komponen

lainnya.

3. Standar dibuat berorientasi pada pelanggan, staf dan sistem dalam organisasi.

Pernyataan standar mengandung apa yang diberikan kepada pelanggan/pasien,

bagaimana staf berfungsi atau bertindak dan bagaiman sistem berjalan.

4. Standar harus disetujui atau disahkan oleh yang berwewenang. Sekali standar

telah dibuat, berarti sebagian pekerjaan telah dapat diselesaikan dan sebagian

lagi adalah mengembangkan melalui pemahaman (disiminasi). Komitmen yang

tinggi terhadap kinerja prima melalui penerapan-penerapannya secara konsisten

untuk tercapainya tingkat mutu yang tinggi.


2.1.3. Komponen Standar

1. Standar struktur

Standar struktur adalah isi pokok tentang perawatan serta keputusan

mengenai keperawatan. Standar ini sama dengan standar masukan atau standar

input yang meliputi:

1. Fisiologi dan objektif/tujuan

2. Organisasi dan administrasi

3. Kebijakan dan peraturan

4. Staffing dan pembinaan

5. Deskripsi pekerjaan (fungsi tugas dan tanggung jawab setiap posisi klinis)

6. Fasilitas dan peralatan

2. Standar proses

Standar proses adalah kegiatan dan interaksi antara pemberi dan penerima

asuhan. Standar ini berfokus pada kinerja dan petugas profesional di tatanan

klinis, mencakup:

1. Melaksanakan fungsi tugas, tanggung jawab dan akontabilitas

2. Manajemen kinerja klinis

3. Melakukan monitoring dan evaluasi kinerja klinis

4. Komunikasi
3. Standar hasil (outcomes)

Standar outcomes adalah hasil asuhan dalam kaitannya dengan status

pasien provider. Standar ini berfokus pada asuhan pasien yang prima, meliputi:

1. Kepuasan pasien dan provider

2. Keamanan pasien

3. Kenyamanan pasien

4. Perubahan status kesehatan pasien

Dalam pelayanan kesehatan, hasil mungkin tidak selalu seperti apa yang

diharapkan atau diinginkan, namun standar struktur dan proses yang baik akan

menunjukkan sejauh mana kemungkinan pencapainan outcomes ditulis untuk

setiap prosedur, pedoman praktek dan rencana.

2.1.4. Cara Penulisan Standar

Berikut ini adalah langkah-langkah praktis merancang standar menurut

Sumijatun (2017) meliputi:

1. Apabila menulis suatu standar mulailah dengan pernyataan standar.

2. Identifikasi kriteria outcomes dalam bentuk pertanyaan, siap untuk dimonitor.

3. Identifikasi proses yang dibutuhkan untuk mencapai outcomes (apa yang harus

dikerjakan).

4. Identifikasi struktur (apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses untuk

mencapai outcomes).

5. Ringkas, identifikasi kriteria kunci sebagai kelompok profesional yang

senantiasa bekerja sama, oleh karena itu kriteria proses tidak perlu
dikembangkan dalam buku prosedur (Standar Operating Prosedure/Prosedur

Operasi Buku).

6. Gunakanlah kata-kata yang dapat diukur, contoh : anda tidak dapat mengukur

"kemungkinan", "mengerti", "tepat".

7. Memastikan bahwa outcomes mengukur pernyataan standar.

8. Keterlibatan tim multi disiplin dalam menyusun standar sangat diperlukan.

9. Monitoring standar harus merupakan bagian dari evaluasi asuhan pasien.

10. Standar harus merefleksi kepada asuhan spesifik yang diperlukan pasien.

11. Standar harus menjadi bagian sistem yang mudah dicapai, kemudian diperbaiki

dalam beberapa bulan untuk mengecek konsistensi pencapaian.

12. Standar terbaru harus depelihara untuk meningkatkan kinerja standar.

Sebaiknya diletakkan dalam rak buku di ruangan agar mudah dilihat dan

dijangkau.

2.1.5. Penggunaan Standar

Dalam pelayanan kesehatan, standar digunakan dalam tahapan proses

evaluasi: menilai diri sendiri, inspeksi (observasi, monitoring, survey) dan

akreditasi. Istilah penilaian diri sendiri menunjukkan penilaian suatu kinerja diri

sendiri. Proses ini mungkin dirancang oleh individu tersebut atau komite dari luar,

mengenai evaluasi pemenuhan standar. Apakah standar tersebut terpenuhi atau

tidak. Hal ini dapat menjadi suatu pengalaman belajar yang sangat berharga,

terutama apabila ada komitmen untuk menganalisis secara jujur mengenai kekuatan

dan kelemahan kinerja. Standar adalah kesempatan kinerja untuk mencapai

luaran/hasil kerja tertentu (Sumijatun, 2017).


2.1.6. Manfaat Standar

Manfaat standar menurut Sumijatum (2017) meliputi:

1. Standar menetapkan norma dan memberi kesempatan anggota masyarakat dan

perorangan mengetahui bagaimanakah tingkat pelayanan yang

diharapkan/diinginkan. Karena standar tertulis sehingga dapat

dipublikasikan/diketahui secara luas.

2. Standar menunjukkan ketersediaan yang berkualitas dan berlaku sebagai tolak

ukur untuk memonitor kualitas kinerja.

3. Standar berfokus pada inti dan tugas penting yang harus ditunjukkan pada

situasi aktual dan sesuai dengan kondisi lokal.

4. Standar meningkatkan efesiensi dan mengarahkan pada pemanfaatan sumber

daya dengan lebih baik.

5. Standar meningkatkan pemanfaatan staf dan motifasi staf.

6. Standar dapat digunakan untuk menilai aspek praktis baik pada keadaan dasar

maupun post-basic pelatihan dan pendidikan.

2.1.7. Pengertian Standar Prosedur Operasional

Standard Operating Procedures (SOP) adalah serangkaian instruksi tertulis

yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi

pemerintahan, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa

dilakukan. Departemen kesehatan Republik Indonesia telah memberlakukan

adanya Standard Operating Procedures (SOP) atau prosedur tetap yang meliputi

SOP Profesi, SOP Pelayanan, dan SOP Administrasi. Apabila pelayanan rumah

sakit sudah memberikan pelayanan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan


dalam standar, maka pelayanan kesehatan atau keperawatan sudah dapat

dipertanggung jawabkan (Widhori, 2014 dalam Stiyawan, 2018).

Standar Prosedur Operasional (SPO) adalah salah satu aspek penting yang

perlu dibuat dalam angka mewujudkan birokrasi yang memiliki kriteria efektif,

efisien dan ekonomis pada seluruh proses penyelenggaraan administrasi

pemerintahan. Dalam persepsi umum reformasi birokrasi bertujuan tidak lain

adalah untuk melakukan perbaikan atas kualitas pelayanan publik. Secara

operasional untuk mewujudkan birokrasi yang efektif, efisien dan ekonomis tidak

lain adalah memperbaiki proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan,

sehingga akan lebih mencerminkan birokrasi yang mampu menjalankan fungsi

pemerintahan sesuai dengan kriteria dan uraian tugas yang dimiliki oleh

masingmasing unit kerja (Siami A., 2016).

Dengan adanya Standar Prosedur Operasional (SPO) pelayanan,

persyaratan administrasi, rincian biaya dan waktu penyelesaian sehingga tidak

menyebabkan proses pelayanan menjadi rumit dan mengindikasikan adanya

praktik-praktik korupsi. Dan sebagai pedoman mengenai tugas dan kewenangan

yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses

pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat

dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungj awab yang jelas (Siami

A. 2016).

Jadi dapat disimpulkan bahwa Standar Prosedur Operasional (SPO) adalah

serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan sehingga dalam pelaksanaan proses


pelayanan, persyaratan administrasi, rincian biaya dan waktu penyelesaian menjadi

lebih efektif dan efisien.

2.1.8. Tujuan Standar Prosedur Operasional

Tujuan pembuatan standar prosedur operasional (SPO)

Tujuan khusus dari pembuatan standar prosedur operasional (SPO) menurut

Sumijatun (2017) adalah:

1. Menjaga konsistensi tingkat kerja.

2. Meminimalkan kegagalan, kesalahan, kelalaian dalam proses pembuatan

pelaksanaan kegiatan.

3. Parameter untuk menilai mutu kerja.

4. Penggunaan sumberdaya supaya efektif dan efesien.

5. Menjelaskan alur tugas, wewenang dan tanggung jawab.

6. Mengarahkan pendokumentasian yang adekuat dan akurat.

2.1.9. Fungsi Standar Prosedur Operasional

Fungsi standar prosedur operasional (SPO) menurut Sumijatun (2017) meliputi:

1. Memperkuat tugas pelaksana atau tim dalam melakukan tindakan keperawatan.

2. Sebagai dasar hukum etik yang harus diacu oleh seluruh anggota keperawatan

3. Mengetahui kendala secara jelas.

4. Mengarahkan perawat untuk disiplin dalam melaksanakan tugasnya.

5. Merupakan suatu pedoman dalam pelaksanaan tugas rutin.


2.1.10. Prinsip Standar Prosedur Operasional

Peraturan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 35 Tahun 2012

menyebutkan:

1. SPO harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, oleh siapapun,

dan dalam kondisi apapun oleh seluruh jajaran organisasi pemerintahan.

2. SPO harus dilaksanakan dengan komitmen penuh dari seluruh jajaran

organisasi, dari level yang paling rendah dan tertinggi.

3. SPO harus terbuka terhadap penyempurnaan-penyempurnaan untuk

memperoleh prosedur yang benar-benar efesien dan efektif.

4. SPO harus mengikat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

prosedur standar yang telah ditetapkan.

5. Seluruh aparatur melaksanakan peran-peran tertentu dalam setiap prosedur

yang distandarkan. Jika pegawai tertentu tidak melaksanakan perannya dengan

baik, maka akan mengganggu keseluruhan proses, yang akhirnya juga

berdampak pada proses penyelenggaraan pemerintahan.

6. Seluruh prosedur yang telah distandarkan harus didokumentasikan dengan baik,

sehingga dapat selalu dijadikan referensi.

Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan SOP (Fatimah, 2015) antara lain:

1. Konsisten

SOP harus dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu, oleh

siapapun, dan dalam kondisi apapun oleh seluruh jajaran organisasi.


2. Komitmen

SOP harus dilaksanakan dengan komitmen penuh dari seluruh jajaran

organisasi, dari level yang paling rendah dan tertinggi. Perbaikan berkelanjutan,

pelaksanaan SOP harus terbuka terhadap penyempurnaan-penyempurnaan untuk

memperoleh prosedur yang benar-benar efisien dan efektif.

3. Mengikat

SOP harus mengikat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan prosedur standar yang telah ditetapkan. Seluruh unsur memiliki peran

penting, seluruh pegawai peran-peran tertentu dalam setiap prosedur yang

distandarkan. Jika pegawai tertentu tidak melaksanakan perannya dengan baik,

maka akan mengganggu keseluruhan proses, yang akhirnya juga berdampak pada

proses penyelenggaraan pemerintahan. Terdokumentasi dengan baik, seluruh

prosedur yang telah distandarkan harus didokumentasikan dengan baik, sehingga

dapat selalu dijadikan referensi bagi setiap mereka yang memerlukan.

2.1.11. Jenis dan Ruang Lingkup

Jenis dan ruang lingkup standar prosedur operasional (SPO) menurut Sumijatun

(2017) ada dua, yaitu:

1. SPO pelayanan Profesi, yang mencangkup:

1) SPO untuk aspek keilmuan, yakni SPO tentang diagnostik dan terapi seperti

Standar Asuhan Keperawatan dan Standar Pengobatan Minimal.

2) SPO untuk aspek manajerial, yaitu SPO yang menunjang aspek

keilmuan/profesi.
2. SPO administrasi, yang meliputi: perencanaan kegiatan, keuangan,

kepegawaian dan perlengkapan, serta pelaporan.

2.2. Penanganan Trauma Muskuloskeletal

2.2.1. Definisi Trauma Muskuloskeletal

Trauma muskuloskeletal merupakan cedera pada otot, tulang, atau jaringan

lunak yang terjadi akibat kekuatan eksternal berlebihan. Kekuatan eksternal

mentransmisikan lebih banyak energi kinetik daripada yang dapat diabsorpsi

jaringan dan menyebabkan cedera (Priscilla, 2017).

2.2.2. Jenis Gangguan Muskuloskeletal

Noor (2012) menyebutkan gangguan muskuloskeletal yang paling sering terjadi

akibat suatu trauma muskuloskeletal yaitu:

1. Kontusio

Kontusio merupakan suatu istilah dari cedera pada jaringan lunak yang

diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul langsung mengenai jaringan,

seperti pukulan, tendangan, atau jaruh. Terputusnya beberapa pembuluh darah

kecil mengakibatkan perdarahan pada jaringan lunak dengan manifestasi

adanya ekimosis dan memar. Hematom dapat terjadi apabila perdarahan cukup

banyak sampai terjadi penimbunan darah. Gejala lokal seperti nyeri, bengkak,

dan perubahan warna biasanya dapat mudah dikontrol dengan pemberian

kompres dingin dan akan hilang setelah satu sampai dua minggu.
2. Strain

Strain merupakan tarikan otot akibat penggunaan yang berlebihan,

peregangan berlebihan, atau stress yang berlebihan. Strain adalah sobekan

mikroskopis tidak komplet dengan pendarahan ke dalam jaringan. Klien

biasanya mengeluh nyeri mendadak dengan adanya nyeri tekan lokal pada

penggunaan otot.

3. Sprain

Sprain adalah cedera struktur ligament disekitar sendi, akibat kerakan

menjepit dan memutar. Fungsi ligamen adalah menjaga stabilitas, namun masih

mampu melakukan mobilisasi. Ligament yang sobek akan kehilangan

kemampuan stabilitasnya. Pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema,

sendi terasa nyeri tekan dan gerakan sendi sangat nyeri.

4. Dislokasi

Dislokasi adalah pindahnya permukaan sentuh tulang yang menyusun

sendi, dan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kehilangan hubungan yang

normal antara kedua permukaan sendi secara komplet/lengkap. Subluksasi

adalah dislokasi parsial permukaan persendian. Tanda dan gejala utama pada

dislokasi secara umum, nyeri pada sendi, deformitas (perubahan bentuk tulang)

pada persendian, gangguan gerakan sendi, pembengkakan sendi.

5. Fraktur

Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan

baik yang secara total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik. Tanda dan gejala umum pada fraktur adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal,

dan perubahan warna. Secara umum keadaan patah tulang secara klinis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Fraktur tertutup (close fracture)

Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen

tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/tidak

mempunyai hubungan dengan dunia luar

2) Fraktur terbuka (open fracture)

Fraktur tebuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dunia luar melalui

luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk dari dalam atau dari

luar.

3) Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)

Fraktur dengan komplikasi adalah frakktur yang disertai dengan komlikasi

misalnya malunion, delayed union, nonunion, dan infeksi tulang.

2.2.3. Penanganan Pasien Trauma Muskuloskeletal

Cedera dari trauma musculoskeletal biasanya memberikan disfungsi struktur

disekitarnya daan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya .

1. Penatalaksanaan atau penanganan kontusio, strain, dan sprain meliputi:

1) Istirahat, istirahat akan mencegah cedera tambahan dan mempercepat

penyembuhan.

2) Meninggikan bagian yang sakit, meninggikan akan mengontrol

pembengkakan.
3) Pemberian kompres dingin, kompres dingin basah atau kering diberikan

secara intermiten 20 sampai 30 menit selama 24 sampai 48 jam pertama

setelah cedera dapat menyebabkan vasokonstriksi, yang akan mengurangi

pendarahan, edema, dan ketidaknyamanan. Harus diperhatikan jangan

sampai terjadi kerusakan kulit dan jaringan suhu dingin yang berlebihan.

4) Pemasangan balut tekan, balut tekan elastis dapat mengontrol pendarahan,

mengurangi edema, dan menyokong jaringan yang cedera.

2. Penatalaksanaan atau penanganan dislokasi, sendi yang terkena harus

diimobilisasi saat pasien dipindahkan. Dislokasi direduksi (misalnya bagian

yang bergeser dikembalikan ketempat semula yang normal) biasanya di bawah

anastesia. Kaput tulang yang mengalami dislokasi harus dimanipulasi

dikembalikan ke rongga sendi. Sendi kemudian diimobilisasi dengan pembalut,

bidai, gips, atau traksi dan dijaga tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai

minggu setelah reduksi, gerakan aktif lembut tiga atau empat kali sehari dapat

mengembalikan kisaran gerak sendi. Sendi harus tetap disangga diantara dua

saat latihan.

3. Penatalaksanaan atau penanganan kedaruratan fraktur, yaitu mengembalikan

posisi patah tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu

selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) . Maka bila dicurigai

adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum

pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari

kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga

diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun
angulasi. Gerakan fragmen patah tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan

jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut.

2.3. Kepatuhan Perawat

2.3.1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata patuh, Kamus Umum Bahasa Indonesia

menyebutkan patuh artinya suka dan taat kepada perintah atau aturan, dan

berdisiplin. Kepatuhan berarti sifat patuh, taat, tunduk pada ajaran atau peraturan.

Kepatuhan petugas profesional (perawat) adalah sejauh mana perilaku seseorang

perawat sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan pimpinan perawat ataupun

pihak rumah sakit (Niven, 2012). Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku

individu yang bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga

kepatuhan perawat dalam melaksanakan SPO tergantung dari perilaku perawat itu

sendiri (Noviar,2017).

Kepatuhan adalah suatu perilaku manusia yang taat terhadap aturan,

perintah, prosedur, dan displin. Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai

seorang professional terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus

dilakukan atau ditaati (Setiadi, 2013).Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena

perilaku ini akan bertahan bila ada pengawasan. Jika pengawasan hilang atau

mengendur maka akan timbul perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini akan

optimal jika perawat itu sendiri mengganggap perilaku ini bernilai positif yang akan

diintegrasikan melalui tindakan asuhan keperawatan. Perilaku keperawatan ini akan

dapat dicapai jika manajer keperawatan merupakan orang yang dapat dipercaya dan

dapat memberikan motivasi (Sarwono, 2011 dalam Suprapto 2015)


Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan bagian dari perilaku

individu manusia terhadap segala aturan yang telah ditetapkan dan dilakukan

dengan disiplin.

2.3.2. Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Perawat

Niven (2012) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat

antara lain:

1. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

prestasi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian

diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tingginya pendidikan seorang perawat

dalam meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban, sepanjang

bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2. Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai dari saat dilahirkan sampai saat

akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan,

masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum

cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman

dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berpikir

semakin matang dan teratur melakukan suatu tindakan.


3. Masa kerja

Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu

bekerja di suatu tempat. Pekerja yang telah bekerja lebih dari 5 tahun memberi

pengaruh yang baik dalam bekerja dan pekerja yang baru bekerja kurang dari

atau sama dengan 5 tahun dapat memberi pengaruh yang kurang baik dalam

pekerjaan. Masa kerja dapat memberi pengaruh kinerja baik secara positif

maupun secara negatif.

Masa kerja memberi pengaruh secara positif dan negatif karena

membentuk adanya pengalaman bagi individu sehingga akan menjadikan

bentuk persepsi didalam diri individu. Masa kerja memberi pengaruh secara

positif bila persepsi melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan

waspada. Memberi pengaruh negatif apabila persepsi yang timbul

menyepelekan sebuah tugas tanpa memikirkan peraturan yang telah dibuat

institusi dan cenderung berbuat hal yang membahayakan (Farid,2014).

Menurut (Setiadi, 2013 dalam Suprapto 2015) Faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan yaitu:

1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Pengetahuan merupakan factor yang sangat penting membentuk

tindakan atau perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010).Proses adopsi

perilaku,menurut Notoatmodjo (2010), yang mengutip pendapat (Rogers, 2009),


sebelum seseorang mengadopsi perilaku, di dalam diri orang tersebut terjadi suatu

proses yang berurutan. Tingkatan pengetahuan mencakup enam pengetahuan, yaitu:

a) Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Tahu artinya

dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.

b) Memahami, artinya kemampuan untuk menjelaskan dan

menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang

yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan,memberikan

contoh, dan meyimpulkan.

c) Penerapan, yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan

hukumhukum,rumus, metode dalamsituasi nyata.

d) Analisis artinya adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam

bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut

dan masih terkait satu sama lain.

e) Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan bagianbagian di

dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f) Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu

objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun

sendiri.
2) Sikap

Sikap merupakan penentu dari perilaku karena keduanya berhubungan

dengan persepsi,kepribadiaan, perasaan, dan motivasi. Sikap merupakan keadaan

mental yang dipelajari dan diorganisasikan melalui pengalaman, menghasilkan

pengaruh spesifik pada respon seseorang terhadap orang lain, objek, situasi yang

berhubungan. Sikap menentukan pandangan awal seseorang terhadap pekerjaan dan

tingkat kesesuaian antara individu dan organisasi (Ivancevich et al, 2013).Sikap

mempunyai tingkat berdasarkan intensitas yang menurut Notoatmodjo

(2009),terdiri dari menerima,menanggapi, menghargai,bertanggung jawab. Sikap

juga dapat dibentuk melalui pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang

dianggap penting,pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan

agama, dan faktor emosional.

3)Kemampuan

Kemampuan merupakan factor yang dapat membedakan karyawan yang

berkinerja tinggi dan yang berkinerja rendah.Kemampuan individu mempengaruhi

karateristik pekerjaan, perilaku, tanggung jawab, pendidikan dan memiliki

hubungan secara nyata terhadap kinerja pekerjaan (Ivancevich etal, 2013).Manajer

harus berusaha menyesuaikan kemampuan dan keterampilan seseorang dengan

kebutuhan pekerjaan. Proses penyesuaian ini penting karena tidak ada

kepemimpinan,motivasi, atau sumber daya organisasi yang dapat mengatasi

kekurangan kemampuan dan keterampilan meskipun beberapa keterampilan dapat

diperbaiki melalui latihan atau pelatihan(Ivancevich et al, 2013).


4) Motivasi

Motivasi adalah konsep yang menggambarkan kondisi ekstrinsik yang

merangsang perilaku tertentu, dan respon instrinsik yang menampakkan perilaku

manusia. Responinstrinsik ditopang oleh sumber energi, yang disebut motif yang

dapat diartikan sebagai kebutuhan,keinginan, atau dorongan. Motivasi dapat

mempengaruhi seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang menjadi tugas

dan tanggung jawabnya.Maslow menyatakan bahwa motivasi didasarkan pada teori

holistik dinamis yang berdasarkan tingkat kebutuhan manusia.Individu akan lebih

puas bila kebutuhan fisiologis telah terpenuhi dan apabila kebutuhan tersebut

tercapai maka individu tersebut tidak perlu dimotivasi.Tingkat kebutuhan yang

paling mempengaruhi motivasi adalah tingkat kebutuhan aktualisasi

diri.Aktualisasi diri merupakan upaya individu tersebut untuk menjadi seseorang

yang seharusnya (Ivancevich et al, 2013).

2.3.3. Kriteria Kepatuhan

Departemen Kesehatan R.I (2004) dalam Nurihsan (2018), menyebutkan kriteria

kepatuhan dibagi menjadi tiga tingkat:

1. Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah aturan dan semua

aturan maupun perintah tersebut dilakukan dengan benar.

2. Kurang patuh adalah tindakan yang melaksanakan perintah dan aturun hanya

sebagian dari yang ditetapkan, dan dengan sepenuhnya namun tidak sempurna.

3. Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanakan

perintah atau aturan sama sekali.


2.4. Rumah Sakit

2.4.1. Definisi Rumah Sakit

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah

Sakit adalah Rumah Sakit merupakan pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayan rawat inap,rawat jalan dan gawat darurat.

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No 44 Tahun 2009 menyebutkan

pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayan kesehatan yang meliputi

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

1. Promotif merupakan serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan

yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi

kesehatan.

2. Preventif merupakan kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah

kesehatan.

3. Kuratif merupakan kegiatan pengobatan yang ditunjukan untuk

penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit,

pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas

penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

4. Rehabilitatif merupakan kegiatan untuk mengembalikan bekas

penderita kedalam masyarakat yang berguna untuk dirinya dan

masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.


2.4.2. Asas dan Tujuan Rumah Sakit

Dalam pasal 2 Undang-Undang No.44 Tahun 2009 disebutkan “

Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada

nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan

hak dan anti diskriminasi,pemerataan, perlindungan dan keselamatan

pasien, serta mempunyai fungsi sosial”.

Pasal 3 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 penyelenggaraan

Rumah Sakit bertujuan:

1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan.

2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan, rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.

3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah

sakit.

4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber

daya manusia rumah sakit dan rumah sakit.

2.4.3. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Pasal 4 Undang-Undang No.44 Tahun 2009, Rumah Sakit mempunyai

fungsi :

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehaatan yang paripurna.


3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia

dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan

kesehatan.

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan.

2.5. Instalasi Gawat Darurat

2.5.1. Definisi Instalasi Gawat Darurat

Instalasi Gawat Darurat merupakan bagian dari rumah sakit yang

menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang

daapat mengacam kelangsungan hidupnya.

Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan mengenai Standar

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit yang tertuang dalam Kepmenkes RI No.

856/Menkes/SK/IX/2009 untuk mengatur standarisasi pelayanan gawat darurat di

rumah sakit.

2.5.2. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat

Intalasi Gawat Darurat rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan

pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan

pembedahan darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis.
Prinsip umum pelayanan Intalasi Gawat Darurat di rumah sakit ( Depkes RI, 2010)

adalah:

1. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki

kemampuan : melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat dan

melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving).

2. Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat memberikan

pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.

3. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di rumah sakit

diseragamkan menjadi Instalasi Gawat Darurat .

4. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus

gawat darurat.

5. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit setelah

sampai di Intalasi Gawat Darurat.

6. Organisasi Intalasi Gawat Darurat didasarkan pada organisasi multidisiplin,

multiprofesi dan terintegrasi struktur organisasi fungsional (unsur pimpinan

dan unsur pelaksana).

7. Setiap Rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat

daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi.


2.6. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antarvariabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti). Kerangka

konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan teori

(Nursalam, 2011).

Pasien dengan trauma muskuloskeletal:


1. Fraktur
2. Kontusio
3. Sprain
4. Strain Kepatuhan
5. Dislokasi Perawat:
1. Patuh
Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional 2. Tidak Patuh
pada pasien trauma muskuloskeletal

Keterangan :
: Diteliti

Gambar 2.1
Kerangka Konsep Penelitian
Gambaran Kepatuhan Perawat Dalam Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional
Penanganaan Pasien Trauma Muskuloskeletal
Di IGD RSUD Sanjiwani Gianyar

Anda mungkin juga menyukai