J
J
“PENGAWET MAKANAN”
Disusun oleh :
Miranda Caroline H (18/425373/TP/12074)
Eveline Ivana P (18/429143/TP/12179)
Retno Iswandari (18/429170/TP/12206)
Muhammad Ichdahana (18/431456/TP/12312)
Tujuan
Mengetahui definisi dari pengawet.
Memahami jenis-jenis pengawet pada suatu produk pangan.
Mengerti fungsi pengawet pada produk pangan tersebut.
Mengetahui pengaruh pengawet terhadap sifat fisik bahan dan tubuh manusia.
Memahami cara kerja pengawet pada bahan pangan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Produk makanan dikenal sebagai produk yang mudah mengalami kerusakan kualitas.
Agar makanan aman dari kerusakan, berbagai macam zat aditif sengaja ditambahkan ke
dalam makanan. Zat pengawet makanan dapat didefinisikan sebagai zat aditif yang
digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme seperti ragi, jamur dan bakteri
serta mencegah pembusukan dengan anti-oksidatif yang berbeda-beda untuk menjaga
kualitas, tekstur, konsistensi, rasa, warna, alkalinitas atau keasaman dari produk makanan
(Samal, dkk., 2017). Zat pengawet juga dapat memodifikasi sifat-sifat bahan makanan,
termasuk penampilan, rasa atau strukturnya. Zat pengawet makanan aman dikonsumsi salkan
tidak mengurangi nilai gizinya. (Silva and Lidon, 2016).
Berbagai cara telah ditemukan sejak dahulu untuk mengawetkan makanan. Cara-
cara tersebut kian berkembang seiring berjalannya waktu. Perebusan, pembekuan,
pasteurisasi, dan dehidrasi adalah beberapa contoh pengawetan makanan dan bahan makanan
secara tradisional. Teknik pengawetan secara modern juga muali banyak dikembangkan.
Contohnya seperti teknik pengemasan yang dimodifikasi seperti pengemasan vakum dan
pengemasan hypobaric untuk memperpanjang umur simpan bahan (Anonim, 2019). Gula,
garam mineral, dan garam juga sering digunakan sebagai bahan pengawet.
Zat pengawet makanan terbagi menjadi 2 jenis, yaitu zat pengawet alami dan zat
pengawet sintetis. Contoh zat pengawet makanan alami yang biasa digunakan adalah garam,
gula, alkohol, cuka, dan sebagainya. Gula dan garam adalah pengawet makanan alami paling
‘tua’ dan sangat efisien menurunkan pertumbuhan bakteri dalam makanan. Untuk
mengawetkan daging dan ikan, garam masih digunakan sebagai pengawet makanan alami.
Tak hanya itu, perebusan, pengasapan, dan pengasinan juga dianggap sebagai cara alami
untuk mengawetkan makanan. Selain zat pegawet alami, Pengawet makanan sintetis juga
marak digunakan di zaman sekarang. Beberapa studi mengklaim bahwa bahan pengawet
sintetis lebih baik dan lebih efektif untuk memperpanjang umur simpan produk. Contoh
pengawet makanan kimia adalah Benzoat (seperti natrium benzoat, asam benzoat), Nitrit
(seperti natrium nitrit), Sulfit (seperti sulfur dioksida), dan Sorbat (seperti natrium sorbat,
kalium sorbat). Antioksidan juga merupakan pengawet makanan kimia yang bertindak
sebagai anti-radikal bebas. Dalam kategori pengawet dalam makanan ini adalah vitamin C,
BHA (butylated hydroxyanisole), penghambat pertumbuhan bakteri seperti natrium nitrit,
sulfur dioksida dan asam benzoat. Lalu ada etanol yang merupakan salah satu bahan
pengawet kimia dalam makanan, anggur dan makanan yang disimpan dalam brandy. Tidak
seperti pengawet makanan alami, beberapa pengawet makanan kimia berbahaya. Sulfur
dioksida dan nitrit adalah contohnya. Sulfur dioksida menyebabkan iritasi pada tabung
bronkial dan nitrit bersifat karsinogenik (Anonim, 2019).
Untuk memastikan keamanan pangan dan melindungi konsumen, penggunaan bahan
pengawet dalam bahan makanan diatur secara ketat oleh undang-undang khusus di sekitar
Dunia. Di Brasil, penggunaan zat aditif makanan harus mematuhi regulasi yang dikeluarkan
oleh Komite Ahli Gabungan FAO / WHO mengenai Aditif Makanan (JECFA), seperti yang
dilakukan banyak negara. JECFA menggunakan asupan harian yang dapat diterima (ADI)
untuk menyatakan standard keamanan konsumsi harian zat aditif. ADI setiap zat aditif
dinyatakan dalam mg kg − 1 berat badan weight 1 (Arias, J. L. O., et al., 2019).
Makanan supaya aman dari kerusakan fisik dan kualitas, saat ini zat aditif atau pengawet
telah sengaja ditambahkan ke dalamnya, tidak hanya untuk menghentikan atau menunda
kehilangan nutrisi karena perubahan mikrobiologis, enzimatik atau kimia tetapi juga untuk
meningkatkan umur simpannya. Pengawetan makanan sering dilakukan dengan
menggunakan pengawet kimia, seperti asam benzoat dan asam sorbat serta garam natrium,
kalium dan kalsium, yang telah banyak digunakan di seluruh dunia. Meskipun bahan kimia
ini secara luas ditujukan untuk pengawetan, efek yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan
kimia telah terjadi laporan dari berbagai pihak, bahkan ketika zat tersebut digunakan pada
dosis rendah. Benzoat terkenal dapat memicu reaksi alergi pada manusia (Arias dkk., 2019).
Pada sebuah contoh penelitian juga telah memaparkan bahwa paparan pengawet paraben
dapat memodulasi atau mengganggu sistem endokrin dan menimbulkan bahaya terhadap
kesehatan manusia, seperti aktivitas estrogenik, aktivitas karsinogenik dan efek re-produktif
yang merugikan (Arias dkk., 2019). Oleh karena itu, saat ini banyak pengembangan
pengawetan dengan zat aditif yang berasal dari alam seperti penggunaan rempah-rempah,
penggaraman, pengeringan meskipun masih banyak yang perlu dikembangkan dari
penggunaan metode alami tersebut.
Pada produk pangan di Indonesia saat ini penggunaan pengawetan sudah menjadi hal
yang wajib digunakan pada produk pangan. Hampir setiap produk pangan menggunakan
pengawet agar menjaga produk tersebut tetap segar dan kualitas produk tampak fisik tetap
terjaga. Pemilihan pengawet pada makanan tentunya sangat menjadi pusat perhatian untuk
kita semua. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan pangan dan melindungi konsumen,
penggunaan bahan pengawet dalam bahan makanan diatur secara ketat oleh undang-undang
(Arias dkk., 2019). Pada makalah ini kami memilih contoh produk pangan yaitu ikan sebagai
pemaparan lebih lanjut tentang pentingnya pemilihan pengawet yang aman bagi konsumen.
Ikan terutama ikan laut cenderung lebih cepat terjadi pembusukan jika dibandingkan dengan
daging unggas atau daging mamalia. Kandungan air dalam ikan hampir mencapai 80% dan
pH pada daging ikan mendekati netral serta dagingnya sangat mudah dicerna oleh enzim
autolisis yang mengakibatkan daging menjadi lunak, sehingga menjadi tempat yang mudah
bagi bakteri pembusuk untuk berkembang biak. Bagi nelayan hal ini sangat merugikan dan
perlu adanya perlakuan untuk menanggulangi masalah ini (Putra dkk., 2016).
Berbagai upaya nelayan ditempuh agar ikan hasil tangkapan mereka tetap segar dan
mencegah bakteri pembusuk untuk berkembangbiak, dengan cara yang mudah dan murah
yaitu menggunakan formalin. Penggunaan formalin sendiri tidak dibenarkan sebagai bahan
pengawet karena berbahaya bagi kesehatan seperti pemicu kanker dalam tubuh manusia
sesuai Permenkes No.722/1988. Formalin tidak diperkenankan ada dalam makanan maupun
minuman, karena dalam jangka panjang dapat memicu perkembangan sel-sel kanker. Selain
itu Formalin adalah bahan pengawet makanan illegal berbahaya,yang bersifat karsinogen.
Formalin selama ini beredar di tengah- tengah masyarakat, bahkan diantara pemakainya
sebagian besar adalah para nelayan, sebagai pengawetan ikan,pengusaha tahu dan bakso,
sebagai kelompok pengusaha menengah kebawah, yang produksinya dikonsumsi oleh
sebagaian besar masyarakat. Sebagai akibatnya, sekarang ini kita semua kesulitan
memperoleh makanan yang benar- benar bebas dari formalin.
Permasalahanya adalah masyarakat nelayan dalam pengawetan ikan saat ini tidak punya
pilihan untuk mengganti bahan pengawet yang selama ini mereka gunakan. Sementara hasil
tangkapan ikan yang lebih banyak memberikan dampak terhadap tidak terjualnya ikan secara
keseluruhan, sehingga terpaksa harus mengawetkan dan mengeringkan ikan mereka untuk
dijual lagi. Untuk itu dibutuhkan pengawaetan secara alami yang mudah didapat, murah dan
yang terpenting tidak mebahayakan pada kesehatan.
Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan pemuatan pengawet alami sebagai bahan
pengawet makanan dan ikan yang berasal dari bahan alam. Ekstraksi oleresindari daun sirih
sebagai pengawet makanan, pengawetan ikan pindang dengan proses pengasapan,Ekstraksi
Senyawa Fenolik dari Limbah Kulit Kacang Tanah sebagai Antioksidan Alami, Kajian
Pemanfaatan Rempah-Rempah Sebagai Pengawet Alami pada Daging (Putra dkk., 2016).
Proses pembuatan pengawet alami sangat sederhana hanya dengan menggunakan Jahe,
kunyit dan garam kemudian dilakukan proses fermentasi dengan melakukan proses inkubasi
selama satu minggu. Setelah diinkubasi, hasil fermentasi disaring sehingga diperoleh larutan
fermentasi yang siap digunakan sebagai bahan pengawet. Penggunaan bahan pengawet sangat
mudah dan sederhana dan dioleskan, direnam ataupun disutukan kedalam ikan segar sebelum
dilakukan pengawetan dan penjemuran (Putra dkk., 2016).
Dari hasil pembuatan pengawet alami yang diterapkan pada produk ikan menurut Putra
dkk. (2016), bahan alam mampu mencegah terjadinya pembusukan pada ikan dengan
konsentrasi 50 dan 100 ppm dan mampu menahan mikroba pembusuk selama 6 (enam) hari.
Penambahan pengawet alami mampu mempertahankan kualitas ikan dan memperpanjang
masa simpan, sehingga dapat menjadi alternatif pengganti formalin. Pemanfaatan pengawet
alami mempunyai prospek yang baik bagi para kelompok nelayan dalam penggunaan sebagai
pengawet ikan yang mudah dibuat dan terjamin secara kesehatan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zat pengawet adalah zat aditif yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme seperti ragi, jamur dan bakteri serta mencegah pembusukan dengan anti-
oksidatif yang berbeda-beda untuk menjaga kualitas, tekstur, konsistensi, rasa, warna,
alkalinitas atau keasaman dari produk makanan. Selain untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme, zat pengawet berfungsi untuk menambah umur simpan makanan. Zat
pengawet makanan terbagi menjadi 2 jenis, yaitu zat pengawet alami dan zat pengawet
sintetis. Contoh pengawet alami adalah gula, garam, cuka, dll. Sedangkan contoh pengawet
buatan adalah benzoate, nitrti, sorbat, dll. Salah satu contoh penggunaan pengawet adalah
pada ikan. Penggunaan pengawet berupa formalin dapat mencegah tumbuhnya bakteri
pembusuk pada ikan akan tetapi dapat memicu tumbuhnya sel kanker pada tubuh manusia.
Sehingga muncul sebuah opsi lain yaitu dengan menggunakan bahan pengawet alami berupa
jahe, kunyit dan garam.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2019. Preservatives. Dalam http://www.foodadditivesworld.com/preservatives.html.
Diakses pada 7 November 2019 pukul15.17 WIB.
Arias, Jean Lucas de Oliveira , Caroline Borges Rocha, Ana Luisa Queiroz Silva
Santos,Liziane Cardoso Marube, Larine Kupski, Sergiane Souza Caldas, dan
Ednei Gilberto Prime. 2019. Fast and Simple Method of Simultaneous
Preservative Determination in Different Processed Foods by QuEChERS and
HPLC-UV:Method Development, Survey and Estimate of Daily Intake. Dalam
Jurnal Food Chemistry, No. 293: 112-115.
Bisyri, H. 2017. Berbahayakah Makanan yang Mengandung Bahan Pengawet? Dalam
https://www.tribunnews.com/tribunners/2017/01/01/berbahayakah-makanan-yang-
mengandung-bahan-pengawet. Diakses pada 6 Oktober 2019 pukul 23:25 WIB.
Putra,Alfian, Syarifah Keumala Intan, dan Syafruddin. 2016. Sosialisasi Pembuatan
Pengawet Alami Pengganti Formalin sebagai Pengawetan Ikan Desa Hagu Barat
Laut Kota Lhoseumawe. Dalam Seminar Nasional Lembaga Penelitian Dan
Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) UNMAS Denpasar pada tanggal 29-30
Agustus 2016 di Bali
Samal, Dibyaranjan , et al. 2017. Food Preservatives and Their Uses: A Short Report. Dalam
Asian Journal of Biology, Vol. 4, No.1: 1-4.
Silva, Maria Manuella and Fernando Cebola Lidon. 2016. Food preservatives – An overview
on applications and side effects. Dalam Journal of Food and Agriculture., Vol. 28, No.
6:366-373.