Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH HUKUM AGRARIA

KETERKAITAN Pasal 6 UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUAN 1960


TENGTANG PERATURAN DASAR POKO-POKO ARGRARIA DENGAN
PENGADAAN TANAH UNTUK KEPEBTINGAN UMUM

DOSEN PENGAMPU : Nurwigati, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Nama : Mat Zeni Saputra


NIM : 20170610303
Kelas :J

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada Negara kita. Untuk
itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha mengaturnya dengan baik. Keadaan Negara
kita sebagai Negara berkembang menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan.
Banyaknya manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi
salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan pembangunan, diadakan proses
pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup
memakan waktu yang lama, oleh karena salah satu pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang
cukup lama ini, otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan
memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang dipunyai oleh seluruh hak-hak
atas tanah kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini
kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi
ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan PERPRES Nomor 65 Tahun
2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu juga
dengan pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk
pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua kepentingan
rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera terwujud dengan baik.

Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah adalah Sebidang
tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi
pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk
kepentingan umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik
tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya pemilik tanah
memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana keterkaitan pasal 6 UUPA dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum ?

1.2.3 Bagaimana Prosedur Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan


Umum Menurut Perpres Nomor 148 Tahun 2015 ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keterkaitan Pasal 6 UUPA Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Dalam pasal 6 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan “Semua hak atas tanah memiliki fungsi
sosial” Arti hak milik mempunyai fungsi social ini ialah hak milik yang dipunyai oleh seseorang tidak
boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus
memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hak
milik atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi social dalam rangka mencegah penggunaan hak
milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Fungsi social hak milik bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan bersama. Harus terpelihara kelestariannya, setiap perbuatan
merusak barang atau benda yang berfungsi social adalah perbuatan tercela (amoral) yang harus diberi
sanksi (Pasal 15 jo. Pasal 52 UUPA).

Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah adalah Sebidang
tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi
pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk
kepentingan umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik
tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya pemilik tanah
memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.

Contoh kasus Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen pada tahun 1996 aturan kerjanya
Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya tidak melalui/memakai
proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak melalui panitia pengadaan tanah sebagaimana yang diatur
dalam peraturan yang berlaku yaitu Keppres No.55/1993, tetapi melalui tim yang dibentuk Pemerintah
Kotamadya Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan cara penetapan ganti ruginya tidak memakai dasar
NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang diberikan kepada warga yang tanahnya terkepras sebesar
Rp.20.000,-/m2, dengan perincian Rp.15.000,- sebagai uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai uang tali
asih, ditambah tanah pengganti berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan
– Mijen sampai sekarang belum selesai karena terbatasnya dana yang tersedia di Pemkot melalui APBD
dan masih adanya masyarakat yang belum mengambil ganti rugi sehingga tanahnya tidak dapat
dibebaskan sehingga Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen tidak sesuai dengan peraturan
yang berlaku.

2.2 Prosedur Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Menurut Perpres
Nomor 148 Tahun 2015

Pada akhir Desember 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Sebagaimana dilansir dari laman resmi Sekretariat Kabinet (Setkab), Rabu 13 januari 2016, salah
satu alasan revisi adalah dalam rangka percepatan dan efektivitas penyelenggaraan tanah bagi
pembangunan di Indonesia untuk kepentingan umum. Dalam Perpres ini, sejumlah tahapan dalam
pengadaan tanah dipangkas.

Perpres ini menegaskan, gubernur melaksanakan tahapan kegiaitan persiapan pengadaan tanah
setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah dari instansi yang memerlukan. Dalam
melaksanakan kegiatan tersebut, gubernur membentuk tim persiapan paling lama dua hari, yang dalam
aturan lama 10 hari sejak dokumen perencanaan pengadaan tanah diterima secara resmi oleh gubernur.

“Tim persiapan sebagaimana dimaksud melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan


kepada masyarakat pada lokasi rencana pembangunan. Pemberitahuan rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud dilaksanakan dalam waktu paling lama tiga hari kerja (sebelumnya 20 hari kerja)
sejak dibentuknya tim persiapan,” demikian bunyi Pasal 11 ayat (1,2) Perpres tersebut. Di Perpres ini juga
disebutkan sejumlah syarat dalam pemberitahuan rencana pembangunan yang ditandatangani ketua tim
persiapan. Di pemberitahuan itu perlu memuat informasi maksud dan tujuan rencana pembangunan,
letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan, tahapan rencana pengadaan tanah, perkiraan jangka waktu
pelaksanaan pengadaan tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan dan informasi lainnya
yang dianggap perlu.

Surat pemberitahuan rencana pembangunan itu disampaikan kepada masyarakat pada rencana
lokasi pembangunan melalui lurah/kepala desa dalam waktu paling lama tiga hari kerja (sebelumnya 20
hari kerja) sejak ditandatanganinya surat pemberitahuan. Bukti penyampaian pemberitahuan dibuat
dalam bentuk tanda terima dari perangkat kelurahan/desa. Sedangkan penanganan keberatan oleh
gubernur dilakukan paling lama tiga hari kerja (sebelumnya 14 hari kerja) sejak diterimanya keberatan.
Untuk penetapan lokasi pembangunan dilakukan oleh gubernur dalam waktu paling lama tujuh hari kerja
(sebelumya tidak ada batas waktu) sejak kesepakatan atau sejak ditolaknya keberatan dari pihak yang
keberatan.

“Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah habis dan penetapan lokasi belum diterbitkan, maka
penetapan lokasi dianggap telah disetujui,” demikian bunyi Pasal 41 ayat (2) Perpres tersebut.

Perpres ini juga menegaskan, gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan


persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum kepada bupati/wali kota
berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya manusia, dan
pertimbangan lainnya. Delegasi dilakukan dalam waktu paling lama lima hari kerja (sebelumnya tidak ada
batas waktu) sejak diterimanya dokumen perencanaaan pengadaan tanah.

Jika didelegasikan, bupati/walikota tersebut membentuk tim persiapan dalam waktu paling lama
lima hari kerja (sebelumnya tidak ada batas waktu) sejak diterimanya pendelegasian. Menurut Perpres
ini, pelaksanaan pengadaan tanah diselenggarakan oleh menteri, dan dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.

Ganti Kerugian
Terkait ganti kerugian dalam bentuk uang dalam pengadaan tanah, menurut Perpres ini,
dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan validasi dari ketua pelaksana pengadaan
tanah atau pejabat yang ditunjuk. Validasi tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lama tiga hari kerja
(sebelumnya tidak ada batas waktu) sejak berita acara kesepakatan bentuk ganti kerugian.
Dalam Perpres disebutkan, pemberian ganti kerugian dilakukan dalam waktu paling lama tujuh
hari kerja (sebelumnya tidak ada batas waktu) sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana
pengadaan tanah. Perpres ini juga menegaskan, pengadaan tanah bagi pembangunan yang dilaksanakan
oleh badan usaha swasta, dilakukan langsung dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang
disepakati oleh pihak yang berhak dengan badan usaha swasta.

“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” demikian bunyi Pasal II ayat (4)
Perpres yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada tanggal 28 Desember
2015 itu.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Realitas penafsiran hak milk berfungsi social sangat luas, yakni dengan menggunakan “standar
kebutuhan umum” (public necessity), “kebaikan untuk umum” (public good) atau “berfaedah untuk
umum” (public utility).
Atas dasar itulah tampaklah bahwa adanya berbagai kepentingan yang saling berbenturan antara
satu dengan yang lainnya berkenaan dengan fungsi social hak milik atas tanah, yang seharusnya
ketentuan yang berkaitan dengan fungsi social harus dicermati dan diteliti secara utuh dan menyeluruh
karena terkait dengan berbagai dampak sosial kemasyarakatan.
Yang terpenting dari kandungan hak milik berfungsi social adalah kesimbangan, keadilan,
kemanfaatan dan bercorak kebenaran. Sehingga akan menunjukkan fungsi pribadi dalam bingkai
kemasyarakatan yang memberikan berbagai hubungan keselarasan yang harmonis dan saling memenuhi
guna meminimalisir kompleksitasnya berbagai permasalahan yang mungkin dan akan timbul dalam
kehidupan social kemasyarakatan, bangsa dan negara.

Dan dengan adanya PEPRES NOMOR 148 TAHUN 2015 diharapkan dapat mempercepatan
pembangunan untuk kepentingan umum yang memiliki fungsi sosial yang sangat besar bisa terlaksana
dengan waktu yang lebih cepat dan bisa memenimalisirkan permasalahan-pemersalahan yang sering
terjadi terkait Prosedur Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum.

3.2 Saran
Dalam rangka dari tujuan perpres Nomor 148 Tahun 2015 mempercepat pembangunan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diharapkan dalam praktiknya tidak
mengesampingkan hak-hak atas kepemilikan tanah terdampak pembangunan dan di harapkan lebih
memperhitung aspek ekonominya dari pada kecepatan pembanguan itu sendiri karna kalau tidak
memperhatikan aspek ekonomi maka pembangunan tersebut bisa mematikan perekonomian rakyat kecil
yang terdampak pembangunan tersebut

Anda mungkin juga menyukai