Bercocok Tanam Kelompok 3
Bercocok Tanam Kelompok 3
Oleh:
Kelompok 3
Dosen pembimbing:
Drs.Zul Asri,M.pd
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Sejarah indonesia pra aksara.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang telah tulus memberikan doa ,saran ,dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu ,kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari bebagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan perkembangan bagi dunia
pendidikan
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………......................…….i
Daftar Isi…………………………………………………………............…...........…..ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang…………………………………………….......................……….....1
1.2RumusanMasalah………………………………….........…………...........…...……1
1.3Tujuan……………………………………………………………......................…....2
BAB II PEMBAHASAN
2.2ManusiaPendukung.......................................................................................................4
2.3KebudayaanBoscon –Hoabin………............................................................................5
3.1 Kesimpulan………………………………………………..............……….............6
3.2 Saran……………………………………………………..............……………........6
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
1.2Rumusan Masalah
3. ApaitukebudayaanBacson-Hoabin?
1.3Tujuan Penulis
3.UntukmengetahuiapaitukebudayaanBacson -Hoabin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PolaMenetap
1.Pada masa ini manusia sudah hidup menetap di suatu wilayah atau perkampungan secara
berkelompok.
2.Mulai adanya kerjasama antara individ untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan
bersama ,seperti membangun rumah maupun mengolah lahan pertanian dilakukan dengan cara
gotongroyong.
3.Teknologi pembuatan alat bantu meningkat,yang terbuat dari batu dan tulang yang sudah di
asah.
4.Makanan didapatkan dengan cara bercocok tanam secara sederhana ,pada masa ini manusia
sudah mulai memelihara hewan hasil buruan untuk di kembangkan.
5.Adanya kepercayaan dan pemujaan terhadap roh nenek moyang atau disebut animism dan
dinamisme.
6.munculnya system perekonomianya itu dikenal dengan system pertukaran barang dengan
barang /barter
Manusia pendukung masa bercocok tanam dikaitkan dengan nenek moyang bangsa
Indonesia dari jenis bangsa Austronesia yang semula menempati kawasan Asia Tenggara antara
Yunan dan Tonkin
Manusia yang hidup pada masa bercocok tanam terdiri dari jenis manusia
Austramelanosoid dan Mongoloid. Jenis manusia yang mendiami Nusantara kecuali di Sulawesi
Selatan adalah Austramelanosoid tetapi berdasarkan temuan rangka mulai Ban Kao (Muangthai),
goa Cha (Malaysia), Cacang (Bali) semua menunjukkan ciri Mongoloid. Sedangkan Indonesia
bagian timur (kecuali Sulawesi Selatan).
Ciri manusia indonesia yang hidup dimasa bercocok tanam tidak banyak diketahui benar,
karena tidak ditemukan rangka-rangka yang cukup utuh pada masa ini. Karena kurangnya
pengetahuan tentang manusia pada periode ini, kita hanya bisa mencoba dengan memperhatikan
sisa manusia dari masa tersebut dari negeri-negeri tetangga, seperti Thailand, Vietnam, dan
Malaysia. Yang kita selidiki adalah perubahan-perubahan dari manusia berburu tingkat lanjut ke
manusia dimasa perundagian dan sedikit sisa rangka yang fragmentasi dari masa megalitik.
Di Thailand masa itu populasi sudah banyak memperlihatkan ciri-ciri mongoloid seperti
dibuktikan dengan temuan dari Ban Kuo. Ciri-ciri tersebut berupa bentuk kepala yang bundar,
muka lebar, dan gigi seri yang menembilang. Pada temuan Ban Kao juga tampak mutilasi gigi
dalam bentuk pengasahan permukaan bibir gigi seri. Temuan rangka di Indo-Cina juga
menunjukkan ciri-ciri mongoloid yang lebih dominan, meskipun ciri Austromelanesid masih
terdapat sedikit. Dibuktikan dengan temuan di Quynh Van, misalnya. Pembaruan komponen
Mongoloid dan Australomelanesid, dengan komponen pertama lebih dominan yang terlihat pada
temuan-temuan di Malaysia, misalnya rangka-rangka Gua Cha.
Hasil-hasil temuan tersebut dapat diperkirakan bahwa penduduk masa bercocok tanam di
Indonesia bagian Barat demikian pula keadaannya. Manusia dimasa perundagian, dapat
dibenarkan karena mereka memperlihatkan lebih banyak unsur Mongoloid ketika dibandingkan
dengan manusia dari masa berburu pasca-plestosen dibagian indonesia ini. Rangka manusia
megalitik dari cancang (Bali) menyokong pendapat ini karena giginya menunjukkan ciri-ciri
Mongoloid.
Di Indonesia bagian timur berlainan. Sampai sekarang daerah terutama bagian selatan
dan timur, lebih dipengaruhi oleh unsur-unsur Australomelanesid. Hanya masa yang belakangan
mikroevolusi sehingga ciri-ciri yang progresif lebih banyak terdapat. Sulawesi keadaannya khas,
karena dipengaruhi Mongoloid lebih lebih kuat dan lebih awal disini.
Selain rangka manusia jenis Austramelanesoid pada lapisan kulit kerang dipantai Sumatra
Utara juga ditemukan artefak berupa kapak genggam (sumateralit) dan batu giling. Bahannya
terbuat dari batu keras (andesit) yang ditajamkan secara bergelombang. Bahan yang digunakan
serta teknik pembuatannya hampir sama dengan kapak batu yang terdapat di Hoa-Binh dan Bac
Son Vietnam. Mme Madeline Colani, seorang prasejarah Perancis memberi nama alat-alat
tersebut sebagai kebudayaan Bacson Hoa-Binh. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tonkin
merupakan pusat kebudayaan Asia Tenggara. Oleh karena itu alat-alat batu itu dinamakan
dengan alat budayaHoa-Bin dan Bacson.
Manusia pada masa ini juga sudah mengenal sistem penguburan sebagai akibat dari
kehidupan yang sudah mulai menetap. Di batu giling dan rangka manusia juga ditemukan bekas
warna merah, juga pada rangka manusia. Hal ini menunjukkan bahwa bahan warna merah telah
dibuat pada batu giling yang kemudian dioleskan atau ditaburkan pada rangka manusia sebagai
hematit. Di eropa penaburan oker merah (hematit) dilakukan terhadap mayat sebelum dikubur,
gunanya untuk memulihkan kembali warnanya seperti orang hidup. Sedangkan di Indonesia
dilakukan pada saat di penguburan. Penaburan hematit ini dilakukan dalam rangka manusia
setelah mati akan tetap hidup dalam alam ghaib. Dengan demikian telah muncul kepercayaan
hidup setelah mati atau kebudayaan rohani.
Istilah Bacson Hoabinh ini digunakan sejak tahun 1920-an untuk menunjukkan tempat
pembuatan alat-alat batu yang dimemiliki ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya.
Batu kali yang berukuran lebih kurang satu kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi
bagian yang tajam. Banyak ditemukan di kawasan Asia Tenggara, Myanmar (Burma) barat
sampai utara hingga propinsi-propinsi selatan antara 1800 dan 3000 tahun yang lalu. Di
Indonesia alat-alat dari Bacson Hoabinh dapat ditemukan di daerah Sumatra (Lhokseumawe
Aceh dan Medan), Jawa (lembah sungai bengawan Solo), Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi
sampai ke Papua (Irian Jaya). Dibandingkan dengan budaya Hoa Binh yang sesungguhnya,
pembuatan alat batu yang ditemukan di Sumatra teknologinya lebih sederhana. Biasanya terdapat
di bukit sampah kerang disekitar pantai.
1. Kapak Genggam
Kapak Genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan
pebble atau kapak Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau
Sumatera.
Disekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan
kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada
yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat
tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah.
3. Flakes
Flakes berupa alat-alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih.
Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti
calsedon.
Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris
daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Selain
ditemukan di Sangiran, flakes ditemukan didaerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi,
Jampang, Kulon, Ngandong (jawa), Lahat (Sumatra), Baturing (Sumbawa), Cabbenge
(Sulawesi), Wangka, Soa, Mangeruda.
BAB lll
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada masa bercocok tanam ini yang mana kondisi alam sudah stabil sehingga mempengaruhi
jumlah perkembangan manusia pada saat ini.keterbatasan alam dalam dalam menyediakan
kebutuhan hidup manusia sehingga semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan bahan
makanan ini menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam memenuhi kebutuhan manusia
pada saat itu,yang mana pada awalnya manusia cenderung food gathering berubah menjadi good
producing.
Pada masa bercocok tanam ini manusia sudah mulai hidup menetap di suatu wilayah
perkampungan ,sudah ada munculnya sistem kekeluargaan ,dan telah adanya unsur kepercayaan.
Manusia pendukung pada masa bercocok tanam ini di kaitan dengan nenek moyang bangsa
Indonesia dari jenis bangsa Austronesia yang semula menepati kawasan asia tenggara antara
Yunan dan tonkin.manusia yang hidup pada masa bercocok tanam ini terdiri dari manusia
Austramelanosoid dan Mongoloid .
Kebudayaan Bacson hoabinh ,kebudayaan bacson hoabinh terletak di lembah sungai Mekong
,bacson adalah daerah pegunungan dan hoabinh adalah daerah dataran ,keduanya terletak tidak
jauh dari teluk tonkin.ras Papua melanesoid merupakan manusia pendukung kebudayaan bacson
hoabinh ,hasil kebudayaan bacson hoabin berupa kapak genggam,kapak dari tulang dan tanduk
dan flakes.
3.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat ,kami sebagai pemateri menyadari banyak kesalahan dan jauh
dari kata sempurna ,Mak dari itu kami mengharapkan kritik dan saran mengenai makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hubert Forestier ,Ribuan Gunung ,Ribuan alat bantu ,Prasejarah Sang Keplek ,Gunung Sewu
,Jawa Timur .Jakarta :Perpustakaan Populer Gramedia.2007.Hal 43-44.