Kelompok :
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2019
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL………………………………….........................……………………………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………….……………………………….. 1
A. Simpulan …………………………………………………………………………….. 30
B. Saran …………………………………………………….………………………….... 31
PERBANDINGAN HUKUM INGGRIS DAN JERMAN
BAB I
PENDAHULUAN
• Latar Belakang
Tiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri, karena hukum itu adalah gejala masyarakat,
bagian daripada kebudayaan bangsa dan dipengaruhi oleh iklim, lingkungan dan cara kehidupan
dalam masyarakat hukum yang bersangkutan. Dengan beragamnya sistem hukum tersebut maka
sangat beratlah untuk mengetahui semua sistem-sistem hukum itu. Oleh karena itu comparatist
harus mencari kemudahan dalam memproses perbandingan hukum yakni dengan mencari lebih
dulu titik persamaan dan titik perbedaan. Untuk itu penulis dalam makalah ini akan membahas
tentang perbandingan sejarah/perkembangan sistem hukum Inggris dengan sistem hukum
Romawi Jerman dalam bab selanjutnya.
• Rumusan Masalah
• Bagaimana sejarah dan perkembangan hukum Inggris?
• Bagaimana sejarah dan perkembangan hukum Romawi Jerman?
• Kegunaan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan hukum Inggris.
PEMBAHASAN
Pada waktu sekarang keadaan tersebut masih tampak pada parlemen Inggris yang terdiri dari
House of Lord dan House of Common sesuai dengan susunan masyarakatnya yang didasarkan pada
golongan aristocrat dan rakyat jelata dalam abad pertengahan. Sebaliknya di Eropa daratan susunan
masyarakat dan negara yang feodalistik mencapai puncaknya menjadi absolutisme pada abad pertengahan
yang secara drastis berubah menjadi negara konstitusional seperti yang terjadi pada revolusi Perancis. Ini
berarti adanya perombakan secara revolusioner dari negara monarki absolute menjadi negara
konstitusional.
Dengan kepribadiannya yang khusus terbentuklah hukum yang karakteristik. Inggris dengan
corak yang khas yang berbeda dengan hukum di negara-negara yang termasuk negara-negara Eropa
Kontinental atau keluarga hukum Romawi Germania, meskipun hukum Inggris itu sendiri dari masa ke
masa mengalami perubahan, sehubungan dengan adanya perkembangan pemikiran dari orang-orang
Inggris sendiri. Hukum Inggris itu selain di Inggris sendiri juga berlaku di semua negara yang secara
politis mempunyai ikatan dengan Inggris. Terhadap negara-negara tersebut hukum Inggris mempunyai
pengaruh yang besar.
Dalam arti sempit dan murni hukum Inggris hanya berlaku di daerah yang dinamakan England
dan Wales. Ia tidak berlaku di Irlandia Utara, Skotlandia, Kepulauan Cina dan Kepulauan Man. Hukum
Inggris tersebut menduduki tempat yang penting dalam keluarga hukum Common law karena dianggap
sebagai pola bagi perkembangan hukum di daerah-daerah lain dalam lingkungan hukum tersebut. Seperti
halnya hukum Romawi-Jerman yang terbagi dalam dua kelompok hukum publik dan privat, maka hukum
Inggris juga terbagi dalam dua kelompok hukum yakni hukum Common law dan hukum Equity di
samping Statute law. Common law adalah bagian dari hukum Inggris. Sedangkan hukum Equity adalah
hukum yang didasarkan pada natural justice, keadilan yang timbul dari hati nurani. Hukum ini
mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Common law. Equity menciptakan hukum
baru yang disebut doctrine undue influencesyang pada hakikatnya merupakan suatu moral imperative
dalam rangka melaksanakan hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan oleh Common law. Putusan-putusan
hukum Equity memperbaiki dan melengkapi Common law.
Adapun Statuta Law adalah hukum tertulis di Inggris yang dibuat oleh parlemen karena Common
law yang didasarkan pada Yurisprudensi tidak dapat mengimbangi munculnya masalah-masalah yang
baru (secara cepat) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Untuk mengimbangi kelambatan
yurisprudensi yang dibatasi oleh jumlah perkara yang diputus oleh hakim, maka dibuatlah peraturan-
peraturan tertulis yang dapat disamakan dengan Undang-undang. Jadi Statuta Law berfungsi mengkoreksi
dan melengkapi kekurangan-kekurangan daripada Common law. Adapun bagi orang Inggris sendiri
sedikit banyak Statuta law dianggap sebagai hukum yang bercorak asing/tidak mempunyai corak Inggris
dan pada asasnya hukum Inggris itu adalah Common law.
a. Disusunlah suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. agar mendapatkan kepastian hukum
kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh Glanvild chief justitior dari Henry II dengan judul Legibus
Angliae.
b. Diberlakukannya sistem writyakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar membuktikan bahwa hak-
hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian tergugat mendapat kesempatan untuk membela diri.
c. Diadakan sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak mendasarkan pada hukum kebiasaan setempat
melainkan pada Common Law yang merupakan suatu unifikasi hukum kebiasaan yang sudah diputus oleh
Hakim (Yurisprudensi). Hal ini merupakan suatu kemajuan yang semula hanya ada minorial court yang
didirikan oleh para Lord.[2]
Lama kelamaan semakin banyak orang yang mencari keadilan kepada Lord of Chancellor dan
akhirnya berkembang, sehingga terbentuklah pengadilan tersendiri menjadi apa yang dinamakan Court of
Chancery di samping Royal court yang sudah ada. Court of Chancery tersebut merupakan suatu
pengadilan yang sangat penting dalam mengadili masalah trust.Trust adalah hak waris yang diberikan
kepada orang laki-laki oleh Common law. Orang wanita tidak berhak sebagai ahli waris meskipun ia
sudah dewasa dan demikian pula anak-anak. Akibatnya ialah bahwa seorang suami yang ingin menjamin
kehidupan anak dan isterinya, apabila ia sudah meninggal dunia terpaksa mewariskan/menitipkan harta
kekayaannya kepada orang laki-laki lain untuk dijadikan cagak hidup anak dan isterinya yang
ditinggalkan.
Ternyata banyak orang laki-laki yang dititipi harta kekayaan untuk cagak hidup anak-anak dan
janda tersebut menyalahgunakan kepercayaan tersebut, sehingga yang terakhir ini menjadi hidup terlantar.
Untuk mengadu kepada Royal court tentang hal ini tidak mungkin, karenaCommon law justru melindungi
hak kaum laki-laki tersebut (right in Common law). Sebaliknya para janda beserta anak-anaknya meminta
keadilan kepada court of chancery yang menciptakan right in Equity bagi mereka berdasarkan natural
justice (keadilan) dan hukum kanonik. Kemudian dengan adanya reorganisasi pengadilan di Inggris
(judicature act pada tahun 1873-1875) pengadilan Royal Court dan Court of Chancery diletakkan di
bawah satu atap. Tugas dalam penyelesaian perkara sudah tidak berbeda lagi. Artinya perkara-perkara
Equity (cases at Equity) sama-sama dapat diajukan ke salah satu pengadilan tersebut. Namun demikian di
dalam praktik orang-orang tidak mau mematuhinya. Mereka tetap mengajukan tuntutannya kepada
masing-masing pengadilan sesuai denga jenis perkaranya.[6]
• Faktor suasana
Kalau dilihat dari asas stare decisis saja memang pertumbuhan hukum di Inggris akan terlambat. Hal
ini dapat terjadi apabila masalahnya sama dan segala-galanya sama pula (yurisprudensi). Tetapi dalam
kenyataannya tidak ada suatu perkara yang keadaan seluruhnya sama. Jadi yang dapat diikuti oleh hakim
berikutnya terbatas pada pokok perkaranya saja, sedangkan yang berhubungan dengan suasananya hakim
yang belakangan mempunyai penilaian tersendiri. Dengan perkataan lain meskipun asas stare
decisis diikuti, tetapi hakim terdahulu. Namun demikian menurut Soenarjati, putusan hakim tidak dapat
dikatakan subjektif karena:
1) Seorang hakim telah mempelajari ilmu hukum yang mengandung nilai-nilai objektif.
2) Seorang hakim dalam memutuskan sesuatu juga memperhatikan pendapat-pendapat dari sarjana lainnya.
3) Jika seorang hakim memutuskan perkara secara subjektif maka kemungkinan besar dalam pengadilan
banding putusannya akan ditolak.
• Faktor reasonableness
Yang dimaksud dengan faktor reasonableness atau redelijlkheid adalah alasan yang pantas.
Reasonable ini dinilai dalam kerangka system hukum yang bersangkutan, dalam rangka kemungkinan dan
atau keadaan, sehingga putusan hakim lain putusan hakim berikutnya dapat berbeda dengan
yurisprudensi.
2) Parlemen dapat menyimpang dari hukum yang pernah diputus oleh hakim.
3) Parlemen dapat mengubah putusan pengadilan dengan suatu undnag-undang (undang-undang dapat
mengubah yurisprudensi).
Hukum Romawi Jerman adalah hukum yang berlaku di Eropa Kontinental yaitu di negara-negara
yang mengikuti hukum Romawi (semula negara-negara Jerman dan Perancis, kemudian negara Belanda
karena dijajah Perancis). Ciri khusus dari hukum Romawi Germania ialah dibagi menjadi dua kelompok
hukum yaitu:[9]
b. Hukum yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan orang.
Pembagian dalam dua kelompok tersebut berasal dari hukum Romawi hasil pemikiran ahli hukum
Ulpanus. Ia menyatakan “Hukum publik adalah hukum yang berhubungan dengan kesejahteraan Negara
Romawi, hukum perdata adalah hukum yang mengatur orang secara khusus, karena ada hal yang
merupakan kepentingan umum dan ada pula hal yang merupakan kepentingan perdata.”
Adapun terbentuknya hukum Romawi Jerman di Eropa daratan itu disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu:[10]
b. Karena bangsa-bangsa/ Negara di Eropa Kontinental menganggap hukum Romawi lebih sempurna.
c. Banyaknya mahasiswa yang mempelajari hukum Romawi di Itali yang setelah kembali menerapkan
hukum tersebut di negaranya sendiri.
d. Universitas di Jerman mempunyai peran yang besar dalam mengembangkan serta menyebarluaskan
hukum Romawi di daratan Eropa.
Seperti halnya di negara-negara lainnya, mula-mula hukum yang dipergunakan adalah hukum
kebiasaan yang di Perancis dinamakan Droit de Costumes, di negara Belanda disebutGewoonte recht dan
di Indonesia dinamakan Hukum Adat. Hukum kebiasaan tersebut adalah hukum asli mereka.
Dibandingkan dengan Indonesia ada perbedaan sedikit yakni bahwa hukum adat sampai saat ini dapat
dipertahankan, sedangkan hukum kebiasaan di Eropa Kontinental tinggal sejarah saja. Hal-hal yang
menyebabkan lenyapnya hukum kebiasaan di Eropa Kontinental adalah adanya penjajahan oleh bangsa
Romawi dan adanya anggapan bahwa hukum Romawi lebih baik daripada hukum mereka sendiri,
sehingga diadakannya resepsi hukum. Anggapan atas hukum Romawi sebagai hukum yang sempurna
tersebut memang wajar, karena jauh sebelumnya tepatnya sejak abad ke satu bangsa Yunani dengan ahli-
ahli hukumnya seperti Gajus Ulpanus telah menciptakan serta mempersembahkan suatu system hukum
kepada bangsa dan negaranya. Bahkan pada abad ke enam mereka dapat menyajikan kodifikasi hukum
Romawi dalam kitab yang diberi nama Corpus Lurus Civilis. Anggapan tersebut timbul atas hasil
penelitian para Glossatoren (pencatat/peneliti) dalam abad pertengahan.[11]
Di samping penyebab tersebut di muka, masih ada faktor-faktor lain yang mendorong
diresepsinya hukum Romawi oleh negara-negara Eropa Daratan antara lain:[12]
a. Banyaknya mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara yang belajar khususnya hukum Romawi di Perancis
Selatan dan di Itali yang pada abad itu meruapakan pusat kebudayaan Eropa, sehingga setelah mereka
kembali ke negaranya masing-masing mereka tidak hanya mempergunakan hukum Romawi dalam
masalah-masalah yang tidak dapat mereka atasi, melainkan mereka juga menerapkan hukum Romawi,
meskipun sebenarnya hukum mereka sendiri telah tersedia.
b. Adanya kepercayaan pada hukum alam yang asasi yang dianggap sebagai huku yang sempurna dan selalu
berlaku kapan saja dan di mana saja. Biasanya hukum alam ini disamakan dengan hukum Romawi.
Perancis adalah salah satu negara di Eropa Kontinental yang meresepsi hukum Romawi. Sebelum
diadakannya unifikasi hukum oleh kaisar Napoleon Bonaparte, hukum yang berlaku di Perancis
bermacam-macam yaitu hukum Germania di samping hukum Romawi. Di bagian utara dan tengah
berlaku hukum lokal (pays de droit coutumier) yakni hukum kebiasaan Perancis kuno yang berasal dari
hukum Romawi (pays de droit ecrit) yang telah mengalami kodifikasi dalam Corpus Iurisadalah hukum
yang tetapkan oleh gereja Katolik ialah hukum Kanonik dalam Codex Iuris Canonical dan berlaku
diseluruh Perancis.
Dengan berlakunya berbagai macam hukum tersebut, maka di Perancis dirasakan tidak adanya
kepastian hukum dan kesatuan hukum. Timbullah kesadaran perlu diadakannya kesatuan hukum.
Sebenarnya gagasan untuk mengunifikasikan hukum di Perancis ini telah timbul sejak abad XV (Raja
Louis XI) yang kemudian dilanjutkan secara berturut-turut oleh:[13]
b. Para ahli hukum seperti Charles Doumulin (1500-1566), Jean Domat (1625-1696), Robert Joseph Pothier
(1699-1771), dan Francois Bourjon.
Cita-cita untuk membukukan hukum perdata dalam Corpus de lois berlangsung terus dan
meskipun belum seluruh cita-cita tersebut terlaksana, namun pada akhir abad XVII dan permulaan abad
XVIII sewaktu pemerintahan raja Louis XV dapat diterbitkan tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang
khusus dan yang diberi namaordonansi Daguesseau. Ordonansi yang dimaksud adalah:
Seperti di Perancis hukum yang mula-mula dipergunakan oleh masyarakat Belanda adalah hukum
kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno. Penjajahan Perancis (1806-1813) mengakibatkan terdesaknya
hukum Belanda kuno dan hukum Code CivilPerancislah yang menggantinya. Setelah negeri Belanda
merdeka, maka setahun kemudian dibentuklah sebuah panitia yang bertugas menyusun rencana kode
hukum Belanda berdasarkan Undang-undang Dasar Belanda pasal 100 yang diketuai oelh Mr. J.M.
Kemper. Rencana kode hukum Belanda yang dimaksud didasarkan pada hukum Belanda kino yang tidak
dapat disepakati oleh para ahli hukum Belgia (pada waktu itu negeri Belanda menjadi satu dengan
Belgia). Mereka menghendaki agar kode Napoleonlah yang dipergunakan sebagai dasar daripada rencana
kode Belanda.[15]
Kode hukum Belanda sebagian besar didasarkan pada kode civil Perancis dan sedikit yang
bersumber pada hukum Belanda kuno, yakni terdiri dari empat buku seperti susunan Institusiones dalam
Corpus Civil. Namun demikian perbedaannya tidak banyak karena hukum Perancis juga berasal dari
hukum Romawi. Kalau hukum perdata Belanda dan Perancis banyak meresepsi hukum Romawi, tetapi
tidak demikianlah dengan hukum dagangnya. Yang terakhir ini mempunyai histori tersendiri dalam
pertumbuhannya yaitu:[16]
a. Perkembangan hukum dagang mempunyai hubungan erat dengan lahirnya kota-kota di Eropa Barat
terutama di Perancis Selatan dan Itali.
b. Kebutulan hukum Romawi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari perdagangan,
sehingga dibuatlah peraturan-peraturan hukum dagang tersendiri yang lama kelamaan menjadi himpunan
hukum yang berdiri sendiri dan dijadikan hukum yang berlaku khusus bagi golongan-golongan
pedagang/pengusaha. Hukum ini dinamakan hukum dagang dan merupakan permulaan daripada
timbulnya kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional.
Pada waktu Belanda menyusun kode hukum Belanda, hukum dagangnya dipisahkan dengan
hukum perdata, meskipun sewaktu negeri Belanda belum dijajah oleh Perancis dan masih
diberlakukannya hukum Belanda kuno, tidak pernah ada pemisahan penggunaan oleh penduduk antara
kedua hukum tersebut, artinya hukum dagang dan hukum perdata sama-sama berlaku bagi setiap
penduduk. Hukum dagang yang hanya berlaku bagi kaum pedagang saja berlaku sejak tahun 1838, namun
sejak pertengahan kedua abad XIX hukum dagang dianggap berlaku bagi golongan bukan pedagang.
Di samping hal tersebut, paham liberal juga mempengaruhi pertumbuhan hukum di Eropa
Daratan termasuk di negeri Belanda. Aliran ini berpokok pangkal pada paham, bahwa manusia itu
dilahirkan secara bebas dan masing-masing mempunyai hak yang sama. Aliran ini pulalah yang
mengakibatkan revolusi Perancis yang terkenal tumbangnya pemerintahan feudal dengan kekuasaan raja-
raja secara absolute dan tidak seimbang dengan hak-hak yang dipunyai rakyat. Aliran liberalism sangat
menonjolkan individu dan menginginkan kebebasan individu dengan semboyanlaissez faire, laissez
passer. Alam pikiran ini menjelma dalam pembentukan hukum yang terjadi setelah revolusi Perancis
seperti pembentukan kodifikasi hukum Perancis dan hukum Belanda yang meniru Perancis.[17]
Sifat individualistis tersebut nampak pada hukum perdata Belanda tentang hak milik yang
menyatakan bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak dan bebas untuk memilikinya, sehingga
pemerintah pun tidak dapat bertindak terhadap milik seseorang, meskipun hak itu diperlukan untuk
kepentingan umum. Dengan adanya perubahan struktur melahirkan struktur masyarakat yang baru juga
kodifikasi yang telah ada dirasa perlu untuk diubah. Di Perancis dan negeri Belanda perubahan itu terjadi
dengan diberlakukannya yusrisprudensi yang melengkapi kodifikasi seperti yang terjadi pada putusan
Pengadilan Tinggi Colmar (Perancis) tanggal 2 Mei 1855 yang menyatakan, bahwa hak seseorang tidak
boleh mengganggu hak orang lain tanpa adanya kepentingan yang layak. Di negeri Belanda dikenal
adanyaarrest 31 Januari 1919. Arrest ini menyatakan, bahwa perbuatan melawan hukum bukan hanya
perbuatan yang melawan undang-undang saja, melainkan juga perbuatan yang bertentangan dengan
kaidah sosial lainnya seperti kesusilaan dan asas pergaulan kemasyarakatan dengan menghormati orang
lain atau hak dari barang orang lain.[18]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi merupakan pelengkap dari kodifikasi
yang selalu ketinggalan dengan kemajuan zaman sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan lagi. Maka
setelah adanya persoalan hukum, kodifikasi bukan satu-satunya pegangan lagi seperti dalam zaman
legisme, karena sejarah menunjukkan bahwa kodifikasi masih perlu dilengkapi baik oleh yurisprudensi
maupun oleh kaidah-kaidah hukum lainnya. Maka tidak mengherankanlah apabila di negeri Belanda
diadakan perubahan kodifikasi dari BW 1838 deng BW 1951, karena terjadinya perubahan masyrakat
setelah perang dunia kedua. Perubahan kodifikasi tersebut dikenal dengan istilah Konsepsi Meyers.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan di Inggris, maka pembentukan hukum di negeri
Belanda adalah terbalik. Mula-mula kodifikasi yang kemudia menjadi undang-undang tidak lagi menjadi
satu-satunya sumber hukum (legisme), karena tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul
kemudian. Kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai produk yang mengatur masyarakat secara keseluruhan
dan secara sempurna. Pengalaman menunjukkan bahwa kodifikasi masih
mempunyai leemten (kekosongan-kekosongan) artinya masih banyak hal-hal yang belum diatur. Maka
dalam penyelesaian masalah dipergunakan yurisprudensi dan penafsiran teleologis di samping kodifikasi.
Meskipun di negeri Belanda tidak berlaku asas stare decisesyurisprudensi tetap (vaste jurisprudensi)
dapat terjamin ,karena adanya kontrol di pengadilan yang lebih tinggi terhadap pengadilan yang lebih
rendah.[19]
Kemudian pembaharuan oleh yurisprudensi diakui dan disempurnakan lagi dengan perubahan
BW dalam tahun 1951. Dengan adanya gewoonte geeft geen recht dan alleen wanneer de wer er naar
verwijst dapat diketahui bahwa di negeri Belanda ada kaidah hukum yang ditimbulkan oleh kebiasaan,
sehingga juga di negeri Belanda maupun Eropa continental pada umumnya sekalipun bertitik tolak pada
hukum itu terdapat juga dalam undang-undang, yurisprudensi dan kebiasaan. Hal tersebut berarti,
mengetahui hukum yang sebenarnya, maka tidak hanya dilihat dari undang-undangnya saja, tetapi juga
harus ditinjau dari hubungannya dengan yurisprudensi yang terbaru. Pada waktu itu hukum yang berlaku
di negeri Belanda adalah Undang-Undang kebiasaan dan Yurisprudensi.[20]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
1. Sistem hukum di Inggris ada 3 yaitu hukum Common Law, hukum Equity dan Statuta Law.
a. Hukum Common Law adalah hukum yang terbentuk dan merupakan unifikasi hukum yang telah diputus
hakim (yurisprudensi).
b. Equity ialah hukum kanonik/gereja yang bersumber pada natural law dan timbul karena Common Law
tidak dapat menampung seluruh masalah-masalah tertentu seperti trust.
c. Statuta Law adalah hukum tertulis yang dibuat oleh parlemen karena Common Law yang didasarkan pada
yurisprudensi kadang-kadang belum lengkap dan ketinggalan dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang baru dan juga untuk mengoreksi serta mengisi kekurangan-kekurangan Common Law yang tidak
dapat mengimbangi kebutuhan keadilan dari masyarakat yang terus berkembang.
2. Sistem hukum Eropa Kontinental sering disebut dengan system hukum Romawi Jerman atau Civil Law.
Asal mulanya sistem ini adalah dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Justinianus. Kumpulan peraturan-peraturan tersebut kemudian disebut Corpus Juris
Civilis.Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat padaCorpus Juris Civilis itu
dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa Kontinental seperti Jerman,
Belanda, Perancis dan Italia, juga Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan
pemerintahan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan, Michael, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Bandung: Nusa Media, 2010.
[2]Ibid, h. 64