Anda di halaman 1dari 95

RASIONALITAS PENGGUNAAN METFORMIN PADA

PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE-2


DI BEBERAPA RUMAH SAKIT
DI KOTA PALEMBANG

Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh:
Arief Tri Wibowo
04111001119

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
PERNYATAAN

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini dengan ini menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister dan/atau doktor*), baik di
Universitas Sriwijaya maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan verbal Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan
dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat
penyimpangandan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik atau sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan
tinggi ini.

Palembang, 14 Januari 2015


Yang membuat pernyataan,

Arief Tri Wibowo


NIM. 04111001119

*Coret yang tidak perlu

iii
ABSTRAK

RASIONALITAS PENGGUNAAN METFORMIN PADA PENDERITA


DIABETES MELLITUS TIPE-2 DI BEBERAPA RUMAH SAKIT
DI KOTA PALEMBANG

(Arief Tri Wibowo, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 58 halaman)

Latar Belakang: Penderita diabetes mellitus tiap tahun selalu meningkat. Setelah
seseorang didiagnosa menderita diabetes mellitus maka diperlukan pengobatan seumur
hidup. Obat lini pertama bagi penderita diabetes mellitus tipe-2 adalah metformin.
Selain sangat efektif, metformin banyak tersedia di pasaran dan harga relatif murah.
Namun, penggunaan metformin yang tidak rasional dapat meningkatkan risiko
terjadinya asidosis laktat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas
penggunaan metformin pada penderita diabetes mellitus tipe-2 di Palembang.
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif observasional, dengan menggunakan
data sekunder rekam medik. Dengan populasi penelitian adalah penderita DM tipe-2 di
Palembang. Sampel penelitian adalah penderita DM tipe-2 yang menjalani rawat inap di
RSUD Bari, RS Siti Khadijah dan RS Muh Hoesin. Dan subjek penelitian adalah
penderita diabetes mellitus tipe-2 yang mendapatkan pengobatan metformin periode 1
Januari–31 Desember 2013.
Hasil: Dari 135 rekam medik yang diteliti, didapatkan 46 laki-laki dan 89 perempuan.
Pada laki-laki maupun perempuan paling banyak terjadi pada kelompok usia 45-64
tahun (19.3% dan 45.1%). Penyakit penyerta yang paling banyak terjadi adalah
hipertensi (26.7%). Penurunan glukosa darah dengan sediaan tunggal sebesar 15–25%,
sementara untuk sediaan kombinasi >40%. Dosis harian yang sering digunakan (62.2%)
adalah 1500 mg/hari dengan frekuensi pemberian 3x sehari. Sementara kombinasi yang
sering digunakan metformin dengan sulfonilurea (62.5%). Masih terdapat interaksi
bersifat antagonis dengan metformin di ketiga rumah sakit yaitu RSMH 2.7%, RSUD
Bari 2.6%, RS Siti Khadijah 4.7%
Kesimpulan: Dari segi dosis, frekuensi dan kombinasi penggunaan antidiabetik oral
metformin di RSUD Bari, RS Siti Khadijah dan RS Muh Hoesin sudah rasional.
Namun, waktu pemberian belum dapat dinilai karena data tidak tersedia.

Kata kunci: Diabetes mellitus tipe-2, rasionalitas obat, antidiabetik oral, metformin.

iv
ABSTRACT

THE RATIONALITY OF METFORMIN USAGE ON TYPE-2 DIABETES


MELLITUS PATIENT AT SOME HOSPITALS IN PALEMBANG

(Arief Tri Wibowo, Medical Faculty Sriwijaya University, 58 pages)

Introduction: Every year, diabetes mellitus patient is always increasing. After someone
got diagnosed by diabetes mellitus, then the whole life treatment is needed. The first
line treatment for diabetes mellitus is metformin. Beside it is very effective, metformin
is available in any place with cheap price. But, the use of metformin irrationaly can
increas the risk of lactic acidosis. This study aim to determine the rationality of
metformin usage on type-2 diabetes mellitus in Palembang.
Method: This reasearch is a descriptive observational with secondary data from
medical record. The population is type-2 diabetes mellitus in Palembang. The Sample
is type-2 diabetetes mellitus in patient undergo at RSUD Bari, RS Siti Khadijah and RS
Muh Hoesin . And the subject is type-2 diabetes mellitus patient who using metformin
as treatment periode 1 January- 31 December 2013.
Result: From 135 studied medical records, there are 46 male and 89 female. On male
nor female the mos frequent cases are on 45-64 years old (19.3% and 45.1%) . The most
frequent complication is hypertention (26.7%). The reduction of blood glucose eith
single dose is 15 – 25%, while for combination dose >40%. The most frequent daily
dose (62.2%) is 1500 mg/day with giving frequency 3x a day. While the most frequent
combination of metformin is sulfonylurea (62.5%). There is still antagonist interaction
of metformin at three hospitals, there are RSMH 2.7%, RSUD Bari 2.6%, RS Siti
Khadijah 4.7%
Conclusion: In terms of doses, the frequency and the use of oral antidiabetic metformin
in Bari hospital, Siti Khadijah hospital and Muh Hoesin hospital is rational. However,
the time yet to be assessed for anavailable data.

Key words: Type-2 diabetes mellitus , Drug rationality, Oral Antidiabetic, Metformin.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT.


karena atas rahmat dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis
dengan judul “Rasionalitas Penggunaan Metformin pada Penderita Diabetes
Mellitus Tipe-2 di Beberapa Rumah Sakit di Kota Palembang”. Shalawat serta
salam semoga Allah curahkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir jaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pembimbing I dr. Syahril Aziz,
Sp.FK, M.Kes, Pembimbing II Dra. Enny Kusumastuti, Apt, M.Kes., Penguji
Prof. Dr. dr. HMT Kamalludin, Sp.FK, M.Sc atas segala bimbingan, masukan
serta kesabaran dalam membimbing penulis dari awal hingga karya tulis ini
selesai dibuat.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua dan
keluarga, yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun finansial
dalam pembuatkan skripsi ini. Tidak lupa juga penulis mengucapkan teman-
teman sejawat seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu atas
waktu, tenaga dan inspirasinya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak sekali kekurangan
dan kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
kebaikan kita bersama. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, 14 Januari 2015

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 3
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................ 3
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Diabetes Mellitus ................................................................................ 5
2.1.1 Definisi ..................................................................................... 5
2.1.2 Klasifikasi ................................................................................. 5
2.1.3 Faktor Resiko ............................................................................ 6
2.1.4 Patogenesis ............................................................................... 6
2.1.5 Gejala dan Diagnosis ................................................................ 10
2.1.6 Komplikasi................................................................................ 11
2.1.7 Penatalaksanaan ........................................................................ 12
2.2 Obat Antidiabetik Oral ....................................................................... 15
2.3 Golongan Biguanid ............................................................................. 17
2.4 Kombinasi Obat Antidiabetik Oral ..................................................... 26
2.5 Interaksi Obat ..................................................................................... 27
2.6 Rasionalitas Obat ................................................................................ 27
2.7 Kerangka Teori ................................................................................... 31

BAB III METODE PENELITIAN


3.1. Jenis Penelitian ................................................................................... 32
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................. 32
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 32
3.3.1. Populasi Penelitian.................................................................... 32
3.3.2. Sampel Penelitian ..................................................................... 32
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................... 33
3.4. Variabel Penelitian dan Batasan Operasional ...................................... 33
3.4.1. Variabel Penelitian ................................................................... 33

vii
3.4.2. Batasan Operasional ................................................................. 33
3.5. Paramater Keberhasilan ...................................................................... 34
3.6. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 34
3.7. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ........................................................... 35
4.1.1 Usia dan Jenis Kelamin .............................................................. 35
4.1.2 Glukosa Darah Sewaktu ............................................................. 38
4.1.3 Kadar HbA1c ............................................................................. 39
4.1.4 Penurunan Glukosa Darah.......................................................... 39
4.1.5 Penyakit Penyerta Penderita DM tipe-2 ..................................... 41
4.1.6 Keluhan Pasien Penderita DM tipe-2 ......................................... 42
4.2 Rasionalitas Penggunaan Obat Metformin.......................................... 43
4.2.1 Dosis Pemberian......................................................................... 43
4.2.2 Frekuensi Pemberian .................................................................. 45
4.2.3 Waktu Pemberian ....................................................................... 46
4.2.4 Kombinasi dengan Obat Antidiabetik lain ................................. 47
4.2.5 Interaksi Metformin dengan Obat lain ....................................... 48
4.2.5.1 Interaksi Sinergis ............................................................... 49
4.2.5.2 Interaksi Potensiasi............................................................ 49
4.2.5.3 Interaksi Antagonis ........................................................... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 52
5.2 Saran .................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55


LAMPIRAN
BIODATA

viii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Target penatalaksanaan DM ........................................................................ 15
2. Interaksi obat golongan biguanid................................................................. 22
3. Obat metformin yang beredar di pasaran .......................................................... 23
4. Terapi kombinasi obat antidiabetik oral ...................................................... 26
5. Distribusi Penderita DM tipe-2 berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ........ 35
6. Distribusi Penderita DM tipe-2 berdasarkan Jenis Kelamin ....................... 36
7. Distribusi Penderita DM tipe-2 berdasarkan Usia ....................................... 37
8. Distribusi Penderita DM tipe-2 berdasarkan GDS ...................................... 38
9. Distribusi Penderita DM tipe-2 berdasarkan Kadar HbA1c ........................ 39
10. Distribusi Persentase Penurunan Glukosa Darah ........................................ 40
11. Distribusi Penyakit Penyerta yang dialami Penderita DM tipe-2 ................ 41
12. Distribusi Keluhan yang dialami Penderita DM tipe-2 ............................... 43
13. Distribusi Dosis Pemberian Metformin sediaan Tunggal............................ 44
14. Distribusi Dosis Pemberian Metformin sediaan Kombinasi ...................... 44
15. Distribusi Frekuensi Pemberian Metformin sediaan Tunggal ..................... 45
16. Distribusi Frekuensi Pemberian Metformin sediaan Kombinasi ................. 46
17. Distribusi Waktu Pemberian obat Metformin pada Pasien DM tipe-2 ........ 47
18. Distribusi Obat Antidiabetik yang dikombinasikan dengan Metformin...... 48
19. Distribusi Interaksi obat dengan Metformin yang bersifat Sinergis ............ 49
20. Distribusi Interaksi obat dengan Metformin yang bersifat Potensiasi ......... 50
21. Distribusi Interaksi obat dengan Metformin yang bersifat Antagonis......... 51

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Alur Transduksi Sinyal Insulin di Otot rangka ............................................ 8
2. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 ........................................................ 14
3. Definisi dan Indikator Penggunaan obat...................................................... 28

x
DAFTAR SINGKATAN

ACC : Acetyl Co-A Karboksilase


ADA : American Diabetes Association
AMPK : Activated Protein Kinase
DM : Diabetes Mellitus
DMT2 : Diabetes Mellitus Tipe 2
FPG : Fasting Plasma Glucose
GDPP : Gula Darah Post Prandial
GDS : Gula Darah Sewaktu
GI : Gastro-Intestinal
GLP-1 : Glukagon Like Peptide-1
HBA1C : Glycohemoglobin
HDL : High Density Lipoprotein
IDF : International Diabetes Federation
IMT : Indeks Massa Tubuh
KHNK : Koma Hiperosmolar Non Ketotik
LDL : Low Density Lipoprotein
PAI : Plasminogen Activator Inhibitor
PCOS : Polycystic Ovarium Syndrome
PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PJK : Penyakit Jantung Koroner
RS : Rumah Sakit
RSMH : Rumah Sakit Muh. Hoesin
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
TTGO : Test Toleransi Glukosa Oral
DPP-IV : Dipeptidyl peptidase IV
GLP-1 : Glukagon Like Peptide 1

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit tidak menular yang sering
ditemui di dunia. Pengertian diabetes mellitus itu sendiri adalah suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar
glukosa darah karena kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.
(Soegondo,2009)
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai dunia.
Salah satunya, menurut data dari IDF (international diabetes federation)
menyebutkan bahwa pada tahun 2012 jumlah penderita diabetes di dunia 371
juta orang, sementara pada tahun 2013 jumlah penderita diabetes di dunia 382
juta orang. Berdasarkan data tersebut terjadi kenaikan penderita diabetes 11
juta jiwa di seluruh dunia. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-7
penderita diabetes terbanyak di dunia dengan jumlah penderita mencapai 8,5
juta orang pada rentang usia sekitar 20-79 tahun (IDF Atlas,2013).
Sementara menurut penelitian yang dilakukan oleh riskesda tahun
2013, jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia sebesar 2,1%. Jumlah
ini meningkat dari penelitian sebelumnya tahun 2007 yang hanya sebesar
1,1%. Penderita diabetes paling banyak terjadi pada usia produktif, dan
tingkat keparahan gejala diabetes meningkat sesuai pertambahan umur.
Meningkatnya prevalensi DM terjadi karena meningkatnya tingkat
kemakmuran masyarakat. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan
gaya hidup terutama di kota-kota besar.
Kasus diabetes yang paling banyak ditemui adalah diabetes mellitus
tipe 2 yang disebabkan oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Pola pengobatan pada penderita diabetes mellitus tipe 2 lebih diutamakan
pada perencanaan perubahan pola makanan diikuti dengan olahraga. Namun,

1
2

apabila setelah melakukan perubahan gaya hidup, glikemia tetap tidak bisa
dikendalikan maka diperlukan intervensi farmakoterapi untuk mengendalikan
kontrol glikemia dan mencegah komplikasi yang terjadi.
Sampai saat ini telah dikenal berbagai obat antidiabetik oral dalam
pengobatan diabetes melitus (DM). Cara kerja obat antidiabetik oral dibagi
menjadi 2 yaitu meningkatkan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau
meningkatkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin (non
secretagogue). Melihat cara kerja obat antidiabetik oral yang berbeda maka
sangat rasional bila obat antidiabetik diberikan dalam bentuk kombinasi untuk
mencapai kadar glukosa darah yang diinginkan. Namun, penggunaan obat
antidiabetik dengan obat lain secara bersamaan dapat menimbulkan efek
hipoglikemik yang berlebihan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antar
obat, yang menyebabkan perubahan efek pada obat antidiabetik oral.
Metformin salah satu obat antihiperglikemik oral dari golongan
biguanid, yang bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin.
Pengurus besar perkumpulan endokrinologi Indonesia ( PB Perkeni)
mengeluarkan konsesus baru yang mengacu pada American Diabetes
Association (ADA) yang pada intinya adalah mengajurkan penggunaan
metformin sebagai obat lini pertama dalam pengobatan diabetes mellitus tipe
2. Penggunaan metformin secara monoterapi hanya digunakan sebagai
tambahan diet untuk mengelola gula darah yang sudah terkontrol (moses,et
all, 1999). Sementara kombinasi metformin dengan golongan lain diberikan
pada glikemik yang tidak terkontrol (Kwon,2003).
Penggunaan metformin sebagai terapi awal penderita diabetes mellitus
karena selain jarang menyebabkan syok hipoglikemik, tidak meningkatkan
berat badan, menurunkan plasma trigliserid dan kolesterol LDL
(Lebovitz,2003). Metformin ternyata sangat efektif untuk penderita diabetes
mellitus tipe 2, harga yang murah dan tersedia dipasaran. Oleh karena itulah,
pentingnya untuk mengetahui rasionalitas penggunaan metformin pada
penderita diabetes mellitus tipe 2.
3

1.2 Rumusan Masalah


Apakah penggunaan metformin pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di
RSMH, RSUD Bari dan RS Siti Khadijah selama periode 1 Januari – 31
Desember 2013 sudah rasional?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui rasionalitas penggunaan metformin pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 di beberapa rumah sakit di Kota Palembang
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik penderita diabetes mellitus tipe 2 di Bagian
Penyakit Dalam RSMH, RSUD Bari dan RS Siti Khadijah.
2. Mengetahui frekuensi pemberian metformin untuk pengobatan
penderita diabetes mellitus tipe 2 di Bagian Penyakit Dalam RSMH,
RSUD Bari dan RS Siti Khadijah.
3. Mengetahui dosis metformin yang diberikan untuk pengobatan
penderita diabetes mellitus tipe 2 di Bagian Penyakit Dalam RSMH,
RSUD Bari dan RS Siti Khadijah.
4. Mengetahui waktu pemberian metformin pada pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 di Bagian Penyakit Dalam RSMH, RSUD Bari dan RS
Siti Khadijah.
5. Memahami kombinasi metformin yang diberikan dengan obat
antidiabetes lain pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di Bagian
Penyakit Dalam RSMH, RSUD Bari dan RS Siti Khadijah.
6. Mengetahui adanya interaksi antara metformin dengan obat-obat lain
yang dikombinasikan, yang diberikan pada penderita diabetes mellitus
tipe 2 di Bagian Penyakit Dalam RSMH, RSUD Bari dan RS Siti
Khadijah.
4

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di bidang-bidang
berikut:
1. Institusi
Dapat digunakan sebagai data-data ilmiah untuk bahan pembelajaran
mengenai rasionalitas penggunaan metformin pada penderita diabetes
mellitus tipe 2.
2. Klinis
Dapat digunakan sebagai data-data ilmiah bagi Rumah Sakit untuk
meningkatkan rasionalitas penggunaan metformin pada diabetes mellitus
tipe 2 dan sebagai acuan tenaga-tenaga medis untuk penggunaan
metformin yang rasional.
3. Praktis
Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian lain yang terkait
dengan rasionalitas penggunaan metformin pada diabetes mellitus tipe 2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Mellitus


2.1.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes
mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua – duanya.

2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (2010),
terbagi 4 bagian yaitu:
a. Diabetes mellitus tipe 1
DM ini disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas yang
menyebabkan terjadinya penurunan produksi insulin. Defisiensi
produksi insulin yang terjadi bersifat absolut.
b. Diabetes mellitus tipe 2
DM tipe 2 awalnya disebabkan karena terjadinya resistensi insulin
yang semakin lama akan merusak sel beta-pankreas. Kerusakan sel
beta pankreas akibat proses homeostasis insulin didalam tubuh.
c. Diabetes mellitus gestational
DM ini muncul atau diketahui selama proses kehamilan.
d. Diabetes mellitus tipe lain
DM ini terjadi karena defek genetik fungsi sel beta pankreas, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, DM
karena obat, DM karena infeksi, DM imunologi dan sindrom genetik.

5
6

2.1.3. Faktor Resiko


2.1.3.1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
1. Riwayat keluarga
2. Ras dan etnik
Misal: Afro-Amerika, Amerika-Hispanik, Amerika asli, Asia-
Amerika dan penduduk asli Pasifik.
3. Jenis kelamin
4. Usia
5. Riwayat mengalami diabetes mellitus gestasional atau riwayat
memiliki berat badan lahir bayi ≥4000 gram
2.1.3.2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1. Obesitas
2. Kurang aktivitas fisik
3. Hipertensi
4. Displipidemia
5. Kebiasaan merokok
6. Minum alkohol
2.1.3.3. Faktor lain
1. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
2. Penderita sindrom metabolik
3. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
4. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular seperti stroke, PJK, PAD
(Peripheral Arterial Disease)

2.1.4. Patogenesis
Resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal merupakan kunci
patogenesis dari DMT2. Kondisi diabetes melitus didapat saat sekresi
insulin dari sel-sel beta pankreas tidak lagi mencukupi, beberapa
penelitian yang mendukung pendapat bahwa keadaan kurangnya sekresi
insulin tersebut di awali dengan resistensi insulin. Pasien dengan DMT2
7

mengalami banyak kelainan, namun umumnya mengalami hiperglikemia.


Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan patofisiologi.
a. Genetik
Faktor genetik berpengaruh sangat kuat terhadap morbiditas DMT2,
hal ini dibuktikan dengan kecocokan DMT2 pada saudara kembar
sebanyak 70 dan 90%. Peningkatan resiko juga terjadi pada anak
dengan orang tua penderita DMT2 dan resiko mencapai 40% jika kedua
orang tuanya mengalami DMT2. Selain faktor genetik, faktor
lingkungan (obesitas, nutrisi dan aktifitas fisik) mempengaruhi fenotip.
Gen-gen yang menyebabkan penyakit ini belum sepenuhnya di ketahui
tetapi penelitian baru-baru ini menemukan bahwa gen-gen dalam
jumlah besar yang memiliki pengaruh kecil terhadap diabetes tipe 2.
Variasi gen faktor traskripsi 7-like 2 ditemukan berhubungan dengan
DMT2 di satu populasi dan berhubungan dengan toleransi glukosa
terganggu di populasi lain. Ditemukan juga polimorfisme gen pada gen
yang mengkode proliferative-activated receptor-γ , kanal potasium,
zinc transporter, IRS, calpain 10. Mekanisme bagaimana gen-gen
tersebut menyebabkan kondisi diabetes mellitus masih belum
dimengerti tetapi banyak memprediksi gen-gen tersebut merubah
fungsi, perkembangan atau sekresi insulin dari islet di pankreas.
b. Patofisiologi
Pada fase awal diabetes mellitus, walaupun ada resistensi insulin,
toleransi glukosa masih mendekati normal karena sel beta pankreas
masih mampu mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin.
Dengan meningkatnya resistensi insulin, sel beta pankreas terus
mengkompensasi hingga terjadi hiperinsulinemia, keadaan ini terus
berlanjut sampai akhirnya sel beta pankreas tidak bisa lagi bertahan
dalam kondisi hiperinsulinemia, keadaan inilah yang disebut toleransi
glukosa terganggu (TGT) yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah postprandial (GDPP). Jika keadaan ini berlanjut maka
sekresi insulin dari sel-β pankreas akan terus menurun dan
8

meningkatkan produksi glukosa hepar sehingga akan meningkatkan


kadar gula darah puasa (GDP) dan akhirnya terjadi kegagalan pankreas.
Karakteristik diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin, resistensi
insulin, produksi glukosa hepar berlebih dan metabolisme lemak yang
abnormal.
1. Metabolisme lemak dan otot abnormal
Mekanisme pasti dari resistensi insulin belum dapat di jelaskan.
Ditemukan bukti bahwa penurunan reseptor insulin dan enzim
tyrosin kinase pada otot rangka, namun kemungkinan terjadinya
perubahan ini adalah setelah adanya hiperinsulinemia bukan
kelainan primer. Maka, kelainan fosforilasi/defosforilasi yang
terjadi setelah melewati reseptor menjadi penyebab yang
dominan terjadinya resistensi insulin (gambar 1). Contohnya
kelainan sinyal PI-3 Kinase bisa menurunkan translokasi GLUT4
di plasma membran. Kelainan juga terjadi jika ada akumulasi
lemak di otot yang menyebabkan kelainan pada fosforilasi
oksidatif dan produksi ATP di mitokondria sel-sel otot.

Gambar 1. Alur Transduksi Sinyal Insulin di Otot rangka

Sumber : Fauci Anthony S et al : Harrison’s Principles of


Internal Medicine, edisi 18.
9

Obesitas sentral maupun viseral yang disertai DMT2 diduga


menjadi bagian dari proses patogenesis. Peningkatan massa
adiposit meningkatkan asam lemak bebas dan produk sel lemak
(asam lemak bebas, retinol binding protein-4, leptin, TNF-α,
resistin dan adinopektin) dalam sirkulasi. Produk ini, disebut juga
adipokin, selain meregulasi berat badan, dan nafsu makan
memodulasi sensitifitas insulin. Peningkatan asam lemak bebas
dan beberapa adipokin meningkatkan resistensi insulin di otot dan
hati. Asam lemak bebas merusak penggunaan glukosa di otot
rangka dan meningkatkan produksi glukosa hati dan merusak
fungsi sel beta pankreas. Kadar adinopektin, peptida yang
meningkatkan sensitifitas insulin, menurun pada orang dengan
obesitas dan menyebabkan resistensi insulin di hepar.
2. Gangguan Sekresi Insulin
Resistensi insulin dan sensitifitasnya memiliki hubungan
erat. Pada awal DMT2, terjadi peningkatan sekresi insulin
sebagai respon terhadap resistensi insulin untuk menjaga
toleransi glukosa tetap normal. Pada fase ini kelainan sekresi
insulin masih ringan dan sekretagok insulin non-glukosa lain
masih bisa menstimulus sekresi insulin. Pada akhirnya kelainan
sekresi insulin berkembang menjadi keadaan dimana sekresi
insulin tidak lagi mencukupi.
Alasan menurunya sekresi insulin ini belum jelas, namun
diduga ada kelainan genetik sekunder yang menyebabkan
kegagalan sel beta pankreas. Ini dibuktikan dengan ditemukannya
penurunan massa sel beta pankreas sebanyak 50% pada individu
dengan DMT2 yang menahun. Deposit amiloid fibrillar
ditemukan pada islet sel beta pada pasien dengan diabtes melitus
tipe 2 menahun. Lingkungan metabolik juga berpengaruh negatif
pada fungsi islet. Terjadinya “toksisitas glukosa” karena
hiperglikemi kronik menyebabkan rusaknya fungsi sel beta
10

pankreas dan memperparah keadaan hiperglikemi, perbaikan


kontrol glikemik berhubungan dengan perbaikan fungsi islet dan
sel beta pankreas. Terjadi juga “toksisitas lipid”, peningkatan
asam lemak bebas dan lemak diet, yang memperparah fungsi islet.
3. Peningkatan glukosa hepar dan produksi lipid.
Resistensi insulin pada DMT2 menunjukkan kegagalan
hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang
menyebabkan hiperglikemi pada saat puasa dan penurunan
cadangan glukosa di hati pada saat sebelum makan. Peningkatan
kadar glukosa hepar terjadi di awal-awal diabetes walaupun
kemungkinan terjadi setelah onset dari kelainan sekresi insulin
dan resitensi insulin di otot. Karena adanya resistensi insulin di
jaringan adiposit, terjadi peningkatan lipolisis yang menyebabkan
peningkatan sintesis lipid (VLDL) di hepatosit. Adanya sintesis
lipid di hati ini menyebabkan terjadinya penyakit fatty liver dan
LFT abnormal. Proses tersebut juga berperan dalam terjadinya
dislipidemia yang ditemukan di DMT2 (peningkatan triglisrida,
LDL dan penurunan HDL) (Fauci, et al., 2012).

2.1.5. Gejala dan Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas


berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun. Gejala lain
yang biasanya dikeluhkan penderita adalah badan lemas, kesemutan, gatal,
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
penderita wanita.

Kriteria diagnosis DM adalah:

1. Gejala khas DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl.


(glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan tanpa
melihat dan mempertimbangkan waktu terakhir penderita makan)
11

2. Gejala khas DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl.


(glukosa plasma puasa merupakan hasil pemeriksaan yang
dilakukan dengan cara meminta penderita tidak mengkonsumsi
kalori selama 8 jam)
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl.
(TTGO dilakukan dengan menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

2.1.6. Komplikasi
Menurut PERKENI, Komplikasi Diabetes Mellitus dapat dibagi
menjadi 2 kategori, yaitu:
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah di bawah nilai normal (<
50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah lapar, gemetar,
mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, pandangan
menjadi gelap, gelisah serta bisa koma. Kadar gula darah yang
terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga terjadi kerusakan pada sel-sel otak.
2. Hiperglikemia adalah apabila gula darah meningkat secara tiba-
tiba. Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia,
kelelahan yang parah, dan pandangan kabur. Hiperglikemia yang
berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme
yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma
Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi kronis
1. Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada
penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada
sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif, dan stroke.
12

2. Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe
1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang
terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh
darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi.

2.1.7. Penatalaksanaan

Menurut PERKENI terdapat dua macam penatalaksanaan DM, yaitu :

a. Terapi tanpa obat


i. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan
terapi diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan
lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status
gizi, umur, stres akut, dan kegiatan fisik yang pada dasarnya
ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi
resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel beta terhadap
stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c.
ii. Olahraga, berolah raga secara teratur akan menurunkan dan
menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang disarankan
adalah yang bersifat Continuous, Rhymical, Interval, Progressive,
Endurance Training dan disesuaikan dengan kemampuan serta
kondisi penderita. Beberapa olahraga yang disarankan antara lain
jalan, lari, bersepeda dan berenang, dengan latihan ringan teratur
setiap hari, dapat memperbaiki metabolisme glukosa, asam lemak,
ketone bodies, dan merangsang sintesis glikogen.
13

b. Terapi Obat

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil


mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, menggunakan
antidiabetik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya. Pada
penatalaksanaan terapi DM tipe 2 terdapat alur agar terapi optimal
14

Target: Intervensi awal


HbA1c < 6,5 – 7,0 %
(penurunan 0,5 – 1 %)
GDS < 110 – 130 mg/dl
GDPP < 140 - 180 Edukasi/ nutrisi/ olahraga

Pilihan
monoterapi lain
Target tercapai Monoterapi/ kombinasi Pioglitazone/
awal sulfonilurea dan rosiglitazon
atau metformin Nateglinide
Repaglinide
Dicek HbA1c tiap 3 – 6 Akarbose/ insulin
bulan
Insulin analog

Target tercapai Target tidak tercapai Kombinasi lain:


setelah 3 bulan
Metformin/
sulfonilurea dengan
pioglitazone/
Terapi dilanjutkan atau Dicek rosiglitazone atau
HbA1c tiap 3 – 6 bulan akarbose/ miglitol
metformin dengan
Kombinasi nateglinide atau
sulfonilurea repaglinide,
insulin/insulin analog
(monoterapi/
kombinasi

Target tercapai Target tercapai setelah 3 – 6


bulan

Terapi dilanjutkan dan Intermediate-acting Insulin atau 1x perhari


dicek A1c tiap 3 – 6 glargine. Sebelum pemberian intermediate
bulan regular insulin atau lispro/ aspart mix : tambah 3
kombinasi antidiabetik oral atau ganti untuk
memisah dosis insulin/ insulin analog terapi:
berkunjung ke endokrinologis

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro et.,al,2011)


15

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa


parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
penatalaksanaan DM (Tabel 2.1).

Tabel 1. Target penatalaksanaan DM


Parameter Kadar ideal yang diharapkan
Kadar glukosa darah puasa 80 – 120 mg/dl
Kadar glukosa plasma puasa 90 – 130 mg/dl
Kadar glukosa saat tidur 100 – 140 mg/dl
Kadar insulin 110 – 150 mg/dl
Kadar HbA1c < 7%
Kadar kolesterol HDL >55 mg/dl (wanita)
>45 mg/dl (pria)
Kadar trigliserida < 200 mg/dl

Sumber: Konsesus PERKENI,2011

2.2. Obat Antidiabetik Oral


Berdasarkan cara kerjanya, obat antidiabetik oral dibagi menjadi 4 golongan,
yaitu:
1. Insulin secretagogues/ meningkatkan sekresi insulin
Obat pada golongan ini memiliki efek hipoglikemik dengan cara
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Yang termasuk
golongan ini adalah sulfonylurea dan glinid.
Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
kemampuannya untuk meningkatkan ataupun mempertahankan sekresi
insulin. Mempunyai efek samping yang sedikit dan harganya relatif
murah. Obat sulfonylurea terdiri dari 3 generasi. Yang membedakan
antar generasi adalah masa kerja, degradasi dan aktivitas metabolitnya.
Obat generasi pertama adalah acetohexamide, tolbutamide dan
chlorpropamid. Obat generasi kedua adalah glibenklamid, glipizid dan
gliclazid. Sementara obat generasi ketiga adalah glimepiride.
16

Struktur kimia dari golongan glinid hampir sama dengan


sulfonylurea, namun yang membedakan dengan sulfonylurea adalah
masa kerjanya yang lebih pendek. Oleh karena itu obat golongan ini
hanya digunakan khusus menurunkan glukosa postprandial. Yang
termasuk golongan glinid adalah repaglinid dan nateglinid.
2. Insulin sensitizing/ meningkatkan sensitifitas insulin pada
jaringan perifer
Yang termasuk golongan ini adalah biguanid dan glitazone. Obat
yang termasuk ke dalam golongan biguanid adalah metformin,
phenformin dan buformin. Namun saat ini yang masih beredar luar di
pasaran adalah metformin. Hal ini disebabkan karena phenformin dan
buformin memiliki resiko terjadinya asidosis laktat lebih besar.
Glitazon atau thiazolidinedions merupakan agonist peroxisome
proliferator-activated receptor gamma. Glitazon dapat merangsang
ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin
dan memperbaiki glikemia. Efek samping obat ini adalah dapat
menyebabkan penambahan berat badan dan edema. Obat golongan
glitazone yang beredar dipasaran adalah rosiglitazone dan pioglitazone.
3. Penghambat alfa glukosidase
Obat golongan ini bekerja dengan cara memperlambat pemecahan
dan penyerapan karbohidrat kompleks dengan menghambat enzim alfa
glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada
bagian proksimal usus. Hasil akhir dari kerja obat ini adalah penurunan
glukosa darah postprandial. Obat ini tidak akan merangsang sekresi
insulin sehingga tidak menimbulkan hipoglikemik. Yang termasuk obat
golongan ini adalah acarbose.
4. Penghambat dipeptidyl peptidase IV
Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim DPP-IV,
sehingga diharapkan dapat memperpanjang masa kerja GLP-1. GLP-1
bekerja dengan cara menekan sel alfa pankreas dalam mensekresikan
glukagon, memperlambat pengosongan lambung dan memiliki efek
17

anoreksia sentral sehingga dapat menurunkan hiperglikemia.


Penghambat DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi alternatif apabila
terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut.
Obat ini tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun penambahan berat
badan. Obat yang termasuk golongan ini adalah sitagliptin dan
vildagliptin.

2.3. Golongan Biguanid


Phenformin dan metformin adalah obat antidiabetik oral golongan
biguanid yang diperkenalkan untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2 pada
akhir 1950. Phenformin ditarik dari penggunaan klinis pada akhir tahun 1970
karena menyebabkan asidosis laktat. Namun,metformin jarang menyebabkan
komplikasi tersebut dan telah banyak digunakan di eropa dan kanada.
Metformin dapat diberikan monoterapi atau kombinasi dengan obat
antidiabetik lain seperti sulfonilurea, inhibitor α-glucosidase, insulin,
rosiglitazone, pioglitazone, dan repaglinid

Mekanisme kerja
Metformin menurunkan glukosa darah dengan cara mempengaruhi
kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan
glukoneogenesis hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel
usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat
absorbsi glukosa di usus sesudah asupan makanan.
Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek kerja metformin diatas
diduga terjadi melalui peningkatan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer
yang dipengaruhi AMP-activated protein kinase (AMPK) yang merupakan
regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa. Aktifasi AMPK
pada hepatosit akan mengurangi aktifitas Acetyl Co-A karboksilase (ACC)
dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim lipogenik.
Metformin juga dapat menstimulasi produksi Glukagon like Peptide-1
(GLP-1) dari gastrointestinal yang dapat menekan fungsi sel alfa pankreas
18

sehingga menurunkan glukagon serum dan mengurangi hiperglikemia saat


puasa.Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga
berpengaruh pada komponen lain, resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan
darah dan juga pada plasminogen activator inhibitor (PAI-1)
Dalam praktek klinis, metformin bekerja sebagai anti-hiperglikemik
dari aksi hipoglikemik. Tidak seperti phenformin, metformin tidak
menghambat oksidasi mitokondria laktat kecuali konsentrasi plasma
metformin menjadi berlebihan (yaitu, pada penderita dengan gagal ginjal) dan
/ atau hipoksia.

Farmakokinetik
Bioavailabilitas metformin adalah 50 - 60%. Meskipun makanan dapat
mengurangi dan menunda penyerapan metformin. Namun, pengkonsumsian
metformin harus bersama-sama dengan makanan. Metformin didistribusikan
dengan cepat ke dalam jaringan tubuh dan cairan. Konsentrasi tertinggi
metformin ditemukan di saluran pencernaan (10 kali konsentrasi dalam
plasma) dan konsentrasi yang lebih rendah dapat ditemukan di dalam ginjal,
hati, dan jaringan kelenjar ludah. Metformin tidak diikat di hati atau plasma
protein. Karena metformin tidak dimetabolisme oleh hati, maka risiko
terjadinya asidosis laktat jauh lebih sedikit dibandingkan phenformin.
Metformin yang diekskresikan oleh ginjal melalui proses tubular aktif
sebagian besar tidak berubah,. Sekitar 90% dari dosis diekskresikan oleh
ginjal dalam waktu 24 jam. Waktu paruh di dalam plasma adalah sekitar 6.2
jam, dan waktu paruh di dalam darah sekitar 17,6 jam pada penderita dengan
fungsi ginjal normal. Waktu paruh meningkat pada penderita dengan
gangguan ginjal dan harus dikeluarkan melalui hemodialisis.

Penggunaan klinis dan efikasi


Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan dapat juga
dikombinasikan dengan sulfonilurea, repaglinide, inhibitor alpha-
glucosidase, dan glitazones. Beberapa studi klinis terkontrol, metformin
19

dengan monoterapi menunjukkan penurunan yang signifikan pada kadar


glukosa darah puasa (60-70 mg/dl) dan tingkat HbA1c (1-2%). Efektivitas
metformin dalam mengurangi kadar glukosa plasma pada populasi yang di
dominasi kelebihan berat badan sebanding dengan yang terlihat dengan
sulfonilurea. Karena potensinya untuk memperbaiki resistensi insulin,
mencegah kenaikan berat badan, dan meningkatkan kadar lipid, metformin
paling cocok untuk monoterapi awal pada penderita obesitas dengan
resistensi insulin yang sangat parah dan dislipidemia. Pada penderita ini,
metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan dan justru dapat
menyebabkan penurunan berat badan sederhana karena anoreksia yang
diinduksi obat.
Ketika monoterapi saja tidak menghasilkan kontrol glikemik,
metformin harus dikombinasikan dengan sulfonilurea dan / atau agen
antidiabetik oral lainnya. Pada 423 penderita gagal pengobatan sulfonilurea
(FPG 249 mg / dl), penambahan metformin menurunkan FPG oleh 63 mg / dl
dan nilai HbA1c sebesar 1,7% . Hampir 25% dari penderita yang penyakitnya
tidak terkontrol mencapai nilai HbA1c dari <7% dengan penambahan terapi
metformin. Hasil ini menunjukkan bahwa aksi hipoglikemik dari metformin
adalah aditif dengan yang sulfonilurea.

Metformin dan kehamilan


Penggunaan metformin pada ibu hamil masih menimbulkan
kontroversi, hal ini disebabkan karena metformin dapat menembus sawar
plasenta yang dapat menimbulkan efek negatif pada janin 43. Dalam 2
penelitian meta-analisis observasional, penggunaan kombinasi metformin
dengan sulfonilurea dan monoterapi metformin pada trimester pertama tidak
menunjukkan peningkatan cacat bawaan pada kematian neonatal (Charles B
et al,2006; Gutzin SJ et al,2003)
20

Efek pada berat badan


Berbeda dengan secretagogues insulin dan thiazolidinediones, terapi
metformin tidak menghasilkan pertambahan berat badan pada penderita
dengan diabetes mellitus tipe 2 yang menerima metformin sendiri atau dalam
kombinasi dengan obat oral atau insulin. Kebanyakan studi menunjukkan
penurunan berat badan sederhana (2-3 kg) selama 6 bulan pertama
pengobatan. Terapi metformin juga berhubungan dengan penurunan berat
badan pada penderita non-diabetes (Lebovitz,2003). Mekanisme dimana
metformin berperan dalam menurunkan berat badan adalah dengan cara
mengurangi absorbsi karbohidrat pada gastrointestinal, pengurangan leptin
dan efek anoretik yang bekerja pada glucagon–like peptide 1 (GLP-1).
(Glueck et al,2001)

Efek pada lipid


Sebagai monoterapi, metformin dapat meningkatkan metabolisme
lipoprotein dan juga menurunkan kadar kolesterol LDL, trigliserida puasa dan
postprandial dan asam lemak bebas (Glueck CJ et al,2001; Eleftheriadou I et
al,2008)

Dosis
Dosis awal metformin 500 atau 850 mg dengan sarapan dan
ditingkatkan secara perlahan dengan interval mingguan atau dua mingguan
untuk meminimalkan efek samping GI. Data dari sebuah penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita akan mencapai keberhasilan
maksimal pada dosis harian 2000 mg, meskipun beberapa penderita mungkin
mencapai manfaat tambahan jika dosis meningkat menjadi 2.500 mg. Dosis
harian maksimum metformin adalah 2550 mg. namun dosis di atas 2.000 mg
per hari mungkin lebih baik diberikan 3 kali sehari dengan makanan. Tujuan
glikemik harus menjadi FPG ≤120 mg / dl dan HbA1c <7%. Jika kontrol
glikemik yang memadai tidak tercapai dengan dosis maksimum metformin
(HbA1c > 8%), terapi kombinasi harus dipertimbangkan
21

Efek Samping
Efek samping GI terlihat pada sekitar 30% dari penderita yang memakai
metformin. Ini termasuk anoreksia, mual / muntah, kenyamanan perut,
dispepsia, kembung, diare, dan rasa logam. Risiko hipoglikemia jauh
berkurang dengan metformin dibandingkan dengan sulfonilureas. Sekitar 10-
30% penderita yang mendapatkan pengobatan dengan metformin
menunjukkan adanya defisiensi vitamin B12 dalam tubuh. Dalam sebuah
studi multisentrik dilaporkan bahwa penurunan rata – rata vitamin B12 dan
konsentrasi folat masing - masing sebesar 19% dan 5%. Penurunan ini ada
kaitannya dengan dosis dan lama penggunaannya. kejadian paling banyak
terjadi pada penderita yang menggunakan metformin lebih dari 3 tahun dan
dalam dosis yang lebih tinggi. (Jager J et al,2010; Wei Ting RZ et al,2006)

Kontraindikasi
Metformin tidak boleh diberikan pada penderita dengan ketoasidosis
diabetik, gagal ginjal atau gangguan ginjal dan kondisi akut yang dapat
mempengaruhi fisiologi ginjal seperti dehidrasi, infeksi berat, syok, penyakit
akut atau kronik yang dapat menyebabkan hipoksia pada jaringan, gagal
jantung atau miokard infark akut, insufisiensi hati dan keracunan alcohol akut
dalam kasus alkoholisme dan pada wanita menyusui. (Scarpello J & Howlett
H,2008)
Dalam sebuah laporan menyebutkan bahwa terjadinya asidosis laktat
pada golongan biguanid, sebagian besar terjadi pada obat phenformin dengan
kejadian 40 – 64 per 100.000 penderita, sedangkan pada obat metformin
angka kejadian asidosis laktat sebesar 6,3 per 100.000 penderita. (Rosand J
et al,1997; Salpeter SR et al,2010)
Gangguan ginjal merupakan faktor resiko paling umum terkait kejadian
asidosis laktat, beberapa penelitian menyarankan penghentian penggunaan
metformin ketika serum kreatinin diatas 1,5 mg/dl pada pria dan 1,4 mg/dl
pada wanita. (Zheng Z et al,2012)
22

Interaksi Obat
Penggunaan metformin harus dihentikan 48 jam sebelum pemberian
media kontras iodinasi yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut dan harus
dimulai kembali apabila fungsi ginjal sudah normal. Metformin juga dapat
menghambat penyerapan cyanocobalamin (vitamin B12) oleh kompetitif
memblokir tergantung kalsium mengikat intrinsik kompleks factor vitamin
B12 dengan reseptornya. Penderita harus dipantau untuk perkembangan
kemungkinan anemia.

Tabel 2. Interaksi obat golongan biguanid


Nama Interaksi dengan
Jenis Interaksi Efek
Generik obat lain
Meningkatkan
Asam salisilat
sekresi insulin
Sinergis aditif Hipoglikemia,
Klofibrat memperbaiki
toleransi glukosa
Alkohol,
aminoglutetimid,
inhibitor MAO,
Sinergis penyekat Meningkatkan
potensiasi adrenoreseptor efek hipoglikemik
beta, ACE-inhibitor
, antikoagulan,
AINS
Antihipertensi
diazohid, hormone
Metformin Mengurangi efek
steroid: estrogen
hipoglikemik
dan progesterone,
kontrasepsi oral
Simetidin amilorid,
digoxin, morfin,
Menghambat
procainamide,
ekskresi
Antagonis quinidine, kina,
metformin
ranitidine,
sehingga
triamterene,
menaikkan kadar
trimethoprim,
plasma metformin
vancomysin
dalam darah
furosemide,
nifedipine
Menurunkan
Antihistamin
jumlah trombosit
23

Mengganggu
Nifedifin
toleransi glukosa
Menurunkan
oktreotid
kebutuhan insulin.
Sumber: S.L.Purwanto Hardjosaputra,2008

Tabel 3. Obat metformin yang beredar di pasaran


Perusahaan
Nama Dagang Komposisi Kemasan Harga
Obat
Metformin Tablet 500 mg Rp.
ADECCO Pharos
HCl x 100 80.000
Rp.
Dos 10 x 10
Metformin 70.000
BENOFOMIN tablet 500 mg Bernofarm
HCl Rp.
Kaplet 850 mg
110.000
Metformin Dos 10 x 10
BESTAB - Yekatria
HCl 500 mg tablet
Dos 10 x 10 Rp.
tablet 500 mg 60.000
Metformin
DIABEX Dos 10 x 10 Rp. Combiphar
HCl 500 mg
tablet forte 850 85.500
mg
Metformin Dos 10 x 10 Rp. Hexpharm
DIABIT
HCl tablet 500 mg 68.000 Jaya
Dos 10 strip @
Metformin Rp.
DIAFAC 10 kaplet salut Pharos
HCl 500 mg 47.250
film
Metformin Dos 10 x 10 Rp. Promed
EFOMET
HCl tablet 500 mg 60.000 Rahardjo
Metformin Dos 10 x 10 Rp. Guardian
ERAPHAGE
HCl kaplet 500 mg 77.000 Pharmatama
Dos 10 x 10 Rp.
Metformin tablet 500 mg 74.000
FORBETES Sanbe Farma
HCl Dos 10 x 10 Rp.
tablet 850 mg 80.000
Metformin Dos 30 tablet
FORMELL - Alpharma
HCl 500 mg
Metformin Dos 10 x 10 Tempo Scan
GLIFORMIN -
HCl kaplet 500 mg Pasific
Dos 10 x 10
Metformin kaplet 500 mg
GLIKOS - Ifars
HCl Dos 10 x 10
kaplet 850 mg
24

Tab/Salut
GLUCOFOR Metformin Rp.
selaput 500 mg Soho
500 HCl 48.000
x 6 x 10
Dos 10 x 10 Rp.
tablet 500 mg 91.300
Dos 10 x 10 Rp.
Metformin
GLUCOPHAGE tablet forte 850 137.500 Merck
HCl
mg
Dos 120 tablet Rp.
XR 500 mg 158.400
Dos 10 x 10 Rp.
Metformin tablet 500 mg 47.000
GLUCOTIKA Ikapharmindo
HCl Dos 6 x 10 Rp.
tablet 850 mg 37.730
Glibenklamid, Rp.
Dos 10 x 10
Metformin 115.500
tablet 1,25/250
HCl tiap
Dos 10 x 10 Merck
GLUCOVANCE tablet Rp.
tablet 2,5/500 Indonesia
1,25/250; 209.000
Dos 10 x 10
2,5/500; Rp.
tablet 5/500
5/500 253.000
Metformin Dos 10 x 10 Rp.
GLUDEPATIC Fahrenheit
HCl tablet 500 mg 33.000
Rp.
Dos 10 x 10
84.000
Metformin kaplet 500 mg
GLUFOR Pyridam
HCl Dos 10 x 10
Rp.
kaplet 850 mg
110.000
Metformin Dos 10 x 10 Rp.
GLUMIN XR Ferron
HCl kaplet 500 mg 100.000
Tablet 850 mg
x 5 x 10’s
Kaplet 500 mg
GLUNOR Metformin - Kalbe Farma
x 5 x 10’s
XR tablet 500
mg x 3 x 10’s
Tab 500 mg x Rp.
Metformin 10 x 10 80.000 Coronet
GRADIAB
HCl Kaplet 850 mg Rp. Crown
x 5 x 10 45.000
Dos 10 x 10
tablet 500 mg
Metformin
HESKOPAQ Dos 10 x 10 - Harsen
HCl
tablet forte 850
mg
25

Dos 100 tablet Rp.


METFORMIN Metformin Hexpharm
500 mg 11.200
Tab 500 mg x Rp.
METFORMIN
Metformin 10 x 10 11.128
HCL OGB Dexa Medica
HCl Tab 850 mg x Rp.
DEXA
10 x 10 18.284
Dos 3 x 10
METHORMYL Metformin - Mugi Lab
tablet 500 mg
Metformin Dos 10 x 10 Rp.
METHPICA Tropica Mas
HCl tablet 500 mg 41.800
Tablet salut
Metformin Rp. Novell
METPHAR selaput 500 mg
HCl 56.800 Pharma
x 10 x 10
Metformin Dos 5 x 10 Rp.
NEODIPAR Aventis
HCl tablet 500 mg 40.282
Tablet 500 mg
x 50
Tablet 850 mg
Metformin x 50
NEVOX - Kalbe Farma
HCl Tab lepas
lambat Nevox
XR 500 mg x
30
Metformin Tab 500 mg x Rp.
REGLUS-500 Landson
HCl 60 39.600
Metformin Dos 10 x 10 Rp.
RODIAMET Rocella
HCl tablet 500 mg 39.600
Metformin Dos 10 x 10 Rp.
TUDIAB Meprofarm
HCl tablet 500 mg 80.000
Metformin Dos 10 x 10
ZENDIAB - Zenith
HCl tablet 500 mg
Metformin Dos 10 x 10 Rp.
ZUMAMET Sandoz
HCl tablet 500 mg 63.000
Sumber: ISO INDONESIA volume 44,2009
26

2.4. Kombinasi Obat Antidiabetik Oral


Obat antidiabetik oral memiliki mekanisme kerja yang berbeda – beda,
sehingga dapat diberikan kombinasi obat diantara golongan tersebut.
Pengobatan kombinasi dapat berikan jika pemberian dengan monoterapi tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa plasma. Pemberian kombinasi obat
antidiabetik oral dimulai dengan dosis rendah dan dapat diberikan lebih awal
jika ada gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin selain itu juga dapat
diberikan jika kadar HbA1C > 8%.

Tabel 4. Terapi kombinasi obat antidiabetik oral


Obat Dosis Harian Dosis Maksimal
2.5 mg/250 mg, 2.5
Glipizide/metformin 20 mg/2000 mg
mg/500 mg, 5 mg/500
(metaglip®, generik) per hari
mg tablet
1.25 mg/250 mg, 2.5
Glyburide/metformin 20 mg/2000 mg
mg/500 mg, 5 mg/500
(glucovance®, generik) per hari
mg tablet
2 mg/500 mg, 2 mg/1000
Rosiglitazone/metformin 8 mg/2000 mg
mg, 4 mg/500 mg, 4
(avandamet®) per hari
mg/1000 mg tablet
Pioglitazone/metformin 15 mg/500 mg, 15 45 mg/2550 mg
(actoplus Met®) mg/850 mg tablet per hari
Pioglitazone/glimepidire 30 mg/ 2 mg, 30 mg/4 30 mg/4 mg per
(duetact®) mg tablet hari
4 mg/1 mg, 4 mg/2 mg, 4
Rosiglitazone/glimepidire 8 mg/4 mg per
mg/4 mg, 8 mg/2 mg, 8
(avandaryl®) hari
mg/4 mg tablet
Sitagliptin/metformin 50 mg/500 mg, 50
(janumet®) mg/1000 mg tablet
27

2.5. Interaksi Obat


Dalam kombinasi suatu jenis bahan kimia atau obat yang diberikan dapat
berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Terdapat
beberapa istilah dalam interaksinya antara lain:
1. Adiktif
Interaksi ini menggambarkan efek gabungan dua bahan kimia yang
sama dengan jumlah efek masing - masing zat jika diberikan sendiri
– sendiri. Efek ini yang banyak terjadi pada penerapannya.
2. Sinergistik
Interaksi ini terjadi jika efek gabungan dua bahan kimia lebih besar
dari jumlah efek masing - masing zat jika diberikan sendiri – sendiri.
3. Potensiasi
Interaksi ini terjadi apabila terdapat peningkatan efek suatu bahan
pertama dari bahan kedua yang memiliki efek berbeda dari bahan
pertama.
4. Antagonistik
Interaksi ini terjadi jika kegiatan/ kerja obat pertama dikurangi atau
ditiadakan oleh obat kedua karena memiliki efek yang berlawanan.

2.6. Rasionalitas obat


Definisi Rasionalitas
Rasionalitas penggunaan obat menurut WHO adalah “patients receive
medications appropriate to their clinical needs, in doses that meet their own
individual requirements, for an adequate period of time, and at the lowest cost
to them and their community” dengan artian, penggunaan rasional obat adalah
pasien mendapatkan pengobatan sesuai terhadap kebutuhan klinis, dalam
dosis yang memenuhi kebutuhan individu, jangka waktu yang cukup dan
harga terendah untuk pasien dan komunitasnya (Holloway & van Dijk, 2011).
Balai besar pelatihan kesehatan di Makassar menyatakan ada 8 indikator
untuk penggunaan obat rasional (Swandari, 2013):
28

 Tepat diagnosis
 Tepat pemilihan obat
 Tepat indikasi
 Tepat pasien
 Tepat dosis
 Tepat cara dan lama pemberian
 Tepat informasi
 Waspada efek samping obat
 Tepat harga

Gambar 1 Definisi dan Indikator Penggunaan obat


29

Indikator Rasionalitas Penggunaan Obat


a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.
Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses
pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan
tergantung pada diagnosis penyakit pasien.
b. Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan
obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari
ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis.
Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat
juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat
yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal
mungkin.
c. Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa
Dokter.
d. Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi
individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta
seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus
misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan
dalam pemilihan obat.
e. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut.
Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun
farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah
dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi
pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.
30

f. Tepat cara dan lama pemberian


Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan
mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga akan
berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat.
Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian yang harus
sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan
berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek
terapi.
g. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang
sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan
sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal.
h. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan
pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan
pengobatan.
i. Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi.
31

2.7. Kerangka Teori


Tatalaksana Diabetes
Mellitus Tipe 2

Farmakologi Non
Farmakologi

Perubahan Pola Makan


dan olahraga teratur

sulfonylurea Metformin DPP-IV Glinid Alfa


inhibitor glukosidase
inhibitor

Meningkatkan Menghambat Meningkatkan Menghambat


sekresi insulin enzim DPP-IV sekresi insulin enzim alfa
glukosidase

Meningkatkan Karakteristik pasien: Anoreksia,


sentifitas mual/muntah,
insulin pada GDS >200 mg/dl , GDP >
dispesia, kembung
126 mg/dl, HbA1C > 7%,
jaringan
Obesitas, polydipsia,
perifer dan
polifagia, polyuria
otot

Interaksi Dosis Frekuensi Cara Kombinasi


dengan obat Pemberian
lain

Awal: 500/850mg 1-3x Sehari Bersama dengan Metformin-


Maks: 2000mg makan/ sesudah sulfonilurea/
makan Metformin-
pioglitazone/
Metformin-akarbose/
Sinergis Aditif: Sinergis potensiasi: Antagonis: metformin-
Asam salisilat, Alkohol, inhibitor Simetidin, Digoxin, repaglinide,
klofibrat MAO, antikoagulan furosemide, ranitidine,
antihistamin
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan secara deskriptif observasional dengan


menggunakan data sekunder rekam medik di Bagian Penyakit Dalam RSMH,
RSUD Palembang Bari, RS Siti Khadijah Palembang.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dimulai pada bulan Oktober – November 2014 dan akan
dilakukan di Bagian Penyakit Dalam RSMH, RSUD Palembang Bari, RS Siti
Khadijah Palembang.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes mellitus tipe
2 yang melakukan rawat inap atau rawat jalan di Bagian Penyakit Dalam
RSMH, RSUD Palembang Bari, RS Siti Khadijah Palembang periode 1
Januari 2013 – 31 Desember 2013.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita yang memenuhi


kriteria inklusi, yaitu penderita yang mengalami diabetes mellitus tipe 2
yang di dalam rekam medisnya mendapatkan pengobatan dengan
metformin.

32
33

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

Rekam medis penderita diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatkan


pengobatan dengan metformin.

2. Kriteria Eksklusi

Penderita diabetes mellitus yang mendapatkan pengobatan selain


golongan biguanid.

3.4. Variabel Penelitian dan Batasan Operasional

3.4.1. Variabel Penelitian

a. Karakteristik penderita.
b. Frekuensi penggunaan obat.
c. Dosis penggunaan obat.
d. Waktu pemberian obat
e. Kombinasi penggunaan obat.
f. Interaksi penggunaan obat.

3.4.2. Batasan Operasional

a. Karakteristik penderita adalah identitas yang menyangkut jenis kelamin,


usia, IMT, GDS, HbA1C, gejala klinis (polidipsia, poliuria, polifagia) dan
gejala tambahan.
b. Frekuensi penggunaan obat adalah jumlah obat yang digunakan atau
diminum oleh seorang penderita dalam kurun waktu tertentu.
c. Dosis penggunaan obat adalah jumlah obat yang diberikan pada suatu
waktu untuk mencapai efek terapi.
d. Waktu pemberian obat adalah waktu yang diperlukan dalam pemberian
obat untuk mencapai efek terapi maksimal yang diinginkan yang
dinyatakan dalam sebelum makan, bersamaan dengan makan atau setelah
makan.
34

e. Kombinasi penggunaan obat adalah gabungan beberapa obat yang


diminum untuk mencapai efek terapi dalam satu waktu tertentu.
f. Interaksi obat adalah reaksi yang timbul antara dua buah obat atau lebih
dalam penggunaan yang bersamaan, meliputi:
a) Sinergis, yaitu pemberian salah satu obat dapat memperkuat efek obat
lainnya.
b) Antagonis, yaitu pemberian salah satu obat dapat mengurangi efek
obat lainnya.
c) Potensiasi, yaitu jika pemberian suatu obat dapat memperkuat efek
obat lain dengan meningkatkan konsentrasi obat lain tersebut dalam
tubuh

3.5. Parameter Keberhasilan

Diketahui pola penggunaan metformin pada penderita diabetes mellitus tipe 2


dalam persen.

3.6. Metode Pengumpulan Data

Data penelitian yang akan dikumpulkan berasal dari data sekunder yaitu rekam
medik dari periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 2013 di Rumah Sakit
Mohammad Hoesin, RSUD Palembang Bari, RS Siti Khadijah Palembang.

3.7. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dari rekam medik diperiksa lalu dikelompokan
sesuai dengan variabel penelitian dalam tabel dan selanjutnya akan disajikan
secara deskriptif dalam bentuk tabel distribusi persentase dan dibuat narasi.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif mengenai studi penggunaan obat


metformin pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan menggunakan data sekunder
rekam medik di 3 rumah sakit di kota Palembang yaitu RSUD Bari, RS Khadijah
dan RS Moh. Hoesin Palembang. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober–
November 2014. Dengan jumlah penderita diabetes mellitus tipe 2 yang melakukan
rawat inap pada 1 Januari–31 Desember 2013 di ketiga rumah sakit tersebut sebesar
420 jiwa, namun jumlah sampel yang masuk ke dalam kriteria inklusi hanya sebesar
135 jiwa.

4.1. Karakteristik Subyek Penelitian


4.1.1. Usia dan Jenis Kelamin
Data yang diperoleh di ketiga rumah sakit didapatkan bahwa jumlah
penderita diabetes mellitus menurut usia dan jenis kelamin sebagai berikut:

Tabel 5. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan usia dan


jenis kelamin
Laki – Laki Perempuan
n % n %
12–24 tahun 2 1.5 0 0
25–44 tahun 8 5.9 14 10.4
45–64 tahun 26 19.3 56 41.5
65+ tahun 10 7.4 19 14.1
total 46 34.1 89 65.9

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa penderita diabetes mellitus


tipe 2 paling banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan dengan rentang
usia 45–64 tahun sebesar 56 orang (41.5 %) dan yang paling sedikit terjadi
pada jenis kelamin laki–laki dengan rentang usia 12–24 tahun sebesar 2
orang (1.5%).

35
36

Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekpenyong C


et.al berjudul “Gender and Age Specific Prevalence and Associated Risk
Factors of Type 2 Diabetes Mellitus in Nigeria” disebutkan bahwa
prevalensi penderita diabetes mellitus tipe 2 pada usia 46–60 tahun banyak
terjadi pada perempuan sebesar 29.39% dibandingkan laki–laki sebesar
23.70%. Namun hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang
dilakukan oleh Schipf. S, Werner. A et.al mengenai “Regional differences
in the prevalence of known Type 2 diabetes mellitus in 45–74 years old
individuals in Germany” dengan jumlah responden 1008 jiwa, diketahui
bahwa prevalensi diabetes mellitus tipe 2 paling banyak terjadi pada laki–
laki sebesar 9.7% dibanding dengan wanita sebesar 7.6%.
Peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus pada perempuan
dengan rentang usia 45–64 tahun tidak terlepas dari dimulainya masa
lansia awal, dimana kadar estrogen dalam tubuh menurun. Penurunan
estrogen dapat mempengaruhi kerja dari ER alpha dan beta sehingga
menyebabkan sensitivitas insulin menurun. Penelitian lain menyebutkan
bahwa Kadar plasma E2 yang tinggi dapat meningkatkan resiko terjadinya
diabetes mellitus pada wanita post-menopause (andrea C, 2010).
Sementara jika melihat berdasarkan jenis kelamin di masing-masing
rumah sakit, maka hasil yang didapatkan sebagai berikut:

Tabel 6. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan jenis


kelamin di masing–masing rumah sakit
RSUD Bari RS Khadijah RS Muh. Hoesin
n % n % n %
L 18 26.9 10 28.6 18 54.5
P 49 73.1 25 71.4 15 45.5
total 67 100% 35 100% 33 100%

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa secara keseluruhan,


penderita diabetes mellitus tipe-2 banyak terjadi pada orang yang berjenis
kelamin perempuan dengan jumlah 89 orang, sedangkan orang yang
berjenis kelamin laki–laki berjumlah 46 orang. Hasil ini memiliki
37

kesusaian/ kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh kementrian


kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013 dimana prevalensi
penderita diabetes mellitus tipe 2 berjenis kelamin perempuan sebesar 2,3
sedangkan laki–laki 2,0. (Riskesdas,2013). Sementara menurut data profil
kesehatan provinsi Sumatera Selatan tahun 2010, menunjukkan bahwa
penderita diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak terjadi pada perempuan
(65.9%) dibandingkan dengan laki–laki sebesar (34.1%). Hal berbeda
ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Meisinger di Augsburg yang
mendapatkan hasil insidens rate yang distandardisasi menurut umur pada
laki–laki sebesar 5,8/1000 orang/ tahun dan pada perempuan sebesar
4,0/1000 orang/tahun.
Namun, jika akan melihat jumlah penderita diabetes mellitus tipe 2
berdasarkan usia, maka akan didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 7. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan usia di


masing–masing rumah sakit
RSUD Bari RS Khadijah RS Muh. Hoesin
n % n % n %
12 – 24 tahun 1 1.5 0 0 1 3.0
25 – 44 tahun 14 20.9 3 8.6 5 15.2
45-64 tahun 38 56.7 26 74.3 18 54.5
65+ tahun 14 20.9 6 17.1 9 27.3
total 67 100% 35 100% 33 100%

Berdasarkan data diatas jumlah penderita diabetes mellitus tipe 2,


golongan remaja 2 orang, golongan dewasa 22 jiwa, golongan lansia 82
jiwa dan golongan manula sebesar 29 jiwa. Hasil ini terdapat persamaan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sosale A, et.all berjudul “Chronic
complications in newly diagnosed patients with Type 2 diabetes mellitus
in India” menyebutkan bahwa mayoritas pasien yang mengalami diabetes
mellitus terjadi pada usia > 41 tahun yakni sebesar 40%. Hal yang sama
juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas tahun
2013, dimana penderita diabetes mellitus tipe 2 akan meningkat pada
kelompok usia diatas 45 tahun.
38

Smeltzer mengatakan bahwa resistensi insulin akan cenderung


meningkat seiring dengan penambahan usia. Hal ini terjadi akibat proses
penuaan yang akan mempengaruhi anatomis, fisiologis dan biokimia
tubuh. Salah satunya adalah penurunan kemampuan sel beta pankreas
untuk mensekresikan insulin dan kemampuan ambilan glukosa oleh sel–
sel jaringan sasaran. Dan peningkatan umur juga berhubungan dengan
penurunan kualitas hidup penderita diabetes mellitus tipe 2.
(Rochmah,2009)

4.1.2. Glukosa Darah Sewaktu


Pasien penderita diabetes mellitus tipe 2 melakukan tes glukosa
darah sewaktu saat pertama masuk rumah sakit, hal ini bertujuan untuk
mengetahui kadar GDS masing–masing penderita diabetes mellitus tipe 2
dirawat di rumah sakit. Oleh karena itu peneliti membaginya menjadi 2
kelompok yaitu:

Tabel 8. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan


pemeriksaan glukosa darah sewaktu pada saat masuk rumah sakit
RSUD Bari RS Khadijah RS Muh. Hoesin
N % n % n %
< 200 9 13.4 9 25.7 11 33.3
>200 58 86.6 26 74.3 22 66.7
total 67 100% 35 100% 33 100%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bersama bahwa pasien


yang diabetes mellitus tipe 2 yang melakukan rawat inap tidak semua
memiliki GDS yang tidak normal. GDS normal yang didapatkan karena
pasien yang melakukan perawatan di rumah sakit tidak mengalami keluhan
kearah diabetes namun mereka memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2
yang sudah terkontrol. Pemeriksaan GDS pada penderita yang dicurigai
diabetes mellitus sangat penting untuk menegakkan diagnosis diabetes
mellitus tipe 2. Dalam konsesus Perkeni 2013, ADA, UKPDS
menyebutkan bahwa salah satu cara menegakkan diagnosis diabetes
39

adalah dengan melakukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu dan apabila


GDS > 200 mg/dl diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan.

4.1.3. Kadar HbA1c


Dari 135 sampel penelitian, penderita diabetes mellitus tipe 2 yang
melakukan pemeriksaan kadar HbA1c sebesar 11 orang. Dengan rincian
sebagai berikut:

Tabel 9. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan


pemeriksaan kadar HbA1c saat masuk rumah sakit
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
n % n % n %
< 6.5 % 0 0 0 0 2 25
6.5 – 8 % 0 0 1 50 1 12.5
> 8% 1 100 1 50 5 62.5
total 1 100% 2 100% 8 100%

Berdasarkan data diatas, sebagian besar penderita diabetes mellitus


tipe 2 yang melakukan pemeriksaan, memiliki kadar HbA1c >8%. HbA1c
adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui kadar glukosa
darah selama 3 bulan terakhir. American Diabetes Association sejak 2011
menetapkan pemeriksaan HbA1c sebagai salah satu kriteria dalam
menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Didalam konsesus Perkeni 2013
menyebutkan bahwa apabila dalam 2–3 bulan masa terapi, penurunan
HbA1c tidak mencapai angka < 7% maka terapi pengobatan tersebut
dinyatakan gagal, sehingga harus diambil pengobatan lain.

4.1.4. Penurunan Glukosa Darah


Pengontrolan glukosa darah pada pasien rawat inap dilakukan secara
teratur untuk mengetahui glukosa darah pasien secara kontinyu selama
perawatan. Dari 135 sampel penelitian didapatkan data sebagai berikut:
40

Tabel 10. Distribusi persentase penurunan GDS setelah pemberian obat


Persentase Sediaan Sediaan Kombinasi
Penurunan Tunggal sulfonylurea Acarbose Insulin
GDS (%) n % n % n % n %
1–5 1 0.7 0 0 0 0 0 0
6-10 3 2.2 0 0 0 0 0 0
11-15 9 6.7 0 0 1 0.7 0 0
16-20 20 14.8 1 0.7 1 0.7 0 0
21-25 28 20.7 1 0.7 0 0 1 0.7
26-30 3 2.2 3 2.2 1 0.7 3 2.2
31-35 1 0.7 9 6.7 1 0.7 6 4.4
36-40 0 0 19 14.1 0 0 8 5.9
41-45 0 0 7 5.2 0 0 2 1.5
>46 0 0 3 2.2 0 0 3 2.2
Total 65 47.4% 43 31.9% 4 3.7% 23 17%

Berdasarkan data diatas penggunaan metformin dalam sediaan


tunggal dapat menurunkan glukosa darah sebesar 16–25% sedangkan
penggunaan sediaan kombinasi dapat menurunkan glukosa darah lebih dari
31%. Pemberian metformin dalam sediaan tunggal dapat menurunkan
glukosa darah minimal 20% dari kadar glukosa awal (Soegondo,2009).
Sedangkan penurunan kadar glukosa darah puasa dengan pemberian
metformin berkisar antara 50-70 mg/dl dari GDP awal (MIMS,2008).
Penelitian yang dilakukan UKPDS terhadap 591 pasien dengan kontrol
glukosa yang buruk penggunaan kombinasi metformin dengan sulfonylurea
dapat menurunkan glukosa darah sebesar 30% dan HbA1c 0.5%
dibandingkan bila diberikan pengobatan tunggal. Sementara penelitian yang
dilakukan oleh Hirao K di jepang menyatakan bahwa kombinasi metformin
dengan glimepiride dapat menurunkan gula darah sebesar 40% dari gula
darah sewaktu awal pemeriksaan. Penelitian yang dilakukan oleh saboo, et
al menyebutkan kombinasi metformin dengan acarbose dapat menurunkan
glukosa darah sebesar 32%. Penelitian yang dilakukan oleh
pramestiningtyas menyebutkan kombinasi insulin dengan dan metformin
dapat menurunkan glukosa darah rata-rata 49%.
41

4.1.5. Penyakit Penyerta yang dialami Penderita Diabetes Mellitus tipe-2


Dari 135 sampel penelitian yang dilakukan di tiga rumah sakit,
penyakit penyerta yang dialami penderita diabetes mellitus tipe-2 paling
banyak terjadi adalah hipertensi sebanyak 36 orang (43%), diikuti oleh
HHD sebanyak 10 orang (12%).

Tabel 11. Distribusi penyakit lain yang dialami penderita diabetes mellitus
tipe 2
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
Total
n % n % n %
Hipertensi 8 22.2 13 72.2 15 50.0 36
HHD 9 25 0 0 1 3.3 10
Dyspepsia 2 5.5 1 5.6 2 6.7 5
ISK 3 8.3 0 0 2 6.7 5
Gastritis 4 11.1 0 0 0 0 4
Dyslipidemia 0 0 2 11.0 2 6.7 4
Gastritis 3 8.3 0 0 1 3.3 4
TB Paru 4 11.1 0 0 0 0 4
selulitis 1 2.8 1 5.6 1 3.3 3
anemia 1 2.8 1 5.6 1 3.3 3
Gastropati DM 0 0 0 0 2 6.7 2
polineuropati 0 0 0 0 2 6.7 2
CKD 0 0 0 0 1 3.3 1
AKD 1 2.8 0 0 0 0 1
Total 36 100% 18 100% 30 100% 84

Hipertensi merupakan penyakit penyakit penyerta yang paling


sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Chooper ME dan Chattington P yang
mengatakan bahwa hipertensi lebih sering ditemukan sebanyak 2x pada
pasien dengan diabetes mellitus, dibanding pada pasien hipertensi tanpa
diabetes dan penelitian yang dilakukan oleh Jain A dan Paranjape S
ditemukan bahwa 80% penderita diabetes mellitus juga menderita
hipertensi.
Penelitian yang dilakukan oleh Kern W,dkk menemukan bahwa
hiperinsulinemia/resistensi insulin sering ditemukan pada individu dengan
hipertensi walaupun bukan diabetes. Penelitian lain yang dilakukan oleh
42

Reaven GM mengatakan bahwa pasien dengan hipertensi mempunyai


respon glukosa plasma dan insulin yang tinggi terhadap tes toleransi
glukosa oral. Abnormalitas ini terjadi baik pada obesitas maupun non
obesitas.
Konsentrasi plasma insulin dan ekskresi norepinefrin urin
menunjukkan adanya korelasi yang bermakna dengan tekanan darah pada
normative aging study. Temuan ini menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara resistensi insulin dengan hipertensi melalui syaraf simpatis.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Izzo J, mengatakan
bahwa obesitas, resistensi insulin dan hiperaktivitas syaraf simpatis
memiliki hubungan yang sangat bermakna, hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan aktivitas syaraf simpatis juga terdapat pada sindrom
metabolik. Hubungan ketiga hal tersebut sangat jelas dimana aktifitas
sistem syaraf simpatis akan menyebabkan resistensi insulin dan
hiperinsulinemia sendiri akan meningkatkan aktivitas simpatis.
Sementara itu, diketahui juga bahwa ada penderita diabetes mellitus
tipe 2 yang mendapatkan terapi metformin ternyata juga mengalami
penyakit CKD. Berdasarkan buku goodman and gilman yang
menyebutkan bahwa metformin tidak boleh diberikan pada pasien dengan
gangguan ginjal kronik karena dapat mengganggu clearance metformin
dalam tubuh yang bisa menyebabkan terjadinya asidosis laktat.

4.1.6. Keluhan Pasien Penderita Diabetes Mellitus tipe-2


Dari 135 sampel penelitian di ketiga rumah sakit, tidak semua
penderita diabetes mellitus tipe-2 yang dilakukan rawat inap memiliki
keluhan/gejala yang menjadi ciri khas dari penyakit diabetes mellitus tipe-
2, hanya sebanyak 50 pasien yang dilakukan rawat inap yang memiliki
gejala khas/tambahan dari penyakit diabetes mellitus tipe-2. Ada pasien
yang datang ke rumah sakit dengan seluruh gejala yang diabetes mellitus
tipe-2, ada juga yang datang hanya dengan salah satu gejala saja. Gejala
yang paling sering dikeluhkan pasien adalah badan lemas yang mencapai
43

46 orang (57.8%) dan yang paling sedikit dikeluhkan adalah kesemutan


sebanyak 3 orang (3.7%). namun diantara 3 gejala khas yang menjadi ciri
penyakit diabetes mellitus, poliuri adalah gejala yang sering dikeluhkan
oleh pasien sebanyak 13 orang (16%), lalu diikuti oleh gejala polidipsi
sebanyak 9 orang (11.1%) dan yang paling sedikit adalah polifagi
sebanyak 6 orang (7.4%).
Tabel 12. Distribusi keluhan yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe
2 saat masuk rumah sakit
n %
Gejala khas
 Polifagi 6 7.4
 Polidipsi 9 11.1
 Poliuri 13 16.0
Gejala Tambahan
 Badan lemas 46 57.8
 Kesemutan 3 3.7
 Gatal 0 0
 Mata kabur 4 5.0
total 81 100%

Berdasarkan tabel diatas, penderita diabetes mellitus tipe 2 yang


dilakukan rawat inap di rumah sakit kebanyakan memiliki keluhan badan
lemas. Keluhan ini sering terjadi karena sebagian penderita DM tipe 2
tidak melakukan pengontrolan gula darah.

4.2. Rasionalitas Penggunaan Metformin pada Pasien Penderita Diabetes


Mellitus tipe-2
4.2.1. Dosis Pemberian
Dari 135 sampel penderita diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatkan
pengobatan metformin, didapatkan 3 macam bentuk pemberian dosis
harian obat metformin sedian tunggal dan 4 macam bentuk pemberian
dosis harian obat metformin dengan sediaan kombinasi. Dari keseluruhan
sampel tersebut, 65 orang mendapatkan dosis harian metformin sediaan
44

tunggal dan 70 orang mendapatkan dosis harian metformin sediaan


kombinasi.

Tabel 13. Distribusi dosis pemberian metformin sediaan tunggal


RSUD Bari RS Khadijah RSMH
n % n % n %
500 0 0 1 6.7 0 0
750 0 0 0 0 0 0
1000 13 34.2 2 13.3 4 33.3
1500 25 65.8 12 80 8 66.7
total 38 100% 15 100% 12 100%

Pada penderita diabetes mellitus tipe-2 yang mendapatkan


pengobatan metformin dengan sediaan tunggal sebesar 65 orang, dosis
harian yang sering digunakan adalah 1500 mg/hari sebanyak 45 orang
(69.3%), diikuti oleh dosis harian 1000 mg/hari sebanyak 19 orang
(29.2%) dan yang paling sedikit adalah dosis harian 500 mg/hari sebanyak
1 orang (1.5%).
Sedangkan pada penderita diabetes mellitus tipe-2 yang
mendapatkan pengobatan metformin dengan sediaan kombinasi sebesar 70
orang, dosis harian yang sering digunakan adalah 1500 mg/hari sebanyak
39 orang (55.8%), diikuti oleh dosis harian 1000 mg/hari sebesar 26 orang
(37.1%), dosis harian 500 mg/hari sebanyak 4 orang (5.7%) dan yang
paling sedikit digunakan adalah dosis harian 750 mg/hari sebanyak 1 orang
atau (1.4%).

Tabel 14. Distribusi dosis pemberian metformin sediaan kombinasi


RSUD Bari RS Khadijah RSMH
n % n % n %
500 3 10.3 0 0 1 4.8
750 0 0 1 5.0 0 0
1000 10 34.5 4 20.0 12 57.2
1500 16 57.2 15 75.0 8 38.0
total 29 100% 20 100% 21 100%
45

Berdasarkan teori dari buku goodman and gilman menyebutkan


bahwa pemberian metformin pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat
diberikan dosis awal 500 mg/hari dan dapat ditingkat secara perlahan
dalam jangka waktu 1–2 minggu untuk menyesuaikan dengan respon
tubuh sehingga dapat meminimalisir efek samping gastrointestinal. Dosis
pemberian maksimum obat metformin adalah 2500 mg/hari. Sementara
teori lain dari buku farmakologi klinik katzung menyebutkan bahwa dosis
maksimum metformin adalah 2550 mg/hari.
Teori lain menyebutkan bahwa pemberian metformin dengan dosis
diatas 1000 mg harus diberikan dalam dosis terbagi karena pemakaian obat
1000 mg dalam satu waktu dapat menimbulkan efek samping yang
bermakna di saluran cerna (Martha S,2010)

4.2.2. Frekuensi Pemberian


Dari 135 sampel penderita diabetes mellitus tipe 2 yang
mendapatkan pengobatan metformin, didapatkan 3 macam bentuk
frekuensi pemberian obat metformin yaitu 1 kali, 2 kali dan 3 kali sehari.
Dari sampel tersebut juga didapatkan 65 pasien diabetes mellitus tipe-2
mendapatkan pengobatan metformin dengan sediaan tunggal dan 70
pasien diabetes mellitus tipe-2 mendapatkan pengobatan metformin
dengan sediaan kombinasi.

Tabel 15. Distribusi frekuensi pemberian metformin untuk sediaan tunggal


RSUD Bari RS Khadijah RSMH
n % n % n %
1x 0 0 1 6.7 0 0
2x 13 34.2 2 13.3 4 33.3
3x 25 65.8 12 80 8 66.7
total 38 100% 15 100% 12 100%

Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatkan


pengobatan dengan sediaan tunggal, frekuensi yang banyak diberikan
adalah 3 kali sehari sebesar 45 orang (69.3%), diikuti oleh frekuensi
46

pemberian 2x sehari sebesar 19 orang (29.2%) dan yang paling sedikit


diberikan adalah frekuensi 1 kali sehari sebesar 1 orang atau 1.5%.
Sedangkan frekuensi pemberian metformin yang diberikan pada
penderita diabetes mellitus tipe-2 dengan bentuk sediaan obat yang
dikombinasikan dengan obat anti diabetik lain sebesar 70 orang dengan
rincian frekuensi pemberian paling banyak diberikan adalah 3 kali sehari
sebesar 40 orang (57.2%), diikuti oleh frekuensi pemberian 2 kali sehari
sebesar 26 orang ( 37.1 %) dan 1 kali sehari sebesar 4 orang (5.7%)

Tabel 16. Distribusi frekuensi pemberian metformin untuk sediaan


kombinasi
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
n % n % n %
1x 3 10.3 0 0 1 4.8
2x 10 34.5 4 20 12 57.2
3x 16 57.2 16 80 8 38.0
total 29 100% 20 100% 21 100%

Berdasarkan teori di dalam buku goodman and gilman, metformin


diberikan dalam dosis terbagi dengan frekuensi 2x atau 3x sehari. Namun
penelitian lain menyebutkan bahwa dalam memulai terapi diabetes
mellitus menggunakan metformin dapat diberikan 1x sehari dengan dosis
kecil 500 mg ketika sarapan selama beberapa hari, jika pemakaian ini dapat
ditoleransi oleh tubuh tanpa menimbulkan gejala pada saluran cerna maka
pemberian selanjutnya dapat diberikan menjadi 2x sehari pada saat sarapan
dan saat makan malam, dan peningkatan dosis dapat dilanjutkan setelah 1
minggu (Martha S,2010).

4.2.3. Waktu Pemberian


Dari 135 sampel penelitian yang dilakukan di 3 rumah sakit, hanya
4 pasien yang didalam catatan rekam mediknya dituliskan waktu
pemberian obat, sedangkan 131 sampel pasien tidak dituliskan mengenai
waktu pemberian obat tersebut.
47

Tabel 17. Distribusi waktu pemberian obat metformin pada pasien


penderita diabetes mellitus tipe-2
RSUD Bari RS Khadijah RS Muh. Hoesin
n % n % n %
a.c. 2 100 1 100% 1 100%
d.c. 0 0 0 0 0 0
p.c. 0 0 0 0 0 0
total 2 100% 1 100% 1 100%

Berdasarkan buku farmakologi klinik dan terapi goodman and


gilman, dan penelitian yang dilakukan oleh Sambol NC, dkk menyebutkan
bahwa pemberian metformin harus diberikan bersamaan dengan makan/
sesudah makan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi/ meminimalkan efek
samping akut dari penggunaan metformin seperti rasa tidak enak diperut,
mual, dan anoreksia. Hal ini juga diperkuat oleh teori dalam buku
famakologi klinik katzung.
Bioavaibilitas absolut dari metformin yang diberikan pada penderita
diabetes mellitus pada saat kondisi berpuasa adalah sekitar 50–60%.
Pemberian makanan berat bersamaan dengan metformin dapat
menyebabkan penurunan dari bioavaibility/absorbsi obat tersebut sebesar
25% dan terjadi pemanjangan waktu puncak konsentrasi plasma
metformin sebesar 35 menit daripada pemberian saat puasa. Penurunan
absorbsi ini tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti bagi sebagian
pasien yang mendapatkan terapi dengan metformin (Graham G, et.al
2011).

4.2.4. Kombinasi dengan Obat Antidiabetik Lain


Dalam pengobatan penderita diabetes mellitus, penggunaan obat
kombinasi digunakan apabila penggunaan satu jenis obat tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa dalam darah. Dari 135 sampel penelitian
yang dilakukan di 3 rumah sakit di kota Palembang, ditemukan bahwa
sebanyak 68 orang mendapatkan pengobatan kombinasi dalam
mengendalikan kadar glukosa darah.
48

Tabel 18. Distribusi obat antidiabetik lain yang dikombinasikan dengan


metformin
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
n % n % n %
Sulfonylurea:
 Glibenclamid 7 24.1 1 5.3 0 0
 Gliclazide 2 6.9 5 26.3 7 31.8
 glimepirid 15 51.7 6 31.6 0 0
Acarbose 1 3.5 1 5.3 2 9.0
Insulin 4 13.8 6 31.5 13 59.2
total 29 100% 19 100% 22 100%

Berdasarkan tabel diatas, penderita diabetes mellitus tipe 2 yang


menggunakan metformin lebih sering menggunakan obat yang
dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea sebesar 43 orang (61.4%).
Golongan ini terbagi menjadi: glimepiride sebanyak 21 orang (30%),
gliclazide sebanyak 14 orang (20%), glibenclamide sebanyak 8 orang
(11.4%), selain sulfonylurea, metformin dikombinasikan dengan insulin
sebanyak 23 orang (32.9%), dan acarbose sebanyak 4 orang (5.7%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Rahayu S,
et.al, bahwa pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatkan
terapi metformin lebih sering dikombinasikan dengan golongan
sulfonylurea. Glimepiride termasuk golongan sulfonylurea generasi ketiga
yang sering dikombinasikan dengan metformin.
Kombinasi metformin dengan insulin juga dapat dipertimbangkan
untuk diberikan pada pasien dengan glikemia yang sukar untuk
dikendalikan atau mengalami ketoasidosis. (Soegondo,2009).

4.2.5. Interaksi Metformin dengan Obat Lain


Interaksi antar obat dapat bersifat sinergis, potensiasi dan antagonis.
Dalam pemberian metformin pada penderita diabetes mellitus tipe-2,
terdapat 15 jenis obat yang memiliki interaksi dengan metformin.
49

4.2.5.1. Interaksi Sinergis


Dari 15 jenis obat yang diberikan pada penderita diabetes mellitus
tipe 2 yang mendapatkan terapi menggunakan metformin, terdapat 5
jenis obat yang mengalami interaksi sinergis dengan obat metformin.

Tabel 19. Distribusi interaksi pemberian metformin dengan obat lain


yang bersifat sinergis
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
n % n % n %
Sulfonylurea:
 Glibenclamid 7 9.1 1 2.4 0 0
 Gliclazide 2 2.6 5 11.9 7 15.9
 glimepirid 15 19.6 6 14.3 0 0
Acarbose 1 1.3 1 2.4 2 4.5
Insulin 4 5.2 6 14.2 13 29.6
total 29 37.8% 19 45.2 22 50%

Berdasarkan data diatas, obat yang sering digunakan adalah obat


glimepiride. Glimepiride adalah obat golongan sulfonylurea generasi
ketiga. Penggunaan kombinasi obat antidiabetik lain menyebabkan
interaksi sinergis, dimana kerja masing–masing obat saling menguatkan
untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga dapat menurunkan glukosa
yang lebih banyak (Soegondo,2009). Metformin sebagai obat yang
bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan
perifer sangat cocok dikombinasikan dengan obat dari golongan lain
yang berkerja meningkatkan sekresi insulin.

4.2.5.2. Interaksi Potensiasi


Dari 15 jenis obat yang diberikan pada penderita diabetes mellitus
tipe 2 yang mendapatkan terapi menggunakan metformin, terdapat 8
jenis obat yang mengalami interaksi potensiasi dengan obat metformin.
50

Tabel 20. Distribusi interaksi pemberian metformin dengan obat lain


yang bersifat potensiasi
RSUD Bari RS Khadijah RS Muh. Hoesin
n % n % n %
Aspilet 5 6.5 0 0 3 6.8
valsartan 0 0 1 2.4 5 11.4
captopril 7 9.1 1 2.4 4 9.1
amlodipin 8 10.4 10 23.7 4 9.1
furosemide 4 5.2 2 4.8 1 2.3
Ranitidine 19 24.6 5 11.9 3 6.8
Nifedipin 2 2.6 0 0 0 0
Digoxin 0 0 1 2.4 0 0
total 45 58.4% 20 47.6% 20 45.5%

Berdasarkan data diatas, obat yang sering diberikan dan bersifat


potensiasi adalah obat anti- hipertensi. Interaksi ini dapat menyebabkan
efek kerja salah satu obat menjadi berlebihan. Metformin yang
diberikan bersamaan dengan furosemide dapat menyebabkan
peningkatan konsentrasi plasma metformin. Nifedipin yang diberikan
bersamaan dengan metformin dapat meningkatkan konsentrasi plasma
metformin dengan cara meningkatkan absorbsi, sedangkan ranitidine
yang diberikan dengan metformin dapat meningkatkan konsentrasi
plasma dengan cara menghambatkan ekskresi metformin di dalam
tubulus ginjal. sehingga dapat menyebabkan hipoglikemik pada
penderita tersebut (Drugs,2014).

4.2.5.3. Interaksi Antagonis


Dari 15 jenis obat yang diberikan pada penderita diabetes mellitus
tipe 2 yang mendapatka terapi menggunakan metformin, terdapat 2
jenis obat yang jika diberikan bersama dengan metformin akan
menghambat kerja metformin. Obat tersebut adalah metilprednisolon
dan spironolactone. Interaksi ini disebut sebagai interaksi antagonis.
51

Tabel 21. Distribusi interaksi pemberian Metformin dengan obat lain


yang bersifat Antagonis
RSUD Bari RS Khadijah RS Muh. Hoesin
n % n % n %
Metylprednisolon 0 0 1 2.4 1 2.25
spironolactone 3 3.9% 2 4.8 1 2.25
total 3 3.9% 3 7.1% 2 4.5%

Berdasarkan data diatas, obat yang sering diberikan dan bersifat


antagonis adalah spironolactone. Spironolactone adalah obat diuretik
dan metilprednisolon adalah golongan kortikosteroid, dapat
mengganggu kontrol glukosa, sehingga menyebabkan hiperglikemia,
intoleransi glukosa, perubahan kadar glukosa dengan onset baru dan
eksaserbasi DM (Drugs,2014).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN
Dari 135 pasien penderita diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatkan
pengobatan dengan menggunakan metformin di instalasi rawat inap RSUD
Bari, RS Muh. Hoesin dan RS. Siti Khadijah periode 1 Januari – 31
Desember 2013, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
A. Karakteristik Pasien
1. Penderita Diabetes Mellitus tipe 2 banyak terjadi pada pasien
dengan jenis kelamin perempuan di RSUD Bari dan RS Siti
Khadijah sebaliknya di RSMH banyak terjadi pada pasien laki –
laki, namun dalam rentang usia yang sama diantara ketiga rumah
sakit tersebut, yakni: 45 – 64 tahun sebesar 60.7%.
2. Hasil pemeriksaan GDS pertama kali saat masuk rumah sakit
menunjukkan pasien mengalami diabetes mellitus tipe-2.
3. Penurunan glukosa darah dengan sediaan tunggal paling banyak
terjadi pada persentase 15 – 25%, untuk sediaan kombinasi dengan
sulfonylurea maupun insulin paling banyak terjadi pada persentase
36 – 40%.
4. Gejala dari diabetes mellitus yang sering dikeluhkan oleh pasien
yang melakukan rawat inap adalah badan lemas sebesar 57.8%.
5. Penyakit penyerta lain yang sering terjadi pada pasien penderita
diabetes mellitus tipe 2 adalah hipertensi sebesar 26.7%. Namun,
terdapat 1 penderita diabetes mellitus tipe-2 yang menderita
gangguan ginjal kronik yang merupakan kontraindikasi pemberian
metformin.
B. Rasionalitas Penggunaan Obat
1. Dosis pemberian metformin untuk sediaan tunggal maupun
kombinasi diketiga rumah sakit sudah tepat, yaitu diantara 500 mg
– 2500 mg/hari sesuai dosis yang sudah ditetapkan.

52
53

2. Frekuensi pemberian metformin untuk sediaan tunggal maupun


kombinasi diketiga rumah sakit sudah sesuai. frekuensi pemberian
paling banyak diberikan adalah 3x sehari sebesar 63% atau 85 orang
3. Waktu pemberian obat belum dapat dinilai secara keseluruhan
dikarenakan data yang dibutuhkan sangat kurang dari 135 catatan
rekam medis hanya 4 orang (2.96%) yang ditulis mengenai waktu
pemberian metformin di dalam rekam medik.
4. Kombinasi obat yang diberikan diketiga rumah sakit sudah tepat,
melihat dari cara kerja obat yang saling sinergis untuk menurunkan
kadar glukosa darah. Kombinasi yang sering diberikan bersamaan
dengan metformin adalah glimepiride sebesar 24%.
5. Di rumah sakit umum daerah Bari, interaksi obat yang bersifat
sinergis sebesar 25%, interaksi potensial sebesar 72.4%, dan
interaksi antagonis sebesar 2.6%. Di rumah sakit Siti Khadijah,
interaksi obat yang bersifat sinergis sebesar 32.8%, interaksi
potensial sebesar 62.5% dan interaksi antagonis sebesar 4.7%. Di
rumah sakit Muh. Hoesin, interaksi obat yang bersifat sinergis
sebesar 40.5%, interaksi potensial sebesar 56.8% dan interaksi
antagonis sebesar 2.7%.

5.2. SARAN
1. Masih banyak dokter tidak menuliskan waktu pemberian obat. Kedepan
hendaknya perlu dicantumkan mengenai waktu pemberian obat karena
sangat penting untuk meminimalisir efek samping obat tersebut dan
untuk mengoptimalkan kerja obat itu sendiri
2. Dari data rekam medik masih ditemukan pasien gangguan ginjal kronik
yang kontraindikasi pada pemberian metformin. Oleh karena itu harus
ada evaluasi lanjut dalam pemberian obat tersebut.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas
penggunaan obat metformin sediaan tunggal maupun sediaan
kombinasi dalam menurunkan glukosa darah.
54

4. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk mengetahui penggunaan


obat ini di pusat layanan primer untuk mengetahui karakteristik pasien
yang sudah lama menderita diabetes mellitus tipe 2 yang menggunakan
metformin sebagai pengobatannya.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care Vol.33: 562-569.
Andrea C, Bolego C. 2010. Mechanisms of estrogen protection in diabetes and
metabolic disease. Horm Mol Biol Clin Invest; 4(2):575–580
Aslam, M., Tan, C.K., Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy)
Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta:
PT Gramedia.
Azziz R, Woods KS, Reyna R, Key TJ, Knochenhauer ES, Yildiz BO. 2004. The
prevalence and features of the polycystic ovary syndrome in an
unselected population. J Clin Endocrin Metab;89:2745-2749.
Charles B, Norris R, Xiao X, Hague W. 2006.Population pharmacokinetics of
metformin in late pregnancy. Ther Drug Monit, 28:67-72
Cooper ME, Chattington P. 2003. Hypertension and diabetes mellitus. In: Mancia
G, Chalmers J, Saruta T, Weber MA, Ferrari AU, Wilkinson IB et al (eds).
Manual of Hypertension. Churchill Livingstone. London: 565-77
Davis,S.N dan Granner, D.K. 2012. insulin,senyawa hipoglikemik oral, dan
farmakologi endokrin pankreas. Di dalam hardman,joel G dan limbird,L.E.
Goodman & Gilman, dasar farmakologi terapi. Jakarta.EGC hal 1648-
1680
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. 2010. Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Selatan 2010, Angka Kesakitan secara Absolut di Provinsi
Sumatera Selatan tahun 2009. Palembang, Indonesia
Dipiro J. T., Talbert R. T., Yee G. C., Matzke G. A., Bells B. G., Posey M., 2011,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 8th 49 Edition,
McGraw-Hill, USA.
Ekpenyong C, Akpan UP, Ibu J, Nyebuk D. 2012. Gender and Age Specific
Prevalence and Associated Risk Factors of Type 2 Diabetes Mellitus in
Nigeria. Diabetologia Croatica 41-1
Eleftheriadou I, Grigoropoulou P, Katsilambros N, Tentolouris N. 2008.The effects
of medications used for the management of diabetes and obesity on
postprandial lipid metabolism.Curr Diabetes Rev,4:340–356
Fauci, A. S. et al., 2012. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th
penyunt. s.l.:McGraw-Hill.
Gilbert C, Valois M, Koren G.2006.Pregnancy outcome after first-trimester
exposure to metformin: a meta-analysis. Fertil Steril,86:658–663.
Glueck CJ, Fontaine RN, Wang P,et al. 2001. Metformin reduces weight,
centripetalobesity, insulin, leptin, and low-density lipoprotein

55
56

cholesterol in nondiabetic, morbidly obese subjects with body mass


index greater than 30.Metabolism,50:856–861
Gutzin SJ, Kozer E, Magee LA, Feig DS, Koren G.2003.The safety of oral
hypoglycemic agents in the first trimester of pregnancy. a meta-analysis.
Can J Clin Pharmacol,10:179–183.
Graham G, Punt J, Arora M. 2011. Clinical Pharmacokinetics of Metformin. Clin
Pharmacokinet; 50 (2)
Hardjosaputra SL, Purwanto, Listyawati, dkk. Data Obat di Indonesia Edisi ke-
11. Jakarta: PT. Muliapurna Jayaterbit;2008: 705-713
Hirao K, Maeda H, Shirabe S, Yamamoto R. 2012. Combination Therapy with
a Dipeptidyl peptidase-4 Inhibitor, sulfonylurea, and Metformin
Markedly Improves HbA1c Levels in Japanese patients with Type 2
Diabetes Mellitus. Japanese Clinical Medicine. 3:1-7
IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International Diabetes Federation
2013/www.idf.org
Inzucchi S.E. 2005. The Diabetes Mellitus Manual. Ellenberg and rifkin’s
diabetes mellitus 6th ed.McGraw-Hill Medical Publishing Division.New
York
Izzo J. 2005. The sympathetic nervous system in acute and chronic blood
pressure elevation. In: Oparil S, Weber MA (eds). Hypertension:
Companion to Brenner and Rector’s the kidney 2 nd ed. Elsevier Saunders.
Philadelphia. 60-76
Jager J, Kooy A, Lehert P, Wulffelé M,et al. 2010. Long term treatment with
metformin in patients with type 2 diabetes and risk of vitamin B-12
deficiency: randomized placebo controlled trial.BMJ, 340:c2181
Jain A, Paranjape S. 2013. Prevalence of type 2 diabetes mellitus in elderly in a
primary care facility: An ideal facility. Indian Journal of endocrinology
and metabolism.vol 17
Kemenkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI
Kern W, Peter A, Born J, Fehm HL, Schultes B. 2005. Changes in Blood Pressure
and Plasma Catecholamine Levels during Prolonged Hyperinsulinemia.
Metab Clin and Exp.54: 391-96
Lebovitz, H.E., and Feinglos, M.N. 2003. The oral hypoglycemic agents. In
Porte,Daniel; Sherwin, Robert S.; Baron, Alain. Ellenberg and rifkin’s
diabetes mellitus 6th ed.McGraw-Hill Medical Publishing Division.New
York hal 540-550
Meisinger A, Al-Mannai MA. 2002. Social and Lifestyle factors associated with
diabetes in the adult Bahrain population. J. Biosoc Sci. 34(2): 277-81
57

Metformin drugs interaction.2014.avaible from: www.drugs.com


PERKENI, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakrata: InternaPublishing, pp. 1880-1883.
Pramestiningtyas E. 2014. Analisis efektivitas biaya berdasarkan nilai acer
penggunaan insulin dibandingkan kombinasi insulin-metformin pada
pasien penderita diabetes mellitus tipe-2 di instalasi rawat inap RSD dr.
Soebandi Jember periode 2012. Unej digital respiratory.
Rahayu S, Mukaddas A, Faustine I. 2014. Profil Pengobatan Pasien Diabetes
Mellitus tipe 2 di Instalasi rawat inap RSUD Undata Palu tahun 2012.
Online jurnal of natural science. Vol 3(1):40-46
Reaven GM. 2005. The role of insulin resistance and compensatory
hyperinsulinemia in patients with essensial hypertension. In: Oparil S,
Weber MA (eds). Hypertension: Companion to Brenner and Rector’s the
kidney 2nd ed. Elsevier Saunders. Philadelphia. 123-31
Rochmah S. 2009. Diabetes Melitus Pada Usia Lanjut. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta:1967-
71
Rojas and Gomes.2013.Metformin: an old but still the best treatment for type 2
diabetes.Diabetology & Metabolic Syndrome.5:6
Rosand J, Friedberg J, Yang J. 1997. Fatal phenformin-associated lactic acidosis.
Ann Intern Med,127:170.
Saboo B, Reddy GC, Juneja S, Kedia AK, Manjrekar P, Rathod R. 2015.
Effectiveness and safety of fixed dose combination of acarbose/
metformin in Indian Type 2 diabetes patients: Results from
observational GLOBE Study. Indian J Endocr Metab;19:129-35
Salpeter, S.R, Greyber, E, Pasternak, G.A, Salpeter, E.E. 2010.Risk of fatal and
nonfatal lactic acidosis with metformin use in type 2 diabetes mellitus.
Cochrane Database Syst Rev,1: CD002967.
Sambol NC, Brookes LG, Chiang J, et.al. 1996. Food intake and dosage level, but
not tablet vs solution dosage form, affect the absorption of metformin
HCl in man. Br J Clin Pharmacol 42: 510-2
Scarpello J, Howlett H. 2008. Metformin therapy and clinical uses. Diabetes
Vasc Dis Res,5:157–167.
Schipf S, Werner A, Tamayo,T. 2012. Regional differences in the prevalence of
known Type 2 diabetes mellitus in 45–74 years old individuals: Results
from six population-based studies in Germany (DIAB-CORE
Consortium).DiabeticMedicine.1464-5491
Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes
Melitus Terkini. Penatalaksanaan Diabetes MelitusTerpadu, Edisi
Kedua, Jakarta, Balai Penerbit FKUI
58

Sosale A, Kumar P. 2014. Chronic complications in newly diagnosed patients


with Type 2 diabetes mellitus in India. Indian Journal of Endocrinology
and Metabolism. Vol 18
Swandari, S., 2013. Penggunaan Obat Rasional (POR) melalui Indikator 8
Tepat dan 1 Waspada. [Online] Available at:
http://bbpkmakassar.or.id/index.php/Umum/Info-Kesehatan/Penggunaan-
Obat-Rasional-POR-melalui-Indikator-8-Tepat-dan-1-Waspada.phd
Trisnawati SK, Setyorogo S. 2012. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat. Jurnal
Ilmiah Kesehatan. 2013;5(1):6-11.
Wei Ting RZ, Szeto CC, Chan M, Ma K,et al. 2006. Risk Factors of Vitamin B12
Deficiency in Patients Receiving Metformin.Arch Intern Med, 166:1975–
1979
Zheng Z, Chen H, Li J, Li T, Zheng B, Zheng Y, Jin H, He Y, Gu Q, Xun X. 2012.
Sirtuin 1-mediated cellular metabolic memory of high glucose via the
LKB1/AMPK/ROS pathway and therapeutic effects of
metformin.Diabetes,61(1):217–228
LAMPIRAN
NO Jenis Kelamin Umur GDS GDS follow up HbA1c Lama DM Komplikasi Poliuri Polidipsi
1 P 77 196 139 10 hipertensi stage 1, ISK, sepsis
2 L 37 229 187 6 bulan sindrom dispepsia
3 P 43 412 345 12 5 hipertensi  
4 L 60 193 169 5 CKD stage IV, nefropati diabetik
5 P 69 260 108 hipertensi
6 L 58 246 196 hipertensi, nefrolitiasis
7 P 67 222 146 hipertensi, HHD kompensata  
8 L 42 359 215 1 post KAD, gastropati DM
9 P 48 330 254 2 bulan hipertensi stage 1, polyneuropati
10 L 17 151 105 3
11 L 60 133 118 15 selulitis
12 L 36 399 247 9 anemia hemolitik
13 P 49 147 120 6 8
14 P 56 318 189 14 hipertensi
15 P 66 215 157 hipertensi, dislipidemia  
16 P 45 195 128 4 bulan
17 P 48 363 223 9 4 ISK, dyslipidemia
18 L 45 503 360 hipertensi  
19 L 68 290 129 18 herpes zoster
20 L 60 306 250 hipertensi, SVT
21 L 70 170 105 8 gastroparesis diabetik, CVD, polineuropati
22 P 45 275 177 12 TB + Hipertensi Stage 1  
23 P 83 184 127 dispepsia + HHD
24 L 63 229 159
25 L 63 180 131 7 10 hipertensi stage 1
26 L 68 513 352 3 hipertensi + maag  
27 P 44 450 290 1
28 L 61 295 201
29 P 57 203 125
30 P 71 324 260 2 hipertensi stage 2 
31 L 60 154 125
32 L 49 336 198 hipertensi stage 2 + cephalgia  
33 L 46 190 128
34 P 55 443 367
35 L 83 394 243
36 P 52 365 235 3 ISK
37 L 45 225 136
38 P 63 443 280 bronchitis
39 P 38 310 167
40 P 50 206 160 hipertensi stage II
41 P 29 266 217 gastritis akut
42 L 28 451 273 1 OBS kejang
43 P 43 319 256 CVD
44 P 50 343 276
45 P 59 348 206
46 P 61 220 102 7 TB.PARU
47 P 60 353 221 myalgia
48 P 52 242 186 HHD decomp
49 P 30 528 360
50 P 36 385 304 10 ISK + Gastritis kronis
51 P 60 192 121 hipertensi stage II + OA
52 P 66 532 368 HYPERGLIKEMI
53 L 42 370 324 TB.PARU  
54 P 74 214 170
55 P 72 216 167 HHD
56 L 70 342 267 
57 P 48 258 144 selulitis + dermatitis
58 P 43 279 193 HHD
59 P 61 268 203 HHD 
60 P 53 323 252
61 L 67 336 198 5 paraparase inferior
62 P 61 202 130
63 P 63 140 110 15 hipertensi
64 P 47 279 169
65 P 54 431 350 sepsis+ISK
66 L 52 300 238
67 P 72 301 236 4 gangren
68 L 51 268 200
69 P 32 274 169 abses
70 L 55 219 168 hipertensi
71 L 20 514 456
72 P 69 201 160
73 P 60 202 122 5 gangren
74 P 58 244 187 TB.PARU
75 L 55 270 214
76 L 61 388 308 TB.PARU
77 P 56 187 147 dispepsia+hipertensi stage II
78 P 54 206 127 hipertensi+anemia
79 P 52 335 182
80 P 59 154 123 hipertensi+OA
81 P 90 200 160 HHD
82 P 39 291 237 3  
83 P 51 298 225 hipertensi+dispepsia
84 L 39 338 208 gangren
85 P 43 246 195
86 P 51 282 237 dispepsia
87 P 45 129 116
88 P 56 328 205 5
89 P 61 314 180 DLI+dispepsia
90 P 65 180 148 HHD
91 P 73 159 137 HHD
92 L 75 180 118 oral candidiasis
93 L 64 202 136 gangren
94 P 45 215 187 DLI+kista ovarium
95 P 61 226 163 GGA
96 L 72 240 131 HHD
97 L 44 313 270 HHD
98 L 44 280 222 gangren
99 P 52 252 190
100 P 76 280 169 HHD
101 P 52 395 228 ulkus diabetikum
102 P 60 126 121
103 P 58 386 296 hipertensi
104 P 66 178 138 hipertensi
105 P 65 325 208
106 L 52 118 110
107 P 62 298 189 hipertensi
108 P 56 188 121 stroke
109 L 48 276 229 selulitis
110 P 53 336 257 hipertensi grade I
111 L 60 290 235 hipertensi grade I
112 P 50 135 113
113 P 60 331 217
114 P 55 458 321 hipertensi
115 P 50 450 324
116 P 35 315 208 abses
117 P 67 265 192 hipertensi
118 P 52 496 464 dispepsia
119 P 56 503 334
120 L 45 321 243 hipertensi
121 P 63 199 169 hipertensi
122 L 53 394 298 
123 P 49 270 235
124 P 56 342 251 hipertensi
125 P 41 357 317
126 P 58 327 208 anemia
127 L 84 150 110 bronkiolitis
128 P 68 194 149 atrofi serebri, HHD
129 P 60 324 206 hipertensi
130 L 56 295 222 hipertensi
131 P 43 328 191 9.1 dislipidemia
132 L 53 340 220
133 P 50 198 136 abses
134 L 51 348 189 6.8 dislipidemia
135 L 77 537 403 hipertensi
Polifagi Badan lemas Kesemutan Gatal Mata kabur Dosis Frekuensi Waktu pemberian Kombinasi Interaksi Oba
 1000 2 valsartan
 1500 3 ranitidin metilprednisolon
 1000 2 amplodipin valsartan
1500 3
1000 2 gliclazid
 1000 2
  1500 3 gliclazid valsartan amplodipin
1000 2
 1500 3 captopril
1500 3 gliclazid captopril
1500 3
1000 2 ac
1500 3
1500 3 ranitidin
1000 2 gliclazid
1000 2 aspilet
1500 3 ranitidin
    1500 3
1500 3 amplodipin
1500 3 aspilet
1000 2 gliclazid
 1000 2 captopril amplodipin
1500 3
1500 3 gliclazid valsartan aspilet
1000 2 glucobay
  500 1
1000 2
1000 2
1000 2
 1000 2 glucobay
1000 2 furosemid spironolakton
 1500 3 valsartan
1500 3 gliclazid
 1000 2 ranitidin
1500 3 ac glibenclamid ranitidin
 1500 3 glibenclamid ranitidin
 1000 2 glibenclamid
 1000 2
1500 3
 1500 3 captopril aspilet
1500 3 ranitidin
 1500 3 gliclazid ranitidin
1000 2
 1500 3
 500 1 gliclazid aspilet
1500 3 glimepirid ranitidine
 1000 2 glibenclamid
1000 2 furosemid spironolakton
1500 3 glibenclamid
1000 2 furosemid spironolakton
1000 2 glimepirid amplodipine
1500 3 glimepirid amplodipine
  1500 3
1500 3 captopril
1500 3
  1500 3 ranitidine
500 1 glimepirid furosemid ranitidin
1000 2 glucobay captopril
 1500 3
1500 3 ranitidine furosemid
1500 3 glimepirid aspilet
1000 2 glimepirid
 1500 3 glimepirid captopril
1500 3
1500 3
 1000 2
1500 3
1500 3 nifedipin amplodipin
1500 3 glimepirid aspilet
1500 3 amplodipin
 1500 3
1500 3
1000 2 glimepirid ranitidine
1000 2
 1500 3
1000 2
1000 2 amplodipin
1500 3 glibenclamid ranitidine captopril
 500 1
1000 2
 1000 2 ranitidine
  1500 3 ac
1500 3 amplodipin nifedipine
1500 3 glimepirid
1000 2 ranitidine amplodipin
1000 2 ranitidine
1500 3
1500 3 glibenclamid ranitidine
1500 3 glimepirid ranitidine
1000 2
 1500 3 aspilet
1500 3 glimepirid
1000 2 glimepirid
1500 3
 1500 3 ranitidine captopril
1000 2 glimepirid
1500 3
1500 3 ranitidine
1500 3
1000 2 glimepirid captopril
 1500 3 gliclazid
500 1 spironolakton
1500 3 amplodipin
1500 3 amplodipine
1500 3 gliclazid
1500 3 amplodipin
1000 2 glimepirid
1500 3 gliclazid amplodipin valsartan
 1500 3 glimepirid amplodipin ranitidin
 1500 3
 1500 3
1000 2 digoxin
 1500 3 glimepirid ranitidin
 1500 3 amplodipin
 750 3 glimepirid
 1500 3 ranitidin
1500 3 amplodipin
1500 3
 1500 3
 1500 3 furosemid spironolakton
 1500 3
  1500 3
 1500 3
1500 3 amplodipin
1000 2 glucobay
 1000 2 glibenclamid
 1500 3 metilprednisolon
1500 3 amplodipin captopril
1500 3 gliclazid amplodipin ranitidin
1000 2
 1500 3 glimepirid ranitidine
 1500 3 ac
1000 2 glimepirid
 1500 3 gliclazid
 1500 3 furosemid
raksi Obat

captopril
ranitidine

spironolactone amplodipin
Rasionalitas Penggunaan Metformin pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2
di Beberapa Rumah Sakit di Kota Palembang

Arief Tri Wibowo1, Syahril Aziz2 dan Enny Kusumastuti3

1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya


2. Bagian Farmakologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya
3. Bagian Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya
Jl. dr. Muh. Ali, Komplek RSMH Palembang, Madang, Sekip, Palembang, Indonesia, 30126, Indonesia

Email: Boejang.arief@gmail.com

Abstrak

Penderita diabetes mellitus tiap tahun selalu meningkat. Setelah seseorang didiagnosa menderita diabetes mellitus maka
diperlukan pengobatan seumur hidup. Obat lini pertama bagi penderita diabetes mellitus tipe-2 adalah metformin.
Selain sangat efektif, metformin banyak tersedia di pasaran dan harga relatif murah. Namun, penggunaan metformin
yang tidak rasional dapat meningkatkan risiko terjadinya asidosis laktat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu i
rasionalitas penggunaan metformin pada penderita diabetes mellitus tipe-2 di Palembang. Penelitian ini merupakan
studi deskriptif observasional, dengan menggunakan data sekunder rekam medik. Sampel penelitian adalah penderita
DM tipe-2 yang menjalani rawat inap di RSUD Bari, RS Siti Khadijah dan RS Muh Hoesin. Dan subjek penelitian
adalah penderita diabetes mellitus tipe-2 yang mendapatkan pengobatan metformin periode 1 Januari–31 Desember
2013. Dari 135 rekam medik yang diteliti, didapatkan 46 laki-laki dan 89 perempuan. Pada laki-laki maupun perempuan
paling banyak terjadi pada kelompok usia 45-64 tahun (19.3% dan 45.1%). Penyakit penyerta yang paling banyak
terjadi adalah hipertensi (26.7%). Penurunan glukosa darah dengan sediaan tunggal sebesar 15–25%, sementara untuk
sediaan kombinasi >40%. Dosis harian yang sering digunakan (62.2%) adalah 1500 mg/hari dengan frekuensi
pemberian 3x sehari. Sementara kombinasi yang sering digunakan metformin dengan sulfonilurea (62.5%). Masih
terdapat interaksi bersifat antagonis dengan metformin di ketiga rumah sakit yaitu RSMH 2.7%, RSUD Bari 2.6%, RS
Siti Khadijah 4.7%. Dari segi dosis, frekuensi dan kombinasi penggunaan antidiabetik oral metformin di RSUD Bari,
RS Siti Khadijah dan RS Muh Hoesin sudah rasional. Namun, waktu pemberian belum dapat dinilai karena data tidak
tersedia.

Kata kunci: Diabetes mellitus tipe-2, rasionalitas obat, antidiabetik oral, metformin.

Abstract

The Rationality of Metformin Usage on Type-2 Diabetes Mellitus Patient at Some Hospitals in Palembang. Every
year, diabetes mellitus patient is always increasing. After someone got diagnosed by diabetes mellitus, then the whole
life treatment is needed. The first line treatment for diabetes mellitus is metformin. Beside it is very effective,
metformin is available in any place with cheap price. But, the use of metformin irrationaly can increas the risk of lactic
acidosis. This study aim to determine the rationality of metformin usage on type-2 diabetes mellitus in Palembang. This
reasearch is a descriptive observational with secondary data from medical record. The Sample is type-2 diabetetes
mellitus in patient undergo at RSUD Bari, RS Siti Khadijah and RS Muh Hoesin . And the subject is type-2 diabetes
mellitus patient who using metformin as treatment periode 1 January- 31 December 2013. From 135 studied medical
records, there are 46 male and 89 female. On male nor female the mos frequent cases are on 45-64 years old (19.3% and
45.1%) . The most frequent complication is hypertention (26.7%). The reduction of blood glucose eith single dose is 15
– 25%, while for combination dose >40%. The most frequent daily dose (62.2%) is 1500 mg/day with giving frequency
3x a day. While the most frequent combination of metformin is sulfonylurea (62.5%). There is still antagonist
interaction of metformin at three hospitals, there are RSMH 2.7%, RSUD Bari 2.6%, RS Siti Khadijah 4.7%. In terms
of doses, the frequency and the use of oral antidiabetic metformin in Bari hospital, Siti Khadijah hospital and Muh
Hoesin hospital is rational. However, the time yet to be assessed for anavailable data.

Key words: Type-2 diabetes mellitus, Drug rationality, Oral Antidiabetic, Metformin.
1. Pendahuluan adanya interaksi antar obat, yang menyebabkan
perubahan efek pada obat antidiabetik oral.
Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit tidak
menular yang sering ditemui di dunia. Pengertian Penetapan metformin sebagai lini pertama pada
diabetes mellitus itu sendiri adalah suatu kumpulan penderita diabetes mellitus tipe 2 tidak terlepas dari
gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kerja obat yang jarang menyebabkan syok
kadar glukosa darah karena kekurangan insulin baik hipoglikemik, tidak meningkatkan berat badan,
absolut maupun relatif 1. menurunkan plasma trigliserid dan kolesterol LDL 5,
harga metformin yang murah dan tersedia dipasaran.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya Oleh karena itulah, pentingnya untuk mengetahui
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan penggunaan metformin yang rasional pada penderita
prevalensi DM tipe 2 di berbagai dunia. Salah satunya, diabetes mellitus tipe-2.
menurut data dari IDF (international diabetes
federation) menyebutkan bahwa pada tahun 2012 2. Metode Penelitian
jumlah penderita diabetes di dunia 371 juta orang,
sementara pada tahun 2013 jumlah penderita diabetes di
Jenis penelitian yang dilakukan secara deskriptif
dunia 382 juta orang. Berdasarkan data tersebut terjadi
observasional dengan menggunakan data sekunder
kenaikan penderita diabetes 11 juta jiwa di seluruh
rekam medik di Bagian Penyakit Dalam RSMH, RSUD
dunia. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-7
Palembang Bari, RS Siti Khadijah Palembang.
penderita diabetes terbanyak di dunia dengan jumlah
Penelitian akan dimulai pada bulan Oktober-November
penderita mencapai 8,5 juta orang pada rentang usia
2014. Dengan sampel penelitian adalah penderita
sekitar 20-79 tahun 2.
diabetes mellitus tipe-2 yang mendapatkan pengobatan
dengan metformin. Data yang sudah terkumpul lalu
Sementara menurut penelitian yang dilakukan oleh
dikelompokkan sesuai dengan variabel penelitian dalam
riskesda tahun 2013, jumlah penderita diabetes mellitus
tabel dan selanjutnya akan disajikan secara deskriptif
di Indonesia sebesar 2,1%. Jumlah ini meningkat dari
dalam bentuk tabel distribusi persentase dan dibuat
penelitian sebelumnya tahun 2007 yang hanya sebesar
narasi.
1,1% 3. Penderita diabetes paling banyak terjadi pada
usia produktif, dan tingkat keparahan gejala diabetes
meningkat sesuai pertambahan umur. Meningkatnya 3. Hasil
prevalensi DM terjadi karena meningkatnya tingkat
kemakmuran masyarakat. Peningkatan pendapatan per Karakteristik Subyek Penelitian
kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota
besar 4. Usia dan Jenis Kelamin

Kasus diabetes yang paling banyak ditemui adalah Data yang diperoleh di ketiga rumah sakit didapatkan
diabetes mellitus tipe 2 yang disebabkan oleh resistensi bahwa jumlah penderita diabetes mellitus menurut usia
insulin dan gangguan sekresi insulin. Pola pengobatan dan jenis kelamin sebagai berikut:
pada penderita diabetes mellitus tipe 2 lebih diutamakan
pada perencanaan perubahan pola makanan diikuti
Tabel 1. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2
dengan olahraga 4. Namun, apabila setelah melakukan berdasarkan usia dan jenis kelamin
perubahan gaya hidup, glikemia tetap tidak bisa
dikendalikan maka diperlukan intervensi farmakoterapi
Laki – Laki Perempuan
untuk mengendalikan kontrol glikemia dan mencegah
komplikasi yang terjadi. n % n %
12–24 tahun 2 1.5 0 0
Sampai saat ini telah dikenal berbagai obat antidiabetik 25–44 tahun 8 5.9 14 10.4
oral dalam pengobatan diabetes melitus (DM). Cara 45–64 tahun 26 19.3 56 41.5
kerja obat antidiabetik oral dibagi menjadi 2 yaitu 65+ tahun 10 7.4 19 14.1
meningkatkan sekresi insulin (insulin secretagogue)
total 46 34.1 89 65.9
atau meningkatkan sensitifitas jaringan perifer terhadap
insulin (non secretagogue). Melihat cara kerja obat
antidiabetik oral yang berbeda maka sangat rasional bila Berdasarkan data diatas diketahui bahwa penderita
obat antidiabetik diberikan dalam bentuk kombinasi diabetes mellitus tipe 2 paling banyak terjadi pada jenis
untuk mencapai kadar glukosa darah yang diinginkan. kelamin perempuan dengan rentang usia 45–64 tahun
Namun, penggunaan obat antidiabetik dengan obat lain sebesar 56 orang (41.5 %) dan yang paling sedikit
secara bersamaan dapat menimbulkan efek terjadi pada jenis kelamin laki–laki dengan rentang usia
hipoglikemik yang berlebihan. Hal ini terjadi karena 12–24 tahun sebesar 2 orang (1.5%).
Sementara jika melihat berdasarkan jenis kelamin di Kadar HbA1c
masing-masing rumah sakit, maka hasil yang
didapatkan sebagai berikut: Dari 135 sampel penelitian, penderita diabetes mellitus
tipe 2 yang melakukan pemeriksaan kadar HbA1c
Tabel 2. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2 sebesar 11 orang. Dengan rincian sebagai berikut:
berdasarkan jenis kelamin di masing–masing rumah sakit
Tabel 5. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2
RSUD Bari RS Khadijah RS Muh. berdasarkan pemeriksaan kadar HbA1c saat masuk
Hoesin rumah sakit
n % n % n %
L 18 26.9 10 28.6 18 54.5 RS
P 49 73.1 25 71.4 15 45.5 RSUD Bari RSMH
Khadijah
total 67 100% 35 100% 33 100% n % n % n %
< 6.5 % 0 0 0 0 2 25
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa secara 6.5 – 8 % 0 0 1 50 1 12.5
keseluruhan, penderita diabetes mellitus tipe-2 banyak > 8% 1 100 1 50 5 62.5
terjadi pada orang yang berjenis kelamin perempuan total 1 100% 2 100% 8 100%
dengan jumlah 89 orang, sedangkan orang yang berjenis
kelamin laki–laki berjumlah 46 orang. Penurunan Glukosa Darah
Namun, jika akan melihat jumlah penderita diabetes
Pengontrolan glukosa darah pada pasien rawat inap
mellitus tipe 2 berdasarkan usia, maka akan didapatkan
dilakukan secara teratur untuk mengetahui glukosa
hasil sebagai berikut:
darah pasien secara kontinyu selama perawatan. Dari
135 sampel penelitian didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 3. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2
berdasarkan usia di masing–masing rumah sakit
Tabel 6. Distribusi persentase penurunan GDS setelah
RS RS Muh. pemberian obat
RSUD Bari
Usia Khadijah Hoesin
n % n % n % Sediaan Kombinasi
Sediaan
12 – 24 1 1.5 0 0 1 3.0 Penurunan
Tunggal sulfonylurea Acarbose Insulin
25 – 44 14 20.9 3 8.6 5 15.2 GDS (%)
45-64 38 56.7 26 74.3 18 54.5 n % n % n % n %
65+ 14 20.9 6 17.1 9 27.3 1–5 1 0.7 0 0 0 0 0 0
total 67 100% 35 100% 33 100% 6-10 3 2.2 0 0 0 0 0 0
11-15 9 6.7 0 0 1 0.7 0 0
Berdasarkan data diatas jumlah penderita diabetes 16-20 20 14.8 1 0.7 1 0.7 0 0
mellitus tipe 2, golongan remaja 2 orang, golongan 21-25 28 20.7 1 0.7 0 0 1 0.7
dewasa 22 jiwa, golongan lansia 82 jiwa dan golongan 26-30 3 2.2 3 2.2 1 0.7 3 2.2
manula sebesar 29 jiwa. 31-35 1 0.7 9 6.7 1 0.7 6 4.4
36-40 0 0 19 14.1 0 0 8 5.9
Glukosa Darah Sewaktu 41-45 0 0 7 5.2 0 0 2 1.5
>46 0 0 3 2.2 0 0 3 2.2
Pasien penderita diabetes mellitus tipe 2 melakukan tes Total 65 47.4 43 31.9 4 3.7 23 17
glukosa darah sewaktu saat pertama masuk rumah sakit,
hal ini bertujuan untuk mengetahui kadar GDS masing–
Berdasarkan data diatas penggunaan metformin dalam
masing penderita diabetes mellitus tipe 2 dirawat di sediaan tunggal dapat menurunkan glukosa darah sebesar
rumah sakit. Oleh karena itu peneliti membaginya
16–25% sedangkan penggunaan sediaan kombinasi dapat
menjadi 2 kelompok yaitu: menurunkan glukosa darah lebih dari 31%.
Tabel 4. Distribusi penderita diabetes mellitus tipe 2
berdasarkan pemeriksaan glukosa darah sewaktu pada Penyakit Penyerta yang dialami Penderita Diabetes
saat masuk rumah sakit Mellitus tipe-2

RS Muh.
RSUD Bari RS Khadijah
Hoesin
Dari 135 sampel penelitian yang dilakukan di tiga
N % n % n % rumah sakit, penyakit penyerta yang dialami penderita
< 200 9 13.4 9 25.7 11 33.3 diabetes mellitus tipe-2 paling banyak terjadi adalah
>200 58 86.6 26 74.3 22 66.7 hipertensi sebanyak 36 orang (43%), diikuti oleh HHD
total 67 100% 35 100% 33 100% sebanyak 10 orang (12%).
Tabel 7. Distribusi penyakit lain yang dialami penderita Berdasarkan tabel diatas, penderita diabetes mellitus
diabetes mellitus tipe 2 tipe 2 yang dilakukan rawat inap di rumah sakit
kebanyakan memiliki keluhan badan lemas. Keluhan ini
RSUD RS sering terjadi karena sebagian penderita DM tipe 2 tidak
RSMH
Bari Khadijah melakukan pengontrolan gula darah.
n % n % n %
Hipertensi 8 22.2 13 72.2 15 50.0
Rasionalitas Penggunaan Metformin pada Pasien
HHD 9 25 0 0 1 3.3
Dyspepsia 2 5.5 1 5.6 2 6.7 Penderita Diabetes Mellitus tipe-2
ISK 3 8.3 0 0 2 6.7
Gastritis 4 11.1 0 0 0 0 Dosis Pemberian
Dyslipidemia 0 0 2 11.0 2 6.7
Gastritis 3 8.3 0 0 1 3.3 Dari 135 sampel penderita diabetes mellitus tipe 2 yang
TB Paru 4 11.1 0 0 0 0 mendapatkan pengobatan metformin, didapatkan 3
selulitis 1 2.8 1 5.6 1 3.3 macam bentuk pemberian dosis harian obat metformin
anemia 1 2.8 1 5.6 1 3.3 sedian tunggal dan 4 macam bentuk pemberian dosis
Gastropati
0 0 0 0 2 6.7 harian obat metformin dengan sediaan kombinasi. Dari
DM
polineuropati 0 0 0 0 2 6.7 keseluruhan sampel tersebut, 65 orang mendapatkan
CKD 0 0 0 0 1 3.3 dosis harian metformin sediaan tunggal dan 70 orang
AKD 1 2.8 0 0 0 0 mendapatkan dosis harian metformin sediaan kombinasi.
Total 36 100% 18 100% 30 100%
Tabel 9. Distribusi dosis pemberian metformin sediaan
tunggal
Keluhan Pasien Penderita Diabetes Mellitus tipe-2
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
Dari 135 sampel penelitian di ketiga rumah sakit, tidak n % n % n %
semua penderita diabetes mellitus tipe-2 yang dilakukan 500 0 0 1 6.7 0 0
rawat inap memiliki keluhan/gejala yang menjadi ciri 750 0 0 0 0 0 0
khas dari penyakit diabetes mellitus tipe-2, hanya 1000 13 34.2 2 13.3 4 33.3
sebanyak 50 pasien yang dilakukan rawat inap yang 1500 25 65.8 12 80 8 66.7
memiliki gejala khas/tambahan dari penyakit diabetes total 38 100% 15 100% 12 100%
mellitus tipe-2. Ada pasien yang datang ke rumah sakit
dengan seluruh gejala yang diabetes mellitus tipe-2, ada Pada penderita diabetes mellitus tipe-2 yang
juga yang datang hanya dengan salah satu gejala saja. mendapatkan pengobatan metformin dengan sediaan
Gejala yang paling sering dikeluhkan pasien adalah tunggal sebesar 65 orang, dosis harian yang sering
badan lemas yang mencapai 46 orang (57.8%) dan yang digunakan adalah 1500 mg/hari sebanyak 45 orang
paling sedikit dikeluhkan adalah kesemutan sebanyak 3 (69.3%), diikuti oleh dosis harian 1000 mg/hari sebanyak 19
orang (3.7%). namun diantara 3 gejala khas yang orang (29.2%) dan yang paling sedikit adalah dosis harian
menjadi ciri penyakit diabetes mellitus, poliuri adalah 500 mg/hari sebanyak 1 orang (1.5%).
gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien sebanyak 13
orang (16%), lalu diikuti oleh gejala polidipsi sebanyak Sedangkan pada penderita diabetes mellitus tipe-2 yang
9 orang (11.1%) dan yang paling sedikit adalah polifagi mendapatkan pengobatan metformin dengan sediaan
sebanyak 6 orang (7.4%). kombinasi sebesar 70 orang, dosis harian yang sering
digunakan adalah 1500 mg/hari sebanyak 39 orang
Tabel 8. Distribusi keluhan yang terjadi pada pasien (55.8%), diikuti oleh dosis harian 1000 mg/hari sebesar
diabetes mellitus tipe 2 saat masuk rumah sakit 26 orang (37.1%), dosis harian 500 mg/hari sebanyak 4
orang (5.7%) dan yang paling sedikit digunakan adalah
n % dosis harian 750 mg/hari sebanyak 1 orang atau (1.4%).
Gejala khas
 Polifagi 6 7.4
Tabel 10. Distribusi dosis pemberian metformin sediaan
 Polidipsi 9 11.1
kombinasi
 Poliuri 13 16.0
Gejala Tambahan RSUD Bari RS Khadijah RSMH
 Badan lemas 46 57.8 n % n % n %
 Kesemutan 3 3.7 500 3 10.3 0 0 1 4.8
750 0 0 1 5.0 0 0
 Gatal 0 0
1000 10 34.5 4 20.0 12 57.2
 Mata kabur 4 5.0
1500 16 57.2 15 75.0 8 38.0
total 81 100% total 29 100% 20 100% 21 100%
Frekuensi Pemberian 131 sampel pasien tidak dituliskan mengenai waktu
pemberian obat tersebut.
Dari 135 sampel penderita diabetes mellitus tipe 2 yang
mendapatkan pengobatan metformin, didapatkan 3 Tabel 13. Distribusi waktu pemberian obat metformin
macam bentuk frekuensi pemberian obat metformin pada pasien penderita diabetes mellitus tipe-2
yaitu 1 kali, 2 kali dan 3 kali sehari. Dari sampel
tersebut juga didapatkan 65 pasien diabetes mellitus RSUD Bari RS Khadijah RS Muh.
tipe-2 mendapatkan pengobatan metformin dengan Hoesin
sediaan tunggal dan 70 pasien diabetes mellitus tipe-2 n % n % n %
mendapatkan pengobatan metformin dengan sediaan a.c. 2 100 1 100% 1 100%
kombinasi. d.c. 0 0 0 0 0 0
p.c. 0 0 0 0 0 0
Tabel 11. Distribusi frekuensi pemberian metformin untuk total 2 100% 1 100% 1 100%
sediaan tunggal
Kombinasi dengan Obat Antidiabetik Lain
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
Dalam pengobatan penderita diabetes mellitus,
n % n % n %
penggunaan obat kombinasi digunakan apabila
1x 0 0 1 6.7 0 0 penggunaan satu jenis obat tidak dapat mengendalikan
2x 13 34.2 2 13.3 4 33.3 kadar glukosa dalam darah. Dari 135 sampel penelitian
3x 25 65.8 12 80 8 66.7 yang dilakukan di 3 rumah sakit di kota Palembang,
total 38 100% 15 100% 12 100% ditemukan bahwa sebanyak 68 orang mendapatkan
pengobatan kombinasi dalam mengendalikan kadar
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang glukosa darah.
mendapatkan pengobatan dengan sediaan tunggal,
frekuensi yang banyak diberikan adalah 3 kali sehari Tabel 14. Distribusi obat antidiabetik lain yang
sebesar 45 orang (69.3%), diikuti oleh frekuensi dikombinasikan dengan metformin
pemberian 2x sehari sebesar 19 orang (29.2%) dan yang
paling sedikit diberikan adalah frekuensi 1 kali sehari RSUD RS
RSMH
sebesar 1 orang atau 1.5%. Bari Khadijah
n % n % n %
Sedangkan frekuensi pemberian metformin yang Sulfonylurea:
diberikan pada penderita diabetes mellitus tipe-2 dengan  Glibenclamid 7 24.1 1 5.3 0 0
bentuk sediaan obat yang dikombinasikan dengan obat  Gliclazide 2 6.9 5 26.3 7 31.8
anti diabetik lain sebesar 70 orang dengan rincian  glimepirid 15 51.7 6 31.6 0 0
frekuensi pemberian paling banyak diberikan adalah 3 Acarbose 1 3.5 1 5.3 2 9.0
kali sehari sebesar 40 orang (57.2%), diikuti oleh Insulin 4 13.8 6 31.5 13 59.2
frekuensi pemberian 2 kali sehari sebesar 26 orang ( total 29 100 19 100 22 100
37.1 %) dan 1 kali sehari sebesar 4 orang (5.7%)
Berdasarkan tabel diatas, penderita diabetes mellitus
Tabel 12. Distribusi frekuensi pemberian metformin untuk tipe 2 yang menggunakan metformin lebih sering
sediaan kombinasi menggunakan obat yang dikombinasikan dengan
golongan sulfonylurea sebesar 43 orang (61.4%).
RSUD Bari RS Khadijah RSMH
Golongan ini terbagi menjadi: glimepiride sebanyak 21
n % n % n % orang (30%), gliclazide sebanyak 14 orang (20%),
1x 3 10.3 0 0 1 4.8 glibenclamide sebanyak 8 orang (11.4%), selain
2x 10 34.5 4 20 12 57.2 sulfonylurea, metformin dikombinasikan dengan insulin
3x 16 57.2 16 80 8 38.0 sebanyak 23 orang (32.9%), dan acarbose sebanyak 4
total 29 100% 20 100% 21 100%
orang (5.7%).

Interaksi Metformin dengan Obat Lain


Waktu Pemberian
Interaksi antar obat dapat bersifat sinergis, potensiasi
Dari 135 sampel penelitian yang dilakukan di 3 rumah dan antagonis. Dalam pemberian metformin pada
sakit, hanya 4 pasien yang didalam catatan rekam penderita diabetes mellitus tipe-2, terdapat 15 jenis obat
mediknya dituliskan waktu pemberian obat, sedangkan yang memiliki interaksi dengan metformin.
Interaksi Sinergis
RSUD RS
RSMH
Dari 15 jenis obat yang diberikan pada penderita Bari Khadijah
diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatkan terapi n % n % n %
menggunakan metformin, terdapat 5 jenis obat yang Metylprednisolon 0 0 1 2.4 1 2.25
mengalami interaksi sinergis dengan obat metformin. spironolactone 3 3.9 2 4.8 1 2.25
total 3 3.9 3 7.1 2 4.5
Tabel 15. Distribusi interaksi pemberian metformin
dengan obat lain yang bersifat sinergis 4. Pembahasan
RSUD RS Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi diabetes
RSMH
Bari Khadijah mellitus tipe-2 banyak terjadi pada perempuan dengan
n % n % n % kelompok usia 45-64 tahun tidak terlepas dari
Sulfonylurea: dimulainya masa lansia awal dimana kadar hormone
 Glibenclamid 7 9.1 1 2.4 0 0
estrogen pada wanita mengalami penurunan. Estrogen
 Gliclazide 2 2.6 5 11.9 7 15.9
berperan penting dalam mengendalikan keseimbangan
 glimepirid 15 19.6 6 14.3 0 0
Acarbose 1 1.3 1 2.4 2 4.5
metabolisme, dengan menurunnya estrogen
Insulin 4 5.2 6 14.2 13 29.6 mempengaruhi kerja dari ER alpha dan beta sehingga
total 29 37.8 19 45.2 22 50 menyebabkan sensivitas insulin menurun. Penelitian
lain menyebutkan juga menyebutkan bahwa
Interaksi Potensiasi meningkatnya kadar plasma E2 yang tinggi dapat
meningkatkan risiko terjadinya diabetes mellitus pada
Dari 15 jenis obat yang diberikan pada penderita wanita post-menopause 6. Penelitian ini juga
diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatkan terapi menunjukkan kadar glukosa darah dan HbA1c pada
menggunakan metformin, terdapat 8 jenis obat yang penderita diabetes mellitus abnormal. Pemeriksaan
mengalami interaksi potensiasi dengan obat metformin. glukosa darah penting untuk menegakkan diagnosis
penderita diabetes mellitus dan untuk mengetahui kadar
Tabel 16. Distribusi interaksi pemberian metformin glukosa dalam darah, sementara pemeriksaan HbA1c
dengan obat lain yang bersifat potentsiasi digunakan untuk memantau keberhasilan dalam
mengendalikan glukosa darah. Pemeriksaan HbA1c
RSUD Bari RS RS Muh. dilakukan setiap 3 bulan sekali. Jika kadar HbA1c tidak
Khadijah Hoesin sesuai target maka diperlukan penambahan dosis
n % n % n % maupun pengantian jenis obat.
Aspilet 5 6.5 0 0 3 6.8
Pemberian metformin sediaan tunggal dapat
valsartan 0 0 1 2.4 5 11.4 menurunkan glukosa darah minimal 20% 4. Sementara
captopril 7 9.1 1 2.4 4 9.1 penggunaan kombinasi metformin dengan sulfonylurea
amlodipin 8 10.4 10 23.7 4 9.1
dapat menurunkan kadar glukosa darah sebesar 40% 7.
Kombinasi metformin dengan acarbose dapat
furosemide 4 5.2 2 4.8 1 2.3 menurunkan glukosa darah sebesar 32% 8. Sementara
Ranitidine 19 24.6 5 11.9 3 6.8 kombinasi insulin dengan dan metformin dapat
Nifedipin 2 2.6 0 0 0 0 menurunkan glukosa darah rata-rata 49% 9. Penyakit
penyerta yang paling banyak ditemui pada penderita
Digoxin 0 0 1 2.4 0 0
diabetes mellitus tipe-2 adalah hipertensi. Hal ini terjadi
total 45 58.4 20 47.6 20 45.5 karena adanya peningkatan aktifitas syaraf simpatis
yang akan menyebabkan terjadinya resistensi insulin
Interaksi Antagonis dan hiperinsulinemia itu sendiri akan meningkatkan
aktivitas saraf simpatis 10. Sementara untuk keluhan
Dari 15 jenis obat yang diberikan pada penderita yang sering dialami oleh penderita DM tipe-2 adalah
diabetes mellitus tipe 2 yang mendapatka terapi badan lemas. Hal ini terjadi akibat kebutuhan glukosa
menggunakan metformin, terdapat 2 jenis obat yang jika berkurang akibat terjadinya resistensi insulin dijaringan
diberikan bersama dengan metformin akan menghambat otot.
kerja metformin. Obat tersebut adalah metilprednisolon
dan spironolactone. Interaksi ini disebut sebagai Pada penelitian ini menunjukkan bahwa dosis harian
interaksi antagonis. yang diberikan adalah berkisar 500-1500 mg/hari
dengan frekuensi pemberian antara 1-3x sehari.
Tabel 17. Distribusi interaksi pemberian Metformin Pemberian ini sesuai dengan teori yang terdapat di
dengan obat lain yang bersifat Antagonis dalam buku goodman and gilman, dimana untuk dosis
awal pemberian dapat diberikan 500 mg/hari dan dapat 5. Kesimpulan
ditingkatkan perlahan dalam jangka waktu 1-2 minggu
untuk menyesuaikan dengan respon tubuh sehingga Dari segi dosis, frekuensi dan kombinasi penggunaan
dapat meminimalisir efek samping gastrointestinal. antidiabetik oral metformin di RSUD Bari, RS Siti
Dosis pemberian maksimum obat metformin adalah Khadijah dan RS Muh Hoesin sudah rasional. Namun,
2500 mg/hari 11. Dengan pemberian dosis metformin waktu pemberian belum dapat dinilai karena data tidak
lebih dari 1000 mg/hari sebaiknya diberikan dalam tersedia.
dosis terbagi untuk mengurangi efek samping dari
penggunaan obat tersebut. Daftar Acuan
Waktu pemberian dianjurkan setelah makan, hal ini 1. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. Diagnosis dan
bertujuan juga untuk mengurangi efek samping akut Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini.
dari penggunaan metformin seperti rasa tidak enak Penatalaksanaan Diabetes MelitusTerpadu, Edisi
diperut, mual, dan anoreksia 12. Namun, Bioavaibilitas Kedua, Jakarta, Balai Penerbit FKUI. 2009
absolut dari metformin yang diberikan pada penderita 2. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International
diabetes mellitus pada saat kondisi berpuasa adalah Diabetes Federation 2013/www.idf.org
sekitar 50–60%. Pemberian makanan berat bersamaan 3. Kemenkes. Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas 2013.
dengan metformin dapat menyebabkan penurunan dari Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
bioavaibility/absorbsi obat tersebut sebesar 25% dan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
terjadi pemanjangan waktu puncak konsentrasi plasma 4. Suyono S. Diabetes mellitus di Indonesia. Di dalam
metformin sebesar 35 menit daripada pemberian saat Sudoyo A, et.al. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima,
puasa. Penurunan absorbsi ini tidak menyebabkan gejala Jakarta, FKUI. 2009 Hal 1874-79
klinis yang berarti bagi sebagian pasien yang 5. Lebovitz, H.E., and Feinglos, M.N. The oral
mendapatkan terapi dengan metformin 13. hypoglycemic agents. In Porte,Daniel; Sherwin,
Robert S.; Baron, Alain. Ellenberg and rifkin’s
Dalam pengendalian glukosa darah tidak jarang diabetes mellitus 6th ed.McGraw-Hill Medical
penderita DM tipe-2 menerima lebih dari 1 jenis obat Publishing Division.New York 2003. pp 540-550
dalam menurunkan glukosa darah. Hal ini terlihat pada 6. Andrea C, Bolego C. Mechanisms of estrogen
penelitian ini bahwa 70 penderita DM tipe-2 menerima protection in diabetes and metabolic disease. Horm
pengobatan kombinasi. Kombinasi yang sering Mol Biol Clin Invest 2010.; 4(2):575–580
digunakan bersama metformin adalah sulfonylurea 7. Hirao K, Maeda H, Shirabe S, Yamamoto R.
kemudian diikuti dengan insulin. Sulfonylurea adalah Combination Therapy with a Dipeptidyl peptidase-4
obat yang bekerja dengan cara meningkatkan sekresi Inhibitor, sulfonylurea, and Metformin Markedly
insulin pada sel beta pankreas 4. Kombinasi metformin Improves HbA1c Levels in Japanese patients with
dengan sulfonylurea, insulin maupun obat antidiabetik Type 2 Diabetes Mellitus. Japanese Clinical
lain bersifat sinergis, dimana kerja masing-masing obat Medicine. 2012. 3:1-7
saling menguatkan untuk mencapai tujuan yang sama, 8. Saboo B, Reddy GC, Juneja S, Kedia AK,
sehingga dapat menurunkan glukosa yang lebih banyak Manjrekar P, Rathod R. Effectiveness and safety of
4
. Selain itu tedapat juga reaksi potensial yang terjadi fixed dose combination of acarbose/ metformin in
bila diberikan dengan metformin. Interaksi ini dapat Indian Type 2 diabetes patients: Results from
menyebabkan efek kerja salah satu obat menjadi observational GLOBE Study. Indian J Endocr Metab
berlebihan. Metformin yang diberikan bersamaan 2015;19:129-35
dengan furosemide dapat menyebabkan peningkatan 9. Pramestiningtyas E. Analisis efektivitas biaya
konsentrasi plasma metformin. Nifedipin yang diberikan berdasarkan nilai acer penggunaan insulin
bersamaan dengan metformin dapat meningkatkan dibandingkan kombinasi insulin-metformin pada
konsentrasi plasma metformin dengan cara pasien penderita diabetes mellitus tipe-2 di instalasi
meningkatkan absorbsi, sedangkan ranitidine yang rawat inap RSD dr. Soebandi Jember periode 2012.
diberikan dengan metformin dapat meningkatkan Unej digital respiratory. 2014.
konsentrasi plasma dengan cara menghambatkan 10. Izzo J. The sympathetic nervous system in acute and
ekskresi metformin di dalam tubulus ginjal. sehingga chronic blood pressure elevation. In: Oparil S,
dapat menyebabkan hipoglikemik pada penderita Weber MA (eds). Hypertension: Companion to
tersebut 14. Terdapat 2 jenis obat yang diberikan yang Brenner and Rector’s the kidney 2nd ed. Elsevier
memiliki reaksi antagonis dengan metformin. Kedua Saunders. Philadelphia. 2005. 60-76
obat tersebut bekerja dengan cara mengganggu kontrol 11. Davis,S.N dan Granner, D.K. insulin,senyawa
glukosa, sehingga menyebabkan hiperglikemia, hipoglikemik oral, dan farmakologi endokrin
intoleransi glukosa, perubahan kadar glukosa dengan pankreas. Di dalam hardman,joel G dan limbird,L.E.
onset baru dan eksaserbasi DM 14. Goodman & Gilman, dasar farmakologi terapi.
Jakarta.EGC 2012. hal 1648-1680
12. Sambol NC, Brookes LG, Chiang J, et.al. Food 13. Graham G, Punt J, Arora M. Clinical
intake and dosage level, but not tablet vs solution Pharmacokinetics of Metformin. Clin Pharmacokinet
dosage form, affect the absorption of metformin HCl 2011; 50 (2)
in man. Br J Clin Pharmacol 1996; 42: 510-2 14. Metformin drugs interaction.2014. avaible from:
www.drugs.com
BIODATA

Nama : Arief Tri Wibowo


Tempat, Tanggal Lahir : Yogyakarta, 18 Oktober 1991
Alamat : Karangkajen MG III/987, RT 48, RW 13, Kel.
Brontokusuman, Kec. Mergangsan. Yogyakarta,
DIY
Telpon/HP : 085743330008
Email : boejang.arief@gmail.com
Agama : Islam
Nama Orang Tua
Ayah : Munir Aniyanto
Ibu : Endang Siti Mulyani
Jumlah Saudara :4
Anak Ke :3
Riwayat Pendidikan : SD Muhammadiyah Karangkajen II (1998-2004)
SMPN 2 Yogyakarta (2004-2007)
SMAN 1 Jetis Bantul (2007-2010)
Fakultas Kedokteran Unsri (2011 – Sekarang)

Palembang, 14 Januari 2015

Arief Tri Wibowo

Anda mungkin juga menyukai