Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf merupakan sentral dari semua unit kegiatan yang dilakukan oleh mahluk
hidup. Gangguan dalam mekanisme kerja sistem saraf dapat mengakibatkan banyak
manifestasi klinis yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Penyakit saraf tidak saja
sebagai penyebab angka kematian yang utama, tetapi juga sebagai penyebab angka kesakitan,
mulai dari yang paling ringan sampai yang dapat menimbulkan kecacatan.

Salah satu fungsi sistem saraf adalah sebagai pengatur proses pergerakan, sehingga
jika hal ini terganggu dapat mengakibatkan kegagalan dalam mengkoordinasikan proses
pergerakan. Proses pergerakan diatur salah satunya oleh serebelum. Banyak penyakit yang
dapat mengganggu serebelum, salah satunya adalah jika terdapat massa di serebellum. Massa
tersebut dapat berupa tumor yang berkembang akibat mutasi gen ataupun penyebaran dari
tempat lain. Tumor ini juga dapat menyebar ke temapat lain dan menimbulkan manifestasi
klinis sesuai dengan tempat penyebarannya tersebut, salah satunya adalah jika mengenai saraf
kranialis VIII yang dapat menimbulkan manifestasi gangguan pendengaran.

Angka insidensi kasus ini di Indonesia masih tinggi, oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya pencegahan untuk menurunkan insidensinya. Salah satu cara dalam mewujudkan
upaya pencegahan tersebut adalah dengan pembelajaran mengenai tumor otak dan apa saja
yang dapat mengakibatkannya serta beberapa aspek klinis lain yang terkait.
BAB II
PEMBAHASAN

Tumor CPA
a. Definisi
Pertumbuhan sel dalam otak, bisa kanker atau non-kanker, atau berasal dari
pembelahan sel secara abnormal, bisa berasal dari sel otak atau dari organ lain, dan
terletak diantara serebelum dan pons (Cerebello pontine angel).

b. Epidemiologi
Merupakan neoplasma tersering di fossa anterior (5%-10% intrakranial). Kebanyakan
tumor CPA merupakan tumor jinak. Sebagian besar tumor CPA merupakan acoustic
neuroma / vestibular schwanoma (90%). Sisanya meningioma (6%-7%), epidermoid
(2%-3%) dan sisanya adalah jenis tumor lainnya. Tumor CPA sering terjadi pada usia
35-60 tahun. 97,7% mengakibatkan kelumpuhan saraf fasialis.

c. Faktor Risiko
 Genetik dan kongenital
 Usia diatas 35 tahun
 Penggunaan zat-zat karsinogenik
 Infeksi sistem saraf pusat, toksin, radiasi

d. Patogenesis dan Gejala Klinis


Secara umum gambaran klinis tumor CPA adalah:
 Deafness (ipsilateral)
 Loss of facial sensation (ipsilateral)
 Facial weakness (ipsilateral)

Beberapa tumor yang sering dijumpai pada daerah cerebello pontine angel antara lain:
Acoustic neuroma
Merupakan tumor jinak intrakranial primer akibat demielinisasi yang berasal dari
sel scwann pada nervus VIII. Sehingga acoustic neuroma disebut juga sebagai
vestibular schwanoma. Tumor jenis ini memiliki dua tipe, yaitu:
o Tipe I: secara sporadik terjadi demielinisasi nervus VIII, dapat mengenai
saraf kranial yang lain atau spinal rool ganglia. Biasanya terjadi pada orang
dewasa dan unilateral, jarang terjadi bilateral.
o Tipe II: biasanya terjadi bilateral dan pada usia kurang dari 21 tahun.

Oleh karena neuroma akustikus berasal dari sel Schwann yang berada didalam
serabut saraf vestibularis maka pertumbuhannya akan sangat lambat.

Setelah tumor tumbuh cukup besar , maka tumor akan tumbuh terus biasanya
menuju kearah medial (bagian tengah) dan bentuk tumor saat mencapai rongga ini
mengalami perubahan menjadi speris.

Saat tumor masih berada dalam rongga telinga bagian dalam, mungkin akan
menimbulkan gejala awal seperti gangguan pendengaran (merupakan gejala awal
yang paling sering oleh karena penekanan terhadap saraf pendengaran atau
terputusnya pembuluh darah) atau gangguan keseimbangan berupa vertigo oleh
karena penekanan saraf vestibular (keseimbangan). Gangguan pendengaran dapat
terjadi tiba-tiba (80%)atau fluktuasi (15%) namun demikian tidak ada hubungan
yang signifikan antara besarnya tumor dan beratnya tingkat gangguan
pendengaran.

Selain menekan saraf pendengaran, tumor juga menekan saraf wajah (nervus
kranialis VII) dengan gejala kelemahan (parese) wajah satu sisi (25% dari
penderita neuroma akustikus).

Saat tumor mencapai diameter 2 cm dan sudah berada di cerebellopontine angle,


tumor akan menekan permukaan lateral batang otak yang jika tumor tumbuh lebih
besar, akan mendorong batang otak kearah yang berlawanan (kontralateral).

Saat tumor mencapai diameter 4 cm, seringkali tumor berkembang ke arah depan
(anterior) dan menekan saraf trigeminus yang dapat menimbulkan gejala nyeri
wajah satu sisi. Jika tumor berkembang ke bagian bawah (inferior), akan menekan
saraf kranialis IX, X dan XII, dengan berbagai macam gejala, seperti kesulitan
menelan.
Jika tumor tumbuh terus hingga mencapai diameter lebih dari 4 cm, maka tumor
akan menekan otak kecil (serebellum) dan secara tidak langsung akan
menyebabkan terjadinya hidrosefalus obstruktif. Terjadinya hidrosefalus akan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan dalam otak (intrakranial) dengan
gejala: nyeri kepala (50% penderita dengan diameter tumor lebih dari 3 cm), mata
kabur (35% dari penderita) disertai mual dan muntah yang tidak khas (15% dari
penderita.)

Meningioma
Merupakan tumor CPA tersering setelah acoustic neuroma. Sel-selnya berasal dari
“cap cells” dari vili arakhnoid di meninges. Tumor ini biasanya jinak, tetapi dapat
menajdi ganas, berkapsul dan tidak menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menekan
struktur yang ada dibawahnya.

Kasus yang dijumpai kebanyakan memiliki riwayat keluarga dan orang yang
melakukan radiasi kepala. Terjadi akibat adanya mutasi neurofibtomatosis 2 gene
(merlin) pada kromososm 22q. Kemungkinan juga akibat mutasi lokus MN1,
PTEN, dan gen pada kromoson 1p13.

Jika ukuran tumor kurang adari 2 cm maka tidak akan tampak adanya simptom,
sedangkan jika lebih dari 2 cm akan memberikan gejala sesuai dengan ukuran dan
lokasinya. Jika menekan serebrum akan mengakibatkan kejang fokal, jika menekan
daerah parasagital frontoparietal menyebabkan spasme progresif pada tungkai
(gejala khas: hemiparese) dan inkontinensia urin, jika tumor cukup besar maka
akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan dapat mengakibatkan afasia.
Tumor ini dapat menyebar ke permukaan lobus temporalis dan parietalis, sphenoid
ridge, sylvian region, falx cerebri, dan spinal cord.

Klasifikasi berdasarkan WHO:


o Grade I (benign): populasi 90%. Meningothelial, fibrous, transitional,
psammomatous, angioblastic.
o Gade II (atipical): populasi 7%. Choroid, clear cell, atypical.
o Grade III (anaplastic): populasi 2%. Papilary, rhabdoid, anaplastic.
Astrositoma
Merupakan tumor otak yang berasal dari sel berbentuk seperti bintang yang disebut
astrosit di otak. Tumor ini biasanya tidak menyebar ke daerah diluar otak dan
medula spinalis, dan biasanya tidak menyebar ke organ lain. Dapat dijumpai pada
semua usia, tetapi paling sering terjadi pada anak-anak.
Klasifikasi berdasarkan WHO:
o Grade I: terdiri dari pilocytic astrocytoma, pleomorphic,
xhantoastrocytoma, subependymal giant cell astrocytoma, and
subependymomas.
o Grade II: terdiri dari oligodendroma, astrocytoma, mixed oligoastrocytoma.
Terdapat infiltrative glioma, sel tumor berpenetrasi mengelili jaringan otak
yang masih sehat.
o Grade III: terditi dari anaplastic astrocytoma, pleomorphism, high mitoses.
o Grade IV: terdiri dari glioblastoma multiform yang menyebar ke bagian
lain di otak, highly malignant tumor, endothelial ploriferation, area
nekrosis dikelilingi oleh peripheral palisading of tumor cells.

Epidermoid
Merupakan tumor jinak kongenital yang berasal dari sel ektoderm yang mencapai
neural groove pada usia kehamilan 3-5 minggu. Walaupun merupakan tumor
kongenital, pasien biasanya asimptomatik samapai usai 20-40 tahun (akibat
pertumbuhannya yang lambat). Gambaran histopatologi epidermoid adalah
stratified squamous epithelium dengan kapsul putih fibrosa, yang kemudian
berkembang menjadi deskuamasi sel epitel, dengan pembentukan keratin dan
kristal kolesterol pada bagian tengah lesi.

e. Pemeriksaan Diagnostik
o Anamnesis: ditanyakan identitas pasien (usia menentukan), onset, riwayat
gejala klinis dan telaah, riwayat penyakit terdahulu, riwayat imunisasi, riwayat
perkembangan, riwayat keluarga, riwayat pengobatan ).
o Pemeriksaan Fisik
- Vital sign: frekuensi napas, denyut jantung, suhu tubuh, tekanan darah,
sensorium.
- Penilaian sluruh tubuh: dilakukan mulai kepala (apakah ada kelianan
bentuk, fungsi dll), wajah (apakah ada paralisis nervus kranialis), mata
(ptosis, myosis, dll), telinga (kemungkinan infeksi), mulut dan tenggorokan,
leher (kaku kuduk, pembesaran tiroid), toraks (nilai pernapasannya),
jantung (nilai fungsi jantungnya), abdomen (muscular rigidity, pembesaran
hepar dan lien), ekstremitas (ada atau tidaknya parese atau paralisis).
KEJANG DEMAM

Konsep Dasar

Pengertian

Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul akibat

kenaikan suhu tubuh. “Kejang demam ialah bangkitan kejang yg terjadi pada

kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium (Hasan, 1995).

Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam, salah satu

diantaranya adalah : “Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak,

biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam

tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak

yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak

termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai

dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).

Etiologi

Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan Pasti, demam

sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,

gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu tinbul pada suhu yang

tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang

(Mansjoer, 2000).

Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen

dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau

demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel

apabila stimulus pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).


Patofisiologi

Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh
ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun
sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat

perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat dirubah dengan

adanya :

Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler

Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik

dari sekitarnya

Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari

membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion

natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas

muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke

membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi

rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang

dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada

suhu 40 C atau lebih. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini

Kejang demam

Inflamasi
Infeksi

Peningkatan suhu tubuh

Metabolisme basal meningkat


Kebutuhan O2 meningkat

Glukosa ke otak menurun

Perubahan konsentrasi dan jenis ion


di dalam dan di luar sel

Difusi ion Na+ dan K+

Kejang

Durasi pendek Durasi lama

Sembuh Apnea

O2 menurun

Kebutuhan O2 meningkat

 Hiperkapnia
Hipoxemia
 Hipotensi arterial

Aktivitas otot meningkat

Hipoxia

Permeabilitas meningkat

Edema otak

Kerusakan sel neuron otak

Epilepsi
Tanda dan Gejala

Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data antara lain

klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah, badan klien panas dan

berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).

Komplikasi

Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi

hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula

kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.

Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di

otak sehingga terjadi epilepsy.

Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang

demam :

a. Pneumonia aspirasi

b. Asfiksia

c. Retardasi mental

Penatalaksanaan / Pengobatan

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

Memberantas kejang secepat mungkin

Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan utama

adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam tidak tersedia dapat

diberikan fenobarbital secara intramuskulus.

Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk

mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar oksigen terjamin,

penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan ditambah dengan pemberian

oksigen. Tanda – tanda vital diobservasi secara ketat, cairan intravena diberikan

dengan monitoring.

Pengobatan di rumah

Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah. Pengobatan

ini dibagi atas 2 golongan yaitu :

Profilaksis intermitten

Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan obat

campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus diberikan pada anak bila

menderita demam lagi

Profilaksis jangka panjang

Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan

cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di

kemudian hari.

Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang

diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan

otitis media akut.


TRAUMA KEPALA
Pengertian
Trauma kepala marupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan
kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemik sebagai akibat
dari kecelakaan kendaraan (Brunner & Suddart, KMB. EGC.2000).
Trauma kepala merupakan cedera yang mengenai kepala baik langsung
maupun tidak langsung (Diktat, KMB).
Cidera Kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh kekeuatan
eksternal yang menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan
kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan emosi.
Etiologi
a) Menurut penyebabnya terbagi :
 Trauma tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar.
Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-
deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal
dapat menyababkan perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena pada
saat otak “bergeser” akan terjadi pergesekan antara permukaan otak dengan
tonjolan-tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak laserasi
jaringan sehingga merubah integritas vaskuler otak.
 Trauma Tajam
Disebabkan oleh pisau atau peluru atau fragmen tulang pada fraktur
tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda
tajam tersebut menancap ke kepala atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada
area di mana benda tersebut merobek otak (lokal). Obyek dengan velocity
tinggi (peluru) menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas serta adanya
luka terbuka menyebabkan risiko infeksi.

 Coup dan contracoup


Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan, sedangkan
pada cedera contacoup ialah kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan
cedera coup.
b) Menurut berat-ringannya (Hudak, dkk. 1996)
 Cedera kepala ringan
- Nilai GCS 13-15
- Amnesia kurang dari 30 menit
- Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
- Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari
 Cedera kepala sedang
- Nilai GCS 9-12
- Penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam
- Terdapat trauma sekunder
- Gangguan neurologis sedang
 Cedera kepala berat
- Nilai GCS 3-8
- Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari
- Terdapat cedera sekunder : kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan
dan atau hematoma intracranial.
Patofisiologi
Trauma Kranioserebral menyebabkan cidera pada kulit kepala, tengkorak dan
jaringan otak. Ini bias sendri atau bersama-sama. Beberapa keadaan yang dapat
mempengaruhi luasnya cidera pada kepala yaitu :
a) Lokasi dari tempat benturan langsung
b) Kecepatan dan energy yang dipindahkan
c) Pergerakan kepala yang menyebabkan rotasi dan distorsi dari jaringan
otak. Kekuatan ini dapat menyebabkan kompresi,ketegangan dan
kerusakan pada jaringan otak.

Mekanisme Cidera
Pada suatu objek bergerak membentur kepala dengan cukup kuat, dapat
mengakibatkan fraktur tengkorak. Fraktur tersebut dapat/tidak dapat menekan
jaringan otak. Kontusio adalah cidera kepala ringan atau sedang sampai dengan berat,
dimana terjadi edema dan perdarahan. Coup adalah perdarahan dan edema langsung
dibawah tempat trauma sebagai akibat dari percepatan. Contracoup adalah adanya dua
letak luka yang berlawanan dari letak trauma,disebabkan oleh percepatan-perlambatan
atau trauma perputaran.
Respon terhadap Cidera
Respon terhadap cidera meliputi :
a) Kerusakan Jaringan. Kontusio akibat benturan dapat mencpiderai
sel-sel saraf dan serabut-serabut yang dapat menyebabkan
perdarahan kecil yang mana akan merusak jaringan yang
berdekatan.
b) Edema Serebral. Edema terjadi akibat beberapa daerah dari otak
tidak adekuat perfusi jaringannya, sehingga timbul hiperkapnia
yang mengakibatkan asidosis local dan vasodilatasi pembuluh
darah. Tidak adekuatnya suplai oksigen dan glukosa lebih lanjut
dapat mengakibatkan herniasi otak dan kematian.
c) Perdarahan dan hematoma. Kerusakan pada jaringan dapat
menyebabkan perdarahan dan hematoma. Keduanya dapat
meningkatkan tekanan intracranial. Respon lain adalah iskemik.
Infark dan nekrosis jaringan otak,serta kerusakan terhadap saraf
cranial dan struktur lainnya.

Tipe Cidera kepala


Tipe dari cidera kepala dapat meliputi :
a) Fraktur Tengkorak

Fraktur kepaladapat melukai jaringan pembuluh darah dan saraf-saraf dari


otak, merobek duramater yang mengakibatkan perembesan cairan serebrospinal,
dimana dapat membuka suatu jalan untuk terjadinya infeksi intrkranial. Adapun
macam-macam dari fraktur tengkorak adalah :
 Linear Fraktur adalah retak biasa pada hubungan tulang dan tidak
merubah hubungan kedua fragmen.
 Comminuted Fraktur adalah patah tulang dengan multiple fragmen
dengan fraktur yang multilinear.
 Depressed Fraktur adalah fragmen tulang yang melekuk ke dalam.
 Coumpound fraktur adalah fraktur tengkorak yang meliputi laserasi
dari kulit kepala,membrane mukosa,sinus paranasal,mata dan telinga
atau membrane timpani.
 Fraktur dasar tengkorak adalah fraktur yang terjadi pada dasar
tengkorak,khususnya pada fossa anterior dan tengah. Fraktur dapat
dalam bentuk salah satu : linear, comminuted atau depressed. Sering
menyebabkab rhinorrhea atau otorrhea.

b) Cidera Serebral
Cidera Serebral dapat meliputi :
 Komosio serebri adalah suatu keadaan kerusakan sementarfungsi
neurologi yang disebabkan olehh benturan pada kepala. Biasanya
tidak merusak struktur tetapi menyebabkan ilangnya ingatan sebelum
dan sesudah cidera, lesu, mual, dan muntah. Biasanya dapat kembali
pada fungsi yang normal. Setelah komosio akan timbul sindroma
betupa sakit kepala, pusing, ketidakmampuan untuk konsentrasi
beberapa minggu setelah kejadian.
 Kontusio serebri. Benturan dapat menyebabkan perubahan dari
struktur dari permukaan otak yang mengakibatkan perdarahan dan
kematian jaringan dengan /tanpa edema. Kontusio dapat berupa coup
atau contracoup injury. Deficit neurologis serius dapat terjadi.
 Hematoma Epidural adalah perdarahan yang menuju ke ruang antara
tengkorak dan duramater. Kondisi ini terjadi karena laserasi dari arteri
meningen media. Gambaran klinik yang terlihhat berupa : hilang
kesadaran diikuti dengan periode flaccid,tingkat kesadaran dengan
cepat menurun menuju confusion sampai dengan koma. Jika tidak
ditangani akan menyebabkan kematian.
 Hematoma Subdural adalah perdarahan arteri atau vena duramater
dan arachnoid. Hematoma subdural akut dapat timbul dalam waktu 48
jam,dengan gejal-gejala berupa sakit kepala mengantuk, agitasi,
dilatasi, dan fiksasi pupil ipsilateral.
 Hematoma Intracerebral perdarahan yang menuju ke jaringan
serebral. Biasanya terjadi akibat cidera langsung dan sering didapat
pada lobus frontal atau temporal. Gejalanya meliputi : sakit kepala,
menurunnya kesadaran, hemiplegia kontralateral dan dilatasi pupil
ipsilateral.
 Hematoma Subaracnoid adalah hematoma yang terjadi akibat trauma,
meskipun pembentukan hematoma jarang. Tanda dan gejalanya
meliputi : kaku kuduk, sakit kepala, menurunnya tingkat kesadaran,
hemiparesis. Dan ipsilateral dilatasi pupil.

Penatalaksanaan Medis
Penatlaksanaan klien dengan cidera kepala meliputi :
a) Non Pembedahan
 Glukokotikoid (dexamethazone) untuk mengurangi edema.
 Diuretic Osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter
untuk mengeluarkan Kristal – Kristal mikroskopis.
 Diuretik loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi
peningkatan tekanan intracranial.
 Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan
ventilasi mekanik untuk mengontrol kegelisahan atau agitasi
yang dapat meningkatkan resiko peningkatan tekanan
intracranial.

b) Pembedahan
Kraniotomi di indikasikan untuk :
 Mengatasi subdural atau epidural hematoma
 Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak terkontrol.
 Mengobati Hidrosefalus.

Asuhan Keperawatan
Pengkajian
 Riwayat keperawatan : riwayat medis dan pembedahan yang lalu,penyebab dari
cidera,pemakaian obat-obatan, alcohol, penggunaan alat-alat pengaman,misalnya
helm, sabuk pengaman.
 Pemeriksaan fisik : tingkat kesadaran,pupil, fungsi neurologi, merembesnya cairan
serebrospinal, perdarahan pada hidung,telinga,fraktur kepala, status pernapasan, sakit
kepala, muntah, amnesia,afasia, disfasia.
 Perkembangan dan psikososial : usia, kepribadian, gaya hidup, peranan dalam
keluarga, reaksi emosional keluarga terhadap cidera.
 Pengetahuan klien dan keluarga : tingkat pengetahuan, pemahaman mengenai kondisi,
pengobatan, prognosa, tujuan yang diharapkan.
 Pemeriksaan diagnostic : foto x-ray tengkorak kepala, Echoencefalogram, brain scan
dan CAT scan.

Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intracranial.
2. Pola bernapas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial,
perubahan dalam tingkat kesadaran.
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan
intracranial, perubahan tingkat kesadaran.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tekanan intracranial,
perubahan tingkat kesadaran.
5. Risiko cedera berhubungan dengan kejang, perubahan tingkat kesadaran.
6. Risiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas cranium.
7. Berlebihan volume cairan berhubungan dengan terapi steroid, SI-ADH.
8. Kurang volume cairan berhubungan dengan terapi diuretik, pembatasan cairan,
diabetes inspisidus, menurunnya pemasukan cairan.
9. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deficit fungsi motorik/sensorik,
menurunya kesadaran.
10. Koping individu yang tidak efektif berhubungan dengan kehilangan dan bersedih.
11. Takut berhubungan dengan keadaan mendatang yang tidak menentu.
12. Kurang pengetahuan mengenai terapi,prognosa dan tujuan yang diharapkan.

Perencanaan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intracranial.

Tujuan
Klien akan memperlihatkan perfusi jaringan serebral secara adekuat.
Kriteria Evaluasi
Klien :
 Tekanan intracranial 0 – 15 mmHg
 Tekanan perfusi serebral lebih besar dari 50 mmHg
 Mempertahankan status neurologi.

Intervensi :
 Kaji tingkat kesadaran klien, tingkah laku, fungsi sensorik dan motorik (simetris,
pergerakan spontan/dengan perintah/dengan rangsangan nyeri), tanda-tanda pupil
(simetris, ukuran, reaksi terhadap cahaya) setiap 1- 2 jam sekali.
 Monitor-monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit sampai dengna 1 jam sekali
atau sesuai kebutuhan.
 Monitor gas darah arteri untuk ketidaknormalan asam basa dan menurunnya
saturasi oksigen, dimana hiperkapnia akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah serebral, yang akan meningkatkan edema serebral.
 Hiperventilasi sebelum suction : batasi suction selama 10-15 detik untuk kadar
karbon dioksida,meningkatkan oksigenasi.
 Jika menggunakan alat untuk memonitor tekanan intracranial, maka monitor
tekanan intracranial setiap 15 menit sampai 1 jam sekali sesuai kebutuhan.
 Pertahankan aliran darah balik dari otak dengna meninggikan bagian atas tempat
tidur dan mempertahankan sikap kepala dan leher.
 Monitor pemasukan dan pengeluaran, elektrolit, berat jenis urin sebagaimana
instruksi untuk menetapkan kemungkinan adanya ketidakseimbangan cairan yang
mana dapat menyebabkan edema serebral.
 Batasi pemberian cairan (biasanya 1400 cc/24 jam) untuk mencegah edema.
 Instruksikan klien untuk menghindari aktivitas yangn dapat meningkatkan tekanan
intratoraks atau intraabdomen, misalnya latihan isometrik, fleksi panggul, batuk,
meniup ,melalui hidung.
 Kaji tingkat kenyamanan klien (misalnya sakit kepala, tanda- tanda peningkatan
tekanan intracranial.
 Berikan obat-obatan sebagaimana instruksi (pelunak feses,antiemetic, analgesic),
evaluasi hasil.
 Berikan steroid sebagaimana instruksi untuk mencegah edema serebral.
 Organisir tindakan keperawatan untuk memberikan waktu istrahat klien secara
optimal.
 Lakukan teknik aseptic dan antiaseptik secara optimal untuk tindakan penggantian
selang dan balutan.
 Laporkan ke dokter segera jika terjadi tanda-tanda perubahan vital atau status
neurologi.
2. Pola bernapas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial,
perubahan dalam tingkat kesadaran.
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan
intracranial, perubahan tingkat kesadaran.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tekanan intracranial,
perubahan tingkat kesadaran.

Tujuan :
Klien akan memperlihatkan pertukaran gas yang efektif.
Kriteria Evaluasi
Klien :
 Gas darah dalam batas normal
 Mempertahankan kecepatan pernapasan secra teratur 12-24 x/menit
 Mempertahankan suara pernapasan bersih pada auskultasi.

Intervensi :
 Kaji tingkat kesadaran, kemampuan untuk mempertahankan jalan napas.
 Pertahankan patensi jalan napas dengan memberikan posisi yang benar, penghisapan
sekresi, penggunaan gudel.
 Auskultasi suara pernapasan setiap 2-4 jam
 Kaji status sirkulasi (denyut nadi, tekanan darah, warna kulit setiap jam untuk
menetapkan adanya hipoksia.
 Monitor nilai gas darah arteri untuk mengetahui adanya ketidaknormalan asam-basa
dan menurunnya saturasi oksigen.
 Berikan oksigen sebagaimana instruksi.
 Anjurkan napas dalam dan batasi batuk setiap 1-2 jam.
 Kaji warna,jumlah,konsistensi sekresi paru untuk menetapkan kebutuhan kultur
sputum dan pengobatan.
TRAUMA MEDULA SPINALIS

Pengertian

Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang


disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)

Cidera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai :

- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)

- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)

Cidera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang


disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai
daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong.
Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum
alat pernafasan mekanik dapat digunakan.

Mekanisme Cedera
a) Kecelakaan otomobil,terjatuh,olahraga,kecelakaan industry,tertembak peluru,luka
tusuk dapat meneybabkan cedera medulla spinalis. Sebagian besar pada medulla
spinalis servikal bawah (C4 – C7, T1), dan sambunga torakolumbal (T11 – T12, L1).
Medula spinalis torakal jarang terkena.
b) Faktor- factor yang membedakan cedera medulla spinalis dari cedera kranioserebral
adalah :
 Konsentrasi yang tinggi dari traktus dan pusat saraf yang penting dalam
suatu struktur yang diameternya relative kecil.
 Posisi medulla spinalis dalam columna vertebralis
 Adanya osteofit
 Variasi suplai pembuluh darah
c) Efek pada jaringan saraf paling penting pada cedera medulla spinalis. Ada 4
mekanisme yang mendasari :
 Kompresi tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Kerusakan paling
berat disebabkan oleh kompresi tulang,kompresi dari fragmen korpus
vertebra yang tergeser ke belakang dan cedera hiperekstensi.
 Tarika/renggangan jaringan : rengangan yang berlebihan yangn
menyebabkan gangguan jaringan biasanya setelah hiperfleksi. Toleransi
rengangan pada medul spinalis menurun sesuai usia yang meningkat.
 Edema medulla spinalis yang timbul segera menimbulkan gangguan
sirkulasi kapiler lebih lanjut serta aliran balik vena, yang menyertai cedera
primer.
 Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau struktur
lain pada system arteri spinalis posterior atau anterior.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba
dirumah sakit pemeriksaan tulamg belakang : deformitas, pembengkakan, nyeri tekan,
gangguan gerakan (terutama leher). Jangan banyak menipulasi tulang belakang.
Pemeriksaan Radiologis : foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal
diperlukan proyeksi khusus mulutu trbuka (odontoid). Bila hasil meragukan,lakukan
CT scan. Bila terdapat deficit neurologis,harus dilakukan MRI atau CT mielografi.
Penatalaksanaan
Lakukan tindakan segera pada cedera medula spinalis. Tujuannya adalah
mencegah kerusakan lebih lanjut pada medulla spinalis. Sebagian cedera medula
spinalis oleh penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau hipoksia pada
jaringan saraf yang sudah terganggu.
 Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan.
 Beri bantal,guling, atau bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah
pergeseran
 Tutupi dengan selimut untuk menghindari kehilangan hawa panas
badan
 Pindahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas penanganan
kasus cedera nedula spinalis.
Perawatan khusus
 Komosio medulla spinalis : fraktur atau dislokasi tidak stabil harus
disingkirkan. Jika pemulihan sempurna pengobatan tidak diperlukan.
 Kontusio/transeksi/kompresi medulla spinalis
- Metil Prednisolon 30mg /kg bb bolus intravena selama 15 menit
dilanjutkandengan 5,4 mg/kg bb/jam ,45menit .setelah
bolus,selama 23jam .hasil optimal bila pemberian dilakukan 8jam
onset.
- Tambahkan profilaksis sters ulkus ;antacid/antagonis h2

Tindakan operasi diindikasi pada;


-Reduksi terbuka pada dislokasi
-fraktur servikal dengan lesi persial medual spinalis
-cedera terbuka dengan benda asing /tulang dalam kanalis spinalis
 Lesi parsial medual spinalis dengan hemato mielia yang progresif

Anda mungkin juga menyukai