Anda di halaman 1dari 3

Demokrasi dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi.

Dalam persidangan BPUPK, pentingnya kedaulatan rakyat dalam semangat kekeluargaan


(permusyarawatan) dalam alam Indonesia merdeka mulai dikemukakan sejak sidang pertama pada
29 Mei 1945. Hal ini antara lain diungkapkan oleh Muhammad Yamin ketika meletakkan “dasar
kedaulatan rakyat” sebagai “tujuan kemerdekaan” dan “permusyawaratan” sebagai salah satu
“dasar negara”. Juga oleh Woerjaningrat yang menyatakan bahwa “kemerdekaan Indonesia harus
bersendi kekeluargaan”. Dan oleh Soesanto Tirtoprodjo yang menyebut “rasa kekeluargaan”.
Sebagai fundamen bernegara.

Pada 30 Mei, hal senada diungkapkan antara lain oleh A Rachim Pratalykrama, yang
menghendaki agar kepala negara dan badan perwakilan rakyat (majelis luhur dan majelis rendah)
dipilih oleh rakyat, serta kemerdekaan seluas-luasnya bagi penduduk untuk memeluk agama. Pada
31 Mei, pentingnya asas “permusyawaratan” ditekankan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan
semangat “ kekeluargaan” oleh Soepomo.

Soepomo menekankan semangat “kekeluargaan” itu dalam kaitannya dengan apa yang
disebutnya sebagai “dasar pengertian negara” (Staatsidee) yang dianut oleh Indonesia. Secara
singkat dia menguraikan tiga aliran pikiran (teori) tentang negara:

1. Ada suatu aliran pikiran yang menyatakan, bahwa negara itu terdiri atas dasar teori
perseorangan, teori individualistis, sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes dan
John Locke (abad ke 17) Jean Jacques Rousseau (abad ke 18), Herbert Spencer (abad
ke 19), HJ. Laski (abad ke 20).
2. Aliran pikiran lain tentang negara ialah teori ‘golongan’ dari negara (class theory)
sebagai diajarkan oleh Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat dari
sesuatu golongan (sesuatu klasse) untuk menindas klasse lain. Negara ialah alatnya
golongan yang mempunyai kedudukan.
3. Aliran pikiran lain lagi dari pengertian negara ialah, teori yang dapat dinamakan
teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain
(abad ke-18 dan 19).

Tibalah giliran Soekarno menyampaikan pidatonya pada Rapat Besar 1 juni 1945. Dalam
uraiannya mengenai dasar falsafah negara Indonesia merdeka (philosofische ggronslag), dia
memasukkan prinsip ”mufakat atau demokrasi” sebagai dasar ketiga. Dalam bayangan Soekarno,
demokrasi permusyawaratan itu berfungsi ganda. Di satu sisi, badan permusyawaratan/perwakilan
ini bisa menjadi ajang untuk mengkonfrontasikan dan memperjuangkan aspirasi golongan-golongan
yang ada dalam masyarakat “Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan didalam
permusyawaratan. Badan perwakilan , inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan
Islam”. Demikian juga halnya , “Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap Letter di dalam
peraturan-peraturan Negara Indonesia harus menurut Injil, berkerjalah mati-matian, agar supaya
sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk dalam Badan Perwakilan Indonesia ialah orang
Kristen.
Di sisi lain, dengan semangat permusyawaratan itu, dia justru hendak menguatkan negara
persatuan, bukan negara untuk satu golongan atau perorangan. Selama masa reses persidangan
BPUPK (2 Juni-9 Juli), Panitia Kecil berhasil mengumpulkan usul-usul dari 40 anggota Chuo Sangi In
(Iin), Usulan-usulan itu antara lain meliputi: kemerdekaan Indonesia selekas-lekasnya, Dasar Negara,
Bentuk Negara, Daerah Negara, Badan Perwakilan Rakyat, Badan Penasihat, Bentuk Pemerintahan,
dan Kepala Negara, Soal Agama dan Negara, Soal Pembelaan, dan Soal Keuangan.

Berbagai bahan dasar dari Pidato Soekarno dan usulan-usulan anggota BPUPK itu kemudian
pada 22 Juni 1945 dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang menyusun rancangan Pembukaan
Undang-Undang Dasar. Hasilnya, prinsip demokrasi yang dalam Pidato Soekarno menempati urutan
ke-3 mengalami pergeseran menjadi prinsip (sila) keempat dari dasar negara (Pancasila).

Selain itu, dalam rumusan sila ke-4 diletakkan pula bahwa pelaksanaan demokrasi
permusyawaratan itu hendaknya dipimpin oleh “Hikmat Kebijaksanaan”. Keluasan makna dari
prasyarat “Hikmah Kebijaksanaan” ini memperoleh kejelasanya menyusul pertukaran pikiran antara
Mohammad Natsir dan Roeslan Abdoelgandari PNI dalam sidang konstituante pada 1956.

Dalam pandangan Natsir, Kelemahan Pancasilajustru terletak pada kehendaknya untuk


sekedar menjadi “titik pertemuan” dari berbagai paham ideologi. Dengan demikian, menurutnya
“Memang raisan d’ertre-nya Pancasila, alasan untuk adanya Pancasila itu sendiri, adalah mau netral.
Pancasila mau berdiri netral, diatas semua ideologi yang ada”.Karena terdensi netralitasnya,
"Pancasila akan tetap tidak mau menanggalkan netralitasnya, tidak mau menerima salah satu
substansi yang positif. Lantaran itu ia tetap mau berdiri sendiri sebagai “pure concept”.

Persoalan Uni atau Federasi/Konfederasi tidak mengundang banyak perdebatan, seperti


dikatakan oleh Agoes Salim, karena tidak ada yang menginginkan “provincialisme” atau “
“separatisme”. Maka soal Uni dan federasi bukanlah suatu isu. Urusanya lebih terletak pada
pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Perdebatan tentang Republik atau Monarki berlangsung lebih alot. Semuanya sepakat
tentang pentingnya kedaulatan rakyat. Meski demikian , Muhammad Yamin Menyatakan
keberatannya dengan bentuk monarki, Alasannya pertama: “Monarchie tentulah tidak memberikan
kepastian kuat untuk memerintah negara kita dan turunan yang pasti juga, tidak memberi jaminan
untuk melahirkan kepala negara yang kuat dan sempurna”. Kedua monarki besifat dinasti, dan
bukan perkara mudah untuk memilih dinasti dari sekian banyak dinasti yang ada di tanah air kita,
dan menurutnya, hal itu juga “bertentangan dengan kemauan rakyat umumnya yang tidak mau
diperintah lagi oleh raja secara berturunan”.

Pada rumusan akhir Rancangan Undang-Undang Dasar 1945 perpaduan antara Negara
Kesatuan dan Republik ini termaktub pada pasal 1, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang
berbentuk Republik.” Setelah itu, perdebatan memasuki pesoalan Wilayah Negara dan Warga
Negara, seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu (sila Persatuan Indonesia). Ada satu poin
penting ketika terjadi adu argumentasi menyangkut batas wilayah negara. Pada Rapat Besar 11 Juli
1945, Agoes Salim Mengingatkan keutamaan musyawarah dibanding demokrasi yang berkembang di
Barat. Selanjutnya dia berkata bahwa “kebulatan mufakat” tidak mengandalkan suara mayoritas
belaka, seperti halnya dalam demokrasi di Barat, melainkan secara inklusif menyertakan aspirasi dan
dukungan minoritas dalam pengambilan keputusan.
Demokrasi dengan semangat musyawarah-mufakat inilah yang akan mewarnai rancang-
bangun ketatanegaraan Indonesia dalam pembahasan yang terkait dengan Rancangan Undang –
Undang Dasar. Semangat demokrasi musyawarah-mufakat ini selaras dengan arus utama pemikiran
politik Indonesia saat itu yang mengidealisasikan konsepsi negara kekeluargaan. Konsepsi negara
kekeluargaan ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea terakhir yang mengandung
kehendak untuk “membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal melainkan merupakan


perpaduan dari banyak unsur paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya)
jawa konsepsi kekeluargaan Hakkoo Itjiu Jepang. Dibawah konsep kekeluargaan ini , semula timbul
salah menyangkut pengakuan konstitusional atas hak-hak dasar (hak asasi manusia). Namun
demikian, seperti yang telah diterangkan pada penjelasan sila kemanusiaan yang Adil dan beradab,
melaui argumentasi Agoes Salim, Soekiman, dan terutama Mohammad Hatta, persoalan hak asasi
manusia dalam semangat kekeluargaan mendapatkan tempatnya dalam konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai