Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
General anestesia (GA) adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan
depresi nervus saraf pusat yang reversibel dengan menggunakan obat-obatan secara intravena,
inhalasi (volatile), atau kombinasi keduanya.
Trias anestesi meliputi sedasi, analgesi dan relaksasi. Pemberian obat anestesi umum dapat
secara parenteral dan inhalasi.
Stadium anestesi terdiri dari :
a. Stadium I : stadium analgesia atau stadium disorientasi
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium analgesia, tapi
sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa
dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
b. Stadium II : stadium eksitasi atau stadium delirium
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil melebar
dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
c. Stadium III : stadium pembedahan
Mulai dari akhir stadium II, dimana pernafasan mulai teratur. Dibagi dalam 4 plana, yaitu :
1. Plana 1
Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dengan pernafasan abdominal,
pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan
refleks cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
2. Plana 2
Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekwensi pernafasan naik.
Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis
dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang.
3. Plana 3
Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena paralisis otot
interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot
interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks
cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks farings & peritoneal
menghilang, tonus otot-otot makin menurun.
4. Plana 4
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot diafragma yg makin
nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun dan akhirnya
flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.
d. Stadium IV : stadium paralisis
Mulai dari kegagalan pernapasan yang kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi
Pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama pembedahaan akan
berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain itu, pada pasien yang memiliki
kecemasaan yang cukup besar dapat juga dipilih anestesi umum, agar pasien tersebut tetap
tenang dan tidak berontak saat dilakukan pembedahan.
Persiapan pasien
A. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga
pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
1. Identifikasi pasien, misal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik
(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-
obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti
digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
4. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, perawatan intensif pasca bedah.
5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang
mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya
pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik
analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca
bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu
pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
D. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak
kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
E. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori
sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam.
ASA VI: mati batang otak, potensi untuk donor organ.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda
darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.
F. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan saja
menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi
juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan
menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve, APL,
adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak tinggi,
katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O .
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system), sirkuit
Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke
pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk observasi
kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang baik.
Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag
saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup.
Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan
suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup
dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula
untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk ventilasi
pasien.
Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan
memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan
stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi
oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Sedangkan untuk bayi dan anak kecil cara memilih ukuran pipa trakea adalah dengan rumus :
- Diameter dalam pipa trakea (mm) : 4.0 + ¼ umur (th)
- Panjang pipa orotrakeal tube (cm) : 12 + ½ umur (th)
- Panjang pipa nasotrakeal (cm) : 12 + ½ umur (th)
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau rectal.
a) Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur
vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara
30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Anestetik
intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anesthesia, tambahan apada
analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostic. Obat yang biasa digunakan adalah
: Tiopental dosis induksi 3-7 mg/kg disuntikan perlahan dihabiskan 30-60 detik, Propofol dosis
bolus induksi 2-3 mg/kg, Ketamin untuk induksi intravena 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-
10 mg/kg, Opioid (fentanil) dosis induksi 20-50 mg/kg.
b) Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c) Induksi inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang dilakukan,
karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Rumatan anesthesia
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan cara intravena (anesthesia
intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anesthesia biasanya mengacu kepada trias anesthesia yaitu hipnotik-sedatif, analgesia dan
relaksasi.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50
µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapat menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan
0,5-2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol % atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan umum
pasien cukup baik, lambung harus kosong.
- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan
sungkup muka.
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan
kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi dan
anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti
apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya
karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Selain itu juga bisa
diberikan obat-obatan simptomatik biasanya analgesia ketorolac dan antimuntah ondansetron
REGIONAL ANESTESI
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi disekitar syaraf
sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi regional dibagi menjadi epidural, spinal dan
kombinasi spinal epidural, spinal anestesi adalah suntikan obat anestesi kedalam ruang
subarahnoid dan ekstradural epidural di lakukan suntikan kedalam ekstradural. ( Brunner &
suddarth, 2002 ).
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional
yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid
untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat
memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris
maka perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB dan
komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi
rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade sensoris yang luas, obat harus berdifusi
ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah
penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah
dengan mengganti komposisinya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal anestesi mempunyai
berat jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal, yaitu dengan menambahkan
larutan glukosa, namun apabila ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik
(Gwinnutt, 2011).
1. Anatomi
Tulang punggung (columna vertebralis) Terdiri dari :
7 vertebra servikal
12 vertebra thorakal
5 vertebra lumbal
5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )
4 vertebra kogsigeal ( menyatu pada dewasa )
Medula spinalis diperadarahi oleh spinalis anterior dan spinalis posteror.
Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior di daerah leher
dan lumbal. Unsur ligamen memberikan dukungan struktural dan bersama-sama dengan otot
pendukung membantu menjaga bentuk yang unik. Secara ventral, corpus vertebra dan disk
intervertebralis terhubung dan didukung oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior.
Dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum supraspinata memberikan
tambahan stabilitas. Dengan menggunakan teknik median, jarum melewati ketiga dorsal ligamen
dan melalui ruang oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra yang berdekatan
(Morgan et.al 2006) .
Untuk mencapai cairan cerebro spinal, maka jarum suntik akan menembus : kulit,
subkutis, ligament supraspinosum, ligament interspinosum, ligament flavum, ruang epidural,
durameter, ruang subarahnoid. (Morgan et.al 2006)
Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local kedalam ruang
epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal dari medula spinalis dan
melintasi ruang epidural. Anestetik local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal
sehingga menimbulkan efek anestesinya. Efek anesthesia yang dihasilkan lebih lambat dari
anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental.
Anesthesia epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik minimal
sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol dengan pemilihan
obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara kontinu dengan narkotik
atau local anestesi melalui kateter epidural semakin popular saat ini.
Anatomi
Daerah epidural tersusun atas bagian dasar oleh membran sacrococcygeal, bagian
posterior dibatasi oleh ligamentum flavum dan daerah anterior dari lamina dan processus
articularis, bagian anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal posterior yang membungkus
tulang vertebra dan discus intervertebralis. Bagian lateral dibatasi oleh foramen intervertebralis
dan pedikel
Ruang epidural berisi lemak dan jaringan limphatik maupun vena epidural. Vena tidak
memiliki katub dan berhubungan langsung dengan vena intracranial. Vena juga berhubungan
dengan vena thorasik dan vena abdominal. Vena pada foramen intervertebralis, berlanjut pada
pelvis yaitu pada pleksus vena sacralis. Daerah paling luas didaerah tengah dan runcing pada
bagian lateralnya. Pada daerah lumbal luasnya 5-6 mm dan pada daerah thoraks luasnya 3-5
mm.
Fisiologi
1. Blokade neural.
Anestesi local yang ditempatkan didaerah epidural bereaksi secara langsung pada akar
nervus spinalis yang terdapat dibagian lateral dari ruang epidural. Akar nervus tersebut
dibungkus dengan lapisan dural dan anestesi local mencapai cairan serebrospinal dengan
menyerap pada dura. 0nset blok lebih lama dibandingkan dengan anestesi spinal, dan
intensitas blok sensoris dan motorik rendah.
2. Kardiovaskuler.
Hipotensi akibat dari blokade simpatik mirip seperti yang digambarkan pada anestesi
spinal. Dosis yang besar dari anestesi local yang digunakan dapat diabsorbsi secara
sistemik, mengakibatkan terjadinya depresi miokard. Epinefrin yang ditambahkan pada
anestesi local dapat diabsorbsi dan akan memberikan efek sitemik seperti takikardi dan
hipertensi.
3. Anesthesia epidural mengurangi terjadinya thrombosis vena dan embolisme pulmoner pada
pembedahan ortopedi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan perfusi
keanggota gerak bagian bawah. Selain itu terdapat kecenderungan terjadinya penurunan
koagulasi, penurunan agregasi platelet, dan perbaikan fungsi fibrinolitik selama anestesi
epidural.
4. Perubahan fisiologis lain serupa dengan yang dihasilkan oleh anestesi spinal.
Indikasi
Pada umumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi. Sebagai
keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara kontinyu setelah penempatan
cateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok untuk pembedahan yang lama dan analgesia
setelah pembedahan.
Indikasi Khusus :
c. Persalinan.
Pasien-pasien obsteric yang takut nyeri melahirkan dapat ditangani dengan
epidural anestesi dan memperoleh bayi dengan riwayat biokemia yang baik dari pada
bayi dilahirkan pada ibu yang diberikan opioid atau anetestetik lainnya secara intravena.
Kontra Indikasi
Absolut :
Relatif :
Hipovolemia
Penyakit SSP
Nyeri punggung kronik.
Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin, dripiridamol, dan
NSAID
Prosedur
a. Persiapan peralatan dan Jarum epidural.
Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anestesia disiapkan sebelum
penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk
vasopressor untuk mencegah hipotensi, oksigen suplemen melalui nasal kanula atau
masker untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik.
Pada umumnya jarum weiss atau tuohy ukuran 17 yang digunakan untuk
ideintifikasi ruang epidural. Jarum ini mempunyai stylet dan ujungnya tumpul dengan
lubang pada sisi lateral dan mempunyai dinding tipis yang dapat dilalui kateter ukuran
20. Jarum ukuran 22 sering digunakan untuk tehnik dosis tunggal.
b. Paramedian approach
Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif
sebelumnya ada kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah
bagi pemula, karena saat jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan
tahanan tidak terjadi, maka jarum masuk ke otot paraspinosus dan tahanan hanya
dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid
line approach. Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada
bagian bawah processus spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum
epidura langsung diarahkan kecephalad seperti pada median approach dan
kemudian jarum dilanjutkan kearah midline. Setelah strukur dermal ditembusi
spoit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum masuk masa otot
psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai ada
peningkatan tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum.
Jika jarum telah melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten
teridentifikasi maka jarum telah masuk kedalam ruang epidural.
b. Paramedian approach.
Pada pendekatan paramedian , interspase diidentifikasi dan jarum
ditusukkan kira-kira 2 cm kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus
spinosus superior. Pada tehnik ini jarum ditempatkan hampir tegak lurus pada
kulit dengan sudut minimal 10-15 derajat kearah midline dan dilanjutkan
sampai lamina atau pedikle dari tulang belakang disentuh. Jarum ditarik
kebelakang dan ditujukan kembali agak kecephalad. Jika tehnik ini sempurna
ujung jarum akan kontak dengan ligamentum flavum. Spoit dihubungkan dengan
jarum, dan pakai tehnik loss of resistence atau hanging drop untuk
mengidentifikasi ruang epidural. Sama dengan paramedian approach pada regio
lumbar, jarum harus dilanjutkan sebelum ligamentum flavum dilewati dan ruang
epidural didapatkan.
Gambar. Anestesi epidural thorakal : pendekatan paramedian.
e. Penempatan kateter.
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang
lama dan pemberian analgesia post operasi.
Chloroprokain 2–3 % 60
Lidokain 1,5 % 60 – 90
Epinefrin.
Dosis anestesi.
Penyebaran obat anestetik local dalam ruang epidural hanya tergantung pada
volume yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik local dalam larutan hanya
berpengaruh pada derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat
walaupun ditambahkan sodium bikarbonat kedalam anestesi local untuk mempercepat
onsetnya.
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar
dari 15 – 25 ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala
1,6 ml per segemen spinal yang dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang sempit
kurang lebih dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan
tekanan intra abdominal yang meningkat diperlukan volume anestetik local lebih sedikit
untuk mencapai distribusi yang diberikan.
Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli
anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom ,
penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestetik local semula akan
diperoleh anesthesia yang adekuat. Bilamana menggunakan anestetik epidural dan
anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan pada interval waktu yang
sesuai dengan karakteristik obat anestesi local.
Opioid.
Komplikasi
1. Intra operatif
a. Pungsi dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini terjadi,
ahli anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi
spinal dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian
anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal keruang
subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan ( misalnya untuk analgesia post
operasi), kateter akan direposisikan keda-lam interspace diatas pungsi dengan demikian ujung
dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan
injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
b. Komplikasi kateter
1) Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini lebih
sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan
apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat
ditusukkan kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari
jarum hanya sebagian yang melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi
terjadi. Pada kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam
ruang epidural dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik
dan direposisikan bersama-sama jika terjadi tahanan.
2) Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah
teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan dosis test. Kateter seharusnya
ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari
pengetesan. Penarikan penting agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
3) Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi infeksi,
tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan
pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang
terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar
dibandingkan dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif.
c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja . Injeksi dengan sejumlah basar volume
anestesi local kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal yang total.
d. Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural menyebabkan toksisitas pada
sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan kardiopulmonary arrest.
e. Overdosis anestesi local. Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan
oleh adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anesthesia epidural.
f. Kerusakan spinal cord. Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset
parestesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural.
Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut
saraf. Saluran kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana
melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan
iskemia spinal cord anterior atau hematoma epidural.
g. Perdarahan. Perforasi pada vena oleh jarum dapat menyebabkan suatu perdarahan yang
emergensi dan mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik
mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu
maka dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.
2. Post Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural. Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17,
menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post punsi
dural .
b. Infeksi. Abses epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat
anestesi epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran
secara hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi
dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang
dipergunakan untuk pertolongan nyeri post operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada
tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah
punggung secara local. Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada
awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi.
Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetik Resonance
Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi dan
pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan
cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.
c. Hematoma epidural adalah suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural.
Trauma pada vena epidural menimbulkan koagulophati yang dapat menyebabkan suatu
hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan
defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera
ditegakkan dengan computered tomographi atau MRI. Decompresi laminektomy penting
dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.
ARTERI LINE
Pengertian
Arterial line pada umumnya di pakai pada perawatan pasien critical di intensive care unit
yang di gunakan untuk memantau tekanan darah secara komprehensive. Ini di gunakan terhadap
pasien yang terutama hypotensive ataupun hypertensive sehingga memerlukan obat2 secara
intravenous untuk mengontrol tekanan darah hingga dalam batas normal atau sesuai dgn yang di
inginkan. Disamping itu arterial line juga di gunakan untuk pengambilan darah sampling
terutama blood gas analisa. Dan hal yang paling penting untuk di perhatikan bahwa line ini
bukan untuk medication karena ada pengalaman bahwa ada yang memberikan obat melalui art
line.
Suatu pengukuran terhadap sistem kardiovaskuler dengan cara invasif yaitu memasukan
kateter ke dalam pembuluh arteri pulmonal melalui pembuluh darah vena besar
Arterial dressing harus di ganti minimal 2 hari sekali oleh 2 RN kalau posisi atau kondisi
dressing berubah sehingga mempengaruhi hasil bacaan di monitor.
Harus di lakukan zeroing setiap minimal satu shif sekali atau kalau di perlukan
Check peripheral perfused sekitar tempat insertion site terhadap kemungkinan adanya
komplikasi.
Pressure bag harus memberikan tekanan 300 mmHg untuk tetap memberikan 3 mls/hour
flushing melalui artetial line.
Perhatikan trace terhadap adanya overdamping atau underdamping yang sanagt
mempengaruhi hasil di layar monitor terutama hasil SBP ( systolic blood pressure),
DBP dan MAP (Mean Arterial Pressure.
PERSIAPAN PEMASANGAN
1. Persiapan pasien.
a. Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga mengenai tujuan pemasangan dan prosedur
tindakan.
b. Membuat surat ijin tindakan.
c. Mengatur posisi pasien yang aman dan nyaman sesuai dengan daerah pemasangan.Bila
memungkinkan pasien memakai masker.
1. Pengertian
CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga ujungnya berada di dalam
atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS)
Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak
langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada akhir
diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau
2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.
2. Tujuan
1. Mengetahui tekanan vena sentralis (TVS)
2. Untuk memberikan total parenteral nutrition (TPN) ; makanan kalori tinggi secara intravena
3. Untuk mengambil darah vena
4. Untuk memberikan obat – obatan secara intra vena
5. Memberikan cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat
6. Dilakukan pada penderita gawat yang membutuhkan erawatan yang cukup lama
CVP bukan merupakan suatu parameter klinis yang berdiri sendiri, harus dinilai dengan
parameter yang lainnya seperti :
Denyut nadi
Tekanan darah
Volume darah
CVP mencerminkan jumlah volume darah yang beredar dalam tubuh penderita, yang
ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung. Misal : syock hipovolemik –> CVP
rendah
a. Persiapan pasien
Memberikan penjelasan pd klien dan klg ttg:
– tujuan pemasangan,
– daerah pemasangan, &
– prosedur yang akan dikerjakan
b. Persiapan alat
– Kateter CVP
– Set CVP
– Spuit 2,5 cc
– Antiseptik
– Obat anaestesi lokal
– Sarung tangan steril
– Bengkok
– Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
– Plester
4. Cara Kerja
a. Daerah yang Dipasang :
Vena femoralis
Vena cephalika
Vena basalika
Vena subclavia
Vena jugularis eksterna
Vena jugularis interna
b. Cara Pemasangan :
CVP Manometer
7. Penilaian CVP
Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock -> amati infus lancar atau tidak
Penderita terlentang
Cairan infus kita naikkan ke dalam manometer sampai dengan angka tertinggi -> jaga
jangan sampai cairan keluar
Cairan infus kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan masuk ke
tubuh penderita
Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama nafas, turun
(inspirasi), naik (ekspirasi)
Undulasi berhenti -> disitu batas terahir -> nilai CVP
Nilai pada angka 7 -> nilai CVP 7 cmH2O
Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP
8. Nilai CVP
Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam sirkulasi.
Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik
Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik shock